Anda di halaman 1dari 5

PAPER

PANCASILA
Sejarah dan Implementasi Sila Ke-1

Oleh:
Nama

: Debby Shafira Chandra

NPM

: 240110150073

Kelas

: TEP B

Hari, Tgl

: Selasa, 24 November 2015

Dosen

: Asep Zainal Mutaqin

JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015

1.Sejarah Sila ke-1 Pancasila


Pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya ke seluruh dunia. Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus
1945 PPKI melaksanakan sidang.
Hasil sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan 3 (tiga) hal:
1. Menetapkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Ir Soekarno dan Moh Hatta.
3. Membentuk sebuah Komite Nasional, untuk membantu Presiden.
Salah satu keputusan sidang PPKI adalah mengesahkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dalam Pembukaan
Alinea IV mencantumkan sila-sila Pancasila sebagai dasar negara.
Perubahan penting dalam sidang ini yaitu perubahan rumusan dasar
negara yang telah disepakati dalam Piagam Jakarta.yaitu tujuh kata
setelah Ke-Tuhanan, yang semula berbunyi Ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diubah
menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam Sidang PPKI tersebut, Moh. Hatta menyatakan, bahwa masyarakat


Indonesia Timur mengusul an untuk menghilangkan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta, yaitu dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya . Usulan tersebut disampaikan sebagai masukan
sebelum sidang yang disampaikan oleh seorang opsir Jepang yang
bertugas di Indonesia Timur, yang bernama Nishijama. Dengan jiwa
kebangsaan, para pendiri negara menyepakati perubahan Piagam Jakarta.
Dengan demikian, sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha
Esa Mengenai kisah pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, M.
Hatta menuturkan dalam Memoirnya sebagai berikut:

Pada sore harinya aku menerima telepon dari tuan Nishijama, pembantu
Admiral Maeda, menanyakan dapatkah aku menerima seorang opsir
Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang
sangat penting bagi Indonesia. Nishijama sendiri akan menjadi juru
bahasanya. Aku mempersilahkan mereka datang. Opsir itu yang aku lupa
namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan bahwa
wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut

Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan


Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka mengakui
bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat
yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam
suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti
mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika diskriminasi
itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar republik Indonesia.
Aku mengatakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu
hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.

Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis


yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apaapa dan tanggal 22 Juni 1945 ia ikut menandatanganinya. Opsir tadi
mengatakan bahwa itu adalah pendirian dan perasaan pemimpinpemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun.
Mungkin waktu itu Mr. Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat
itu hanya untuk rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat
rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasa bahwa penetapan
itu adalah suatu diskriminasi.

Pembukaan Undang-Undang Dasar adalah pokok dari pokok, sebab itu


harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecualinya.
Kalau sebagian daripada dasar itu hanya mengikat sebagian rakyat
Indonesia, sekalipun terbesar, itu dirasakan oleh golongan-golongan
minoritas sebagai diskriminasi. Sebab itu kalau diteruskan juga
Pembukaan yang mengandung diskriminasi itu, mereka golongan
Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik. Karena begitu
serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum Sidang
Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim,
Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatera
mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu.
Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk
menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan
menggantikannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila suatu
masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat
diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah
suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar
mementingkan nasib dan persatuan bangsa.
3

Rumusan sila-sila Pancasila yang ditetapkan oleh PPKI dapat dilihat


selengkapnya dalam naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Rumusan sila-sila Pancasila tersebut
adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin
permusyawaratan/perwakilan.

oleh

hikmat

kebijaksanaan

dalam

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2.Implementasi Sila Ke-1 dalam Kehidupan Nyata


1. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab
2. Saling hormat dan bekerjasama antar pemeluk agama sehingga terbina
kerukunan hidup
3. Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan terhadap orang lain
4. Saling menghargai kebebasan beribadah sesuai dengan kepercayaan masingmasing
5. Tidak menghina atau menjelekkan agama dan kepercayaan masing-masing

DAFTAR PUSTAKA

Hatta,Muhammad. 1979. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan


Bernegara. Terdapat di : http://www.pusakaindonesia.org (diakses pada
tanggal 23 november 2015 pukul 19.20 WIB)
http://pancasiila2013.weebly.com
2015 pukul 19.50 WIB)

(diakses pada tanggal 23 November

Anda mungkin juga menyukai