DIAN IRAWATI
FARIDA YULIANI
Pengaruh Faktor Psikososial Dan Cara Persalinan Terhadap Terjadinya Post
Partum Blues Pada Ibu Nifas (Studi di Ruang Nifas RSUD R.A Bosoeni Mojokerto)
EKA DIAH KARTININGRUM
NUR SAIDAH
Faktor Yang Mempengaruhi Kematian Ibu Di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
HANY PUSPITA ARYANI
Perubahan Level Insulin Dan Perkembangan Follicle Pada Tikus (Rattus
Norvegicus) Sebagai Model Pengobatan SOPK- Resistensi Insulin Melalui
Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto
NURUN AYATI KHASANAH
Hubungan Sikap Ibu Tentang Kesulitan Makan Dengan Status Gizi Anak Usia Pra
Sekolah (3-6 Tahun) Di Desa Wonosari Ngoro Mojokerto
SARI PRIYANTI
Cara Mengatasi Morning Sickness Pada Ibu Hamil Trimester I Di BPS Ny. Wahyu
Surowati Desa Warungdowo Pohjentrek Pasuruan
FARIDA YULIANI
Teknik Menyusui Yang Benar Pada Ibu Menyusui Studi
Di BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Mojokerto
TRI PENI
Kecemasan Keluarga Pasien Ruang ICU Rumah Sakit Daerah Sidoarjo
HOSPITAL
MAJAPAHIT
VOL 6
NO. 1
Hlm.
1 - 97
Mojokerto
Pebruari 2014
ISSN
2085 - 0204
HOSPITAL MAJAPAHIT
Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan
yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
Pembina
Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit
Nurwidji
Pelindung
Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit
dr. Rahmi, S.A.
Ketua Penyunting
Eka Diah Kartiningrum, SKM., M.Kes.
Wakil Ketua Penyunting
Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. M.Kep.
Penyunting Pelaksana
Widya Puspitasari, Amd
Farida Yuliani, MKes
Anwar Holil, M.Pd.
Penyunting Ahli
Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc.
Nursaidah, M.Kes
Rifaatul Laila Mahmudah, M.Farm.Klin
Distribusi
dr Achmad Husein
Alamat Redaksi :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com
BIAYA BERLANGGANAN
Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 6. No. 1, Pebruari 2014
Pengantar Redaksi,
Jurnal Hospital Majapahit Vol 6 no 1 tahun 2014 bertemakan tentang upaya peningkatan
kualitas generasi bangsa mengupas tentang penelitian yang dilakukan oleh dosen Poltekkes
Majapahit dan penulis dari luar yang juga mengupas tentang alternatif upaya untuk mengatasi
masalah kesehatan reproduksi.
Artikel yang pertama ditulis oleh Dian Irawati dan Farida Yuliani yang berjudul Pengaruh
Faktor Psikososial Dan Cara Persalinan Terhadap Terjadinya Post Partum Blues Pada Ibu
Nifas (Studi di Ruang Nifas RSUD R.A Bosoeni Mojokerto). Pasca melahirkan ibu akan
mengalami beberapa perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis, seorang
ibu akan merasakan gejala gejala psikiatrik setelah melahirkan, beberapa penyesuaian
dibutuhkan oleh ibu. Sebagian ibu bisa menyesuaikan diri dan sebagian tidak bisa
menyesuaikan diri, bahkan bagi mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri mengalami
gangguan gangguan psikologis. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada pengaruh kelompok
umur, paritas, pendidikan, dukungan suami, status kehamilan, dan pengetahuan terhadap
terjadinya postpartum blues.
Artikel yang kedua ditulis oleh Eka Diah Kartiningrum dan Nur Saidah yang berjudul Faktor
Yang Mempengaruhi Kematian Ibu Di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010. Analisis kematian
ibu di Indonesia dilakukan menggunakan Regresi Linier dengan variabel prediktor antara lain:
cakupan antenatal care (K1-K4), cakupan penolong persalinan, rasio bidan/ 1000 kelahiran,
rasio bidan desa yang tinggal di desa, persalinan di fasilitas kesehatan, sehingga dapat
diperoleh kesimpulan bahwa untuk mencapai target MDGs maka 7.187 kematian ibu harus
dicegah, dan persalinan oleh tenaga kesehatan 95% hanya dapat mencegah 3.138 kematian.
Dampak ketidaktepatan pemilihan penggunaan regresi adalah ketidaktepatan dalam estimasi
parameter sehingga pada akhirnya berdampak pada pengambilan kesimpulan dan keputusan
pada program, sehingga perencanaan program pencegahan kematian ibu menggunakan
parameter yang sesuai dengan regresi linier menjadi tidak tepat. Regresi ZIP mampu
mengendalikan overdispersi dalam distribusi Poisson dan inflasi nilai 0 sehingga akurasi
estimasi parameter dapat terjamin. Hasil penelitian menjelaskan estimasi parameter model log
menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan nifas, dan
komplikasi kehamilan mempengaruhi jumlah kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun
2010, sedangkan estimasi parameter model logit menunjukkan bahwa probabilitas kejadian
kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 dipengaruhi oleh persalinan oleh tenaga
kesehatan, dan pelayanan masa nifas.
Artikel yang ketiga ditulis oleh Hany Puspita Aryani dengan judul Perubahan Level Insulin
Dan Perkembangan Follicle Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Sebagai Model Pengobatan
SOPK- Resistensi Insulin Melalui Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto. Infertilitas menjadi
masalah yang berat bagi pasangan masa reproduksi yang menginginkan kehamilan atau anak
dan menjadi masalah yang berat apabila tidak mendapat penanganan yang tepat. Banyak hal
yang dapat menyebabkan infetilitas, salah satunya diantaranya adalah Sindroma Ovarium
Polikistik (SOPK). Kejadian infertilitas pada penderita SOPK cukup tinggi penyebab
terbanyak kelainan endokrin yang melibatkan 5%-10% wanita dalam masa reproduksi. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa Pemberian ekstrak sambiloto tidak memberikan perubahan
signifikan kadar insulin 0.554 (p > 0.05) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Pemberian ekstrak sambiloto memberikan perubahan perkembangan folikel pada folikel
HOSPITAL MAJAPAHIT
primer sebesar 0.031 (p < 0.05) dan folikel de Graff sebesar 0.002 (p < 0.05) antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan.
Artikel yang keempat ditulis oleh Nurun Ayati Khasanah dengan judul Hubungan Sikap Ibu
Tentang Kesulitan Makan Dengan Status Gizi Anak Usia Pra Sekolah (3-6 Tahun) Di Desa
Wonosari Ngoro Mojokerto. Kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit merupakan
penyebab langsung malnutrisi yang paling penting. Penyakit, terutama penyakit infeksi,
mempengaruhi jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh. Kurangnya
asupan makanan sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan,
kurangnya kualitas makanan yang diberikan dan cara pemberian makanan yang salah.
Memberi makan kepada anak-anak terkadang menyulitkan. Anak tidak selalu menyukai apa
yang diberikan kepada mereka. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan sikap ibu
tentang kesulitan makan dengan status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto.
Artikel yang kelima ditulis oleh Sari Priyanti dengan judul Cara Mengatasi Morning Sickness
Pada Ibu Hamil Trimester I Di BPS Ny. Wahyu Surowati Desa Warungdowo Pohjentrek
Pasuruan. Adanya perasaan mual belum memastikan bahwa wanita itu hamil, biarpun sebagian
wanita hamil mengalaminya. Keadaan semacam itu bisa pula terjadi pada penyakit lain seperti
hepatitis, malaria, ulcus ventricule, walaupun keadaannya tidak sama dengan rasa mual pada
kehamilan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa paling banyak tingkat pengetahuan responden
tentang morning sicknes adalah kurang dan masih banyak responden yang memiliki cara cara
mengatasi morning sikness yang kurang.
Artikel yang keenam ditulis oleh Farida Yuliani dengan judul Teknik Menyusui Yang Benar
Pada Ibu Menyusui Studi Di BPSUmi Muntadiroh S,ST.Mkes Mojokerto. Regurgitasi
merupakan kondisi yang biasa terjadi pada bayi, tetapi jika berlebihan dan tidak ditangani bisa
mengakibatkan komplikasi dan terganggunya pertumbuhan bayi. Komplikasi yang terjadi
apabila gumoh berlebihan menyebabkan terjadinya refluks gastroesofagus yaitu adanya aliran
balik dari lambung kekerongkongan yang menyebabkan kerusakan dinding kerongkongan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden yang melakukan teknik menyusui
pada kategori kurang di BPS Umi Muntadiroh S,ST.MKes.
Artikel yang ketujuh ditulis oleh Tri Peni dengan judul Kecemasan Keluarga Pasien Ruang ICU
Rumah Sakit Daerah Sidoarjo. Masalah masalah kecemasan pada keluarga pasien yang dirawat
di ruang ICU penting sekali diperhatikan karena dalam perawatan pasien dan keluarga
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini perlu
menjadi perhatian penting untuk perawat, dokter dan staf kesehatan yang lain. Keluarga
mempunyai peranan yang penting dalam pengambilan keputusan dan sering harus dilibatkan
secara langsung atau tidak langsung dalam tindakan pertolongan yang diberikan pada pasien.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa tingkat kecemasan yang paling banyak dialami oleh
keluarga yang salah satu anggotanya dirawat di ruang ICU RSD Sidoarjo adalah tingkat
kecemasan sedang. Semua artikel diharapkan mampu memberikan masukan dan rekomendasi
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan seluruh masyarakat Indonesia.
Redaksi,
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu
saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka.
Jurnal :
Berry, L. 1995. Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective.
Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 245.
Buku :
Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Artikel dari Publikasi Elekronik :
Orr. 2002. Leader Should do more than reduce turnover. Canadian HR Reporter. 15, 18,
ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04].
Majalah :
Widiana ME, 2004. Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Pedoman :
Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : Users Reference Guide, Chicago, SSI International.
Simposium :
Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in
Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian
Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia.
Paper :
Martinez and De Chernatony L. 2002. The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand
Image. Working Paper. UK : The University of Birmingham.
Undang-Undang & Peraturan Pemerintah :
Widiana ME, 2004. Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Skripsi, Thesis, Disertasi :
Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori
Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage
Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika
Indonesia.
Surat Kabar :
Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5).
Penyerahan Artikel :
Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada :
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol6. No. 1, Pebruari 2014
DAFTAR ISI
15
31
40
60
74
HOSPITAL MAJAPAHIT
KECEMASAN KELUARGA PASIEN RUANG ICU RUMAH SAKIT DAERAH
SIDOARJO .................................................................................................................................................................
Tri Peni
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
86
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
dan hal ini dapat berlanjut menjadi depresi postpartum dengan jumlah bervariasi dari 5%
hingga lebih dari 25% setelah ibu melahirkan (Daw dan Steiner dalam Bobak dkk.,
2005).
Postpartum Blues (PPB) atau sering juga disebut Maternity Blues atau Baby Blues
dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam
minggu pertama setelah persalinan dan memuncak pada hari ke tiga sampai kelima dan
menyerang dalam rentang waktu 14 hari terhitung setelah persalinan (Arfian, 2012).
Adapun tanda dan gejalanya seperti : reaksi depresi/sedih/disforia, menangis, mudah
tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri,
gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Gejala-gejala ini mulai muncul setelah
persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam
sampai beberapa hari. Namun pada beberapa minggu atau bulan kemudian, bahkan dapat
berkembang menjadi keadaan yang lebih berat (Murtiningsih, 2012).
Penyebab post partum blues tidak diketahui secara pasti namun salah satunya
adalah riwayat kehamilan dan persalinan dengan komplikasi. Persalinan dengan sectio
caesarea mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemungkinan terjadinya post
partum blues, dari 63 persalinan caesar, 25% mengalami post partum blues dan dari 52
persalinan normal hanya 8 % yang mengalami post partum blues (Freudenthal, 1999).
Mereka yang melahirkan dengan cara operasi caesar cenderung menderita depresi jika
dibandingkan mereka yang melahirkan secara normal. Risiko depresi juga lebih tinggi
48% pada mereka yang memilih melahirkan dengan operasi dibanding yang dibedah
karena alasan medis. Para peneliti beranggapan ini disebabkan oleh perasaan gagal yang
timbul karena tidak dapat melahirkan secara normal. Kemungkinan depresi juga timbul
karena proses pemulihan pasca-operasi caesar akan memakan waktu lebih lama.
Faktor faktor yang mempengaruhi postpartum blues adalah yang faktor psikologis
yang meliputi dukungan keluarga khusunya suami. faktor demografi yang meliputi usia
dan paritas, factor fisik yang disebabkan kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh bayi,
meyusui, memandikan, mengganti popok, dan faktor sosial meliputi sosial ekonomi,
tingkat pendidikan, status perkawinan (Nirwana, 2011).Faktor-faktor yang
mempengaruhi post partum blues biasanya tidak berdiri sendiri sehingga gejala dan
tanda post partum blues sebenarnya adalah suatu mekanisme multifaktorial.
Kondisi sosio ekonomi seringkali membuat psikologi ibu terganggu. pada
keluarga yang mampu mengatasi pengeluaran untuk biaya perawatan ibu selama
persalinan, serta tambahan dengan hadirnya bayi baru ini mungkin hampir tidak
merasakan beban keuangan, akan tetapi keluarga yang menerima kelahiran seorang bayi
dengan suatu beban finansial dapat mengalami peningkatan stres, stres ini bisa
mengganggu perilaku orang tua sehingga membuat masa transisi untuk memasuki pada
peran menjadi orang tua akan menjadi ledih sulit (Bobak et all, 2005).
Menurut Murtiniingsih (2012) post partum blues merupakan masalah yang wajar
terjadi setelah melahirkan. Tapi ada wanita yang mengalami baby blues dengan kondisi
tingkatan yang berbeda, lebih lama dan perubahan sikap serta perilaku yang lebih parah
dan sering disebut dengan post partum blues. Oleh karena itu dari beberapa faktor yang
ada wanita yang mengalami post partum blues, sangat membutuhkan perhatian
khususnya dari keluarga, serta kesiapan untuk menjadi orang tua baik secara fisik
maupun materil.
Setyowati dan Uke Riska (2006) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi
terjadinya Post Partum Blues diantaranya pengalaman kehamilan dan persalinan yang
meliputi komplikasi dan persalinan dengan tindakan, dukungan sosial diantaranya
dukungan kelurga, keadaan bayi yang tidak sesuai harapan. Dari 31 ibu yang melahirkan
2
HOSPITAL MAJAPAHIT
dan memenuhi kriteria, terdapat 17 ibu (54,48%) mengalami post partum blues yang
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya, pengalaman kehamilan dan persalinan sebesar
38,71%, dukungan social 19,53%, keadaan bayi saat lahir 16,13%. Data yang diperoleh
peneliti pada tanggal 1 sampai 28 Februari 2013 didapatkan hasil dari 39 ibu bersalin post
SC, didapatkan 55% ibu mengalami postpartum blues. Baby blues seharusnya segera
ditangani. Jika tidak, baby blues akan berujung pada gangguan mental yang memotivasi
sang ibu untuk menyakiti dirinya sendiri.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Post Partum Blues
a. Pengertian
Post partum blues adalah suatu stress psikologis ringan pada wanita pasca
persalinan. Periode ketidak enakan badan pada hari pertama atau kedua pasca
melahirkan, dicirikan oleh kebahagiaan yang luar biasa dan perasaan yang sangat
sehat, selalu diikuti oleh periode kesedihan blues (Bobak, Laudermilk, Jensen, et
all, 2005). Menurut Cunningham (2006) postpartum blues adalah gangguan suasana
hati yang berlangsung selama 3 sampai 6 hari pasca melahirkan. Post partum
sendiri sudah dikenal sejak lama, Savage pada tahun 1875 telah menulis referensi di
literature kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca salin yang
disebut sebagai milk fever karena gejala. Diforia tersebut muncul bersamaan
dengan laktasi. Dewasa ini post partum blues atau sering disebut juga maternity
blues atau baby blues yang dimengerti sebagai sindroma gangguan efek ringan
yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan.
b. Jenis gangguan psikologis ibu post partum
1) Postpartum blues
Terjadi pada hari pertama sampai sepuluh harui setelah melahirkan dan
hanya bersifat sementara, dengan gejala gangguan mood, rasa marah, mudah
menangis, sedih, nafsu makn menurun, sulit tidur( Arfian, 2012). Keadaan ini
akan terjadi beberapa hari saja setelah melahirkan dan biasanya akan hilang
dalam bebrapa hari.
2) Depresi postpartum
Gejala yang timbul adalaah perasaan ssedih, tertekan, sensitif, merasa
bersalah, lelah, cemas, dan tidak mampu merawat dirinya dan bayinya. Keadaan
ini memerlukan psikoterapi dan obat obatn disamping dukungan sosial (Arfian,
2012).
3) Postpartum psikosis
Depresi berat yaitu dengan gejala proses pikir yang dapat mengancam
dan membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayinya sehingga memerlukan
pertolongan dari tenaga profesional yaitu psikeater dan pemberian obat (Arfian,
2012).
HOSPITAL MAJAPAHIT
1) Faktor Demografi
Meliputi umur dan paritas. Ibu primi yang tidak mempunyai pengalaman dalam
mengasuh anak, ibu yang berusia remaja, ibu yang berusia lebih dari 35 tahun
adalah yang beresiko terkena Post Partum Blues (Bobak, Laudermilk, Jensen, et
all, 2005).
2) Faktor Psikologis
Berkurangnya perhatian keluarga, terutama suami karena semua perhatian
tertuju pada anak yang baru lahir. Padahal usia persalinan si ibu merasa lelah
dan sakit pasca persalinan membuat ibu membutuhkan perhatian. Kecewa
terhadap penampilan fisik si kecil karena tidak sesuai dengan yang di inginkan
juga bisa memicu Baby Blues. Ibu yang melahirkan secara operasi akan merasa
bingung dan sedih terutama jika operasi tersebut dilakukan karena keadaan yang
darurat (tidak direncanakan sebelumnya) ( Kasdu, 2003).
3) Faktor Fisik
Kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan,
menganti popok, dan menimang sepanjang hari bahkan tak jarang di malam buta
sangatlah menguras tenaga. Apalagi jika tidak ada dari suami atau anggota
keluarga yang lain (Nirwana, 2011)
4) Faktor Sosial
Tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak direncanakan
sebelumnya dan keadaan sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap kejadian
post partum blues (Afrian, 2012). Kekhawatiran pada keadaan sosial ekonomi,
seperti tinggal bersama mertua, lingkungan rumah yang tidak nyaman, dan
keadaan ibu yang harus kembali bekerja setelah melahirkan.
Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan oleh ahli-ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
postpartum blues dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok:
1) Faktor Biologis
a) Faktor Hormonal, yaitu terjadinya perubahan kadar sejumlah hormon dalam
tubuh ibu pasca persalinan secara tiba-tiba dalam jumlah yang besar, yaitu
progesteron, estrogen, kelenjar tiroid, endorfin, estradiol, cortisol, dan
prolaktin yang menimbulkan reaksi afektif tertentu.
b) Faktor Kelelahan Fisik, yaitu kelelahan fisik akibat proses persalinan yang baru
dilaluinya, dehidrasi, kehilangan banyak darah, atau faktor fisik lain yang dapat
menurunkan stamina ibu.
c) Faktor Kesehatan, seperti sejarah premenstrual syndrome.
2) Faktor Psikologis
a) Faktor Kepribadian, yaitu:Wanita yang menilai dirinya lebih maskulin; Wanita
perfeksionis dengan pengharapan yang tidak realistis dan selalu berusaha
menyenangkan orang lain; Ibu dengan harga diri yang rendah; Wanita yang
mudah mengalami kecemasan, ketakutan akan tugas dan terjadinya depresi
selama kehamilan.
b) Karakteristik lain individu, yaitu:
i) Ibu primipara (melahirkan anak pertama).
ii) Ibu yang berusia remaja.
3) Faktor Sosial
a) Respon terhadap kehamilan dan persalinan, yaitu:
i) Kehamilan yang tidak diinginkan.
HOSPITAL MAJAPAHIT
ii) Perasaan bingung antara penerimaan dan penolakan terhadap peran baru
sebagai ibu.
iii) Tidak ada pengalaman dalam pengasuhan anak.
b) Kenyataan persalinan yang tidak sesuai dengan harapan, yaitu:
i) Kesibukan mengurus bayi dan perasaan ibu yang merasa tidak mampu atau
khawatir akan tanggung jawab barunya sebagai ibu.
ii) Perasaan kecewa dengan keadaan fisik dirinya juga bayinya.
c) Keadaan sosial ekonomi, yaitu:
i) Wanita yang harus kembali bekerja setelah melahirkan.
ii) Keadaan sosial ekonomi yang tidak mendukung.
d) Dukungan Sosial, yaitu:
i) Ketegangan dalam hubungan pernikahan dan keluarga.
ii) Penyesuaian sosial yang buruk.
iii) Kurangnya dukungan dari suami dan orang-orang sekitar.
iv) Wanita yang tidak bersuami
d. Gejala Post Partum Blues
Gejala Post Partum Blues ringan hanya terjadi dalam hitungan jam atau 1
minggu pertama setelah melahirkan, gejala ini dapat sembuh dengan sendirinya,
sedangkan pada beberapa kasus post partum depresion dan post partum psikosis,
bisa sampai mencelakai diri sendiri bahkan anaknya, sehingga pada penderita kedua
jenis gangguan mental terakhir perlu perawatan yang ketat di rumah sakit
(Arfian,2012).
Gejala-gejala post partum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap
seorang ibu. Gejala tersebut biasanya muncul pada hari ke 3 atau hari ke 6 setelah
melahirkan. Beberapa perubahan sikap tersebut diantaranya : sering tiba-tiba
menangis karena merasa tidak bahagia, penakut, tidak mau makan, tidak mau
bicara, sakit kepala, sering berganti mood, mudah tersinggung (iritabilitas), merasa
terlalu sensitif dan cemas berlebihan, tidak bergairah, khususnya terhadap hal yang
semula sangat diminati, tidak mampu berkonsentrasi dan sangat sulit membuat
keputusan, merasa tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang baru saja
Anda lahirkan , insomnia yang berlebihan. Gejalagejala itu mulai muncul setelah
persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam
sampai beberapa hari. Namun jika masih berlangsung beberapa minggu atau
beberapa bulan itu dapat disebut postpartum depression (Murtiningsih, 2012).
e. Dampak Post Partum Blues
1) Pada Bayi
Ibu yang depresi juga tidak mampu merawat bayinya dengan optimal,
karena merasa tidak berdaya atau tidak mampu sehingga akan menghindar dari
tanggung jawabnya, akibatnya kondisi kebersihan dan kesehatan bayinya pun
menjadi tidak optimali juga tidak bersemangat menyusui bayinya sehingga
pertumbuhan dan perkembangan bayinya tidak seperti bayi yang ibunya sehat.
Akibat lainnya adalah hubungan antara ibu dan bayi juga tidak optimal. Bayi
sangat senang berkomunikasi dengan ibunya. Komunikasi ini dilakukannya
dengan cara dan dalam bentuk yang bermacam-macam, misalnya senyuman,
tatapan mata, celoteh, tangisan, gerak tubuh yang berubah-ubah yang semua itu
perlu ditangggapi dengan respons yang sesuai dan optimal, namun bila hal ini
tidak terpenuhi, anak menjadi kecewa, sedih bahkan frustasi. Kejadian seperti
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
D. HASIL PENELITIAN
1. Analisis pengaruh sosiodemografi terhadap terjadinya postpartum blues.
Distribusi frekuensi pengaruh sosiodemografi terhadap terjadinya postpartum
blues pada responden dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini dengan menggunakan uji
regresi logistik
Tabel 1 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan umur, pendidikan, sosial ekonomi,
dan paritas terhadap terjadinya postpartum blues di Rumah Sakit RA. Basoeni
Mojokerto, tanggal 7 18 Oktober 2013.
Variabel
Postpartum Blues
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Umur
< 20 atau > 35 tahun
7
46,7 18 81,8 25
67,6 0,025
20 35 tahun
8
53,3 4
18,2 12
32,4
Pendidikan
SD-SMP
3
20
12 54,5 15
40,5 0,027
SMA-PT
12 80
10 45,5 22
59,5
Sosial ekonomi
Rendah
3
20
9
40,9 12
32,4 0,182
Tinggi
12 80
13 59,1 25
67,6
Paritas
Primipara
4
26,7 14 63,6 18
48,6 0,027
Multipara
11 73,3 8
36,4 19
51,4
Status Perkawinan
Tidak Menikah
0
0
2
9,1
2
5,4
0,230
Menikah
15 100 20 90,9 35
94,6
Berdasarkan karakteristik sosio demografi responden variabel yang
mempunyai hubungan dengan terjadinya postpartum blues adalah variabel umur,
paritas, dan pendidikan. Kejadian postpartum blues lebih banyak dialami oleh oleh
yang berusia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun (81,8%) yang merupakan
usia berisiko mengalami komplikasi persalinan. Pada variabel paritas, kejadian
postpartum blues lebih banyak dialami oleh ibu primipara (63,6%). Kejadian
postpartum blues juga lebih banyak dialami oleh ibu yang berpendidikan SD-SMP
dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan SMA Perguruan Tinggi, yaitu
sebanyak 12 responden (54,5%).
2. Pengaruh faktor psikososial terhadap terjadinya postpartum blues
Distribusi frekuensi pengaruh faktor psikososial terhadap terjadinya
postpartum blues pada responden dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini:
Tabel 2 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan faktor psikososial terhadap
terjadinya postpartum blues di Rumah Sakit RA. Basoeni Mojokerto,
tanggal 7 18 Oktober 2013.
Postpartum Blues
Variabel
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Status kehamilan
Diinginkan
15 100 16 72,7 31 83,8 0,027
Tidak diinginkan
0
0
6
27,3 6
16,2
Dukungan suami
8
HOSPITAL MAJAPAHIT
Postpartum Blues
Variabel
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Tidak Mendukung
4
26,7 15 68,2 19 51,4 0,013
Mendukung
11 73,3 7
31,8 18 48,6
Berdasarkan psikososial responden, variabel yang mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap terjadinya postpartum blues adalah variabel status kehamilan dan
dukungan suami. Tabel 2 menunjukkan bahwa semua ibu yang tidak menginginkan
kehamilannya mengalami postpartum blues, yaitu sebanyak 6 responden. Sedangkan
dari 22 responden yang mengalami postpartum blues sebanyak 15 responden (68,2%)
diantaranya tidak mendapatkan dukungan dari suami.
3. Pengaruh pengetahuan terhadap terjadinya postpartum blues
Distribusi frekuensi pengaruh pengetahuan terhadap terjadinya postpartum
blues pada responden dapat di lihat pada tabel 3 di bawah ini
Tabel 3 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan pengetahuan terhadap terjadinya
postpartum blues di Rumah Sakit RA. Basoeni Mojokerto, tanggal 7 18
Oktober 2013.
Postpartum Blues
Variabel
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Pengetahuan
Kurang
4
26,7 16 72,7 20 54,1 0,006
Baik
11 73,3 6
27,3 17 45,9
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap
terjadinya postpartum blues dengan nilai p = 0,006. Kejadian postpartum blues
terbanyak dialami oleh responden yang berpengetahuan kurang yaitu 16 responden
(72,7%).
4. Pengaruh cara persalinan terhadap terjadinya postpartum blues
Distribusi frekuensi pengaruh cara persalinan terhadap terjadinya postpartum
blues pada responden dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4
Distribusi Frekuensi responden cara persalinan terhadap terjadinya
postpartum blues di Rumah Sakit RA. Basoeni Mojokerto, tanggal 7 18
Oktober 2013.
Variabel
Postpartum Blues
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Cara persalinan
Normal
7
46,7 9
40,9 16 43,2 0,729
Operasi SC
8
53,3 13 59,1 21 56,8
5. Hubungan antar variabel
Hasil Negelkerke R Square didapatkan hasil 62,4, yang artinya kejadian
postpartum blues pada ibu nifas yang bersalin di RSUD R.A. Basoeni 62,4%
dipengaruhi oleh faktor umur, paritas, pendidikan, dukungan suami, status kehamilan,
dan pengetahuan.
HOSPITAL MAJAPAHIT
E. PEMBAHASAN
1. Pengaruh umur terhadap postpartum blues
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa umur yang mengalami
postpartum blues adalah usia < 20 tahun dan > 35 tahun, usia tersebut merupakan usia
berisiko bagi perempuan untuk melahirkan seorang bayi.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh antara usia
dengan kejadian postpartum blues. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Bobak (2004),
bahwa faktor pencetus terjadinya postpartum blues adalah pada usia remaja atau
kurang dari 20 tahun. Handenson dan Jones (2004) menyebutkan keadaan krisis
situasi, pengalaman yang menyangkut kesiapan menjadi orang tua, beban peran dalam
lingkungan sosial dapat menimbulkan masalah pada wanita melahirkan, termasuk
mereka yang berumur kurang dari 20 tahun. Tetapi hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan penelitian Hikmah 2006 yang menyebutkan bahwa umur ketika pertama kali
hamil tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya postpartum blues.
2. Pengaruh pendidikan terhadap terjadinya postpartum blues
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pendidikan terbanyak yang mengalami
postpartum blues adalah SD - SMP, yaitu 12 responden (54,5%). Hal ini sesuai dengan
teori yang mangatakan bahwa pendidikan rendah lebih sering mengalami postpartum
blues dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Pendidikan dalam penelitian ini adalah
jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh ibu yang mempunyai bayi sampai
memperoleh ijazah yang sah, tetapi tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara
pendidikan dengan kejadian postpartum blues. Kondisi ini memang tidak sesuai
dengan teori tetapi pembentukan psikologi ibu tidak hanya diperoleh melalui jenjang
pendidikan saja, karena banyak faktor yang lebih dominan untuk dapat mempengaruhi
terjadinya postpartum blues.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Reid V Oliver, 2007) mengatakan
bahwa yang mengalami postpartum blues yaitu yang berpendidikan dibawah SMA.
Menurut Wiknjosastro (1999) menyebutkan pendidikan formal menghasilkan perilaku
yang diadopsi oleh individu, namun pada sebagian orang tingkat pendidikan tidak
mempengaruhi pola sikap, hal tersebut lebih besar berasal dari lingkungan yang
diterima oleh setiap individu.
Latipun (2001) mengatakan bahwa pendidikan seseorang akan mempengaruhi
cara berpikir dan cara pandang terhadap diri dan lingkungannya, karena itu akan
berbeda sikap responden yang mempunyai pendidikan tinggi dibandingkan dengan
yang berpendidikan rendah dalam menyingkapi proses selama persalinan sehingga
pada pendidikan rendah sering terjadi postpartum blues.
3. Pengaruh paritas terhadap terjadinya postpartum blues
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden
yang mengalami postpartum blues adalah primipara yaitu 14 responden (63,6%).
Terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian postpartum dengan nilai p = 0,027.
Hal ini sesuai dengan teori Sherwen 1999 yang menyebutkan bahwa proses
persalinan, lamanya persalinan hingga komplikasi yang dialami setelah persalinan
dapat mempengaruhi psikologis seorang ibu, dimana semakin besar trauma fisik yang
dialami maka semakin besar trauma psikis yang muncul. Dan hal ini semakin berat
dirasakan pada wanita yang pertama kali melahirkan anak mereka. Dalm Handerson
dan Jones 2006 menyatakan bahwa perubahan selama kehamilan khususnya
peningkatan hormon dapat menimbulkan tingkat kecemasan yang semakin berat serta
rasa khawatir menerima peran baru menjadi krisis situasi yang terjadi sehingga hal ini
dapat menimbulkan terjadinya postpartum blues.
10
HOSPITAL MAJAPAHIT
4.
5.
6.
7.
Menurut Bobak dan kawan kawan hal ini sesuai dengan kriteria ibu yang
mengalami gangguan emosional adalah ibu primipara yang belum berpengalaman
dalam pengasuhan anak. Hal ini berisiko terjadinya postpartum blues. Penelitian
Pramudya didapatkan bahwa yang mengalami postpartum blues pada primipara adalah
25%.
Pengaruh status perkawinan terhadap terjadinya postpartum blues
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh status perkawinan dengan
kejadian postpatum blues dengan nilai p = 0,230. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nurkholifani (2011) yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara status perkawinan dengan kejadian post partum blues.
Gejala postpartum blues juga muncul sebagai reaksi yang dipicu oleh situasi
stres karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, atau peristiwaperistiwa lain yang dinilai sebagai potensial stres bagi seorang ibu setelah melahirkan
(Bobak dkk.,1994). Situasi stres tersebut diantaranya berkaitan dengan konsekuensi
perluasan keluarga, yaitu munculnya harapan-harapan pribadi dalam membina rumah
tangga atau harapan-harapan dari orangtua dan keluarga suami setelah kelahiran bayi.
Mulai membina keluarga dan membina rumah tangga sendiri sebagai tugas
perkembangan yang harus dijalani (Havighurst dalam Hurlock, 1980) semakin
diperkuat karena kehadiran buah hati. Selain itu, hubungan dengan orang lain akan
mengalami perubahan yang tidak terelakkan (Farrer, 2001). Seorang ibu mungkin
merasakan adanya perbedaan pendapat dengan mertua tentang perawatan bayi setelah
melahirkan. Konsekuensi lain dari perluasan keluarga dan juga penting adalah keadaan
sosial ketika bayi dilahirkan, terutama jika bayi mengakibatkan beban finansial atau
emosional bagi keluarga (Young & Ehrhardt dalam Strong & Devault, 1989).
Pengaruh sosial ekonomi terhadap terjadinya postpartum blues
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pendapatan dengan kejadian postpartum blues dengan nilai p = 0.182. Hasil penelitian
ini tidak sesuai dengan penelitian (Reid V, Oliver, 2007) bahwa pendapatan yang
rendah berkontribusi terhadap terjadinya postartum blues.
Kondisi sosio ekonomi seringkali membuat psikologi ibu terganggu. Pada
keluarga yang mampu mengatasi pengeluaran untuk biaya perawatan ibu selama
persalinan, serta tambahan dengan hadirnya bayi baru ini mungkin hampir tidak
merasakan beban keuangan sehingga tidak mengganggu proses transisi menjadi orang
tua. Akan tetapi keluarga yang menerima kelahiran seorang bayi dengan suatu beban
finansial dapat mengalami peningkatan stres, stres ini bisa mengganggu perilaku orang
tua sehingga membuat masa transisi untuk memasuki pada peran menjadi orang tua
akan menjadi ledih sulit. (Bobak, Laudermilk, Jensen, et all, 2004).
Pengaruh status kehamilan
Hasil penelitian menunjukkan status kehamilan mempengaruhi terjadinya
postpartum blues dengan nilai p = 0,027. Hasil penelitian ini sesuai dengan Bobak
(2004) yang menyatakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan postpartum blues
adalah kehamilan yang tidak diinginkan.
Pengaruh dukungan suami terhadap terjadinya postpartum blues
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh dukungan suami dengan
terjadinya postpartum blues dengan nilai p = 0,013.
Dukungan suami merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang di
dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang
bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang terlibat
dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta, perhatian
11
HOSPITAL MAJAPAHIT
12
HOSPITAL MAJAPAHIT
F. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan data penelitian dapat disimpulkan bahwa:
a. Sebagian besar responden berumur < 20 tahun dan > 35 tahun, dengan pendidikan
SMA-PT (tinggi), berstatus kawin, mempunyai sosial ekonomi tinggi, paritas
multipara, status kehamilan yang diinginkan, tidak mendapat dukungan suami,
pengetahuan kurang, jenis persalinan SC.
b. Kejadian postpartum blues di RSUD RA Basoeni Mojokerto selama bulan
Oktober 2013 adalah sebesar 59,5%.
c. Ada pengaruh kelompok umur, paritas, pendidikan, dukungan suami, status
kehamilan, dan pengetahuan terhadap terjadinya postpartum blues.
2. Saran
a. Bagi pelayanan kesehatan
Melihat tingginya angka kejadian postpartum blues maka perlu
dipertimbangkan pentingnya penanganan yang bersifat menyeluruh dalam dampak
psikologi yang diakibatkan oleh persalinan. Deteksi dini atau screening sebaiknya
menjadi bagian rutin dari pengkajian pada ibu postpartum. Perlunya peranan
penyedia layanan kesehatan yang terkait langsung seperti bidan, perawat, dokter
umum, dokter ahli obstetri dan ginekologi, maupun psikiater baik di poliklinik atau
di bangsal untuk lebih menanggapi adanya gejala-gejala depresi pada ibu-ibu pasca
persalinan dengan melakukan deteksi dini menggunakan instrumen yang tepat yaitu
EPDS yang telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia dan untuk peningkatan
kualitas hidup ibu-ibu pasca persalinan tersebut, selanjutnya perlu dipertimbangkan
adanya kerjasama yang lebih antara Departemen Obstetri Ginekologi dengan
Departemen ilmu kesehatan jiwa.
Pelayanan antenatal merupakan waktu tepat untuk antisipasi terjadinya
postpartum blues, yaitu ibu hamil diberikan pendidikan kesehatan tentang
perubahan perubahan fisiologis maupun psikologis selama kehamilan, persalinan
dan nifas.
b. Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian ini baru mengidentifikasi faktor faktor yang menyebabkan
terjadinya postpartum blues, oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian tentang
dampak postpartum blues apakah kemungkinan berkembang menjadi depresi
postpartum. penelitian lanjutan lain yang bisa dikembangkan adalah pengaruh
postpartum blues terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi serta pengaruh
postpartum blues terhadap pemberian ASI. Penelitian penelitian tersebut dapat
dilakukan dengan pendekatan riset kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Arfian Soffin, 2012. Baby blues : Solo: Metagraf
Bobak, Laudermilk, Jensen, et all, 2005 Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC
Creasoft. 2008. Dukungan Sosial. Creasoft.wordpres.com .
Cunningham, FG. 2006. Obstetri Williams. Jakarta : EGC
Elvira S, 2006. Depresi Pasca Persalinan. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Farrer, H. 2001. Perawatan Maternitas: Edisi 2. Alih Bahasa oleh Andry Hartono. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
13
HOSPITAL MAJAPAHIT
14
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
inflasi nilai 0 sehingga akurasi estimasi parameter dapat terjamin. Secara umum model
regresi ZIP masih jarang digunakan untuk data count yang menunjukkan adanya inflasi
akibat nilai 0 dan overdispersi. Sehingga peneliti tertarik untuk mengaplikasikan regresi
ZIP dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu di Propinsi
Jawa Timur pada tahun 2010.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Faktor faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal, yang
dikelompokkan berdasarkan kerangka dari McCarthy dan Maine (1992) dalam Arulita
(2007) adalah sebagai berikut :
1. Determinan dekat
Proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian maternal adalah
kehamilan itu sendiri dan komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas.
Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi, baik komplikasi
kehamilan maupun persalinan, sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko
tersebut.
Komplikasi kehamilan merupakan penyebab langsung kematian maternal. Ibu
hamil resiko tinggi atau ibu hamil dengan komplikasi kehamilan adalah ibu hamil
dengan keadaan penyimpangan dari normal yang secara langsung dapat menyebabkan
kesakitan dan kematian bagi ibu maupun bayinya (Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010).
Dalam pelayanan antenatal diperkirakan sekitar 20% diantara ibu hamil yang dilayani
bidan di Puskesmas tergolong kasus risti/ komplikasi yang memerlukan pelayanan
kesehatan rujukan. Kasus-kasus komplikasi kebidanan antara lain Hb < 8 g%, tekanan
darah tinggi (sistole > 140 mmHg, diastole > 90 mmHg), ketuban pecah dini,
perdarahan pervaginam, oedema nyata, eklampsia, letak lintang usia kehamilan > 32
minggu, letak sungsang pada primigravida, infeksi berat/ sepsis dan persalinan
prematur. Akibat yang ditimbulkan dari kondisi tersebut antara lain bayi dengan berat
badan rendah (BBLR), keguguran, persalinan macet, janin mati di kandungan ataupun
kematian ibu hamil (Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010).
Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab
langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan
setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi
akibat trauma pada persalinan (Arulita, 2007).
2. Determinan antara
Determinan antara penyebab kematian ibu adalah Status kesehatan ibu yang
meliputi status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi pada
kehamilan dan persalinan sebelumnya, Status reproduksi yang terdiri dari usia ibu
hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan dan status perkawinan ibu, dan Akses terhadap
pelayanan kesehatan yang meliputi keterjangkauan lokasi tempat pelayanan kesehatan,
dimana tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis/ sulit dicapai oleh para ibu
menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan, jenis dan
kualitas pelayanan yang tersedia dan keterjangkauan terhadap informasi. Akses terhadap
tempat pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti lokasi dimana ibu
dapat memperoleh pelayanan kontrasepsi, pemeriksaan antenatal, pelayanan kesehatan
primer atau pelayanan kesehatan rujukan yang tersedia di masyarakat, serta Perilaku
penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi perilaku penggunaan alat
kontrasepsi, dimana ibu yang mengikuti program keluarga berencana (KB) akan lebih
jarang melahirkan dibandingkan dengan ibu yang tidak ber KB, perilaku pemeriksaan
antenatal, dimana ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur akan
17
HOSPITAL MAJAPAHIT
terdeteksi masalah kesehatan dan komplikasinya, penolong persalinan, dimana ibu yang
ditolong oleh dukun berisiko lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan
dengan ibu yang melahirkan dibantu oleh tenaga kesehatan, serta tempat persalinan,
dimana persalinan yang dilakukan di rumah akan menghambat akses untuk
mendapatkan pelayanan rujukan secara cepat apabila sewaktu waktu dibutuhkan
(Arulita, 2007).
Salah satu indikator kematian maternal yang lain adalah persalinan oleh tenaga
kesehatan. Komplikasi dan kematian maternal serta bayi baru lahir sebagian besar
terjadi dimasa persalinan. Hal ini disebabkan persalinan yang tidak dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (profesional) (Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur, 2010). Tenaga penolong persalinan yang tidak profesional akan
menyebabkan timbulnya bahaya pada ibu bersalin yang pada akhirnya berdampak pada
terjadinya kematian pada ibu nifas akibat kurang tepat dalam pengendalian perdarahan
yang terjadi pada masa nifas.
Variasi cakupan linakes (persalinan oleh tenaga kesehatan) antar propinsi dapat
menjelaskan 45% variasi AKI antar propinsi. Selain itu tidak ada hubungan antara rasio
bidan/ 1000 kelahiran dengan AKI. Jumlah bidan yang banyak tidak menjamin AKI
akan turun. Rasio bidan di desa yang tinggal di desa akan mampu menjelaskan 50,3%
jumlah desa dengan kematian ibu. Semakin tinggi rasio maka jumlah kematian semakin
rendah. Terdapat hubungan kuadratik yang sedang antara cakupan persalinan di fasilitas
kesehatan dengan kematian ibu. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan 95% hanya
dapat mencegah 3.138 kematian (43,66%) (Depkes RI, 2011).
3. Determinan jauh
Meskipun determinan ini tidak secara langsung mempengaruhi kematian
maternal, akan tetapi faktor sosio kultural, ekonomi, keagamaan dan faktor lain juga
perlu dipertimbangkan dan disatukan dalam pelaksanaan intervensi penanganan
kematian maternal. Termasuk dalam determinan jauh adalah status wanita dalam
keluarga dan masyarakat, yang meliputi tingkat pendidikan, dimana wanita yang
berpendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya,
sedangkan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya
pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil maupun bayinya
terutama dalam hal kegawatdaruratan kehamilan dan persalinan. Ibu ibu terutama di
daerah pedesaan atau daerah terpencil dengan pendidikan rendah, tingkat
independensinya untuk mengambil keputusanpun rendah. Pengambilan keputusan masih
berdasarkan pada budaya berunding yang berakibat pada keterlambatan merujuk.
Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang tanda tanda bahaya pada kehamilan
mendasari pemanfaatan sistem rujukan yang masih kurang. Juga ditemukan bahwa
faktor yang berpengaruh paling penting dalam perilaku mencari pelayanan kesehatan
antenatal adalah pendidikan. Lebih dari 90% wanita yang berpendidikan minimal
sekolah dasar telah mencari pelayanan kesehatan antenatal. Pekerjaan ibu, dimana
keadaan hamil tidak berarti mengubah pola aktivitas bekerja ibu hamil sehari hari. Hal
tersebut terkait dengan keadaan ekonomi keluarga, pengetahuan ibu sendiri yang
kurang, atau faktor kebiasaan setempat. Kemiskinan dapat menjadi sebab rendahnya
peran serta masyarakat pada upaya kesehatan. Kematian maternal sering terjadi pada
kelompok miskin, tidak berpendidikan, tinggal di tempat terpencil, dan mereka tidak
memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian non reaktif atau unobstrusif measures
karena pada pengukuran variable penelitian yang akan digunakan peneliti menggunakan
18
HOSPITAL MAJAPAHIT
data sekunder. Unit analisis dalam penelitian ini adalah data ibu tiap puskesmas baik
pustu maupun puskesmas pembina di seluruh Propinsi Jawa Timur yang terdapat di
Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010 yang terdiri dari data tentang
jumlah kematian ibu (Y), Cakupan K1(X1), Cakupan K4(X2), Cakupan Fe1 (X3),
Cakupan Fe3 (X4), Cakupan TT2 plus (X5), TT5(X6), Persalinan oleh Nakes (X7),
Pelayanan Nifas (X8) dan Jumlah Komplikasi kehamilan (X9). Langkah awal dalam
penelitian ini adalah dimulai dengan pengujian distribusi data menggunakan uji
Kolmogorov Smirnov 1 sampel. Pengujian dilakukan untuk membuktikan bahwa bentuk
distribusi variabel angka kematian ibu (Y) mengikuti distribusi Poisson. Apabila data
berdistribusi Poisson maka dilanjutkan dengan analisis regresi Poisson. Dalam analisis
regresi Poisson dilakukan penaksiran parameter model regresi Poisson dan ditentukan
model yang paling fit terhadap data. Kemudian menghitung nilai Devians untuk
mengidentifikasi overdispersi. Jika terjadi overdispersi maka dilanjutkan dengan
estimasi parameter model log dan logit, menguji kesesuaian model serta menguji
parameter secara parsial menggunakan regresi ZIP. Langkah selanjutnya adalah
pengujian model terbaik yang dilakukan dengan menggunakan AIC
D. HASIL PENELITIAN
Uji distribusi Poisson dilakukan dengan menggunakan histogram sebagai
berikut:
19
HOSPITAL MAJAPAHIT
Tabel 1 Hasil Analisa Regresi Linier Dalam Pemodelan Angka Kematian Ibu di
Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Parameter
Estimasi
SE
t-value
Pr(>|t|)
Intercept
0.7528273 0.5708559
1.319
0.1876
K1 (X1)
0.0052943 0.0087845
0.603
0.5469
K4(X2)
- 0.0052973 0.0076369 - 0.694
0.4881
Fe1 (X3)
0.0091057 0.0069870
1.303
0.1928
Fe3 (X4)
- 0.0047461 0.0066123 - 0.718
0.4731
TT2 plus (X5)
0.0005714 0.0007570
0.755
0.4506
TT5 (X6)
- 0.0007916 0.0035511 - 0.223
0.8237
Linakes (X7)
- 0.0110654 0.0049171 - 2.250
0.0247
Pelayanan Nifas (X8)
0.0063417 0.0035045
1.810
0.0707
Komplikasi Kehamilan - 0.0020246 0.0016935 - 1.195
0.2322
(X9)
SE Residual : 1.984
DF = 937
R2 : 0.01375
Adj R2 : 0.00428
F-statistic : 1.452
P value : 0.1615
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Hasil analisa pada tabel 1 dengan menggunakan regresi linier menunjukkan bahwa F
hitung sama dengan 1.452 dengan nilai p (0,1615) > (0,05). Sehingga disimpulkan bahwa
model tidak signifikan. Selain itu dilihat dari nilai R squared juga menghasilkan nilai yang
sangat kecil yakni sebesar 0,01375. Nilai tersebut berarti bahwa hanya 1,375 % angka
kematian ibu dapat dijelaskan oleh K1, K4, Fe1, Fe3, TT 2 plus, TT5, linakes, pelayanan nifas
dan komplikasi persalinan. Sehingga dengan demikian menggunakan regresi linier sederhana
tidak mampu menjelaskan pengaruh variabel prediktor terhadap variabel respons. Penggunaan
regresi linier juga tidak tepat pada model faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu di
Propinsi Jawa Timur sebab dalam uji asumsi regresi model tersebut tidak terpenuhi syarat
homoscedatisitas pada residual, dan tidak linier serta mengikuti bentuk distribusi Poisson.
Tabel 2 Hasil Analisa Regresi Poisson Dalam Pemodelan Angka Kematian Ibu di
Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
- 0.1527589 0.3443422 - 0.444
0.657314
K1 (X1)
0.0089259 0.0054856
1.627
0.103704
K4(X2)
- 0.0055043 0.0046707 - 1.178
0.238605
Fe1 (X3)
0.0156690 0.0045104
3.474 0.000513 ***
Fe3 (X4)
- 0.0067524 0.0040979 - 1.648
0.099405 .
TT2 plus (X5)
0.0007453 0.0004048
1.841
0.065605
TT5 (X6)
- 0.0007843 0.0022647 - 0.346
0.729102
Linakes (X7)
- 0.0161938 0.0036319 - 4.459 8.24e-06 ***
Pelayanan Nifas (X8)
0.0020245 0.0012797
1.582
0.113637
Komplikasi Kehamilan (X9) - 0.0031706 0.0010929 - 2.901
0.003718 **
Null Deviance : 1564.7
df: 946
Residual Deviance : 1495.3
df: 937
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
20
HOSPITAL MAJAPAHIT
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai null deviance yang menunjukkan sebesar 1564,7
dibandingkan dengan X2 tabel pada sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan 946
sebesar 1018.6630. Nilai p (2.91554E-33) jauh lebih kecil dibandingkan dengan (0.05).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa tanpa melibatkan variabel prediktor, model tersebut
signifikan. Demikian pula dengan Nilai Residual Deviance menunjukkan 1495.3
dibandingkan dengan nilai X2 tabel pada sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan
937 adalah sebesar 1009.3188. Nilai p (2.25521E-28) jauh lebih kecil dari (0.05). Nilai
tersebut menunjukkan bahwa dengan melibatkan semua variabel prediktor maka model
tersebut signifikan. Hasil dari anlisis regresi Poisson didapatkan hanya 3 variabel prediktor
yang valid yaitu cakupan Fe1, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan
cakupan komplikasi kehamilan. Namun hasil analisa regresi Poisson tidak mungkin
digunakan akibat terjadinya overdispersi dan inflasi dari nilai 0. Estimasi menggunakan
Poisson akan berdampak pada ketidaktepatan hasil estimasi karena dua indikasi tersebut.
Sehingga dilanjutkan pada estimasi menggunakan Zero Inflated Poisson Regression (ZIP
Regression).
Hasil uji ZIP pada model 1 menunjukkan nilai G (1080) lebih besar dibandingkan
dengan nilai 2 tabel pada sama dengan 5% (1012,4335) dan nilai p sebesar 0,000979.
Sehingga model ZIP1 adalah signifikan, artinya secara bersama-sama angka kematian ibu
ditentukan oleh pengaruh variabel prediktor K1, K4 Fe1, Fe 3, TT2 plus, TT5, Linakes,
Pelayanan Nifas dan Komplikasi Kehamilan.
Tabel 3 Pengujian Parameter Model Log pada Model 1
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept (0)
4.2128
0.5304
7.943
1.97e-15***
K1 (1)
- 0.0073
0.0060
- 1.204
0.228461
K4(2)
0.0075
0.0052
1.439
0.150030
Fe1 (3)
0.0111 0.0052
2.117 0.034264*
Fe3 (4)
- 0.0079
0.0044
- 1.789
0.073665
TT2 plus (5)
0.0008
0.0006
1.282
0.199996
TT5 (6)
- 0.0030
0.0030
- 0.997
0.318549
Linakes (7)
- 0.0500 0.0047
-10.734 <2e-16***
Pelayanan Nifas (8)
0.0045
0.0015
3.039
0.002377**
Komplikasi Kehamilan (9) - 0.0047
0.0013
- 3.669 0.000243***
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Pengujian parameter secara individu ada 2 yaitu dengan pengujian parameter model
log dan pengujian parameter model logit. Hasil pengujian parameter model log pada tabel 3
menunjukkan bahwa hanya terdapat 4 variabel yang valid yaitu cakupan Fe1 (X3), cakupan
persalinan oleh nakes (X7), cakupan pelayanan nifas (X8), dan cakupan komplikasi
kehamilan (X9). Maka model yang terbentuk adalah sebagai berikut:
artinya
log( i )
0,0046518komplikasi _ kehamilan
21
HOSPITAL MAJAPAHIT
artinya
22
HOSPITAL MAJAPAHIT
23
HOSPITAL MAJAPAHIT
Tabel 9 Perbandingan Nilai AIC pada Regresi Linier, Poisson dan ZIP
Model
AIC
Model Regresi Linier
3996.563
Model Regresi Poisson
2392.636
Model Regresi ZIP
2199.391
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Nilai AIC pada ZIP dalam tabel 9 jauh lebih rendah dibandingkan kedua jenis regresi
lainnya pada pengujian model secara lengkap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika
dibandingkan dengan bentuk regresi linier dan Poisson, ZIP jauh lebih baik dalam
mengendalikan inflasi dari nilai 0 dan overdispersi, sebab model yang terbaik dalam
menggambarkan faktor yang mempengaruhi kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010
adalah ZIP.
Tabel 10 Perbandingan Nilai AIC pada Model ZIP ke 1, 2 dan 3
Model
AIC
Model 1
2199.391
Model 2
2192.405
Model 3
2205.193
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Tabel 10 menjelaskan bahwa nilai AIC pada analisa menggunakan ZIP antara model
ke-1 sampai ke-3 disimpulkan bahwa model yang terbaik adalah model yang kedua.
Perhitungan besarnya pengaruh setiap parameter terhadap kematian ibu berdasarkan
model ke 2 dapat dijelaskan bahwa Jika variabel yang lain adalah konstan maka peranan
cakupan penolong persalinan dapat dihitung sebesar exp (-0,050655)= 0,95 ~ 1. Maka setiap
peningkatan 1% cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak
pada penurunan rerata kematian ibu sebesar 1 orang. Sedangkan peranan cakupan pelayanan
nifas oleh tenaga kesehatan dapat dijelaskan berdasarkan exp (0,004500) = 1,004 ~ 1. Maka
setiap peningkatan 1% cakupan pelayanan masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan
berdampak pada peningkatan rerata kematian ibu sebesar 1 orang. Besarnya pengaruh
cakupan komplikasi kehamilan yakni sebesar exp (-0,004528) = 0,995 ~ 1. Maka setiap
peningkatan 1% cakupan komplikasi kehamilan yang ditangani oleh tenaga kesehatan maka
akan berdampak pada penurunan 1 orang kematian ibu.
Hasil parameter model logit didapatkan bahwa jika parameter lain dianggap konstan
maka peningkatan 1% pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak
pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali dan peningkatan 1% pelayanan
masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas
kematian ibu sebanyak 0,5 kali.
Model ke 2 menghasilkan nilai rerata jumlah kematian ibu () sebesar 1,36 dan varian
sebesar 0,92 serta rerata peluang tidak terjadi kematian ibu di puskesmas sebesar 0,5021. Jika
dibandingkan dengan nilai dan varian sebelum menggunakan model maka disimpulkan
model ZIP mampu menekan varian sehingga mengendalikan overdispersi yang terjadi pada
data kematian ibu. Pada pengujian koefisien overdispersi terjadi penurunan koefisien
overdispersi sebelum menggunakan ZIP sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih
kecil. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP merupakan salah satu metode yang dapat
mengatasi masalah overdispersi pada data yang mengalami banyak inflasi akibat nilai 0
melebihi 63,7% dari total data.
24
HOSPITAL MAJAPAHIT
E. PEMBAHASAN
Regresi Zero Inflated Poisson digunakan pada data dengan variable dependen (Y)
yang berdistribusi Poisson. Distribusi Poisson diaplikasikan pada kejadian dalam bentuk
count (jumlah). Angka kematian ibu dalam profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur
merupakan data yang berbentuk jumlah (count). Distribusi Poisson merupakan distribusi
variabel random diskrit namun untuk suatu peristiwa yang jarang terjadi. Kematian ibu
merupakan suatu kejadian yang jarang terjadi. Hal ini terbukti bahwa pada banyak unit
pengamatan terdapat banyak nilai 0 (tidak terjadi kematian ibu).
Distribusi Poisson merupakan distribusi diskrit. Untuk nilai yang kecil maka
distribusinya sangat menceng dan untuk nilai yang besar akan lebih mendekati distribusi
normal. Untuk kasus yang jarang terjadi maka nilai akan kecil. Hal ini juga terjadi pada
data angka kematian ibu dengan nilai rata-rata kurang dari 1 namun standar deviasi lebih
dari 1. Angka ini terjadi karena kasus memang sangat jarang terjadi serta heterogen pada
setiap puskesmas. Nilai pengamatan dalam distribusi Poisson selalu positif dan tidak
pernah negatif.
Masalah yang sering terjadi dalam distribusi Poisson adalah inflasi dari nilai 0.
Kasus yang gagal terjadi atau kegagalan suatu pengamatan mengakibatkan munculnya
nilai 0 pada data. Nilai 0 pada data mengakibatkan ketidaktepatan dalam melakukan
estimasi. Histogram pada gambar 1 menjelaskan bahwa nilai 0 terdapat pada lebih dari
63,7 % data. Dua metode yang bisa diaplikasikan untuk inflasi nilai 0 antara lain model
Zero Inflated Poisson (ZIP) dan Zero Inflated Binomial Negatif (ZINB). Tetapi
penggunaan ZINB tidak memungkinkan karena data tidak mengikuti bentuk distribusi
binomial negatif. Keberadaan inflasi dari nilai 0 adalah menjelaskan bahwa kejadian
kematian ibu di Propinsi Jawa Timur adalah suatu kasus yang sangat jarang terjadi di
setiap puskesmas.
Angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 mempunyai indikasi
mengalami overdispersi. Multikolinieritas merupakan pendorong terjadinya overdispersi.
Hasil analisa asumsi regresi menunjukkan bahwa nilai VIF (Variance Inflation Factor)
menunjukkan nilai < 10. Sehingga pada semua variabel prediktor menunjukkan tidak
terjadi multikolinieritas. Jadi overdispersi dalam kasus di Propinsi Jawa Timur murni
terjadi karena kegagalan terjadinya suatu kasus atau akibat nilai 0 yang berjumlah terlalu
banyak pada variabel kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
Kejadian overdispersi dalam distribusi Poisson mengakibatkan ketidaktepatan
model yang dibentuk, selain itu overdispersi mengakibatkan estimasi yang kurang tepat
terhadap parameter model regresi. Implikasi dari tidak terpenuhinya equidispersion adalah
regresi Poisson tidak sesuai lagi untuk memodelkan data. Selain itu, model yang terbentuk
akan menghasilkan estimasi parameter yang bias. Overdispersion juga akan membawa
konsekuensi pada nilai penduga bagi kesalahan baku yang lebih kecil (underestimate)
yang selanjutnya dapat mengakibatkan kesalahan (misleading) pada inferensia bagi
parameternya (Istiana, 2011). Salah satu alternatif metode yang dapat menyelesaikan
masalah over ataupun underdispersi dalam regresi Poisson adalah ZIP.
Penelitian Raihana (2009), menjelaskan bahwa overdispersi pada regresi Poisson
menyebabkan underestimate standar error yang menyebabkan inferensi yang salah sebagai
konsekuensinya. Regresi Poisson paling sesuai untuk data yang tidak mengalami
overdispersi, sedangkan untuk data yang mengalami overdispersi paling baik
menggunakan ZIP dan ZINB. Pamungkas (2003) menjelaskan bahwa pada data yang
mengalami overdispersi dan dimodelkan dengan Poisson memiliki nilai kesalahan mutlak
yang besar dan mendekati 1, sedangkan pada data yang tidak mengalami overdispersi dan
dimodelkan menggunakan regresi Poisson memiliki kesalahan mutlak yang kecil dan
25
HOSPITAL MAJAPAHIT
mendekati nol. Pada jumlah data (n) yang kecil, estimator yang dihasilkan data
overdispersi cenderung membesar sedangkan pada data yang tidak overdispersi cenderung
mendekati nilai yang sesungguhnya (kesalahan mutlak kecil).
Pemilihan model terbaik ditentukan menggunakan Akaikes Information Criterion
(AIC). Bila dibandingkan antara penggunaan Regresi linier, Poisson dengan ZIP, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan ZIP jauh lebih bagus dibandingkan linier dan Poisson.
Penggunaan regresi linier tidak dimungkinkan sebab asumsi regresi yang tidak terpenuhi.
Asumsi yang tidak terpenuhi menyebabkan ketidaktepatan pada estimasi yang dihasilkan.
Regresi linier adalah metode statistika yang digunakan untuk membentuk model
hubungan antara variabel terikat (dependen; respon; Y) dengan satu atau lebih variabel
bebas (independen, prediktor, X). Apabila banyaknya variabel bebas hanya ada satu,
disebut sebagai regresi linier sederhana, sedangkan apabila terdapat lebih dari 1 variabel
bebas, disebut sebagai regresi linier berganda. Analisis regresi linier memiliki 3
kegunaan, yaitu untuk tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang
diteliti, untuk tujuan kontrol, serta untuk tujuan prediksi. Regresi linier mampu
mendeskripsikan fenomena data melalui terbentuknya suatu model hubungan yang
bersifatnya numerik. Regresi juga dapat
digunakan untuk melakukan pengendalian
(kontrol) terhadap suatu kasus atau hal-hal yang sedang diamati melalui penggunaan
model regresi yang diperoleh. Selain itu, model regresi juga dapat dimanfaatkan
untuk melakukan prediksi untuk variabel terikat. Namun yang perlu diingat, prediksi di
dalam konsep regresi hanya boleh dilakukan pada data berskala kontinu, bukan diskrit
seperti jumlah kematian ibu.
Sebelum menggunakan ZIP, data angka kematian ibu dipastikan telah mengalami
overdispersi. Koefisien overdispersi pada hasil analisa regresi Poisson lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil analisa menggunakan ZIP. Walaupun masih ada indikasi
terjadi overdispersi karena nilai 2 / db (1,636) masih lebih besar daripada 1 namun angka
ini jauh lebih menurun dibandingkan nilai 2 / db pada Poisson yaitu 5,913. Nilai deviance
perhitungan model regresi Poisson dengan ZIP juga relatif berbeda. Deviance pada model
yang dihasilkan oleh ZIP jauh lebih besar bila dibandingkan dengan model yang
dihasilkan Poisson. Koefisien overdispersi juga telah mengalami penurunan dibandingkan
sebelum menggunakan ZIP yaitu sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih kecil.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa ZIP lebih mampu mengendalikan overdispersi pada
regresi Poisson, walaupun kurang maksimal.
Hasil penelitian Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A (2011)
dalam British Journal of Mathematical and Statistical Psychology tentang perbandingan
ZIP dengan berbagai analisis data count yang mengandung nilai 0 menjelaskan bahwa ZIP
memiliki angka AIC yang lebih rendah dibandingkan Poisson, sehingga ZIP jauh lebih
baik dibandingkan dengan Poisson dalam mengestimasi data yang banyak mengandung
nilai 0. Namun bila dibandingkan dengan hasil penelitian dari Ridout, Hinde, Demtrio,
(2001) tentang perbandingan model antara regresi ZIP dengan ZINB (Zero Inflated
Binomial Negatif ) dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien dispersi pada ZIP masih
diatas 1 sedangkan penggunaan ZINB sudah mampu menurunkan nilai koefisien dispersi
sampai sedikit dibawah atau sama dengan 1. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP masih
kurang baik dalam mengendalikan koefisien dispersi pada data skor dengan angka nol
yang banyak.
Artikel yang ditulis oleh Xue, D.C., Ying, X.F., (2010) tentang model regresi zero
inflated yang digunakan pada missing covariate dengan jumlah nilai missing berkisar
antara 12 sampai 27 % menunjukkan bahwa ZIP mempunyai AIC yang relative lebih
bagus dibandingkan dengan Poisson, ZINB, dan Negatif Binomial. Hal ini menegaskan
26
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
akibat persalinan dan masa nifas, sehingga kematian ibu dapat dicegah. Pelayanan masa
nifas yang tepat mampu mengatasi komplikasi yang terjadi akibat persalinan dan kelainan
yang muncul setelah proses persalinan. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
yang profesional dapat menurunkan angka kematian ibu.
F. PENUTUP
Rerata kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 sebesar 1,36
dengan varian sebesar 0,92. Rerata probabilitas tidak terjadi kematian ibu di setiap
puskesmas tahun 2010 adalah sebesar 0,5021. Data angka kematian ibu di Propinsi Jawa
Timur tahun 2010 mengikuti bentuk distribusi Poisson dan mengalami overdispersi.
Estimasi parameter model log menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, pelayanan nifas, dan komplikasi kehamilan mempengaruhi jumlah kematian
ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010, sedangkan estimasi parameter model logit
menunjukkan bahwa probabilitas kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun
2010 dipengaruhi oleh persalinan oleh tenaga kesehatan, dan pelayanan masa nifas.
DAFTAR PUSTAKA
Andres, N. D. 2011. Pemodelan Penyakit Malaria Di Provinsi Jawa Barat Dengan Regresi
Zero-Inflated Poisson. http://repository.upi.edu (sitasi tanggal 20 Maret 2012. pukul
20.09 WIB))
Arulita. 2007. Faktor-faktor Resiko yang Mempengaruhi Kematian Maternal (Studi Kasus di
Kabupaten Cilacap). Tesis. FKM-Universitas Diponegoro Semarang.
Bohning, D., Dietz, E., Schlattmann, P. 2012. Zero Inflated Count Model and Their
Applications in Public Health and Social Science. Paper dalam http://www.ipn.unikiel.de (sitasi tanggal 06 Maret 2012 pukul 08.03 WIB).
Cameron AC dan Trivedi PK. 1998. Regression Analysis of Count Data. Cambridge:
Cambridge University.
Dinkes Kabupaten Cirebon. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2006. Cirebon:
Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon.
Fauziah dan Sutejo. 2012. Keperawatan Maternitas Kehamilan. Vol 1. Jakarta: Kencana.
Famoye, F., & Singh, K.P. 2006, Zero-Inflated Generalized Poisson Regression Model with
an Application to Domestic Violence Data. Journal of Data Science 4 (2006) 117-130
Famoye, F., Wulu, J.T., & Singh, K.P. 2004. On The Generalized Poisson Regression Model
with an Application to Accident Data. Journal of Data Science, 2 (2004) 287-295
Firani, N.K. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Hamil dengan Perilaku Ibu dalam
Memilih Penolong Persalinan di Desa Curah Mojo Kabupaten Mojokerto. Ejournal.
uin-malang.ac.id tanggal sitasi 8 Juli 2012.
Giuffrida, A., Iunes, R.F., dan Macias, H. 2001, Workers Health in Latin America: An
Econometrics Analysis of Work Related Injuries, jurnal Health Note No.5, Inter
American Development Bank, Washington DC.
Hall, BB & Shen J. 2009. Robust Estimation For Zero Inflated Poisson Regression.
Scandinavian Journal of Statistic, Blackwell Publishing Ltd.
Hardin, J.W dan Hilbe, J.M. 2007. Generalized Linier Models and Extensions. Texas: Stata
press.
Istiana, Nofita. 2011. Overdispersion (overdispersi) pada Regresi Poisson. Dalam
http://www.nofitaistiana.wordpress.com (sitasi tanggal 18 Juni 2012 pukul 9.50 am).
Jansakul N dan Hinde, JP. 2001. Score Test For Zero Inflated Poisson Models. Journal
Computational Statistics & Data Analysis. 40. 75-96.
28
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
Ruru, Y., & Barrios, E.B. 2003, Poisson Regression Models of Malaria Incidence in
Jayapura, Indonesia, jurnal The Philippine Statistician, Vol. 52, No.1-4, pp. 27-38.
Rusliah. 2011. Distribusi Binomial dan Poisson. Dalam http://azulfachri.wordpress.com
(sitasi tanggal 5 Mei 2011 pukul 08.55 WIB).
Setyaningrum, N. 2011. Pemodelan Regresi Zero Inflated Poisson (ZIP) tentang FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penyakit Tuberculosis (TBC) di Kabupaten Sorong
Selatan. Skripsi. FMIPA-ITS.
Simkin, Whalley dan Keppler. 2001. Panduan Lengkap, Kehamilan, Melahirkan dan Bayi.
Jakarta: Arcan
Sulistyawati, A. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. Jakarta: Salemba Medika.
Sumarminingsih.
2011.
Overdispersi
dan
Underdispersi
dalam
http://www.enistat.lecture.ub.ac.id (Sitasi tanggal 18 Juni 2012 pukul 10.17 am).
Suparman. 2007. Antenatal Care dan Kematian Maternal. Jurnal Penduduk dan
Pembangunan. Volume 7 Nomor 1, Juni 2007: hal 7-14.
Taimela, S., Laara, E., Malmivaara, A., Tiekso, J., Sintonen, H., Justen, S., dan Aro, T. 2007.
Self-reported Health Problems and Sickness Absence in Deifferent Age Groups
Predominantly Enggaged in Physical Work. Paper. http:// www. occenvmed.com.
download dari oem.bmj.com (sitasi pada 19 Maret 2012).
Varney, H., Kriebs, J..M., Gegor, C.L. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 1.
Jakarta: EGC.
WHO. 2012. Maternal mortality ratio (per 100 000 live births). Dalam
http://www.who.int/healthinfo/statistics/indmaternalmortality/en/index.html
(sitasi
tanggal 7 Maret 2012 pukul 14.16 WIB).
WHO. 1999. Reduction of maternal mortality. A joint WHO/ UNFPA/ UNICEF/ World bank
statement. Paper. Geneva.
Widarjono, A. 2010. Analisis Statistika Multivariate Terapan. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Wulandari SP, Salamah M & Susilaningrum D, 2009. Diktat Pengajaran Analisis Data
Kualitatif. Surabaya: Jurusan Statistika ITS.
Xue, D.C., Ying, X.F. 2010. Model selection for zero-inflated regression with missing
covariates. Computational Statistics and Data Analysis Journal Vol 55. p.765-773.
Tahun 2011.
Yamin, S., Rachmah, L.A., Kurniawan, H. 2011. Regresi dan Korelasi dalam Genggaman
Anda. Jakarta: Salemba Empat
Yasril. 2009. Analisis Multivariate Untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia
Jogjakarta Press
Zainordin, R. 2009. Regresi Poisson. Malaysia: University of Technology Malaysia.
Ziraba, A.K., Madise, N., Mills, S., Kyubutungi, C., Ezeh, A. 2009. Maternal Mortality in
The Informal Setlements of Nairobi city: What do we know?. Jurnal Kesehatan
Reproductive Health. UGM tahun 2009.
30
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
Perubahan morfologi ovarium lebih jelas terlihat pada SOPK yang resisten insulin, yang
menunjukkan bahwa hiperinsulinemia mempengaruhi morfologi dan fungsi ovarium 2.
Goldseher dan Young (1992) mengatakan bahwa pada SOPK didapatkan 20-50% mengalami
resistensi insulin, menyatakan bahwa 80% dari SOPK diakibatkan oleh terjadinya resistensi
insulin 3.
Menurut Sheehan et al (2003) menyatakan bahwa peningkatan kadar testosterone
dalam darah akan menyebabkan ratio Follicle Stimulating Hormone (FSH) / Luteinizing
Hormone (LH) terganggu dan bila kondisi ini dibiarkan tanpa penanganan segera akan
menyebabkan sistik/ kista pada ovarium. Terjadi karena adanya hubungan umpan balik
mekanisme dengan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga tidak pernah terjadi kenaikan
yang cukup adekuat terhadap kadar FSH. Kenaikan kadar hormone LH merangsang sintesa
androgen, sedangkan peningkatan kadar androstenedion di perifer di ubah menjadi estron.
Kenaikan kadar testosterone akan menekan sekresi Sex Hormone Binding Globulin (SHBG)
di hati, sedangkan kadar testosteron dan estradiol bebas meningkat. Kenaikan kadar estron
dan estradiol akan memberikan umpan balik positif terhadap LH, sehingga kadar LH lebih
meningkat lagi.Sedangkan kadar FSH tetap rendah tetapi masih terjadi pertumbuhan folikel,
akibatnya terjadi penumpukan folikel kecil berjajar tetapi tidak membesar dan tidak ovulasi4.
Penelitian pendahuluan pemberian Testosteron Propionat (TP) selama 14 hari akan
didapatkan suatu keadaan yang menyerupai SOPK dengan ciri-ciri tidak didapatkannya
corpus luteum, adanya ovarium polikistik, hipertekosis pada stroma serta penipisan/atresi sel
granulosa. Pemberian TP selama 21 hari mulai didapatkan keadaan resistensi insulin. TP
selama 28 hari yang lebih bermakna keadaan resistensi insulin. Keadaan hiperandrogen dapat
mempengaruhi indeks resistensi insulin serta kadar asam lemak bebas di serum. Semakin
lama paparan androgen yang diberikan, maka indeks resistensi insulin dan kadar asam lemak
bebas akan meningkat5.
Sambiloto adalah salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat anti diabetes
mellitus. Herbal dan percabangannya mengandung diterpen lakton yang terdiri dari
Andrografolide (zat pahit)6. Ekstrak sambiloto dapat merangsang pelepasan insulin dan
menghambat absorbsi glukosa melalui penghambatan enzim alfaglukosidase dan alfaamilase. Enzim glukosidase (maltase, isomerase, glukomerase dan sukrase) berfungsi untuk
menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus sehingga inhibisi pada enzim ini dapat
mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorpsinya7. Dosis 2,0 g/ kg BB selama
14 hari ekstrak etanol herbal sambiloto merupakan kadar optimal yang dapat menurunkan
kadar glukosa tikus 8.
Sambiloto menjadi tren dalam penelitian dan digunakan sebagai obat yang dapat
menurunkan kadar gula darah (antidiabetik). Berdasarkan penelitian sebelumnya dijelaskan
ekstrak sambiloto dapat meningkatkan efektifitas receptor insulin, meningkatkan pengambilan
transport glucose Ekstrak etanol herba sambiloto secara bermakna menurunkan glukosa
darah mencit yang diinduksi dengan aloksan, artinya merangsang pelepasan insulin pada sel
yang tidak rusak sempurna7. Terlihat peningkatan ambilan glucose pada otot soleus tikus
setelah mendapat sambiloto intravena berulang selama 3 hari dan terdapat peningkatan
mRNA glucose transporter 4 (GLUT 4)7. Pada penelitian ini penulis berusaha memberikan
terapi alternative lain yaitu ekstrak sambiloto sebagai herbal medicine dalam pengobatan
SOPK- resistensi insulin yang biasanya menggunakan metformin. Mengingat akan etis
penelitian ini menggunakan tikus sebagai hewan coba dalam penelitian ini.
B. BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain randomized post test
only control group design. Digunakan hewan coba tikus Rattus norvegicus strain wistar
32
HOSPITAL MAJAPAHIT
sebagai model SOPK menggantikan manusia untuk penelitian lebih invasif yang selama ini
terhalang etis pada pelaksanaannya. Penelitian ini menggunakan injeksi testosteron propionat.
Hewan coba menggunakan tikus (Ratus norvegicus) dengan berat badan rata-rata 100
gram per ekor sebanyak 35 ekor yang dibagi menjadi lima kelompok terdiri atas satu
kelompok kontrol negatif, satu kelompok kontrol positif dan tiga kelompok perlakuan. Untuk
kelompok kontrol negatif tidak mendapat perlakuan, kelompok kontrol positif hanya dibuat
model SOPK-RI. Semua kelompok perlakuan dibuat model SOPK- RI dan diberi injeksi
intramuscular testosteron propionat 100 mg/kgBB selama 28 hari, selanjutnya hari ke 29-43
kelompok perlakuan (P1, P2, P3) diberikan ekstrak sambiloto dengan dosis 18, 36 dan 72
mg/kgBB yang dilarutkan dengan aquadest 1cc sedangkan kelompok kontrol negatif (K0)
hanya diberikan aquadest. Semuanya diberikan sonde.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga Surabaya dari bulan Mei 2013 sampai Juli 2013.
1. Pembuatan Ekstrak Sambiloto
Ekstraksi sambiloto dengan menggunakan freeze dryer. Prosedurnya adalah tahap
pertama : penyiapan bahan baku yang meliputi penyortiran, pencucian, penirisan dan
penjemuran. Sambiloto yang sudah dicuci bersih ditiriskan diatas rak pengering. Setelah
airnya ditiriskan, herba dikeringkan menggunakan alat pengering fresh dryer pada suhu 30 C.
Tahap kedua : ekstraksi. Serbuk sambiloto hasil tahap pertama diekstrak selama 6 jam dengan
menggunakan pelarut air dimana perbandingan bahan terhadap pelarut adalah 1:1. Setelah
diektrak, bahan didiamkan selama 24 jam, kemudian disaring menggunakan kertas saring
sehingga diperoleh filtrate (sari). Filtrat diuapkan dengan penguap berputar (rovator) pada
suhu 40 C sampai pelarutnya sudah tidak menetes sehingga dihasilkan ekstrask kental. Tahap
ketiga : pengolahan ektrak kental menjadi ekstrak kering.
2. Injeksi Testosteron Propionat pada tikus
Testosteron propionate diinjeksi sebanyak 0.1 ml dilakukan secara intramuskular pada
paha tikus setiap hari sekali dengan dosis 0,1 ml selama 28 hari6.
3. Pembuatan Preparat ovarium tikus
Pembuatan preparat ovarium dilakukan dengan langkah sebagai berikut: Pertama
Tahap Fiksasi yaitu Pada tahap ini, ovarium difiksasi pada larutan formalin 10% selama 1
jam,diulang sebanyak 2 kali pada larutan yang berbeda, Kedua Tahap Dehidrasi yaitu Pada
tahap ini, ovarium yang telah difiksasi kemudian didehidrasi pada larutan ethanol 70 %
selama 1 jam, kemudian dipindahkan dalam larutan ethanol 80%, dilanjutkan kedalam larutan
ethanol 95 % sebanyak 2 kali dan dalam ethanol absolut selama 1 jam dan diulang sebanyak 2
kali pada ethanol absolut yang berbeda, Ketiga Tahap Clearing (Penjernihan) yaitu Pada
tahap ini, ovarium yang telah didehidratasi kemudian diclearing untuk menarik kadar ethanol
dengan menggunakan larutan xylene I selama 1,5 jam dan dilanjutkan ke larutan xylene II
selama 1,5 jam.
Keempat Tahap Embedding,yaitu Pada tahapan ini, ovarium dimasukkan kedalam
kaset dan diinfiltrasi dengan menuangkan paraffin yang dicairkan pada suhu 60oC, kemudian
paraffin dibiarkan mengeras dan dimasukkan ke dalam freezer selama 1 jam, Kelima
Tahap Sectioning (pemotongan ) yaitu Pada tahapan ini, ovarium yang sudah mengeras
dilepaskan dari kaset dan dipasang pada mikrotom kemudian dipotong setebal 5 micron
dengan pisau mikrotom. Hasil potongan dimasukkan ke dalam water bath bersuhu 40oC untuk
merentangkan hasil potongan, hasil potongan kemudian diambil dengan objeck glass dengan
posisi tegak lurus dan dikeringkan, Keenam Tahap Staining (Pewarnaan) yaitu Hasil
potongan diwarnai dengan Hematoxilin eosin (pewarnaan HE) melalui tahapan sebagai
berikut :
33
HOSPITAL MAJAPAHIT
Preparat direndam dalam larutan xylene I selama 10 menit, lalu preparat diambil dari
xylene I dan direndam dalam larutan xylene II selama 5 menit, kemudian preparat diambil dari
xylene II dan direndam dalam ethanol absolut selama 5 menit, lalu preparat diambil dari
ethanol absolut dan direndam dalam ethanol 96 % selama 30 detik, preparat kemudian
diambil dari ethanol 96% dan direndam dalam ethanol 50% selama 30 detik, lalu preparat
diambil dari ethanol 50% dan direndam dalam running tap water selama 5 menit, lalu preparat
diambil dari running tap water dan direndam dalam meyer hematoshirin selama 1-5 menit.
Preparat yang ada dalam meyer diambil dari larutan meyer dan direndam dalam running
tap water selama 2-3 menit. lalu preparat diambil dari running tap water dan direndam dalam
pewarna eosin selama 1-5 menit, lalu preparat diambil dari larutan eosin kemudian
dimasukkan dalam ethanol 75 % selama 5 detik, kemudian dimasukkan ke dalam ethanol
absolute selama 5 detik diulang 3 kali pada ethanol absolut yang berbeda, lalu preparat
diambil dan direndam dalam xylene III selama 5 menit, kemudian dipindahkan dalam xylene
IV selama 5 menit dan terahir dipindahkan kedalam xylene V selama 10 menit, lalu preparat
diangkat dan dikeringkan, kemudian yang terakhir preparat ditutup menggunakan deckglass..
4. Pemeriksaan Elisa
Pemeriksaan hormon menggunakan tehnik kompetitif dan sandwich.
Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak
berlabel dan terjadi kompetisi membentuk kompleks yang terbatas dengan antibodi spesifik
pada fase padat. Prinsip dasar dari sandwich assay adalah sampel yang mengandung antigen
direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan fase padat. Selanjutnya
ditambahkan antibodi spesifik kedua yang berlabel enzim dan ditambahkan substrat dari
enzim tersebut.
Prinsip ELISA : agar terjadi suatu reaksi warna pada ELISA, maka dibutuhkan suatu
antibody yang dilabel enzim dan subrat yang diberi indicator warna yang dikenal dengan
kromogen.
Enzim yang digunakan untuk melabel antibody adalah Horseadish geroksidase. Pada
ELISA bahan yang dideteksi sebelumnya harus ditempelkan pada fase padat (pada microtiter
well). Bahan (Ag/Ab) dapat menempel pada microtiter well ini telah dilapisi dengan
polysterine / polyvinylchloride (Aulanniam,2004). Prinsip dasar ELISA terdiri dari a) Fase
coating, b) Fase reaksi Ag-Ab, c) Fase reaksi kimiawi.
5. Analisis Data
Analisis data menggunakan Multivariat Analisis Of Varian (MANOVA).
C. HASIL PENELITIAN
Data hasil penelitian diuji statistik menggunakan SPSS, hasil uji non parametrik One
Sample Kolmogrov-Smirnov menunjukkan data terdistribusi normal dengan nilai Z > 0,05.
Selanjutnya dilakukan uji Multivariate Analyze of Variance dengan nilai p < 0,05 pada
variabel kadar insulin dan perkembangan folikel. Untuk variabel dengan nilai p < 0,05
dilakukan uji Post Hoc Fishers LSD untuk menganalisis varians signifikan antar kelompok
perlakuan.
1. Pengaruh Ekstrak Sambiloto terhadap Kadar Insulin dan Perkembangan Folikel pada tikus
model SOPK-Resistensi insulin
Hasil pengukuran terhadap kadar insulin pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
dapat dilihat pada gambar di bawah. Pada gambar tersebut tampak bahwa rata-rata kadar
insulin dan perkembangan folikel pada kelompok kadar insulin sebesar 8.363.03, sedangkan
34
HOSPITAL MAJAPAHIT
untuk kelompok perkembangan folikel primer adalah 6.002.61; folikel sekunder 5.402.72;
folikel tersier 3.401.93dan folikel de graff 0.561.15.
Dari gambar tersebut tampak bahwa ekstrak sambiloto dapat kadar insulin dan
perkembangan folikel dengan didapatkan dari uji normalitas berdistribusi normal yang
kemudian dilanjutkan dengan uji Manova.
2. Pengaruh Ekstrak Sambiloto Terhadap Perkembangan Folikel tikus
Gambar ini mewakili macam-macam gambar folikel dijumpai selama pengamatan.
35
HOSPITAL MAJAPAHIT
Gambar berikut yang memuat hasil penelitian ini menunjukkan hasil uji manova dapat
dilihat pada gambar tersebut.
36
HOSPITAL MAJAPAHIT
37
HOSPITAL MAJAPAHIT
2. Perkembangan Folikel
Dari hasil analisa uji manova pada folikel primer diperoleh nilai signifikansi 0.031
(p<0,05) artinya ada perubahan perkembangan folikel primer yang nyata antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan, yaitu kelompok P2 dan P1 < K-. Peningkatan jumlah folikel
primer tersebut besar kemungkinan kandungan ekstrak sambiloto mampu meningkatkan
jumlah folikel primer dengan memperbaiki keadaan reproduksi dengan asumsi dapat menjaga
kualitas sel granulosa. Ekstrak sambiloto mengandung bahan aktif saponin. Dalam kajian
fertilitas, komposisi diterpen lactone atau saponin ini sangat dibutuhkan untuk melindungi selsel granulosa. Hal tersebut sesuai dalam penelitian menyatakan bahwa bahan aktif yang
terkandung dalam Centella asiatica (L.) terutama dari golongan triterpenoid (diterpen lactone)
juga penting untuk penjagaan kualitas sel-sel granulosa, yang selanjutnya sel-sel granulosa ini
sangat dibutukan untuk menjaga kualitas sel telur.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Suheimi (2007), bahwa reseptor FSH hanya
ditemukan di sel-sel granulosa yang penting untuk mengendalikan perkembangan folikel.
Selain FSH sebagai regulator utama perkembangan folikel dominan, growt faktor yang
dihasilkan oleh folikel dapat bekerja melalui mekanisme autokrin dan parakrin, memodulasi
kerja FSH, dan menjadi faktor penting yang berpengaruh. yang mana sel granulosa ini sangat
di butuhkan untuk menjaga sel telur yang membentuk sel jaringan pengikat di dalam kortex
ovarium yang menjadi tempat berkembangnya folikel. Dan bahwa sel granulosa terdapat
reseptor hormon FSH dan LH yang dibutuhkan untuk perkembangan folikel (Suheimi 2007).
Folikel sekunder didapatkan nilai signifikansi sebesar 0.103 (p>0,05) dan folikel tersier
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.378 (p>0,05) dari uji manova artinya tidak ada pengaruh
perubahan yang nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Di sebabkan
mekanisme yang mengendalikan dan mengawali proses pertumbuhan folikel sekunder.
Dengan asumsi pemberian ekstrak sambiloto selama 4 siklus tidak memperbaiki keadaan
insulin dan keadaan reproduksinya. Yang tercapai hanya keadaan resistensi insulin. Dengan
keadaan seperti itu berarti resistensi insulin menurunkan SHBG dan mensekresi androgen
berlebih, menekan FSH dan tidak terjadi aromatisasi yang dapat menghambat pertumbuhan
folikel.
Pertumbuhan folikel dipengaruhi kadar FSH yang ada di dalam ovarium, sehingga
folikel primer, sekunder dan tersier dapat berkembang dengan baik. Hal ini dapat dipahami
karena pada saat awal perkembangan folikel diperlukan FSH dalam jumlah yang cukup utuk
mendorong perkembangan folikel menuju fase selanjutnya.
(Kiptiyah,2002).
Folikel de Graff dari hasil uji manova diperoleh nilai signifikansi 0,002 (p<0,05) artinya
ada pengaruh yang nyata. Folikel de Graff merupakan bentuk akhir dari perkembangan folikel
ovarium. Oosit dalam folikel de Graff dibungkus oleh massa sel yang disebut culumus
oophorus membungkusnya menonjol ke dalam ruang antrum yang penuh dengan cairan
folikel (Partodiharjo,1992).
Kemungkinan besar berdasarkan pada data hasil penelitian, kadar estrogen yang rendah
tetapi harus meningkat tersebut menghambat sekresi FSH, yang menurun selama bagian
terakhir fase folikel, dan secara inkomplit menekan sekresi LH yang terus meningkat selama
fase folikel. Pada saat pengeluaran estrogen mencapai puncaknya, kadar estrogen yang tinggi
memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH, menyebabkan ovulasi
yang matang. Dimana didapatkan terjadinya penurunan jumlah dari folikel de Graff, besar
kemungkinan hal tersebut yang menyebabkan sudah terlewati ovulasi yang mengakibatkan
38
HOSPITAL MAJAPAHIT
gambaran folikel de Graaf tidak di dapatkan dengan didapatkan jumlah korpus luteum yang
lebih tinggi dibandingkan folikel de Graff.
E. KESIMPULAN
1. Pemberian ekstrak sambiloto tidak memberikan perubahan signifikan kadar insulin 0.554
(p > 0.05) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
2. Pemberian ekstrak sambiloto memberikan perubahan perkembangan folikel pada folikel
primer sebesar 0.031 (p < 0.05) dan folikel de Graff sebesar 0.002 (p < 0.05) antara
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
F. SARAN
Berdasarkan dari hasil penelitian, maka disarankan untuk di lakukan penelitian lanjutan
dengan menggunakan dosis lebih tinggi atau waktu pemberian yang lebih lama sehingga
dapat memperbaiki keadaan kadar insulin dan keadaan reproduksinya
DAFTAR PUSTAKA
Dunaif A. 1996. Finegood DT. Cell Dysfunction Independent of Obesity and Glucose
Intolerance in The Polycystic Ovary Syndrome. Journal of Clinical Endocrinology and
Metabolism. Vol. 51: 3; 942-7
Dunaif A. 1989. Segal KR, Futterweit W. Profound peripheral Insulin Resistenace,
Independent of Obesity. in Polycistic Ovary syndrome. Diabetes: 57
Gonzales C et al. 2000. Role of 17 B estradiol and / or progesterone on insulin sensitivity in
the rat: implication during pregnancy. Journal of Endokrinology 166,283-291.
Lobo RA. 1996. Unifying Concept for Polycistic Ovary Syndrome. In : Chang RJ, Plycistic
Ovary Syndrome. Serono Symposia USA Inc. Massachusetts.: 334 52
Samsulhadi. 2002. Obesitas dan Kesehatan Reproduksi Wanita (Aplikasi Klinis berbasis
moleculer) Dalam Tjokroprawiro A, Hendromartono,Sutjahyo Ari,Tandra A.National
Obesity Simposium I,Hal 75-83
Santoso B, Widjiati and Muttaqin DA. 2008. Jurnal Pengaruh Lama Paparan Androgen
terhadap Indeks Resistensi Insulin dan Kadar Asam Lemak Bebas pada Serum Tikus
Model Sindroma Ovarium Polikistik
Sudarsono, Pudjoarinto A, Gunawan D, Wahyuono S, Donatus IA, Drajad M, Wibowo S,
Ngatidjan. 2006, Tumbuhan Obat I. Pusat Penelitian Obat Tradisional, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal 25-28
Subramanian R, Asmawi MZ, Sadikun A. 2008. In vitro alpha-glucosidase and
alphaamylase enzyme inhibitory effects of Andrographis paniculata extract and
andrographolide. Acta, J. Biochem. Pol.,55(2):391-398
Shao J et al, 2004. Physical Activity / Exercise and Type 2 Diabetes. Diabetic Care 27 (10):
2518- 2539
Yulinah E, Sukrasno, Fitri MA. 2011, Aktivitas Antidiabetika Ekstrak Etanol Herba
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees (Acanthaceae), JMS ITB Vol. 6
39
HOSPITAL MAJAPAHIT
PENDAHULUAN
Pengaturan makan yang berhasil tercermin dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak yang memuaskan. Umumnya kecukupan makanan dapat diperkirakan dari masukan
makanan. Untuk mengetahui apakah makanan yang diberikan sudah mencukupi
kebutuhan dilakukan dengan mengevaluasi anak. Evaluasi secara objektif dilakukan
dengan memantau pertumbuhan fisik atau penilaian status nutrisi anak (Akhmadi, 2008).
Kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit merupakan penyebab langsung
malnutrisi yang paling penting. Penyakit, terutama penyakit infeksi, mempengaruhi
jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh. Kurangnya asupan makanan
sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan, kurangnya
kualitas makanan yang diberikan dan cara pemberian makanan yang salah (Rahajeng,
2009).
Memberi makan kepada anak-anak terkadang menyulitkan. Anak tidak selalu
menyukai apa yang diberikan kepada mereka. Mereka cenderung lebih menyukai
makanan ringan berupa makanan yang manis (seperti permen, biskuit), makanan junk
food (biasanya dalam bentuk makan siap saji seperti hamburger, fried chicken, french
fries), dan makanan yang tasty (misalnya chiky, cheetos) dibandingkan makanan utama
yang berupa nasi dan lauk pauknya. Menghadapi situasi tersebut orangtua terutama ibu
biasanya menggunakan berbagai cara untuk membuat agar anaknya mau makan, bahkan
seringkali sampai merasa perlu untuk memaksa anak, apalagi orangtua dari anak-anak
40
HOSPITAL MAJAPAHIT
yang bertubuh mungil. Orangtua mungkin beranggapan bahwa tubuh mungilnya itu
terbentuk karena anaknya kurang makan dan gizi (Tasmin, 2008). Hal tersebut bisa
disadari. Sebab kecemasan ibu timbul akibat ketakutan akan tidak terpenuhinya
kecukupan gizi, energi maupun nutrisi untuk tumbuh kembang anak. Namun sikap ibu
yang memaksakan makan menyebabkan anak merasakan proses makan sebagai saat yang
tidak menyenangkan, berakibat timbulnya rasa anti terhadap makanan. Hal ini disebabkan
ibu beranggapan bagaimanapun caranya, anak tetap harus makan. Di sisi lain sikap ibu
tersebut dipengaruhi oleh masalah sosio-kultural dan aturan makan yang ketat atau
berlebihan, sikap yang terlalu obsesif (keras) dan overprotektif (terlalu melindungi),
sehingga menimbulkan respon negatif dari anak (Suri Viana, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Abigail H. Natenshon pada tahun 2007 di beberapa
negara bagian Amerika Serikat menunjukkan bahwa masalah kesulitan makanan sangatlah
nyata dan banyak dijumpai di masyarakat. Kesulitan makan dialami oleh satu dari dua
puluh anak di usia 0 bulan hingga 10 tahun yang menolak makan atau hanya makan
makanan tertentu yang dia sukai saja. Itupun dalam jumlah yang relatif sangat sedikit.
Kondisi ini dikarakteristikkan dengan ketakutan yang sangat untuk mencoba makanan
baru, menolak apapun jenis makanan yang diberikan yang menyebabkan kondisi anak
semakin terpapar pada malnutrisi dan mengalami gagal pertumbuhan secara normal
(Nathenson, 2007).
Faktor kesulitan makan pada anak ini juga dialami oleh sekitar 25% anak
Indonesia, jumlahnya akan meningkat sekitar 40-70% pada anak yang lahir prematur atau
dengan penyakit kronik. Penelitian yang dilakukan oleh Picky Eaters Clinic di awal tahun
2007, menyebutkan bahwa pada anak pra sekolah usia 3-6 tahun, didapatkan prevalensi
kesulitan makan sebesar 33,6%. Sebagian besar 79,2% telah berlangsung lebih dari 3
bulan. Kesulitan pemberian makan pada anak ini secara langsung mengganggu proses
tumbuh kembang anak, yang pada gilirannya dapat mengganggu fungsi tubuh lainnya
(Judarwanto, 2007).
Jawa Timur merupakan propinsi dalam peringkat kelima di Indonesia yang
memiliki kasus gizi buruk tertinggi. Sebanyak 5.000 anak di Jawa Timur dinyatakan
mengalami masalah kurang gizi. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan gizi
yang adekuat akibat anak sulit makan (Taufik, 2008). Kabupaten Mojokerto tahun 2008
memiliki jumlah balita di bawah garis merah (BGM) sebanyak 2,41% dan balita gizi
buruk sebanyak 0,07%. Data yang diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Mojokerto tahun 2008 menunjukkan bahwa di Kecamatan Gondang terdapat 124 (4,89%)
balita BGM (di bawah garis merah) dan 5 (0,24%) kasus balita gizi buruk dari 3.125 balita
yang ada (Dinkes Kabupaten Mojokerto, 2010).
Permasalahan pada anak usia pra sekolah (3-6 tahun) adalah bahwa pada usia ini
seorang anak masih merupakan golongan konsumen pasif yaitu belum dapat mengambil
dan memilih makanan sendiri. Mereka juga masih sukar diberikan pengertian tentang
pentingnya makanan, di samping kemampuan menerima berbagai jenis makanan juga
masih terbatas. Maka pada usia ini anak dengan kesulitan makan rentan terhadap berbagai
penyakit infeksi terutama kondisi kurang gizi (Santoso, 2004: 99). Sikap ibu yang negatif
seperti memaksakan makan ataupun membiarkan anak tidak mau makan akan membuat
anak semakin tidak mau makan dan kurang asupan gizi. Menurut penelitian Judarwanto
(2007), kesulitan makan ternyata dapat berakibat mengganggu fungsi otak dan merubah
perilaku anak. Gangguan perilaku tersebut berupa over aktif, hiperaktif atau attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD), agresifitas dan emosi yang meningkat, gangguan
konsentrasi, gangguan belajar, gangguan tidur malam dan lain-lain. Bahkan jika
berlangsung lama, dapat menyebabkan berbagai komplikasi penyakit, diantaranya Kurang
41
HOSPITAL MAJAPAHIT
Kalori Protein (KKP), marasmik, kwasiorkor, gangguan mental dan kecerdasan, Kurang
Vitamin A (KVA) dan sebagainya (Siswono, 2009).
Upaya mengatasi sikap negatif ibu tentang kesulitan makan pada anak pra sekolah
usia 3-6 tahun dapat dilakukan dengan pemberian penyuluhan dan konseling oleh tenaga
kesehatan. Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan, yang dilakukan
dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja
sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan (Mahfoedz, 2007: 15).
B. TINJAUAN PUSTAKA
1.
Konsep Sikap
a. Pengertian sikap
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak
senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, fungsi sikap belum merupakan tindakan
(reaksi terbuka) atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan)
atau reaksi tertutup (Notoatmodjo dan sebagainya). Jadi sikap itu suatu sindroma atau
kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan
pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Newcomb menyatakan
bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain, , 2005: 52).
b. Klasifikasi sikap
Menurut Azwar (2008: 6), di kalangan ahli psikologi sosial dewasa ini terdapat dua
pendekatan dalam mengklasifikasikan sikap. Yang pertama adalah yang memandang
sikap sebagai kombinasi reaksi antara afektif, konatif dan kognitif terhadap suatu
objek. Pendekatan pertama ini sama dengan pendekatan skema triadik, yang kemudian
disebut juga dengan pendekatan tri komponen. Yang kedua adalah yang meragukan
adanya konsistensi antara ketiga komponen sikap di dalam membentuk sikap. Oleh
karena itu pendekatan ini hanya memandang perlu membatasi konsep dengan
komponen afektif saja.
c. Pembentukan sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, antara lain pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau
lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu (Azwar,
2008: 30-38).
1. Pengalaman pribadi.
Middlebrook mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh
seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif
terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang
terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, karena penghayatan akan pengalaman
lebih mendalam dan lebih lama membekas.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.
Individu pada umumnya cenderung memiliki sifat yang konformis atau searah
dengan sikap orang yang dianggap penting yang didorong oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik.
3. Pengaruh kebudayaan.
Burrhus Frederic Skin sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk
kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan pola
42
HOSPITAL MAJAPAHIT
perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami.
Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat.
Kebudayaanlah yang menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai
masalah.
4. Media massa.
Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lainlain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.
Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini
seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif
baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan
sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah
arah sikap tertentu.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian
dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah
antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari
pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama
sangat menetukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada
gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu
terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada
umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau
mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu,
ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali
menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.
d. Tingkatan sikap
1) Menerima (receiving).
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang
diberikan (objek).
2) Menanggapi (responding).
Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi.
3) Menghargai (valuing).
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap
objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan
mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.
4) Bertanggung jawab (responsible).
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang
telah diyakininya (Notoatmodjo, 2005: 54).
2. Konsep Kesulitan Makan
a.
Pengertian kesulitan makan.
Kesulitan makan anak yaitu kurangnya nafsu makan atau ketidakmampuan
untuk makan dan menolak makanan tertentu. Kesulitan makan juga timbul bila alat
pencernaan mengalami kelainan maupun bila refleks-refleks yang berhubungan
dengan makan terganggu (Santoso, 2004: 98, 99).
Kesulitan makan terjadi bila anak mengalami gangguan dalam
mengkonsumsi makanan yang ditandai dengan tidak mau menelan, cepat bosan,
menolak makan serta penerimaan makan yang tidak memuaskan (Karyadi, 2007:
14-15).
43
HOSPITAL MAJAPAHIT
b. Pola makan dan kebiasaan makan pada anak usia pra sekolah
Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka anak usia pra sekolah
yaitu tiga sampai dengan enam tahun termasuk golongan masyarakat yang disebut
kelompok rentan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita
kelainan gizi, sedangkan pada saat ini mereka sedang mengalami proses
pertumbuhan yang relatif pesat, dan memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang
relatif besar.
Untuk seorang anak, makan dapat dijadikan media untuk mendidik anak
supaya dapat menerima, menyukai, memilih makanan yang baik, juga untuk
menentukan jumlah makanan yang cukup dan bermutu. Dengan demikian dapat
dibina kebiasaan makan yang baik tentang waktu makan dan melalui cara
pemberian makan yang teratur, anak biasa makan pada waktu yang lazim dan
sudah ditentukan (Santoso, 2004: 89).
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola makan
Pola makan menurut Lie Goan Hong dalam Sri Karjati (1985) adalah
berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah
bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas
untuk suatu kelompok masyrakat tertentu. Pola makan ini dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain adalah: kebiasaan, kesenangan, budaya, agama, taraf
ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya (Santoso, 2004: 89).
Di masyarakat, setiap kelompok mempunyai suatu pola tersendiri dalam
memperoleh, menggunakan, dan menilai makanan yang akan merupakan ciri
kebudayaan dari kelompok masing-masing. Adanya berbagai pengertian tersebut
memerlukan landasan pengetahuan tentang makanan sehat bergizi dalam
memenuhi konsumsi makanan sehari-hari. Penerapan pendidikan gizi pada ibu
sebagai pengelola utama makanan yang disantap keluarga sehari-hari sulit berhasil
bila tidak disertai peningkatan pengetahuan mengenai sikap, kepercayaan dan nilai
dari masyarakat yang akan dijadikan sasaran dan cara mereka menerapkannya
kepada anak-anak mereka. Sikap ibu terhadap makanan dipengaruhi oleh pelajaran
dan pengalaman yang diperoleh sejak masa kanak-kanak tentang makan dan
makanan. Hal ini kemudian akan membentuk kebiasaan makan, yaitu suatu pola
perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Jadi
kebiasaan makan ibu akan mempengaruhi pola asuh makan yang diterapkannya
pada anak-anaknya kelak. Oleh karena itu, di lingkungan anak hidup terutama
keluarga perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi
(Santoso, 2004: 95-96).
d. Gejala kesulitan makan.
Gejala kesulitan makan pada anak, antara lain:
1) Anak makan tidak mau ditelan, hanya ditahan (diemut) di dalam mulut, bahkan
kadang-kadang dikeluarkan lagi.
2) Makan terlalu sedikit menurut ukuran si ibu atau pengasuh atau tidak seperti
hari-hari biasanya.
3) Penerimaan makanan yang tidak memuaskan, seperti anak tidak mau makan
salah satu makanan (terutama yang tidak mereka suka) atau hanya mau makan
salah satu jenis makanan (seperti hanya mau minum susu dan tidak mau makan
nasi).
4) Terjadi keterlambatan dalam ketrampilan makan tertentu, misalnya anak
seharusnya sudah dapat mengkonsumsi nasi tapi tidak dapat menerima bahkan
untuk menelan nasi.
44
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
1) Protein.
Digunakan untuk pertumbuhan, memperbaiki sel-sel yang rusak dan
komponen yang penting untuk daya tahan tubuh. Dapat diperoleh dari bahan
hewani (daging, ayam, telur) dan nabati (tempe, tahu, kacang-kacangan)
2) Vitamin A, C, E sebagai pelindung alamiah tubuh.
Vitamin C merupakan zat gizi utama untuk meningkatkan sistem daya
tahan tubuh. Bersama vitamin A dan E, ketiga vitamin ini dapat melindungi
tubuh dari infeksi bakteri dan virus. Vitamin C paling banyak didapatkan dari
jeruk, pepaya, sayuran hijau, ubi. Vitamin A ada dua sumber dari hewan
disebut retinol dan dari tumbuhan disebut beta karoten. Sedangkan vitamin E
ditemukan di asam lemak esensial, seperti minyak ikan dan kacang-kacangan.
3) Vitamin B kompleks dan asam lemak esensial untuk perkembangan otak.
Zat gizi utama yang dibutuhkan untuk proses berpikir dan konsentrasi
adalah asam lemak esensial omega 3 yang terdapat pada minyak ikan, kacangkacangan serta vitamin B kompleks.
4) Mineral: seng, selenium dan zat besi.
Seng banyak ditemukan pada tiram, daging sapi, ayam, telur. Selenium
pada kerang dan makanan laut. Seng dan selenium merupakan dua mineral
utama yang dibituhkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari penyakit.
Sedangkan zat besi dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah yang
membawa oksigen dan zat-zat gizi dalam darah ke seluruh bagian tubuh. Zat
besi terdapat pada daging merah, avokad, brokoli, kentang dan beras merah.
3. Konsep Status Gizi
a. Pengertian status gizi.
Gizi (nutrition) adalah suatu proses organisme menggunakan makanan
yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ,
serta menghasilkan energi (Supariasa, 2001: 17-18). Gizi berasal dari bahasa Arab
ghidza yang berarti makanan (Almatsier, 2009: 3). Istilah gizi merupakan
terjemahan dari kata bahasa Inggris nutrition. Jadi gizi terkadang disebut pula
nutrisi (Yuniastuti, 2008: 1).
Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan oleh tubuh untuk melakukan
fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta
mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier, 2009: 3).
Status gizi (nutrition status) adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2001:
18). Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan
antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari
variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan atau panjang badan, lingkar
kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Sasake, 2009). Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi
(Almatsier, 2009: 3).
b. Pengukuran status gizi.
Dapat dilakukan dengan menggunakan indeks antropometri (Supariasa,
2001: 69). Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi
adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U),
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan lingkar lengan atas menurut umur
(LiLA/U). Dari berbagai jenis indeks antropometri tersebut, untuk
46
HOSPITAL MAJAPAHIT
2) Persentil.
Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persen terhadap
median adalah persentil. Para pakar merasa kurang puas dengan persen
terhadap median untuk menentukan ambang batas. Akhirnya mereka memilih
cara persentil. Persentil 50 sama dengan median atau nilai tengah dari jumlah
populasi berada di atasnya dan setengahnya berada di bawahnya. National
Center for Health Statistic (NCHS) merekomendasikan persentil ke 50 sebagai
batas gizi baik dan kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi
baik.
3) Standar deviasi unit
Standar deviasi unit disebut juga Z-skor. WHO menyarankan
menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan.
a) 1 SD unit (1 Z-skor) kurang lebih sama dengan 11% dari median BB/U.
b) 1 SD unit (1 Z-skor) kira-kira 10% dari median BB/TB.
c) 1 SD unit (1 Z-skor) kira-kira 5% dari median TB/U.
c. Patogenesis penyakit gizi.
Jellife dan Florentino Solon (1977) dalam Supariasa (2001: 8-9) membuat
patogenesis penyakit kurang gizi sebagai berikut: proses diawali akibat dari faktor
lingkungan dan faktor manusia yang didukung oleh kekurangan asupan zat-zat
gizi. Akibat kekurangan zat gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan
untuk memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan ini berlangsung lama, maka
simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat
ini seseorang sudah dapat dikatakan mengalami malnutrisi walaupun baru hanya
ditandai dengan penurunan berat badan dan pertumbuhan terhambat. Dengan
meningkatnya defisiensi zat gizi, maka muncul perubahan biokimia dan rendahnya
zat-zat gizi dalam darah, berupa rendahnya tingkat hemoglobin, serum vitamin A
dan karoten. Dapat pula terjadi meningkatnya beberapa hasil metabolisme seperti
asam laktat dan piruvat pada kekurangan tiamin. Apabila keadaan itu berlangsung
lama, maka akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti tanda-tanda saraf yaitu
kelemahan, pusing, kelelahan, nafas pendek dan lain-lain. Kebanyakan penderita
malnutrisi sampai pada tahap ini. Keadaan ini akan berkembang yang diikuti oleh
tanda-tanda klasik dari kekurangan gizi seperti kebutaan dan fotopobia, nyeri lidah
47
HOSPITAL MAJAPAHIT
pada penderita kekurangan riboflavin, kaku pada kaki pada defisiensi tiamin.
Keadaan ini akan segera diikuti luka pada anatomi.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ditinjau dari sistem pangan
dan gizi adalah penyediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi makanan dan
utilisasi makanan. Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi
pangan dalam negeri melalui upaya pertanian dalam menghasilkan bahan makanan
pokok, lauk pauk, sayur mayur dan buah-buahan. Agar sampai pada masyarakat
dengan baik, distribusi pangan perlu memperhatikan aspek transportasi,
penyimpanan, pengolahan, pengemasan, dan pemasaran. Sampai di tingkat
keluarga, konsumsi makanan bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang
dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, pola asuh makan, dan kebiasaan
makan secara perorangan. Penggunaan makanan oleh tubuh bergantung pada
pencernaan dan penyerapan serta metabolisme gizi. Hal ini bergantung pada
kebersihan lingkungan dan ada tidaknya penyakit yang berpengaruh terhadap
penggunaan zat-zat gizi oleh tubuh (Almatsier, 2009: 12-13).
Kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit merupakan penyebab
langsung malnutrisi yang paling penting. Penyakit, terutama penyakit infeksi,
mempengaruhi jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh.
Kurangnya asupan makanan sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah
makanan yang diberikan, kurangnya kualitas makanan yang diberikan dan cara
pemberian makanan yang salah (Rahajeng, 2009).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan yang mengungkapkan bahwa
keadaan gizi dan pertumbuhan anak laki-laki lebih baik daripada keadaan gizi dan
pertumbuhan anak perempuan dalam lingkungan yang sama (Satoto, 1990). Menurut
dugaan Chavez dan Martinez (1982) seperti dikutip Satoto (1990), bahwa faktor
perbedaan tersebut berkaitan dengan faktor biologis, dimana anak laki-laki
menggunakan kalori-protein lebih efisien (Suyatno, 2007). Status gizi juga tercermin
dalam berat badan anak. Berat badan ideal seorang anak memiliki range.
Standarnya bagi anak laki-laki dan perempuan juga berbeda. Biasanya anak
perempuan mempunyai berat badan lebih rendah dibandingkan anak laki-laki
(Hendarto, 2009).
e. Penanggulangan masalah gizi kurang.
Penanggulangan masalah gizi kurang perlu dilakukan secara terpadu antar
departemen dan kelompok profesi, melalui upaya-upaya peningkatan pengadaan
pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status
sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta peningkatan teknologi
hasil pertanian dan teknologi pangan. Semua upaya ini bertujuan untuk
memperoleh perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat yang beraneka ragam
dan seimbang dalam mutu gizi (Almatsier, 2009: 311).
Menurut Almatsier (2009: 311), upaya penanggulangan masalah gizi
kurang yang dilakukan secara terpadu antara lain:
1) Upaya pemenuhan persediaan pangan nasonal terutama melalui peningkatan
produksi beraneka ragam pangan.
2) Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang diarahkan pada
pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga.
3) Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari
tingkat pos pelayanan terpadu (Posyandu), hingga puskesmas dan rumah sakit.
48
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
lulus dari TK berkisar 6-7 tahun. Setelah lulus dari TK, atau pendidikan formal
dan pendidikan non formal lainnya yang sederajat, murid kemudian melanjutkan
ke jenjang pendidikan lebih tinggi diatasnya yaitu sekolah dasar atau yang
sederajat (Wikipedia, 2010).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
Menurut Soetjiningsih (2002) dalam Nursalam (2005: 39), faktor-faktor
yang mempengaruhi tumbuh kembang dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1) Faktor dalam (internal).
a) Genetika.
Faktor genetis akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan
kematangan tulang, alat seksual serta saraf, sehingga merupakan modal
dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang yaitu perbedaan
ras, etnis atau bangsa (keluarga, umur, jenis kelamin, kelainan kromosom)
b) Pengaruh hormon.
2) Faktor luar (eksternal) yaitu lingkungan.
a) Pra natal, seperti gizi, mekanis, toksin, zat kimia, radiasi, kelainan
endokrin, penyakit menular seksual, kelainan imunologi, psikologis ibu.
b) Kelahiran, seperti riwayat kelahiran dengan vakum kestraksi atau forceps
dapat menyebabkan trauma kepala pada bayi, sehingga berisiko terjadi
kerusakan jaringan otak.
c) Post natal, seperti gizi, penyakit kronis atau kelainan kongenital,
lingkungan fisik dan kimia, endokrin, sosioekonomi, lingkungan
pengasuhan, pemberian ASI eksklusif, stimulasi dan obat-obatan.
c. Ciri-ciri perkembangan anak usia pra sekolah.
Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill atau
ketrampilan) dalam struktur dan fungsi tubuh yang kompleks dalam pola yang
teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan (Riyadi, dkk.,
2009: 2). Secara umum, perkembangan anak usia pra sekolah (3-6 tahun) adalah
sebagai berikut:
1) Perkembangan motorik.
Menurut Yusuf (2009: 164), perkembangan fisik anak usia pra sekolah
ditandai dengan berkembangnya kemampuan atau ketrampilan motorik, baik
yang kasar maupun yang lembut atau halus.
2) Perkembangan kognitif.
Menurut Piaget yang dikutip oleh Yusuf (2009: 165), perkembangan
kognitif pada usia pra sekolah berada pada periode praoperasional (2-7 tahun),
yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara
logis. Operasi adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan
fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya symbolic function yaitu
kemampuan menggunakan sesuatu untuk merepresentasikan sesuatu yang lain
dengan menggunakan simbol. Dapat juga dikatakan sebagai semiotic function
yaitu kemampuan menggunakan simbol-simbol seperti bahasa, gambar, tanda
untuk melambangkan suatu kegiatan, benda yang nyata atau peristiwa. Melalui
kemampuan tersebut, anak mampu berimajinasi atau berfantasi tentang
berbagai hal. Dia dapat menggunakan kata-kata, peristiwa dan benda untuk
melambangkan yang lainnya.
3) Perkembangan bahasa.
Perkembangan bahasa pada anak usia 2,6-6 tahun bercirikan: anak
sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya serta
50
HOSPITAL MAJAPAHIT
tingkat berpikir anak sudah lebih maju, yaitu anak banyak menanyakan soal
waktu, sebab akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, kemana, mengapa
dan bagaimana (Yusuf, 2009: 170).
Menurut Baraja (2008: 215-216), proses perkembangan bahasa anak
setelah usia 4 tahun akan melalui beberapa bentuk diantaranya:
a) Anak mulai mengadaptasi semua informasi masuk berbentuk simbol dan
kata-kata. Yang mungkin informasi tersebut diasimilasi atau diakomodasi
anak untuk menjadi suatu pengertian dan pemahaman.
b) Selanjutnya anak berusaha untuk mengkritisi, menanggapi semua ucapan
yang diterima dari orang lain atau lingkungannya atau menilai ucapan atau
tingkah laku orang lain.
c) Kemudian anak mengembangkan dengan bahasa pertanyaan, perintah,
permintaan dan jawaban.
Lundsteen (Judarwanto, 2005) mengatakan usia 2-6 tahun termasuk
dalam tahapan linguistik, dimana pada tahap ini ia mulai belajar tata bahasa
dan perkembangan kosa katanya mencapai 3000 buah.
4) Perkembangan kepribadian.
Menurut Erickson, perkembangan kepribadian manusia pada usia pra
sekolah berada pada perkembangan psikososial pada fase inisiatif vs rasa
bersalah, yaitu perkembangan inisiatif diperoleh dengan cara mengkaji
lingkungan melalui kemampuan indranya. Anak mengembangkan keinginan
dengan cara eksplorasi terhadap apa yang ada di sekelilingnya. Hasil akhir
yang diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai
prestasinya. Perasaan bersalah akan timbul pada anak, apabila anak tidak
mampu berprestasi, sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang tidak
tercapai (Supartini, 2004: 61-62).
5) Perkembangan emosi dan sosial (psikososial).
Menurut Patmonodewo (2003: 30), perkembangan emosi pada anak
usia pra sekolah terdiferensiasi. Berbagai faktor yang menyebabkannya.
Pertama, kesadaran kognitifnya yang telah meningkat memungkinkan
pemahaman terhadap lingkungan berbeda dari tahapan semula. Imajinasi atau
daya khayalnya lebih berkembang. Kedua, berkembangnya wawasan sosial
anak. Teman sebaya mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Sedangkan
tingkah laku sosialisasi adalah sesuatu yang dipelajari, bukan sekedar hasil dari
pematangan. Perkembangan sosial anak diperoleh selain dari proses
kematangan, juga melalui kesempatan belajar dari respon terhadap tingkah
laku anak.
Menurut Patmonodewo (203: 32), masalah sosial emosional yang
sering muncul pada anak usia pra sekolah antara lain:
a) Rasa cemas yang berkepanjangan atau takut yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
b) Kecenderungan depresi, permulaan dari sikap apatis dan menghindar dari
orang-orang di lingkungannya.
c) Sikap yang bermusuhan terhadap anak dan orang lain.
d) Gangguan tidur, gelisah, mengigau, mimpi buruk.
e) Gangguan makan, misalnya nafsu makan menurun.
6) Perkembangan bermain.
Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan anak usia pra
sekolah baik fisik, emosi, mental, intelektual, kreatifitas dan sosial. Alat
51
HOSPITAL MAJAPAHIT
- Minat
- Perhatian
Motif
Positif
Negatif
Faktor eksternal:
- Informasi
- Lingkungan
- Pendidikan
Faktor-faktor yang
- Pekerjaan
-mempengaruhi
Pengalaman status
- Situasi gizi:
- Norma
- Penyediaan pangan
- Hambatan
- Distribusi pangan
- Pendorong
- Konsumsi makanan
- Utilisasi pangan
Gizi lebih
Gizi baik
Gizi kurang
Gizi buruk
C. METODE PENELITIAN
HOSPITAL MAJAPAHIT
Framework
Sikap ibu tentang kesulitan
makan pada anak usia pra
sekolah
(3-6 tahun)
Variabel perancu:
-
Perhatian
Motif
Informasi
Lingkungan
HOSPITAL MAJAPAHIT
Dependen:
Status gizi
anak usia
pra sekolah
(3-6 tahun)
Ordinal
D.HASIL PENELITIAN
1. Gambaran lokasi penelitian.
Penelitian ini di lakukan di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto
dengan luas Wilayah : 215,175 ha. Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten
Mojokerto terdiri dari 3 dusun yaitu Dusun Wonosari, Dusun Sidorejo dan Dusun
Manggung sono
2. Data umum.
a. Karakteristik responden (ibu) berdasarkan umur.
Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur ibu di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni
2011
No
Umur (tahun)
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
<20
11
21,57
2
20-35
31
60,78
3
>35
9
17,65
Jumlah
51
100
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden
berumur 20-35 tahun sebanyak 31orang (60,78 %).
b. Karakteristik responden (ibu) berdasarkan pekerjaan.
Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan ibu di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni
2011
No
Pekerjaan
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Bekerja
22
43,14
2
Tidak bekerja
29
56,86
Jumlah
51
100
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden tidak
bekerja sebanyak 29 orang (56,86%).
54
HOSPITAL MAJAPAHIT
55
HOSPITAL MAJAPAHIT
Status gizi
Lebih
Baik
f
%
f
%
7
13,7
8
15,7
2
3,9
22
43,1
9
17,6
30
58,8
X2 hitung = 15,250
Total
Kurang
f
%
f
%
0
0
15
29,4
12
23,5
36
70,6
12
23,5
51
100
Sig. (2 tailed) = 0,000
HOSPITAL MAJAPAHIT
bahwa ibu yang tidak peduli terhadap kesulitan makan akan mempunyai anak
dengan status gizi yang kurang baik.
Hasil uji statistik Chi Square Test dengan menggunakan SPSS versi 16.0
didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,000 < = 0,05. Ketentuan menyatakan H0
ditolak jika Sig. (2 tailed) < artinya ada hubungan sikap ibu tentang kesulitan
makan dengan status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari
Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni 2011.
E. PEMBAHASAN
1. Sikap ibu tentang kesulitan makan pada anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki sikap negatif
terhadap kesulitan makan.
Sikap ibu yang negatif dapat terlihat terutama pada skor hasil penelitian
tentang gejala kesulitan makan yaitu anak makan tidak mau ditelan, hanya ditahan
(diemut) di dalam mulut adalah salah satu tanda anak sulit makan serta pencegahan
kesulitan makan yaitu anak akan lebih mudah makan jika makanannya diberi bumbu
yang sangat terasa. Hal ini menunjukkan ibu menanggapi anak tidak mau menelan
makan, hanya mengemut saja dengan cara yang kurang baik diantaranya harus
ditangani dengan cara seperti memberi bumbu masakan yang tajam agar anak mau
makan. Padahal anak usia pra sekolah belum membutuhkan rasa yang tajam sebab
kemampuan indra pengecapnya masih baik.
2. Status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro
Kabupaten Mojokerto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai
anak dengan status gizi yang baik.
Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan
antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari
variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan atau panjang badan, lingkar
kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Sasake, 2009). Status gizi adalah keadaan
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier,
2009: 3).
3. Hubungan sikap ibu tentang kesulitan makan dengan status gizi anak usia pra sekolah
(3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa responden ibu yang memiliki sikap positif,
kurang dari 50% status gizi anaknya baik sebanyak 6 anak (15,4%) dan tidak ada yang
memiliki status gizi kurang dan tidak baik, sedangkan responden ibu yang memiliki
sikap negatif, kurang dari 50% status gizi anaknya baik sebanyak 17 anak (43,6%)
namun semua responden yang memiliki status gizi kurang baik, memiliki sikap yang
negatif terhadap kesulitan makan atau bisa disimpulkan bahwa ibu yang tidak peduli
terhadap kesulitan makan akan mempunyai anak dengan status gizi yang kurang baik.
Hasil uji statistik Chi Square Test dengan menggunakan SPSS versi 16.0
didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,000 < = 0,05. Ketentuan menyatakan H0 ditolak
jika Sig. (2 tailed) < artinya hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan sikap ibu
tentang kesulitan makan dengan status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto..
F. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan sikap ibu tentang kesulitan makan
dengan status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro
Kabupaten Mojokerto, maka dapat disimpulkan:
57
HOSPITAL MAJAPAHIT
1. sebagian besar responden memiliki sikap negatif tentang kesulitan makan pada anak
usia pra sekolah (3-6 tahun) di di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten
Mojokerto yaitu sebanyak 36 orang (70,60 %). Lebih dari 50% responden memiliki
status gizi baik di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto yaitu
sebanyak 30 orang (58,8 %).
2. Uji statistik Chi Square Test didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,000 < = 0,05 artinya
ada hubungan sikap ibu tentang kesulitan makan dengan status gizi anak usia pra
sekolah (3-6 tahun) di di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto.
Diharapkan tingkah laku dan sikap ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi anak
selalu mempertimbangkan kondisi psikis anak, agar anak merasa makan adalah
sesuatu yang menyenangkan sehingga berdampak positif pada pertumbuhan
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. (2003). Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Akhmadi.
(2008).
Penanganan
Kesulitan
Makan
pada
Anak.
(Online)
(http://akhmadi.multiply.com/journal/item/14 diakses tanggal 21 April 2010)
Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Anwar, Sasake. (2009). Status Gizi dan Faktor yang Mempengaruhi. (Online)
(http://www.anwarsasake.wordpress.com diakses tanggal 2 Mei 2010)
Apuy. (2007). Hambatan adalah Tantangan. (Online) (http://id. answers.yahoo.com diakses
tanggal 1 Mei 2010)
Azwar, Syaifudin. (2008). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi 2. Cetakan XII.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Baraja, Abubakar. (2008). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Studia Press
Budiarto, Eko. (2002). Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC
Darmoutomo,
Endang
(2008).
Menyiasati
Anak
Sulit
Makan.
(Online)
(http://www.sahabatnestle.co.id diakses tanggal 20 April 2010)
Dasmin, Sidu. (2004). Pengaruh Kejelasan Peran dan Motivasi Kerja terhadap Pelaksanaan
Tugas Jabatan di Lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur. (Online)
(http://www.damandiri.or.id diakses tanggal 27 April 2010)
Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto. (2008). Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto
tahun 2008.
Hendarto, Aryono. (2009). Anak Kurus VS Anak Sehat. (Online) (http://www.tabloidnakita.com/artikel diakses tanggal 10 Juni 2010)
Hendra AW. (2008). Pengetahuan. (Online) (http://www.ajangberkarya.wordpress.com
diakses tanggal 22 April 2010)
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data.
Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika
Judarwanto, Widodo. (2005). Perkembangan Bahasa Anak Pra Sekolah. (Online)
(http://www.speechclinic.wordpress.com diakses tanggal 22 April 2010)
_________________. (2007). Kesulitan Makan pada Anak. (Online) (http://dranak.blog
spot.com/2007/02/kesulitan-makan-pada-anak.html diakses tanggal 29 April 2010)
Karyadi, Elvina, dkk. (2007). Kiat Mengatasi Anak Sulit Makan. Jakarta: PT. Intisari
Mediatama
Machfoedz, Ircham, Eko Suryani. (2007). Pendidikan Kesehatan bagian dari Promosi
Kesehatan. Jakarta: Fitramaya
58
HOSPITAL MAJAPAHIT
Meliono,
Irmayanti,
et.al.
(2007).
MPKT
Modul.
(Online)
(http://id.wikipedia.org/wiki/informasi diakses tanggal 21 April 2010)
Medicastore.
(2009).
Pertumbuhan
dan
Perkembangan
Anak.
(Online)
(http://www.medicastore.com diakses tanggal 5 Mei 2010)
Muliawan, Tony. (2007). Pembelajaran yang Menumbuhkan Sikap Wirausahawan. (Online)
(http://www.persimpangan.com diakses tanggal 4 Mei 2010)
Narbuko, Cholid, Abu Achmadi. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Nathenson, Abigail H. (2007). Feeding Disorders and Picky Eating in Infants and Children.
(Online) (http://www.parentingbookmark.com/pages/AN01.htm diakses tanggal 5 Mei
2010)
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
___________________. (2005). Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Nursalam. (2005) Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta:
Salemba Medika
________. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Nursalam dan Siti Pariani. (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan.
Jakarta: CV. Infomedika
Patmonodewo, Soemiarti. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta
Rahajeng. (2009). Malnutrisi. (Online) (http://www.dokterblog.wordpress.com diakses
tanggal 2 Mei 2010)
Riduwan. (2007). Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Jakarta: EGC
Riyadi, Sujono dan Sukarmin. (2009). Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Santoso, Soegeng, dkk. (2004). Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Siswono. (2009). Anak Sulit Makan Berakibat Fatal. (Online) (http://www.gizi.net diakses
tanggal 2 Mei 2010)
Sugiyono. (2007). Statistik Non Parametris untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Suharsimi, Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi
VI. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Supariasa, I Dewa Nyoman, et. al. (2001). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Supartini, Yupi. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC
Suri Viana. (2005). Pusing ... Anak Sulit Makan! (Online) (http://www.infoibu.com/mod.php
diakses tanggal 29 April 2010)
Susilowati. (2008). Pengukuran Status Gizi dengan Antropometri Gizi (Online)
(http://www.pdfqueen.com diakses tanggal 2 Mei 2010)
Suyatno. (2007). Gizi Balita. (Online) (http://www.gizi.net diakses tanggal 10 Juni 2010)
Tasmin, Martina S. (2008). Menyiasati Anak Sulit Makan. (Online) (http://www.epsikologi.com/anak diakses tanggal 10 April 2010)
Taufik, Rohman. (2008). 5.000 Balita di Jawa Timur Kurang Gizi. (Online)
(http://www.tempointeraktif.com diakses tanggal 19 April 2010)
Uno, Hamzah B. (2008). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara
UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 28 ayat 1. (Online) (http://www.unisri.ac.id diakses tanggal 2
Mei 2010)
59
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
hamil trimester I didapatkan bahwa 7 (70%) ibu hamil tidak tahu tentang morning sicknes
dan 3 (30%) ibu hamil tahu tentang morning sicknes.Dari 10 ibu hamil tersebut
didapatkan 8 (80%) ibu hamil tidak bisa mengatasi morning sickness.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi mual muntah kehamilan. Tapi
cara yang banyak dilakukan pertama kali adalah diet misalnya dengan makan sedikit tapi
sering dan menghindari makanan berlemak yang dapat merangsang mual. Penggunaan
Vit B6 atau obat lainnya diberikan bila dengan cara diet mual muntah belum teratasi.
Penyuluhan yang efektif tentang cara mengatasi morning sickness dapat meningkatkan
pengetahuan ibu hamil tentang morning sickness. Jika ibu hamil tahu tentang morning
sickness maka diharapkan sikap yang positif terhadap morning sickness pada saat
menjalani kehamilan sehingga kehamilan berjalan normal (Suririnah, 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengetahui
pengetahuan morning sickness dan cara mengatasi morning sickness pada ibu hamil
trimester I di Desa Warung Dowo Pohjentrek-Pasuruan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh
melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2007).
Menurut fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin
tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya.
Adanya unsur unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa
yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau diubah
sedemikian rupa sehingga tercapai suatu konsistensi (Azwar, 2007).
Penelitian Rogers (1974) dalam (Notoatmodjo, 2007) mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam
diri seseorang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus objek.
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini
sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau buruknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
b. Tingkatan Pengetahuan
Pengetahuan tercakup dalam domain kognitif 6 tingkatan (Notoatmojo, 2007).
a. Tahu (Know)
Tahu di artikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari
sebelumnya.
b. Memahami (Comprehention)
61
HOSPITAL MAJAPAHIT
62
HOSPITAL MAJAPAHIT
f.
2.
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
3.
Perasaan mual dan muntah pada ibu hamil disebabkan karena selama
hamil muda pergerakan usus menjadi lambat, karena pengaruh hormon
hipofise
e. Penyebab yang pasti masih belum diketahui diduga karena pengaruh
perubahan psikologis dan adanya pengaruh perubahan hormonal selama
kehamilan (Suririnah, 2009).
5. Komplikasi
Sekitar 2-5% keadaan muntah dan mual semakin menghebat, dan
begitu menghebatnya sehingga memerlukan rawat inap di rumah sakit. Salah
satu komplikasi yang paling sering dialami adalah dehidrasi atau disebut juga
kekurangan cairan. Andaikata dehidrasi tersebut tidak segera diganti dengan
cairan yang cukup dan benar maka sudah dipastikan akan mempengaruhi janin
yang ada dalam kandungan (Admin, 2005).
6. Cara mengatasi
a. Makan sering dalam porsi kecil, misalnya setiap dua jam sekali (bahkan
malam hari, anda bisa melakukannya). Seperti makan - 1 entong nasi
dengan sayur yang tidak menyengat dapat menghindari mual dan muntah.
b. Menghindari makanan berbau tajam, terlalu asin atau makanan berbumbu.
Beberapa ibu hamil bahkan tidak bisa mengkonsumsi daging, telur atau
susu.
c. Vitamin B 6 efektif untuk mengurangi rasa mual pada ibu hamil.
Sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter untuk
pemakaiannya.
d. Di pagi hari sewaktu bangun tidur jangan langsung terburu-buru bangun,
coba duduk terlebih dahulu dan perlahan bangun. Bila merasa sangat mual
ketika bangun tidur pagi siapkan snak atau biscuit didekat tempat tidur.
e. Makan makanan yang tinggi karbohidrat dan protein untuk membantu
mengatasi rasa mual. Banyak mengkonsumsi buah dan sayuran dan
makanan yang tinggi karbohidrat seperti roti, kentang, biscuit, madu,
pisang, nasi, sereal dan tahu).
f. Teknik akupresur dengan menekan titik anti muntah.
g. Tidak merokok atau mengkonsumsi minuman beralkohol, batasi asupan
kopi selama tribulan pertama.
h. Pengobatan Tradisional : Biasanya orang menggunakan jahe untuk
mengurangi rasa mual. Wanita hamil untuk mengurangi mual dengan
mengkonsumsi jahe segar atau permen jahe. Jika masih mual, mencoba
mengulum permen jahe. Mencoba ginger tea (rebus jahe di air, saring dan
campurkan dengan madu).
i. Istirahat dan relax akan sangat membantu mengatasi rasa mual muntah..
(Admin, 2005)
Konsep Dasar Ibu Hamil
1. Pengertian
Ibu hamil adalah seorang perempuan yang sedang mengandung
(Sarwono, 2007).
2. Perkembangan, Perubahan Fisik dan Psikologis Ibu Hamil
a. Perkembangan dan perubahan fisik pada ibu hamil meliputi :
1) Rahim atau uterus
2) Vagina atau liang senggama
3) Ovarium atau indung telur
64
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
4) Payudara
Penampakan payudara pada ibu hamil adalah sebagai berikut :
a) Payudara menjadi lebih besar
b) Areola payudara makin hiperpegmentasi / menghitam
c) Glandula montgomery makin tampak
d) Puting susu makin menonjol
e) Pengeluaran ASI belum berlangsung karena prolaktin belum
berfungsi karena hambatan dari PIH untuk mengeluarkan ASI.
f) Setelah persalinan hambatan prolaktin tidak ada sehingga
pembuatan ASI dapat berlangsung.
(Prawirohardjo, 2007)
5) Sirkulasi darah ibu yakni volume dara dan sel darah ibu
6) Perubahan Sistem respirasi untuk memenuhi kebutuhan O2
7) Sistem pencernaan
Karena pengaruh estrogen, pengeluaran asam lambung meningkat yang
dapat menyebabkan :
a) Pengeluaran air liur berlebihan (hipersaliva)
b) Daerah lambung terasa panas
c) Terjadi pusing kepala
d) Muntah
e) Muntah berlebihan sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari.
f) Gerak usus makin berkurang dan dapat menyebabkan konstipasi.
8) Traktus urinarius
9) Perubahan pada kulit
Pada kulit terjadi perubahan deposit pigmen dan hiperpigmentasi
karena pengaruh melanophore stimulating hormone lobus hipofisis
anterior dan pengaruh kelenjar suprarenalis.
10) Metabolisme
Dengan terjadinya kehamilan metabolisme tubuh mengalami
perubahan yang mendasar, dimana kebutuhan nutrisi makin tinggi
untuk pertumbuhan janin dan persiapan memberikan ASI.
11) Berat badan ibu hamil bertambah
Berat badan ibu hamil akan bertambah antara 6,5 sampai 16,5 kg
selama hamil atau terjadi kenaikan berat badan sekitar kg/minggu.
Perkembangan psikologis
1) Trimester Pertama
Pada trimester pertama ibu hamil mengalami perubahan emosional,
hasrat seksual akan menurun karena lelah dan muntah. Perubahan
emosi (suasana hati) mungkin lebih kelihatan, mulai dari kegembiraan
sampai depresi karena letih, khawatir dan sakit. Ibu mulai merasa
bahwa bentuk tubuh mulai berubah dan kurang menarik.
2) Trimester Kedua
Perubahan emosional, pada bulan kelima kehamilan sudah tampak
nyata karena bayi sudah mulai bergerak. Perubahan emosi sudah
mulai berkurang. Pada saai ini perhatian mulai tertuju pada bayi dan
mulai banyak memikirkan apakah bayi akan dilahirkan dengan
selamat dan sehat. Rasa cemas akan meningkat sejalan dengan usia
kehamilan.
3) Trimester Ketiga
65
HOSPITAL MAJAPAHIT
Faktor yang
mempengaruhi
pengetahuan :
Baik : > 75 %
Pengetahuan tentang
morning sickness
1. Tahu
1. Umur
2. Pendidikan
2. Lingkungan
4. Pekerjaan
5. Pengalaman
6. Sosial Ekonomi
7. Informasi
Cukup: >60-75%
2. Paham
Kurang: < 60 %
3. Aplikasi
4. Analisis
5. Sintesis
6. Evaluasi
Faktor yang
mempengaruhi cara
mengatasi
Cara mengatasi
morning sickness
1. Pengalaman
2. Informasi
3. Pengetahuan
Hipotesis
H1 : Ada hubungan pengetahuan morning sickness dan cara mengatasi morning
sickness pada ibu hamil trimester 1 di Desa Warung Dowo PohjentrekPasuruan
66
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
4.
Keterangan:
r
: koefisien korelasi
X
: jumlah skor item
Y
: jumlah skor total item
n
: jumlah responden
kemudian menghitung nilai uji T dengan rumus:
Keterangan:
r : koefisien korelasi
n : jumlah responden, (n-2=dk, derajat kebebasan)
(Hidayat, 2007:106)
Jika thit > ttabel berarti instrumen valid demikian sebaliknya jika thit < ttabel berarti
instrumen tidak valid yang tentunya tidak dapat digunakan dan dapat diperbaiki/
dihilangkan.
Uji Reliabilitas. Reliabilitas (keandalan) merupakan ukuran suatu kestabilan
dan konsistensi responden dalam menjawab hal yang berkaitan dengan konstrukkonstruk pertanyaan yang merupakan dimensi suatu variabel dan disusun dalam
67
HOSPITAL MAJAPAHIT
5.
Keterangan:
r11
: koefisien reliabitas seluruh item
rb
: koefisien products moment antar belahan
(Hidayat, 2007:106)
Analisis keputusan, apalagi r11 > rtabel berarti reliabel dan apabila r11< rtabel tidak
reliabel yang di hitung pada derajat kebebasan dk= n-2 dan = 0,05.
Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data.
Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data melalui tahapan
Editing, Coding, Scoring, dan Tabulating
1) Editing
Beberapa hal yang diperhatikan untuk mengedit data antara lain kelengkapan
dan kesempurnaan data, data sudah cukup jelas tulisannya untuk dapat dibaca
atau tidak, semua catatan dapat dibaca atau tidak, jika ada soal yang belum
dijawab responden maka responden diminta untuk mengisi kembali, jika ada
jawaban ganda pada lembar kuesioner maka diberi skor 0.
2) Coding
Pada saat penelitian peneliti memberikan kode berupa angka seperti pendidikan
tidak tamat SD kode 1, SD kode 2, SMP kode 3, SMA kode 4, dan akademi atau
perguruan tinggi kode 5, unruk umur < 20 tahun kode 1, 20 25 tahun kode 2,
26 30 tahun kode 3, 31 35 tahun kode 4, dan > 35 tahun kode 5, pekerjaan
PNS kode 1, wiraswasta kode 2, buruh kode 3, petani kode 4, tidak bekerja kode
5, untuk jumlah anak kode 1, 2 4 kode 2 dan > 5 kode 3, untuk pengetahuan
kurang kode 1, cukup kode 2 dan baik kode 3
3) Scoring
Setelah data terkumpul kemudian diberi skor jika jawaban benar skor 1 dan
jawaban salah skor 0. Kemudian di persentasekan dengan cara jumlah jawaban
benar dibagi jumlah skor maksimal jika semua jawaban benar (jumlah soal) dan
dikalikan 100%
4) Tabulating
Dalam penelitian ini peneliti menyajikan data umum dan data khusus kedalam
bentuk tabel distribusi frekuensi.
Analisis Data.
Dari Setiap pertanyaan yang dijawab oleh responden jika benar mendapatkan
nilai 1 dan jika salah mendapatkan nilai nol. Kemudian pengetahuan ibu hamil
trimester I tentang morning sickness dianalisis dengan menggunakan rumus :
f
P=
X 100%
N
Keterangan :
P
: Prosentase
f
: Jumlah jawaban yang benar
68
HOSPITAL MAJAPAHIT
N
: Jumlah skor maksimal jika semua jawaban benar (Budiarto, 2002:37)
Kemudian hasilnya dimasukkan dalam kriteria standar penilaian meliputi:
Pengetahuan Baik
: > 75 %
Pengetahuan Cukup
: 60 - 75%
Pengetahuan Kurang
: < 60%
(Arikunto, 2006)
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Desa Desa Warung Dowo terletak di ketinggian tanah dari permukaan laut 4,5
M dengan curah hujan: 10.917 pertahun. Topografi Desa Warung Dowo terletak
pada dataran rendah dengan suhu udara rata-rata 30 oC. Luas wilayah Desa Warung
Dowo 128,029 Ha.
Jumlah penduduk sebanyak 5.465 orang, yang terdiri dari 2.733 wanita dan
2.732 Pria, Mata pencaharian terbesar penduduk adalah sebagai petani penggarap.
Jarak BPS dari kantor kecamatan + 2 km dan jarak ke kota kabupaten sejauh + 15
km.
Desa Warung Dowo Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan memiliki
fasilitas polindes yang terdiri 1 bidan yaitu bidan Ny wahyu surawati memiliki
fasilitas:
a. 1 ruang tindakan, 1 ruang nifas, 1 ruang bersalin dan 1 kamar mandi
b. Pelayanan yang diberikan berupa: Imunisasi, persalinan, KB, posyandu dan
kontrol nifas dan periksa kahamilan. Kegiatan yang diberikan di BPS Desa
Warung Dowo yaitu penyuluhan tentang morning sickness pada waktu
pemeriksaan kehamilan.
2. Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Tabel 2
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa
Warung Dowo Pohjentrek Pasuruan pada Tanggal 19, 20, 23,
27, 28 Juni 2013
No
Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
1. Tidak lulus SD
1
3,3
2. SD
9
30,0
3. SMP
11
36,7
4. SLTA
7
23,3
5. PT
2
6,7
Total
30
100,0
Berdasarkan tabel 2 dapat menunjukkan bahwa paling banyak responden
berpendidikan SMP, sedangkan responden yang tidak lulus SD mempunyai
proporsi yang paling rendah.
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 3
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Desa Warung
Dowo Pohjentrek Pasuruan Tanggal 19, 20, 23, 27, 28 Juni
2013
No
Umur
Jumlah
Persentase (%)
1. < 20 tahun
4
13,3
2. 20-35 tahun
24
83,4
5 > 35 tahun
1
3,3
Total
30
100,0
69
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
benar soal no 7 tentang tanda dan gejala yaitu morning sickness akan hilang dengan
sendirinya setelah 2 minggu, 50% responden menjawab benar soal no 13 yaitu tentang
cara mengatasi morning sickness dengan cara berolahraga di pagi hari dan 53,33%
responden menjawab benar soal no 9 yaitu tentang penyebab morning sickness bahwa
merupakan hal yang normal dengan adanya perubahan hormonal.
Faktor yang mempengaruhi emesis gravidarum meliputi faktor predisposisi yaitu
primigravida, hidramnion, kehamilan ganda, mola hidatidosa, dan faktor psikologis yang
meliputi rumah tangga yang retak, hamil yang tidak di inginkan, takut terhadap
kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai ibu, kehilangan
pekerjaan (Ipul, 2009).
Hasil tabulasi silang pada lampiran menunjukkan bahwa 4 responden yang berumur
< 20 tahun mempunyai pengetahuan yang kurang dan dari 25 responden terdapat 9 (35%)
responden yang berumur 20 35 tahun mempunyai pengetahuan kurang tentang morning
sickness. Menurut Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.
Umur yang cukup ini menyebabkan responden matang dalam memilih dan
menyaring materi atau informasi yang diterima karena bertambahnya umur seseorang
akan mempengaruhi kemampuan intelektual dalam menerima informasi. Pengetahuan
juga dipengaruhi oleh pendidikan, tabulasi silang pada lampiran menunjukkan bahwa 9
responden yang mempunyai pendidikan SD mempunyai pengetahuan yang kurang,
sedangkan 2 responden yang berpendidikan PT berpengetahuan baik mempunyai proporsi
yang lebih kecil.
Teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa makin
tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak
pula pengetahuan yang dimiliki. Tingginya pendidikan akan berpengaruh terhadap daya
serap atau penerimaan informasi yang masuk apalagi informasi yang bersifat baru dikenal
responden termasuk perihal morning sickness. Selain itu tingkat pendidikan seseorang
akan mempengaruhi pandangannya terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang
mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan tanggapan yang lebih rasional
dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama
sekali. Rendahnya pengetahuan juga dipengaruhi oleh pekerjaan responden dimana 8
responden yang tidak bekerja mempunyai pengetahuan kurang sedangkan 2 responden
yang bekerja sebagai PNS berpengetahuan baik mempunyai proporsi yang lebih kecil.
Pekerjaan adalah serangkaian tugas atau kegiatan yang harus dilaksanakan atau
diselesaikan oleh seseorang sesuai dengan jabatan atau profesi masing-masing. Status
pekerjaan yang rendah sering mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Pekerjaan
biasanya sebagai simbol status sosial di masyarakat. Masyarakat akan memandang
seseorang dengan penuh penghormatan apabila pekerjaannya sudah pegawai negeri atau
pejabat di pemerintahan (Notoatmodjo, 2003).
Ibu yang tidak bekerja menyebabkan responden sulit dalam menerima informasi
tentang morning sickness dan bertukar informasi dengan orang lain atau rekan kerja yang
mempunyai pengetahuan berbeda. Oleh karena itu penyampaian informasi pada waktu
kehamilan khususnya tentang pentingnya morning sickness sangat penting untuk dapat
merubah perilaku masyarakat terutama pada ibu hamil. Pelatihan bagi tenaga kesehatan
dan kader masyarakat tentang penanganan morning sickness sangat diperlukan guna
menunjang peningkatan pengetahuan ibu hamil tentang morning sickness.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak cara mengatasi
morning sickness adalah kurang, sedangkan cara mengatasi morning sickness pada
tingkat baik mempunyai proporsi yang paling kecil. Sebagian besar ibu tidak tahu bahwa
71
HOSPITAL MAJAPAHIT
pijatan dapat mengurangi mual pada awal kehamilan, serta ketidaktahuan ibu bahwa
makan permen mint dapat mengurangi mual. Pekerjaan adalah serangkaian tugas atau
kegiatan yang harus dilaksanakan atau diselesaikan oleh seseorang sesuai dengan jabatan
atau profesi masing-masing. Status pekerjaan yang rendah sering mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Ibu yang tidak bekerja cenderung
mempunyai waktu untuk mencari informasi tentang morning sickness. Sebaliknya ibu
yang sibuk hampir tidak mepunyai waktu untuk memperhatikan kehamilannya sehingga
ibu dapat meningkatkan pengetahuan tentang morning sickness.
Perilaku mengatasi morning sickness juga dipengaruhi oleh lebih dari setengah
responden adalah memiliki jumlah anak 1 sebanyak 17 responden (56,7%). Pengalaman
merupakan sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh kebenaran dan
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang
diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi di masa lalu. Orang yang memiliki
pengalaman akan mempunyai pengetahuan yang baik bila dibandingkan dengan orang
yang tidak memiliki pengalaman dalam segi apapun (Notoatmodjo, 2003).
Responden yang mempunyai anak pertama akan lebih memperhatikan
kehamilannya sehingga ibu dapat mencegah morning sickness, karena anak pertama ibu
belum mempunyai pengalaman cara mencegah morning sickness.
F. PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Paling banyak tingkat pengetahuan responden tentang morning sicknes adalah
kurang sebanyak 14 responden (46,7%)
2. 50% responden memiliki cara cara mengatasi morning sikness yang kurang
sebanyak 15 responden.
B.SARAN
1.
Peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian serta dapat menerapkan ilmu yang diperoleh.
2.
Lebih meningkatkan pengetahuan morning sickness baik melalui media massa,
media elektronik maupun dengan membaca buku KIA sehingga respoden dapat
mengatasi morning sickness pada kehamila selanjutnya.
3.
Bidan dapat memberikan informasi tentang cara mengatasi morning sickness
melalui penyuluhan dengan memberikan leafled sehingga dapat meningkatkan
pengetahuan ibu hamil tentang ANC.
4.
Untuk melakukan penelitian faktor lain yang mempengaruhi cara mengatasi
morning sickness pada ibu hamil trimester 1.
5.
Lebih meningkatkan sistem pembelajaran pada mahasiswa tentang cara
mengatasi morning sickness pada ibu hamil trimester 1 sehingga dapat
memberikan asuhan kebidanan.
6.
Memberikan tambahan pengetahuan responden tentang cara mengatasi
morning sickness pada saat hamil.
DAFTAR PUSTAKA
Admin.2005. Kesalahan Penerapan Pola Makan Http//.www.cyber-net.com. diakses pada
tanggal 10 Februari 2010
Arikunto. S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar. 2007. Sikap Manusia, Jakarta:EGC
Budiarto. 2002. Biostatistik. Jakarta:EGC
72
HOSPITAL MAJAPAHIT
73
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
77
HOSPITAL MAJAPAHIT
b. Fisiologi Regurgitasi
Regurgitasi merupakan keadaan lambung yang sudah dalam keadaan
terisi penuh, sehingga terkadang gumoh bercampur air liur yang mengalir
kembali keatas dan keluarmelalui mulut pada sudut mulut.Hal ini disebabkan
karena otot ktup diujung lambung tidak bisa bekerja dengan baik. Otot tidak
dapat mendorong isi lambung kebawah. Kebanyakan gumoh terjadi pada bayi
yang baru memulai kehidupannya dibulan pertama (Nanny.2010).
c. Faktor Penyebab Regurgitasi
1) Proses Menyusui yang terlalu cepar diakhiri, membuat posisi bayi saat
menyusu kurang benar sehingga banyak udara yang masuk saat menyusu
yang mengakibatkan gumoh (Nursalam,2005).
2) Kemampuan esophagus bayi yang masih kecil dan belum sempurna dapat
menyebabkan gumoh (Hegar.2005).
3) Teknik menyusui yang benar belum banyak diketahui oleh ibu ibu
menyusui sehingga banyak ibu yang menyusui bayinya dengan tidur miring
(Nanny,2010).
4) Kapasitas perut bayi yang rendah (15 30 ml), saat lambung yang penuh
dan ASI belum sampai di usus sudah terisi lagi menyebabkan Bayi
Regurgi(Hegar.2005).
5) Katup penutup lambung yang belum sempurna.
Dari mulut, susu akan masuk kesaluran pencernaan atas,baru kemudian
kelambung. Dari organ tersebut terdapat katup penutup lambung. Katup
tersebut berada diantara lambung dan esofagus (kerongkongan), apabila
bayi ditidurakan setelah disusui, sebagian susu akan keluar dari mulutnya
(Novita,2007).
6) Menangis berlebihan
Menangis yang berlebihan seperti ini membuat udara yang tertelan juga
berlebihan, sehingga sebagian isi perut sikecil akan keluar. Memang, bisa
jadi bayi anda menangis karena tidak bisa menelan susu dengan sempurna.
Jika sudah begini, jangan teruskan pemberian ASI, takutnya susu justru
masuk kedalam salurannapas dan menyumbatnya (Novita,2007).
d. Komplikasi Regurgitasi
Regurgitasi yang berlebih dapat menyebabkan komplikasi yang akan
mengganggu pertumbuhan bayi apabila cairan yang keluar tidak seimbang
dengan yang masuk. Lebih bahaya lagi bila cairan lambung masuk kedalam paru
karena sudah mengandung asam lambung bisa terjadi infeksi (Novita,2007).
Penyebab regurgitasi yang perlu diperhatikan apabila bayi tampak sakit
dan cairan yang dikeluarkan berupa darah dan menyebabkan dehidrasi dan
malnutrisi, kemungkinan adanya infeksi tenggorokan ataupun gangguan
esofagus dan perut (Hull,2008).
e. Penanganan Regurgitasi
Penanganan Regurgitasi Ada beberapa cara penanganan terhadap bayi
yang mengalami gumoh yaitu:
1) Memperbaiki Teknik Menyusui yang benar, dengan cara mulut bayi
menempel pada sebagian areola dan dagu menempel payudara ibu
(Kristiyanasari,2009).
2) Apabila Menggunakan Botol, Memperbaiki cara minumnya. Posisi botol
susu diatur sedemikian rupa sehingga susu menutupi seluruh permukaan
botol dan dot harus masuk seluruhnya (Nursalam,2005).
78
HOSPITAL MAJAPAHIT
3)
4)
5)
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Jenis penelitian ini menggunakan Analitik survey untuk mengetahui hubungan
antara sebab dan akibat, sifat penelitian observational di mana peneliti tidak
memberikan perlakuan intervensi dan menurut waktunya adalah cross sectional
dimana jenis penelitian ini menekankan pada waktu pengukurannya / observasi data
variabel independen dan dependenhanya 1x pada satu saat, tetapi tentunya semua
subjek peneliti tidak harus diobservasi pada hari / pada waktu yang sama (Nursalam,
2003). Variabel Independen daripenelitian ini adalah Teknik menyususi dan variable
dependen adalah kejadian regurgitasi pada bayi.
Kerangka Kerja
Faktor yang menyebabkan
regurgitasi :
Proses Menyusui yang terlalu
cepat diakhiri
Kemampuan esophagus bayi
yang masikecil
Teknik Menyusui yang kurang
Regurgitasi
pada bayi
tepat
Kapasitas perut bayi yang rendah
Katup penutup lambung yang
belum sempurna
YA
Menagis berlebihan
TIDAK
HOSPITAL MAJAPAHIT
a.Baik
:
15-20 Nominal
jawaban benar.
b.Cukup
:
8-14
jawaban benar.
c. Kurang :
jwaban benar.
0-7
(Stiadi,2007)
Diukur
Menggunakan
SOP
(Standart Operasional Prosedur)
Menyusui.
: n= Jumlah Sampel
N=JumlahPopulasi
D=Tingkat signifikansi
HasilBesarsampel:
80
HOSPITAL MAJAPAHIT
Metode yang digunakan dalam teknik pengumpulan data pada penelitian ini
adalah metode observasi dan ceklist atau lembar observasi meliputi data teknik
menyusui serta data kejadian regurgitasi pada responden yang akan diteliti. Metode
observasi adalah Suatu hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian
untukmenya dari adanya rangsangan (Notoatmodjo,2010). Metode ceklist adalah
suatu daftar untuk mencek, yang berisi nama subjek dan beberapa gejala sertai
dentitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo,2010)
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalampenelitian ini adalah
ceklist atau lembar observasi yang berjumlah 20 poin.
4. Prosedur Pengumpulan Data dan Analisa Data.
Teknik Pengumpulan Data
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data dengan tahap-tahap
seperti editing, coding, scoring, entrydata, clearning dan tabuling.
Analisis Data.
Penilaian teknik menyusui menggunakan chek list dengan berpedoman pada
SOP (Standar Operasional Prosedur) menyusui, Dengan menggunakan Rumus:
Keterangan: P: Prosentase
F: Jumlah jawaban yang benar
N : Jumlah Skor maximal
Skor penilaian: Baik : 15-20 jawaba benar
Cukup: 8-14 jawaban benar
Kurang: 0-7 jawaban benar
(Setiadi,2007)
Sistem penilaiannya :
1.
Teknik menyusui yang benar = bila responden melakukan > 50% tindakan
teknik menyusui yang benar sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur)
menyusui = kode 1
2.
Teknik menyusui yang tidak benar = bila responden melakukan < 50%
tindakan teknik menysui yang benar sesuai SOP (Standar Operasional
Prosedur) menyusui = kode 0
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Dalam bab ini disajikan hasil penelitian tentang Hubungan Teknik Menyusi
dengan kejadian Regurgitasi pada Bayi studi di BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes
Jln. Wijaya Kusuma no.37 Sooko Mojokerto. Penelitian ini dilaksanakan pada
tangal 2013 dengan sampel sebanyak 36 responden. Pengambilan data dilakukan
dengan observasi pada ibu menyusui dan beserta byinya yang bersedia menjadi
responden.
81
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Jumlah
36
100%
Berdasarkan tabel diatas didapatkan bahwa hampir setengah responden
pendidikan terakhirnya adalah Dasar (SD/SMP) sebanyak 17 orang (47,2%).
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Responden
Tabel 4 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu di
BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Jln. Wijaya Kusuma no.37
Sooko Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei 06 Juni 2013.
No
Pekerjaan
Frekwensi
Persen (%)
1
2
Bekerja
Tidak Bekerja
23
13
63,8
36,1
Jumlah
36
100%
Berdasarkan tabel diatas didapatkan bahwa sebagian besar responden bekerja
sebanyak 23 orang (63,8%).
82
HOSPITAL MAJAPAHIT
3. Data Khusus
a. Teknik Menyusui
Tabel 5 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Teknik Menyusui di
BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Jln. Wijaya Kusuma no.37 Sooko
Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei 06 Juni 2013.
NO Teknik Menyusui
Frekwensi
Persen (%)
1
2
3
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
10
12
14
27,77
33,33
38,88
36
100%
HOSPITAL MAJAPAHIT
menghisap (Proverawati, 2010). Teknik ini menjadikan bayi dan ibu menjalin ikatan
kasih sayang secara langsung, menciptakan kehangatan dan kenyamanan pada tubuh
bayi, bayi dapat menyusu dengan baik dengan kondisi yang nyaman.. Sebanyak 17
(47,2%) responden memegang payudara dan sebanyak 19 responden (52,7%) tidak
memegang payudara, Payudara dipegang dengan ibu jari di atas dan jari yang lain
menopang di bawah, jangan menekan puting susu atau kalang payudaranya saja
(Suherni,2009), Menyangga payudara dengan ibu jari atas dan jari menompang payudara
manfaat agar hidung bayi tidak tertutupi payudara dan bayi bernafas dengan sempurna.
Responden yang melakukan teknik pelepasan payudara dengan memasukkan jari
kelingking sebanyak 24 (66,6%) dan responden yang tidak melakukan 12 responden
(33,3%). Setelah menyusui pada satu payudara sampai kosong sebaiknya diganti dengan
payudara yang satunya, cara melepas isapan bayi: jari kelingking ibu dimasukkan
kemulut bayi melalui sudut mulut atau dagu bayi ditekan kebawah (Diah,2012). Teknik
ini digunakan saat akan selesai menyusui agar bayi tidak tersedak saat punting dilepas
dan udara tidak masuk kedalam lambung bayi.
Sebanyak 18 (50%) responden mengeluarkan ASInya sedikit dan yang tidak
mengeluarkan ASInya 18 (50%) responden. Setelah menyusui ASI dikeluarkan sedikit
kemudian dioleskan pada putting susu dan sekitar kalang payudara, biarkan kering
dengan sendirinya (Diah,2012). mengoleskan ASI pada puntting agar puntting tidak
kering dan tidak mudah lecet setelah dihisap bayi. Responden yang menyendawahkan
bayinya 14 (38,8%) responden dan yang tidak menyendawahkan bayinya sebanyak 22
(61,1%) responden. Menyendawakan bayi digunakan untuk mengeluarkan udara yang
masuk kedalam perut bayi saat menyusui(Diah,2012). Menyendawahkan setelah
menyusui membebskan saluran pencernaan dari udara yang tertelan saat menyusum aar
ASI bisa masuk kedalam lambung tidak tertahan pada krongkongan.
Teknik menyusui yang tepat dapat membuat ASI yang diminum bayi langsung
masuk kedalam lambung, Sehingga bayi tidak rewel dan bayi mendapatkan ASI yang
cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuhn dan pertumbuhannya.
Teknik menyusui yang tepat memudahkan ASI masuk sempurnah kedalam
lambung bayi dan tidak akan menyebabkan regurgitasi, karena bayi mengunci rapat
areola mame saat menyusu yang tidak menyebabkan cela udara yang dapat masuk
kedalam lambung bayi.
F. PENUTUP
1. Simpulan
Hampir setengah responden yang melakukan teknik menyusui pada kategori
kurang di BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Jln. Wijaya Kusuma no.37 Sooko
Mojokerto sebanyak 14 responden (38,88%).
2. Saran
Diharapkan agar lebih giat untuk membaca materi kepustakaan tentang teknik
menyusui dan melanjutkan pendidikan ke arah yang lebih tinggi sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan tentang metode penelitian dan bisa melakukan penelitian
analitik lebih lanjut terhadap Regurgitasi dan Teknik menyusui yakni tentang
penyuluhan penulis dan karakteristik ibu terhadap kejadian regurgitasi dan proses
teknik menyusui.
Diharapkan dapat menambah materi tentang teknik menyusui dan metode
penelitian sehingga dalam pelaksanaan praktek mahasiswa dapat meningkatkan dan
mengaplikasikan ilmunya dengan baik. Dan dapat mengembangkan penelitian ke
84
HOSPITAL MAJAPAHIT
arah yang lebih luas dengan cara mempelajari ilmu tentang metode penelitian yang
lebih aplikatif.
Diharapkan responden dapat mengerti dan memahami tentang adanya
penelitian ini, responden dapat melaksanakan teknik yang benar untuk menyusui dan
regurgitasi pada bayi bisa berkurang.
Diharapkan dapat meningkatkan pelayanan terutama pada pemberian informasi
dan konseling teknik menyusui dan pemberian ASI secara langsung atau Ekslusif
pada ibu menyusui dan ibu pasca bersalin
DAFTAR PUSTAKA
Baidrul.
Hegar.
2005.
Gumoh
Bisa
Mengganggu
Pertumbuhan
Bayi.
http://www.suaramerdeka.comdiaksestanggal 15 April 2012
Suparyanto. 2012. Sekilas Tentang Bayi Gumoh.http://www.carantrik.com diakses tanggal 14
April 2013
Dinas
Kesehatan Jawa Timur. 2010. Profil Kesehatan Jawa Timur.
http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/1321926974_Profil_Kesehatan_Pr
ovinsi_Jawa_Timur_2010.pdf
Dinas Kesehatan Kota Mojokerto. 2008. Profil Kesehatan
Jawa Timur.
http: //www.mojokertokota.go.id/picture/instansi/1328579679.pdf
Diah. 2012. Cara Menyusui Yang Benar: Posisi, Upaya Memperbanyak dan
Tanda Bayi
Cukup Asi. dalam http:// Jurnal bidan diah.blogspot.com.
Nanny Lia Dewi, Vivian. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Bonny dan Mila.2008. 40 Hari Pasca Melahirkan. Jakarta: PuspaSwara
Baidrul.
Hegar.
2005.
Gumoh
Bisa
Mengganggu
Pertumbuhan
Bayi.
http://www.suaramerdeka.com diakses tanggal 15 April 2012
Novita. 2007. SerbaSerbiAnak. Jakarta: PTElex Media Komputindo
Kristiyansari. Weni. 2009. Neonatus dan Asuhan Keperawatan Anak.Yogyakarta:
Nuha Medika
Suherni.SPd ,dkk. 2009. Perawatan MasaNifas. Yogyakarta: Fitramaya
Yuliarti. Nurheti. 2010. Keajaiban ASI.Yogyakarta: CV. Andi Offset
Maritalia.Dewi,2012. Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nursalam,2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Setiadi,2007.Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
85
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
yang menunggu di ruang ICU RSD Sidoarjo mengatakan mereka khawatir dan takut
tentang keadaan keluarganya yang dirawat di ruang ICU sehingga dalam penelitian ini
peneliti ingin meneliti tingkat kecemasan keluarga yang salah satu anggota keluarganya
di rawat di ruang ICU RSD Sidoarjo.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan dimana individu atau kelompok mengalami
perasaan yang sulit (ketakutan) aktifitas sistem syaraf otonom dalam berespon
terhadap ketidakjelasan (Carpenito, 1998 : 132 ).
Kecemasan adalah reaksi emosional terhadap penilaian individu yang
subyektif, yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui secara
khusus penyebabnya (Carolus, 1999).
Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan
dan disertai dengan nada somatic yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem
syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala tidak spesifik yang sering ditemukan dan
seringkali merupakan suatu emosi yang normal. Kecemasan patologis adalah
ketidaksesuaian dengan proporsi ancaman sesungguhnya dan bersifat maladaptif
(Kusuma, 1997 : 231).
2. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan
a. Pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara ( Dalam Tim MKDK IKIP Surabaya, 1996 :
19). Pendidikan yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada seseorang
agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mendapat
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Jhon Deweay
mengungkapkan bahwa pendidikan diartikan sebagai lantaran proses
pertumbuhan dan proses sosialisasi seseorang.
b. Informasi
Informasi adalah kejelasan tentang sesuatu yang diberikan oleh seseorang
kepada orang lain. Kurangnya informasi dan komunikasi dengan staf ICU
sehingga tidak tahu perkembangan kondisi dan tindakan apa yang sedang
dilakukan pada keluarganya yang sedang dirawat. (FK Unair RSUD Dr.
Soetomo, 2001 : 28)
c. Berkunjung
Berkunjung adalah menjenguk atau bertemu langsung dengan pasien ruang
ICU yang terisolasi dari luar, tidak memungkinkan untuk bersosialisasi dengan
anggota keluarganya yang dirawat di dalam ruang ICU (FK Unair RSUD Dr.
Soetomo, 2001 : 30)
B. Konsep Keluarga
1. Definisi keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap
dalam kaedaan saling ketergantungan Effendi, 1998: 32).
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam
suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing
menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Salvicion G, Bailon dan Aracelis
Megalaya, dikutip Nasrul Effendi, 1998: 32).
87
HOSPITAL MAJAPAHIT
2. Fungsi keluarga
Menurut Nasrul Effendy (1998 : 5) ada beberapa fungsi :
a. Fungsi biologis
Yang merupakan keturunan, memelihara dan membesarkan anak-anak,
memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
b. Fungsi psikologis
Memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberi perhatian diantara
anggota keluarga, membina kedewasaan, kepribadian anggota keluarga.
c. Fungsi sosial
Membina sosialisasi pada anak, membentuk norma tingkah laku sesuai
dengan perkembangan anak, meneruskan nilai budaya keluarga.
d. Fungsi ekonomi
Mencari sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
pengaturan penggunaan penghasilan keluarga, penabung untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
3. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Menurut Suprajitno (2004 : 18) ada lima tugas keluarga di bidang kesehatan yaitu :
a. Mengenali gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya.
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
c. Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit yang tidak dapat
membantu diri karena cacat atau usianya terlalu muda.
d. Mempertahankan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.
e. Mempertahankan hubungan timbal balik anggota antara keluarga dan lembagalembaga kesehatan.
Dari penjelasan di atas, keluarga yang memainkan sautau peran bersifat
mendukung selama masa penyembuhan dan pemulihan klien. Apabila dukungan ini
tidak ada, maka keberhasilan atau pemulihan sangat berkurang. Begitu juga dengan
masalah kesehatan di dalam keluarga sangat berkaitan. Penyakit pada salah satu
anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh keluarga tersebut. Dalam perawatan
individu, keluarga tetap berperan sebagai pengambil keputusan. Bila ada salah satu
anggota kelurga mengalami sakit kritis, maka dampaknya akan dirasakan langsung
oleh anggota keluarga yang lain maka peran dan fungsi keluarga menjadi tidak efektif
(FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001 : 70).
C. Konsep ICU
1. Pengertian Dan Tujuan
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu tempat pelayanan khusus dimana
pemantauan atau monitoring dan pengolahan atau pengobatan dilakukan lebih rinci
dibandingkan dengan unit lain (FK. Unair Dr. Soetomo, 2001 : 61).
ICU itu sendiri adalah ruang perawatan khusus atau terpisah di dalam rumah
sakit yang khusus dikelola untuk merawat pasien sakit berat, kritis dengan
melibatkan tenaga terlatih khusus dan didukung dengan peralatan khusus (Depkes,
1996).
Cakupan pelayanan intensif, sesuai dengan kebutuhan terdiri atas pelayanan
intensif serbaguna.
Pasien yang dirawat di ICU sangat bervariasi keadaan klinisnya akan pada
dasarnya mengalami disfungsi satu macam organ atau lebih terutama gangguan fungsi
nafas dan sirkulasi. Pasien dapat berasal dari kamar operasi, UGD, ruagan lain di
rumah sakit atau rujukan dari rumah sakit lain. Ada dua golongan pasien yang akan
dirawat di ICU :
88
HOSPITAL MAJAPAHIT
a. Prioritas tinggi
Pasien kritis, tidak stabil, penyakitnya masih reversible, memerlukan
perawatan intensive contoh respirator, obat inotropik, hemodialisa segera dan lainlain.
b. Prioritas rendah
Pasien dengan kemungkinan memerlukan perawatan intensive dan pasien yang
penyakitnya irreversible tetapi mengalami kegawatan bukan karena penyakit
dasarnya, dengan catatan bahwa pasien atau keluarganya sanggup menerima beban
akibat terapi tersebut.
2. Keuntungan-keuntungan Dari Ruang ICU
a. Dengan adanya peralatan yang khusus, lengkap dan canggih, setiap pasien yang
gawat dapat segera ditolong dengan alat-alat tersebut.
b. Pasien dapat diawasi dengan lebih ketat, sehingga setiap kelainan yang timbul
dapat diketahui sedini mungkin dan segera dapat pengobatan atau pertolongan
yang sesuai dengan efektif (Varon. MD, 1994 : 37).
3. Sumber-sumber Kecemasan Di Lingkungan ICU
Ruang ICU mempunyai dampak psikologis yang berupa kecemasan, bagi
pasien maupun keluarga. Yang menjadi sumber kecemasan di lingkungan ICU
(Intensive Care Unit) adalah asing dengan lingkungan dan wajah baru, runagan
isolasi, kurangnya informasi dan komunikasi antara petugas ICU dengan keluarga.
Ketergantungan terhadap alat-alat canggih, penyakit gawat serta ancaman kematian.
Faktor ekonomi juga bisa menimbulkan gangguan pikologis yang serius. Tarif ICU
yang tinggi bisa mengejutkan. Asuransi yang tidak memadai atau tidak tersedia.
Pemasukan keuangan kurang atau bahkan kehilangan pemasukan, sehingga beralasan
bisa timbul kecemasan, karena biaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup
pasien membuat hancurnya keuangan keluarga. Sumber kecemasan sama besar
pengaruhnya baik terhadap pasien maupun keluarga terutama ketika pasien adalah
salah satunya pencari nafkah dalam keluarga (FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001).
4. Penyebab Cemas Di Ruang ICU atau Perawatan Klinis Bagi Pasien
a. Perawatan canggih
b. Bunyi alarm
c. Aktiftias sibuk
d. Terpasangnya endotracheal tube, kateter, selang drainase respirator, selang
infuse, CVP dan lain-lain.
e. Nyeri
f. Tidak bisa tidur
g. Penyakit kritis
h. Imobilisasi, Imobilisasi di sini bisa karena penyakitnya sehingga klien tidak
mampu menggerakkan tubuhnya atau karena gelisah pasien di restrain (diikat).
i. Isolasi, klien merasa erpisah secara fisik dari keluarga dan teman-temannya.
j. Ketidakjelasan. Pasien merasa tidak berdaya karena tidak mampu mengontrol
diri dari lingkungannya, mereka mengalami perubahan body image, perubahan
kebiasaan diri dan perubahan peran dalam keluarga.
k. Komunikasi, karena terpasangnya endotracheal tube pasien tidak bisa
berkomunikasi secara verbal untuk mengungkapkan keluhan maupun
perasaannya.
Pasien juga bisa mengalami stress karena mendengar pembicaraan staf ICU
tentang penyakit, dan pengobatan atau tindakan yang sedang dilakukan terhadap
dirinya (FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001).
89
HOSPITAL MAJAPAHIT
90
HOSPITAL MAJAPAHIT
Kerangka Konseptual
Pasien Di Ruang ICU
Keluarga
Kecemasan Keluarga
Tingkat Kecemasan Keluarga :
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Sumber: FK Unair, RSUD Dr.soetomo,2001- Aziz Alimul, 2003
2. Variabel dan Definisi Operasional
1. Identifikasi Variabel
a. Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda
terhadap sesuatu (Nursalam, 2003 : 101). Variabel dalam penelitian ini adalah
tingkat kecemasan keluarga terhadap anggota keluarganya yang dirawat di
ICU RSD Sidoarjo.
2. Definisi Operasional
Tabel 1 Definisi operasional penelitian study tingkat kecemasan pada keluarga
pasien yang dirawat di ruang ICU RSD Sidoarjo
Definisi
Variabel
Parameter
Alat ukur
Skala
Skore
operasional
Tingkat
kecemas
Reaksi
Menurut
emosional
skala HRS-A
individu
yang
91
HOSPITAL MAJAPAHIT
Variabel
an
Definisi
operasional
subyektif yang
dipengaruhi oleh
alam
bawah
sadar
Parameter
Alat ukur
1. Perasaan HRS-A
cemas
2. Ketegang
an
3. Ketakuta
n
4. Ganggua
n tidur
5. Ganggua
n
kecerdas
an
6. Perasaan
depresi
7. gejala
somatik
8. gejala
sensorik
9. Gejala
kardiova
skular
10. Gejala
pernafasa
n
11. Gejala
Gastroint
estinal
12. Gejala
urogenet
alia
13. Gejala
vegetatif
atau
otonom
14. Gejala
perilaku
Skala
Skore
kece
masa
n
14-20 =
kece
masa
n
ringa
n
21-27 =
kece
masa
n
sedan
g
28-41 =
kece
masa
n
berat
42-56 =
kece
masa
n
berat
sekali
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
mempunyai hubungan suami istri, adik, suami, menantu, ayah, ibu, kakak, dengan
pasien yang dirawat.
2.
Data khusus
Tabel 6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat kecemasan
keluarga dengan salah satu anggota keluarga dirawat di Ruang ICU
RSD Sidoarjo
No
Tingkat kecemasan
Frekuensi
Prosentase (%)
1.
Tidak ada kecemasan
2
6,7
2.
Kecemasan ringan
5
16,7
3.
Kecemasan sedang
13
43,3
4.
Kecemasan berat
10
33,3
5.
Kecemasan sangat berat 0
0
Total
30
100
Dari tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa jumlah responden yang mengalami
tingkat kecemasan sedang adalah yang terbanyak yaitu sebesar 43,3% dan tidak ada
responden yang mengalami kecemasan sangat berat atau panik.
E. PEMBAHASAN
Pada Pada bagian ini peneliti akan membahas hasil penelitian yang didapatkan
dengan menganalisa, membandingkan hasil kajian dan literatur yang peneliti baca.
Berdasarkan data yang diteliti, dapat diketahui bahwa keluarga yang salah satu
anggota keluarganya dirawat di ruang ICU RSD Sidoarjo hampir separuhnya mengalami
tingkat kecemasan sedang yaitu sebesar 43,3%. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian
besar tingkat pendidikan responden yaitu 40% berpendidikan SLTA. Ini membuktikan
bahwa rata-rata tingkat pendidikan responden cukup tinggi sehingga mereka dapat
menerima dan mencerna informasi yang diberikan perawat dengan baik. Selain tingkat
pendidikan tingkat kecemasan sedang yang dialami keluarga juga dapat disebabkan oleh
umur. Dari data didapatkan 53,3% responden berumur 20-30 tahun. Dimana pada umur
tersebut seseorang sudah mulai matang dalam berpkir. Hal ini sesuai dengan pendapat
Maramis (1990) yang menyebutkan bahwa semakin rendah umur dan pendidikan maka
semakin tinggi kecemasan yang dialami seseorang.
Selain 2 hal di atas timgkat kecemasan sedang yang dialami keluarga pasien di
ruang ICU dapat disebabkan oleh koping keluarga yang cukup baik, komunikasi antara
tim medis termasuk perawat sudah cukup baik yaitu mengenai pemberian informasi
tentang perkembangan kondisi kesehatan pasien. Serta faktor-faktor internal dari keluarga
itu sendri misalnya hubungan keluarga dengan pasien yang dirawat, juga pengalaman
keluarga, apakah pernah dirawat di rumah sakit atau sering menunggu keluarga yang
dirawat di rumah sakit.
Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Nyoman Nurmiti (2001) di Seminar
Keperawatan Pasien Sakit Kritis FK Unair, RSUD Dr. Soetom tentang monitoring pasien
ICU fungsi dan peran keluarga jadi tidak efektif lagi. Adapun respon keluarga tergantung
dari hubungan antar anggota keluarga, karakteristik personal masing-masing, pengalaman
dirawat di rumah sakit, pengalaman menghadapi stressor, mekanisme koping serta
keyakinan agama, hidup dan mati.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami tingkat
kecemasan berat adalah sebanyak 10 orang responden (33,3%) dari seluruh jumlah
responden. Pada kecemasan berat memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal
95
HOSPITAL MAJAPAHIT
terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan
banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain (Stuart and Sundeen,
1998 : 175).
Tingkat kecemasan berat yang dialami keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU
dapat disebabkan oleh hubungan responden atau keluarga dengan pasien yang dirawat di
ruang ICU. Dari 30 orang responden yaitu sebesar 33,3% adalah mempunyai hubungan
anak dengan pasien yang ada di dalam. Seorang anak mempunyai ikatan batin serta
hubungan yang lebih erat, karena ada pertalian darah secara langsung. Seorang pasien
cenderung mengingainkan anaknya saat dirawat atau sakit. Namun juga harus
diperhatikan pengaturannya, jika seorang perawat mengizinkan keluarga pasien untuk
masuk ke ruang ICU. Jika pasien menginginkan untuk melihat atau dikunjungi anak-anak
atau cucu dan bila anak menginginkan untuk melihat pasien dalm unit pasien, anak-anak
harus diberi penjelasan singkat dan sederhana tentang kondisi pasien dalam unit
perawatan kritis (Hudak and Gallo, 1997 : 33)
F. PENUTUP
A. Simpulan
Sebanyak 43,3% dari 30 orang responden mengalami tingkat kecemasan
sedang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kecemasan yang paling banyak
dialami oleh keluarga yang salah satu anggotanya dirawat di ruang ICU RSD Sidoarjo
adalah tingkat kecemasan sedang.
B. Saran
1. Peneliti menyarankan agar peneliti selanjutnya dapat lebih memperhatikan kondisi
yang dialami keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU.
2. Hendaknya RS merancang ruang ICU sedemikian rupa sehingga kebutuhan
psikologis pasien dan keluarga menjadi terpenuhi, seperti penunggu dilengkapi
alat komunikasi (airphone) sehingga walaupun pengunjung tidak diperbolehkan
masuk ruang ICU, pasien yang kesadarannya membaik bisa berkomunikasi
dengan keluarganya dan lebih sering membuka tirai ruang ICU agar keluarga
dapat melihat keadaan keluarga yang dirawat di dalam.
3. Hendaknya memberi informasi tentang segala prosedur tentng perawatan pasien di
ruang ICU, informasi tentang tujuan dari segala sesuatu yang dilakukan pada
pasien serta informasi tentang keadaan dan perkembangan kondis pasien dengan
cara yang jelas, bijaksana, dan hati-hati terutama jika keadaan pasien memburuk.
4. Hendaknya lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan percaya bahwa yang
dilakukan staf ICU sudah sesuai prosedur dan semua untuk yang terbaik bagi
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, H,A. (2003), Metodologi Penelitian, Jakarta : Salemba Medika
Arikunto, S. (2002), Prosedur Penelitian, Ed.4. Yogjakarta : Rineka Cipta
Carpenito, L.J, (1998), Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinik, Ed.6, Jakarta :
EGC
Depkes RI, (1996). Standart Pelayanan Rumah Sakit, Cetakan 4, Jakarta.
Effendy, Nasrul, (1998), Keperawatan Kesehatan Keluarga, Jakarta : EGC
Fakultas Kedokteran Unair. (2001). Materi Pendidikan Pelatihan Perawatan ICU Tingkat
Dasar, Surabaya : SMF Anestesi dan Reanimasi
96
HOSPITAL MAJAPAHIT
97