Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Wilayah merupakan suatu tempat atau ruang yang tersistematis serta mengatur

dan mengontrol baik dalam proses perkembangannya sehingga terlihat tertata rapi
dan memiliki keseimbangan antar komponen. Komponen yang dimaksud adalah
unsur-unsur dari suatu wilayah yang memacu pertumbuhan dan perkembangan
wilayah tersebut baik dalam bidang ekonomi maupun sosial budaya, perpolitikan,
sejarah dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut sangat menunjang suatu wilayah,
unsur-unsur tersebut yaitu jalan, lahan, hutan, bangunan, perumahan, wilayahwilayah pertambangan, ruang terbuka dan aktivitas manusia serta jalan
komunikasi.
Salah satu pendapatan negara dalam hal import dan export barang adalah hasil
dari bahan setengah jadi maupun mentah kegiatan penambangan. Hanya saja, baik
masyarakat maupun pemerintah lebih dominan untuk melihat dari sisi kuantitatif
akan hasil yang diperoleh serta berapa besar keuntungannya dibandingkan dengan
sisi kualitatifnya akan hasil yang diperoleh di masa yang akan datang utamanya
dampak terhadap wilayah dan lingkungan penambangan. Begitu banyak
perusahaan pertambangan di Indonesia baik itu WUP (Wilayah Usaha
Pertambangan, WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat), dan WPN (Wilayah
Pencadangan Negara) tidak semua atau bahkan hanya seperempat perusahaan
tambang yang mengelola wilayah pertambangan dengan proses reklamasi dan
revegetasi yang berhasil diterapkan. Bahkan wilayah yang akan direklamasi
dialihfungsikan menjadi wilayah atau tempat bermain, tempat wisata, dan lainnya.
Namun, sisa dari seperempat bagian tersebut, sekitar 70 % perusahaan
tambang di Indonesia mengalami kerusakan lingkungan bahkan pasca kegiatan
penambangan, lahan yang telah ditambang ditinggalkan dengan kondisi yang

tidak baik, banyaknya lubang hasil pemboran, hutan yang gundul dan tidak
adanya penanaman kembali/reboisasi terhadap wilayah tersebut, bahkan juga
sampai merusak DAS (Daerah Aliran Sungai) yang nantinya akan menjadi suatu
masalah terhadap pemukiman penduduk serta tidak adanya reboisasi, reklamasi
ataupun revegetasi. Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang kaya akan hasil
tambang Nikel dan juga penghasil aspal berkualitas baik. Namun wilayah
penghasil aspal di Sulawesi Tenggara tidak mendapatkan aspal berkualitas baik
dan pada kenyataannya adalah aspal yang digunakan oleh masyarakat penuh
dengan lubang-lubang bahkan wilayah pedesaan yang sudah seharusnya
menggunakan aspal masih beralaskan batu dan tanah. Perkembangan wilayah
pertambangan seharusnya menjadi pendoman penting bagi suatu perusahaan
sehingga wilayah pasca tambang dapat berkembang secara berkelanjutan artinya
adalah fungsi dari wilayah pertambangan tersebut dapat diubah menjadi APL
(Area Penggunaan Lain) tempat atau wilayah yang lebih bermanfaat seperti
pembuatan ruang terbuka hijau, sebagai museum, wisata hiburan, dan lain-lain.
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang dikemukakan dalam latar belakang diatas, maka penulis

menarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut :


1. Bagaimana

menerapkan

konsep

keberlanjutan

pada

kegiatan

pertambangan yang pasti suatu saat akan berhenti karena sumberdaya yang
tidak dapat diperbaharui?
2. Bagaimana menerapkan konsep berkelanjutan pada kegiatan yang sifatnya
melawan cirri pembangunan berkelanjutan?
3. Bagaimana menerapkan dasar-dasar kebijakan

pemerintah

dalam

pembangunan menerus dan berkelanjutan dalam kawasan pertambangan?

1.3.

Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai

berikut:
1. Mengetahui apa dan bagaimana perencanaan pengembangan suatu
wilayah.
2. Mengetahui konsep perencanaan pengembangan wilayah pertambangan
sehingga dapat bersifat komprehensif.
1.4.

Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Dapat melakukan pengaplikasian tataguna lahan terhadap lahan pasca
tambang dapat melakukan perencanaan pengembangan wilayah yang
berkelanjutan.
2. Mendapatkan ilmu dan wawasan yang lebih tentang wilayah penambangan
dan juga bagaimana proses perencaan yang lebih lanjut kedepannya
sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bangsa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pengert
ian Wilayah Pertambangan
Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya mineral saat ini

mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan


Mineral dan Batubara (UU Minerba). UU Minerba tersebut mengamanatkan
kepada pemerintah untuk menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) sebagai
bagian dari Tata Ruan g Nasional . Wilayah Pertambangan terdiri dari Wilayah
Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR). Wilayah Pertambangan, atau dengan kata singkatan
WP adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak
terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata
ruang nasional. Wilayah pertambangan terdiri atas 3 jenis yaitu :
a. WUP (Wilayah Usaha Pertambangan), merupakan bagian dari WP yang
telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
b. WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat), merupakan wilayah yang diberika
kepada pemegang IUP. WPR juga merupakan bagian dari WP tempat
dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.
c. WPN (Wilayah Pencadangan Negara), merupakan bagian dari WP yang
dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.
Wilayah pertambangan telah ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi
dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat). Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2010 tentang
Wilayah Pertambangan pasal 20, criteria didalam penyusunan WUP komoditi
mineral logam adalah memiliki formasi batuan pembawa mineral logam termasuk
wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi, memiliki singkapan geologi untuk
mineral logam, memiliki potensi sumber daya mineral, memiliki satu atau lebih
jenis mineral termasuk mineral ikutannya, tidak tumpang tindih dengan WPR
4

dan/atau WPN, merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan


pertambangan secara bekelanjutan dan merupakan kawasan peruntukan
pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.
2.2.

Sistem Wilayah Pertambangan


Kegiatan pertambangan di Indonesia secara nyata telah membuka dan

mengembangkan wilayah terpencil. Dengan berkembangnya pusat pertumbuhan


baru di beberapa wilayah, telah memberikan manfaat dalam pembangunan
infrastruktur dasar, peningkatan penerimaan negara, dan penyediaan lapangan
kerja. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara diharapkan menjadi
penggerak pembangunan. Pengembangan sektor pertambangan mineral dan
batubara harus berdasarkan praktek pertambangan yang baik dan benar dengan
memperhatikan elemen dasar praktek pembangunan berkelanjutan, baik dari segi
ekonomi, sosial, maupun lingkungan hidup. Mineral dan batubara yang
terkandung dalam Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara Indonesia,
keterdapatannya memiliki sifat yang tidak terbarukan, tersebar tidak merata,
terbentuk

jutaan

tahun

yang

lalu,

keberadaannya

tidak

kasat

mata,

keterdapatannya alamiah dan tidak dapat dipindahkan.


Selain mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak, pertambangan mineral dan batubara juga dapat menimbulkan dampak
terhadap lingkungan, memiliki resiko dan biaya tinggi dalam eksplorasi dan
operasi produksinya, nilai keekonomiannya dapat berubah dengan berubahnya
waktu dan teknologi, karena itu dalam menetapkan Wilayah Pertambangan harus
mempertimbangkan keterpaduan, pemanfaatan ruang dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang berkesinambungan berdasarkan daya dukung
lingkungan. Pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara memiliki kedudukan
yang sama dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan
dalam tata ruang, sehingga harus dikelola secara bijaksana untuk memberi nilai
tambah bagi perekonomian nasional dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Harus disadari bahwa kegiatan

pertambangan dalam berbagai tingkatan skala aktifitas, keberadaannya tidak dapat


terlepas dari penggunaan ruang (spatial) sebagai tempat dimana sumberdaya
mineral itu berada. Oleh karena itu sangat dibutuhkannya sistem kewilayahan bagi
kawasan pertambangan.
Sistem wilayah dapat diartikan sebagai sebuah entitas ruang (spatial dan aspatial) yang diimbuhi oleh perangkat pengatur dalam bentuk kebijakan publik
yang mengatur pengelola an, pemanfaatan dan pemberdayaan potensi wilayah
sesuai dengan kepentingannya. Wilayah Pertambangan (WP) dalam kaca mata
ruang (spatial) merupakan sebuah real image yang dibentuk oleh sekumpulan
kordinat kebumian (Geographycal Referenced) yang disatukan dalam satuan subpoligon menjadi suatu region besar diwilayah NKRI serta menempati ruang
wilayah secara bersama, bersempadan, ataupun menyatu pada suatu peruntukan
tertentu.
Delineasi Wilayah Pertambangan (WP) dalam kenyataannya berada pada
satuan genetika wilayah yang secara geomorfologi memiliki besaran nilai ataupun
nilai buatan (artificial value ) yang harus dipertimbangkan peran dan fungsinya.
Penilaian dan pembobotan satuan genetika wilayah merupakan salah satu
pendekatan yang paling reasonable dalam mengkaji wilayah (spatial). Dalam
konteks pengembangan wilayah berbasis sumberdaya khususnya mineral,
penetapan kebijakan yang menyangkut pemanfaatan ruang harus dilihat secara
holistik guna menghindari terjadinya benturan birokrasi dan bencana lingkungan
yang akan ditimbulkannya Sedikitnya tersyaratkan 7 (tujuh) faktor dalam melihat
wilayah sebagai suatu satuan genetika wilayah yang memerlukan penilaian dan
pembobotan dalam menetapkan suatu sistem wilayah dalam kebijakan
pemanfaatan/pengelolaan ruang dan potensi yang terkandung didalam ruangnya
(space, surface and underground). Dalam kaitan dengan penetapan kriteria
Wilayah Pertambangan (WP) dimana sumberdaya mineral merupakan pusat
perhatian (point of view) dan memiliki keterkaitan dan pengaruh terhadap faktorfaktor yang saling bersinergi maka perlu dilakukan pertimbangan dan penilaian
fungsi dan perannya dari masing - masing faktor tersebut.

Faktor faktor tersebut adalah :


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Keekonomian Bahan Galian


Kewilayahan dan Infrastruktur (Tata Ruang)
Stabilitas Fisik Wilayah (spatial)
Kebencanaan /Ancaman Resiko
Dampak Lingkungan
Reklamasi dan Pasca Tambang
Kebijakan Sosial (sosial, ekonomi, budaya dan hukum)

Penilaian terhadap ketujuh faktor tersebut masih dilengkapi oleh sub-sub


faktor yang masing-masing memiki pembobotan yang bersifat kuantitatif sehingga
sangat membantu didalam pengolahan data dengan menggunakan metoda
statistika.
1. Keekonomian Bahan Galian memiliki sub faktor pendukung :
Cadangan
Kuallitas
Aksesbilitas
Pasar
Tempat Penyimpanan Tanah bukaan
Tingkat Kesulitan Penambangan
2. Kewilayahan dan Infrastruktur (Tata Ruang) :
Kemiringan Lereng
Elevasi Jalan Raya
Fondasi
Ketersediaan Air
Ketersediaan Bahan Galian
Areal Buangan Limbah
3. Stabilitas Fisik Wilayah (Spatial) :
Lereng Alamiah
Permukaan Tanah
Goncangan Gempa
4. Kebencanaan /Ancaman Resiko
Tanah Ekspansi
Erosi
Gerakan Tanah
Gempa Bumi/Tsunami
Erupsi Gunung api
Nendatan Tektonik
5. Dampak Lingkungan
Air
7

Tanah
Udara
Perubahan Pola Ruang/Tata Guna lahan
6. Reklamasi Dan Pasca Tambang
Timbunan
Vegetasi Penutup
Estetika
bentang alam (morfologi)
7. Kebijakan Sosial
Persepsi Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat
Peningkatan Sumberdaya Manusia
Transportasi
Kebijakan Tata Ruang
Faktor dan sub faktor tersebut diatas akan membentuk suatu matrik dengan
penilaian kuantitatif yang ditetapkan dengan skala penilaianberdasarkan
pembobotan berdasarkan kelasnya. Matrik tersebut seperti terlihat pada tab el 2.1
(Matrik Satuan Genetika Wilayah Evaluasi Pengembangan Sumberdaya Mineral
Dan Kewilayahan Terpadu) Hasil pembobotan tersebut akan menggambarkan
kondisi eksisting suatu satuan genetika wilayah yang harus di komparasi lebih
lanjut. Komparsi antara rencana dan kondisi eksisting ini akan dibantu melalui
penggunaan teknologi sistem informasi geografi (SIG).
2.3.

Konsep
Dasar Kawasan Pertambangan
Sumberdaya mineral yang terdiri dari berbagai mineral, baik yang

digolongkan sebagai mineral logam, mineral industri dan bahan bangunan,


maupun mineral untuk energi, seperti batubara dan bahan radioaktif serta minyak
dan gas bumi, adalah sumberdaya yang tak terbaharukan (non renewable) dan
tersebar tidak merata di muka bumi. Sebagai konsekuensi lokasinya yang
umumnya berada di bawah permukaan serta penyebarannya yang tidak merata
potensi sumberdaya mineral pada suatu daerah hanya dapat diidentifikasi setelah
dilakukan serangkaian penyelidikan pada daerah tersebut.

Inventarisasi sumberdaya mineral mengidentifikasi sebaran berbagai jenis


bahan galian dengan berbagai tingkatan pemahaman akan status cadangan (dari
sumberdaya hipotetik sampai cadangan terbukti/terukur). Atas dasar pertimbangan
kualitas dan kuantitas serta aspek daya dukung lingkungan, daerah sebaran
sumberdaya mineral dapat dibagi menjadi zona pertambangan, yang terdiri dari
zona layak tambang dan zona layak tambang bersyarat.
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya mineral tidak saja berarti dapat
menggali sebanyak mungkin dengan tetap memperhatikan batasan-batasan
lingkungan dan keselamatan kerja sejalan dengan prinsip konservasi, tetapi juga
mengandung arti bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh haruslah maksimal.
Oleh karena itu dari berbagai jenis bahan galian yang terdapat di zona
pertambangan perlu dipertimbangkan jenis-jenis bahan galian yang dapat
memberikan manfaat dan nilai tambah yang maksimal yang umumnya dicapai
melalui proses pengolahan bahan galian. Dengan telah diidentifikasinya sebaran
bahan galian serta telah ditetapkannya jenis bahan galian unggulan maka
selayaknya zona pertambangan tersebut menjadi fokus pembangunan sektor
pertambangan daerah yang bersangkutan (kabupaten/propinsi). Daerah tersebut
hendaknya sudah disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan
ditetapkan menjadi Kawasan Pertambangan.
Konsep Kawasan Pertambangan ini memiliki konsep yang sama dengan
kawasan industri, namun konsep ini tidak sepenuhnya mengadopsi konsep
kawasan industri tersebut karena harus tetap didasarkan pada karakteristik
sumberdaya mineral dan pemanfaatannya. Konsep Kawasan Pertambangan
dicirikan oleh prinsip-prinsip :

Kawasan Pertambangan ditentukan disamping berdasarkan pertimbangan


geologi tetapi juga berdasarkan pertimbangan optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya alam sebagai fungsi dari waktu melalui perhitungan biayamanfaat (cost-benefit). Artinya pemanfaatan bahan galian dapat memberi

manfaat yang lebih besar untuk jangka waktu tertentu dibandingkan


pemanfaatan sumberdaya alam lain di areal tersebut.

Penetapan Kawasan Pertambangan berarti di daerah yang bersangkutan


strategi pembangunan jelas menempatkan industri pertambangan sebagai
prioritas dan sebagai pendorong pembangunan serta dapat mendukung
pembangunan sektor-sektor unggulan lain seperti sektor agribisnis dan
manufaktur.

Kawasan Pertambangan, dengan mempertimbangkan aspek sosial-budaya


setempat, ditujukan untuk mengoptimalkan nilai tambah dan manfaat
bahan galian bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat.

Kawasan Pertambangan akan memudahkan para investor yang berminat


mengembangkan usaha di bidang penambangan, pengolahan maupun jasa
pendukungnya.

2.4. Deskripsi Kawasan Pertambangan


Kawasan Pertambangan adalah suatu kawasan yang terletak pada zona
layak tambang dan didalamnya terdapat sebaran bahan galian unggulan. Kawasan
ini telah dipersiapkan secara terintegrasi bagi pemanfaatan bahan galian unggulan
yang tidak saja mencakup kegiatan eksplorasi rinci dan penambangan tetapi juga
dapat

mendorong

pembangunan

fasilitas

pengolahan/pemurnian

untuk

meningkatkan nilai tambah hasil tambang. Persiapan secara terintegrasi mencakup


persiapan infrastruktur fisik (seperti jaringan jalan, listrik, telekomunikasi)
maupun non fisik (seperti peraturan, perizinan) sehingga menjadi daya tarik bagi
investor

bidang

pertambangan

dan

pengolahan

maupun

bidang

jasa

pertambangan. Disadari bahwa kepastian tentang cadangan yang dapat ditambang,


baik dari segi jumlah maupun kualitasnya, merupakan salah satu kunci utama bagi
usaha pertambangan. Mengingat sifat dari sumberdaya mineral yang tersebar tidak
merata baik secara kuantitatif maupun kualitatif, maka sistem pengkavlingan tidak

10

dapat dilakukan sebagaimana pada kawasan industri. Akan sangat mendukung jika
tahapan penyelidikan umum minimal telah dilakukan pada wilayah yang akan
ditetapkan menjadi kawasan pertambangan, sehingga dapat dirancang berbagai
skenario pencadangan wilayah dalam kawasan pertambangan tersebut. Sistem
pengkavlingan atau pencadangan wilayah didasarkan atas pertimbangan geologi
tentang sebaran bahan galian, ketersediaan informasi geologi dan cadangan bahan
galian serta infrastruktur fisik yang tersedia.
Untuk meningkatkan nilai tambah bahan tambang di dalam Kawasan
Pertambangan perlu dipersiapkan lahan untuk industri pengolahan/pemurnian
bahan tambang serta untuk industri jasa pertambangan. Dengan demikian terdapat
keuntungan jarak dari lokasi penambangan ke lokasi pengolahan/pemurnian
sehingga secara ekonomi hasilnya dapat bersaing dan nilai tambah dari
pengolahan bahan tambang tersebut dapat dinikmati oleh daerah yang
bersangkutan.

Perencanaan

yang

terpadu

untuk

lokasi

industri

pengolahan/pemurnian juga dapat meminimalkan dampak lingkungan yang


mungkin timbul dari industri tersebut, misalnya dengan fasilitas Instalasi
Pengendalian Air Limbah (IPAL) bersama.

2.5. Kelebihan dan Batasan dari Kawasan Pertambangan


Kelebihan dari konsep Kawasan Pertambangan ini antara lain adalah :

Kegiatan pertambangan yang mencakup penambangan dan pengolahan


dapat dikelola dengan baik karena berada pada suatu manajemen kawasan yang
telah memperhatikan berbagai dampak lingkungan yang mungkin timbul.

11

Dapat dikembangkan berbagai pola kemitraan, seperti pola Pertambangan


Inti Rakyat yang diadopsi dari Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan pola koperasi,
dengan melibatkan masyarakat setempat.

Dengan terintegrasinya kegiatan penambangan dan pengolahan maka nilai


tambah produk bahan tambang dapat ditingkatkan; hal ini tentu akan berdampak
positif pada perkembangan ekonomi daerah yang bersangkutan.

Maraknya kegiatan pertambangan akan mendorong berkembangnya


industri jasa pertambangan dan pengolahan maupun industri lainnya yang
menggunakan produk bahan tambang, misalnya industri manufaktur dan
pertanian.

Perkembangan perekonomian daerah yang ditunjang tidak saja didominasi


oleh pertambangan akan menghilangkan kekhawatiran pada saat pasca tambang.

Insentif khusus untuk Kawasan Pertambangan dapat diberikan untuk lebih


menarik investor.
Selain berbagai kelebihan yang dapat diidentifikasi disadari pula bahwa
konsep ini memiliki berbagai pembatasan, antara lain :

Untuk membangun suatu kawasan pertambangan yang ideal pemerintah


daerah harus mengeluarkan modal untuk investasi di bidang penyelidikan
umum maupun infrastruktur.

Kelayakan suatu usaha pertambangan sangat ditentukan oleh nilai


ekonomis dari cadangan bahan galian, yang baru dapat ditentukan
berdasarkan hasil eksplorasi rinci. Hal ini akan menyulitkan perencanaan
pengkavlingan atau pencadangan wilayah.

Fator-faktor yang dapat menjadi pembatas penerapan suatu Kawasan


Pertambangan antara lain adalah:

12

Kawasan lindung, khususnya hutan lindung dan cagar alam.


Potensi dampak lingkungan yang mungkin timbul cukup signifikan.
Penggunaan lahan untuk peruntukan atau kegiatan ekonomi lain, seperti

pariwisata.
Keterbatasan infrastruktur yang tersedia.
Keterkaitan dengan sumberdaya alam lain.

Sementara faktor-faktor yang dapat mendukung adalah seperti kondisi sosial


ekonomi masyarakat setempat :

Kesesuaian lahan yang memang tidak cocok untuk budidaya pertanian

karena kondisi batuan.


Ketersediaan infrastruktur yang cukup memadai.
Keterkaitan belakang dan depan (backward and forward linkages) dari
industri pertambangan yang bersangkutan.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1.

Konsep Keberlajutan pada Wilayah Pertambangan

13

Perkembangan industri pertambangan merupakan turunan dari konsep


pembangunan berkelanjutan yang secara kontemporer yang terus dilakukan pada
berbagai sektor. Khusus pada bidang pertambangan, konsep berkelanjutan
memiliki posisi yang unik karena barang tambang bukanlah sumberdaya yang
dapat diperbaharui. Sekali cadangan habis ditambang, maka selesai kegiatan
pertambangan tersebut.
masa

depan

sektor

Industri pertambangan menyadari sepenuhnya bahwa


pertambangan

sangat

ditentukan

oleh

pencapaian

pembangunan berkelanjutan suatu perusahaan tambang. Oleh karena itu, setiap


aktifitas pertambangan harus memenuhi harapan sosial (social expectations) dan
harus berbagi tanggung jawab dengan pemerintah dan para pemangku
kepentingan. Hal yang sangat penting adalah proses ini harus mulai dilakukan
sejak masa-masa awal kegiatan pertambangan, bahkan sejak pembangunan
tambang mulai direncanakan. Dengan cara ini, pihak perusahaan akan
memenangkan izin sosial untuk beroperasi dari masyarakat.
International Institute for Sustainable Development (IISD) dan World
Business Council for Sustainable Development (WBCSD), melalui laporan final
proyek Mining, Mineral and Sustainable Development (MMSD) yang dirilis tahun
2002, merancang sebuah kerangka kerja pembangunan berkelanjutan pada sektor
mineral. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud penerapan
konsep pembangunan berkelanjutan pada industri pertambangan bukanlah upaya
membuat satu tambang baru untuk mengganti tambang lain yang sudah ditutup,
tetapi melihat sektor pertambangan secara keseluruhan dalam memberikan
kontribusi pada kesejahteraan manusia saat ini tanpa mengurangi potensi bagi
generasi mendatang untuk melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, pendekatan
pertambangan berkelanjutan harus komperhensif dan berwawasan ke depan.
Komperhensif yang dimaksud adalah menimbang secara keseluruhan sistem
pertambangan mulai dari tahap eksplorasi hingga penutupan tambang, termasuk
distribusi produk dan hasil-hasil tambang, sedangkan berwawasan ke depan
adalah menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang secara
konsisten dan bersama-sama. Oleh karena itu, dapat diidentifikasikan tiga bidang

14

prioritas untuk memaksimalkan potensi keberlanjutan di sektor pertambangan,


yaitu:
1. Menganalisa dampak dan keuntungan sosial, kesehatan, ekonomi dan
lingkungan sepanjang siklus kegiatan pertambangan, termasuk kesehatan
dan keselamatan pekerja;
2. Meningkatkan

partisipasi

para

pemangku

kepentingan,

termasuk

masyarakat adat dan lokal serta kaum perempuan;


3. Menumbuhkan praktek-praktek pertambangan berkelanjutan melalui
penyediaan dukungan teknis, pembangunan kapasitas dan keuangan,
kepada negara berkembang dan miskin.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep keberlanjutan dalam
pertambangan tidak berarti kegiatan tersebut harus dilakukan terus menerus,
begitu pula jika diasumsikan secara sederhana dengan membuat tambang baru
untuk melanjutkan tambang lain yang sudah ditutup. Konsep keberlanjutan dalam
industri ini diarahkan pada upaya untuk memaksimalkan manfaat pembangunan
pertambangan dan pada saat yang sama mampu meningkatkan keberlanjutan
lingkungan dan sosial. Artinya, konsep keberlanjutan pada sektor ekstraksi
mineral dan batubara ditekankan pada optimalisasi dampak-dampak positif yang
ditimbulkan dari kegiatan tersebut dengan menitikberatkan pada akulturasi pilarpilar ekonomi, sosial dan lingkungan (the triple bottom-line).
Meski

begitu,

dalam

kenyataannya

implementasi

praktek-praktek

pertambangan berkelanjutan tetap harus dilihat secara utuh dan terintegrasi.


Australian Centre for Sustainable Mining Practices berpendapat bahwa konsep the
triple bottom-line gagal mempertimbangkan dua unsur teknis yang sangat penting
dan tidak terpisahkan dalam operasi pertambangan berkelanjutan, yang pertama
keselamatan (safety) dan yang kedua efisiensi sumberdaya (resource efficiency)
atau efisiensi (ACSMP, 2011) (Gambar 2). Integrasi dua area penting ini

15

merupakan masukan berharga dan dapat dianggap sebagai pengembangan dari


konsep yang telah dibangun oleh MMSD.
Pertambangan Berkelanjutan di Indonesia
Agenda wilayah pertambangan berkelanjutan di Indonesia mulai di respon
terhadap banyaknya berita dampak-dampak negatif kegiatan pertambangan dan
wilayah bekas penambangan. Hal ini tentunya sangat memberikan efek negatif
bagi masyarakat umum dan menggangu kearifan lokal dan mata pencaharian
penduduk di kawasan hutan dan pesisir, baik secara individu maupun
berkelompok. Contohnya adalah kegiatan penambangan di Kalimantan sehinga
memicu akan adanya pembentukan Dewan Adat Dayak (DAD) pada tahun 2001
yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak ulayat adat dayak salah satunya
dalam kegiatan pertambangan di Kalimantan.
Lambatnya laju implementasi pertambangan berkelanjutan di Indonesia
dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman konsep pertambangan berkelanjutan itu
sendiri.

Beberapa

pihak

cenderung

keliru

menafsirkan

pertambangan

berkelanjutan sebagai upaya penambangan yang berwawasan lingkungan (green


mining) atau bahkan upaya yang berwawasan sosial dan lingkungan (responsible
mining). Pertambangan berkelanjutan pada prinsipnya lebih dari kedua konsep
tersebut, atau lebih tepatnya adalah menggabungkan dua konsep tersebut dengan
pengembangan ekonomi masyarakat secara mandiri melalui penyelarasan fiskal
yang tepat antara perusahaan, pekerja dan konsumer tambang, termasuk di
dalamnya adalah masyarakat lokal.
Dengan demikian, ide besar pertambangan berkelanjutan kurang memuaskan
apabila masih dianggap sebagai kebutuhan internal perusahaan atau dikelola
secara parsial oleh masing-masing institusi. Sekali lagi pendekatannya harus
terintegrasi dan holistik. Seluruh pemangku kepentingan harus diberi ruang
keterlibatan secara proporsional, termasuk upaya penyertaan masyarakat
(community engagement) sebagai bagian dari kegiatan perusahaan. Lebih spesifik

16

mengenai penyertaan masyarakat, progam ini harus dilakukan secara serius pada
setiap tahapan kegiatan pertambangan, mulai dari eksplorasi, proses produksi,
hingga ke rehabilitasi dan penutupan tambang. Konsultasi publik harus dilakukan
secara intensif dan transparan sehingga kepentingan sosial ekonomi masyarakat
dapat diidentifikasi secara jelas yang nantinya dapat dirancang sebagai bagian dari
rencana kerja perusahaan.
Akhirnya, sebagai negara dengan potensi pertambangan yang besar, Indonesia
harus secara aktif dan berkesinambungan mendorong pelaksanaan pertambangan
berkelanjutan demi mencapai cita-cita pengelolaan sumberdaya alam untuk
kemakmuran rakyat. Pemerintah baik pusat maupun daerah diharapkan mampu
memainkan perannya sebagai regulator dengan baik agar pertambangan dapat
secara optimal berkontribusi positif terhadap pembangunan berkelanjutan. Bagi
kalangan industri, penerapan praktek-praktek pertambangan berkelanjutan
hendaknya disadari sepenuhnya sebagai kebutuhan bisnis perusahaan, lebih dari
sekedar kewajiban untuk menanami kembali lahan bekas tambang atau tuntutan
perlibatan masyarakat. Dalam jangka panjang, hanya perusahaan-perusahaan yang
mampu menginternalisasi konsep pertambangan berkelanjutan pada setiap
kegiatan operasinya yang bakal mampu bertahan, diterima oleh masyarakat dan
negara, dan dapat menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan global yang
terjadi.
Jadi, konsep keberlanjutan wilayah penambangan akan sangat berperan
penting dalam industry social, ekonomi dan budaya. Dalam menjalankan
pengelolaan dan pengusahaan bahan galian harus dilakukan dengan cara yang
baik dan benar (good mining practice) meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Penetapan wilayah pertambangan,


Penghormatan terhadap pemegang hak atas tanah,
Aspek perizinan,
Teknis penambangan,
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3),
Lingkungan,
Keterkaitan hulu-hilir/konservasi/nilai tambah,

17

8. pengembangan masyarakat/wilayah di sekitar lokasi kegiatan,


9. Rencana penutupan pasca tambang,
10. Standardisasi.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010
tentang reklamasi dan pasca tambang prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pertambangan meliputi :
1. Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan
tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2. Perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati;
3. Penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup,
kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya;
4. Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya;
5. Memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan
6. Perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

3.2.

Metode Penggunaan Manajemen Risiko dalam Perencanaan Penutupan


Tambang

Definisi dan
penyaring pilihan
penutupan

Pantau/audit/uji
ulang

Analisis resiko
dan peluang

Penghitungan dan
penyediaan
finansial

Penilaian dan seleksi


pembiayaanpembiayaan pilihan
penutupan

Peilaian resiko
residual

Rencana
penutupan
berkelanjutan
(konsep hingga
pasca
penutupan)

18

Adapun metode-metode yang dapat digunakan dalam menerapkan aplikasi


pengembangan wilayah tambang bersifat comprehensive dan berkelanjutan yaitu :
1. Definisi dan seleksi pilihan
Analisis pilihan dari berbagai alternatif konsep penutupan tambang
menciptakan peluang untuk mengulas manfaat dan risiko dalam masing-masing
pilihan, sesuai dengan konteks tujuan dan kriteria rencana penutupan yang sudah
ada. Dari alternatif-alternatif ini, akan dapat dikembangkan sebuah strategi
penutupan yang hemat biaya dan memenuhi tujuan dari kebijakan, untuk
kemudian dibahas bersama para pemangku kepentingan. Dengan cara ini, konsep
penutupan (di tingkat yang tinggi) akan terbantu dengan adanya analisis risiko dan
peluang

yang

lebih

spesifik.

Pilihan-pilihan

yang

tersedia

harus

mempertimbangkan serangkaian potensi penggunaan final lahan dan alternatifalternatifnya, sesuai konsultasi dengan pemilik lahan di masa depan atau dengan
masyarakat yang terkena pengaruh. Metodologi analisis pilihan ini fleksibel, dan
analisis ini harus dikaji secara teratur untuk memastikan telah memenuhi tingkat
perincian yang diperlukan pada setiap tahapan di dalam siklus usia proyek

2. Penilaian resiko dan peluang dari pilihan-pilihan yang tersedia


Diperlukan sebuah penilaian risiko dan peluang untuk memastikan adanya
pendekatan yang konsisten terhadap identifikasi dan pengelolaan masalah yang
berkaitan dengan penutupan tambang. Penilaian ini harus mempertimbangkan
risiko lingkungan, sosial, ekonomi dan peraturan; faktor-faktor eksternal dan
internal, dan tidak hanya pengurangan risiko (ketidakpastian); serta harus
mengevaluasi peluang-peluang yang mungkin terdapat dalam pilihan penutupan
tambang yang baik dan berkelanjutan (Environment Australia, 1999). Umumnya,
tiap masalah (atau aspek) dapat dinilai berdasarkan potensi faktor risiko
19

lingkungan, ekonomi, sosial dan peraturan. Hasil dari proses ini adalah penciptaan
sebuah daftar risiko penutupan tambang yang komprehensif, dan dapat
mengidentifikasi masalah, risiko serta prioritasnya. Untuk dapat meredakan risiko
yang tidak dapat diterima sampai ke tingkat toleransinya, harus dibuat pilihanpilihan pengendalian terhadap masing-masing faktor risiko. Pilihan-pilihan ini
dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan biaya, sebagai dasar untuk
penghitungan biaya dan pelaksanaannya Setelah menetapkan jenis pilihan
pengendalian yang paling tepat, maka dapat menghitung tingkat risiko residual
yang mungkin masih ada setelah strategi peredaan diterapkan. Jika risiko residual
masih tidak dapat diterima, maka diperlukan kajian atau program kerja lanjutan
untuk menentukan sebuah strategi pengendalian yang dapat menurunkannya lebih
lanjut.
3. Membuat evaluasi biaya pilihan penutupan tambang
Biaya akan menjadi faktor dalam mengevaluasi penutupan tambang.
Berbagao jenis pilihan penutupan yang berlainan dapat diteliti dengan
menggunakan metodologi risiko yang tepat dan meperbandingkan biaya da
manfaat relatif dari masing-masing konsep.

4. Mengembangkan sebuah rencana penutupan tambang yang baik dan


berkelanjutan
Setelah mengkaji sepenuhnya risiko-risiko dan peluang penutupan
tambang, maka dapat dikembangkan sebuah rencana penutupan tambang (dalam
rangka mencapai tahap penyelesaian tambang) untuk mengelola risiko agar
mencapai tingkat yang dapat diterima dan memaksimalkan peluang-peluang yang
strategis.
Rencana ini harus direkomendasikan dan harus menyediakan sebuah dasar
yang baik untuk meperkirakan biaya penutupan dan harus mencakup keterangan

20

mengenai pengelolaan aktivitas penutupan di lokas sesuai dengan rencana, yang


konsisten terhadap kebijakan, tujuan, standar-standar dan panduan-panduan.
Rencana ini merupakan sebuah dokumen yang dinamis, dan harus
mencerminkan tingkat perincian yang sesuai dengan tahap pengembangan proyek
pertambangan tersebut. Rencana penutupan akan berubah seiring usia tambang,
dan harus memberikan lebih banyak detil saat tambang semakin dekat dengan
tahap pengakhiran dan penutupan.
5. Penilaian risiko residual dalam rencana penutupan
Rencana penutuan harus dapat mengatasi risiko penutupan sampai ke
tingkat yang dapat diterima, namun selalu ada tingkat risiko residual atau
ketidakpastian yang memerlukan penilaian dan pengelolaan lanjutan. Hal ini
mencakup pegukuran keberhasilan atau kegagalan dari pilihan yang diambil,
ramalan biaya, dan risiko dari terjadinya kejadian seperti gempa bumi, angin
puyuh atau hujan yang sangat deras. Misalnya identifikasi proses pengolahan air
atau rancangan pembuangan tertentu untuk mengendalikan resikonya. Meskipun
telah mengembangkan cara-cara pengendalian (rencana penutupan tambang),
tetap saja ada risiko residual bahwa pengolahan air itu (yang elah dijalankan
sesuai rencana) akan gagal, sehingga memerlukan tindakan tambahan. Kegagalan
tersebut dapat diakibatkan oleh perubahan zat kimia dalam air, kerusakan akibat
gempa bumi atau berubahnya peraturan yang mungkin mensyaratkan batas limbah
yang lebih ketat. Bahkan dalam kasus risiko residual yang kemungkinannya kecil
dan tingkat keparahannya rendah, tetap harus dilakukan analisis dari sudut
pandang pengelolaan risiko jangka panjang. Sebuah rencana penutupan yang
berbasis risiko akan mengidentifikasikan dan menilai risiko residual, dan hasilya
akan dimasukkan ke dalam metedologi perhitungan biaya.
6. Membuat satu metodologi perhitungan dan penyediaan finansial
Langkah-langkah yang dijabarkan tentang penilaian resiko membri dasar
untuk menilai dampak dari potensi biaya penutupan terhadap operasi atau
investasi yang mungkin harus dipertimbangkan. Mungkin diperlukan teknik

21

estimasi deterministic dan probabilitas untuk menghitung biaya risiko residual


yang signifikan. Tim penutupan harus menentukan apakah cara perhitungan biaya
probabilitas diperlukan atau layak digunakan, berdasarkan profil risiko proyek.
Estimasi biaya berbasis risiko akan memenuhi bebrapa persyaratan, antara lain :

Penyediaan perhitungan biaya untuk mengambil keputusan investasi.


Biaya-biaya dalam peraturan akuntansi.
Pengembangan anggaran proyek penutupan tambang.
Selain itu, terdapat biaya penutupan untuk jaminan rehabilitasi pemerintah.

Biaya ini bisa sudah atau belum mencakup biaya risiko dan dapat mencakup
biaya-biaya lain yang terkait dengan peraturan dan

pelaksanaan penutupan

tambang. Mungkin ada peluang untuk membuat sebuah target kerangka waktu
untuk aspek penutupan tertentu, sehingga dapat menurunkan jaminan secara
bertahap, seiring dengan tercapinya target-target kinerja tetrnetu tersebut.
7. Membuat sebuah proses pemantauan /audit/pengkajian ulang
Dalam menyelesaikan pembuatan system manajemen risiko untuk
penutupan tambang, perusahaan harus memiliki sebuah proses pemantauan, audit
dan pengkajian ulang yang memastikan bahwa rencana awal penutupan tambang
ini selalu diperbaharui dan sesuai dengan tujuannya. Proses ini juga
memungkinkan perencanaan penutupan untuk dipertimbangkan kembali dalam
setiap tahapan siklus hidup tambang, untuk mengidentifikasi dan mengakomodasi
perubahan yang mungkin terjadi selama usia operasi penambangan.
Rencana awal penutupan tambang dapat bersifat konseptual dari konsep
proyek dan kemudian dikembangkan secara teratur dan terperinci pada saat lima
tahun terakhir usi proyek. Dengan demikian rencana akan semakin sempurna dan
lebih

terperinci

seiring

matagnya

investasi.

Ada

baiknya

untuk

mempertimbangkan adanya satu proses pembaruan (update) resmi secara teratur


terhadap rencana-rencana penutupan, untuk memastikan risiko-risiko telah
dievaluasi dengan benar dan estimasi biayanya abash.
3.3.

Bentuk Pengaplikasian

22

Pada dasarnya bentuk pengaplikasian dari lahan pasca tambang dapat dilihat
pada beberapa wilayah yang menjadikan wilayah tersebut menjadi lebih bernilai
ekonomis, seperti penggunaan lahan tambang dengan membuat tempat wisata
pada daerah pasca tambang. Namun juga ada bberapa wilayah petambangan pada
lahan pasca tambang di gunakan untuk merehabilitasi akan bagian dari wilayah
tambang yang telah dirusak seperti DAS ataupun penggunaan sistem reklamasi,
revegetasi dan sebagainya.
a. Reklamasi
Reklamasi bekas tambang yang selanjutnya disebut reklamasi adalah usaha
memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan
yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat
berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. (Permenhut Nomor: 146Kpts-II-1999). Rehabilitasi hutan dan lahan adalah kegiatan yang dimaksudkan
untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan
sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga. Parotta (1993) dalam Setiawan (2003)
menyatakan bahwa tujuan rehabilitasi ekosistem hutan yang m engalami degradasi
ialah menyediakan, mempercepat berlangsungnya proses suksesi alami. Selain itu
juga untuk menambah produktivitas biologis, mengur angi laju erosi tanah,
menambah kesuburan tanah dan menambah kontrol biotik terhadap aliran
biogeokimia dalam ekosistem yang ditutupi tanaman. Kata reklamasi berasal dari
kata to reclaim yang bermakna to bring back to proper state , sedangkan arti
umum reklamasi adalah the making of land fit for cultivation. Membuat keadaan
lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan, atau membuat sesuatu yang sudah
bagus menjadi lebih bagus, sama sekali tidak mengandung implikasi pemulihan
ke kondisi asal tapi yang lebih diutamakan adalah fungsi dan asas kemanfaatan
lahan. Arti demikian juga dapat diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang
bertujuan mengubah peruntukan sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah
lahan agar sesuai dengan keinginan manusia (Young dan Chan, 1997 dalam
Nusantara et al. 2004 ). Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu:

23

1. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang sudah


terganggu ekologinya.
2. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya
untuk pemanfaatan selanjutnya.
Sasaran akhir dari reklamasi adalah terciptanya lahan bekas tambang yang
kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan
kembali sesuai dengan peruntukkannya.
b. Revegetasi
Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas
tambang (Ditjen RLPS). Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi
dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain
restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi proteksi dan konservasi serta bertujuan
untuk kembali ke kondisi awal), reforestasi dan agroforestri.
Pada lahan bekas tambang, revegetasi merupakan sebuah usaha yang
kompleks yang meliputi banyak aspek, tetapi juga memiliki banyak keuntungan.
Beberapa keuntungan yang didapat dari revegetasi antara lain, menjaga lahan
terkena erosi dan aliran permukaan yang deras; membangun habitat bagi
satwaliar;

membangun

keanekaragaman

jenis-jenis

lokal;

memperbaiki

produktivitas dan kestabilan tanah; memperbaiki kondisi lingkungan secara


biologis dan estetika; dan menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis lokal
dan plasma nutfah (Setiadi, 2006).
c. Suksesi dan klimaks
Suksesi adalah perubahan-perubahan langsung yang berkaitan dengan waktu
dalam komposisi komunitas dan sifat-sifat ekosistem lainnya. Suksesi disebabkan
dinamikan individu-individu di dalam ekosistem karena mereka berinteraksi satu
sama lain dan dengan lingkungan fisik. Perubahan ini tidaklah sembarangan,
tetapi dapat diramalkan pola dan arahnya.
Kemampuan suatu ekosistem untuk mentoleransi penggunaan oleh manusia
dan untuk pulih kembali setalah digunakan utamanya pasca tambang, sangat
bervariasi bergantung pada faktor-faktor iklim dan biologi. Dan meskipun
vegetasi masuk dengan cepat menempati kembali daerah yang terbuka, dan
24

suksesi biasanya berjalan cepat, namun pemulihan hutan primer setelah gangguan
hebat biasanya berjalan lambat. Hal ini sebagian karena kerumitan hutan hujan
klimkas dan jaringan hubungan tumbuhan dan hewan yang rumit memperhambat
pemulihan setelah mengalami gangguan.
3.3.1. Budidaya lahan pasca tambang dalam manajemen pengairan
Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk
menghindari efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat
berbahaya, dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung
tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan
iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang biasa
terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun
pendek. Arah aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona mengandung
sulfida logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan
impermeabel. Hal ini untuk menghindarkan pelarutan sulfida logam yang
potensial menghasilkan air asam tambang.

3.3.2. Contoh-contoh Perusahaan Tambang yang melakukan pengolahan Wilayah


Pertambangan yang berkelanjutan
PT. Newmont, Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat

25

PT Newmont Nusa Tenggara adalah perusahaan yang bergerak di bidang


pertambangan. Produk PT Newmont Nusa Tenggara berupa konsentrat tembaga
yang mengandung sejumlah kecil emas, yang dikirimkan ke berbagai pabrik
peleburan di Indonesia maupun di luar negeri untuk pengolahan selanjutnya.
Keberadaan lokasi tambang memberikan kontribusi yang besar bagi negara baik
dari segi ekonomi maupun sosial, karena pertambangan mempunyai kapasitas
sebagai penggerak (prime mover) pembangunan di daerah terpencil. Tetapi lahan
yang dieksplorasi untuk pertambangan menjadi terganggu. Reklamasi di PT
Newmont Nusa Tenggara merupakan suatu usaha penanaman kembali
menggunakan tanaman dan tumbuhan asli yang tumbuh di lahan tersebut sesegera
mungkin selama periode konstruksi berlangsung. Dalam Kepmen PE No.
1211.K/008/M.PE/95 yang dimaksud reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan
memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan
usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan
peruntukkannya. Proses reklamasi di PT Newmont Nusa Tenggara diawali dengan
pembukaan lahan (land clearing) lalu penelitian tanah contoh (soil sampling)
untuk mengetahui kelayakan tanah lapisan atas (top-soil) dan tanah lapisan bawah
(sub-soil) untuk dipakai reklamasi. Setelah diketahui kelayakan dari tanah yang
diteliti, dilakukan pengambilan dan pengangkutan tanah (loading soil) untuk topsoil menyusul kemudian pengambilan sub-soil. Top-soil sementara disimpan dulu
di stockpile, karena tanah yang akan disebar terlebih dahulu adalah subsoil.
Penyebaran

tanah

dilakukan

bertahap

dengan

pemadatan

(compaction).

Penyebaran tanah pertama adalah penyebaran tanah sub-soil setebal 0,5 m.


Selanjutnya tanah tersebut dipadatkan sampai dengan kepadatan minimal 95%.
26

Setelah pemadatan pada lapis pertama selesai, dilakukan penyebaran dan


pemadatan lapisan tanah kedua disusul dengan lapisan tanah ketiga yaitu tanah
sub-soil dengan ketebalan yang sama dengan tanah lapis pertama. Lapisan tanah
yang keempat (sub-soil) ketebalannya 0,4 m. Setelah itu dipadatkan dengan
kepadatan minimal 95%. Lapisan tanah kelima (sub-soil) ketebalannya 0,35 m
dan kepadatannya minimal 95%. Lapisan tanah keenam adalah top-soil dengan
ketebalan tanah 0,5 m dan kepadatannya 85%. Setelah pemadatan enam lapis
selesai dilakukan, proses selanjutnya adalah pemasangan energi breaks, lalu
penyebaran bibit (hidroseeding) dan dilanjutkan dengan penanaman.
PT. Kaltim Coal

Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi


sumber daya alam yang melimpah. Tidak hanya minyak dan gas, tetapi juga batu
bara. Menurut data potensi bahan bakar fosil itu diperkirakan mencapai 19,56
triliun ton dengan cadangan 2,41 triliun ton. Hasil monitoring dan investigasi
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) hingga tahun 2013 menemukan total
penguasaan lahan tambang di Kalimantan Timur sekitar 7 juta hektare. Lahan
tambang itu tersebar di hampir semua kabupaten kota di provinsi ini. Jutaan
hektare lahan tambang itu dikuasasi oleh 1.451 pemegang izin usaha
pertambangan (IUP) dengan luas 5.314.294,69 hektare, 67 perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) menguasai lahan 1.624316,49

27

hektare dan lima kontrak karya dengan luas konsesi 29.201.34 hektare. Sejatinya
Kalimantan Timur mempunyai kawasan tambang batu bara yang sangat luas.
Kegiatan penambangan itu menyisakan "kubangan" atau kolam bekas tambang
yang juga sangat luas. Tentu ini memunculkan kerisauan bagi masyarakat maupun
pemerintah.
Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi dampak buruk
yang dirasakan terutama pascatambang. Upaya itu sudah mulai membuahkan
hasil. Tengok saja ujicoba pemanfaatan lahan bekas tambang untuk budidaya ikan
air tawar. Bekas penambangan batubara berupa kolam-kolam itu tak selamanya
menimbulkan dampak negatif kalau dimanfaatkan dengan baik. Kubangan bekas
tambang bisa dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit atau juga bisa disulap
menjadi tempat budidaya ikan air tawar.
Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur Bahrid Buseng mengajak
masyarakat untuk memanfaatkan lahan bekas tambang batu bara sebagai lahan
produktif untuk perkebunan kelapa sawit maupun budi daya ikan air tawar.
Upaya kreatif yang dilontarkan wakil rakyat itu harus didukung semua pihak
terutama pemerintah lewat andil langsung Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD). Lahan bekas tambang batu bara, sebagaimana diketahui lebih banyak
terbengkalai. Kolam-kolam bekas galian bahkan tidak sedikit merenggut korban,
terutama anak-anak yang mengira kolam tersebut aman untuk tempat bermain,
katanya. Peluang untuk memanfaatkan bekas tambang batu bara itu dimanfaatkan
oleh perusahaan tambang besar PT Kaltim Prima Coal (KPC) untuk menjadi
kolam budidaya ikan air tawar. KPC telah melakukan ujicoba budidaya ikan air
tawar dengan pola perikanan keramba.
Upaya yang dilakukan oleh perusahaan tambang batu bara yang berlokasi
di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur itu cukup sukses.
Uji coba dilakukan di kolam pascatambang "Pit Surya" yang diberi nama Telaga
Batu Arang (TBA). Pengembangan budidaya keramba ikan dilakukan mulai
September 2013 dengan membudidayakan empat jenis ikan air tawar, yakni nila,

28

lele, patin dan ikan mas. Selain mengembangkan budidaya ikan dengan sistem
keramba, KPC juga mengembangkan perikanan dengan cara ditebar langsung di
kolam pascatambang TBA pada Juni 2013, sebanyak 12 ribu benih ikan.
Telaga Batu Arang (TBA) merupakan salah satu zona wisata di lahan
pasca tambang KPC. Kolam ini akan dikembangkan menjadi objek wisata,
sehingga keberadaan kolam bekas tambang akan memberi manfaat kepada
masyarakat. Selain itu, KPC terus bekerja merampungkan berbagai fasilitas
penunjang, seperti energi lsitrik dengan sumber tenaga air di kolam TBA, toilet
umu, pembangunan `joggong track` dan berbagai fasilitas lainnya.

BAB IV
29

PENUTUPAN

4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh yaitu sebagai berikut :
1. Lahan pasca tambang adalah wilayah yang memiliki banyak problematika
teruntuk keberlanjutan wilayah pertambangan, oleh karena itu sangat
dibutuhkan adanya kebijakan yang tepat, tersistematis dan dapat diterapkan
untuk semua perusahaan tambang, sehingga dapat memberikan dampak yang
positif terhadap wilayah pertambangan.
2. Proses yang dibutuhkan adalah diawali dengan konsep, banyak perusahaan
tambang namun hanya sedikit saja yang dapat mengaplikasikan konsep
pengembangan wilayah pertambangan yang berkelanjutan. Konsep tersebut
juga termasuk proses pengelolaan secara berkelanjutan sehingga dampaknya
bukan hanya terhadap perusahaan tetapi juga kepada pemerintah, dan
mayarakat sekitar baik itu dampak terhadap ekonomi, ekowisata, budaya,
sosial maupun hokum dan politik.
4.2. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah :
1. Semoga perusahaan tambang di Indonesia dapat berkembang bukan hanya
untuk melihat dari sisi ekonomis akan cadangan sumberdaya alam yang
diambil, namun juga dapat berkembang dengan melihat sisi ekonomis dari
lahan atau wilayah yang akan digunakan setelah pasca tambang.
2. Semoga pemuda Indonesia dapat terus melatih diri akan keterampilan serta
meningkatkan kualitas diri dan belajar semakin giat sehingga dapat
memajukan NKRI dalam berbagai bidang.

Daftar pustaka

30

Anonim. 2013. PT. PPE Diminta Jadi Contoh Perusahaan Tambang


Ramah Lingkungan.
http://www.kabarpublik.com/2013/12/pt-ppe-dimintajadi-contoh-perusahaan-tambang-ramah-lingkungan/.
Diakses pada 25 Desember 2013. Pukul 14.30 WITA
Direktorat Pakan Ternak. Lahan Pasca Tambang.
http://pakan.ditjennak.pertanian.go.id/index.php/blog/read/kegiatan/lah
an-pasca-tambang. Diakses pada Selasa, 6 Januari 2011. Pukul 14.24
WITA
Fitra, Hastirullah. 2015. Reklamasi Lahan Bekas Tambang
Batubara.
http://www.hastirullahfitrah.com/2015/01/reklamasilahan-bekas-tambang-batubara.html. Diakses pada 28
Januari 2015. Pukul 17.50 WITA
RHLBT. 2015. Reklamasi Tambang PTBA.
http://www.greenmining.or.id/new/index.php/berita/17reklamasi/170-contohlah-reklamasi-tambang-ptba.

31

Anda mungkin juga menyukai