Anda di halaman 1dari 106

ISSN : 2085 - 0204

JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT

DIAN IRAWATI
FARIDA YULIANI
Pengaruh Faktor Psikososial Dan Cara Persalinan Terhadap Terjadinya Post
Partum Blues Pada Ibu Nifas (Studi di Ruang Nifas RSUD R.A Bosoeni Mojokerto)
EKA DIAH KARTININGRUM
NUR SAIDAH
Faktor Yang Mempengaruhi Kematian Ibu Di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
HANY PUSPITA ARYANI
Perubahan Level Insulin Dan Perkembangan Follicle Pada Tikus (Rattus
Norvegicus) Sebagai Model Pengobatan SOPK- Resistensi Insulin Melalui
Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto
NURUN AYATI KHASANAH
Hubungan Sikap Ibu Tentang Kesulitan Makan Dengan Status Gizi Anak Usia Pra
Sekolah (3-6 Tahun) Di Desa Wonosari Ngoro Mojokerto
SARI PRIYANTI
Cara Mengatasi Morning Sickness Pada Ibu Hamil Trimester I Di BPS Ny. Wahyu
Surowati Desa Warungdowo Pohjentrek Pasuruan
FARIDA YULIANI
Teknik Menyusui Yang Benar Pada Ibu Menyusui Studi
Di BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Mojokerto
TRI PENI
Kecemasan Keluarga Pasien Ruang ICU Rumah Sakit Daerah Sidoarjo

HOSPITAL
MAJAPAHIT

VOL 6

NO. 1

Hlm.
1 - 97

Mojokerto
Pebruari 2014

ISSN
2085 - 0204

JURNAL ILMIAH KESEHATAN


POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO

HOSPITAL MAJAPAHIT
Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan
yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
Pembina
Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit
Nurwidji
Pelindung
Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit
dr. Rahmi, S.A.
Ketua Penyunting
Eka Diah Kartiningrum, SKM., M.Kes.
Wakil Ketua Penyunting
Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. M.Kep.
Penyunting Pelaksana
Widya Puspitasari, Amd
Farida Yuliani, MKes
Anwar Holil, M.Pd.
Penyunting Ahli
Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc.
Nursaidah, M.Kes
Rifaatul Laila Mahmudah, M.Farm.Klin
Distribusi
dr Achmad Husein
Alamat Redaksi :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com
BIAYA BERLANGGANAN
Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim

HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 6. No. 1, Pebruari 2014

ISSN : 2085 - 0204

Pengantar Redaksi,
Jurnal Hospital Majapahit Vol 6 no 1 tahun 2014 bertemakan tentang upaya peningkatan
kualitas generasi bangsa mengupas tentang penelitian yang dilakukan oleh dosen Poltekkes
Majapahit dan penulis dari luar yang juga mengupas tentang alternatif upaya untuk mengatasi
masalah kesehatan reproduksi.
Artikel yang pertama ditulis oleh Dian Irawati dan Farida Yuliani yang berjudul Pengaruh
Faktor Psikososial Dan Cara Persalinan Terhadap Terjadinya Post Partum Blues Pada Ibu
Nifas (Studi di Ruang Nifas RSUD R.A Bosoeni Mojokerto). Pasca melahirkan ibu akan
mengalami beberapa perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis, seorang
ibu akan merasakan gejala gejala psikiatrik setelah melahirkan, beberapa penyesuaian
dibutuhkan oleh ibu. Sebagian ibu bisa menyesuaikan diri dan sebagian tidak bisa
menyesuaikan diri, bahkan bagi mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri mengalami
gangguan gangguan psikologis. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada pengaruh kelompok
umur, paritas, pendidikan, dukungan suami, status kehamilan, dan pengetahuan terhadap
terjadinya postpartum blues.
Artikel yang kedua ditulis oleh Eka Diah Kartiningrum dan Nur Saidah yang berjudul Faktor
Yang Mempengaruhi Kematian Ibu Di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010. Analisis kematian
ibu di Indonesia dilakukan menggunakan Regresi Linier dengan variabel prediktor antara lain:
cakupan antenatal care (K1-K4), cakupan penolong persalinan, rasio bidan/ 1000 kelahiran,
rasio bidan desa yang tinggal di desa, persalinan di fasilitas kesehatan, sehingga dapat
diperoleh kesimpulan bahwa untuk mencapai target MDGs maka 7.187 kematian ibu harus
dicegah, dan persalinan oleh tenaga kesehatan 95% hanya dapat mencegah 3.138 kematian.
Dampak ketidaktepatan pemilihan penggunaan regresi adalah ketidaktepatan dalam estimasi
parameter sehingga pada akhirnya berdampak pada pengambilan kesimpulan dan keputusan
pada program, sehingga perencanaan program pencegahan kematian ibu menggunakan
parameter yang sesuai dengan regresi linier menjadi tidak tepat. Regresi ZIP mampu
mengendalikan overdispersi dalam distribusi Poisson dan inflasi nilai 0 sehingga akurasi
estimasi parameter dapat terjamin. Hasil penelitian menjelaskan estimasi parameter model log
menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan nifas, dan
komplikasi kehamilan mempengaruhi jumlah kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun
2010, sedangkan estimasi parameter model logit menunjukkan bahwa probabilitas kejadian
kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 dipengaruhi oleh persalinan oleh tenaga
kesehatan, dan pelayanan masa nifas.
Artikel yang ketiga ditulis oleh Hany Puspita Aryani dengan judul Perubahan Level Insulin
Dan Perkembangan Follicle Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Sebagai Model Pengobatan
SOPK- Resistensi Insulin Melalui Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto. Infertilitas menjadi
masalah yang berat bagi pasangan masa reproduksi yang menginginkan kehamilan atau anak
dan menjadi masalah yang berat apabila tidak mendapat penanganan yang tepat. Banyak hal
yang dapat menyebabkan infetilitas, salah satunya diantaranya adalah Sindroma Ovarium
Polikistik (SOPK). Kejadian infertilitas pada penderita SOPK cukup tinggi penyebab
terbanyak kelainan endokrin yang melibatkan 5%-10% wanita dalam masa reproduksi. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa Pemberian ekstrak sambiloto tidak memberikan perubahan
signifikan kadar insulin 0.554 (p > 0.05) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Pemberian ekstrak sambiloto memberikan perubahan perkembangan folikel pada folikel

HOSPITAL MAJAPAHIT
primer sebesar 0.031 (p < 0.05) dan folikel de Graff sebesar 0.002 (p < 0.05) antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan.
Artikel yang keempat ditulis oleh Nurun Ayati Khasanah dengan judul Hubungan Sikap Ibu
Tentang Kesulitan Makan Dengan Status Gizi Anak Usia Pra Sekolah (3-6 Tahun) Di Desa
Wonosari Ngoro Mojokerto. Kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit merupakan
penyebab langsung malnutrisi yang paling penting. Penyakit, terutama penyakit infeksi,
mempengaruhi jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh. Kurangnya
asupan makanan sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan,
kurangnya kualitas makanan yang diberikan dan cara pemberian makanan yang salah.
Memberi makan kepada anak-anak terkadang menyulitkan. Anak tidak selalu menyukai apa
yang diberikan kepada mereka. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan sikap ibu
tentang kesulitan makan dengan status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto.
Artikel yang kelima ditulis oleh Sari Priyanti dengan judul Cara Mengatasi Morning Sickness
Pada Ibu Hamil Trimester I Di BPS Ny. Wahyu Surowati Desa Warungdowo Pohjentrek
Pasuruan. Adanya perasaan mual belum memastikan bahwa wanita itu hamil, biarpun sebagian
wanita hamil mengalaminya. Keadaan semacam itu bisa pula terjadi pada penyakit lain seperti
hepatitis, malaria, ulcus ventricule, walaupun keadaannya tidak sama dengan rasa mual pada
kehamilan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa paling banyak tingkat pengetahuan responden
tentang morning sicknes adalah kurang dan masih banyak responden yang memiliki cara cara
mengatasi morning sikness yang kurang.
Artikel yang keenam ditulis oleh Farida Yuliani dengan judul Teknik Menyusui Yang Benar
Pada Ibu Menyusui Studi Di BPSUmi Muntadiroh S,ST.Mkes Mojokerto. Regurgitasi
merupakan kondisi yang biasa terjadi pada bayi, tetapi jika berlebihan dan tidak ditangani bisa
mengakibatkan komplikasi dan terganggunya pertumbuhan bayi. Komplikasi yang terjadi
apabila gumoh berlebihan menyebabkan terjadinya refluks gastroesofagus yaitu adanya aliran
balik dari lambung kekerongkongan yang menyebabkan kerusakan dinding kerongkongan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden yang melakukan teknik menyusui
pada kategori kurang di BPS Umi Muntadiroh S,ST.MKes.
Artikel yang ketujuh ditulis oleh Tri Peni dengan judul Kecemasan Keluarga Pasien Ruang ICU
Rumah Sakit Daerah Sidoarjo. Masalah masalah kecemasan pada keluarga pasien yang dirawat
di ruang ICU penting sekali diperhatikan karena dalam perawatan pasien dan keluarga
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini perlu
menjadi perhatian penting untuk perawat, dokter dan staf kesehatan yang lain. Keluarga
mempunyai peranan yang penting dalam pengambilan keputusan dan sering harus dilibatkan
secara langsung atau tidak langsung dalam tindakan pertolongan yang diberikan pada pasien.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa tingkat kecemasan yang paling banyak dialami oleh
keluarga yang salah satu anggotanya dirawat di ruang ICU RSD Sidoarjo adalah tingkat
kecemasan sedang. Semua artikel diharapkan mampu memberikan masukan dan rekomendasi
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan seluruh masyarakat Indonesia.
Redaksi,

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6. No. 1, Pebruari 2014

ISSN : 2085 - 0204

Kebijakan Editorial dan Pedoman Penulisan Artikel


Kebijakan Editorial
Jurnal Hospital Majapahit diterbitkan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto secara
berkala (setiap 6 bulan) dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi hasil penelitian,
artikel ilmiah kepada akademisi, mahasiswa, praktisi dan lainnya yang menaruh perhatian
terhadap penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan. Lingkup hasil penelitian dan artikel
yang dimuat di Jurnal Hospital Majapahit ini berkaitan dengan pendidikan yang dilakukan oleh
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto.
Jurnal Hospital Majapahit menerima kiriman artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris. Penentuan artikel yang dimuat dalam Jurnal Hospital Majapahit dilakukan
melalui proses blind review oleh editor Hospital Majapahit. Hal-hal yang dipertimbangkan
dalam penentuan pemuat artikel, antara lain : terpenuhinya syarat penulisan dalam jurnal
ilmiah, metode penelitian yang digunakan, kontribusi hasil penelitian dan artikel terhadap
perkembangan pendidikan kesehatan. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke
Hospital Majapahit, tidak dikirim atau dipublikasikan dalam majalah atau jurnal ilmiah lainnya.
Editor bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang akan
dimuat, dan apabila dipandang perlu editor menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada penulis.
Artikel yang diusulkan untuk dimuat dalam jurnal Hospital Majapahit hendaknya mengikuti
pedoman penulisan artikel yang dibuat oleh editor. Artikel dapat dikirim ke editor Jurnal
Hospital Majapahit dengan alamat :

Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6. No. 1, Pebruari 2014

ISSN : 2085 - 0204

Pedoman Penulisan Artikel.


Penulisan artikel dalam jurnal kesehatan hospital majapahit yang diharapkan menjadi
pertimbangan penulis.
Format.
1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm).
2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan Courier atau Times New Roman font 11 12
atau sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman.
3. Margin atas, bawah, samping kanan dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi.
4. Semua halaman sebaiknya diberi nomor urut.
5. Setiap table dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar
serta sumber kutipan.
6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor
halaman jika dipandang perlu. Contoh :
a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Rahman, 2003), jika disertai dengan
halaman (Rahman, 2003:36).
b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (David dan Anderson, 1989).
c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari satu penulis (David dkk, 1989).
d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (David, 1989, 1992), jika tahun
publikasi sama (David, 1989a, 1989b).
e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim
yang bersangkutan (BPS, 2007: DIKNAS, 2006).
Isi Tulisan.
Tulisan yang berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut :
Abstrak, bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi masalah
penelitian, tujuan, metode, hasil, dan kontribusi hasil penelitian. Abstrak disajikan diawal teks
dan terdiri antara 200 sampai dengan 400 kata (sebaiknya disajikan dalam bahasa inggris).
Abstrak diberi kata kunci (key word) untuk memudahkan penyusunan indeks artikel.
Pendahuluan, menguraikan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi
landasan untuk menjadi hipotesis dan model penelitian.
Kerangka Teoritis, memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi
landasan untuk mengembangkan hipotesis dan model penelitian.
Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi
Dan pengukuran variable serta metode dan teknik analisis data yang digunakan.
Hasil Penelitian, berisi pemaparan data hasil tentang hasil akhir dari proses kerja teknik
analisis data, bentuk akhir bagian ini adalah berupa angka, gambar dan tabel.
Pembahasan, memuat abstraksi peneliti setelah mengkaji hasil penelitian serta teori teori
yang sudah ada dan dijadikan dasar penelitian.

HOSPITAL MAJAPAHIT
Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu
saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka.
Jurnal :
Berry, L. 1995. Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective.
Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 245.
Buku :
Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Artikel dari Publikasi Elekronik :
Orr. 2002. Leader Should do more than reduce turnover. Canadian HR Reporter. 15, 18,
ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04].
Majalah :
Widiana ME, 2004. Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Pedoman :
Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : Users Reference Guide, Chicago, SSI International.
Simposium :
Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in
Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian
Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia.
Paper :
Martinez and De Chernatony L. 2002. The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand
Image. Working Paper. UK : The University of Birmingham.
Undang-Undang & Peraturan Pemerintah :
Widiana ME, 2004. Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Skripsi, Thesis, Disertasi :
Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori
Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage
Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika
Indonesia.
Surat Kabar :
Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5).
Penyerahan Artikel :
Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada :

Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com

HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol6. No. 1, Pebruari 2014

ISSN : 2085 - 0204

DAFTAR ISI

PENGARUH FAKTOR PSIKOSOSIAL DAN CARA PERSALINAN TERHADAP


TERJADINYA POST PARTUM BLUES PADA IBU NIFAS (STUDI DI RUANG
NIFAS RSUD R.A BOSOENI MOJOKERTO) ...................................................................................
Dian Irawati
Farida Yuliani

Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMATIAN IBU DI PROPINSI JAWA


TIMUR TAHUN 2010 ..........................................................................................................................................
Eka Diah Kartiningrum
Nur Saidah

15

Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

PERUBAHAN LEVEL INSULIN DAN PERKEMBANGAN FOLLICLE PADA


TIKUS (RATTUS NORVEGICUS) SEBAGAI MODEL PENGOBATAN SOPKRESISTENSI INSULIN MELALUI PEMBERIAN EKSTRAK DAUN
SAMBILOTO ............................................................................................................................................................
Hany Puspita Aryani

31

Dosen Stikes Husada Jombang

HUBUNGAN SIKAP IBU TENTANG KESULITAN MAKAN DENGAN STATUS


GIZI ANAK USIA PRA SEKOLAH (3-6 TAHUN) DI DESA WONOSARI NGORO
MOJOKERTO..........................................................................................................................................................
Nurun Ayati Khasanah

40

CARA MENGATASI MORNING SICKNESS PADA IBU HAMIL TRIMESTER I


DI BPS NY. WAHYU SUROWATI DESA WARUNGDOWO POHJENTREK
PASURUAN ..............................................................................................................................................................
Sari Priyanti

60

Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

TEKNIK MENYUSUI YANG BENAR PADA IBU MENYUSUI STUDI


DI BPS UMI MUNTADIROH S,ST.MKES MOJOKERTO .......................................................
Farida Yuliani
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

74

HOSPITAL MAJAPAHIT
KECEMASAN KELUARGA PASIEN RUANG ICU RUMAH SAKIT DAERAH
SIDOARJO .................................................................................................................................................................
Tri Peni
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com

86

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

PENGARUH FAKTOR PSIKOSOSIAL DAN CARA PERSALINAN TERHADAP


TERJADINYA POST PARTUM BLUES PADA IBU NIFAS
(Studi di Ruang Nifas RSUD R.A Bosoeni Mojokerto)
Dian Irawati1, Farida Yuliani2
1,2
Dosen Poltekkes Majapahit
ABSTRACT
Postpartum blues or postpartum mental disorders are many found and not treated
properly. The objectives of this study is to determine the effect of psychosocial factors (age,
parity, education, knowledge, husband support, socio- economic, marital status, pregnancy
status) on the postpartum blues. So the healthcare provider can treat postpartum blues
considered by maternal psychosocial factors. Assessment of psychosocial factors indicate that
the treat of postpartum blues not only depend on mothers and health care provider but of all
the families. The multisectoral traetment will prevent postpartum depression and decreasing
the incidence of psychosis in the mother and child .
This study designed by cross-sectional design. Samples taken by random sampling.
Samples of this study as many as 37 respondents who given birth at RA Basoeni Hospital,
Mojokerto. By using observation and structured interviews, research was held on June 7 to
18 October 2013. Variables of this study are age, parity, education, knowledge, husband
support, socio- economic, marital status, pregnancy status, and postpartum blues.
The results showed the majority of respondents aged < 20 years and > 35 years, with
a high education, had married, has a high socioeconomic, multiparous, unwanted pregnancy
status, no husband support, lack of knowledge, sectio caesarea, and more than 50 % of
respondents get postpartum blues. Using by the logistic regression, the results showed that
the effect on the incidence of postpartum blues are age, parity, educational level, husband
support, pregnancy status, and knowledge (p value < 0.05) .
The holistic treatment is important to decrease incidence of postpartum blues. Early
detection or screening should be a routine assessment in postpartum mothers. Healthcare
provider should be considerate to the presence of depressive symptoms in postpartum
mothers.
Keyword : Psychosocial, knowledge, labor, postpartum blues
A. PENDAHULUAN
Pasca melahirkan ibu akan mengalami beberapa perubahan, baik perubahan fisik
maupun perubahan psikologis, seorang ibu akan merasakan gejala gejala psikiatrik
setelah melahirkan, beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh ibu. Sebagian ibu bisa
menyesuaikan diri dan sebagian tidak bisa menyesuaikan diri, bahkan bagi mereka yang
tidak bisa menyesuaikan diri mengalami gangguan gangguan psikologis dengan berbagai
macam sindrom atau gejala, oleh peneliti hal ini disebut postpartum blues (Marshall,
2004).
Angka kejadian Post Partum Blues cukup tinggi yakni 26,00% - 85,00%. Dari
beberapa penelitian dijelaskan sebanyak 50,00% ibu setelah melahirkan mengalami
depresi setelah melahirkan dan hampir 80,00% ibu baru mengalami perasaan sedih
setelah melahirkan atau sering disebut Post Partum Blues ( Kasdu, 2003). Pieter & Lubis
(dalam Kusumadewi, 2010) menyatakan 50 70 % dari seluruh wanita pasca melahirkan
akan mengalami sindrom ini. Sedangkan di Indonesia menurut Hidayat yaitu 50 70 %
1

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

dan hal ini dapat berlanjut menjadi depresi postpartum dengan jumlah bervariasi dari 5%
hingga lebih dari 25% setelah ibu melahirkan (Daw dan Steiner dalam Bobak dkk.,
2005).
Postpartum Blues (PPB) atau sering juga disebut Maternity Blues atau Baby Blues
dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam
minggu pertama setelah persalinan dan memuncak pada hari ke tiga sampai kelima dan
menyerang dalam rentang waktu 14 hari terhitung setelah persalinan (Arfian, 2012).
Adapun tanda dan gejalanya seperti : reaksi depresi/sedih/disforia, menangis, mudah
tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri,
gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Gejala-gejala ini mulai muncul setelah
persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam
sampai beberapa hari. Namun pada beberapa minggu atau bulan kemudian, bahkan dapat
berkembang menjadi keadaan yang lebih berat (Murtiningsih, 2012).
Penyebab post partum blues tidak diketahui secara pasti namun salah satunya
adalah riwayat kehamilan dan persalinan dengan komplikasi. Persalinan dengan sectio
caesarea mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemungkinan terjadinya post
partum blues, dari 63 persalinan caesar, 25% mengalami post partum blues dan dari 52
persalinan normal hanya 8 % yang mengalami post partum blues (Freudenthal, 1999).
Mereka yang melahirkan dengan cara operasi caesar cenderung menderita depresi jika
dibandingkan mereka yang melahirkan secara normal. Risiko depresi juga lebih tinggi
48% pada mereka yang memilih melahirkan dengan operasi dibanding yang dibedah
karena alasan medis. Para peneliti beranggapan ini disebabkan oleh perasaan gagal yang
timbul karena tidak dapat melahirkan secara normal. Kemungkinan depresi juga timbul
karena proses pemulihan pasca-operasi caesar akan memakan waktu lebih lama.
Faktor faktor yang mempengaruhi postpartum blues adalah yang faktor psikologis
yang meliputi dukungan keluarga khusunya suami. faktor demografi yang meliputi usia
dan paritas, factor fisik yang disebabkan kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh bayi,
meyusui, memandikan, mengganti popok, dan faktor sosial meliputi sosial ekonomi,
tingkat pendidikan, status perkawinan (Nirwana, 2011).Faktor-faktor yang
mempengaruhi post partum blues biasanya tidak berdiri sendiri sehingga gejala dan
tanda post partum blues sebenarnya adalah suatu mekanisme multifaktorial.
Kondisi sosio ekonomi seringkali membuat psikologi ibu terganggu. pada
keluarga yang mampu mengatasi pengeluaran untuk biaya perawatan ibu selama
persalinan, serta tambahan dengan hadirnya bayi baru ini mungkin hampir tidak
merasakan beban keuangan, akan tetapi keluarga yang menerima kelahiran seorang bayi
dengan suatu beban finansial dapat mengalami peningkatan stres, stres ini bisa
mengganggu perilaku orang tua sehingga membuat masa transisi untuk memasuki pada
peran menjadi orang tua akan menjadi ledih sulit (Bobak et all, 2005).
Menurut Murtiniingsih (2012) post partum blues merupakan masalah yang wajar
terjadi setelah melahirkan. Tapi ada wanita yang mengalami baby blues dengan kondisi
tingkatan yang berbeda, lebih lama dan perubahan sikap serta perilaku yang lebih parah
dan sering disebut dengan post partum blues. Oleh karena itu dari beberapa faktor yang
ada wanita yang mengalami post partum blues, sangat membutuhkan perhatian
khususnya dari keluarga, serta kesiapan untuk menjadi orang tua baik secara fisik
maupun materil.
Setyowati dan Uke Riska (2006) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi
terjadinya Post Partum Blues diantaranya pengalaman kehamilan dan persalinan yang
meliputi komplikasi dan persalinan dengan tindakan, dukungan sosial diantaranya
dukungan kelurga, keadaan bayi yang tidak sesuai harapan. Dari 31 ibu yang melahirkan
2

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

dan memenuhi kriteria, terdapat 17 ibu (54,48%) mengalami post partum blues yang
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya, pengalaman kehamilan dan persalinan sebesar
38,71%, dukungan social 19,53%, keadaan bayi saat lahir 16,13%. Data yang diperoleh
peneliti pada tanggal 1 sampai 28 Februari 2013 didapatkan hasil dari 39 ibu bersalin post
SC, didapatkan 55% ibu mengalami postpartum blues. Baby blues seharusnya segera
ditangani. Jika tidak, baby blues akan berujung pada gangguan mental yang memotivasi
sang ibu untuk menyakiti dirinya sendiri.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Post Partum Blues
a. Pengertian
Post partum blues adalah suatu stress psikologis ringan pada wanita pasca
persalinan. Periode ketidak enakan badan pada hari pertama atau kedua pasca
melahirkan, dicirikan oleh kebahagiaan yang luar biasa dan perasaan yang sangat
sehat, selalu diikuti oleh periode kesedihan blues (Bobak, Laudermilk, Jensen, et
all, 2005). Menurut Cunningham (2006) postpartum blues adalah gangguan suasana
hati yang berlangsung selama 3 sampai 6 hari pasca melahirkan. Post partum
sendiri sudah dikenal sejak lama, Savage pada tahun 1875 telah menulis referensi di
literature kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca salin yang
disebut sebagai milk fever karena gejala. Diforia tersebut muncul bersamaan
dengan laktasi. Dewasa ini post partum blues atau sering disebut juga maternity
blues atau baby blues yang dimengerti sebagai sindroma gangguan efek ringan
yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan.
b. Jenis gangguan psikologis ibu post partum
1) Postpartum blues
Terjadi pada hari pertama sampai sepuluh harui setelah melahirkan dan
hanya bersifat sementara, dengan gejala gangguan mood, rasa marah, mudah
menangis, sedih, nafsu makn menurun, sulit tidur( Arfian, 2012). Keadaan ini
akan terjadi beberapa hari saja setelah melahirkan dan biasanya akan hilang
dalam bebrapa hari.
2) Depresi postpartum
Gejala yang timbul adalaah perasaan ssedih, tertekan, sensitif, merasa
bersalah, lelah, cemas, dan tidak mampu merawat dirinya dan bayinya. Keadaan
ini memerlukan psikoterapi dan obat obatn disamping dukungan sosial (Arfian,
2012).
3) Postpartum psikosis
Depresi berat yaitu dengan gejala proses pikir yang dapat mengancam
dan membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayinya sehingga memerlukan
pertolongan dari tenaga profesional yaitu psikeater dan pemberian obat (Arfian,
2012).

c. Faktor Penyebab Post Partum Blues


Faktor-faktor yang mempengaruhi post partum blues biasanya tidak berdiri
sendiri sehingga gejala dan tanda post partum blues sebenarnya adalah suatu
mekanisme multifafaktorial. Sejauh ini belum ada mekanisme biokimia atau neuron
dokrin yang jelas.

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

1) Faktor Demografi
Meliputi umur dan paritas. Ibu primi yang tidak mempunyai pengalaman dalam
mengasuh anak, ibu yang berusia remaja, ibu yang berusia lebih dari 35 tahun
adalah yang beresiko terkena Post Partum Blues (Bobak, Laudermilk, Jensen, et
all, 2005).
2) Faktor Psikologis
Berkurangnya perhatian keluarga, terutama suami karena semua perhatian
tertuju pada anak yang baru lahir. Padahal usia persalinan si ibu merasa lelah
dan sakit pasca persalinan membuat ibu membutuhkan perhatian. Kecewa
terhadap penampilan fisik si kecil karena tidak sesuai dengan yang di inginkan
juga bisa memicu Baby Blues. Ibu yang melahirkan secara operasi akan merasa
bingung dan sedih terutama jika operasi tersebut dilakukan karena keadaan yang
darurat (tidak direncanakan sebelumnya) ( Kasdu, 2003).
3) Faktor Fisik
Kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan,
menganti popok, dan menimang sepanjang hari bahkan tak jarang di malam buta
sangatlah menguras tenaga. Apalagi jika tidak ada dari suami atau anggota
keluarga yang lain (Nirwana, 2011)
4) Faktor Sosial
Tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak direncanakan
sebelumnya dan keadaan sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap kejadian
post partum blues (Afrian, 2012). Kekhawatiran pada keadaan sosial ekonomi,
seperti tinggal bersama mertua, lingkungan rumah yang tidak nyaman, dan
keadaan ibu yang harus kembali bekerja setelah melahirkan.
Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan oleh ahli-ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
postpartum blues dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok:
1) Faktor Biologis
a) Faktor Hormonal, yaitu terjadinya perubahan kadar sejumlah hormon dalam
tubuh ibu pasca persalinan secara tiba-tiba dalam jumlah yang besar, yaitu
progesteron, estrogen, kelenjar tiroid, endorfin, estradiol, cortisol, dan
prolaktin yang menimbulkan reaksi afektif tertentu.
b) Faktor Kelelahan Fisik, yaitu kelelahan fisik akibat proses persalinan yang baru
dilaluinya, dehidrasi, kehilangan banyak darah, atau faktor fisik lain yang dapat
menurunkan stamina ibu.
c) Faktor Kesehatan, seperti sejarah premenstrual syndrome.
2) Faktor Psikologis
a) Faktor Kepribadian, yaitu:Wanita yang menilai dirinya lebih maskulin; Wanita
perfeksionis dengan pengharapan yang tidak realistis dan selalu berusaha
menyenangkan orang lain; Ibu dengan harga diri yang rendah; Wanita yang
mudah mengalami kecemasan, ketakutan akan tugas dan terjadinya depresi
selama kehamilan.
b) Karakteristik lain individu, yaitu:
i) Ibu primipara (melahirkan anak pertama).
ii) Ibu yang berusia remaja.
3) Faktor Sosial
a) Respon terhadap kehamilan dan persalinan, yaitu:
i) Kehamilan yang tidak diinginkan.

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

ii) Perasaan bingung antara penerimaan dan penolakan terhadap peran baru
sebagai ibu.
iii) Tidak ada pengalaman dalam pengasuhan anak.
b) Kenyataan persalinan yang tidak sesuai dengan harapan, yaitu:
i) Kesibukan mengurus bayi dan perasaan ibu yang merasa tidak mampu atau
khawatir akan tanggung jawab barunya sebagai ibu.
ii) Perasaan kecewa dengan keadaan fisik dirinya juga bayinya.
c) Keadaan sosial ekonomi, yaitu:
i) Wanita yang harus kembali bekerja setelah melahirkan.
ii) Keadaan sosial ekonomi yang tidak mendukung.
d) Dukungan Sosial, yaitu:
i) Ketegangan dalam hubungan pernikahan dan keluarga.
ii) Penyesuaian sosial yang buruk.
iii) Kurangnya dukungan dari suami dan orang-orang sekitar.
iv) Wanita yang tidak bersuami
d. Gejala Post Partum Blues
Gejala Post Partum Blues ringan hanya terjadi dalam hitungan jam atau 1
minggu pertama setelah melahirkan, gejala ini dapat sembuh dengan sendirinya,
sedangkan pada beberapa kasus post partum depresion dan post partum psikosis,
bisa sampai mencelakai diri sendiri bahkan anaknya, sehingga pada penderita kedua
jenis gangguan mental terakhir perlu perawatan yang ketat di rumah sakit
(Arfian,2012).
Gejala-gejala post partum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap
seorang ibu. Gejala tersebut biasanya muncul pada hari ke 3 atau hari ke 6 setelah
melahirkan. Beberapa perubahan sikap tersebut diantaranya : sering tiba-tiba
menangis karena merasa tidak bahagia, penakut, tidak mau makan, tidak mau
bicara, sakit kepala, sering berganti mood, mudah tersinggung (iritabilitas), merasa
terlalu sensitif dan cemas berlebihan, tidak bergairah, khususnya terhadap hal yang
semula sangat diminati, tidak mampu berkonsentrasi dan sangat sulit membuat
keputusan, merasa tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang baru saja
Anda lahirkan , insomnia yang berlebihan. Gejalagejala itu mulai muncul setelah
persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam
sampai beberapa hari. Namun jika masih berlangsung beberapa minggu atau
beberapa bulan itu dapat disebut postpartum depression (Murtiningsih, 2012).
e. Dampak Post Partum Blues
1) Pada Bayi
Ibu yang depresi juga tidak mampu merawat bayinya dengan optimal,
karena merasa tidak berdaya atau tidak mampu sehingga akan menghindar dari
tanggung jawabnya, akibatnya kondisi kebersihan dan kesehatan bayinya pun
menjadi tidak optimali juga tidak bersemangat menyusui bayinya sehingga
pertumbuhan dan perkembangan bayinya tidak seperti bayi yang ibunya sehat.
Akibat lainnya adalah hubungan antara ibu dan bayi juga tidak optimal. Bayi
sangat senang berkomunikasi dengan ibunya. Komunikasi ini dilakukannya
dengan cara dan dalam bentuk yang bermacam-macam, misalnya senyuman,
tatapan mata, celoteh, tangisan, gerak tubuh yang berubah-ubah yang semua itu
perlu ditangggapi dengan respons yang sesuai dan optimal, namun bila hal ini
tidak terpenuhi, anak menjadi kecewa, sedih bahkan frustasi. Kejadian seperti

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

ini membuat perkembangan tidak optimal, sehingga membuat kepribadiannya


kurang matang (Elvira, 2006).
2) Pada Hubungan Perkawinan
Kelahiran seorang bayi biasanya dapat mengubah suatu hubungan
pasangan dan psikolog menemukan kaitan antara depresi pasca melahirkan dan
hubungan yang tidak memuaskan pasangan. Pada kenyataanya, tekanan karena
harus merawat bayi, dan depresi pasca melahirkan khususnya, dapat membuat
semua keretakan lama muncul dan banyak keretakan baru juga. Dampak paling
negatif dari seseorang yang mengalami baby blues adalah simptom-simptom
itu berlangsung lebih dari 10 hari, kondisi seseorang tersebut tidak dikatakan
sekedar mengalami beby bluess lagi tetapi mengalami post partum depression
atau depresi pasca salin (Nirwana, 2011).
f. Penatalaksanaan Post Partum Blues
Post-partum blues atau gangguan mental pasca-salin seringkali terabaikan
dan tidak ditangani dengan baik. Banyak ibu yang berjuang sendiri dalam
beberapa saat setelah melahirkan. Mereka merasakan ada suatu hal yang salah
namun mereka sendiri tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi.
Apabila mereka pergi mengunjungi dokter atau sumber-sumber lainnya. Untuk
minta pertolongan, seringkali hanya mendapatkan saran untuk beristirahat atau tidur
lebih banyak, tidak gelisah, minum obat atau berhenti mengasihani diri sendiri dan
mulai merasa gembira menyambut kedatangan bayi yang mereka cintai
(Murtiningsih, 2012)
Penanganan gangguan mental pasca-salin pada prinsipnya tidak berbeda
dengan penanganan gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu yang
mengalami post-partum blues membutuhkan pertolongan yang sesungguhnya. Para
ibu ini membutuhkan dukungan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini
membutuhkan dukungan psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus
juga dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan pikiran
dan perasaan mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga mereka
membutuhkan pengobatan atau istirahat, dan seringkali akan merasa gembira
mendapat pertolongan yang praktis. Dengan bantuan dari teman dan keluarga,
mereka mungkin perlu untuk mengatur atau menata kembali kegiatan rutin seharihari, atau mungkin menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan konsep
mereka tentang keibuan dan perawatan bayi. Bila memang diperlukan, dapat
diberikan pertolongan dari para ahli, misalnya dari seorang psikolog atau konselor
yang berpengalaman dalam bidang tersebut (Murtiningsih, 2012)
Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para
wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera
memberikan penanganan yang tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk
para ahli psikologi/konseling bila memang diperlukan. Dukungan yang memadai
dari para petugas obstetri, yaitu: dokter dan bidan/perawat sangat diperlukan,
misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai/adekuat tentang proses
kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul dalam
masa-masa tersebut serta penanganannya (Murtiningsih, 2012) . Post-partum blues
juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan menarik nafas panjang dan
meditasi, tidur ketika bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus dengan peran
baru sebagai ibu, tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi, membicarakan rasa
cemas dan mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung dengan
kelompok ibu-ibu baru (Murtiningsih, 2012).
6

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Dalam penanganan para ibu yang mengalami post-partum blues


dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik. Pengobatan medis, konseling
emosional, bantuan-bantuan praktis dan pemahaman secara intelektual tentang
pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin pada saat-saat tertentu. Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat perilaku,
emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan
melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya
(Murtiningsih, 2012)
C. METODE PENELITIAN
1. Desain penelitian
Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi observasional yang bersifat
analitik karena data diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran terhadap gejala
dan fenomena dari subyek penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross
Sectional. Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan waktu
pengukuran/observasi hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2008)
2. Variabel dan Penelitian
a. Variabel independen
Variabel independen dalam penelitian ini adalah umur, paritas, pendidikan,
sosial ekonomi, status perkawinan, status kehamilan, dukungan suami,
pengetahuan, dan jenis persalinan.
b. Variabel dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian postpartum blues.
3. Populasi, sampel, teknik, dan instrumen penelitian
Populasi penelitian adalah ibu post partum yang bersalin selama periode 1
bulan dengan jumlah rata-rata perbulan sebanyak 67 orang. Besar sampel sebanyak
37 orang (Lemeshow, 2003) dan diseleksi menggunakan simple random sampling.
Kriteria inklusi sampel adalah ibu post SC dan normal, sedangkan eksklusi
sampel adalah ibu dengan syock, dengan persalinan tindakan seperti vacum
ekstraksi, dan forceps, serta ibu dengan gangguan jiwa. Kemudian dilakukan editing,
coding dan skoring serta cleaning data, dan terakhir dianalisis menggunakan uji
regresi ganda logistik untuk mengetahui pengaruh pengaruh faktor psikososial
(umur, paritas, pendidikan
pengetahuan, dukungan, sosial ekonomi,status
perkawinan, status kehamilan) dan cara persalinan terhadap terjadinya Postpartum
Blues.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara terstruktur dan
observasional. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah EPDS untuk
nenilai kejadian postpartum blues dan kuesioner serta checklist untuk
mengidentifikasi faktor psikososial dan data pribadi yakni umur, paritas, pendidikan,
pengetahuan, dukungan suami, sosial ekonomi, status perkawinan, status kehamilan.
4. Prosedur pengumpulan dan analisa data
Data yang diperoleh akan dianalisis secara analitik dengan menghitung
proporsi dan disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh dari hasil analisis
kemudian diolah dan hasilnya disajikan dalam bentuk pengumpulan data. Sedangkan
untuk mengetahui hubungan antara variabel digunakan uji regresi logistik ganda
dengan nilai kemaknaan p 0,05 apabila uji statistik didapatkan p 0,05 maka Ho
ditolak dan HI diterima, yang berarti ada pengaruh faktor psikososial dan cara
persalinan terhadap terjadinya post partum blues pada ibu nifas di RSUD RA
Basoeni Mojokerto.
7

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

D. HASIL PENELITIAN
1. Analisis pengaruh sosiodemografi terhadap terjadinya postpartum blues.
Distribusi frekuensi pengaruh sosiodemografi terhadap terjadinya postpartum
blues pada responden dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini dengan menggunakan uji
regresi logistik
Tabel 1 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan umur, pendidikan, sosial ekonomi,
dan paritas terhadap terjadinya postpartum blues di Rumah Sakit RA. Basoeni
Mojokerto, tanggal 7 18 Oktober 2013.
Variabel
Postpartum Blues
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Umur
< 20 atau > 35 tahun
7
46,7 18 81,8 25
67,6 0,025
20 35 tahun
8
53,3 4
18,2 12
32,4
Pendidikan
SD-SMP
3
20
12 54,5 15
40,5 0,027
SMA-PT
12 80
10 45,5 22
59,5
Sosial ekonomi
Rendah
3
20
9
40,9 12
32,4 0,182
Tinggi
12 80
13 59,1 25
67,6
Paritas
Primipara
4
26,7 14 63,6 18
48,6 0,027
Multipara
11 73,3 8
36,4 19
51,4
Status Perkawinan
Tidak Menikah
0
0
2
9,1
2
5,4
0,230
Menikah
15 100 20 90,9 35
94,6
Berdasarkan karakteristik sosio demografi responden variabel yang
mempunyai hubungan dengan terjadinya postpartum blues adalah variabel umur,
paritas, dan pendidikan. Kejadian postpartum blues lebih banyak dialami oleh oleh
yang berusia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun (81,8%) yang merupakan
usia berisiko mengalami komplikasi persalinan. Pada variabel paritas, kejadian
postpartum blues lebih banyak dialami oleh ibu primipara (63,6%). Kejadian
postpartum blues juga lebih banyak dialami oleh ibu yang berpendidikan SD-SMP
dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan SMA Perguruan Tinggi, yaitu
sebanyak 12 responden (54,5%).
2. Pengaruh faktor psikososial terhadap terjadinya postpartum blues
Distribusi frekuensi pengaruh faktor psikososial terhadap terjadinya
postpartum blues pada responden dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini:
Tabel 2 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan faktor psikososial terhadap
terjadinya postpartum blues di Rumah Sakit RA. Basoeni Mojokerto,
tanggal 7 18 Oktober 2013.
Postpartum Blues
Variabel
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Status kehamilan
Diinginkan
15 100 16 72,7 31 83,8 0,027
Tidak diinginkan
0
0
6
27,3 6
16,2
Dukungan suami
8

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Postpartum Blues
Variabel
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Tidak Mendukung
4
26,7 15 68,2 19 51,4 0,013
Mendukung
11 73,3 7
31,8 18 48,6
Berdasarkan psikososial responden, variabel yang mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap terjadinya postpartum blues adalah variabel status kehamilan dan
dukungan suami. Tabel 2 menunjukkan bahwa semua ibu yang tidak menginginkan
kehamilannya mengalami postpartum blues, yaitu sebanyak 6 responden. Sedangkan
dari 22 responden yang mengalami postpartum blues sebanyak 15 responden (68,2%)
diantaranya tidak mendapatkan dukungan dari suami.
3. Pengaruh pengetahuan terhadap terjadinya postpartum blues
Distribusi frekuensi pengaruh pengetahuan terhadap terjadinya postpartum
blues pada responden dapat di lihat pada tabel 3 di bawah ini
Tabel 3 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan pengetahuan terhadap terjadinya
postpartum blues di Rumah Sakit RA. Basoeni Mojokerto, tanggal 7 18
Oktober 2013.
Postpartum Blues
Variabel
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Pengetahuan
Kurang
4
26,7 16 72,7 20 54,1 0,006
Baik
11 73,3 6
27,3 17 45,9
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap
terjadinya postpartum blues dengan nilai p = 0,006. Kejadian postpartum blues
terbanyak dialami oleh responden yang berpengetahuan kurang yaitu 16 responden
(72,7%).
4. Pengaruh cara persalinan terhadap terjadinya postpartum blues
Distribusi frekuensi pengaruh cara persalinan terhadap terjadinya postpartum
blues pada responden dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4
Distribusi Frekuensi responden cara persalinan terhadap terjadinya
postpartum blues di Rumah Sakit RA. Basoeni Mojokerto, tanggal 7 18
Oktober 2013.
Variabel
Postpartum Blues
Tidak
Ya
Total
nilai
n
%
n
%
n
%
p
Cara persalinan
Normal
7
46,7 9
40,9 16 43,2 0,729
Operasi SC
8
53,3 13 59,1 21 56,8
5. Hubungan antar variabel
Hasil Negelkerke R Square didapatkan hasil 62,4, yang artinya kejadian
postpartum blues pada ibu nifas yang bersalin di RSUD R.A. Basoeni 62,4%
dipengaruhi oleh faktor umur, paritas, pendidikan, dukungan suami, status kehamilan,
dan pengetahuan.

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

E. PEMBAHASAN
1. Pengaruh umur terhadap postpartum blues
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa umur yang mengalami
postpartum blues adalah usia < 20 tahun dan > 35 tahun, usia tersebut merupakan usia
berisiko bagi perempuan untuk melahirkan seorang bayi.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh antara usia
dengan kejadian postpartum blues. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Bobak (2004),
bahwa faktor pencetus terjadinya postpartum blues adalah pada usia remaja atau
kurang dari 20 tahun. Handenson dan Jones (2004) menyebutkan keadaan krisis
situasi, pengalaman yang menyangkut kesiapan menjadi orang tua, beban peran dalam
lingkungan sosial dapat menimbulkan masalah pada wanita melahirkan, termasuk
mereka yang berumur kurang dari 20 tahun. Tetapi hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan penelitian Hikmah 2006 yang menyebutkan bahwa umur ketika pertama kali
hamil tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya postpartum blues.
2. Pengaruh pendidikan terhadap terjadinya postpartum blues
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pendidikan terbanyak yang mengalami
postpartum blues adalah SD - SMP, yaitu 12 responden (54,5%). Hal ini sesuai dengan
teori yang mangatakan bahwa pendidikan rendah lebih sering mengalami postpartum
blues dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Pendidikan dalam penelitian ini adalah
jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh ibu yang mempunyai bayi sampai
memperoleh ijazah yang sah, tetapi tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara
pendidikan dengan kejadian postpartum blues. Kondisi ini memang tidak sesuai
dengan teori tetapi pembentukan psikologi ibu tidak hanya diperoleh melalui jenjang
pendidikan saja, karena banyak faktor yang lebih dominan untuk dapat mempengaruhi
terjadinya postpartum blues.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Reid V Oliver, 2007) mengatakan
bahwa yang mengalami postpartum blues yaitu yang berpendidikan dibawah SMA.
Menurut Wiknjosastro (1999) menyebutkan pendidikan formal menghasilkan perilaku
yang diadopsi oleh individu, namun pada sebagian orang tingkat pendidikan tidak
mempengaruhi pola sikap, hal tersebut lebih besar berasal dari lingkungan yang
diterima oleh setiap individu.
Latipun (2001) mengatakan bahwa pendidikan seseorang akan mempengaruhi
cara berpikir dan cara pandang terhadap diri dan lingkungannya, karena itu akan
berbeda sikap responden yang mempunyai pendidikan tinggi dibandingkan dengan
yang berpendidikan rendah dalam menyingkapi proses selama persalinan sehingga
pada pendidikan rendah sering terjadi postpartum blues.
3. Pengaruh paritas terhadap terjadinya postpartum blues
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden
yang mengalami postpartum blues adalah primipara yaitu 14 responden (63,6%).
Terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian postpartum dengan nilai p = 0,027.
Hal ini sesuai dengan teori Sherwen 1999 yang menyebutkan bahwa proses
persalinan, lamanya persalinan hingga komplikasi yang dialami setelah persalinan
dapat mempengaruhi psikologis seorang ibu, dimana semakin besar trauma fisik yang
dialami maka semakin besar trauma psikis yang muncul. Dan hal ini semakin berat
dirasakan pada wanita yang pertama kali melahirkan anak mereka. Dalm Handerson
dan Jones 2006 menyatakan bahwa perubahan selama kehamilan khususnya
peningkatan hormon dapat menimbulkan tingkat kecemasan yang semakin berat serta
rasa khawatir menerima peran baru menjadi krisis situasi yang terjadi sehingga hal ini
dapat menimbulkan terjadinya postpartum blues.
10

HOSPITAL MAJAPAHIT

4.

5.

6.

7.

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Menurut Bobak dan kawan kawan hal ini sesuai dengan kriteria ibu yang
mengalami gangguan emosional adalah ibu primipara yang belum berpengalaman
dalam pengasuhan anak. Hal ini berisiko terjadinya postpartum blues. Penelitian
Pramudya didapatkan bahwa yang mengalami postpartum blues pada primipara adalah
25%.
Pengaruh status perkawinan terhadap terjadinya postpartum blues
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh status perkawinan dengan
kejadian postpatum blues dengan nilai p = 0,230. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nurkholifani (2011) yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara status perkawinan dengan kejadian post partum blues.
Gejala postpartum blues juga muncul sebagai reaksi yang dipicu oleh situasi
stres karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, atau peristiwaperistiwa lain yang dinilai sebagai potensial stres bagi seorang ibu setelah melahirkan
(Bobak dkk.,1994). Situasi stres tersebut diantaranya berkaitan dengan konsekuensi
perluasan keluarga, yaitu munculnya harapan-harapan pribadi dalam membina rumah
tangga atau harapan-harapan dari orangtua dan keluarga suami setelah kelahiran bayi.
Mulai membina keluarga dan membina rumah tangga sendiri sebagai tugas
perkembangan yang harus dijalani (Havighurst dalam Hurlock, 1980) semakin
diperkuat karena kehadiran buah hati. Selain itu, hubungan dengan orang lain akan
mengalami perubahan yang tidak terelakkan (Farrer, 2001). Seorang ibu mungkin
merasakan adanya perbedaan pendapat dengan mertua tentang perawatan bayi setelah
melahirkan. Konsekuensi lain dari perluasan keluarga dan juga penting adalah keadaan
sosial ketika bayi dilahirkan, terutama jika bayi mengakibatkan beban finansial atau
emosional bagi keluarga (Young & Ehrhardt dalam Strong & Devault, 1989).
Pengaruh sosial ekonomi terhadap terjadinya postpartum blues
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pendapatan dengan kejadian postpartum blues dengan nilai p = 0.182. Hasil penelitian
ini tidak sesuai dengan penelitian (Reid V, Oliver, 2007) bahwa pendapatan yang
rendah berkontribusi terhadap terjadinya postartum blues.
Kondisi sosio ekonomi seringkali membuat psikologi ibu terganggu. Pada
keluarga yang mampu mengatasi pengeluaran untuk biaya perawatan ibu selama
persalinan, serta tambahan dengan hadirnya bayi baru ini mungkin hampir tidak
merasakan beban keuangan sehingga tidak mengganggu proses transisi menjadi orang
tua. Akan tetapi keluarga yang menerima kelahiran seorang bayi dengan suatu beban
finansial dapat mengalami peningkatan stres, stres ini bisa mengganggu perilaku orang
tua sehingga membuat masa transisi untuk memasuki pada peran menjadi orang tua
akan menjadi ledih sulit. (Bobak, Laudermilk, Jensen, et all, 2004).
Pengaruh status kehamilan
Hasil penelitian menunjukkan status kehamilan mempengaruhi terjadinya
postpartum blues dengan nilai p = 0,027. Hasil penelitian ini sesuai dengan Bobak
(2004) yang menyatakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan postpartum blues
adalah kehamilan yang tidak diinginkan.
Pengaruh dukungan suami terhadap terjadinya postpartum blues
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh dukungan suami dengan
terjadinya postpartum blues dengan nilai p = 0,013.
Dukungan suami merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang di
dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang
bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang terlibat
dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta, perhatian
11

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

maupun sense of attachment baik pada keluarga sosial maupun pasangan(Ingela,2009).


Dukungan suami sangat penting dan tidak bisa diremehkan dan yang tak kalah penting
membangun suasana positif, dimana istri merasakan hari-hari pertama yang
melelahkan. Oleh sebab itu dukungan atau sikap positif dari pasangan dan keluarga
akan memberi kekuatan tersendiri bagi ibu postpartum
Suami memegang peranan penting dalam terjadinya postpartum blues dan
diharapkan suami menyadari bahwa istri sangat membutuhkannya pada saat saat
tertentu dan suami diharapkan ada saat istri membutuhkannya. Dukungan itu tidak
hanya berupa dukungan psikologis tapi dukungan fisiologis, penilaian, informasi dan
finansial sangat dibutuhkan oleh istri, jadi dukungan yang diberikan itu dikemas secara
utuh sehingga istri merasa nyaman dan dapat persalinan dengan baik. Dukungan suami
merupakan strategi coping penting pada saat mengalami stres dan berfungsi sebagai
strategi preventif untuk mengurangi stres dan konsekuensi negatifnya. Untuk itu
dukungan suami sangat dibutuhkan oleh perempuan setelah mengalami persalinan.
8. Pengaruh Pengetahuan terhadap terjadinya Postpartum Blues
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa yang mengalami postpartum
blues terbanyak adalah pada responden yang berpengetahuan kurang yaitu 16
responden (72,7%), sedangkan pada kelompok yang tidak mengalami postpartum
blues paling banyak adalah yang berpengetahuan baik yaitu 11 responden (73,3%).
Terdapat pengaruh yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian postpartum
blues yaitu p value = 0,006.
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah melakukan pengindraan
terhadap suatu objek sehingga pengetahuan merupakan faktor penting untuk
terbentuknya perilaku seseorang (Notoadmodjo, 2003). Pengetahuan bisa didapat baik
secara langsung maupun secar tidak langsung dan pengetahuan yang didapat akan
berpengaruh terhadap pengembangan perilaku seseorang. Bila seseorang
pengetahuannya rendah seperti pengetahuan tentang postpartum blues maka dapat
mempengaruhi terjadinya postpartum blues.
Hasil penelitian yang dilakukan Hikmah 2006 bahwa informasi asuhan nifas
memiliki hubungan yang bermakna untuk mencegah terjadinya postpartum blues. Dan
hal ini sesuai dengan teori Helman 1990 bahwa pentingnya informasi yang didapat
oleh ibu postpartum menurunkan tingkat kecemasan dan krisis situasi.
9. Pengaruh cara persalinan terhadap terjadinya postpartum blues
Persalinan merupakan suatu peristiwa yang rumit dan dapat menimbulkan stres
bagi seorang ibu, pendukung teori stres menjelaskan bahwa setiap peristiwa yang
menimbulkan stres, misalkan proses persalinan dapat merangsang reaksi untuk
terjadinya blues (Bobak,200)
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara cara persalinan terhadap kejadian postpartum blues p value
(0,519).
Dari kedua cara persalinan baik secara SC maupun secara normal sebagian ibu
postpartum mengalami postpartum blues, tetapi pada cara persalinan post SC ibu yang
mengalami postpartum blues lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kasdu
(2003) bahwa ibu yang melahirkan secara operasi akan merasa bingung dan sedih
terutama jika operasi tersebut dilakukan karena keadaan darurat.
Hal ini berbeda dengan pendapat Henswaw 2003 bahwa penyulit persalinan
berhubungan dengan terjadinya postpartum blues.

12

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

F. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan data penelitian dapat disimpulkan bahwa:
a. Sebagian besar responden berumur < 20 tahun dan > 35 tahun, dengan pendidikan
SMA-PT (tinggi), berstatus kawin, mempunyai sosial ekonomi tinggi, paritas
multipara, status kehamilan yang diinginkan, tidak mendapat dukungan suami,
pengetahuan kurang, jenis persalinan SC.
b. Kejadian postpartum blues di RSUD RA Basoeni Mojokerto selama bulan
Oktober 2013 adalah sebesar 59,5%.
c. Ada pengaruh kelompok umur, paritas, pendidikan, dukungan suami, status
kehamilan, dan pengetahuan terhadap terjadinya postpartum blues.
2. Saran
a. Bagi pelayanan kesehatan
Melihat tingginya angka kejadian postpartum blues maka perlu
dipertimbangkan pentingnya penanganan yang bersifat menyeluruh dalam dampak
psikologi yang diakibatkan oleh persalinan. Deteksi dini atau screening sebaiknya
menjadi bagian rutin dari pengkajian pada ibu postpartum. Perlunya peranan
penyedia layanan kesehatan yang terkait langsung seperti bidan, perawat, dokter
umum, dokter ahli obstetri dan ginekologi, maupun psikiater baik di poliklinik atau
di bangsal untuk lebih menanggapi adanya gejala-gejala depresi pada ibu-ibu pasca
persalinan dengan melakukan deteksi dini menggunakan instrumen yang tepat yaitu
EPDS yang telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia dan untuk peningkatan
kualitas hidup ibu-ibu pasca persalinan tersebut, selanjutnya perlu dipertimbangkan
adanya kerjasama yang lebih antara Departemen Obstetri Ginekologi dengan
Departemen ilmu kesehatan jiwa.
Pelayanan antenatal merupakan waktu tepat untuk antisipasi terjadinya
postpartum blues, yaitu ibu hamil diberikan pendidikan kesehatan tentang
perubahan perubahan fisiologis maupun psikologis selama kehamilan, persalinan
dan nifas.
b. Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian ini baru mengidentifikasi faktor faktor yang menyebabkan
terjadinya postpartum blues, oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian tentang
dampak postpartum blues apakah kemungkinan berkembang menjadi depresi
postpartum. penelitian lanjutan lain yang bisa dikembangkan adalah pengaruh
postpartum blues terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi serta pengaruh
postpartum blues terhadap pemberian ASI. Penelitian penelitian tersebut dapat
dilakukan dengan pendekatan riset kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Arfian Soffin, 2012. Baby blues : Solo: Metagraf
Bobak, Laudermilk, Jensen, et all, 2005 Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC
Creasoft. 2008. Dukungan Sosial. Creasoft.wordpres.com .
Cunningham, FG. 2006. Obstetri Williams. Jakarta : EGC
Elvira S, 2006. Depresi Pasca Persalinan. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Farrer, H. 2001. Perawatan Maternitas: Edisi 2. Alih Bahasa oleh Andry Hartono. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

13

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Fiona Marshall, 2004. Mengatasi Depresi pasca melahirkan. Jakarta : Arcan


Freudhenthal, Crost,M.,& Kaminski, M. 1999. Severe Post Delevery Blues : associated
factor. Arch Women Ment Health.
Friedman. 2004. Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC.
Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, Edisi Kelima. Alih bahasa oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta:
Erlangga.
Kasdu, D. 2003. Operasi Caesar, Masalah dan Solusinya. Jakarta : EGC
Kusumadewi,I., Irawati.R.,Elvira SD., Wibisono, S. 2010. Validation Study The Edinburg
Postnatal Depression Scale. Jiwa, Indonesian Psychiatric Quartely. XXX:2 Hal 99110.
Laskito Bramantyo, 2003. Operasi Caesar Masalah dan Solusinya. Jakarta: Puspa Swara
Latipun. (2001). Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Lemeshow, Stanley. 2003. Penentuan Besar Sampel Untuk Penelitian Kesehatan.
Yogyakarta: UGM Press.
Murtiningsih Afin, 2012. Mengenal Baby Blues dan Pencegahannnya. Jakarta: Niaga
Swadaya
Nirwana Ade B, 2011. Psikologi Ibu Bayi dan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika
Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Nursalam , 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Riset Keperawatan Pedoman
Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Nurkholifani S, 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian postpartum blues di
RSU Kabupaten Tangerang. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Prawirohardho S. 2001. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PB SP
Reid V, Oliver MM. Postpartum Depression in Adolescent Mothers : An Integrative Review
of the Literature. Journal of Pediatric Health Care 2007 ; 21 : 289-298
Sarwono Sarlito, 1995. Teori Teori psikologi Sosial. Jakarta : Grafindo
Sarafino, E.P. (2006). Healt Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition. USA :
Setyowati dan Uke riska. 2006. Studi Faktor Kejadian Post Patum Blues Pada Ibu Pasca
Salin di Ruang bersalin II RSU DR. Soetomo Surabaya. Surabaya: Universitas
Airlangga
Strong, B., Devault, C. 1989. The Marriage and Family Experience: Fourth Edition. St. Paul
(USA): West Publishing Company.

14

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMATIAN IBU DI PROPINSI JAWA TIMUR


TAHUN 2010
Eka Diah Kartiningrum1, Nur Saidah2
1
Dosen Prodi DIII Keperawatan Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Prodi DIII Kebidanan Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Zero inflated Poisson Regression Analysis Regression (ZIP) is used for discrete data
modeling which is indicated by many 0 values on the dependent variable. The objective of this
research was to model the factors that affecting maternal mortality rate in East Java in 2010
using ZIP. This was a non reactive research with profile of East Java Provincial Health
Office in 2010 as the secondary data. The profile data were the results of health centers
routine recapitulation from Information and Research and Development Section on the whole
regencies/cities in East Java. The unit analysis in this research was 950 health centers in the
regions of East Java. The estimated results of ZIP log model parameter showed that
childbirth assistance by health practitioners (7 = -0.050655), postnatal care (8 =
0.004500), and pregnancy complications (9 = -0.004528) affected the number of maternal
deaths while the estimated parameter logit model showed that occurrence probability of
maternal mortality in East Java in 2010 was determined by the delivery helped by health
practitioners (7 = - 0.0662297) and care during postnatal period (7 = -0.012563). ZIP
model (AIC = 2199.391) was better when compared with the Linear regression (AIC =
3996.563), and Poisson regression (AIC = 2392.636). Each increase in birth numbers helped
by health practitioners would reduce maternal mortality by 0.9506 times. Postnatal services
would influence about 1.0045 times on the increased risk of maternal death, the increased
pregnancy complications, and also the increased of maternal mortality probability by 1.0045
times. The conclusion is that ZIP estimates the incidence of maternal mortality far better than
other forms of discrete data with many 0 values on the dependent variable.
Keywords
: Maternal Mortality, Zero inflated, Poisson
A. PENDAHULUAN
Analisis regresi merupakan metode statistika yang populer untuk mengkaji
hubungan antara variabel respon Y dengan variabel prediktor X. Ada beberapa macam
analisis regresi. Analisis regresi linier adalah analisis regresi yang digunakan untuk
memodelkan hubungan antara variabel depeden dan independen yang berskala interval
dan rasio serta berdistribusi normal, sedangkan regresi Poisson merupakan salah satu
analisis regresi yang dapat menggambarkan hubungan antara variabel respon (Y) dimana
variabel respon berdistribusi Poisson dengan variabel prediktor (X). Model regresi
Poisson merupakan model standar untuk data diskrit dan termasuk dalam model regresi
linier (Cameron dan Trivedi, 1998). Model Poisson banyak digunakan dalam berbagai
bidang termasuk kesehatan masyarakat, epidemiologi, sosiologi, psikologi, teknik,
pertanian dan lainnya (Bohning, Dietz, Schlattmann , 2012).
Khoshgoftaar, Gao, Szabo (2004) dalam Andres (2011) menyatakan bahwa
metode regresi Poisson mensyaratkan adanya equidispersi yaitu kondisi dimana nilai
mean dan varians dari variabel respon bernilai sama. Namun adakalanya terjadi fenomena
overdispersi dalam data yang dimodelkan dengan distribusi Poisson. Overdispersi berarti
data memiliki varians yang lebih besar daripada mean. Bohning, dkk (2012) menyatakan
bahwa overdispersi terjadi karena parameter tunggal dalam distribusi Poisson yaitu
15

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

seringkali tidak cukup berarti untuk mendeskripsikan populasi. Overdispersi menunjukkan


bahwa terdapat heterogenitas populasi atau dengan kata lain populasi terdiri dari berbagai
sub populasi, dimana sub populasi tersebut tidak terobservasi dalam sampel. Akibatnya
estimasi parameter pada data dengan kondisi yang demikian menjadi tidak tepat.
Jansakul dan Hinde (2001) dalam Andres (2011) menyatakan bahwa salah satu
penyebab terjadinya overdispersi adalah lebih banyak observasi yang bernilai nol. Loeys,
T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A, (2012) menyatakan bahwa dalam regresi
Poisson, banyaknya nilai nol pada hasil observasi akan melampaui nilai prediksi (terjadi
inflasi). Untuk mengatasi hal ini maka banyak metode yang dikembangkan. Salah satu
metode untuk menganalisa observasi dengan nilai nol yang lebih banyak adalah dengan
model Zero Inflated Poisson Regression.
Metode Zero Inflated Poisson Regression (ZIP) banyak diterapkan untuk berbagai
bidang, misalnya dalam hal peramalan. Model regresi ZIP yang dikenalkan oleh Lambert
lebih tepat diaplikasikan dari pada regresi Poisson untuk data yang mengandung lebih
banyak kejadian 0. Lambert (1992) menjelaskan bahwa ZIP adalah model campuran untuk
data diskrit dengan banyak peristiwa yang bernilai 0. Analisis faktor yang mempengaruhi
jumlah kematian ibu hamil dan nifas yang dilakukan pada data Profil Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur tahun 2010 menunjukkan ciri-ciri terjadinya overdispersi akibat
banyaknya hasil observasi yang bernilai nol, sehingga ZIP merupakan pilihan yang paling
baik untuk memodelkan angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
Analisis yang dilakukan dalam profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur
umumnya hanya berupa analisis deskriptif. Data ini kemudian banyak digunakan oleh
para peneliti untuk mencari keterkaitan antar indikator dalam rangka untuk pemodelan
faktor- faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan.
Angka kematian ibu dipengaruhi oleh 3 faktor utama menurut Mc Charty & Maine
dalam Arulita (2007) diantaranya determinan dekat (komplikasi kehamilan, komplikasi
persalinan dan nifas), determinan antara ( Status kesehatan ibu yang terdiri dari anemia,
status gizi, penyakit yang diderita ibu, riwayat komplikasi kehamilan dan persalinan
sebelumnya; Status reproduksi yang terdiri dari usia ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak
kehamilan, dan status perkawinan ibu; Akses terhadap pelayanan kesehatan; Perilaku
penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang terdiri dari perilaku ber KB, perilaku
pemeriksaan kehamilan / antenatal care yang mencakup K1, K4, Fe1, Fe3 dan TT1
sampai TT5, penolong persalinan dan tempat persalinan), sedangkan determinan jauh
meliputi faktor sosiokultural, ekonomi, agama, tingkat pendidikan ibu serta pengetahuan
ibu tentang tanda bahaya kehamilan.
Analisis kematian ibu Tahun 2010 di Indonesia telah dilakukan oleh Depkes RI
dan dipresentasikan dalam Pertemuan Teknis Kesehatan Ibu di Bandung tahun 2011 oleh
Direktur Bina Kesehatan Ibu, dr. Ina Hernawati, MPH. Analisis kematian ibu di Indonesia
dilakukan menggunakan Regresi Linier dengan variabel prediktor antara lain: cakupan
antenatal care (K1-K4), cakupan penolong persalinan, rasio bidan/ 1000 kelahiran, rasio
bidan desa yang tinggal di desa, persalinan di fasilitas kesehatan, sehingga dapat diperoleh
kesimpulan bahwa untuk mencapai target MDGs maka 7.187 kematian ibu harus dicegah,
dan persalinan oleh tenaga kesehatan 95% hanya dapat mencegah 3.138 kematian (Depkes
RI, 2011).
Dampak ketidaktepatan pemilihan penggunaan regresi adalah ketidaktepatan
dalam estimasi parameter sehingga pada akhirnya berdampak pada pengambilan
kesimpulan dan keputusan pada program, sehingga perencanaan program pencegahan
kematian ibu menggunakan parameter yang sesuai dengan regresi linier menjadi tidak
tepat. Regresi ZIP mampu mengendalikan overdispersi dalam distribusi Poisson dan
16

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

inflasi nilai 0 sehingga akurasi estimasi parameter dapat terjamin. Secara umum model
regresi ZIP masih jarang digunakan untuk data count yang menunjukkan adanya inflasi
akibat nilai 0 dan overdispersi. Sehingga peneliti tertarik untuk mengaplikasikan regresi
ZIP dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu di Propinsi
Jawa Timur pada tahun 2010.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Faktor faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal, yang
dikelompokkan berdasarkan kerangka dari McCarthy dan Maine (1992) dalam Arulita
(2007) adalah sebagai berikut :
1. Determinan dekat
Proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian maternal adalah
kehamilan itu sendiri dan komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas.
Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi, baik komplikasi
kehamilan maupun persalinan, sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko
tersebut.
Komplikasi kehamilan merupakan penyebab langsung kematian maternal. Ibu
hamil resiko tinggi atau ibu hamil dengan komplikasi kehamilan adalah ibu hamil
dengan keadaan penyimpangan dari normal yang secara langsung dapat menyebabkan
kesakitan dan kematian bagi ibu maupun bayinya (Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010).
Dalam pelayanan antenatal diperkirakan sekitar 20% diantara ibu hamil yang dilayani
bidan di Puskesmas tergolong kasus risti/ komplikasi yang memerlukan pelayanan
kesehatan rujukan. Kasus-kasus komplikasi kebidanan antara lain Hb < 8 g%, tekanan
darah tinggi (sistole > 140 mmHg, diastole > 90 mmHg), ketuban pecah dini,
perdarahan pervaginam, oedema nyata, eklampsia, letak lintang usia kehamilan > 32
minggu, letak sungsang pada primigravida, infeksi berat/ sepsis dan persalinan
prematur. Akibat yang ditimbulkan dari kondisi tersebut antara lain bayi dengan berat
badan rendah (BBLR), keguguran, persalinan macet, janin mati di kandungan ataupun
kematian ibu hamil (Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010).
Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab
langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan
setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi
akibat trauma pada persalinan (Arulita, 2007).
2. Determinan antara
Determinan antara penyebab kematian ibu adalah Status kesehatan ibu yang
meliputi status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi pada
kehamilan dan persalinan sebelumnya, Status reproduksi yang terdiri dari usia ibu
hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan dan status perkawinan ibu, dan Akses terhadap
pelayanan kesehatan yang meliputi keterjangkauan lokasi tempat pelayanan kesehatan,
dimana tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis/ sulit dicapai oleh para ibu
menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan, jenis dan
kualitas pelayanan yang tersedia dan keterjangkauan terhadap informasi. Akses terhadap
tempat pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti lokasi dimana ibu
dapat memperoleh pelayanan kontrasepsi, pemeriksaan antenatal, pelayanan kesehatan
primer atau pelayanan kesehatan rujukan yang tersedia di masyarakat, serta Perilaku
penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi perilaku penggunaan alat
kontrasepsi, dimana ibu yang mengikuti program keluarga berencana (KB) akan lebih
jarang melahirkan dibandingkan dengan ibu yang tidak ber KB, perilaku pemeriksaan
antenatal, dimana ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur akan
17

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

terdeteksi masalah kesehatan dan komplikasinya, penolong persalinan, dimana ibu yang
ditolong oleh dukun berisiko lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan
dengan ibu yang melahirkan dibantu oleh tenaga kesehatan, serta tempat persalinan,
dimana persalinan yang dilakukan di rumah akan menghambat akses untuk
mendapatkan pelayanan rujukan secara cepat apabila sewaktu waktu dibutuhkan
(Arulita, 2007).
Salah satu indikator kematian maternal yang lain adalah persalinan oleh tenaga
kesehatan. Komplikasi dan kematian maternal serta bayi baru lahir sebagian besar
terjadi dimasa persalinan. Hal ini disebabkan persalinan yang tidak dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (profesional) (Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur, 2010). Tenaga penolong persalinan yang tidak profesional akan
menyebabkan timbulnya bahaya pada ibu bersalin yang pada akhirnya berdampak pada
terjadinya kematian pada ibu nifas akibat kurang tepat dalam pengendalian perdarahan
yang terjadi pada masa nifas.
Variasi cakupan linakes (persalinan oleh tenaga kesehatan) antar propinsi dapat
menjelaskan 45% variasi AKI antar propinsi. Selain itu tidak ada hubungan antara rasio
bidan/ 1000 kelahiran dengan AKI. Jumlah bidan yang banyak tidak menjamin AKI
akan turun. Rasio bidan di desa yang tinggal di desa akan mampu menjelaskan 50,3%
jumlah desa dengan kematian ibu. Semakin tinggi rasio maka jumlah kematian semakin
rendah. Terdapat hubungan kuadratik yang sedang antara cakupan persalinan di fasilitas
kesehatan dengan kematian ibu. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan 95% hanya
dapat mencegah 3.138 kematian (43,66%) (Depkes RI, 2011).
3. Determinan jauh
Meskipun determinan ini tidak secara langsung mempengaruhi kematian
maternal, akan tetapi faktor sosio kultural, ekonomi, keagamaan dan faktor lain juga
perlu dipertimbangkan dan disatukan dalam pelaksanaan intervensi penanganan
kematian maternal. Termasuk dalam determinan jauh adalah status wanita dalam
keluarga dan masyarakat, yang meliputi tingkat pendidikan, dimana wanita yang
berpendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya,
sedangkan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya
pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil maupun bayinya
terutama dalam hal kegawatdaruratan kehamilan dan persalinan. Ibu ibu terutama di
daerah pedesaan atau daerah terpencil dengan pendidikan rendah, tingkat
independensinya untuk mengambil keputusanpun rendah. Pengambilan keputusan masih
berdasarkan pada budaya berunding yang berakibat pada keterlambatan merujuk.
Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang tanda tanda bahaya pada kehamilan
mendasari pemanfaatan sistem rujukan yang masih kurang. Juga ditemukan bahwa
faktor yang berpengaruh paling penting dalam perilaku mencari pelayanan kesehatan
antenatal adalah pendidikan. Lebih dari 90% wanita yang berpendidikan minimal
sekolah dasar telah mencari pelayanan kesehatan antenatal. Pekerjaan ibu, dimana
keadaan hamil tidak berarti mengubah pola aktivitas bekerja ibu hamil sehari hari. Hal
tersebut terkait dengan keadaan ekonomi keluarga, pengetahuan ibu sendiri yang
kurang, atau faktor kebiasaan setempat. Kemiskinan dapat menjadi sebab rendahnya
peran serta masyarakat pada upaya kesehatan. Kematian maternal sering terjadi pada
kelompok miskin, tidak berpendidikan, tinggal di tempat terpencil, dan mereka tidak
memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian non reaktif atau unobstrusif measures
karena pada pengukuran variable penelitian yang akan digunakan peneliti menggunakan
18

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

data sekunder. Unit analisis dalam penelitian ini adalah data ibu tiap puskesmas baik
pustu maupun puskesmas pembina di seluruh Propinsi Jawa Timur yang terdapat di
Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010 yang terdiri dari data tentang
jumlah kematian ibu (Y), Cakupan K1(X1), Cakupan K4(X2), Cakupan Fe1 (X3),
Cakupan Fe3 (X4), Cakupan TT2 plus (X5), TT5(X6), Persalinan oleh Nakes (X7),
Pelayanan Nifas (X8) dan Jumlah Komplikasi kehamilan (X9). Langkah awal dalam
penelitian ini adalah dimulai dengan pengujian distribusi data menggunakan uji
Kolmogorov Smirnov 1 sampel. Pengujian dilakukan untuk membuktikan bahwa bentuk
distribusi variabel angka kematian ibu (Y) mengikuti distribusi Poisson. Apabila data
berdistribusi Poisson maka dilanjutkan dengan analisis regresi Poisson. Dalam analisis
regresi Poisson dilakukan penaksiran parameter model regresi Poisson dan ditentukan
model yang paling fit terhadap data. Kemudian menghitung nilai Devians untuk
mengidentifikasi overdispersi. Jika terjadi overdispersi maka dilanjutkan dengan
estimasi parameter model log dan logit, menguji kesesuaian model serta menguji
parameter secara parsial menggunakan regresi ZIP. Langkah selanjutnya adalah
pengujian model terbaik yang dilakukan dengan menggunakan AIC
D. HASIL PENELITIAN
Uji distribusi Poisson dilakukan dengan menggunakan histogram sebagai
berikut:

Gambar 1 Diagram Batang Angka Kematian Ibu


Gambar 1 menjelaskan bahwa nilai 0 mendominasi data angka kematian ibu di
Propinsi Jawa Timur tahun 2010. Pada data tersebut juga tidak terdapat data yang
memiliki nilai dibawah 0. Bentuk frekuensi diatas sama dengan bentuk distribusi
Poisson dengan nilai 0 melebihi 63,7 % dari total data. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
menghasilkan p value (0,562) > (0,05), nilai D ekstrim sebesar 0,026 lebih kecil
daripada nilai D tabel sebesar 0,0529 sehingga dapat disimpulkan bahwa distribusi
kematian ibu di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 mengikuti bentuk distribusi Poisson.
Perhitungan Hasil Koefisien Dispersi menjelaskan bahwa Nilai Devians/ db
lebih dari 1 sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi overdispersi pada data tersebut.
Pengujian kesesuaian model angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010
dapat dilakukan dengan berbagai jenis analisis regresi diantaranya regresi linier, regresi
Poisson dan ZIP.

19

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Tabel 1 Hasil Analisa Regresi Linier Dalam Pemodelan Angka Kematian Ibu di
Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Parameter
Estimasi
SE
t-value
Pr(>|t|)
Intercept
0.7528273 0.5708559
1.319
0.1876
K1 (X1)
0.0052943 0.0087845
0.603
0.5469
K4(X2)
- 0.0052973 0.0076369 - 0.694
0.4881
Fe1 (X3)
0.0091057 0.0069870
1.303
0.1928
Fe3 (X4)
- 0.0047461 0.0066123 - 0.718
0.4731
TT2 plus (X5)
0.0005714 0.0007570
0.755
0.4506
TT5 (X6)
- 0.0007916 0.0035511 - 0.223
0.8237
Linakes (X7)
- 0.0110654 0.0049171 - 2.250
0.0247
Pelayanan Nifas (X8)
0.0063417 0.0035045
1.810
0.0707
Komplikasi Kehamilan - 0.0020246 0.0016935 - 1.195
0.2322
(X9)
SE Residual : 1.984
DF = 937
R2 : 0.01375
Adj R2 : 0.00428
F-statistic : 1.452
P value : 0.1615
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Hasil analisa pada tabel 1 dengan menggunakan regresi linier menunjukkan bahwa F
hitung sama dengan 1.452 dengan nilai p (0,1615) > (0,05). Sehingga disimpulkan bahwa
model tidak signifikan. Selain itu dilihat dari nilai R squared juga menghasilkan nilai yang
sangat kecil yakni sebesar 0,01375. Nilai tersebut berarti bahwa hanya 1,375 % angka
kematian ibu dapat dijelaskan oleh K1, K4, Fe1, Fe3, TT 2 plus, TT5, linakes, pelayanan nifas
dan komplikasi persalinan. Sehingga dengan demikian menggunakan regresi linier sederhana
tidak mampu menjelaskan pengaruh variabel prediktor terhadap variabel respons. Penggunaan
regresi linier juga tidak tepat pada model faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu di
Propinsi Jawa Timur sebab dalam uji asumsi regresi model tersebut tidak terpenuhi syarat
homoscedatisitas pada residual, dan tidak linier serta mengikuti bentuk distribusi Poisson.
Tabel 2 Hasil Analisa Regresi Poisson Dalam Pemodelan Angka Kematian Ibu di
Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
- 0.1527589 0.3443422 - 0.444
0.657314
K1 (X1)
0.0089259 0.0054856
1.627
0.103704
K4(X2)
- 0.0055043 0.0046707 - 1.178
0.238605
Fe1 (X3)
0.0156690 0.0045104
3.474 0.000513 ***
Fe3 (X4)
- 0.0067524 0.0040979 - 1.648
0.099405 .
TT2 plus (X5)
0.0007453 0.0004048
1.841
0.065605
TT5 (X6)
- 0.0007843 0.0022647 - 0.346
0.729102
Linakes (X7)
- 0.0161938 0.0036319 - 4.459 8.24e-06 ***
Pelayanan Nifas (X8)
0.0020245 0.0012797
1.582
0.113637
Komplikasi Kehamilan (X9) - 0.0031706 0.0010929 - 2.901
0.003718 **
Null Deviance : 1564.7
df: 946
Residual Deviance : 1495.3
df: 937
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010

20

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai null deviance yang menunjukkan sebesar 1564,7
dibandingkan dengan X2 tabel pada sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan 946
sebesar 1018.6630. Nilai p (2.91554E-33) jauh lebih kecil dibandingkan dengan (0.05).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa tanpa melibatkan variabel prediktor, model tersebut
signifikan. Demikian pula dengan Nilai Residual Deviance menunjukkan 1495.3
dibandingkan dengan nilai X2 tabel pada sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan
937 adalah sebesar 1009.3188. Nilai p (2.25521E-28) jauh lebih kecil dari (0.05). Nilai
tersebut menunjukkan bahwa dengan melibatkan semua variabel prediktor maka model
tersebut signifikan. Hasil dari anlisis regresi Poisson didapatkan hanya 3 variabel prediktor
yang valid yaitu cakupan Fe1, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan
cakupan komplikasi kehamilan. Namun hasil analisa regresi Poisson tidak mungkin
digunakan akibat terjadinya overdispersi dan inflasi dari nilai 0. Estimasi menggunakan
Poisson akan berdampak pada ketidaktepatan hasil estimasi karena dua indikasi tersebut.
Sehingga dilanjutkan pada estimasi menggunakan Zero Inflated Poisson Regression (ZIP
Regression).
Hasil uji ZIP pada model 1 menunjukkan nilai G (1080) lebih besar dibandingkan
dengan nilai 2 tabel pada sama dengan 5% (1012,4335) dan nilai p sebesar 0,000979.
Sehingga model ZIP1 adalah signifikan, artinya secara bersama-sama angka kematian ibu
ditentukan oleh pengaruh variabel prediktor K1, K4 Fe1, Fe 3, TT2 plus, TT5, Linakes,
Pelayanan Nifas dan Komplikasi Kehamilan.
Tabel 3 Pengujian Parameter Model Log pada Model 1
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept (0)
4.2128
0.5304
7.943
1.97e-15***
K1 (1)
- 0.0073
0.0060
- 1.204
0.228461
K4(2)
0.0075
0.0052
1.439
0.150030
Fe1 (3)
0.0111 0.0052
2.117 0.034264*
Fe3 (4)
- 0.0079
0.0044
- 1.789
0.073665
TT2 plus (5)
0.0008
0.0006
1.282
0.199996
TT5 (6)
- 0.0030
0.0030
- 0.997
0.318549
Linakes (7)
- 0.0500 0.0047
-10.734 <2e-16***
Pelayanan Nifas (8)
0.0045
0.0015
3.039
0.002377**
Komplikasi Kehamilan (9) - 0.0047
0.0013
- 3.669 0.000243***
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Pengujian parameter secara individu ada 2 yaitu dengan pengujian parameter model
log dan pengujian parameter model logit. Hasil pengujian parameter model log pada tabel 3
menunjukkan bahwa hanya terdapat 4 variabel yang valid yaitu cakupan Fe1 (X3), cakupan
persalinan oleh nakes (X7), cakupan pelayanan nifas (X8), dan cakupan komplikasi
kehamilan (X9). Maka model yang terbentuk adalah sebagai berikut:

log( i ) 4,2127669 0,0110510 X 3 0.0500148 X 7 0,0045377 X 8 0,0046518 X 9

artinya

log( i )

4,2127669 0,0110510 Fe1 0.0500148 Linakes 0,0045377 yanfas

0,0046518komplikasi _ kehamilan

21

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Tabel 4 Pengujian Parameter Model Logit pada Model 1


Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept (0)
8.4735 1.5834
5.351 8.73e-08***
K1 (1)
- 0.0331 0.0196 - 1.684
0.0921
K4(2)
0.0319 0.0155
2.058
0.0396*
Fe1 (3)
0.0014 0.0127 0.117 0.9066
Fe3 (4)
- 0.0126 0.0116 - 1.085
0.2780
TT2 plus (5)
0.0002 0.0019
0.092
0.9269
TT5 (6)
- 0.0050 0.0099 - 0.507
0.6122
Linakes (7)
- 0.0688 0.0142 - 4.858 1.19e-06***
Pelayanan Nifas (8)
- 0.0130 0.0061 - 2.130
0.0331*
Komplikasi Kehamilan (9) - 0.0069 0.0036 - 1.921
0.0548
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Hasil pengujian parameter model logit pada tabel 4 diperoleh hasil bahwa hanya
terdapat 3 variabel yang valid yaitu X2 (Cakupan pelayanan K4), cakupan persalinan oleh
nakes (X7), dan cakupan pelayanan nifas (X8). Maka model yang terbentuk adalah sebagai
berikut:

log it( pi ) 8,4735 0,0319269 X 2 0,0688027 X 7 0,0130046 X 8

artinya

log it( pi ) 8,4735 0,0319269 K 4 0,0688027linakes 0,0130046 yanfas


Pengujian parameter secara serentak model 2 menunjukkan nilai log likelihood sama dengan 1086. Nilai G lebih besar dari pada nilai 2 tabel. Dengan nilai p value yang jauh lebih kecil
dari nilai , sehingga dapat disimpulkan bahwa cakupan Fe1, cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan, cakupan pelayanan nifas dan komplikasi kehamilan secara serentak mempengaruhi
angka kematian ibu.
Tabel 5 Pengujian Parameter Model Log pada Model 2
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
4.217122
0.411758
10.242 < 2e-16 ***
Fe1 (X3)
0.003873
0.003802
1.019
0.308292
Linakes (X7)
- 0.050655
0.003805
-13.314 < 2e-16 ***
Pelayanan Nifas (X8)
0.004500
0.001487
3.027 0.002473 **
Komplikasi
- 0.004528
0.001261
-3.592
0.000328
Kehamilan (X9)
***
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Hasil pengujian parameter model log menggunakan ZIP pada tabel 5 dihasilkan bahwa
terdapat 3 parameter yang signifikan yaitu cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, cakupan
pelayanan nifas, dan cakupan komplikasi kehamilan. Sehingga dari pengujian parameter
model log dapat dirumuskan bahwa:

log( i ) 4,217122 0,050655 X 7 0,004500 X 8 0,004528 X 9

log( i ) 4,21722 0,050655 Linakes 0,004500 yanfas 0,004528komplikasi _ kehamilan

22

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Tabel 6 Pengujian Parameter Model Logit pada Model 2


Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
8.057640 1.306131
6.169
6.87e-10 ***
Fe1 (X3)
-0.014439 0.008066
-1.790
0.0734 .
Linakes (X7)
-0.066297 0.012366
-5.361 8.27e-08 ***
Pelayanan Nifas (X8)
-0.012563 0.005615
-2.238
0.0253 *
Komplikasi Kehamilan (X9) -0.006328 0.003591
-1.762
0.0781
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Tabel 6 menunjukkan hasil pengujian parameter model logit terdapat 2 parameter yang valid
yaitu cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan (linakes) dan cakupan pelayanan
nifas sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

log it( pi ) 8,057640 0,066297 X 7 0,012563 X 8

log it( pi ) 8,057640 0,066297 Linakes 0,012563 yanfas


Pengujian model ke 3 menghasilkan nilai G yang lebih dari nilai 2 tabel (1019,7013)
pada pada sama dengan 5% dan p value sama dengan 0.0005 sehingga disimpulkan bahwa
model 3 signifikan. Jadi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan masa
nifas mempengaruhi angka kematian ibu.
Tabel 7 Pengujian Parameter Model Log pada Model 3
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
4.329987 0.340693
12.709
<2e-16 ***
Linakes (X7)
- 0.050904 0.003584
- 14.201
<2e-16 ***
Pelayanan Nifas (X8)
0.004237 0.001455
2.912
0.0036 **
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Tabel 8 Pengujian Parameter Model Logit pada Model 3
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
7.178526 1.166170
6.156
7.48e-10 ***
Linakes (X7)
- 0.072675 0.012057 - 6.027 1.67e-09 ***
Pelayanan Nifas (X8)
- 0.014185 0.005327 - 2.663
0.00775 **
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Hasil pengujian parameter model log pada tabel 7 menghasilkan 2 variabel yang
signifikan yaitu cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (X7) dan cakupan pelayanan
nifas (X8) demikian juga pada pengujian parameter model logit pada tabel 8. Sehingga
dapat dirumuskan sebagai berikut.

log( i ) 4.329987 0,050904 X 7 0,004237 X 8

log( i ) 4.329987 0,050904 Linakes 0,004237cakupan _ pelayanan _ nifas

log it( pi ) 7,178526 0,072675 X 7 0,014185 X 8

log it( pi ) 7,178526 0,072675 Linakes 0,014185cakupan _ pelayanan _ nifas


Pemilihan model terbaik anlisis regresi menggunakan AIC (Akaike Information Criterion).
Jika nilai AIC mendekati nol maka semakin baik model yang digunakan (Hall & Shen, 2009).
Perbandingan model yang terbaik antara hasil analisa regresi linier, Poisson dan ZIP dapat
dilihat dalam Tabel 9

23

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Tabel 9 Perbandingan Nilai AIC pada Regresi Linier, Poisson dan ZIP
Model
AIC
Model Regresi Linier
3996.563
Model Regresi Poisson
2392.636
Model Regresi ZIP
2199.391
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Nilai AIC pada ZIP dalam tabel 9 jauh lebih rendah dibandingkan kedua jenis regresi
lainnya pada pengujian model secara lengkap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika
dibandingkan dengan bentuk regresi linier dan Poisson, ZIP jauh lebih baik dalam
mengendalikan inflasi dari nilai 0 dan overdispersi, sebab model yang terbaik dalam
menggambarkan faktor yang mempengaruhi kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010
adalah ZIP.
Tabel 10 Perbandingan Nilai AIC pada Model ZIP ke 1, 2 dan 3
Model
AIC
Model 1
2199.391
Model 2
2192.405
Model 3
2205.193
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Tabel 10 menjelaskan bahwa nilai AIC pada analisa menggunakan ZIP antara model
ke-1 sampai ke-3 disimpulkan bahwa model yang terbaik adalah model yang kedua.
Perhitungan besarnya pengaruh setiap parameter terhadap kematian ibu berdasarkan
model ke 2 dapat dijelaskan bahwa Jika variabel yang lain adalah konstan maka peranan
cakupan penolong persalinan dapat dihitung sebesar exp (-0,050655)= 0,95 ~ 1. Maka setiap
peningkatan 1% cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak
pada penurunan rerata kematian ibu sebesar 1 orang. Sedangkan peranan cakupan pelayanan
nifas oleh tenaga kesehatan dapat dijelaskan berdasarkan exp (0,004500) = 1,004 ~ 1. Maka
setiap peningkatan 1% cakupan pelayanan masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan
berdampak pada peningkatan rerata kematian ibu sebesar 1 orang. Besarnya pengaruh
cakupan komplikasi kehamilan yakni sebesar exp (-0,004528) = 0,995 ~ 1. Maka setiap
peningkatan 1% cakupan komplikasi kehamilan yang ditangani oleh tenaga kesehatan maka
akan berdampak pada penurunan 1 orang kematian ibu.
Hasil parameter model logit didapatkan bahwa jika parameter lain dianggap konstan
maka peningkatan 1% pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak
pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali dan peningkatan 1% pelayanan
masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas
kematian ibu sebanyak 0,5 kali.
Model ke 2 menghasilkan nilai rerata jumlah kematian ibu () sebesar 1,36 dan varian
sebesar 0,92 serta rerata peluang tidak terjadi kematian ibu di puskesmas sebesar 0,5021. Jika
dibandingkan dengan nilai dan varian sebelum menggunakan model maka disimpulkan
model ZIP mampu menekan varian sehingga mengendalikan overdispersi yang terjadi pada
data kematian ibu. Pada pengujian koefisien overdispersi terjadi penurunan koefisien
overdispersi sebelum menggunakan ZIP sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih
kecil. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP merupakan salah satu metode yang dapat
mengatasi masalah overdispersi pada data yang mengalami banyak inflasi akibat nilai 0
melebihi 63,7% dari total data.

24

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

E. PEMBAHASAN
Regresi Zero Inflated Poisson digunakan pada data dengan variable dependen (Y)
yang berdistribusi Poisson. Distribusi Poisson diaplikasikan pada kejadian dalam bentuk
count (jumlah). Angka kematian ibu dalam profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur
merupakan data yang berbentuk jumlah (count). Distribusi Poisson merupakan distribusi
variabel random diskrit namun untuk suatu peristiwa yang jarang terjadi. Kematian ibu
merupakan suatu kejadian yang jarang terjadi. Hal ini terbukti bahwa pada banyak unit
pengamatan terdapat banyak nilai 0 (tidak terjadi kematian ibu).
Distribusi Poisson merupakan distribusi diskrit. Untuk nilai yang kecil maka
distribusinya sangat menceng dan untuk nilai yang besar akan lebih mendekati distribusi
normal. Untuk kasus yang jarang terjadi maka nilai akan kecil. Hal ini juga terjadi pada
data angka kematian ibu dengan nilai rata-rata kurang dari 1 namun standar deviasi lebih
dari 1. Angka ini terjadi karena kasus memang sangat jarang terjadi serta heterogen pada
setiap puskesmas. Nilai pengamatan dalam distribusi Poisson selalu positif dan tidak
pernah negatif.
Masalah yang sering terjadi dalam distribusi Poisson adalah inflasi dari nilai 0.
Kasus yang gagal terjadi atau kegagalan suatu pengamatan mengakibatkan munculnya
nilai 0 pada data. Nilai 0 pada data mengakibatkan ketidaktepatan dalam melakukan
estimasi. Histogram pada gambar 1 menjelaskan bahwa nilai 0 terdapat pada lebih dari
63,7 % data. Dua metode yang bisa diaplikasikan untuk inflasi nilai 0 antara lain model
Zero Inflated Poisson (ZIP) dan Zero Inflated Binomial Negatif (ZINB). Tetapi
penggunaan ZINB tidak memungkinkan karena data tidak mengikuti bentuk distribusi
binomial negatif. Keberadaan inflasi dari nilai 0 adalah menjelaskan bahwa kejadian
kematian ibu di Propinsi Jawa Timur adalah suatu kasus yang sangat jarang terjadi di
setiap puskesmas.
Angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 mempunyai indikasi
mengalami overdispersi. Multikolinieritas merupakan pendorong terjadinya overdispersi.
Hasil analisa asumsi regresi menunjukkan bahwa nilai VIF (Variance Inflation Factor)
menunjukkan nilai < 10. Sehingga pada semua variabel prediktor menunjukkan tidak
terjadi multikolinieritas. Jadi overdispersi dalam kasus di Propinsi Jawa Timur murni
terjadi karena kegagalan terjadinya suatu kasus atau akibat nilai 0 yang berjumlah terlalu
banyak pada variabel kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
Kejadian overdispersi dalam distribusi Poisson mengakibatkan ketidaktepatan
model yang dibentuk, selain itu overdispersi mengakibatkan estimasi yang kurang tepat
terhadap parameter model regresi. Implikasi dari tidak terpenuhinya equidispersion adalah
regresi Poisson tidak sesuai lagi untuk memodelkan data. Selain itu, model yang terbentuk
akan menghasilkan estimasi parameter yang bias. Overdispersion juga akan membawa
konsekuensi pada nilai penduga bagi kesalahan baku yang lebih kecil (underestimate)
yang selanjutnya dapat mengakibatkan kesalahan (misleading) pada inferensia bagi
parameternya (Istiana, 2011). Salah satu alternatif metode yang dapat menyelesaikan
masalah over ataupun underdispersi dalam regresi Poisson adalah ZIP.
Penelitian Raihana (2009), menjelaskan bahwa overdispersi pada regresi Poisson
menyebabkan underestimate standar error yang menyebabkan inferensi yang salah sebagai
konsekuensinya. Regresi Poisson paling sesuai untuk data yang tidak mengalami
overdispersi, sedangkan untuk data yang mengalami overdispersi paling baik
menggunakan ZIP dan ZINB. Pamungkas (2003) menjelaskan bahwa pada data yang
mengalami overdispersi dan dimodelkan dengan Poisson memiliki nilai kesalahan mutlak
yang besar dan mendekati 1, sedangkan pada data yang tidak mengalami overdispersi dan
dimodelkan menggunakan regresi Poisson memiliki kesalahan mutlak yang kecil dan
25

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

mendekati nol. Pada jumlah data (n) yang kecil, estimator yang dihasilkan data
overdispersi cenderung membesar sedangkan pada data yang tidak overdispersi cenderung
mendekati nilai yang sesungguhnya (kesalahan mutlak kecil).
Pemilihan model terbaik ditentukan menggunakan Akaikes Information Criterion
(AIC). Bila dibandingkan antara penggunaan Regresi linier, Poisson dengan ZIP, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan ZIP jauh lebih bagus dibandingkan linier dan Poisson.
Penggunaan regresi linier tidak dimungkinkan sebab asumsi regresi yang tidak terpenuhi.
Asumsi yang tidak terpenuhi menyebabkan ketidaktepatan pada estimasi yang dihasilkan.
Regresi linier adalah metode statistika yang digunakan untuk membentuk model
hubungan antara variabel terikat (dependen; respon; Y) dengan satu atau lebih variabel
bebas (independen, prediktor, X). Apabila banyaknya variabel bebas hanya ada satu,
disebut sebagai regresi linier sederhana, sedangkan apabila terdapat lebih dari 1 variabel
bebas, disebut sebagai regresi linier berganda. Analisis regresi linier memiliki 3
kegunaan, yaitu untuk tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang
diteliti, untuk tujuan kontrol, serta untuk tujuan prediksi. Regresi linier mampu
mendeskripsikan fenomena data melalui terbentuknya suatu model hubungan yang
bersifatnya numerik. Regresi juga dapat
digunakan untuk melakukan pengendalian
(kontrol) terhadap suatu kasus atau hal-hal yang sedang diamati melalui penggunaan
model regresi yang diperoleh. Selain itu, model regresi juga dapat dimanfaatkan
untuk melakukan prediksi untuk variabel terikat. Namun yang perlu diingat, prediksi di
dalam konsep regresi hanya boleh dilakukan pada data berskala kontinu, bukan diskrit
seperti jumlah kematian ibu.
Sebelum menggunakan ZIP, data angka kematian ibu dipastikan telah mengalami
overdispersi. Koefisien overdispersi pada hasil analisa regresi Poisson lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil analisa menggunakan ZIP. Walaupun masih ada indikasi
terjadi overdispersi karena nilai 2 / db (1,636) masih lebih besar daripada 1 namun angka
ini jauh lebih menurun dibandingkan nilai 2 / db pada Poisson yaitu 5,913. Nilai deviance
perhitungan model regresi Poisson dengan ZIP juga relatif berbeda. Deviance pada model
yang dihasilkan oleh ZIP jauh lebih besar bila dibandingkan dengan model yang
dihasilkan Poisson. Koefisien overdispersi juga telah mengalami penurunan dibandingkan
sebelum menggunakan ZIP yaitu sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih kecil.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa ZIP lebih mampu mengendalikan overdispersi pada
regresi Poisson, walaupun kurang maksimal.
Hasil penelitian Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A (2011)
dalam British Journal of Mathematical and Statistical Psychology tentang perbandingan
ZIP dengan berbagai analisis data count yang mengandung nilai 0 menjelaskan bahwa ZIP
memiliki angka AIC yang lebih rendah dibandingkan Poisson, sehingga ZIP jauh lebih
baik dibandingkan dengan Poisson dalam mengestimasi data yang banyak mengandung
nilai 0. Namun bila dibandingkan dengan hasil penelitian dari Ridout, Hinde, Demtrio,
(2001) tentang perbandingan model antara regresi ZIP dengan ZINB (Zero Inflated
Binomial Negatif ) dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien dispersi pada ZIP masih
diatas 1 sedangkan penggunaan ZINB sudah mampu menurunkan nilai koefisien dispersi
sampai sedikit dibawah atau sama dengan 1. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP masih
kurang baik dalam mengendalikan koefisien dispersi pada data skor dengan angka nol
yang banyak.
Artikel yang ditulis oleh Xue, D.C., Ying, X.F., (2010) tentang model regresi zero
inflated yang digunakan pada missing covariate dengan jumlah nilai missing berkisar
antara 12 sampai 27 % menunjukkan bahwa ZIP mempunyai AIC yang relative lebih
bagus dibandingkan dengan Poisson, ZINB, dan Negatif Binomial. Hal ini menegaskan
26

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

bahwa ZIP hanya mampu mengendalikan nilai 0 namun belum sepenuhnya


mengendalikan overdispersi. Hal ini bertentangan dengan artikel tentang Zero-Inflated
Count Models and their Applications in Public Health and Social Science yang ditulis
Bohning, D., Dietz, E., Schlattmann, P., (2012) yang menjelaskan bahwa pada data
dengan jumlah nol sebesar kurang lebih 40%, ZIP dapat menurunkan koefisien
overdispersi sebesar 77% (semula sebesar 21.65 menjadi 1,36) pada data prospective
study of caries in Belo Horisonte (Brasilian). Namun pada hasil tersebut tetap terjadi
overdispersi walaupun telah diturunkan.
Bila dibandingkan ZIP dengan ZINB maka dapat disimpulkan bahwa ZIBN
mempunyai AIC lebih rendah dibandingkan ZIP. ZIBN merupakan model yang
menggunakan distribusi binomial negatif yang mampu mengendalikan inflasi dari nilai
nol sekaligus masalah overdispersi yang terjadi, hal ini sesuai dengan pendapat Famoye
dan Singh (2006). Namun data angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010
tidak mengikuti distribusi Binomial Negatif sehingga ZINB tidak cocok digunakan dalam
pemodelan angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
Pemilihan model terbaik dalam ZIP juga dilakukan dengan menggunakan AIC. AIC
dihitung berdasarkan nilai statistik G dan jumlah parameter yang digunakan. Hasil yang
dapat dilihat dari tabel 5.12 menunjukkan bahwa nilai AIC yang paling rendah adalah
pada model 2, sehingga model yang terbaik adalah model yang ke 2. Pada model 2
dijelaskan bahwa parameter yang paling berpengaruh terhadap peningkatan angka
kematian ibu adalah cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, cakupan komplikasi
kehamilan dan cakupan pelayanan nifas. Sedangkan rendahnya cakupan persalinan oleh
tenaga kesehatan dan rendahnya jumlah ibu nifas yang mendapatkan pelayanan dari
tenaga kesehatan selama masa nifas meningkatkan probabilitas kematian ibu di Propinsi
Jawa Timur tahun 2010.
Model log dan logit pada model 2 berdasarkan AIC disimpulkan sebagai model
yang paling baik dalam menjelaskan angka kematian ibu. Besarnya efek dari cakupan
persalinan adalah -0,050655 terhadap log rata-rata kematian ibu, atau efeknya sama
dengan e-0,050655 = 0,9506 terhadap rata-rata kematian ibu. Hal tersebut berarti tiap
kenaikan jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan akan menurunkan angka
kematian ibu sebesar 0,9506 kali atau (1-0,9504)*100% sama dengan 4,94%. Sedangkan
peningkatan satu unit pelayanan masa nifas akan mempunyai efek sebesar 1,0045 kali
terhadap peningkatan angka kematian ibu. Peningkatan satu unit komplikasi kehamilan
juga berdampak pada peningkatan angka kematian ibu sebesar 1,0045 kali. Pada model
logit hanya terdapat 2 variabel yang sangat menentukan penurunan probabilitas kejadian
kematian ibu yaitu cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan masa nifas.
Kunjungan nifas minimal 3 kali dengan distribusi waktu : 1). Kunjungan nifas pertama
pada 6 jam setelah persalinan sampai 3 hari; 2). Kunjungan nifas yang kedua dilakukan
pada minggu ke-2 setelah persalinan; 3). Kunjungan nifas yang ketiga dilakukan pada
minggu ke-6 setelah persalinan. Diupayakan kunjungan nifas ini dilakukan bersamaan
dengan kunjungan neonatus di posyandu ( Kemkes RI, 2009 dalam Dinkes Propinsi Jawa
Timur, 2010).
Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab
langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan
setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi
akibat trauma pada persalinan (Arulita, 2007). Menurut Varney, Kriebs, dan Gegor
(2002), komplikasi yang terjadi pada masa nifas antara lain infeksi puerperium, mastitis,
tromboplebitis dan emboli paru, hematoma, hemoragi pascapartum hebat, sub involusi dan
depresi pasca partum. Pertolongan persalinan menurunkan resiko terjadinya komplikasi
27

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

akibat persalinan dan masa nifas, sehingga kematian ibu dapat dicegah. Pelayanan masa
nifas yang tepat mampu mengatasi komplikasi yang terjadi akibat persalinan dan kelainan
yang muncul setelah proses persalinan. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
yang profesional dapat menurunkan angka kematian ibu.
F. PENUTUP
Rerata kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 sebesar 1,36
dengan varian sebesar 0,92. Rerata probabilitas tidak terjadi kematian ibu di setiap
puskesmas tahun 2010 adalah sebesar 0,5021. Data angka kematian ibu di Propinsi Jawa
Timur tahun 2010 mengikuti bentuk distribusi Poisson dan mengalami overdispersi.
Estimasi parameter model log menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, pelayanan nifas, dan komplikasi kehamilan mempengaruhi jumlah kematian
ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010, sedangkan estimasi parameter model logit
menunjukkan bahwa probabilitas kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun
2010 dipengaruhi oleh persalinan oleh tenaga kesehatan, dan pelayanan masa nifas.
DAFTAR PUSTAKA
Andres, N. D. 2011. Pemodelan Penyakit Malaria Di Provinsi Jawa Barat Dengan Regresi
Zero-Inflated Poisson. http://repository.upi.edu (sitasi tanggal 20 Maret 2012. pukul
20.09 WIB))
Arulita. 2007. Faktor-faktor Resiko yang Mempengaruhi Kematian Maternal (Studi Kasus di
Kabupaten Cilacap). Tesis. FKM-Universitas Diponegoro Semarang.
Bohning, D., Dietz, E., Schlattmann, P. 2012. Zero Inflated Count Model and Their
Applications in Public Health and Social Science. Paper dalam http://www.ipn.unikiel.de (sitasi tanggal 06 Maret 2012 pukul 08.03 WIB).
Cameron AC dan Trivedi PK. 1998. Regression Analysis of Count Data. Cambridge:
Cambridge University.
Dinkes Kabupaten Cirebon. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2006. Cirebon:
Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon.
Fauziah dan Sutejo. 2012. Keperawatan Maternitas Kehamilan. Vol 1. Jakarta: Kencana.
Famoye, F., & Singh, K.P. 2006, Zero-Inflated Generalized Poisson Regression Model with
an Application to Domestic Violence Data. Journal of Data Science 4 (2006) 117-130
Famoye, F., Wulu, J.T., & Singh, K.P. 2004. On The Generalized Poisson Regression Model
with an Application to Accident Data. Journal of Data Science, 2 (2004) 287-295
Firani, N.K. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Hamil dengan Perilaku Ibu dalam
Memilih Penolong Persalinan di Desa Curah Mojo Kabupaten Mojokerto. Ejournal.
uin-malang.ac.id tanggal sitasi 8 Juli 2012.
Giuffrida, A., Iunes, R.F., dan Macias, H. 2001, Workers Health in Latin America: An
Econometrics Analysis of Work Related Injuries, jurnal Health Note No.5, Inter
American Development Bank, Washington DC.
Hall, BB & Shen J. 2009. Robust Estimation For Zero Inflated Poisson Regression.
Scandinavian Journal of Statistic, Blackwell Publishing Ltd.
Hardin, J.W dan Hilbe, J.M. 2007. Generalized Linier Models and Extensions. Texas: Stata
press.
Istiana, Nofita. 2011. Overdispersion (overdispersi) pada Regresi Poisson. Dalam
http://www.nofitaistiana.wordpress.com (sitasi tanggal 18 Juni 2012 pukul 9.50 am).
Jansakul N dan Hinde, JP. 2001. Score Test For Zero Inflated Poisson Models. Journal
Computational Statistics & Data Analysis. 40. 75-96.
28

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Khoshgoftaar,T.M.,Gao.K, dan Szabo,R.M. 2004. Comparing Software Fault Prediciton Of


Pure and Zero Inflated Poisson Regression Models. International Journal Of System
Science. 36.(11). 705-715
Kleinbaum, D.G., Kupper, L.L, dan Muller, K.E. 1988. Applied Regression Analysis and
Other Multivariable Methods, second edition. Boston: PWS-KENT Publishing
Company.
Kleinbum, D.G Kupper, Lawrence, L.K., Azhar, N., Keith, M., 2008. Applied Regression
Analysis and Other Multivariable Methods. California: Thomson.
Kuntoro, Melania, S., Mahmudah, Notobroto, H.B, Mazumdar, S. 2011. Poisson Regression
For Predicting The Number of Visits to Health Services Places Given Predictors
Concerning Health Services System. An Evaluation Study of Social Security NetHealth Sector in East Java Provoince, Indonesia. Collection of Presented Papers at
International Conference in Mathematics and Applications Mahidol University.
Bangkok. Thailand.
Kuntoro. 2002. Pengantar Statistik Multivariate. Surabaya: Pustaka Melati
Kuntoro. 2009. Dasar Filosofis Metodologi Penelitian. Surabaya: Pustaka Melati
Lambert, D. 1992. Zero Inflated Poisson Regression, With An Application To Detect In
Manufacturing, Journal Techno metrics, Feb 1992 Vol 32 no 1.
Leger, P., Chansel, J. 2006. Maternal Health: For Safe Motherhood. Edisi 3 / Juli 2006.
Banda Aceh: Aide Mdicale Internationale.
Liao, T.F. 1994. Interpreting Probability Models Logit, Probit, And Other Generalized Linear
Models, London: SAGE Publications.
Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A. 2012. The Analysis of Zero Inflated
Count Data: Beyond Zero-Inflated Poisson Regression. British Journal of
Mathematical and Statistical Psychology, Vol 65. 163-180
Mamady, C., Johanne, S., Sirivagen. 2005. Maternal Mortality in The Rural Gambia. A
qualitative study on acsess to emergency obstetric care. Reproductive Health Journal.
ISSN: 1742-4755 dalam http: // www.reproductive-health-journal.com tanggal sitasi 8
Juli 2012.
Martin, T.G., Wintle, B.A., Rhodes, J.R., Kuhnert, P.M., Field, S.A., Low-Choy, S.J., Tyre,
A.J., dan Possingham, H.P. 2005. Zero Tolerance Ecology: Improving Ecological
Inference by Modelling The Source of Zero Observations, paper Ecology Letters
(2005) 8: 1235-1246.
Pamungkas, Dimas Haryo. 2003. Kajian Pengaruh Overdispersi dalam Regresi Poisson.
Skripsi. Departemen Statistika, FMIPA. IPB.
Pardosi, Maida. 2006. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perdarahan Pasca
Persalinan Dan Upaya Penurunannya Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Medan
Tahun 2005. dalam Jurnal Ilmiah PANMED. Vol. 1 tanggal 1 Juli 2006 dalam
http:www. repository.usu.ac.id tanggal sitasi 7 Maret 2012 pukul 14.55 WIB.
Reeder, Martin, Koniak-Griffin. 2003. Keperawatan Maternitas, Kesehatan Wanita, Bayi dan
Keluarga. Vol 2. Jakarta: EGC.
Retnaningsih, E. 2009. Kontribusi Pemilihan Penolong Persalinan Untuk Mencegah
Kematian Ibu di Propinsi Sumatera Selatan. Dalam Jurnal Pembangunan Manusia
Vol. 7. No. 1 bulan April 2009.
Ridout, et all. 2001. A Score Test for Testing a Zero-Inflated Poisson Regression Model
Against Zero-Inflated Negative Binomial Alternatives. Article first published online: 4
MAY 2004. Jurnal Biometrics. Volume 57, Issue 1, pages 219223, March 2001.
Roeshadi, R.H., 2004. Gangguan dan Penyulit Pada Masa Kehamilan. Artikel dipublikasikan
di USU digital library. Tanggal sitasi 12 April 2012 pukul 05.09 WIB.
29

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Ruru, Y., & Barrios, E.B. 2003, Poisson Regression Models of Malaria Incidence in
Jayapura, Indonesia, jurnal The Philippine Statistician, Vol. 52, No.1-4, pp. 27-38.
Rusliah. 2011. Distribusi Binomial dan Poisson. Dalam http://azulfachri.wordpress.com
(sitasi tanggal 5 Mei 2011 pukul 08.55 WIB).
Setyaningrum, N. 2011. Pemodelan Regresi Zero Inflated Poisson (ZIP) tentang FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penyakit Tuberculosis (TBC) di Kabupaten Sorong
Selatan. Skripsi. FMIPA-ITS.
Simkin, Whalley dan Keppler. 2001. Panduan Lengkap, Kehamilan, Melahirkan dan Bayi.
Jakarta: Arcan
Sulistyawati, A. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. Jakarta: Salemba Medika.
Sumarminingsih.
2011.
Overdispersi
dan
Underdispersi
dalam
http://www.enistat.lecture.ub.ac.id (Sitasi tanggal 18 Juni 2012 pukul 10.17 am).
Suparman. 2007. Antenatal Care dan Kematian Maternal. Jurnal Penduduk dan
Pembangunan. Volume 7 Nomor 1, Juni 2007: hal 7-14.
Taimela, S., Laara, E., Malmivaara, A., Tiekso, J., Sintonen, H., Justen, S., dan Aro, T. 2007.
Self-reported Health Problems and Sickness Absence in Deifferent Age Groups
Predominantly Enggaged in Physical Work. Paper. http:// www. occenvmed.com.
download dari oem.bmj.com (sitasi pada 19 Maret 2012).
Varney, H., Kriebs, J..M., Gegor, C.L. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 1.
Jakarta: EGC.
WHO. 2012. Maternal mortality ratio (per 100 000 live births). Dalam
http://www.who.int/healthinfo/statistics/indmaternalmortality/en/index.html
(sitasi
tanggal 7 Maret 2012 pukul 14.16 WIB).
WHO. 1999. Reduction of maternal mortality. A joint WHO/ UNFPA/ UNICEF/ World bank
statement. Paper. Geneva.
Widarjono, A. 2010. Analisis Statistika Multivariate Terapan. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Wulandari SP, Salamah M & Susilaningrum D, 2009. Diktat Pengajaran Analisis Data
Kualitatif. Surabaya: Jurusan Statistika ITS.
Xue, D.C., Ying, X.F. 2010. Model selection for zero-inflated regression with missing
covariates. Computational Statistics and Data Analysis Journal Vol 55. p.765-773.
Tahun 2011.
Yamin, S., Rachmah, L.A., Kurniawan, H. 2011. Regresi dan Korelasi dalam Genggaman
Anda. Jakarta: Salemba Empat
Yasril. 2009. Analisis Multivariate Untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia
Jogjakarta Press
Zainordin, R. 2009. Regresi Poisson. Malaysia: University of Technology Malaysia.
Ziraba, A.K., Madise, N., Mills, S., Kyubutungi, C., Ezeh, A. 2009. Maternal Mortality in
The Informal Setlements of Nairobi city: What do we know?. Jurnal Kesehatan
Reproductive Health. UGM tahun 2009.

30

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

PERUBAHAN LEVEL INSULIN DAN PERKEMBANGAN FOLLICLE PADA TIKUS


(RATTUS NORVEGICUS) SEBAGAI MODEL PENGOBATAN SOPK- RESISTENSI
INSULIN MELALUI PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SAMBILOTO
Hany Puspita Aryani
Dosen Stikes Husada Jombang
ABSTRACT
SOPK is a disturbance in women reproduction periods with multifactorial etiology. One
of the SOPK causes is insulin resistance that is the disruption of insulin action causing
hyperinsulinemia1. Sambiloto plant extract has certain content one of which is Diterpen
lactone which can be used as diuretic. The content of sambiloto extract is thought to be able
to stimulate insulin release and obstruct glucose absorption by obstructing alphaglucocidase
and alpha-amylase enzymes which will reduce glucose levels in blood. The objective of this
study is to know the change in insulin content and the follicle development in mice as SOPK
model insulin resistance treated with sambiloto extract. The study was a laboratory
experiment, with complete random sampling design. The control and experimental groups
composed of 25 white mice (Ratus norvegicus) were randomly divided into 5 groups, with 5
mice in each group. Control groups (K) were K-, which was not treated, and K+, which was
made as SOPK model, that is insulin resistance given testosterone propionate for 28 days.
Experimental groups are divided into Group treated with sambiloto extract dosage of
18mg/100g body weight/day, Group treated with sambiloto extract dosage of 36mg/100g
body weight/day, and Group treated with sambiloto extract dosage of 72mg/100g body
weight/day. The last research is to known how is the insulin and follicles growth.The results
of the study showed that the average of Anova test with the biggest value of 8000 was
primary follicle in group K- and followed by groups P1 and P3 with sambiloto extract dosage
of 18mg and 36 mg with the average of 6.8000. The result of normality test with oneway
sample kolmogorov smirnov test showed that primary, secondary, tertiary, and de Graff
follicles had the value p> 0.05. This could be concluded that the data had normal distribution.
The LSD test showed significant difference between the development of primary follicles in
control groups and in treated group with p: 0.031, and the development of de Graff follicles in
control groups and in treated groups with p: 0.002. Therefore, it could be concluded that there
was a significant relationship with the use of sambiloto extract.The giving of sambiloto
extract proved to be able to increase the development of primary and de Graff follicles. With
significant p value 0.031 and 0.002 where p<0.05.
Keywords: sambiloto extract, insulin and development of follicles
A. PENDAHULUAN
Infertilitas menjadi masalah yang berat bagi pasangan masa reproduksi yang
menginginkan kehamilan atau anak dan menjadi masalah yang berat apabila tidak mendapat
penanganan yang tepat. Banyak hal yang dapat menyebabkan infetilitas, salah satunya
diantaranya adalah Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK). Kejadian infertilitas pada penderita
SOPK cukup tinggi penyebab terbanyak kelainan endokrin yang melibatkan 5%-10% wanita
dalam masa reproduksi.
SOPK juga berhubungan dengan Resistensi Insulin, obesitas, gangguan metabolic dan
infertilitas. Terganggunya kerja insulin menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia.
Hiperinsulinemia menyebabkan peningkatan sekresi androgen di ovarium, yang disertai
perkembangan folikel yang abnormal, yang menyebabkan gangguan fungsi ovarium1, wanita
dengan SOPK menunjukkan peningkatan hipertekosis stroma ovarium yang didiagnosa
dengan ditemukannya pulau-pulau sel teka yang mengalami luteinisasi dalam stroma ovarium.
31

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Perubahan morfologi ovarium lebih jelas terlihat pada SOPK yang resisten insulin, yang
menunjukkan bahwa hiperinsulinemia mempengaruhi morfologi dan fungsi ovarium 2.
Goldseher dan Young (1992) mengatakan bahwa pada SOPK didapatkan 20-50% mengalami
resistensi insulin, menyatakan bahwa 80% dari SOPK diakibatkan oleh terjadinya resistensi
insulin 3.
Menurut Sheehan et al (2003) menyatakan bahwa peningkatan kadar testosterone
dalam darah akan menyebabkan ratio Follicle Stimulating Hormone (FSH) / Luteinizing
Hormone (LH) terganggu dan bila kondisi ini dibiarkan tanpa penanganan segera akan
menyebabkan sistik/ kista pada ovarium. Terjadi karena adanya hubungan umpan balik
mekanisme dengan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga tidak pernah terjadi kenaikan
yang cukup adekuat terhadap kadar FSH. Kenaikan kadar hormone LH merangsang sintesa
androgen, sedangkan peningkatan kadar androstenedion di perifer di ubah menjadi estron.
Kenaikan kadar testosterone akan menekan sekresi Sex Hormone Binding Globulin (SHBG)
di hati, sedangkan kadar testosteron dan estradiol bebas meningkat. Kenaikan kadar estron
dan estradiol akan memberikan umpan balik positif terhadap LH, sehingga kadar LH lebih
meningkat lagi.Sedangkan kadar FSH tetap rendah tetapi masih terjadi pertumbuhan folikel,
akibatnya terjadi penumpukan folikel kecil berjajar tetapi tidak membesar dan tidak ovulasi4.
Penelitian pendahuluan pemberian Testosteron Propionat (TP) selama 14 hari akan
didapatkan suatu keadaan yang menyerupai SOPK dengan ciri-ciri tidak didapatkannya
corpus luteum, adanya ovarium polikistik, hipertekosis pada stroma serta penipisan/atresi sel
granulosa. Pemberian TP selama 21 hari mulai didapatkan keadaan resistensi insulin. TP
selama 28 hari yang lebih bermakna keadaan resistensi insulin. Keadaan hiperandrogen dapat
mempengaruhi indeks resistensi insulin serta kadar asam lemak bebas di serum. Semakin
lama paparan androgen yang diberikan, maka indeks resistensi insulin dan kadar asam lemak
bebas akan meningkat5.
Sambiloto adalah salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat anti diabetes
mellitus. Herbal dan percabangannya mengandung diterpen lakton yang terdiri dari
Andrografolide (zat pahit)6. Ekstrak sambiloto dapat merangsang pelepasan insulin dan
menghambat absorbsi glukosa melalui penghambatan enzim alfaglukosidase dan alfaamilase. Enzim glukosidase (maltase, isomerase, glukomerase dan sukrase) berfungsi untuk
menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus sehingga inhibisi pada enzim ini dapat
mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorpsinya7. Dosis 2,0 g/ kg BB selama
14 hari ekstrak etanol herbal sambiloto merupakan kadar optimal yang dapat menurunkan
kadar glukosa tikus 8.
Sambiloto menjadi tren dalam penelitian dan digunakan sebagai obat yang dapat
menurunkan kadar gula darah (antidiabetik). Berdasarkan penelitian sebelumnya dijelaskan
ekstrak sambiloto dapat meningkatkan efektifitas receptor insulin, meningkatkan pengambilan
transport glucose Ekstrak etanol herba sambiloto secara bermakna menurunkan glukosa
darah mencit yang diinduksi dengan aloksan, artinya merangsang pelepasan insulin pada sel
yang tidak rusak sempurna7. Terlihat peningkatan ambilan glucose pada otot soleus tikus
setelah mendapat sambiloto intravena berulang selama 3 hari dan terdapat peningkatan
mRNA glucose transporter 4 (GLUT 4)7. Pada penelitian ini penulis berusaha memberikan
terapi alternative lain yaitu ekstrak sambiloto sebagai herbal medicine dalam pengobatan
SOPK- resistensi insulin yang biasanya menggunakan metformin. Mengingat akan etis
penelitian ini menggunakan tikus sebagai hewan coba dalam penelitian ini.
B. BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain randomized post test
only control group design. Digunakan hewan coba tikus Rattus norvegicus strain wistar
32

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

sebagai model SOPK menggantikan manusia untuk penelitian lebih invasif yang selama ini
terhalang etis pada pelaksanaannya. Penelitian ini menggunakan injeksi testosteron propionat.
Hewan coba menggunakan tikus (Ratus norvegicus) dengan berat badan rata-rata 100
gram per ekor sebanyak 35 ekor yang dibagi menjadi lima kelompok terdiri atas satu
kelompok kontrol negatif, satu kelompok kontrol positif dan tiga kelompok perlakuan. Untuk
kelompok kontrol negatif tidak mendapat perlakuan, kelompok kontrol positif hanya dibuat
model SOPK-RI. Semua kelompok perlakuan dibuat model SOPK- RI dan diberi injeksi
intramuscular testosteron propionat 100 mg/kgBB selama 28 hari, selanjutnya hari ke 29-43
kelompok perlakuan (P1, P2, P3) diberikan ekstrak sambiloto dengan dosis 18, 36 dan 72
mg/kgBB yang dilarutkan dengan aquadest 1cc sedangkan kelompok kontrol negatif (K0)
hanya diberikan aquadest. Semuanya diberikan sonde.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga Surabaya dari bulan Mei 2013 sampai Juli 2013.
1. Pembuatan Ekstrak Sambiloto
Ekstraksi sambiloto dengan menggunakan freeze dryer. Prosedurnya adalah tahap
pertama : penyiapan bahan baku yang meliputi penyortiran, pencucian, penirisan dan
penjemuran. Sambiloto yang sudah dicuci bersih ditiriskan diatas rak pengering. Setelah
airnya ditiriskan, herba dikeringkan menggunakan alat pengering fresh dryer pada suhu 30 C.
Tahap kedua : ekstraksi. Serbuk sambiloto hasil tahap pertama diekstrak selama 6 jam dengan
menggunakan pelarut air dimana perbandingan bahan terhadap pelarut adalah 1:1. Setelah
diektrak, bahan didiamkan selama 24 jam, kemudian disaring menggunakan kertas saring
sehingga diperoleh filtrate (sari). Filtrat diuapkan dengan penguap berputar (rovator) pada
suhu 40 C sampai pelarutnya sudah tidak menetes sehingga dihasilkan ekstrask kental. Tahap
ketiga : pengolahan ektrak kental menjadi ekstrak kering.
2. Injeksi Testosteron Propionat pada tikus
Testosteron propionate diinjeksi sebanyak 0.1 ml dilakukan secara intramuskular pada
paha tikus setiap hari sekali dengan dosis 0,1 ml selama 28 hari6.
3. Pembuatan Preparat ovarium tikus
Pembuatan preparat ovarium dilakukan dengan langkah sebagai berikut: Pertama
Tahap Fiksasi yaitu Pada tahap ini, ovarium difiksasi pada larutan formalin 10% selama 1
jam,diulang sebanyak 2 kali pada larutan yang berbeda, Kedua Tahap Dehidrasi yaitu Pada
tahap ini, ovarium yang telah difiksasi kemudian didehidrasi pada larutan ethanol 70 %
selama 1 jam, kemudian dipindahkan dalam larutan ethanol 80%, dilanjutkan kedalam larutan
ethanol 95 % sebanyak 2 kali dan dalam ethanol absolut selama 1 jam dan diulang sebanyak 2
kali pada ethanol absolut yang berbeda, Ketiga Tahap Clearing (Penjernihan) yaitu Pada
tahap ini, ovarium yang telah didehidratasi kemudian diclearing untuk menarik kadar ethanol
dengan menggunakan larutan xylene I selama 1,5 jam dan dilanjutkan ke larutan xylene II
selama 1,5 jam.
Keempat Tahap Embedding,yaitu Pada tahapan ini, ovarium dimasukkan kedalam
kaset dan diinfiltrasi dengan menuangkan paraffin yang dicairkan pada suhu 60oC, kemudian
paraffin dibiarkan mengeras dan dimasukkan ke dalam freezer selama 1 jam, Kelima
Tahap Sectioning (pemotongan ) yaitu Pada tahapan ini, ovarium yang sudah mengeras
dilepaskan dari kaset dan dipasang pada mikrotom kemudian dipotong setebal 5 micron
dengan pisau mikrotom. Hasil potongan dimasukkan ke dalam water bath bersuhu 40oC untuk
merentangkan hasil potongan, hasil potongan kemudian diambil dengan objeck glass dengan
posisi tegak lurus dan dikeringkan, Keenam Tahap Staining (Pewarnaan) yaitu Hasil
potongan diwarnai dengan Hematoxilin eosin (pewarnaan HE) melalui tahapan sebagai
berikut :

33

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Preparat direndam dalam larutan xylene I selama 10 menit, lalu preparat diambil dari
xylene I dan direndam dalam larutan xylene II selama 5 menit, kemudian preparat diambil dari
xylene II dan direndam dalam ethanol absolut selama 5 menit, lalu preparat diambil dari
ethanol absolut dan direndam dalam ethanol 96 % selama 30 detik, preparat kemudian
diambil dari ethanol 96% dan direndam dalam ethanol 50% selama 30 detik, lalu preparat
diambil dari ethanol 50% dan direndam dalam running tap water selama 5 menit, lalu preparat
diambil dari running tap water dan direndam dalam meyer hematoshirin selama 1-5 menit.
Preparat yang ada dalam meyer diambil dari larutan meyer dan direndam dalam running
tap water selama 2-3 menit. lalu preparat diambil dari running tap water dan direndam dalam
pewarna eosin selama 1-5 menit, lalu preparat diambil dari larutan eosin kemudian
dimasukkan dalam ethanol 75 % selama 5 detik, kemudian dimasukkan ke dalam ethanol
absolute selama 5 detik diulang 3 kali pada ethanol absolut yang berbeda, lalu preparat
diambil dan direndam dalam xylene III selama 5 menit, kemudian dipindahkan dalam xylene
IV selama 5 menit dan terahir dipindahkan kedalam xylene V selama 10 menit, lalu preparat
diangkat dan dikeringkan, kemudian yang terakhir preparat ditutup menggunakan deckglass..
4. Pemeriksaan Elisa
Pemeriksaan hormon menggunakan tehnik kompetitif dan sandwich.
Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak
berlabel dan terjadi kompetisi membentuk kompleks yang terbatas dengan antibodi spesifik
pada fase padat. Prinsip dasar dari sandwich assay adalah sampel yang mengandung antigen
direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan fase padat. Selanjutnya
ditambahkan antibodi spesifik kedua yang berlabel enzim dan ditambahkan substrat dari
enzim tersebut.
Prinsip ELISA : agar terjadi suatu reaksi warna pada ELISA, maka dibutuhkan suatu
antibody yang dilabel enzim dan subrat yang diberi indicator warna yang dikenal dengan
kromogen.
Enzim yang digunakan untuk melabel antibody adalah Horseadish geroksidase. Pada
ELISA bahan yang dideteksi sebelumnya harus ditempelkan pada fase padat (pada microtiter
well). Bahan (Ag/Ab) dapat menempel pada microtiter well ini telah dilapisi dengan
polysterine / polyvinylchloride (Aulanniam,2004). Prinsip dasar ELISA terdiri dari a) Fase
coating, b) Fase reaksi Ag-Ab, c) Fase reaksi kimiawi.
5. Analisis Data
Analisis data menggunakan Multivariat Analisis Of Varian (MANOVA).
C. HASIL PENELITIAN
Data hasil penelitian diuji statistik menggunakan SPSS, hasil uji non parametrik One
Sample Kolmogrov-Smirnov menunjukkan data terdistribusi normal dengan nilai Z > 0,05.
Selanjutnya dilakukan uji Multivariate Analyze of Variance dengan nilai p < 0,05 pada
variabel kadar insulin dan perkembangan folikel. Untuk variabel dengan nilai p < 0,05
dilakukan uji Post Hoc Fishers LSD untuk menganalisis varians signifikan antar kelompok
perlakuan.
1. Pengaruh Ekstrak Sambiloto terhadap Kadar Insulin dan Perkembangan Folikel pada tikus
model SOPK-Resistensi insulin
Hasil pengukuran terhadap kadar insulin pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
dapat dilihat pada gambar di bawah. Pada gambar tersebut tampak bahwa rata-rata kadar
insulin dan perkembangan folikel pada kelompok kadar insulin sebesar 8.363.03, sedangkan
34

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

untuk kelompok perkembangan folikel primer adalah 6.002.61; folikel sekunder 5.402.72;
folikel tersier 3.401.93dan folikel de graff 0.561.15.

Dari gambar tersebut tampak bahwa ekstrak sambiloto dapat kadar insulin dan
perkembangan folikel dengan didapatkan dari uji normalitas berdistribusi normal yang
kemudian dilanjutkan dengan uji Manova.
2. Pengaruh Ekstrak Sambiloto Terhadap Perkembangan Folikel tikus
Gambar ini mewakili macam-macam gambar folikel dijumpai selama pengamatan.

Gambar 1 : folikel tikus


(a. Folikel Primer; b. Folikel Sekunder; c. Folikel Tersier; d. Folikel de Graff)

35

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Gambar berikut yang memuat hasil penelitian ini menunjukkan hasil uji manova dapat
dilihat pada gambar tersebut.

Gambar 2: Pengaruh ekstrak sambiloto dengan uji manova


Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa ekstrak sambiloto pada kadar insulin,
perkembangan folikel sekunder dan tersier dengan nilai p > 0.05 sedangkan pada
perkembangan folikel primer dan de Graff dengan nilai p < 0.05 pada kelompok control dan
kelompok perlakuan. Yang mana untuk perkembangan folikel primer dan folikel de Graff
memenuhi syarat untuk dilakukan uji anova dan Selanjutnya dilakukan uji komparasi ganda
menggunakan Least Square Difference (LSD).
3. Hasil uji Anova
Uji anova dapat dilakukan apabila hasil dari uji manova p < 0.05.

Gambar 3: rata- rata uji anova perkembangan folikel primer


Gambar ini memperlihatkan bahwa menuju kearah kanan, dimana kelompok control
negatif memiliki angka rata- rata lebih tinggi pada perkembangan folikel primer 8.00 2.91,
diikuti rata- rata pada kelompok P1 dan P3 dengan nilai sama 6.80 2.16, lalu diikuti
kelompok P2 dengan nilai rata- rata 5.00 2.00 dan kelompok kontrol positif dengan nilai
rata- rata 3.40 1.67.

36

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Gambar 4 uji anova perkembangan folikel de Graff


Gambar ini memperlihatkan bahwa menuju kearah kiri, dimana kelompok control
negatif memiliki angka rata- rata lebih tinggi pada perkembangan folikel de Graff 2.20 1.64,
diikuti rata- rata pada kelompok kontrol positif dengan nilai rata- rata 0.60 .89, dan untuk
kelompok P1, P2 dan P3 dengan nilai sama 0.00 0.00.
D. PEMBAHASAN
1. Kadar Insulin
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Data kelompok ini dibandingkan dengan
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hal ini diperlakuan untuk melihat efek yang
terjadi selama 15 hari perlakuan. Didapatkan hasil dari uji Manova diperoleh nilai signifikansi
0.554 (p>0,05) artinya tidak adanya perubahan yang nyata antara kadar insulin kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan. Kadar insulin yang tidak ada perubahan bermakna,
mengindikasikan kemungkinan ekstrak sambiloto belum dapat memperbaiki keadaan insulin
dengan memiliki jumlah reseptor insulin kurang, yang mengakibatkan penurunan sensitivitas
insulin sehingga menyebabkan terjadinya keadaan hiperinsulinemia. Dengan asumsi ekstrak
sambiloto belum mampu memperbaiki keadaaan kadar insulin.
Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian yang mengindikasikan Pada orang
dengan resistensi insulin, kadar normal insulin tidak memiliki efek yang sama pada sel-sel
otot dan adiposa, dengan hasil kadar glukosa tetap lebih tinggi dari biasanya. Untuk
mengkompensasi hal ini, pankreas dalam individu resistensi insulin dirangsang untuk
melepaskan lebih banyak insulin 7.
Peningkatan ambilan glucose bukan disebabkan oleh peningkatan respon jaringan (otot,
hati dan lemak) terhadap insulin, namun diduga terkait dengan peningkatan kadar insulin
plasma. fenomena peningkatan insulin plasma akibat perangsangan yang berulang kali dan
memicu respon proliferasi sel beta pankreas 3.
Peningkatan kadar insulin terjadi akibat gangguan ambilan glucose jaringan (otot,
hati,dan lemak). Insulin receptor substrat-1 (IRS-1) ditemukan mengalami degradasi pada
saat kadar glukosa darah meningkat. IRS-1 mengalami fosforilasi oleh Phospatydilinositol 3
kinase (PI-3 kinase) pada kaki serine sehingga menjadi inaktif. Translokasi GLUT 4 menuju
membrane menjadi terhambat dan mekanisme ambilan glucose otot yang diperantai insulin
tidak berjalan 8.

37

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

2. Perkembangan Folikel
Dari hasil analisa uji manova pada folikel primer diperoleh nilai signifikansi 0.031
(p<0,05) artinya ada perubahan perkembangan folikel primer yang nyata antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan, yaitu kelompok P2 dan P1 < K-. Peningkatan jumlah folikel
primer tersebut besar kemungkinan kandungan ekstrak sambiloto mampu meningkatkan
jumlah folikel primer dengan memperbaiki keadaan reproduksi dengan asumsi dapat menjaga
kualitas sel granulosa. Ekstrak sambiloto mengandung bahan aktif saponin. Dalam kajian
fertilitas, komposisi diterpen lactone atau saponin ini sangat dibutuhkan untuk melindungi selsel granulosa. Hal tersebut sesuai dalam penelitian menyatakan bahwa bahan aktif yang
terkandung dalam Centella asiatica (L.) terutama dari golongan triterpenoid (diterpen lactone)
juga penting untuk penjagaan kualitas sel-sel granulosa, yang selanjutnya sel-sel granulosa ini
sangat dibutukan untuk menjaga kualitas sel telur.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Suheimi (2007), bahwa reseptor FSH hanya
ditemukan di sel-sel granulosa yang penting untuk mengendalikan perkembangan folikel.
Selain FSH sebagai regulator utama perkembangan folikel dominan, growt faktor yang
dihasilkan oleh folikel dapat bekerja melalui mekanisme autokrin dan parakrin, memodulasi
kerja FSH, dan menjadi faktor penting yang berpengaruh. yang mana sel granulosa ini sangat
di butuhkan untuk menjaga sel telur yang membentuk sel jaringan pengikat di dalam kortex
ovarium yang menjadi tempat berkembangnya folikel. Dan bahwa sel granulosa terdapat
reseptor hormon FSH dan LH yang dibutuhkan untuk perkembangan folikel (Suheimi 2007).
Folikel sekunder didapatkan nilai signifikansi sebesar 0.103 (p>0,05) dan folikel tersier
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.378 (p>0,05) dari uji manova artinya tidak ada pengaruh
perubahan yang nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Di sebabkan
mekanisme yang mengendalikan dan mengawali proses pertumbuhan folikel sekunder.
Dengan asumsi pemberian ekstrak sambiloto selama 4 siklus tidak memperbaiki keadaan
insulin dan keadaan reproduksinya. Yang tercapai hanya keadaan resistensi insulin. Dengan
keadaan seperti itu berarti resistensi insulin menurunkan SHBG dan mensekresi androgen
berlebih, menekan FSH dan tidak terjadi aromatisasi yang dapat menghambat pertumbuhan
folikel.
Pertumbuhan folikel dipengaruhi kadar FSH yang ada di dalam ovarium, sehingga
folikel primer, sekunder dan tersier dapat berkembang dengan baik. Hal ini dapat dipahami
karena pada saat awal perkembangan folikel diperlukan FSH dalam jumlah yang cukup utuk
mendorong perkembangan folikel menuju fase selanjutnya.
(Kiptiyah,2002).
Folikel de Graff dari hasil uji manova diperoleh nilai signifikansi 0,002 (p<0,05) artinya
ada pengaruh yang nyata. Folikel de Graff merupakan bentuk akhir dari perkembangan folikel
ovarium. Oosit dalam folikel de Graff dibungkus oleh massa sel yang disebut culumus
oophorus membungkusnya menonjol ke dalam ruang antrum yang penuh dengan cairan
folikel (Partodiharjo,1992).
Kemungkinan besar berdasarkan pada data hasil penelitian, kadar estrogen yang rendah
tetapi harus meningkat tersebut menghambat sekresi FSH, yang menurun selama bagian
terakhir fase folikel, dan secara inkomplit menekan sekresi LH yang terus meningkat selama
fase folikel. Pada saat pengeluaran estrogen mencapai puncaknya, kadar estrogen yang tinggi
memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH, menyebabkan ovulasi
yang matang. Dimana didapatkan terjadinya penurunan jumlah dari folikel de Graff, besar
kemungkinan hal tersebut yang menyebabkan sudah terlewati ovulasi yang mengakibatkan
38

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

gambaran folikel de Graaf tidak di dapatkan dengan didapatkan jumlah korpus luteum yang
lebih tinggi dibandingkan folikel de Graff.
E. KESIMPULAN
1. Pemberian ekstrak sambiloto tidak memberikan perubahan signifikan kadar insulin 0.554
(p > 0.05) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
2. Pemberian ekstrak sambiloto memberikan perubahan perkembangan folikel pada folikel
primer sebesar 0.031 (p < 0.05) dan folikel de Graff sebesar 0.002 (p < 0.05) antara
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
F. SARAN
Berdasarkan dari hasil penelitian, maka disarankan untuk di lakukan penelitian lanjutan
dengan menggunakan dosis lebih tinggi atau waktu pemberian yang lebih lama sehingga
dapat memperbaiki keadaan kadar insulin dan keadaan reproduksinya
DAFTAR PUSTAKA
Dunaif A. 1996. Finegood DT. Cell Dysfunction Independent of Obesity and Glucose
Intolerance in The Polycystic Ovary Syndrome. Journal of Clinical Endocrinology and
Metabolism. Vol. 51: 3; 942-7
Dunaif A. 1989. Segal KR, Futterweit W. Profound peripheral Insulin Resistenace,
Independent of Obesity. in Polycistic Ovary syndrome. Diabetes: 57
Gonzales C et al. 2000. Role of 17 B estradiol and / or progesterone on insulin sensitivity in
the rat: implication during pregnancy. Journal of Endokrinology 166,283-291.
Lobo RA. 1996. Unifying Concept for Polycistic Ovary Syndrome. In : Chang RJ, Plycistic
Ovary Syndrome. Serono Symposia USA Inc. Massachusetts.: 334 52
Samsulhadi. 2002. Obesitas dan Kesehatan Reproduksi Wanita (Aplikasi Klinis berbasis
moleculer) Dalam Tjokroprawiro A, Hendromartono,Sutjahyo Ari,Tandra A.National
Obesity Simposium I,Hal 75-83
Santoso B, Widjiati and Muttaqin DA. 2008. Jurnal Pengaruh Lama Paparan Androgen
terhadap Indeks Resistensi Insulin dan Kadar Asam Lemak Bebas pada Serum Tikus
Model Sindroma Ovarium Polikistik
Sudarsono, Pudjoarinto A, Gunawan D, Wahyuono S, Donatus IA, Drajad M, Wibowo S,
Ngatidjan. 2006, Tumbuhan Obat I. Pusat Penelitian Obat Tradisional, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal 25-28
Subramanian R, Asmawi MZ, Sadikun A. 2008. In vitro alpha-glucosidase and
alphaamylase enzyme inhibitory effects of Andrographis paniculata extract and
andrographolide. Acta, J. Biochem. Pol.,55(2):391-398
Shao J et al, 2004. Physical Activity / Exercise and Type 2 Diabetes. Diabetic Care 27 (10):
2518- 2539
Yulinah E, Sukrasno, Fitri MA. 2011, Aktivitas Antidiabetika Ekstrak Etanol Herba
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees (Acanthaceae), JMS ITB Vol. 6

39

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

HUBUNGAN SIKAP IBU TENTANG KESULITAN MAKAN DENGAN


STATUS GIZI ANAK USIA PRA SEKOLAH (3-6 TAHUN) DI DESA WONOSARI
NGORO MOJOKERTO
Nurun Ayati Khasanah
Dosen Poltekkes Majapahit
ABSTRACT
Many children have problems for eating. These problems happen in 25% childrend
of Indonesia. It will increase for about 40-70% to children who got premature or cronic
disease. Picky Eaters Clinic had done a research on the day priour to 2007. This research
said that the children who is 3-6 years or preschool, is gotten 33,6% prevalent problem of
eating. This problem will spoil their growth and development of children. The goal of this
research knows the relation between what will mother do for nutrient problem of children
preschool or (3-6 tahun) in wonosari ngoro mojokerto.This research is observation of
analitic, besides make a list with cross sectional. Independent of variable is what will mother
do about the problem for eating in children before they get formal education (3-6 years).
Variable dependent is nutrient of children preschool (3-6 tahun). Popualtion is fifty eight
mothers and their childrend (3-6 years) in Wonosari, Ngoro, Mojokerto. Fifty one person had
been the sample by simple random sampling. The statistic test, chi square test had been gotten
the sig result. (2 tailed)=0,000<_a=0,05. Its mean there is relation mother do about eating
problem with nutrient in children (3-6 years) in wonosari, ngoro , mojokerto.Finally, this
research has the result that there is connetion mother do with eating problem that happen in
children preschool or 3-6 years in wonosari, ngoro, mojokerto. Because of this result, the
medicals personel are expected to increase to give conseling for mother about how to
overcome eating problem or the difficulties to eat for children
Keyword: attitude, nutrient status
A.

PENDAHULUAN
Pengaturan makan yang berhasil tercermin dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak yang memuaskan. Umumnya kecukupan makanan dapat diperkirakan dari masukan
makanan. Untuk mengetahui apakah makanan yang diberikan sudah mencukupi
kebutuhan dilakukan dengan mengevaluasi anak. Evaluasi secara objektif dilakukan
dengan memantau pertumbuhan fisik atau penilaian status nutrisi anak (Akhmadi, 2008).
Kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit merupakan penyebab langsung
malnutrisi yang paling penting. Penyakit, terutama penyakit infeksi, mempengaruhi
jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh. Kurangnya asupan makanan
sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan, kurangnya
kualitas makanan yang diberikan dan cara pemberian makanan yang salah (Rahajeng,
2009).
Memberi makan kepada anak-anak terkadang menyulitkan. Anak tidak selalu
menyukai apa yang diberikan kepada mereka. Mereka cenderung lebih menyukai
makanan ringan berupa makanan yang manis (seperti permen, biskuit), makanan junk
food (biasanya dalam bentuk makan siap saji seperti hamburger, fried chicken, french
fries), dan makanan yang tasty (misalnya chiky, cheetos) dibandingkan makanan utama
yang berupa nasi dan lauk pauknya. Menghadapi situasi tersebut orangtua terutama ibu
biasanya menggunakan berbagai cara untuk membuat agar anaknya mau makan, bahkan
seringkali sampai merasa perlu untuk memaksa anak, apalagi orangtua dari anak-anak
40

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

yang bertubuh mungil. Orangtua mungkin beranggapan bahwa tubuh mungilnya itu
terbentuk karena anaknya kurang makan dan gizi (Tasmin, 2008). Hal tersebut bisa
disadari. Sebab kecemasan ibu timbul akibat ketakutan akan tidak terpenuhinya
kecukupan gizi, energi maupun nutrisi untuk tumbuh kembang anak. Namun sikap ibu
yang memaksakan makan menyebabkan anak merasakan proses makan sebagai saat yang
tidak menyenangkan, berakibat timbulnya rasa anti terhadap makanan. Hal ini disebabkan
ibu beranggapan bagaimanapun caranya, anak tetap harus makan. Di sisi lain sikap ibu
tersebut dipengaruhi oleh masalah sosio-kultural dan aturan makan yang ketat atau
berlebihan, sikap yang terlalu obsesif (keras) dan overprotektif (terlalu melindungi),
sehingga menimbulkan respon negatif dari anak (Suri Viana, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Abigail H. Natenshon pada tahun 2007 di beberapa
negara bagian Amerika Serikat menunjukkan bahwa masalah kesulitan makanan sangatlah
nyata dan banyak dijumpai di masyarakat. Kesulitan makan dialami oleh satu dari dua
puluh anak di usia 0 bulan hingga 10 tahun yang menolak makan atau hanya makan
makanan tertentu yang dia sukai saja. Itupun dalam jumlah yang relatif sangat sedikit.
Kondisi ini dikarakteristikkan dengan ketakutan yang sangat untuk mencoba makanan
baru, menolak apapun jenis makanan yang diberikan yang menyebabkan kondisi anak
semakin terpapar pada malnutrisi dan mengalami gagal pertumbuhan secara normal
(Nathenson, 2007).
Faktor kesulitan makan pada anak ini juga dialami oleh sekitar 25% anak
Indonesia, jumlahnya akan meningkat sekitar 40-70% pada anak yang lahir prematur atau
dengan penyakit kronik. Penelitian yang dilakukan oleh Picky Eaters Clinic di awal tahun
2007, menyebutkan bahwa pada anak pra sekolah usia 3-6 tahun, didapatkan prevalensi
kesulitan makan sebesar 33,6%. Sebagian besar 79,2% telah berlangsung lebih dari 3
bulan. Kesulitan pemberian makan pada anak ini secara langsung mengganggu proses
tumbuh kembang anak, yang pada gilirannya dapat mengganggu fungsi tubuh lainnya
(Judarwanto, 2007).
Jawa Timur merupakan propinsi dalam peringkat kelima di Indonesia yang
memiliki kasus gizi buruk tertinggi. Sebanyak 5.000 anak di Jawa Timur dinyatakan
mengalami masalah kurang gizi. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan gizi
yang adekuat akibat anak sulit makan (Taufik, 2008). Kabupaten Mojokerto tahun 2008
memiliki jumlah balita di bawah garis merah (BGM) sebanyak 2,41% dan balita gizi
buruk sebanyak 0,07%. Data yang diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Mojokerto tahun 2008 menunjukkan bahwa di Kecamatan Gondang terdapat 124 (4,89%)
balita BGM (di bawah garis merah) dan 5 (0,24%) kasus balita gizi buruk dari 3.125 balita
yang ada (Dinkes Kabupaten Mojokerto, 2010).
Permasalahan pada anak usia pra sekolah (3-6 tahun) adalah bahwa pada usia ini
seorang anak masih merupakan golongan konsumen pasif yaitu belum dapat mengambil
dan memilih makanan sendiri. Mereka juga masih sukar diberikan pengertian tentang
pentingnya makanan, di samping kemampuan menerima berbagai jenis makanan juga
masih terbatas. Maka pada usia ini anak dengan kesulitan makan rentan terhadap berbagai
penyakit infeksi terutama kondisi kurang gizi (Santoso, 2004: 99). Sikap ibu yang negatif
seperti memaksakan makan ataupun membiarkan anak tidak mau makan akan membuat
anak semakin tidak mau makan dan kurang asupan gizi. Menurut penelitian Judarwanto
(2007), kesulitan makan ternyata dapat berakibat mengganggu fungsi otak dan merubah
perilaku anak. Gangguan perilaku tersebut berupa over aktif, hiperaktif atau attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD), agresifitas dan emosi yang meningkat, gangguan
konsentrasi, gangguan belajar, gangguan tidur malam dan lain-lain. Bahkan jika
berlangsung lama, dapat menyebabkan berbagai komplikasi penyakit, diantaranya Kurang
41

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Kalori Protein (KKP), marasmik, kwasiorkor, gangguan mental dan kecerdasan, Kurang
Vitamin A (KVA) dan sebagainya (Siswono, 2009).
Upaya mengatasi sikap negatif ibu tentang kesulitan makan pada anak pra sekolah
usia 3-6 tahun dapat dilakukan dengan pemberian penyuluhan dan konseling oleh tenaga
kesehatan. Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan, yang dilakukan
dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja
sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan (Mahfoedz, 2007: 15).
B. TINJAUAN PUSTAKA
1.

Konsep Sikap
a. Pengertian sikap
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak
senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, fungsi sikap belum merupakan tindakan
(reaksi terbuka) atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan)
atau reaksi tertutup (Notoatmodjo dan sebagainya). Jadi sikap itu suatu sindroma atau
kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan
pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Newcomb menyatakan
bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain, , 2005: 52).
b. Klasifikasi sikap
Menurut Azwar (2008: 6), di kalangan ahli psikologi sosial dewasa ini terdapat dua
pendekatan dalam mengklasifikasikan sikap. Yang pertama adalah yang memandang
sikap sebagai kombinasi reaksi antara afektif, konatif dan kognitif terhadap suatu
objek. Pendekatan pertama ini sama dengan pendekatan skema triadik, yang kemudian
disebut juga dengan pendekatan tri komponen. Yang kedua adalah yang meragukan
adanya konsistensi antara ketiga komponen sikap di dalam membentuk sikap. Oleh
karena itu pendekatan ini hanya memandang perlu membatasi konsep dengan
komponen afektif saja.
c. Pembentukan sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, antara lain pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau
lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu (Azwar,
2008: 30-38).
1. Pengalaman pribadi.
Middlebrook mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh
seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif
terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang
terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, karena penghayatan akan pengalaman
lebih mendalam dan lebih lama membekas.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.
Individu pada umumnya cenderung memiliki sifat yang konformis atau searah
dengan sikap orang yang dianggap penting yang didorong oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik.
3. Pengaruh kebudayaan.
Burrhus Frederic Skin sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk
kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan pola
42

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami.
Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat.
Kebudayaanlah yang menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai
masalah.
4. Media massa.
Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lainlain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.
Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini
seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif
baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan
sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah
arah sikap tertentu.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian
dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah
antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari
pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama
sangat menetukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada
gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu
terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada
umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau
mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu,
ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali
menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.
d. Tingkatan sikap
1) Menerima (receiving).
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang
diberikan (objek).
2) Menanggapi (responding).
Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi.
3) Menghargai (valuing).
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap
objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan
mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.
4) Bertanggung jawab (responsible).
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang
telah diyakininya (Notoatmodjo, 2005: 54).
2. Konsep Kesulitan Makan
a.
Pengertian kesulitan makan.
Kesulitan makan anak yaitu kurangnya nafsu makan atau ketidakmampuan
untuk makan dan menolak makanan tertentu. Kesulitan makan juga timbul bila alat
pencernaan mengalami kelainan maupun bila refleks-refleks yang berhubungan
dengan makan terganggu (Santoso, 2004: 98, 99).
Kesulitan makan terjadi bila anak mengalami gangguan dalam
mengkonsumsi makanan yang ditandai dengan tidak mau menelan, cepat bosan,
menolak makan serta penerimaan makan yang tidak memuaskan (Karyadi, 2007:
14-15).
43

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

b. Pola makan dan kebiasaan makan pada anak usia pra sekolah
Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka anak usia pra sekolah
yaitu tiga sampai dengan enam tahun termasuk golongan masyarakat yang disebut
kelompok rentan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita
kelainan gizi, sedangkan pada saat ini mereka sedang mengalami proses
pertumbuhan yang relatif pesat, dan memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang
relatif besar.
Untuk seorang anak, makan dapat dijadikan media untuk mendidik anak
supaya dapat menerima, menyukai, memilih makanan yang baik, juga untuk
menentukan jumlah makanan yang cukup dan bermutu. Dengan demikian dapat
dibina kebiasaan makan yang baik tentang waktu makan dan melalui cara
pemberian makan yang teratur, anak biasa makan pada waktu yang lazim dan
sudah ditentukan (Santoso, 2004: 89).
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola makan
Pola makan menurut Lie Goan Hong dalam Sri Karjati (1985) adalah
berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah
bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas
untuk suatu kelompok masyrakat tertentu. Pola makan ini dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain adalah: kebiasaan, kesenangan, budaya, agama, taraf
ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya (Santoso, 2004: 89).
Di masyarakat, setiap kelompok mempunyai suatu pola tersendiri dalam
memperoleh, menggunakan, dan menilai makanan yang akan merupakan ciri
kebudayaan dari kelompok masing-masing. Adanya berbagai pengertian tersebut
memerlukan landasan pengetahuan tentang makanan sehat bergizi dalam
memenuhi konsumsi makanan sehari-hari. Penerapan pendidikan gizi pada ibu
sebagai pengelola utama makanan yang disantap keluarga sehari-hari sulit berhasil
bila tidak disertai peningkatan pengetahuan mengenai sikap, kepercayaan dan nilai
dari masyarakat yang akan dijadikan sasaran dan cara mereka menerapkannya
kepada anak-anak mereka. Sikap ibu terhadap makanan dipengaruhi oleh pelajaran
dan pengalaman yang diperoleh sejak masa kanak-kanak tentang makan dan
makanan. Hal ini kemudian akan membentuk kebiasaan makan, yaitu suatu pola
perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Jadi
kebiasaan makan ibu akan mempengaruhi pola asuh makan yang diterapkannya
pada anak-anaknya kelak. Oleh karena itu, di lingkungan anak hidup terutama
keluarga perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi
(Santoso, 2004: 95-96).
d. Gejala kesulitan makan.
Gejala kesulitan makan pada anak, antara lain:
1) Anak makan tidak mau ditelan, hanya ditahan (diemut) di dalam mulut, bahkan
kadang-kadang dikeluarkan lagi.
2) Makan terlalu sedikit menurut ukuran si ibu atau pengasuh atau tidak seperti
hari-hari biasanya.
3) Penerimaan makanan yang tidak memuaskan, seperti anak tidak mau makan
salah satu makanan (terutama yang tidak mereka suka) atau hanya mau makan
salah satu jenis makanan (seperti hanya mau minum susu dan tidak mau makan
nasi).
4) Terjadi keterlambatan dalam ketrampilan makan tertentu, misalnya anak
seharusnya sudah dapat mengkonsumsi nasi tapi tidak dapat menerima bahkan
untuk menelan nasi.
44

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

5) Cepat bosan terhadap makanan yang diberikan.


6) Menunjukkan penolakan atau melawan pada waktu makan.
7) Suka makanan yang bukan makanan atau menunjukkan kebiasaan makan yang
aneh (pika), seperti makan rumput, kertas (Karyadi, 2007: 15)
e.
Penyebab kesulitan makan.
Menurut Karyadi (2007: 16), penyebab kesulitan makan pada anak antara
lain:
1) Faktor emosi.
Misalnya adanya perubahan lingkungan, perubahan pengasuh, orang
tua bepergian, paksaan untuk makan atau menghabiskan makanan tertentu
yang dapat menurunkan selera makan anak.
2) Faktor organik atau fisik.
1) Kelainan neuro-motorik, misalnya cerebral palsy, inkoordinasi faring,
kelainan laring atau kelainan esophagus yang dapat menyebabkan
kesukaran menelan.
2) Kelainan kongenital (bawaan lahir), sehingga sulit untuk mengunyah atau
mengolah makanan di mulut, misalnya kelainan langit-langit.
3) Kelainan rahang, kelainan lidah, obstruksi (penyumbatan) esophagus, usus
halus juga menyulitkan anak untuk makan atau menimbulkan muntah.
3) Faktor fisiologis.
Terjadi penurunan kebutuhan makan pada periode tertentu. Pada masa
pertumbuhan, kebutuhan makan pada anak meningkat. Namun selera makan
anak biasanya menurun ketika anak memasuki usia 3 tahun.
4) Faktor penyakit.
1) Misalnya gangguan pada mulut. Adanya gusi bengkak, sariawan, gigi
berlubang atau patah menyebabkan anak sulit untuk mengunyah dan
menggigit makanan, sehingga enggan untuk makan.
2) Adanya penyakit infeksi akut atau menahun biasanya merupakan penyebab
turunnya selera makan.
5) Faktor gizi.
Kekurangan gizi, terutama kalori dan protein yang dikenal sebagai
malnutrisi energi protein dapat menimbulkan gejala anoreksia (tidak nafsu
makan), karena produksi enzim pencernaan dan asam lambung yang kurang
dan anak menjadi apatis, sehingga selera makan menjadi tidak ada.
Kekurangan asam amino serta anemia kekurangan zat besi juga dapat
menyebabkan anoreksia. Hal ini terjadi akibat anak kurang mengkonsumsi
variasi makanan yang mengandung zat besi dan hanya minum susu yang
rendah zat besi.
6) Faktor obat-obatan.
Pemberian obat-obatan tertentu dapat menyebabkan penurunan selera
makan, misalnya jenis antibiotik tertentu, steroid, pemberian hormon atau
kemoterapi untuk pengobatan kanker.
7) Faktor lingkungan.
Misalnya suasana makan di dalam keluarga yang tidak menyenangkan,
sehingga menurunkan selera makan anak. Adanya gangguan lingkungan
misalnya anak terlalu senang bermain, menonton televisi dan sebagainya.
f. Kebutuhan gizi anak usia pra sekolah.
Kebutuhan gizi yang paling diperlukan oleh anak usia pra sekolah terdiri
dari:
45

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

1) Protein.
Digunakan untuk pertumbuhan, memperbaiki sel-sel yang rusak dan
komponen yang penting untuk daya tahan tubuh. Dapat diperoleh dari bahan
hewani (daging, ayam, telur) dan nabati (tempe, tahu, kacang-kacangan)
2) Vitamin A, C, E sebagai pelindung alamiah tubuh.
Vitamin C merupakan zat gizi utama untuk meningkatkan sistem daya
tahan tubuh. Bersama vitamin A dan E, ketiga vitamin ini dapat melindungi
tubuh dari infeksi bakteri dan virus. Vitamin C paling banyak didapatkan dari
jeruk, pepaya, sayuran hijau, ubi. Vitamin A ada dua sumber dari hewan
disebut retinol dan dari tumbuhan disebut beta karoten. Sedangkan vitamin E
ditemukan di asam lemak esensial, seperti minyak ikan dan kacang-kacangan.
3) Vitamin B kompleks dan asam lemak esensial untuk perkembangan otak.
Zat gizi utama yang dibutuhkan untuk proses berpikir dan konsentrasi
adalah asam lemak esensial omega 3 yang terdapat pada minyak ikan, kacangkacangan serta vitamin B kompleks.
4) Mineral: seng, selenium dan zat besi.
Seng banyak ditemukan pada tiram, daging sapi, ayam, telur. Selenium
pada kerang dan makanan laut. Seng dan selenium merupakan dua mineral
utama yang dibituhkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari penyakit.
Sedangkan zat besi dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah yang
membawa oksigen dan zat-zat gizi dalam darah ke seluruh bagian tubuh. Zat
besi terdapat pada daging merah, avokad, brokoli, kentang dan beras merah.
3. Konsep Status Gizi
a. Pengertian status gizi.
Gizi (nutrition) adalah suatu proses organisme menggunakan makanan
yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ,
serta menghasilkan energi (Supariasa, 2001: 17-18). Gizi berasal dari bahasa Arab
ghidza yang berarti makanan (Almatsier, 2009: 3). Istilah gizi merupakan
terjemahan dari kata bahasa Inggris nutrition. Jadi gizi terkadang disebut pula
nutrisi (Yuniastuti, 2008: 1).
Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan oleh tubuh untuk melakukan
fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta
mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier, 2009: 3).
Status gizi (nutrition status) adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2001:
18). Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan
antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari
variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan atau panjang badan, lingkar
kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Sasake, 2009). Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi
(Almatsier, 2009: 3).
b. Pengukuran status gizi.
Dapat dilakukan dengan menggunakan indeks antropometri (Supariasa,
2001: 69). Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi
adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U),
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan lingkar lengan atas menurut umur
(LiLA/U). Dari berbagai jenis indeks antropometri tersebut, untuk
46

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

menginterpretasikannya dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas


diperlukan kesepakatan para ahli gizi. Ambang batas dapat disajikan dalam tiga
cara, yaitu:
1) Persen terhadap median.
Median adalah nilai tengah dari suatu populasi. Dalam antropometri
gizi, median sama dengan persentil 50. Nilai median ini dinyatakan sama
dengan 100% (untuk standar). Setelah itu dihitung persentase terhadap nilai
median untuk mendapatkan ambang batas.
Tabel 1 Status gizi berdasarkan indeks antropometri
Status gizi
Indeks
BB/U
TB/U
BB/TB
Gizi baik
>80%
>90%
>90%
Gizi sedang
71-80% 81-90% 81-90%
Gizi kurang
61-70% 71-80% 71-80%
Gizi buruk
<60%
<70%
<70%
Sumber: Persen terhadap Median Baku NCHS (Supariasa, 2001: 70)

2) Persentil.
Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persen terhadap
median adalah persentil. Para pakar merasa kurang puas dengan persen
terhadap median untuk menentukan ambang batas. Akhirnya mereka memilih
cara persentil. Persentil 50 sama dengan median atau nilai tengah dari jumlah
populasi berada di atasnya dan setengahnya berada di bawahnya. National
Center for Health Statistic (NCHS) merekomendasikan persentil ke 50 sebagai
batas gizi baik dan kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi
baik.
3) Standar deviasi unit
Standar deviasi unit disebut juga Z-skor. WHO menyarankan
menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan.
a) 1 SD unit (1 Z-skor) kurang lebih sama dengan 11% dari median BB/U.
b) 1 SD unit (1 Z-skor) kira-kira 10% dari median BB/TB.
c) 1 SD unit (1 Z-skor) kira-kira 5% dari median TB/U.
c. Patogenesis penyakit gizi.
Jellife dan Florentino Solon (1977) dalam Supariasa (2001: 8-9) membuat
patogenesis penyakit kurang gizi sebagai berikut: proses diawali akibat dari faktor
lingkungan dan faktor manusia yang didukung oleh kekurangan asupan zat-zat
gizi. Akibat kekurangan zat gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan
untuk memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan ini berlangsung lama, maka
simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat
ini seseorang sudah dapat dikatakan mengalami malnutrisi walaupun baru hanya
ditandai dengan penurunan berat badan dan pertumbuhan terhambat. Dengan
meningkatnya defisiensi zat gizi, maka muncul perubahan biokimia dan rendahnya
zat-zat gizi dalam darah, berupa rendahnya tingkat hemoglobin, serum vitamin A
dan karoten. Dapat pula terjadi meningkatnya beberapa hasil metabolisme seperti
asam laktat dan piruvat pada kekurangan tiamin. Apabila keadaan itu berlangsung
lama, maka akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti tanda-tanda saraf yaitu
kelemahan, pusing, kelelahan, nafas pendek dan lain-lain. Kebanyakan penderita
malnutrisi sampai pada tahap ini. Keadaan ini akan berkembang yang diikuti oleh
tanda-tanda klasik dari kekurangan gizi seperti kebutaan dan fotopobia, nyeri lidah

47

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

pada penderita kekurangan riboflavin, kaku pada kaki pada defisiensi tiamin.
Keadaan ini akan segera diikuti luka pada anatomi.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ditinjau dari sistem pangan
dan gizi adalah penyediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi makanan dan
utilisasi makanan. Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi
pangan dalam negeri melalui upaya pertanian dalam menghasilkan bahan makanan
pokok, lauk pauk, sayur mayur dan buah-buahan. Agar sampai pada masyarakat
dengan baik, distribusi pangan perlu memperhatikan aspek transportasi,
penyimpanan, pengolahan, pengemasan, dan pemasaran. Sampai di tingkat
keluarga, konsumsi makanan bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang
dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, pola asuh makan, dan kebiasaan
makan secara perorangan. Penggunaan makanan oleh tubuh bergantung pada
pencernaan dan penyerapan serta metabolisme gizi. Hal ini bergantung pada
kebersihan lingkungan dan ada tidaknya penyakit yang berpengaruh terhadap
penggunaan zat-zat gizi oleh tubuh (Almatsier, 2009: 12-13).
Kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit merupakan penyebab
langsung malnutrisi yang paling penting. Penyakit, terutama penyakit infeksi,
mempengaruhi jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh.
Kurangnya asupan makanan sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah
makanan yang diberikan, kurangnya kualitas makanan yang diberikan dan cara
pemberian makanan yang salah (Rahajeng, 2009).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan yang mengungkapkan bahwa
keadaan gizi dan pertumbuhan anak laki-laki lebih baik daripada keadaan gizi dan
pertumbuhan anak perempuan dalam lingkungan yang sama (Satoto, 1990). Menurut
dugaan Chavez dan Martinez (1982) seperti dikutip Satoto (1990), bahwa faktor
perbedaan tersebut berkaitan dengan faktor biologis, dimana anak laki-laki
menggunakan kalori-protein lebih efisien (Suyatno, 2007). Status gizi juga tercermin
dalam berat badan anak. Berat badan ideal seorang anak memiliki range.
Standarnya bagi anak laki-laki dan perempuan juga berbeda. Biasanya anak
perempuan mempunyai berat badan lebih rendah dibandingkan anak laki-laki
(Hendarto, 2009).
e. Penanggulangan masalah gizi kurang.
Penanggulangan masalah gizi kurang perlu dilakukan secara terpadu antar
departemen dan kelompok profesi, melalui upaya-upaya peningkatan pengadaan
pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status
sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta peningkatan teknologi
hasil pertanian dan teknologi pangan. Semua upaya ini bertujuan untuk
memperoleh perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat yang beraneka ragam
dan seimbang dalam mutu gizi (Almatsier, 2009: 311).
Menurut Almatsier (2009: 311), upaya penanggulangan masalah gizi
kurang yang dilakukan secara terpadu antara lain:
1) Upaya pemenuhan persediaan pangan nasonal terutama melalui peningkatan
produksi beraneka ragam pangan.
2) Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang diarahkan pada
pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga.
3) Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari
tingkat pos pelayanan terpadu (Posyandu), hingga puskesmas dan rumah sakit.
48

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

4) Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui Sistem Kewaspadaan


Pangan dan Gizi (SKPG).
5) Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi di bidang pangan dan gizi
masyarakat.
6) Peningkatan teknologi pangan untuk mengembangkan berbagai produk
makanan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas.
7) Intervensi langsung kepada sasaran melalui pemberian makanan tambahan
(PMT), distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirop besi serta
kapsul minyak beryodium.
8) Peningkatan kesehatan lingkungan.
9) Upaya fortifikasi bahan pangan dengan vitamin A, iodium dan zat besi.
10) Upaya pengawasan makanan dan minuman.
11) Upaya penelitian dan pengembangan pangan dan gizi.
Melalui Instruksi Presiden No. 8 tahun 1999 telah dicanangkan Gerakan
Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi yang diarahkan kepada:
1) Pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga.
2) Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan cakupan kualitas pencegahan
dan penanggulangan masalah pangan dan gizi di masyarakat.
3) Pemantapan kerjasama lintas sektor dalam pemantauan dan penanggulangan
masalah gizi melalui SKPG.
4) Peningkatan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan (Azwar, 2000 dalam
Almatsier, 2009: 311).
4. Konsep Anak Usia Pra Sekolah
a. Definisi anak usia pra sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat
1 adalah 0-6 tahun dimana ruang lingkup pendidikan anak usia dini salah satunya
adalah usia pre school (usia pra sekolah) atau kindergarten children (3-6 tahun).
Yang dimaksud anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6
tahun menurut Biechler dan Snowman (1993). Dari teori Piaget yang
membicarakan perkembangan kognitif, perkembangan kognitif anak usia pra
sekolah berada dalam tahap pra operasional (Patmonodewo, 2003: 19).
Kelompok anak pra sekolah (3-6 tahun) merupakan anak taman kanakkanak (TK) yang mempunyai ciri khas yaitu sedang dalam proses tumbuh
kembang. Ia banyak melakukan kegiatan jasmani dan mulai aktif berinteraski
dengan lingkungan sosial maupun alam sekitarnya dan peka terhadap pendidikan
dan penanaman kebiasaan hidup sehat (Santoso, 2004: 43).
Anak usia pra sekolah menurut Wong (2000) yang dikutip oleh Supartini
(2004: 57) adalah anak usia 3-6 tahun yang termasuk periode kanak-kanak awal.
Usia pra sekolah terdiri dari jenjang play group dan taman kanak-kanak.
Taman kanak-kanak (disingkat TK) adalah jenjang pendidikan anak usia dini
dalam bentuk pendidikan formal. Kurikulum TK ditekankan pada pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani
dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Secara umum untuk lulus dari tingkat program di TK selama 2 (dua) tahun, yaitu:
TK 0 (nol) Kecil (TK kecil) selama 1 (satu) tahun dan TK 0 (nol) Besar (TK besar)
selama 1 (satu) tahun. Umur rata-rata minimal kanak-kanak mulai dapat belajar di
sebuah taman kanak-kanak berkisar 4-5 tahun sedangkan umur rata-rata untuk
49

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

lulus dari TK berkisar 6-7 tahun. Setelah lulus dari TK, atau pendidikan formal
dan pendidikan non formal lainnya yang sederajat, murid kemudian melanjutkan
ke jenjang pendidikan lebih tinggi diatasnya yaitu sekolah dasar atau yang
sederajat (Wikipedia, 2010).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
Menurut Soetjiningsih (2002) dalam Nursalam (2005: 39), faktor-faktor
yang mempengaruhi tumbuh kembang dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1) Faktor dalam (internal).
a) Genetika.
Faktor genetis akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan
kematangan tulang, alat seksual serta saraf, sehingga merupakan modal
dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang yaitu perbedaan
ras, etnis atau bangsa (keluarga, umur, jenis kelamin, kelainan kromosom)
b) Pengaruh hormon.
2) Faktor luar (eksternal) yaitu lingkungan.
a) Pra natal, seperti gizi, mekanis, toksin, zat kimia, radiasi, kelainan
endokrin, penyakit menular seksual, kelainan imunologi, psikologis ibu.
b) Kelahiran, seperti riwayat kelahiran dengan vakum kestraksi atau forceps
dapat menyebabkan trauma kepala pada bayi, sehingga berisiko terjadi
kerusakan jaringan otak.
c) Post natal, seperti gizi, penyakit kronis atau kelainan kongenital,
lingkungan fisik dan kimia, endokrin, sosioekonomi, lingkungan
pengasuhan, pemberian ASI eksklusif, stimulasi dan obat-obatan.
c. Ciri-ciri perkembangan anak usia pra sekolah.
Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill atau
ketrampilan) dalam struktur dan fungsi tubuh yang kompleks dalam pola yang
teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan (Riyadi, dkk.,
2009: 2). Secara umum, perkembangan anak usia pra sekolah (3-6 tahun) adalah
sebagai berikut:
1) Perkembangan motorik.
Menurut Yusuf (2009: 164), perkembangan fisik anak usia pra sekolah
ditandai dengan berkembangnya kemampuan atau ketrampilan motorik, baik
yang kasar maupun yang lembut atau halus.
2) Perkembangan kognitif.
Menurut Piaget yang dikutip oleh Yusuf (2009: 165), perkembangan
kognitif pada usia pra sekolah berada pada periode praoperasional (2-7 tahun),
yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara
logis. Operasi adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan
fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya symbolic function yaitu
kemampuan menggunakan sesuatu untuk merepresentasikan sesuatu yang lain
dengan menggunakan simbol. Dapat juga dikatakan sebagai semiotic function
yaitu kemampuan menggunakan simbol-simbol seperti bahasa, gambar, tanda
untuk melambangkan suatu kegiatan, benda yang nyata atau peristiwa. Melalui
kemampuan tersebut, anak mampu berimajinasi atau berfantasi tentang
berbagai hal. Dia dapat menggunakan kata-kata, peristiwa dan benda untuk
melambangkan yang lainnya.
3) Perkembangan bahasa.
Perkembangan bahasa pada anak usia 2,6-6 tahun bercirikan: anak
sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya serta
50

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

tingkat berpikir anak sudah lebih maju, yaitu anak banyak menanyakan soal
waktu, sebab akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, kemana, mengapa
dan bagaimana (Yusuf, 2009: 170).
Menurut Baraja (2008: 215-216), proses perkembangan bahasa anak
setelah usia 4 tahun akan melalui beberapa bentuk diantaranya:
a) Anak mulai mengadaptasi semua informasi masuk berbentuk simbol dan
kata-kata. Yang mungkin informasi tersebut diasimilasi atau diakomodasi
anak untuk menjadi suatu pengertian dan pemahaman.
b) Selanjutnya anak berusaha untuk mengkritisi, menanggapi semua ucapan
yang diterima dari orang lain atau lingkungannya atau menilai ucapan atau
tingkah laku orang lain.
c) Kemudian anak mengembangkan dengan bahasa pertanyaan, perintah,
permintaan dan jawaban.
Lundsteen (Judarwanto, 2005) mengatakan usia 2-6 tahun termasuk
dalam tahapan linguistik, dimana pada tahap ini ia mulai belajar tata bahasa
dan perkembangan kosa katanya mencapai 3000 buah.
4) Perkembangan kepribadian.
Menurut Erickson, perkembangan kepribadian manusia pada usia pra
sekolah berada pada perkembangan psikososial pada fase inisiatif vs rasa
bersalah, yaitu perkembangan inisiatif diperoleh dengan cara mengkaji
lingkungan melalui kemampuan indranya. Anak mengembangkan keinginan
dengan cara eksplorasi terhadap apa yang ada di sekelilingnya. Hasil akhir
yang diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai
prestasinya. Perasaan bersalah akan timbul pada anak, apabila anak tidak
mampu berprestasi, sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang tidak
tercapai (Supartini, 2004: 61-62).
5) Perkembangan emosi dan sosial (psikososial).
Menurut Patmonodewo (2003: 30), perkembangan emosi pada anak
usia pra sekolah terdiferensiasi. Berbagai faktor yang menyebabkannya.
Pertama, kesadaran kognitifnya yang telah meningkat memungkinkan
pemahaman terhadap lingkungan berbeda dari tahapan semula. Imajinasi atau
daya khayalnya lebih berkembang. Kedua, berkembangnya wawasan sosial
anak. Teman sebaya mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Sedangkan
tingkah laku sosialisasi adalah sesuatu yang dipelajari, bukan sekedar hasil dari
pematangan. Perkembangan sosial anak diperoleh selain dari proses
kematangan, juga melalui kesempatan belajar dari respon terhadap tingkah
laku anak.
Menurut Patmonodewo (203: 32), masalah sosial emosional yang
sering muncul pada anak usia pra sekolah antara lain:
a) Rasa cemas yang berkepanjangan atau takut yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
b) Kecenderungan depresi, permulaan dari sikap apatis dan menghindar dari
orang-orang di lingkungannya.
c) Sikap yang bermusuhan terhadap anak dan orang lain.
d) Gangguan tidur, gelisah, mengigau, mimpi buruk.
e) Gangguan makan, misalnya nafsu makan menurun.
6) Perkembangan bermain.
Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan anak usia pra
sekolah baik fisik, emosi, mental, intelektual, kreatifitas dan sosial. Alat
51

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

permainan merupakan salah satu alat untuk menstimulasi pertumbuhan dan


perkembangan anak. Stimulasi adalah perangsangan yang datangnya dari
lingkungan di luar atau sebagai penguat (reinforcement). Jika berkurang dapat
menimbulkan penyimpangan perilaku sosial, emosional dan motorik. Dengan
demikian bermain ini harus seimbang, artinya harus ada keseimbangan antara
bermain aktif dan juga pasif, yang biasanya disebut hiburan. Dalam bermain
aktif, kesenangan diperoleh dari apa yang diperbuat oleh mereka sendiri,
misalnya exploratory play, construction play, dramatic play, bermain bola, tali
dan sebagainya. Sedangkan bermain pasif, kesenangan didapat dari orang lain,
antara lain dengan melihat dan mendengar, misalnya melihat gambar-gambar
di buku maupun majalah, mendengarkan cerita atau musik, menonton televisi
dan lain-lain.
Kerangka konsep
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
sikap:
Faktor internal:
Faktor fisiologis:
- Umur
- Kesehatan
Faktor psikologis:

Ibu yang memiliki anak usia


pra sekolah (3-6 tahun)

Sikap tentang kesulitan makan pada anak:


1. Gejala kesulitan makan
2. Penyebab kesulitan makan
3. Kebutuhan gizi anak usia pra sekolah
4. Komplikasi akibat kesulitan makan
5. Pencegahan kesulitan makan
6. Penanganan kesulitan makan

- Minat
- Perhatian
Motif

Positif

Negatif

Faktor eksternal:
- Informasi
- Lingkungan
- Pendidikan
Faktor-faktor yang
- Pekerjaan
-mempengaruhi
Pengalaman status
- Situasi gizi:
- Norma
- Penyediaan pangan
- Hambatan
- Distribusi pangan
- Pendorong
- Konsumsi makanan
- Utilisasi pangan

Status gizi anak usia pra


sekolah (3-6 tahun)

Gizi lebih

Gizi baik

Gizi kurang

Gizi buruk

C. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Rancang Bangun Penelitian


Jenis penelitian adalah analitik observasional (Setiadi, 2007: 128). Rancang bangun
yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian
yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan
dependen hanya satu kali pada satu saat
52

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Framework
Sikap ibu tentang kesulitan
makan pada anak usia pra
sekolah

Status gizi anak usia pra


sekolah (3-6 tahun)

(3-6 tahun)
Variabel perancu:
-

Perhatian
Motif
Informasi
Lingkungan

2. Populasi, Sampel, Variabel Dan Definisi Operasional


Populasi dalam penelitian ini adalah populasinya adalah seluruh ibu dan anak usia
pra sekolah (3-6 tahun) di desa Wonosari Ngoro Mojokerto sejumlah 58 orang
Pengambilan sampel Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
probability sampling tipe simple random sampling Sampel diambil dari sebagian ibu dan
anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di desa Wonosari Ngoro Mojokerto sejumlah 51 orang.
Yang dilakukan pada tanggal 21 juni 2011 yang memenuhi kriteria inklusi :Ibu dan anak
usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto.
Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu kuesioner
untuk mengukur sikap ibu tentang kesulitan makan pada anak dan pengukuran
menggunakan timbangan badan dan data umur dari arsip di Desa Wonosari Kecamatan
Ngoro Kabupaten Mojokerto. Variabel yang digunakan aadalah sikap ibu tentang
kesulitan makan pada anak usia pra sekolah (3-6 tahun).
3. Definisi operasional hubungan sikap ibu tentang kesulitan makan dengan status gizi
anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di desa Wonosari Ngoro Mojokerto
Variabel
Definisi operasional
Kriteria
Skala
Independen:
Kecenderungan ibu untuk
Pernyataan positif: Nominal
Sikap ibu
menanggapi secara positif atau
SS : 4
tentang
negatif tentang kesulitan makan
S
:3
kesulitan
yang dialami oleh anak usia 3-6
E
:2
makan pada
tahun yang meliputi:
TS : 1
anak usia 1. Gejala kesulitan makan
STS : 0
pra sekolah 2. Penyebab kesulitan makan
Pernyataan negatif:
(3-6 tahun) 3. Kebutuhan gizi anak usia pra
SS : 0
sekolah
S
:1
4. Komplikasi akibat kesulitan
E
:2
makan
TS : 3
5. Pencegahan kesulitan makan
STS : 4
6. Penanganan kesulitan makan
Alat ukur menggunakan
Skor T > 50,
kuesioner
maka sikap = positif
Skor T < 50,
53

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

maka sikap = negatif


(Azwar, 2008: 157)

Dependen:
Status gizi
anak usia
pra sekolah
(3-6 tahun)

Perwujudan dari keadaan


keseimbangan konsumsi anak
usia 3-6 tahun yang didasarkan
pada kategori yang digunakan
(BB/U)
Alat ukur menggunakan
timbangan berat badan dan data
umur anak

Status gizi lebih:


>+2SD
Status gizi baik:
-2SD s/d +2SD
Status gizi kurang:
-3SD s/d -2SD
Status gizi buruk:
<-3SD
(Susilowati, 2008)

Ordinal

D.HASIL PENELITIAN
1. Gambaran lokasi penelitian.
Penelitian ini di lakukan di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto
dengan luas Wilayah : 215,175 ha. Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten
Mojokerto terdiri dari 3 dusun yaitu Dusun Wonosari, Dusun Sidorejo dan Dusun
Manggung sono
2. Data umum.
a. Karakteristik responden (ibu) berdasarkan umur.
Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur ibu di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni
2011
No
Umur (tahun)
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
<20
11
21,57
2
20-35
31
60,78
3
>35
9
17,65
Jumlah
51
100
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden
berumur 20-35 tahun sebanyak 31orang (60,78 %).
b. Karakteristik responden (ibu) berdasarkan pekerjaan.
Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan ibu di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni
2011
No
Pekerjaan
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Bekerja
22
43,14
2
Tidak bekerja
29
56,86
Jumlah
51
100
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden tidak
bekerja sebanyak 29 orang (56,86%).

54

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

c. Karakteristik responden (ibu) berdasarkan pendidikan.


Tabel 4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan ibu di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni
2011
No
Pendidikan
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Tidak sekolah/tidak tamat SD
0
0
SD
2
SMP
10
19,61
3
SMA
22
43,14
4
Akademi/PT
13
25,49
5
6
11,76
Jumlah
51
100
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa kurang dari 50% responden
adalah lulusan SMP sebanyak 22 orang (43,14 %).
d. Karakteristik responden (ibu) berdasarkan jumlah anak.
Tabel 5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jumlah anak yang
dimiliki ibu di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten
Mojokerto tanggal 21 Juni 2011
No
Jumlah anak
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
1
18
35,29
2
2-4
33
64,71
3
>5
0
0
Jumlah
51
100
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden
memiliki 2-4 anak sebanyak 33 orang (64,71 %).
e. Karakteristik responden (anak) berdasarkan umur.
Tabel 6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur anak di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni
2011
No
Umur (tahun)
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
3
0
0
2
4
6
11,76
3
5
15
29,41
4
6
30
58,83
Jumlah
51
100
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden
berumur 6 tahun sebanyak 30 orang (58,83%).
f. Karakteristik responden (anak) berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 7 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin anak di
Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21
Juni 2011
No
Jenis kelamin
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Laki-laki
17
33,33
2
Perempuan
34
66,67
Jumlah
51
100

55

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden


berjenis kelamin perempuan sebanyak 34 orang (66,67 %).
1. Data khusus
a. Sikap ibu tentang kesulitan makan pada anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni 2011.
Tabel 8 Distribusi frekuensi sikap ibu tentang kesulitan makan pada anak
usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro
Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni 2011
No
Sikap ibu
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Positif
15
29,40
2
Negatif
36
70,60
Jumlah
51
100
Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki sikap negatif sebanyak 36 orang (70,60 %).
b. Status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro
Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni 2011.
Tabel 9 Distribusi frekuensi status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di
Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal
21 Juni
No
Status gizi
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Lebih
9
17,6
2
Baik
30
58,8
3
Kurang
12
23,5
4
Buruk
0
0
Jumlah
51
100
Berdasarkan tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden
memiliki status gizi baik yaitu sebanyak 30 orang (58,8 %).
c. Hubungan sikap ibu tentang kesulitan makan dengan status gizi anak usia pra
sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto
tanggal 21 Juni 2011.
Tabel 10 Tabulasi silang antara sikap ibu tentang kesulitan makan dengan
status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari
Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni 2011
Sikap
Positif
Negatif
Total

Status gizi
Lebih
Baik
f
%
f
%
7
13,7
8
15,7
2
3,9
22
43,1
9
17,6
30
58,8
X2 hitung = 15,250

Total
Kurang
f
%
f
%
0
0
15
29,4
12
23,5
36
70,6
12
23,5
51
100
Sig. (2 tailed) = 0,000

Berdasarkan tabel 10 diketahui responden ibu yang memiliki sikap positif,


kurang dari 50% status gizi anaknya baik sebanyak 6 anak (15,4%) dan tidak ada
yang memiliki status gizi kurang dan tidak baik, sedangkan responden ibu yang
memiliki sikap negatif, kurang dari 50% status gizi anaknya baik sebanyak 17
anak (43,6%) namun semua responden yang memiliki status gizi kurang baik,
memiliki sikap yang negatif terhadap kesulitan makan atau bisa disimpulkan
56

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

bahwa ibu yang tidak peduli terhadap kesulitan makan akan mempunyai anak
dengan status gizi yang kurang baik.
Hasil uji statistik Chi Square Test dengan menggunakan SPSS versi 16.0
didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,000 < = 0,05. Ketentuan menyatakan H0
ditolak jika Sig. (2 tailed) < artinya ada hubungan sikap ibu tentang kesulitan
makan dengan status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari
Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tanggal 21 Juni 2011.
E. PEMBAHASAN
1. Sikap ibu tentang kesulitan makan pada anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki sikap negatif
terhadap kesulitan makan.
Sikap ibu yang negatif dapat terlihat terutama pada skor hasil penelitian
tentang gejala kesulitan makan yaitu anak makan tidak mau ditelan, hanya ditahan
(diemut) di dalam mulut adalah salah satu tanda anak sulit makan serta pencegahan
kesulitan makan yaitu anak akan lebih mudah makan jika makanannya diberi bumbu
yang sangat terasa. Hal ini menunjukkan ibu menanggapi anak tidak mau menelan
makan, hanya mengemut saja dengan cara yang kurang baik diantaranya harus
ditangani dengan cara seperti memberi bumbu masakan yang tajam agar anak mau
makan. Padahal anak usia pra sekolah belum membutuhkan rasa yang tajam sebab
kemampuan indra pengecapnya masih baik.
2. Status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro
Kabupaten Mojokerto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai
anak dengan status gizi yang baik.
Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan
antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari
variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan atau panjang badan, lingkar
kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Sasake, 2009). Status gizi adalah keadaan
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier,
2009: 3).
3. Hubungan sikap ibu tentang kesulitan makan dengan status gizi anak usia pra sekolah
(3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa responden ibu yang memiliki sikap positif,
kurang dari 50% status gizi anaknya baik sebanyak 6 anak (15,4%) dan tidak ada yang
memiliki status gizi kurang dan tidak baik, sedangkan responden ibu yang memiliki
sikap negatif, kurang dari 50% status gizi anaknya baik sebanyak 17 anak (43,6%)
namun semua responden yang memiliki status gizi kurang baik, memiliki sikap yang
negatif terhadap kesulitan makan atau bisa disimpulkan bahwa ibu yang tidak peduli
terhadap kesulitan makan akan mempunyai anak dengan status gizi yang kurang baik.
Hasil uji statistik Chi Square Test dengan menggunakan SPSS versi 16.0
didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,000 < = 0,05. Ketentuan menyatakan H0 ditolak
jika Sig. (2 tailed) < artinya hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan sikap ibu
tentang kesulitan makan dengan status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa
Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto..
F. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan sikap ibu tentang kesulitan makan
dengan status gizi anak usia pra sekolah (3-6 tahun) di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro
Kabupaten Mojokerto, maka dapat disimpulkan:
57

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

1. sebagian besar responden memiliki sikap negatif tentang kesulitan makan pada anak
usia pra sekolah (3-6 tahun) di di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten
Mojokerto yaitu sebanyak 36 orang (70,60 %). Lebih dari 50% responden memiliki
status gizi baik di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto yaitu
sebanyak 30 orang (58,8 %).
2. Uji statistik Chi Square Test didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,000 < = 0,05 artinya
ada hubungan sikap ibu tentang kesulitan makan dengan status gizi anak usia pra
sekolah (3-6 tahun) di di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto.
Diharapkan tingkah laku dan sikap ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi anak
selalu mempertimbangkan kondisi psikis anak, agar anak merasa makan adalah
sesuatu yang menyenangkan sehingga berdampak positif pada pertumbuhan
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. (2003). Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Akhmadi.
(2008).
Penanganan
Kesulitan
Makan
pada
Anak.
(Online)
(http://akhmadi.multiply.com/journal/item/14 diakses tanggal 21 April 2010)
Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Anwar, Sasake. (2009). Status Gizi dan Faktor yang Mempengaruhi. (Online)
(http://www.anwarsasake.wordpress.com diakses tanggal 2 Mei 2010)
Apuy. (2007). Hambatan adalah Tantangan. (Online) (http://id. answers.yahoo.com diakses
tanggal 1 Mei 2010)
Azwar, Syaifudin. (2008). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi 2. Cetakan XII.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Baraja, Abubakar. (2008). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Studia Press
Budiarto, Eko. (2002). Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC
Darmoutomo,
Endang
(2008).
Menyiasati
Anak
Sulit
Makan.
(Online)
(http://www.sahabatnestle.co.id diakses tanggal 20 April 2010)
Dasmin, Sidu. (2004). Pengaruh Kejelasan Peran dan Motivasi Kerja terhadap Pelaksanaan
Tugas Jabatan di Lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur. (Online)
(http://www.damandiri.or.id diakses tanggal 27 April 2010)
Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto. (2008). Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto
tahun 2008.
Hendarto, Aryono. (2009). Anak Kurus VS Anak Sehat. (Online) (http://www.tabloidnakita.com/artikel diakses tanggal 10 Juni 2010)
Hendra AW. (2008). Pengetahuan. (Online) (http://www.ajangberkarya.wordpress.com
diakses tanggal 22 April 2010)
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data.
Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika
Judarwanto, Widodo. (2005). Perkembangan Bahasa Anak Pra Sekolah. (Online)
(http://www.speechclinic.wordpress.com diakses tanggal 22 April 2010)
_________________. (2007). Kesulitan Makan pada Anak. (Online) (http://dranak.blog
spot.com/2007/02/kesulitan-makan-pada-anak.html diakses tanggal 29 April 2010)
Karyadi, Elvina, dkk. (2007). Kiat Mengatasi Anak Sulit Makan. Jakarta: PT. Intisari
Mediatama
Machfoedz, Ircham, Eko Suryani. (2007). Pendidikan Kesehatan bagian dari Promosi
Kesehatan. Jakarta: Fitramaya
58

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Meliono,
Irmayanti,
et.al.
(2007).
MPKT
Modul.
(Online)
(http://id.wikipedia.org/wiki/informasi diakses tanggal 21 April 2010)
Medicastore.
(2009).
Pertumbuhan
dan
Perkembangan
Anak.
(Online)
(http://www.medicastore.com diakses tanggal 5 Mei 2010)
Muliawan, Tony. (2007). Pembelajaran yang Menumbuhkan Sikap Wirausahawan. (Online)
(http://www.persimpangan.com diakses tanggal 4 Mei 2010)
Narbuko, Cholid, Abu Achmadi. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Nathenson, Abigail H. (2007). Feeding Disorders and Picky Eating in Infants and Children.
(Online) (http://www.parentingbookmark.com/pages/AN01.htm diakses tanggal 5 Mei
2010)
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
___________________. (2005). Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Nursalam. (2005) Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta:
Salemba Medika
________. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Nursalam dan Siti Pariani. (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan.
Jakarta: CV. Infomedika
Patmonodewo, Soemiarti. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta
Rahajeng. (2009). Malnutrisi. (Online) (http://www.dokterblog.wordpress.com diakses
tanggal 2 Mei 2010)
Riduwan. (2007). Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Jakarta: EGC
Riyadi, Sujono dan Sukarmin. (2009). Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Santoso, Soegeng, dkk. (2004). Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Siswono. (2009). Anak Sulit Makan Berakibat Fatal. (Online) (http://www.gizi.net diakses
tanggal 2 Mei 2010)
Sugiyono. (2007). Statistik Non Parametris untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Suharsimi, Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi
VI. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Supariasa, I Dewa Nyoman, et. al. (2001). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Supartini, Yupi. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC
Suri Viana. (2005). Pusing ... Anak Sulit Makan! (Online) (http://www.infoibu.com/mod.php
diakses tanggal 29 April 2010)
Susilowati. (2008). Pengukuran Status Gizi dengan Antropometri Gizi (Online)
(http://www.pdfqueen.com diakses tanggal 2 Mei 2010)
Suyatno. (2007). Gizi Balita. (Online) (http://www.gizi.net diakses tanggal 10 Juni 2010)
Tasmin, Martina S. (2008). Menyiasati Anak Sulit Makan. (Online) (http://www.epsikologi.com/anak diakses tanggal 10 April 2010)
Taufik, Rohman. (2008). 5.000 Balita di Jawa Timur Kurang Gizi. (Online)
(http://www.tempointeraktif.com diakses tanggal 19 April 2010)
Uno, Hamzah B. (2008). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara
UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 28 ayat 1. (Online) (http://www.unisri.ac.id diakses tanggal 2
Mei 2010)

59

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

CARA MENGATASI MORNING SICKNESS PADA IBU HAMIL TRIMESTER I DI BPS


NY. WAHYU SUROWATI DESA WARUNGDOWO POHJENTREK PASURUAN
Sari Priyanti
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
The aim of this study was to identify the solution of morning sickness of pregnant
woment in first trimester in BPS Ny Wahyu Surowati Karangdowo Pohjentrek Pasuruan. The
research used descriptive design and first trimester pregnant woment used as population. The
sample as much as 32 mothers. The result showed that there is 15 responden (68,3%) mothers
try to handle morning sickness. Mothers knowing about pregnant and morning sickness
influent what will they do if they have this sickness. So by reading KIA handbook and, hunting
information from mass media like tv or radio about how to handling morning sickness would
increase mothers knowledge that could be use in the second pregnant.
Kata kunci: morning, sickness, pregnant.
A. PENDAHULUAN
Pemantauan Kehamilan merupakan fase yang cukup penting dalam kehidupan
manusia. Beberapa wanita pasti mendambakan kehamilan dan kehadiran buah hati
yang akan menciptakan keharmonisan keluarga. Pada setiap kehamilan terdapat
perubahan pada seluruh tubuh wanita, khususnya pada alat genetalia eksterna dan
interna, serta pada payudara. Perubahan fisiologis pada ibu hamil mempengaruhi
kebutuhan nutrisi selama kehamilan (Prawirohardjo, 2009).
Perubahan hormon pada masa kehamilan akan mengakibatkan pengeluaran asam
lambung yang berlebihan sehingga menimbulkan rasa mual dan muntah (Solihah, 2008).
Gejala ini disebut morning sickness. Dalam batas yang wajar, kondisi ini dapat dianggap
normal (Nolan, 2004). Walaupun disebut sebagai morning sickness bukan berarti rasa
mual hanya terjadi di pagi hari saja, rasa mual dapat terjadi setiap saat, bisa malam, siang
ataupun setiap waktu (Suririnah, 2009).
Hasil laporan di Dunia menunjukkan bahwa hampir 50-90% wanita hamil
mengalami mual pada trimester pertama (3 bulan pertama kehamilannya). Mual terhadap
makanan tertentu, bahkan hanya karena mencium bau makanan tertentu saja (Suririnah,
2009). Indonesia sekitar 2-5% keadaan muntah dan mual semakin hebat sehingga
memerlukan rawat inap di rumah sakit. Salah satu komplikasi yang paling sering di alami
adalah dehidrasi atau disebut juga kekurangan cairan (Admin, 2005).
Di Jawa Timur (2008) sebagian wanita hamil merasakan mual dan muntah terjadi
pada saat kehamilan pertama kali sebanyak 78%. Perasaan mual biasanya akan membaik
pada kehamilan 12-16 minggu. Kadang-kadang ada yang lebih lama, bahkan sampai anak
lahir. Adanya perasaan mual belum memastikan bahwa wanita itu hamil, biarpun
sebagian wanita hamil mengalaminya. Keadaan semacam itu bisa pula terjadi pada
penyakit lain seperti hepatitis, malaria, ulcus ventricule, walaupun keadaannya tidak sama
dengan rasa mual pada kehamilan (Jesika, 2008). Data Kabupaten Pasuruan tahun 2009
didapatkan beberapa kasus maternal meliputi hypremesis 433 (11,9%) orang, keguguran
2609 (71,9%) orang, eklampsia/pre eklampsia 414 (11,4%) orang, dan perdarahan
kehamilan 170 (4,8%) orang (Dinkes Pasuruan, 2010).
Berdasarkan studi pendahuluan di BPS Ny. Wahyu Surowati Desa Warungdowo
Pohjentrek Pasuruan pada tanggal 28 April 1 Mei 2010 secara wawancara pada 10 ibu
60

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

hamil trimester I didapatkan bahwa 7 (70%) ibu hamil tidak tahu tentang morning sicknes
dan 3 (30%) ibu hamil tahu tentang morning sicknes.Dari 10 ibu hamil tersebut
didapatkan 8 (80%) ibu hamil tidak bisa mengatasi morning sickness.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi mual muntah kehamilan. Tapi
cara yang banyak dilakukan pertama kali adalah diet misalnya dengan makan sedikit tapi
sering dan menghindari makanan berlemak yang dapat merangsang mual. Penggunaan
Vit B6 atau obat lainnya diberikan bila dengan cara diet mual muntah belum teratasi.
Penyuluhan yang efektif tentang cara mengatasi morning sickness dapat meningkatkan
pengetahuan ibu hamil tentang morning sickness. Jika ibu hamil tahu tentang morning
sickness maka diharapkan sikap yang positif terhadap morning sickness pada saat
menjalani kehamilan sehingga kehamilan berjalan normal (Suririnah, 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengetahui
pengetahuan morning sickness dan cara mengatasi morning sickness pada ibu hamil
trimester I di Desa Warung Dowo Pohjentrek-Pasuruan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh
melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2007).
Menurut fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin
tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya.
Adanya unsur unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa
yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau diubah
sedemikian rupa sehingga tercapai suatu konsistensi (Azwar, 2007).
Penelitian Rogers (1974) dalam (Notoatmodjo, 2007) mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam
diri seseorang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus objek.
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini
sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau buruknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
b. Tingkatan Pengetahuan
Pengetahuan tercakup dalam domain kognitif 6 tingkatan (Notoatmojo, 2007).
a. Tahu (Know)
Tahu di artikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari
sebelumnya.
b. Memahami (Comprehention)

61

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan


secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi adalah kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari
pada situasi dan kondisi nyata.
d. Analisis (Analysis)
Suatu kemampuan menjabarkan materi atau kedalam komponenkomponen tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Syntesis)
kemampuan menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan
dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Berkaitan dengan kemampuan melakukan justifikasi atau penelitian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian berdasarkan suatu
kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada
c. Faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan
a. Umur
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat ia
akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja..
b. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Makin
tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka makin mudah dalam
menerima informasi, sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang
dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat
perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal
(Notoatmodjo, 2003).
c. Lingkungan
Lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku
orang atau kelompok.
d. Pekerjaan
Pekerjaan adalah serangkaian tugas atau kegiatan yang harus
dilaksanakan atau diselesaikan oleh seseorang sesuai dengan jabatan atau
profesi masing-masing. Status pekerjaan yang rendah sering
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang.
e. Sosial Ekonomi
Variabel ini sering dilihat angka kesakitan dan kematian, variabel ini
menggambarkan tingkat kehidupan seseorang yang ditentukan unsur
seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan banyak contoh serta
ditentukan pula oleh tempat tinggal karena hal ini dapat mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan
(Notoatmodjo, 2003).

62

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

f.

2.

Informasi yang diperoleh


Informasi dapat diperoleh di rumah, di sekolah, lembaga organisasi,
media cetak dan tempat pelayanan kesehatan. Ilmu pengetahuan dan
teknologi membutuhkan informasi sekaligus menghasilkan informasi.
g. Pengalaman
Merupakan sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh
kebenaran dan pengetahuan.
Konsep Morning Sickness
1. Pengertian
Morning sickness adalah mual (nausea) atau muntah (vormitusi) yang
terjadi dalam awal bulan kehamilan, biasanya hanya saat bangun dari tidur
(Farrer, 2005). Morning sickness adalah mual muntah terutama di pagi hari
(Mellyna, 2001). Morning sickness adalah mual, pening dan muntah yang
terjadi pada kehamilan di Tribulan pertama (0-12 minggu) (Suririnah, 2009).
Mual (nausea) dan muntah (emesis gravidarum) adalah gejala yang wajar dan
sering didapatkan pada kehamilan tribulan I. Mual biasanya terjadi pada pagi
hari, tetapi dapat pula timbul setiap saat dan malam hari. Gejala ini kurang
lebih terjadi setelah 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir dan
berlangsung selama kurang lebih 10 minggu (Prawirohardjo, 2009).
2. Faktor yang mempengaruhi Emesis Gravidarum
a. Faktor predisposisi : Primigravida, Hidramnion,Kehamilan Ganda, Mola
Hidatidosa
b. Faktor Psikologis: Rumah tangga yang Retak, Hamil yang tidak di
inginkan, Takut terhadap kehamilan dan persalinan, Takut terhadap
tanggung jawab sebagai ibu, Kehilangan Pekerjaan.
(Ipul, 2009)
3. Tanda dan gejala yang sering dijumpai
a. Mual dan sampai muntah yang terjadi dalam 12 minggu pertama
kehamilan, biasanya menghilang pada akhir waktu tersebut, tapi kadang
muncul kembali menjelang akhir kehamilan.
b. Mual dan muntah yang terjadi kira-kira mulai 2 minggu sesudah haid tidak
datang dan berlangsung kira-kira selama 6 sampai 8 minggu. Sesudah 12
minggu biasanya menghilang .
c. Mual dan muntah yang terjadi pada tribulan pertama kehamilan dan akan
berakhir pada awal tribulan kedua kehamilan (Rustam, 2002).
d. Perasaan mual kadang disertai muntah di pagi hari. Ada yang merasakan
siksa ini hanya dipagi hari, namun tidak jarang yang harus mengalaminya
seharian penuh dan nyaris tidak dapat melakukan aktivitas apapun
(Maramis, 2006)
4. Penyebab
a. Penyebab tidak diketahui, tetapi diduga disebabkan oleh peningkatan
hormon kelamin yang diproduksi selama hamil
b. Penyebab hampir dapat dipastikan karena kepekaan terhadap hormon
kehamilan. Tetapi, akan berlebihan jika calon ibu terlalu cemas atau
mengalami tekanan emosional. Mual di pagi hari lebih umum daripada di
saat yang lain, karena perut mengandung kumpulan asam gastrik yang
diendapkan semalaman.
c. Penyebabnya adalah perubahan hormon yang akan mengakibatkan
pengeluaran asam lambung yang berlebihan, terutama di pagi hari .
63

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

d.

3.

Perasaan mual dan muntah pada ibu hamil disebabkan karena selama
hamil muda pergerakan usus menjadi lambat, karena pengaruh hormon
hipofise
e. Penyebab yang pasti masih belum diketahui diduga karena pengaruh
perubahan psikologis dan adanya pengaruh perubahan hormonal selama
kehamilan (Suririnah, 2009).
5. Komplikasi
Sekitar 2-5% keadaan muntah dan mual semakin menghebat, dan
begitu menghebatnya sehingga memerlukan rawat inap di rumah sakit. Salah
satu komplikasi yang paling sering dialami adalah dehidrasi atau disebut juga
kekurangan cairan. Andaikata dehidrasi tersebut tidak segera diganti dengan
cairan yang cukup dan benar maka sudah dipastikan akan mempengaruhi janin
yang ada dalam kandungan (Admin, 2005).
6. Cara mengatasi
a. Makan sering dalam porsi kecil, misalnya setiap dua jam sekali (bahkan
malam hari, anda bisa melakukannya). Seperti makan - 1 entong nasi
dengan sayur yang tidak menyengat dapat menghindari mual dan muntah.
b. Menghindari makanan berbau tajam, terlalu asin atau makanan berbumbu.
Beberapa ibu hamil bahkan tidak bisa mengkonsumsi daging, telur atau
susu.
c. Vitamin B 6 efektif untuk mengurangi rasa mual pada ibu hamil.
Sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter untuk
pemakaiannya.
d. Di pagi hari sewaktu bangun tidur jangan langsung terburu-buru bangun,
coba duduk terlebih dahulu dan perlahan bangun. Bila merasa sangat mual
ketika bangun tidur pagi siapkan snak atau biscuit didekat tempat tidur.
e. Makan makanan yang tinggi karbohidrat dan protein untuk membantu
mengatasi rasa mual. Banyak mengkonsumsi buah dan sayuran dan
makanan yang tinggi karbohidrat seperti roti, kentang, biscuit, madu,
pisang, nasi, sereal dan tahu).
f. Teknik akupresur dengan menekan titik anti muntah.
g. Tidak merokok atau mengkonsumsi minuman beralkohol, batasi asupan
kopi selama tribulan pertama.
h. Pengobatan Tradisional : Biasanya orang menggunakan jahe untuk
mengurangi rasa mual. Wanita hamil untuk mengurangi mual dengan
mengkonsumsi jahe segar atau permen jahe. Jika masih mual, mencoba
mengulum permen jahe. Mencoba ginger tea (rebus jahe di air, saring dan
campurkan dengan madu).
i. Istirahat dan relax akan sangat membantu mengatasi rasa mual muntah..
(Admin, 2005)
Konsep Dasar Ibu Hamil
1. Pengertian
Ibu hamil adalah seorang perempuan yang sedang mengandung
(Sarwono, 2007).
2. Perkembangan, Perubahan Fisik dan Psikologis Ibu Hamil
a. Perkembangan dan perubahan fisik pada ibu hamil meliputi :
1) Rahim atau uterus
2) Vagina atau liang senggama
3) Ovarium atau indung telur
64

HOSPITAL MAJAPAHIT

b.

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

4) Payudara
Penampakan payudara pada ibu hamil adalah sebagai berikut :
a) Payudara menjadi lebih besar
b) Areola payudara makin hiperpegmentasi / menghitam
c) Glandula montgomery makin tampak
d) Puting susu makin menonjol
e) Pengeluaran ASI belum berlangsung karena prolaktin belum
berfungsi karena hambatan dari PIH untuk mengeluarkan ASI.
f) Setelah persalinan hambatan prolaktin tidak ada sehingga
pembuatan ASI dapat berlangsung.
(Prawirohardjo, 2007)
5) Sirkulasi darah ibu yakni volume dara dan sel darah ibu
6) Perubahan Sistem respirasi untuk memenuhi kebutuhan O2
7) Sistem pencernaan
Karena pengaruh estrogen, pengeluaran asam lambung meningkat yang
dapat menyebabkan :
a) Pengeluaran air liur berlebihan (hipersaliva)
b) Daerah lambung terasa panas
c) Terjadi pusing kepala
d) Muntah
e) Muntah berlebihan sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari.
f) Gerak usus makin berkurang dan dapat menyebabkan konstipasi.
8) Traktus urinarius
9) Perubahan pada kulit
Pada kulit terjadi perubahan deposit pigmen dan hiperpigmentasi
karena pengaruh melanophore stimulating hormone lobus hipofisis
anterior dan pengaruh kelenjar suprarenalis.
10) Metabolisme
Dengan terjadinya kehamilan metabolisme tubuh mengalami
perubahan yang mendasar, dimana kebutuhan nutrisi makin tinggi
untuk pertumbuhan janin dan persiapan memberikan ASI.
11) Berat badan ibu hamil bertambah
Berat badan ibu hamil akan bertambah antara 6,5 sampai 16,5 kg
selama hamil atau terjadi kenaikan berat badan sekitar kg/minggu.
Perkembangan psikologis
1) Trimester Pertama
Pada trimester pertama ibu hamil mengalami perubahan emosional,
hasrat seksual akan menurun karena lelah dan muntah. Perubahan
emosi (suasana hati) mungkin lebih kelihatan, mulai dari kegembiraan
sampai depresi karena letih, khawatir dan sakit. Ibu mulai merasa
bahwa bentuk tubuh mulai berubah dan kurang menarik.
2) Trimester Kedua
Perubahan emosional, pada bulan kelima kehamilan sudah tampak
nyata karena bayi sudah mulai bergerak. Perubahan emosi sudah
mulai berkurang. Pada saai ini perhatian mulai tertuju pada bayi dan
mulai banyak memikirkan apakah bayi akan dilahirkan dengan
selamat dan sehat. Rasa cemas akan meningkat sejalan dengan usia
kehamilan.
3) Trimester Ketiga
65

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Perubahan emosional, pada bulan terakhir kehamilan biasanya terasa


gembira bercampur takut karena kelahiran telah dekat. Kekhawatiran
akan apa yang terjadi pada saat melahirkan, apakah bayi akan lahir
sehat dan memikirkan tugas baru sebagai ibu. Pemikiran dan perasaan
seperti ini sangat biasa terjadi pada ibu hamil.
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Dalam penelitian ini, Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif yakni penelitian yang berupaya untuk menjelaskan fenomena yang
ditemukan dilapangan (Notoatmodjo, 2005).
Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah survey yaitu
rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat
bersamaan (sekali waktu) (Hidayat, 2009)..
Kerangka Kerja
Tingkat
pengetahuan

Faktor yang
mempengaruhi
pengetahuan :

Baik : > 75 %

Pengetahuan tentang
morning sickness

1. Tahu

1. Umur
2. Pendidikan
2. Lingkungan
4. Pekerjaan
5. Pengalaman
6. Sosial Ekonomi
7. Informasi

Cukup: >60-75%

2. Paham
Kurang: < 60 %

3. Aplikasi
4. Analisis
5. Sintesis

6. Evaluasi
Faktor yang
mempengaruhi cara
mengatasi

Cara mengatasi
morning sickness

1. Pengalaman
2. Informasi
3. Pengetahuan

Sumber : Notoatmodjo (2003), Arikunto (2006), Admin (2005)


Keterangan :
: Di teliti
: Tidak di teliti
Skema 1
2.

Kerangka Konseptual cara mengatasi morning sickness pada ibu


hamil trimester I di Desa Warung Dowo Pohjentrek-Pasuruan

Hipotesis
H1 : Ada hubungan pengetahuan morning sickness dan cara mengatasi morning
sickness pada ibu hamil trimester 1 di Desa Warung Dowo PohjentrekPasuruan

66

HOSPITAL MAJAPAHIT

3.

4.

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Variabel dan Definisi Operasional.


a. Jenis Variabel Penelitian.
Variabel dalam penelitian ini adalah cara mengatasi morning sickness pada ibu
hamil trimester I.
b. Definisi Operasional.
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik (variabel) yang
diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2008).
Tabel 1 Definisi Operasional Cara Mengatasi Morning Sickness Pada Ibu Hamil
Trimester I di Desa Warungdowo Pohjentrek Pasuruan
Variabel
Definisi Operasional
Kriteria
Skala
Cara mencegah
Tindakan ibu hamil Baik: >75%
Ordinal
morning sickness
dalam mengatasi
Cukup:60-75%
ibu hamil trimester
mual muntah pada
Kurang:<60 %
I
kehamilan trimester I (Arikunto,
(Kuesioner)
2006)
Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.
Dalam Pada penelitian ini populasinya adalah semua ibu hamil trimester 1 di
Desa Warungdowo Pohjentrek Pasuruan sebanyak 32 orang pada bulan Mei Juni
2010. Pada penelitian ini sampelnya adalah ibu hamil trimester 1 di Desa
Warungdowo Pohjentrek Pasuruan. Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan data primer yaitu data yang didapatkan langsung dari responden
dengan menggunakan kuesioner. Alat ukur yang digunakan untuk pengetahuan dan
cara mengatasi morning sickness yaitu kuesioner dengan jenis angket.
Uji signifikansi dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung (hasil uji
validitas) dengan nilai r tabel (nilai tabel) dengan nilai signifikansi 0,05 dan
responden sebanyak 10 orang, r tabel = 0,631. hasil uji validitas (nilai r hitung) yang
merupakan nilai dari Corrected Item-Total Corelation. Dapat juga menggunakan
rumus person products momen:

Keterangan:
r
: koefisien korelasi
X
: jumlah skor item
Y
: jumlah skor total item
n
: jumlah responden
kemudian menghitung nilai uji T dengan rumus:

Keterangan:
r : koefisien korelasi
n : jumlah responden, (n-2=dk, derajat kebebasan)
(Hidayat, 2007:106)
Jika thit > ttabel berarti instrumen valid demikian sebaliknya jika thit < ttabel berarti
instrumen tidak valid yang tentunya tidak dapat digunakan dan dapat diperbaiki/
dihilangkan.
Uji Reliabilitas. Reliabilitas (keandalan) merupakan ukuran suatu kestabilan
dan konsistensi responden dalam menjawab hal yang berkaitan dengan konstrukkonstruk pertanyaan yang merupakan dimensi suatu variabel dan disusun dalam
67

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

suatu bentuk kuesioner. Uji reliabilitas dapat dilakukan secara bersama-sama


terhadap seluruh butir pertanyaan untuk lebih dari satu variabel, reliabilitas suatu
variabel dikatakan baik jika memiliki nilai Cronbachs Alpha > dari 0,60 (Pratisto,
2009:302). Reliabilitas data dapat diukur dengan teknik belah dua atau rumus
spearman Brown:

5.

Keterangan:
r11
: koefisien reliabitas seluruh item
rb
: koefisien products moment antar belahan
(Hidayat, 2007:106)
Analisis keputusan, apalagi r11 > rtabel berarti reliabel dan apabila r11< rtabel tidak
reliabel yang di hitung pada derajat kebebasan dk= n-2 dan = 0,05.
Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data.
Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data melalui tahapan
Editing, Coding, Scoring, dan Tabulating
1) Editing
Beberapa hal yang diperhatikan untuk mengedit data antara lain kelengkapan
dan kesempurnaan data, data sudah cukup jelas tulisannya untuk dapat dibaca
atau tidak, semua catatan dapat dibaca atau tidak, jika ada soal yang belum
dijawab responden maka responden diminta untuk mengisi kembali, jika ada
jawaban ganda pada lembar kuesioner maka diberi skor 0.
2) Coding
Pada saat penelitian peneliti memberikan kode berupa angka seperti pendidikan
tidak tamat SD kode 1, SD kode 2, SMP kode 3, SMA kode 4, dan akademi atau
perguruan tinggi kode 5, unruk umur < 20 tahun kode 1, 20 25 tahun kode 2,
26 30 tahun kode 3, 31 35 tahun kode 4, dan > 35 tahun kode 5, pekerjaan
PNS kode 1, wiraswasta kode 2, buruh kode 3, petani kode 4, tidak bekerja kode
5, untuk jumlah anak kode 1, 2 4 kode 2 dan > 5 kode 3, untuk pengetahuan
kurang kode 1, cukup kode 2 dan baik kode 3
3) Scoring
Setelah data terkumpul kemudian diberi skor jika jawaban benar skor 1 dan
jawaban salah skor 0. Kemudian di persentasekan dengan cara jumlah jawaban
benar dibagi jumlah skor maksimal jika semua jawaban benar (jumlah soal) dan
dikalikan 100%
4) Tabulating
Dalam penelitian ini peneliti menyajikan data umum dan data khusus kedalam
bentuk tabel distribusi frekuensi.
Analisis Data.
Dari Setiap pertanyaan yang dijawab oleh responden jika benar mendapatkan
nilai 1 dan jika salah mendapatkan nilai nol. Kemudian pengetahuan ibu hamil
trimester I tentang morning sickness dianalisis dengan menggunakan rumus :
f
P=

X 100%
N

Keterangan :
P
: Prosentase
f
: Jumlah jawaban yang benar
68

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

N
: Jumlah skor maksimal jika semua jawaban benar (Budiarto, 2002:37)
Kemudian hasilnya dimasukkan dalam kriteria standar penilaian meliputi:
Pengetahuan Baik
: > 75 %
Pengetahuan Cukup
: 60 - 75%
Pengetahuan Kurang
: < 60%
(Arikunto, 2006)
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Desa Desa Warung Dowo terletak di ketinggian tanah dari permukaan laut 4,5
M dengan curah hujan: 10.917 pertahun. Topografi Desa Warung Dowo terletak
pada dataran rendah dengan suhu udara rata-rata 30 oC. Luas wilayah Desa Warung
Dowo 128,029 Ha.
Jumlah penduduk sebanyak 5.465 orang, yang terdiri dari 2.733 wanita dan
2.732 Pria, Mata pencaharian terbesar penduduk adalah sebagai petani penggarap.
Jarak BPS dari kantor kecamatan + 2 km dan jarak ke kota kabupaten sejauh + 15
km.
Desa Warung Dowo Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan memiliki
fasilitas polindes yang terdiri 1 bidan yaitu bidan Ny wahyu surawati memiliki
fasilitas:
a. 1 ruang tindakan, 1 ruang nifas, 1 ruang bersalin dan 1 kamar mandi
b. Pelayanan yang diberikan berupa: Imunisasi, persalinan, KB, posyandu dan
kontrol nifas dan periksa kahamilan. Kegiatan yang diberikan di BPS Desa
Warung Dowo yaitu penyuluhan tentang morning sickness pada waktu
pemeriksaan kehamilan.
2. Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Tabel 2
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa
Warung Dowo Pohjentrek Pasuruan pada Tanggal 19, 20, 23,
27, 28 Juni 2013
No
Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
1. Tidak lulus SD
1
3,3
2. SD
9
30,0
3. SMP
11
36,7
4. SLTA
7
23,3
5. PT
2
6,7
Total
30
100,0
Berdasarkan tabel 2 dapat menunjukkan bahwa paling banyak responden
berpendidikan SMP, sedangkan responden yang tidak lulus SD mempunyai
proporsi yang paling rendah.
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 3
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Desa Warung
Dowo Pohjentrek Pasuruan Tanggal 19, 20, 23, 27, 28 Juni
2013
No
Umur
Jumlah
Persentase (%)
1. < 20 tahun
4
13,3
2. 20-35 tahun
24
83,4
5 > 35 tahun
1
3,3
Total
30
100,0
69

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Berdasarkan tabel 3 dapat menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden


berumur 20 35 tahun, sedangkan yang berumur > 35 tahun mempunyai
proporsi yang paling rendah.
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 4
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa
Warung Dowo Pohjentrek Pasuruan Tanggal Tanggal 19, 20, 23,
27, 28 Juni 2013
No
Pekerjaan
Jumlah
Persentase (%)
1. PNS
2
6,7
2. Wiraswasta
5
16,7
3. Buruh
3
10,0
4. Petani
3
10,0
5. Tidak bekerja
17
56,7
Total
30
100
Berdasarkan tabel 4 dapat menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden
tidak bekerja, sedangkan yang bekerja sebagai PNS mempunyai proporsi yang
paling rendah.
d. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Kehamilan
Tabel 5
Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Kehamilan di
Desa Warung Dowo Pohjentrek Pasuruan Tanggal 19, 20, 23,
27, 28 Juni 2013
No
Paritas
Jumlah
Persentase (%)
1. Primipara
17
56,7
2. Multipara
12
40,0
3. Grandemultipara
1
3,3
Total
30
100
Berdasarkan tabel 5 dapat menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden
adalah primipara, sedangkan yang grandemultipara mempunyai proporsi yang
paling rendah.
3. Data Khusus
a. Cara Mengatasi Morning sicknees
Tabel 6
Distribusi Cara Mengatasi Morning sicknees di Desa Warung
Dowo Pohjentrek Pasuruan Tanggal 19, 20, 23, 27, 28 Juni
2013
No
Cara Mengatasi
Jumlah
Persentase (%)
Morning sicknees
1. Baik
6
20,0
2. Cukup
9
30,0
4
Kurang
15
50,0
Total
30
100,0
Berdasarkan tabel 6 dapat menunjukkan bahwa paling banyak cara
mengatasi morning sickness adalah kurang, sedangkan cara mengatasi morning
sickness pada tingkat baik mempunyai proporsi yang paling kecil
E. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa paling banyak responden mempunyai
pengetahuan yang kurang tentang morning sickness, sedangkan pengetahuan tentang
morning sickness pada tingkat baik mempunyai proporsi yang paling kecil. Pengetahuan
yang kurang tentang morning sickness dapat dilihat bahwa 46,67% responden menjawab
70

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

benar soal no 7 tentang tanda dan gejala yaitu morning sickness akan hilang dengan
sendirinya setelah 2 minggu, 50% responden menjawab benar soal no 13 yaitu tentang
cara mengatasi morning sickness dengan cara berolahraga di pagi hari dan 53,33%
responden menjawab benar soal no 9 yaitu tentang penyebab morning sickness bahwa
merupakan hal yang normal dengan adanya perubahan hormonal.
Faktor yang mempengaruhi emesis gravidarum meliputi faktor predisposisi yaitu
primigravida, hidramnion, kehamilan ganda, mola hidatidosa, dan faktor psikologis yang
meliputi rumah tangga yang retak, hamil yang tidak di inginkan, takut terhadap
kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai ibu, kehilangan
pekerjaan (Ipul, 2009).
Hasil tabulasi silang pada lampiran menunjukkan bahwa 4 responden yang berumur
< 20 tahun mempunyai pengetahuan yang kurang dan dari 25 responden terdapat 9 (35%)
responden yang berumur 20 35 tahun mempunyai pengetahuan kurang tentang morning
sickness. Menurut Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.
Umur yang cukup ini menyebabkan responden matang dalam memilih dan
menyaring materi atau informasi yang diterima karena bertambahnya umur seseorang
akan mempengaruhi kemampuan intelektual dalam menerima informasi. Pengetahuan
juga dipengaruhi oleh pendidikan, tabulasi silang pada lampiran menunjukkan bahwa 9
responden yang mempunyai pendidikan SD mempunyai pengetahuan yang kurang,
sedangkan 2 responden yang berpendidikan PT berpengetahuan baik mempunyai proporsi
yang lebih kecil.
Teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa makin
tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak
pula pengetahuan yang dimiliki. Tingginya pendidikan akan berpengaruh terhadap daya
serap atau penerimaan informasi yang masuk apalagi informasi yang bersifat baru dikenal
responden termasuk perihal morning sickness. Selain itu tingkat pendidikan seseorang
akan mempengaruhi pandangannya terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang
mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan tanggapan yang lebih rasional
dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama
sekali. Rendahnya pengetahuan juga dipengaruhi oleh pekerjaan responden dimana 8
responden yang tidak bekerja mempunyai pengetahuan kurang sedangkan 2 responden
yang bekerja sebagai PNS berpengetahuan baik mempunyai proporsi yang lebih kecil.
Pekerjaan adalah serangkaian tugas atau kegiatan yang harus dilaksanakan atau
diselesaikan oleh seseorang sesuai dengan jabatan atau profesi masing-masing. Status
pekerjaan yang rendah sering mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Pekerjaan
biasanya sebagai simbol status sosial di masyarakat. Masyarakat akan memandang
seseorang dengan penuh penghormatan apabila pekerjaannya sudah pegawai negeri atau
pejabat di pemerintahan (Notoatmodjo, 2003).
Ibu yang tidak bekerja menyebabkan responden sulit dalam menerima informasi
tentang morning sickness dan bertukar informasi dengan orang lain atau rekan kerja yang
mempunyai pengetahuan berbeda. Oleh karena itu penyampaian informasi pada waktu
kehamilan khususnya tentang pentingnya morning sickness sangat penting untuk dapat
merubah perilaku masyarakat terutama pada ibu hamil. Pelatihan bagi tenaga kesehatan
dan kader masyarakat tentang penanganan morning sickness sangat diperlukan guna
menunjang peningkatan pengetahuan ibu hamil tentang morning sickness.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak cara mengatasi
morning sickness adalah kurang, sedangkan cara mengatasi morning sickness pada
tingkat baik mempunyai proporsi yang paling kecil. Sebagian besar ibu tidak tahu bahwa
71

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

pijatan dapat mengurangi mual pada awal kehamilan, serta ketidaktahuan ibu bahwa
makan permen mint dapat mengurangi mual. Pekerjaan adalah serangkaian tugas atau
kegiatan yang harus dilaksanakan atau diselesaikan oleh seseorang sesuai dengan jabatan
atau profesi masing-masing. Status pekerjaan yang rendah sering mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Ibu yang tidak bekerja cenderung
mempunyai waktu untuk mencari informasi tentang morning sickness. Sebaliknya ibu
yang sibuk hampir tidak mepunyai waktu untuk memperhatikan kehamilannya sehingga
ibu dapat meningkatkan pengetahuan tentang morning sickness.
Perilaku mengatasi morning sickness juga dipengaruhi oleh lebih dari setengah
responden adalah memiliki jumlah anak 1 sebanyak 17 responden (56,7%). Pengalaman
merupakan sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh kebenaran dan
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang
diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi di masa lalu. Orang yang memiliki
pengalaman akan mempunyai pengetahuan yang baik bila dibandingkan dengan orang
yang tidak memiliki pengalaman dalam segi apapun (Notoatmodjo, 2003).
Responden yang mempunyai anak pertama akan lebih memperhatikan
kehamilannya sehingga ibu dapat mencegah morning sickness, karena anak pertama ibu
belum mempunyai pengalaman cara mencegah morning sickness.
F. PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Paling banyak tingkat pengetahuan responden tentang morning sicknes adalah
kurang sebanyak 14 responden (46,7%)
2. 50% responden memiliki cara cara mengatasi morning sikness yang kurang
sebanyak 15 responden.
B.SARAN
1.
Peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian serta dapat menerapkan ilmu yang diperoleh.
2.
Lebih meningkatkan pengetahuan morning sickness baik melalui media massa,
media elektronik maupun dengan membaca buku KIA sehingga respoden dapat
mengatasi morning sickness pada kehamila selanjutnya.
3.
Bidan dapat memberikan informasi tentang cara mengatasi morning sickness
melalui penyuluhan dengan memberikan leafled sehingga dapat meningkatkan
pengetahuan ibu hamil tentang ANC.
4.
Untuk melakukan penelitian faktor lain yang mempengaruhi cara mengatasi
morning sickness pada ibu hamil trimester 1.
5.
Lebih meningkatkan sistem pembelajaran pada mahasiswa tentang cara
mengatasi morning sickness pada ibu hamil trimester 1 sehingga dapat
memberikan asuhan kebidanan.
6.
Memberikan tambahan pengetahuan responden tentang cara mengatasi
morning sickness pada saat hamil.
DAFTAR PUSTAKA
Admin.2005. Kesalahan Penerapan Pola Makan Http//.www.cyber-net.com. diakses pada
tanggal 10 Februari 2010
Arikunto. S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar. 2007. Sikap Manusia, Jakarta:EGC
Budiarto. 2002. Biostatistik. Jakarta:EGC
72

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Dinkes, Pasuruan. 2009. Standar Pelayanan Minimal Tahun 2008. http://www.dinkespasuruan.com.


Farrer.2005. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta:EGC
Hidayat. Aziz.2009. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika
Jessika.2008. Keluhan Pada Kehamilan Muda.. jakarta:Arcan
Mellyana.2001. Gizi Dalam Reproduksi.Jakarta: EGC
Nolan.2004. Perawatan Kehamilan. Jakarta:EGC
Notoatmodjo.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta:PT. Rineka Cipta
________. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
________. 2007. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Nursalam, 2008. Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Poerwodarminto.2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Dian Press
Prawirohardjo.2007. Ilmu kebidanan. Yogyakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Solihah.2006. Tips Menghadapi Kehamilan Sehat. Jakarta : ISBN.
Suririnah. 2008. Pertumbuhan Dan Pekembangan Janin.

73

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

TEKNIK MENYUSUI YANG BENAR PADA IBU MENYUSUI


STUDI DI BPS.UMI MUNTADIROH S,ST.MKES
MOJOKERTO
Farida Yuliani
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit.
ABSTRACT
Breastmilk and breastfeeding have great benefits for both baby and for mom. Not
infrequently the failure in feeding still occur. This is usually caused by technical and nursing
positions are not appropriate, not because her milk production is less. Techniques and
inappropriate position during breastfeeding because mothers lack knowledge about correct
breastfeeding technique. So the aim for this study was to indentify the breast feeding
technique that used by mother. This research used a descriptive design by using 36 responden
as sample in BPS Umi Muntadiroh. The result showed that 2 respondents (5,55%) have good
technique and only 3 respondents have bad technique and the others is have technique in
enough degrees. Mothers who have experienced breastfeeding because it has had a lot of
children will tend to have good knowledge about breastfeeding techniques. A health worker
who engaged in the field of lactation, should know that although breastfeeding is a natural
process, but necessary to achieve successful breastfeeding knowledge about breastfeeding
techniques are correct. So that should be as a midwife should always provide information and
guide for nursing mothers to perform breast-feeding techniques appropriately so that the
baby's nutritional needs are met.
Keyword: breast feeding, mothers.
A. PENDAHULUAN
Regurgitasi merupakan kondisi yang biasa terjadi pada bayi, tetapi jika berlebihan
dan tidak ditangani bisa mengakibatkan komplikasi dan terganggunya pertumbuhan
bayi. Komplikasi yang terjadi apabila gumoh berlebihan menyebabkan terjadinya
refluks gastroesofagus yaitu adanya aliran balik dari lambung kekerongkongan yang
menyebabkan kerusakan dinding kerongkongan. Kerusakan dinding kerongkongan
disebabkan iritasi lambung yang juga ikut masuk dalam kerongkongan, yang
mengakibatkan bayi menjadi rewel karena apapun yang dimakan atau diminum akan
menyebabkan rasa sakit dikerongkongan. Apabila tidak segera diatasi bayi akan
menolak makan dan minum yang dapat menggangu asupan nutrisi yang kemudian
berdampak pada berat badan yang tidang kunjung naik sebagaimana mestinya (
Hegar,2005).
Data dari beberapa Negara termasuk Indonesia memperlihatkan sekitar 70% bayi
berumur di bawah 4 bulan mengalami regurgitasi minimal 1 kali setiap harinya dan
kejadian tersebut menurun sesuai dengan bertambahnya umur hingga mencapai 4-7%
pada umur 9-12 bulan (Suparyanto,2012). Walaupun demikian, hanya sekitar 25%
orang tua menganggap regurgitasi sebagai suatu masalah, Di Jawa timur umumnya
Regurgitasi merupakan kejadian yang dialami bayi, dengan prosentase 22% dari
seluruh kejadian penyebab kematian bayi ( Profil kesehatan Jawa Timur, 2010). Di
Kabupaten Mojokerto regurgitasi yang dialami bayi sebanyak 25,7% dari 1000 bayi
(Profil Kesehatan Kota Mojokerto.2010). Hasil penelitian Rahmawati (2006)
menjelaskan bahwa 40,4% ibu menyusui masih menggunakan teknik menyusui yang
kurang benar dan menyebabkan 46,1% bayi mengalami regurgitasi setelah disusui.
74

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Berdasarkan studi pendahuluan tanggal 21 sampai 22 Februari 2013 di BPS. Umi


Muntadiroh Jln.Wijaya Kusuma no.37 Sooko Mojokerto didapat dari 5 ibu menyusui
diketahui 2 (40%) orang ibu dapat menyusui bayinya dengan teknik yang benar.
Sedangkan 3 (60%) orang ibu tidak dapat menyusui bayinya dengan teknik menyusui
yang benar.Dari 2 ibu yang menyusui benar terdapat 1 (20%) orang bayi yang
mengalami regurgitasi dan 1(20%) orang bayi tidak mengalami Regurgitasi. Dari 3 ibu
yang menyusui tidak benarter dapat 2 (40%) orang bayinya mengalami regurgitasi dan
1(20%) orang bayi yang tidak mengalami regurgitasi.
Faktor yang menyebabkan terjadinya Regurgitasi adalah Proses menyusui yang
terlalu cepat diakhiri, Kemampuan esophagus bayi yang terlalu kecil, Teknik menyusui
yang benar belum banyak diketahui oleh ibu menyusui, Kapasitas perut bayi rendah
(15-30 ml). Teknik yang dapat menyebabkan regurgitasi pada bayi pada saat seringnya
ibu menyusui sambil tiduran dengan posisi miring sementara sibayi tidur terlentang.
Akibatnya, cairan tersebut tidak masuk kesaluran pencerna, tapi kesaluran nafas, bayi
pun gumoh. Pemakaian bentuk dot apabila bayi suka dot besar diberi dot kecil, ia akan
malas menghisap karena lama. Akibatnya , susu tetap keluar dari dot dan memnuhi
mulut bayi dan lebih banyak udara yang masuk. Udara masuk kelambung membuat bayi
muntah. Pada saat bayi selesai menetek bayi langsung ditidurkan tanpa disendawahkan
secara otomatis udara didalam lambung tidak biasa keluar yang menyebabkan isi dari
lambung ikut keluar kembali (Suparyanto,2012).
Regurgitasi yang keluar lewat hidung lebih baik, dari pada cairan dihirup dan
masuk kedalam paru-paru karena bisa menyebabkan radang atau infeksi, regurgitasi
pada bayi tidak hanya keluar dari mulut tapi juga bisa dari hidung. Menyusui yang
benar dilakukan disuasana yang santai bagi ibu dan bayi , kondisi ibu dibuat senyaman
mungkin. Selama beberapa minggu pertama bayi diberi ASI setiap 2,5-3jam sekali.
Menjelang akhir minggu keenam sebagian besar kebutuhan bayi akan ASI adalah setiap
4 jam sekali sampai Bayi berumur 10-12 bulan. Pada usia ini sebagian besar bayi tidur
sepanjang malam sehingga tidak perlu member makan pada malam hari (Saryono,2008
dalam Diah,2012). Posisi menyusui ada beberapa macam, Posisi Dekapan, Posisi
Football hold dan Posisi Berbaring apabila ibu dan bayi merasa lelah (Diah,2012).
Posisi Berbaring merupakan salah satu penyebab terjadinya Regurgitasi pada bayia
pabila posisi bayi tidur terlentang (Suparyanto,2005).
Kurangnya informasi tentang teknik menyusui yang tepat dan dapat menyebabkan
regurgitasi (Oeswari,1999 dalam Rahmawati,2006). Jangan mengangkat bayi saat
regurgitasi, segera mengangkat bayi ketika tidur itu berbahaya, karena regurgitasi bisa
turun lagi, masuk keparu-paru dan akhirnya malah mengganggu paru bisa radang
paru.Jika regurgitasi keluar lewat hidung bersihkan segera regurgitasinya dengan tisu
atau kain (Erlina,2008).
Berdasarkan fenomena diatas mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian
mengenai teknik menyusui pada ibu menyusui di BPS. Umi Muntadiroh SST.Mkes
Jln.Wijaya Kusuma no.37 Sooko Mojokerto yang diharapkan penelitian ini bermanfaat
dalam membantu penelitian yang akan datang.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Menyusui
a. Pengertian Menyusui
Menyusui adalah pemberian sangat berharga yang dapat diberikan
seorang ibu pada bayinya. Dalam keadaan sakit atau kurang gizi, menyusui
merupakan pemberian yang dapat menyelamatkan hidup bayi (Bonny,2008).
b. Mekanisme Menyusui
75

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Bayi yang sehat mempunyai 3 reflek intrinsik, yang diperlukan untuk


keberhasilan untuk berhasilnya menyusui seperti :
1) Reflek mencari (rooting reflect)
Reflek ini timbul saat pipi bayi tersentuh dan bayi menoleh kearah
sentuhan. Bila bibir bayi dirangsang dengan papilla mamae atau jari, maka
bayi akan membuka mulut dan berusaha menangkap punting susu
(Maritalia,2012).
2) Reflek menghisap (sucking reflect)
Reflek ini timbul apabila langit-langit mulut bayi tersentuh oleh
punting. Agar punting mencapai palatum, maka sebagian besar areola masuk
kedalam mulut bayi. Dengan demikian sinus laktiferus yang berada dibawah
areola, tertekan antara gusi, lidah dan palatum sehingga ASI
keluar(Maritalia,2012).
3) Reflek menelan (Swallowing reflect)
Reflek ini timbul apabila mulut bayi terisi oleh ASI, maka bayi akan
menelannya (Maritalia,2012).
c. Teknik Menyusui
Teknik Menyusui yang benar adalah cara memeberikan ASI kepada bayi
dengan perlekatan dan posisi ibu dan bayi dengan benar (Diah,2012).
1. Posisi dan perlekatan menyusui
2.
Langkah-Langkah Menyusui yang benar :
1) Cuci tangan sebelum menyusui (Proverawati,2010).
2) Bersihkan payudara dengan air hangat kemudian lap dengan kain atau
handuk.
3) Sebelum menyusui, masase payudara dan ASI keluarkan sedikit
kemudian dioleskan pada puting dan sekitar kalang payudara, cara ini
mempunyai manfaat sebagai desinfektan dan menjaga kelembutan
puting susu(Suherni,2009).
4) Bayi diletakkan menghadapi perut ibu / payudara.
5) Payudara dipegang dengan ibu jari di atas dan jari yang lain menopang
di bawah, jangan menekan puting susu atau kalang payudaranya saja
(Suherni,2009).
6) Bayi diberi rangsangan agar membuka mulut (rooting reflect) dengan
cara menyentuh pipi dengan puting susu atau menyentuh sisi mulut bayi
(Suherni,2009).
7) Setelah bayi membuka mulut, dengan cepat kepala bayi didekatkan ke
payudara ibu dan puting serta kalang payudara dimasukkan ke mulut
bayi
8) Melepas isapan bayi. Setelah menyusui pada satu payudara sampai
kosong sebaiknya diganti dengan payudara yang satunya, cara melepas
isapan bayi: jari kelingking ibu dimasukkan kemulut bayi melalui sudut
mulut atau dagu bayi ditekan kebawah (Diah,2012).
9) Setelah menyusui ASI dikeluarkan sedikit kemudian dioleskan pada
putting susu dan sekitar kalang payudara, biarkan kering dengan
sendirinya (Dia,2012).
10) Menyendawakan bayi
Tujuan menyendawakan bayi adalah mengeluarkan udara dari lambung
supaya tidak muntah setelah menyusu.
d. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Penggunaan ASI
76

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

1) Perubahan Sosial Budaya


a) Ibu bekerja atau kesibukan sosial lainnya
b) Meniru teman, tetangga atau orang yang sangat berpengaruh dengan
memberikan susu botol kepada bayinya. Bahkan ada yang
berpandangan susu botol sangat cocok untuk bayi
c) Merasa ketinggalan zaman menyusui bayinya (Soetjinimgsih dalam
Rahmawati,2006)
2) Faktor Psikologis
a) Mendorong setiap ibu untuk percaya diri dan yakin bahwa iiu akan
sukses dalam menyusui bayinya. Asal dilakukan dengan baik.
b) Menambah pengetahuan ibu tentang manfaat ASI dan menjelaskan
tentang mitos seputar ASI sehingga ibu termotivasi untuk menyusui.
c) Mengikutsertakan suami atau keluarga lain untuk mendukung ibu dalam
menyusui
(Yuliarti,2010)
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi ASI
1. Makanan yang dikonsumsi ibu menyusui sangat berpengaruh terhadap
produksi ASI. Apabila makanan yang ibu makan cukup dn pola gizi dan
pola makan yang teratur, maka produksi ASI akan berjalan dengan lancar.
2.
Untuk memproduksi ASI dengan baik, maka kondisi kejiwaan dan
pikiran harus tenang. Keadaan psikologis ibu yang tertekan, sedih dan
tegang akan menurunkan volume ASI.
3. Penggunaan alat kontrasepsi untuk ibu menyusui perlu diperhatikan agar
tidak mengurangi produksi ASI.
4. Isapan bayi tidak sempurna atau puting susu ibu yang sangat kecil, hal ini
akan membuat produksi hormon oksitosin dan hormon prolaktin akan terus
menerus ASI akan berhenti.
5. Pola istirahat juga mempengaruhi produksi dan pengeluaran ASI. Apabila
kondisi ibu terlalu capek, kurang istirahat maka ASI juga berkurang.
6. Bayi Berat Lahir Rendah(BBLR) mempunyai kemampuan menghisap ASI
yang lebih rendah dibanding bayi yang berat lahir normal (BBL>2500gr).
Kemampuan menghisap ASI yang lebih rendah ini meliputi frekuensi dan
lama penyusuan yang lebih rendah dibanding bayi berat lahir normal yang
akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam
memproduksi ASI.
(Maritalia,2012)
2. Konsep Dasar Regurgitasi
a. Pengertian Regurgitasi
Regurgitasi adalah keluarnya kembali sebagian kecil isi lambung setelah
beberapa saat setelah makanan masuk kedalam lambung (Nanny,2010).
Regurgitasi adalah Keluarnya kembali sebagian susu yang telah ditelan
melalui mulut dan tanpa paksaan,beberapa saat setelah minum susu
(Nursalam,2005).
Regurgitasi adalah memuntahkan kembali ASI yang diminumnya dalam
jumlah sedikit sampai cukup banyak (Bonny, 2008).

77

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

b. Fisiologi Regurgitasi
Regurgitasi merupakan keadaan lambung yang sudah dalam keadaan
terisi penuh, sehingga terkadang gumoh bercampur air liur yang mengalir
kembali keatas dan keluarmelalui mulut pada sudut mulut.Hal ini disebabkan
karena otot ktup diujung lambung tidak bisa bekerja dengan baik. Otot tidak
dapat mendorong isi lambung kebawah. Kebanyakan gumoh terjadi pada bayi
yang baru memulai kehidupannya dibulan pertama (Nanny.2010).
c. Faktor Penyebab Regurgitasi
1) Proses Menyusui yang terlalu cepar diakhiri, membuat posisi bayi saat
menyusu kurang benar sehingga banyak udara yang masuk saat menyusu
yang mengakibatkan gumoh (Nursalam,2005).
2) Kemampuan esophagus bayi yang masih kecil dan belum sempurna dapat
menyebabkan gumoh (Hegar.2005).
3) Teknik menyusui yang benar belum banyak diketahui oleh ibu ibu
menyusui sehingga banyak ibu yang menyusui bayinya dengan tidur miring
(Nanny,2010).
4) Kapasitas perut bayi yang rendah (15 30 ml), saat lambung yang penuh
dan ASI belum sampai di usus sudah terisi lagi menyebabkan Bayi
Regurgi(Hegar.2005).
5) Katup penutup lambung yang belum sempurna.
Dari mulut, susu akan masuk kesaluran pencernaan atas,baru kemudian
kelambung. Dari organ tersebut terdapat katup penutup lambung. Katup
tersebut berada diantara lambung dan esofagus (kerongkongan), apabila
bayi ditidurakan setelah disusui, sebagian susu akan keluar dari mulutnya
(Novita,2007).
6) Menangis berlebihan
Menangis yang berlebihan seperti ini membuat udara yang tertelan juga
berlebihan, sehingga sebagian isi perut sikecil akan keluar. Memang, bisa
jadi bayi anda menangis karena tidak bisa menelan susu dengan sempurna.
Jika sudah begini, jangan teruskan pemberian ASI, takutnya susu justru
masuk kedalam salurannapas dan menyumbatnya (Novita,2007).
d. Komplikasi Regurgitasi
Regurgitasi yang berlebih dapat menyebabkan komplikasi yang akan
mengganggu pertumbuhan bayi apabila cairan yang keluar tidak seimbang
dengan yang masuk. Lebih bahaya lagi bila cairan lambung masuk kedalam paru
karena sudah mengandung asam lambung bisa terjadi infeksi (Novita,2007).
Penyebab regurgitasi yang perlu diperhatikan apabila bayi tampak sakit
dan cairan yang dikeluarkan berupa darah dan menyebabkan dehidrasi dan
malnutrisi, kemungkinan adanya infeksi tenggorokan ataupun gangguan
esofagus dan perut (Hull,2008).
e. Penanganan Regurgitasi
Penanganan Regurgitasi Ada beberapa cara penanganan terhadap bayi
yang mengalami gumoh yaitu:
1) Memperbaiki Teknik Menyusui yang benar, dengan cara mulut bayi
menempel pada sebagian areola dan dagu menempel payudara ibu
(Kristiyanasari,2009).
2) Apabila Menggunakan Botol, Memperbaiki cara minumnya. Posisi botol
susu diatur sedemikian rupa sehingga susu menutupi seluruh permukaan
botol dan dot harus masuk seluruhnya (Nursalam,2005).
78

HOSPITAL MAJAPAHIT

3)

4)

5)

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Menyendawakan bayi sesaat setelah minum. Bayi yang selesai minum


jangan langsung ditidurkan, tetapi perlu disendawakan terlebih dahulu
(Nanny,2007).
Apabila terjadi gumoh dalam posisi tidur, bayi jangan diangkat tapi lebih
baik dimiringkan atau ditengkurapkan sehingga kemungkinan cairan
lambung masuk keparu berkurang (Novita,2007).
Hindarkan pemerian ASI saat bayi berbaring, jaga agar bayi tetap pada
posisi tegak sekitar 10 menit setelah menyusui (Diah,2012)

C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Jenis penelitian ini menggunakan Analitik survey untuk mengetahui hubungan
antara sebab dan akibat, sifat penelitian observational di mana peneliti tidak
memberikan perlakuan intervensi dan menurut waktunya adalah cross sectional
dimana jenis penelitian ini menekankan pada waktu pengukurannya / observasi data
variabel independen dan dependenhanya 1x pada satu saat, tetapi tentunya semua
subjek peneliti tidak harus diobservasi pada hari / pada waktu yang sama (Nursalam,
2003). Variabel Independen daripenelitian ini adalah Teknik menyususi dan variable
dependen adalah kejadian regurgitasi pada bayi.
Kerangka Kerja
Faktor yang menyebabkan
regurgitasi :
Proses Menyusui yang terlalu
cepat diakhiri
Kemampuan esophagus bayi
yang masikecil
Teknik Menyusui yang kurang

Regurgitasi
pada bayi

tepat
Kapasitas perut bayi yang rendah
Katup penutup lambung yang
belum sempurna

YA

Menagis berlebihan

Sumber :Nursalam, 2005. Nanny, 2010.Suherni,2009.Aziz,2008.


Keterangan:
: Diteliti
: Tidak
Skema 1 Kerangka Teori Teknik Menyusui pada Bayi.
79

TIDAK

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

2. Variabel dan Definisi Operasional.


Variabel dalam penelitian ini adalah teknik menyusui.
Tabel 1 Definisi Operasional variabel dalam penelitian ini akan diuraikan dalam
tabel berikut ini:
Variabel
Definisi Opeasional
Kriteria
Skala
Independen:
Teknik
Menyusui

Teknik menyusui yang dilakukan


ibu menyusui adalah :
Mencuci tangan
Membersihkan payudara
Masase payudara
ASI dikeluarkan dan dioles
kekalang payudara
Meletakkan bayi menghadap
perut ibu
Pyudara dipegang menggunakan
ibu jari di atas dan jari tangan
yang lain menompang dibawah
Memberi rangsangan pada bayi
agar membuka mulut
Mendekatkan
kepala
bayi
dengan payu dara sampai kalang
payudara masuk kemulut bayi
Melepas isapan bayi
Setelah menyusui keluarkan ASI
dan dioles ke kalang payudara
Menyendawakan bayi.

a.Baik
:
15-20 Nominal
jawaban benar.
b.Cukup
:
8-14
jawaban benar.
c. Kurang :
jwaban benar.

0-7

(Stiadi,2007)

Diukur
Menggunakan
SOP
(Standart Operasional Prosedur)
Menyusui.

3. Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.


Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu menyusui beserta bayinya yang
ada di BPS Umi Muntadiroh S.ST Mkes. Jln. Wijaya Kusuma no.37 Sooko Mojokerto
Data Ibu menyusui bayinya pada bulan April 2013 Jumlah populasi 40 Orang bayi.
Sedangkan Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah ibu menyusui
berserta bayinya di BPS Umi Muntadiroh S,ST Mkes.Jln. Wijaya Kususma no.37
Sooko Mojokerto.
BesarSampel
Rumus:

: n= Jumlah Sampel
N=JumlahPopulasi
D=Tingkat signifikansi
HasilBesarsampel:
80

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Metode yang digunakan dalam teknik pengumpulan data pada penelitian ini
adalah metode observasi dan ceklist atau lembar observasi meliputi data teknik
menyusui serta data kejadian regurgitasi pada responden yang akan diteliti. Metode
observasi adalah Suatu hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian
untukmenya dari adanya rangsangan (Notoatmodjo,2010). Metode ceklist adalah
suatu daftar untuk mencek, yang berisi nama subjek dan beberapa gejala sertai
dentitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo,2010)
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalampenelitian ini adalah
ceklist atau lembar observasi yang berjumlah 20 poin.
4. Prosedur Pengumpulan Data dan Analisa Data.
Teknik Pengumpulan Data
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data dengan tahap-tahap
seperti editing, coding, scoring, entrydata, clearning dan tabuling.
Analisis Data.
Penilaian teknik menyusui menggunakan chek list dengan berpedoman pada
SOP (Standar Operasional Prosedur) menyusui, Dengan menggunakan Rumus:
Keterangan: P: Prosentase
F: Jumlah jawaban yang benar
N : Jumlah Skor maximal
Skor penilaian: Baik : 15-20 jawaba benar
Cukup: 8-14 jawaban benar
Kurang: 0-7 jawaban benar
(Setiadi,2007)
Sistem penilaiannya :
1.
Teknik menyusui yang benar = bila responden melakukan > 50% tindakan
teknik menyusui yang benar sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur)
menyusui = kode 1
2.
Teknik menyusui yang tidak benar = bila responden melakukan < 50%
tindakan teknik menysui yang benar sesuai SOP (Standar Operasional
Prosedur) menyusui = kode 0
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Dalam bab ini disajikan hasil penelitian tentang Hubungan Teknik Menyusi
dengan kejadian Regurgitasi pada Bayi studi di BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes
Jln. Wijaya Kusuma no.37 Sooko Mojokerto. Penelitian ini dilaksanakan pada
tangal 2013 dengan sampel sebanyak 36 responden. Pengambilan data dilakukan
dengan observasi pada ibu menyusui dan beserta byinya yang bersedia menjadi
responden.

81

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Penelitian ini dilakukan di BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Jln. Wijaya


Kusuma no.37 Sooko Mojokerto. BPS ini berada di wilayah Kecamatan Sooko
Kabupaten Mojokerto dengan jumlah penduduk 18.328 jiwa yang terdiri dari lakilaki sebanyak 33.112 orang dan perempuan sebanyak 32.585 orang dengan jumlah
ibu bersalin 75 orang dan dengan jumlah 75 bayi dalam 1 tahun.
Sarana kesehatan yang dimiliki antara lain 3 buah poliklinik atau BPS, 14 buah
posyandu dan 5 dokter praktek.Di desa Sooko terdapat 1 bidan desa, 1 asisten, dan
64 kader yang tersebar di 2 dusun di 14 posyandu
2. Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Responden
Tabel 2 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Usia Ibu di BPS
Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Jln. Wijaya Kusuma no.37 Sooko
Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei 06 Juni 2013.
No
Usia
Frekwensi
Persen (%)
1
< 20 tahun
7
19,4
2
20 35 tahun
18
50
3
>35 tahun
11
30,5
Jumlah
36
100%
Berdasarkan tabel diatas didapatkan bahwa hampir setengah responden berusia
antara 20 - 35 tahun sebanyak 18 orang (50%).
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Responden
Tabel 3 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu di
BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Jln. Wijaya Kusuma no.37
Sooko Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei 06 Juni 2013.
No
Pendidikan
Frekwensi
Persen (%)
1
Dasar (SD/SMP)
17
47,2
2
Menengah
13
36,1
3
Tinggi
6
16,6
(Akademi/PT)

c.

Jumlah
36
100%
Berdasarkan tabel diatas didapatkan bahwa hampir setengah responden
pendidikan terakhirnya adalah Dasar (SD/SMP) sebanyak 17 orang (47,2%).
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Responden
Tabel 4 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu di
BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Jln. Wijaya Kusuma no.37
Sooko Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei 06 Juni 2013.
No
Pekerjaan
Frekwensi
Persen (%)
1
2

Bekerja
Tidak Bekerja

23
13

63,8
36,1

Jumlah
36
100%
Berdasarkan tabel diatas didapatkan bahwa sebagian besar responden bekerja
sebanyak 23 orang (63,8%).

82

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

3. Data Khusus
a. Teknik Menyusui
Tabel 5 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Teknik Menyusui di
BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Jln. Wijaya Kusuma no.37 Sooko
Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei 06 Juni 2013.
NO Teknik Menyusui
Frekwensi
Persen (%)
1
2
3

Baik
Cukup
Kurang

Jumlah

10
12
14

27,77
33,33
38,88

36

100%

Berdasarkan tabel diatas didapatkan bahwa hamper setengah responden


yang melakukan teknik menyususi yang kurang tepat sebanyak 14 responden
(61,1%).
E. PEMBAHASAN
Berdasarkan Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang
teknik menyusuinya baik sebanyak 10 responden (27,77%) sedangkan teknik menyusui
yang cukup sebanyak 12 responden (33,33%) dan teknik menyusui yang kurang sebanyak
14 responden (38,88%). Teknik menyusui yang paling banyak tidak dilakukan responden
yaitu teknik Perut bayi menempel pada badan ibu, kepala bayi menghadapi
payudara(Proverawati,2010). Teknik ini merupakan teknik saat bayi menghisap payudara
apabila posisi bayi tidak menghadap payudara secra sempurna dapat menyebabkan udara
masuk pada saat menghisap punting susu. Setelah ibu menyusui bayinya ibu langsung
membiarkannya tertidur dan tidak menyendawakan bayinya terlebih dahulu itu yang
menjadikan udara didalam perut bayi tidak keluar(Diah,2012).
Mencuci tangan sebelum menyusui terdapat 15 responden (41,6%) yang melakukan
dan 21 responden (58,3%) tidak melakukan.. Mencuci tangan untuk menjaga kebersihan
payudara sebelum menyusui agar terhindar dari bakteri(Proverawati,2010). Mencuci
tangan sebelum menyusui dilakukan agar tangan menjadi bersih dari kuman dan bakteri
yang dapat menyebabkan sakit baik pada ibu maupun pada bayi. Terdapat 24 responden
(55,5%) membersihkan payudara dan 16 responden (44,4%) tidak membersihkan
payudara.. Membersihkan payudara dengan air hangat kemudiandilap dengan kain atau
handuk untuk menghilangkan dan membersihkan kerak pada punting susu
(Proverawati,2010). Membersihkan payudara dengan handuk agar payudara bersih dari
kotoran yang menempel pada payudara tidak tertelan bayi saat menyusu dapat mencegah
terjadinya gangguan pencernaan pada bayi. Responden yang melakukan masase payudara
22 (61,1%) responden dan yang tidak melakukan masase payudara 14 (38,8%). Sebelum
menyusui, Masase payudara dan ASI keluarkan sedikit kemudian dioleskan pada puting
dan sekitar kalang payudara (Suherni, 2009). cara ini mempunyai manfaat sebagai
desinfektan dan menjaga kelembutan puting susu dan agar punting susu tidak lecet,
punting susu yang kering dan berkerak akan mudah pecah pada saat menyusui hal
tersebut menyebabkan terjadi gangguan pada proses menyusui.
Sebanyak 24 (66,6%) responden meletakkan bayi menghadap perut/ payudara ibu,
yang tidak melakukan sebanyak 12 responden (33,3%) Bayi diletakkan menghadapi
perut ibu/ payudara. Saat bayi menghadap perut / payudara ibu smua kalang payu dara
masuk kedalam mulut bayi sehingga tidak ad udara yang masuk kedalam perut bayi saat
83

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

menghisap (Proverawati, 2010). Teknik ini menjadikan bayi dan ibu menjalin ikatan
kasih sayang secara langsung, menciptakan kehangatan dan kenyamanan pada tubuh
bayi, bayi dapat menyusu dengan baik dengan kondisi yang nyaman.. Sebanyak 17
(47,2%) responden memegang payudara dan sebanyak 19 responden (52,7%) tidak
memegang payudara, Payudara dipegang dengan ibu jari di atas dan jari yang lain
menopang di bawah, jangan menekan puting susu atau kalang payudaranya saja
(Suherni,2009), Menyangga payudara dengan ibu jari atas dan jari menompang payudara
manfaat agar hidung bayi tidak tertutupi payudara dan bayi bernafas dengan sempurna.
Responden yang melakukan teknik pelepasan payudara dengan memasukkan jari
kelingking sebanyak 24 (66,6%) dan responden yang tidak melakukan 12 responden
(33,3%). Setelah menyusui pada satu payudara sampai kosong sebaiknya diganti dengan
payudara yang satunya, cara melepas isapan bayi: jari kelingking ibu dimasukkan
kemulut bayi melalui sudut mulut atau dagu bayi ditekan kebawah (Diah,2012). Teknik
ini digunakan saat akan selesai menyusui agar bayi tidak tersedak saat punting dilepas
dan udara tidak masuk kedalam lambung bayi.
Sebanyak 18 (50%) responden mengeluarkan ASInya sedikit dan yang tidak
mengeluarkan ASInya 18 (50%) responden. Setelah menyusui ASI dikeluarkan sedikit
kemudian dioleskan pada putting susu dan sekitar kalang payudara, biarkan kering
dengan sendirinya (Diah,2012). mengoleskan ASI pada puntting agar puntting tidak
kering dan tidak mudah lecet setelah dihisap bayi. Responden yang menyendawahkan
bayinya 14 (38,8%) responden dan yang tidak menyendawahkan bayinya sebanyak 22
(61,1%) responden. Menyendawakan bayi digunakan untuk mengeluarkan udara yang
masuk kedalam perut bayi saat menyusui(Diah,2012). Menyendawahkan setelah
menyusui membebskan saluran pencernaan dari udara yang tertelan saat menyusum aar
ASI bisa masuk kedalam lambung tidak tertahan pada krongkongan.
Teknik menyusui yang tepat dapat membuat ASI yang diminum bayi langsung
masuk kedalam lambung, Sehingga bayi tidak rewel dan bayi mendapatkan ASI yang
cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuhn dan pertumbuhannya.
Teknik menyusui yang tepat memudahkan ASI masuk sempurnah kedalam
lambung bayi dan tidak akan menyebabkan regurgitasi, karena bayi mengunci rapat
areola mame saat menyusu yang tidak menyebabkan cela udara yang dapat masuk
kedalam lambung bayi.
F. PENUTUP
1. Simpulan
Hampir setengah responden yang melakukan teknik menyusui pada kategori
kurang di BPS Umi Muntadiroh S,ST.Mkes Jln. Wijaya Kusuma no.37 Sooko
Mojokerto sebanyak 14 responden (38,88%).
2. Saran
Diharapkan agar lebih giat untuk membaca materi kepustakaan tentang teknik
menyusui dan melanjutkan pendidikan ke arah yang lebih tinggi sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan tentang metode penelitian dan bisa melakukan penelitian
analitik lebih lanjut terhadap Regurgitasi dan Teknik menyusui yakni tentang
penyuluhan penulis dan karakteristik ibu terhadap kejadian regurgitasi dan proses
teknik menyusui.
Diharapkan dapat menambah materi tentang teknik menyusui dan metode
penelitian sehingga dalam pelaksanaan praktek mahasiswa dapat meningkatkan dan
mengaplikasikan ilmunya dengan baik. Dan dapat mengembangkan penelitian ke

84

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

arah yang lebih luas dengan cara mempelajari ilmu tentang metode penelitian yang
lebih aplikatif.
Diharapkan responden dapat mengerti dan memahami tentang adanya
penelitian ini, responden dapat melaksanakan teknik yang benar untuk menyusui dan
regurgitasi pada bayi bisa berkurang.
Diharapkan dapat meningkatkan pelayanan terutama pada pemberian informasi
dan konseling teknik menyusui dan pemberian ASI secara langsung atau Ekslusif
pada ibu menyusui dan ibu pasca bersalin
DAFTAR PUSTAKA
Baidrul.

Hegar.
2005.
Gumoh
Bisa
Mengganggu
Pertumbuhan
Bayi.
http://www.suaramerdeka.comdiaksestanggal 15 April 2012
Suparyanto. 2012. Sekilas Tentang Bayi Gumoh.http://www.carantrik.com diakses tanggal 14
April 2013
Dinas
Kesehatan Jawa Timur. 2010. Profil Kesehatan Jawa Timur.
http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/1321926974_Profil_Kesehatan_Pr
ovinsi_Jawa_Timur_2010.pdf
Dinas Kesehatan Kota Mojokerto. 2008. Profil Kesehatan
Jawa Timur.
http: //www.mojokertokota.go.id/picture/instansi/1328579679.pdf
Diah. 2012. Cara Menyusui Yang Benar: Posisi, Upaya Memperbanyak dan
Tanda Bayi
Cukup Asi. dalam http:// Jurnal bidan diah.blogspot.com.
Nanny Lia Dewi, Vivian. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Bonny dan Mila.2008. 40 Hari Pasca Melahirkan. Jakarta: PuspaSwara
Baidrul.
Hegar.
2005.
Gumoh
Bisa
Mengganggu
Pertumbuhan
Bayi.
http://www.suaramerdeka.com diakses tanggal 15 April 2012
Novita. 2007. SerbaSerbiAnak. Jakarta: PTElex Media Komputindo
Kristiyansari. Weni. 2009. Neonatus dan Asuhan Keperawatan Anak.Yogyakarta:
Nuha Medika
Suherni.SPd ,dkk. 2009. Perawatan MasaNifas. Yogyakarta: Fitramaya
Yuliarti. Nurheti. 2010. Keajaiban ASI.Yogyakarta: CV. Andi Offset
Maritalia.Dewi,2012. Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nursalam,2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Setiadi,2007.Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

85

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

KECEMASAN KELUARGA PASIEN RUANG ICU


RUMAH SAKIT DAERAH SIDOARJO
Tri Peni
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Anxiety is a state where the person experiences feelings of anxiety and activity in the
autonomic nervous system responds to threats that are not clear and specific. Patients family
that is caring in Intensive C are Unit (ICU) always feel anxiety. Because of that, family have
to mixed up in the nursing care. The aim of this study was to indentify the anxiety that felt by
the patients family in RSD Sidoarjo. The research used a descriptive design and take 30
people as samples. The result showed that only 43,3% family feel anxiety in average degress.
Conclusions on this study it was found that the majority of respondents decreased anxiety
after being given information on health, so nurses and other health workers are expected to
cooperate with the cadres of health coaching in hospital.
Keywords: anxiety, patients, ICU
A. PENDAHULUAN
ICU ( Intensife Care Unit) adalah tempat perawatan klien kritis, gawat atau klien
yang mempunyai risiko tinggi terjadinya kegawatan, dengan sifat yang reversible, dengan
penetrapan terapi agresif, tekhnologi canggih, monitoring invasive atau non invasive dan
penggunaan obat-obat paten (FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001).
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada keluarga pasien
yang dirawat di ruang ICU antara lain, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat
penghasilan.Selain itu bisa juga tidak diijinkannya ke luarga untuk mengunjungi atau
melihat keadaan keluarganya yang sedang dirawat di ICU. Sumber kecemasan keluarga
pasien yang dirawat di ruang ICU juga dapat disebabkan oleh kurangnya informasi dan
komunikasi antara petugas dengan keluarganya. Bagaimana keadaan pasien yang gawat,
apakah mengancam sehingga mengakibatkan kematian, juga perawatan di ruang ICU
memerlukan dana yang banyak.
Masalah masalah kecemasan pada keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU
penting sekali diperhatikan karena dalam perawatan pasien dan keluarga merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini perlu menjadi
perhatian penting untuk perawat, dokter dan staf kesehatan yang lain. Keluarga
mempunyai peranan yang penting dalam pengambilan keputusan dan sering harus
dilibatkan secara langsung atau tidak langsung dalam tindakan pertolongan yang
diberikan pada pasien (Friedman, 1999)
Dengan kata lain dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang
dirawat di ruang ICU atau perawatan kritis selalu mempertimbangkan aspek bio, psiko,
sosio dan spiritual secara komprehensif. Hal ini berarti pasien yang dirawat di ICU
membutuhkan asuhan keperawatan tidak hanya masalah patofisiologi tetapi juga masalah
psiko sosial, lingkungan dan keluarga yang secara erat terkait dengan penyakit fisiknya (
FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001).
Dari studi pendahuluan yang dilakukan di ruang ICU RSD Sidoarjo didapatkan
jumlah pasien yang dirawat selama bulan Mei 2005 sampai dengan Mei 2006 sebanyak
3010 pasien, dan dari hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa anggota keluarga
86

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

yang menunggu di ruang ICU RSD Sidoarjo mengatakan mereka khawatir dan takut
tentang keadaan keluarganya yang dirawat di ruang ICU sehingga dalam penelitian ini
peneliti ingin meneliti tingkat kecemasan keluarga yang salah satu anggota keluarganya
di rawat di ruang ICU RSD Sidoarjo.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan dimana individu atau kelompok mengalami
perasaan yang sulit (ketakutan) aktifitas sistem syaraf otonom dalam berespon
terhadap ketidakjelasan (Carpenito, 1998 : 132 ).
Kecemasan adalah reaksi emosional terhadap penilaian individu yang
subyektif, yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui secara
khusus penyebabnya (Carolus, 1999).
Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan
dan disertai dengan nada somatic yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem
syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala tidak spesifik yang sering ditemukan dan
seringkali merupakan suatu emosi yang normal. Kecemasan patologis adalah
ketidaksesuaian dengan proporsi ancaman sesungguhnya dan bersifat maladaptif
(Kusuma, 1997 : 231).
2. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan
a. Pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara ( Dalam Tim MKDK IKIP Surabaya, 1996 :
19). Pendidikan yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada seseorang
agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mendapat
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Jhon Deweay
mengungkapkan bahwa pendidikan diartikan sebagai lantaran proses
pertumbuhan dan proses sosialisasi seseorang.
b. Informasi
Informasi adalah kejelasan tentang sesuatu yang diberikan oleh seseorang
kepada orang lain. Kurangnya informasi dan komunikasi dengan staf ICU
sehingga tidak tahu perkembangan kondisi dan tindakan apa yang sedang
dilakukan pada keluarganya yang sedang dirawat. (FK Unair RSUD Dr.
Soetomo, 2001 : 28)
c. Berkunjung
Berkunjung adalah menjenguk atau bertemu langsung dengan pasien ruang
ICU yang terisolasi dari luar, tidak memungkinkan untuk bersosialisasi dengan
anggota keluarganya yang dirawat di dalam ruang ICU (FK Unair RSUD Dr.
Soetomo, 2001 : 30)
B. Konsep Keluarga
1. Definisi keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap
dalam kaedaan saling ketergantungan Effendi, 1998: 32).
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam
suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing
menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Salvicion G, Bailon dan Aracelis
Megalaya, dikutip Nasrul Effendi, 1998: 32).
87

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

2. Fungsi keluarga
Menurut Nasrul Effendy (1998 : 5) ada beberapa fungsi :
a. Fungsi biologis
Yang merupakan keturunan, memelihara dan membesarkan anak-anak,
memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
b. Fungsi psikologis
Memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberi perhatian diantara
anggota keluarga, membina kedewasaan, kepribadian anggota keluarga.
c. Fungsi sosial
Membina sosialisasi pada anak, membentuk norma tingkah laku sesuai
dengan perkembangan anak, meneruskan nilai budaya keluarga.
d. Fungsi ekonomi
Mencari sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
pengaturan penggunaan penghasilan keluarga, penabung untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
3. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Menurut Suprajitno (2004 : 18) ada lima tugas keluarga di bidang kesehatan yaitu :
a. Mengenali gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya.
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
c. Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit yang tidak dapat
membantu diri karena cacat atau usianya terlalu muda.
d. Mempertahankan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.
e. Mempertahankan hubungan timbal balik anggota antara keluarga dan lembagalembaga kesehatan.
Dari penjelasan di atas, keluarga yang memainkan sautau peran bersifat
mendukung selama masa penyembuhan dan pemulihan klien. Apabila dukungan ini
tidak ada, maka keberhasilan atau pemulihan sangat berkurang. Begitu juga dengan
masalah kesehatan di dalam keluarga sangat berkaitan. Penyakit pada salah satu
anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh keluarga tersebut. Dalam perawatan
individu, keluarga tetap berperan sebagai pengambil keputusan. Bila ada salah satu
anggota kelurga mengalami sakit kritis, maka dampaknya akan dirasakan langsung
oleh anggota keluarga yang lain maka peran dan fungsi keluarga menjadi tidak efektif
(FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001 : 70).
C. Konsep ICU
1. Pengertian Dan Tujuan
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu tempat pelayanan khusus dimana
pemantauan atau monitoring dan pengolahan atau pengobatan dilakukan lebih rinci
dibandingkan dengan unit lain (FK. Unair Dr. Soetomo, 2001 : 61).
ICU itu sendiri adalah ruang perawatan khusus atau terpisah di dalam rumah
sakit yang khusus dikelola untuk merawat pasien sakit berat, kritis dengan
melibatkan tenaga terlatih khusus dan didukung dengan peralatan khusus (Depkes,
1996).
Cakupan pelayanan intensif, sesuai dengan kebutuhan terdiri atas pelayanan
intensif serbaguna.
Pasien yang dirawat di ICU sangat bervariasi keadaan klinisnya akan pada
dasarnya mengalami disfungsi satu macam organ atau lebih terutama gangguan fungsi
nafas dan sirkulasi. Pasien dapat berasal dari kamar operasi, UGD, ruagan lain di
rumah sakit atau rujukan dari rumah sakit lain. Ada dua golongan pasien yang akan
dirawat di ICU :
88

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

a. Prioritas tinggi
Pasien kritis, tidak stabil, penyakitnya masih reversible, memerlukan
perawatan intensive contoh respirator, obat inotropik, hemodialisa segera dan lainlain.
b. Prioritas rendah
Pasien dengan kemungkinan memerlukan perawatan intensive dan pasien yang
penyakitnya irreversible tetapi mengalami kegawatan bukan karena penyakit
dasarnya, dengan catatan bahwa pasien atau keluarganya sanggup menerima beban
akibat terapi tersebut.
2. Keuntungan-keuntungan Dari Ruang ICU
a. Dengan adanya peralatan yang khusus, lengkap dan canggih, setiap pasien yang
gawat dapat segera ditolong dengan alat-alat tersebut.
b. Pasien dapat diawasi dengan lebih ketat, sehingga setiap kelainan yang timbul
dapat diketahui sedini mungkin dan segera dapat pengobatan atau pertolongan
yang sesuai dengan efektif (Varon. MD, 1994 : 37).
3. Sumber-sumber Kecemasan Di Lingkungan ICU
Ruang ICU mempunyai dampak psikologis yang berupa kecemasan, bagi
pasien maupun keluarga. Yang menjadi sumber kecemasan di lingkungan ICU
(Intensive Care Unit) adalah asing dengan lingkungan dan wajah baru, runagan
isolasi, kurangnya informasi dan komunikasi antara petugas ICU dengan keluarga.
Ketergantungan terhadap alat-alat canggih, penyakit gawat serta ancaman kematian.
Faktor ekonomi juga bisa menimbulkan gangguan pikologis yang serius. Tarif ICU
yang tinggi bisa mengejutkan. Asuransi yang tidak memadai atau tidak tersedia.
Pemasukan keuangan kurang atau bahkan kehilangan pemasukan, sehingga beralasan
bisa timbul kecemasan, karena biaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup
pasien membuat hancurnya keuangan keluarga. Sumber kecemasan sama besar
pengaruhnya baik terhadap pasien maupun keluarga terutama ketika pasien adalah
salah satunya pencari nafkah dalam keluarga (FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001).
4. Penyebab Cemas Di Ruang ICU atau Perawatan Klinis Bagi Pasien
a. Perawatan canggih
b. Bunyi alarm
c. Aktiftias sibuk
d. Terpasangnya endotracheal tube, kateter, selang drainase respirator, selang
infuse, CVP dan lain-lain.
e. Nyeri
f. Tidak bisa tidur
g. Penyakit kritis
h. Imobilisasi, Imobilisasi di sini bisa karena penyakitnya sehingga klien tidak
mampu menggerakkan tubuhnya atau karena gelisah pasien di restrain (diikat).
i. Isolasi, klien merasa erpisah secara fisik dari keluarga dan teman-temannya.
j. Ketidakjelasan. Pasien merasa tidak berdaya karena tidak mampu mengontrol
diri dari lingkungannya, mereka mengalami perubahan body image, perubahan
kebiasaan diri dan perubahan peran dalam keluarga.
k. Komunikasi, karena terpasangnya endotracheal tube pasien tidak bisa
berkomunikasi secara verbal untuk mengungkapkan keluhan maupun
perasaannya.
Pasien juga bisa mengalami stress karena mendengar pembicaraan staf ICU
tentang penyakit, dan pengobatan atau tindakan yang sedang dilakukan terhadap
dirinya (FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001).
89

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

5. Penyebab Cemas Bagi Keluarga Pasien ICU


a. Terpisah secara fisik dengan keluarga yang dirawat di ICU.
b. Merasa terisolasi secara fisik dan emosi dari keluarganya yang lain yang sehat,
dukungan moral yang tidak kuat atau keluarga yang lain tidak bisa berkumpul
karena bertempat tinggal jaun.
c. Takut kematian atau kecacatan tubuh terjadi pada keluarga yang sedang dirawat.
d. Kurangnya informasi dan komunikasi dengan staf ICU sehingga tidak tahu
perkembangan kondisi pasien.
e. Tarif Icu yang mahal.
f. Masalah keuangan, terutama jika pasien adalah satu-satunya pencari nafkah
dalam keluarga.
g. Lingkunagn ICU atau ruangan yang penuh dengan peralatan canggih, bunyi
alarm, banyaknya selang yang terpasang di tubuh pasien. Jika pasien diintubasi
atau ada gangguan kesadaran sulit atau tidak bisa berkomunikasi diantara pasien
dengan keluarganya dapat meningkatkan stress pada keluarga. Jam besuk yang
dibatasi, ruangan ICU yang sibuk dan suasananya yang serba cepat membuat
keluarga merasa tidak disambut atau dilayani dengan baik (FK Unair, RSUD Dr.
Soetomo, 2001).
6. Kebutuhan Keluarga Pasien Yang Dirawat Di Ruang ICU
Sehubungan dengan adanya dampak psikologis bagi keluarga pasien yang
dirawat di ruang ICU maka dilakukan peneliian untuk mengidentifikasi kebutuhan
keluarga. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa kebutuhan keluarga pasien
yang dirawat di ruang ICU.
Kebutuhan berdasarkan studi rating rata-rata oleh keluarga pasien kritis adalah
kebutuhan mengetahui prognosa, mendapatkan jawaban atau pertanyaan-pertanyaan
dengan jujur. Mengetahui faktor spesifik mengenai perkembangan pasien,
merasabahwa petugas rumah sakit betul-betul merawat pasien, dipanggil jika ada
perubahan kondisi pasien, merasa ada harapan, mendapat penjelasan dengan istilah
yang dapat dimengerti, mendapat jaminan bahwa perawatan terbaik sedang diberikan
pada pasien, sering menjenguk pasien serta mengetahui kenapa suatu tindakan
dilakukan pada pasien (FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001)
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mengunakan jenis penelitian deskriptif. Metode
deskriptif itu sendiri adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan
utama untuk membuat gambaran atau deskriptif tentang suatu keadaan secara obyektif
untuk mengetahui tingkat kecemasan pada keluarga pasien yang dirawat di ICU, RSD
Sidoarjo (Notoatmodjo, 2002 : 133)

90

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Kerangka Konseptual
Pasien Di Ruang ICU

Kritis Dan Gawat

Keluarga

Faktor faktor yang


mempengaruhi tingkat
kecemasan :
-

Kecemasan Keluarga
Tingkat Kecemasan Keluarga :

Terpisah Secara Fisik


Takut Kematian
Kurang Informasi
Biaya
Masalah Keuangan
Peralatan Canggih

Tidak ada kecemasan


Kecamasan ringan
Kecemasan sedang
Kecemasan berat
Kecemasan berat sekali /
panik

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Sumber: FK Unair, RSUD Dr.soetomo,2001- Aziz Alimul, 2003
2. Variabel dan Definisi Operasional
1. Identifikasi Variabel
a. Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda
terhadap sesuatu (Nursalam, 2003 : 101). Variabel dalam penelitian ini adalah
tingkat kecemasan keluarga terhadap anggota keluarganya yang dirawat di
ICU RSD Sidoarjo.
2. Definisi Operasional
Tabel 1 Definisi operasional penelitian study tingkat kecemasan pada keluarga
pasien yang dirawat di ruang ICU RSD Sidoarjo
Definisi
Variabel
Parameter
Alat ukur
Skala
Skore
operasional
Tingkat
kecemas

Reaksi
Menurut
emosional
skala HRS-A
individu
yang
91

Modifi kasi Ordinal < 14 =


tidak
kuesio ner
ada

HOSPITAL MAJAPAHIT

Variabel
an

Definisi
operasional
subyektif yang
dipengaruhi oleh
alam
bawah
sadar

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Parameter

Alat ukur

1. Perasaan HRS-A
cemas
2. Ketegang
an
3. Ketakuta
n
4. Ganggua
n tidur
5. Ganggua
n
kecerdas
an
6. Perasaan
depresi
7. gejala
somatik
8. gejala
sensorik
9. Gejala
kardiova
skular
10. Gejala
pernafasa
n
11. Gejala
Gastroint
estinal
12. Gejala
urogenet
alia
13. Gejala
vegetatif
atau
otonom
14. Gejala
perilaku

Skala

Skore
kece
masa
n
14-20 =
kece
masa
n
ringa
n
21-27 =
kece
masa
n
sedan
g
28-41 =
kece
masa
n
berat
42-56 =
kece
masa
n
berat
sekali

3. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling


Populasi adalah kesatuan subyek penelitian (Arikunto, 1998), populasi dalam
penelitian ini adalah semua keluarga yang menunggu di ruang ICU RSD Sidoarjo.
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi
(Nursalam, 2003 : 97).
Dalam penelitain ini teknik pengambilan sampling yang digunakan adalah
consecutive sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subyek yang
memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu
tertentu, sehingga jumlah responden yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995 :
49).
92

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan data sekunder yang diperoleh
dari puskesmas untuk menentukan penderita diare di desa Gayaman. Proses
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah setelah mendapat izin dari institusi,
peneliti kemudian mengadakan pendekatan kepada kepala puskesmas dan meminta
izin, setelah mendapat izin, peneliti meminta data sekunder dari puskesmas pada
penderita diare di desa Gayaman. Untuk data kebiasaan cuci tangan penelitia
menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden. Setelah responden selesai
mengerjakan kuesioner kemudian diteliti kelengkapannya bila belum lengkap, maka
responden diminta melengkapi lagi kemudian dikumpulkan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah angket
dengan menggunakan data primer. Instrumen penelitian yang digunakan dalam
pengumpulan data primer adalah kuesioner yang berjumlah 21 soal.
5. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupa
Quesioner atau angket, yaitu instrumen riset yang dipergunakan untuk menetaaapkan
jawaban. Jawaban atas sejumlah pertanyaan melalui formulir yang akan diisi oleh
responden sendiri. Dengan alasan metode angket sangat tepat untuk memperoleh data
yang cukup luas dan pelaksanaannya tidak lama serta cukup menghemat biaya
(Komanudi, 2001). Jumlah soal pada Quesioner ada 14 soal berupa pertanyaan
tertutup dengan 5 plihan jawaban.
Teknik Analisa Data
Dari hasil pengisian Quesioner setelah diolah disajikan dalam bentuk table. Setelah
data terkumpul dilakukan tabulasi dan dikelompokkan jawabannya setiap pertanyaan
diberi skor menurut tiap jawaban.
1.
Hampir Tidak
=0
2.
Pernah
=1
3.
Kadang kadang
=2
4.
Sering
=3
5.
Selalu
=4
Dan hasil penelitian total skor
a.
Kurang dari 14 = Tidak ada kecemasan
b.
Skor 14 - 20 = Kecemasan ringan
c.
Skor 21 27 = Kecemasan sedang
d.
Skor 28 41 = Kecemasan berat
e.
Skor 42 56 = Kecemasan sangat berat atau panik
Sumber : Alimul, 2003 : 92
x = Skor responden pada skala likert yang hendak diubah menjadi skor T
= Mean skor kelompok
sd = Deviasi standar kelompok.
D. HASIL PENELITIAN
1. Data umum
Data ini menggambarkan karakteristik atau distribusi frekuensi responden
berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan dan hubungan keluarga.
93

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di Ruang


ICU RSD Sidoarjo
No
Jenis kelamin
Frekuensi
Prosentase (%)
1.
Laki-laki
17
56,7
2.
Perempuan
13
43.3
Total
30
100
Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa jumlah responden terbanyak adalah
laki-laki yaitu sebesar 56,7% dan sisanya adalah responden perempuan yaitu sebesar
43,3%.
Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Ruang ICU RSD
Sidoarjo
No
Umur (tahun)
Frekuensi
Prosentase (%)
1.
20 30
16
53,3
2.
31 40
9
30
3.
>40
5
16,7
Total
30
100
Dari tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa jumlah responden terbanyak yaitu
sebesar 53,3% adalah yang berumur 20 31 tahun.
Tabel 4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di Ruang ICU
RSD Sidoarjo (17 Juli 29 Juli 2006)
No
Jenis kelamin
Frekuensi
Prosentase (%)
1.
SD
4
13,3
2.
SLTP
8
26,7
3.
SLTA
12
40
4.
PT
6
20
Total
30
100
Dari tabel 4 di atas dapat diinterpretasikan bahwa sebagian besar responden
berpendidikan SLTA yaitu sebesar 40% dan sisanya adalah berpendidikan SD,
SLTP, dan PT.
Tabel 5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan hubungan keluarga
dengan pasien di Ruang ICU RSD Sidoarjo
No
Hubungan keluarga
Frekuensi
Prosentase (%)
1.
Anak
10
33,3
2.
Suami
3
10
3.
Istri
4
13,3
4.
Ayah
2
6,7
5.
Ibu
2
6,7
6.
Kakak
2
6,7
7.
Adik
4
13,3
8.
Menantu
3
10
30
100
Dari tabel 5 di atas dapat dideskripsikan bahwa jumlah responden yang
mempunyai hubungan anak dengan prosentasenya 33,3% dan sisanya yaitu yang
94

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

mempunyai hubungan suami istri, adik, suami, menantu, ayah, ibu, kakak, dengan
pasien yang dirawat.
2.

Data khusus
Tabel 6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat kecemasan
keluarga dengan salah satu anggota keluarga dirawat di Ruang ICU
RSD Sidoarjo
No
Tingkat kecemasan
Frekuensi
Prosentase (%)
1.
Tidak ada kecemasan
2
6,7
2.
Kecemasan ringan
5
16,7
3.
Kecemasan sedang
13
43,3
4.
Kecemasan berat
10
33,3
5.
Kecemasan sangat berat 0
0
Total
30
100
Dari tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa jumlah responden yang mengalami
tingkat kecemasan sedang adalah yang terbanyak yaitu sebesar 43,3% dan tidak ada
responden yang mengalami kecemasan sangat berat atau panik.

E. PEMBAHASAN
Pada Pada bagian ini peneliti akan membahas hasil penelitian yang didapatkan
dengan menganalisa, membandingkan hasil kajian dan literatur yang peneliti baca.
Berdasarkan data yang diteliti, dapat diketahui bahwa keluarga yang salah satu
anggota keluarganya dirawat di ruang ICU RSD Sidoarjo hampir separuhnya mengalami
tingkat kecemasan sedang yaitu sebesar 43,3%. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian
besar tingkat pendidikan responden yaitu 40% berpendidikan SLTA. Ini membuktikan
bahwa rata-rata tingkat pendidikan responden cukup tinggi sehingga mereka dapat
menerima dan mencerna informasi yang diberikan perawat dengan baik. Selain tingkat
pendidikan tingkat kecemasan sedang yang dialami keluarga juga dapat disebabkan oleh
umur. Dari data didapatkan 53,3% responden berumur 20-30 tahun. Dimana pada umur
tersebut seseorang sudah mulai matang dalam berpkir. Hal ini sesuai dengan pendapat
Maramis (1990) yang menyebutkan bahwa semakin rendah umur dan pendidikan maka
semakin tinggi kecemasan yang dialami seseorang.
Selain 2 hal di atas timgkat kecemasan sedang yang dialami keluarga pasien di
ruang ICU dapat disebabkan oleh koping keluarga yang cukup baik, komunikasi antara
tim medis termasuk perawat sudah cukup baik yaitu mengenai pemberian informasi
tentang perkembangan kondisi kesehatan pasien. Serta faktor-faktor internal dari keluarga
itu sendri misalnya hubungan keluarga dengan pasien yang dirawat, juga pengalaman
keluarga, apakah pernah dirawat di rumah sakit atau sering menunggu keluarga yang
dirawat di rumah sakit.
Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Nyoman Nurmiti (2001) di Seminar
Keperawatan Pasien Sakit Kritis FK Unair, RSUD Dr. Soetom tentang monitoring pasien
ICU fungsi dan peran keluarga jadi tidak efektif lagi. Adapun respon keluarga tergantung
dari hubungan antar anggota keluarga, karakteristik personal masing-masing, pengalaman
dirawat di rumah sakit, pengalaman menghadapi stressor, mekanisme koping serta
keyakinan agama, hidup dan mati.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami tingkat
kecemasan berat adalah sebanyak 10 orang responden (33,3%) dari seluruh jumlah
responden. Pada kecemasan berat memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal
95

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan
banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain (Stuart and Sundeen,
1998 : 175).
Tingkat kecemasan berat yang dialami keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU
dapat disebabkan oleh hubungan responden atau keluarga dengan pasien yang dirawat di
ruang ICU. Dari 30 orang responden yaitu sebesar 33,3% adalah mempunyai hubungan
anak dengan pasien yang ada di dalam. Seorang anak mempunyai ikatan batin serta
hubungan yang lebih erat, karena ada pertalian darah secara langsung. Seorang pasien
cenderung mengingainkan anaknya saat dirawat atau sakit. Namun juga harus
diperhatikan pengaturannya, jika seorang perawat mengizinkan keluarga pasien untuk
masuk ke ruang ICU. Jika pasien menginginkan untuk melihat atau dikunjungi anak-anak
atau cucu dan bila anak menginginkan untuk melihat pasien dalm unit pasien, anak-anak
harus diberi penjelasan singkat dan sederhana tentang kondisi pasien dalam unit
perawatan kritis (Hudak and Gallo, 1997 : 33)

F. PENUTUP
A. Simpulan
Sebanyak 43,3% dari 30 orang responden mengalami tingkat kecemasan
sedang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kecemasan yang paling banyak
dialami oleh keluarga yang salah satu anggotanya dirawat di ruang ICU RSD Sidoarjo
adalah tingkat kecemasan sedang.
B. Saran
1. Peneliti menyarankan agar peneliti selanjutnya dapat lebih memperhatikan kondisi
yang dialami keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU.
2. Hendaknya RS merancang ruang ICU sedemikian rupa sehingga kebutuhan
psikologis pasien dan keluarga menjadi terpenuhi, seperti penunggu dilengkapi
alat komunikasi (airphone) sehingga walaupun pengunjung tidak diperbolehkan
masuk ruang ICU, pasien yang kesadarannya membaik bisa berkomunikasi
dengan keluarganya dan lebih sering membuka tirai ruang ICU agar keluarga
dapat melihat keadaan keluarga yang dirawat di dalam.
3. Hendaknya memberi informasi tentang segala prosedur tentng perawatan pasien di
ruang ICU, informasi tentang tujuan dari segala sesuatu yang dilakukan pada
pasien serta informasi tentang keadaan dan perkembangan kondis pasien dengan
cara yang jelas, bijaksana, dan hati-hati terutama jika keadaan pasien memburuk.
4. Hendaknya lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan percaya bahwa yang
dilakukan staf ICU sudah sesuai prosedur dan semua untuk yang terbaik bagi
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, H,A. (2003), Metodologi Penelitian, Jakarta : Salemba Medika
Arikunto, S. (2002), Prosedur Penelitian, Ed.4. Yogjakarta : Rineka Cipta
Carpenito, L.J, (1998), Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinik, Ed.6, Jakarta :
EGC
Depkes RI, (1996). Standart Pelayanan Rumah Sakit, Cetakan 4, Jakarta.
Effendy, Nasrul, (1998), Keperawatan Kesehatan Keluarga, Jakarta : EGC
Fakultas Kedokteran Unair. (2001). Materi Pendidikan Pelatihan Perawatan ICU Tingkat
Dasar, Surabaya : SMF Anestesi dan Reanimasi
96

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 6 No. 1 Pebruari 2014

Hawari, Dadang, (2001). Stress,Cemas dan Depresi, Jakarta : FKUI


Hudak and Gallo. (1997). Keperawatan Kritis :Pendekatan Holistik, Volume I, Jakarta : EGC
Kusuma. A. (1997). Kedaruratan Psikiatrik Dalam Praktek, Jakarta : Profesional Book
Maramis. W.F. (1990), Catatan Ilmi Kedokteran Jiwa, Surabaya : Airlangga University Press
M.F. Marilyn. (1999). Keperawatan Keluarga. Jakarta : EGC
Notoamodjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed. Revisi, Jakarta : Rineka Cipta
Nurmiti, Nyoman. (2001), Monitoring Pasien di ICU (Seminar Keperawatan Pasien Sakit
Kritis), Surabaya : FK UNAIR RSUD dr. Soetomo
Nursalam. (2003). Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Surabaya :
Salemba Medika
Nursalam and Pariani, Nursalam. (2002). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan.
Jakarta : Sagung Seto
Sastroasmoro, Sudigdo. (1995). Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta : Banu Pura
Aksara
Siti Corolus, (1998). Kecemasan. Jakarta : Panitia S-A Komisi
Stuart and Sundeen. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Ed.3, Jakarta : EGC
Suprajitno. (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga, Jakarta : EGC

97

Anda mungkin juga menyukai