Anda di halaman 1dari 3

Pendapat Prof. Dr.

Achmad Ali, SH (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas


Hasanuddin). Bahwa penerapan hukuman mati sangat dibutuhkan khususnya di
Indonesia, tetapi harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya
hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius ("heinous")
mencakupi korupsi, pengedar narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan
pembunuhan berencana. Dan yang dimaksudkan dengan selektif adalah bahwa
terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang telah
terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (beyond reasonable doubt)
bahwa memang dialah sebagai pelakunya. Misalnya terdakwa sendiri secara
gamblang mengakui perbuatannya, seluruh alat bukti memang menyatakan
diri terdakwalah sebagai pelakunya. Sehinga menurut Achmad Ali, pelaksanaan
hukuman mati tidak dilarang dan bertentangan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa memang benar ada Pasal 28I ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menyatakan : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar
136
hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Tetapi Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, harus dilengkapi juga dengan memahami apa
yang terkandung dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis. Jika hanya membaca Pasal 28I ayat (1) itu saja, maka memang
kesan dan pesan pertama yang akan kita tangkap adalah seolah-olah konstitusi
kita melarang hukuman mati, tetapi begitu kita membaca sebagai satu
kesatuan Pasal 28I ayat (1) maupun Pasal 28J ayat (2), maka dapatlah ditarik
suatu kesimpulan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tetapi pelaksanaan hak
tersebut dapat dibatasi dan bahkan dihilangkan pelaksanaannya asalkan : a.
sesuai dengan undang-undang; b. sesuai dengan pertimbangan moral; c. sesuai
dengan nilai agama; d. sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum. Dengan
kata lain, dikecualikannya jaminan hak yang ada dalam Pasal 28I (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, itu dimungkinkan jika
berdasarkan undang-undang, pertimbangan moral, nilai agama, demi keamanan
dan ketertiban umum. Lebih penting lagi adalah hukuman mati tetap diperlukan
karena tindakan dari pelaku sendiri yang tidak lagi memperhatikan aspek
kehidupan yang
137

berperikemanusiaan (Sila kedua dari Pancasila) dan kehidupan yang penuh


dengan berkeadilan sosial (Sila kelima dari Pancasila). Pada Studi Biaya Sosial
dan Ekonomi Akibat Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba tahun 2004
diketahui bahwa Estimasi Jumlah penyalahguna narkoba sebesar 3,2 juta (1,5%
dari populasi penduduk) dimana 79% kategori Pecandu dan 21% kategori
Pemakai Teratur, mayoritas (75%) adalah penyalahguna Narkoba Jenis Ganja,
Jumlah biaya sosial dan ekonomi sebesar Rp 23,6 Triliun, Jumlah IDUs
diestimasikan sebesar 572.000 orang dan angka kematian penyalahguna
narkoba sebanyak 15.000 orang per tahun. Pada kelompok Rumah Tangga Biasa
dan Rumah Tangga Khusus (rumah kos, asrama, dan lain-lain) tahun 2005,
Estimasi angka penyalahgunaan setahun terakhir 1% di rumah tangga dan 5% di
rumah kos. Angka penyalahgunaan narkoba jauh lebih tinggi di rumah kos
(13,1%) dibandingkan di rumah tangga (2,4%). Angka penyalahgunaan setahun
terakhir dan sebulan terakhir di rumah kos relatif tinggi masingmasing 5,8% dan
2,1%. Diketahui pada rumah tangga biasa, 12% penyalahguna adalah IDUs dan
7% masih aktif memakai jarum suntik. Di rumah kos, 36% penyalahguna adalah
IDUs dan 11% masih aktif menyuntik, dimana sebagian besar IDUs ini adalah
laki-laki. Dengan memperhatikan semakin banyaknya manusia Indonesia yang
telah menjadi korban dari pelaku tindak pidana narkotika. Narkotika merupakan
monster yang sangat menakutkan, sangat meresahkan bagi setiap orangtua
yang mempunyai anak tidak terkecuali pihak-pihak yang telah memperoleh
kuasa dari Pemohon judicial review. Narkotika sebagai penghacur atau
pemusnah segala harapan kepada generasi muda. Dengan mengingat si pelaku
tindak pidana narkotika pengedar telah mati nilai kemanusiaan dan sosialnya
melakukan didasarkan hanya memikirkan kepentingan diri semata, masa bodoh
dengan bagaimana penderitaan orang lain. Maka tidak satupun manusia akan
mengatakan layak baginya untuk hidup jika memang terbukti ia sebagai
pengedar narkotika.
138
Si pelaku pengedar narkotika telah menghilangkan hak untuk hidup warga
negara, karena dengan tindakannya mengedarkan narkotika mengakibatkan
hilangnya kehidupan bagi korbannya dan kematian berada di depan matanya.
Si pelaku pengedar narkotika dengan tindakannya telah melakukan penyiksaan
yang luar biasa sebagai akibat dari ketergantungan sebagai akibat dari pengaruh
narkotika. Si pelaku pengedar narkotika dengan dampak dari ketergantungan
dan pengaruh narkotika menghilangkan hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum.

Terhadap dalil pemohon tersebut Pemerintah menolak secara tegas dengan


alasan sebagai berikut :
1. Alasan bahwa "pemidanaan mati adalah melanggar hak asasi manusia (HAM)
dan karena itu harus dihapuskan", adalah tidaklah tepat. Sebab, bukan hanya
hukuman mati, melainkan seluruh jenis pemidanaan pada hakikatnya adalah

pelanggaran HAM, tetapi kemudian menjadi sah karena diperkenankan oleh


hukum yang berlaku. Dalam hal penahanan tidak didasarkan pada suatu
ketentuan hukum yang berlaku dapat pula disebut sebagai pelanggaran Hak
Asasi Manusia, tidak hanya hukuman mati, tetapi semua jenis hukuman pidana
pada hakikatnya merampas atau melanggar HAM dari si terpidana, namun
kemudian sah karena sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 2. Bahwa
Penerapan sanksi pidana mati tepat untuk diterapkan pada tindak pidana
narkotika, dengan alasan sebagai berikut : a. Sanksi pidana mati telah diatur
sebagai Pidana Pokok dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
memiliki kekuatan hukum mengikat serta berlaku umum;
156
b. Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang digolongkan sebagai
extra ordinary crime maka dalam penanganannya juga harus dilakukan dengan
ancaman pidana yang terberat sebagai bentuk prevensi negara terhadap
dampak ancaman destruktif dari tindak pidana narkotika; c. Penerapan sanksi
pidana mati bagi para pelaku bukan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia akan tetapi justru para pelaku tersebut telah melanggar hak asasi
manusia bangsa Indonesia, yang memberikan dampak terhadap kehancuran
generasi muda dimasa yang akan datang; d. Bahwa secara filosofis hukuman
mati bertujuan untuk kepentingan prevensi umum, agar masyarakat tidak
melakukan kejahatan tersebut.

Bahwa kejahatan narkotika merupakan most serious crime di Indonesia, karena


dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai
budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan dan
keamanan nasional. Bahwa filosofi diberlakukannya ancaman pidana yang berat
bagi pelaku tindak pidana narkoba juga dinyatakan dalam penjelasan umum
UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menyatakan perlu
memberikan efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak
pidana narkotika.

Berkaitan dengan hak asasi manusia, bagi pihak yang setuju adanya hukuman
mati, mengemukakan bahwa disamping hak asasi juga mengandung kewajiban
asasi. Dimana ada hak disitu ada kewajiban, yaitu hak melaksanakan kewajiban
dan kewajiban melaksanakan hak. Hak seseorang dibatasi oleh kewajiban
menghargai dan menghormati hak orang lain (sejarah tentang hak dan
kewajiban sudah ada sejak Nabi Adam dan Siti Hawa). Apabila seseorang telah
dengan sengaja menghilangkan hak hidup (nyawa) orang lain, maka hak hidup
baginya bukan sesuatu yang perlu untuk dibela dan dipertahankan.

Anda mungkin juga menyukai