Anda di halaman 1dari 12

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai Indonesia adalah UU Nomor 42 Tahun


2009 yang efektif berlaku sejak 1 April 2010, tentang Perubahan Ketiga UU
Nomor 8 Tahun 1983, tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2012 Tanggal 6 Juni 2012 Tentang Penunjukan Badan Usaha Milik
Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata
Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya. Peraturan Direktur Jenderal
Pajak No. PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian
Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara
Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak, PMK197/PMK.03/2013.

A. Subjek Pajak Pertambahan Nilai


Subjek PPN adalah :
1. Pengusaha, adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak wujud dari luar Daerah Pabeanm, melakukan usaha jasa
termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean.
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP), adalah Pengusaha yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan BKP dan atau
penyerahan JKP dan atau ekspor BKP yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhlan sebagai PKP, tidak termasuk
Pengusaha Kecil, yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan
sebagai PKP.
b. Pengusaha Kecil, pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan
penyerahan BKP atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau
jasa penerimaan bruto tidak lebih dari RP 4.800.000.000 (PMK
197/2013) berlaku 1 Januari 2014. Atas penyerahan BKP/JKP yang
dilakukan oleh Pengusaha Kecil TIDAK dikenakan PPN atau PPN dan
PPnBM (PMK 68/2010).
c. PMPKP, pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan sebagai PKP berlaku
sepenuhnya UU No.18/2000 stdtd UU No.42/2012 (PMK68/2010)
2. Pemungutan PPN, adalah bendahara pemerintah, Badan Usaha Milik Negara,
kontraktor perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan minyak dan gas,
badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, daqn melaporkan pajak yang terutang oleh
Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau

penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau


instansi pemerintah tersebut.
Badan Usaha Milik Negara yang dimaksud adalah Badan Usaha yang seluruh
atau sebgaian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yanhg dipisahkan.
B. Objek PPN
Objek PPN meliputi :
1. Pasal 4 ayat (1) huruf a s/d huruf h UU PPN
a. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha.
b. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha.
c. Impor BKP.
d. Pemnafaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
e. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
f. Ekspor BKP Berwujud oleh PKP.
g. Ekspor JKP oleh PKP.
h. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP.
2. Pasal 16C UU PPN
Kegiatan Membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan pihak lain.
3. Pasal 16D UU PPN
Penyerahan BKP berupa aset yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP (termasuk persediaan dan/atau aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan).
4. Pasal 5 (PMK Nomor 85/PMK.03/2012)
PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh Badan Usaha Milik Negara
dalam hal
a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah PPN atau PPn dan PPnBM yang
terutang dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
b. Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut
ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat
fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
c. Pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar
bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero).
d. Pembayaran atas rekening telepon.
e. Pemabayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh
perusahaan penerbangan.
f. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang, dan/atau jasa yang
menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak
dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. PPN atau PPN dan PPnBM yang

terutang sebagaimana dimaksud diatas huruf a,b,c,d, dan e dipungut


disetor, dan dilaporkan oleh rekanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.

Kriteria dan jenis barang dan tidak kena pajak ditentukan melalui Pasal 4A ayat
(2) UU PPN 2009 beserta penjabaran serta penjelasannya adalah sebagai
berikut :
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya; meliputi:
Minyak mentah (crude oil); gas bumi, tidak termasuk gas bumi sepereti elpijji
yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat; panas bumi; asbes, batu
tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata,
bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit,
granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat,
opsiden, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk,
tanah serap (fullers earthy), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras,
yarosif, zeolit, basal, dan trakkit; batubara sebelum diproses menjadi briket
batu bara; dan bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel,
bijih perak, serta bijih bauksit.
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
meliputi :
Beras gabah; jagung;; sagu; kedelai; garam, baik yang beryodium maupun
yang tidak beryodium; daging, yaitu daging segar yang tapa diolah, tetapi
telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan,
dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan
dengan cara lain, dan/atau direbus; telur, yaitu telur yang tidak diolah,
termasuk telur yang dibersihkan, diasinka, /dikemas ; susu, yaitu susu perah
baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak
mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau
tidak dikemas; buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik
yang telah melauluin proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, digrading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan sayur-sayuran, yaitu
sayuran segaryang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu
rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsusmsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh jasa boga atau katering.
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
5. PPN atas hasil pertanian.

Berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2001 stdtd PP Nomor 31 Tahun 2007


terdapat dua perlakuan yang berbeda atas barang hasil pertanian yang keduaduanya dibebaskan dari pengenaan PPN, sebagai berikut:

1. Atas impor dan penyerahan bibit dan atau benih dari barang hasil pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan dilakukan
tidak harus oleh petani.
2. Atas penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau
kelompok petani. Adapun barang hasil pertanian adalah barang yang
dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
a. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
b. Peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran.
c. Perikanan baik dari penangkapan maupun budidaya, yangdipetik
langsung dari sumbernya termasuk hasil pemrosesannya yang
dilakukan dengan cara tertentu.

Petani adalah orang yang melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian,


perkebunan, pertanian, perburuan atau penangkapan, penangkaran, atau
budidaya Perikanan. Berarti tidak dimungkinkan petani berbetuk badan. Dengan
demikian apabila ada pengusaha berbentuk badan menyerahkan hasil pertanian,
tidak dibebaskan dari pengenaan PPN.
Pasal 42 UU PPN 2009 beserta penjelasannya merinci pengelompokan jasa yang
tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, sebagai berikut :
1. Jasa pelayanan medis.
2. Jasa pelayanan sosial.
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko.
4. Jasa keuangan.
5. Jasa asuransi.
6. Jasa keagamaan.
7. Jasa pendidikan.
8. Jasa kesenian dan hiburan.
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan.
10.Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagisan yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan
udara luar negeri.
11.Jasa tenaga kerja.
12.Jasa perhotelan.
13.Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam ranglka menjalankan
pemerintahan secara umum.
14.Jasa penyediaan tempat parkir.
15.Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam.
16.Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
17.Jasa boga atau katering.

C. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai


1. Definisi dan Pengertian
a. Dasar pengenaan pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung
pajak yang terutang, berupa Jumalah harga Jual,Penggantian, Nilai

Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
b. Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
c. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak.
d. Nilai Impor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
e. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
f. Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan.
2. Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai
berikut :
a. Pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
b. Pemberian Cuma-Cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
c. Penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan
Harga Jual rata-rata.
d. Penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film.
e. Persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, adalah harga pasar yang wajar.
f. Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan atau
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang
Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut
ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar.
g. Kendaraan bermotor bekas adalah 10% dari harga Jual.
h. Penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang harus ditagih.
i. Jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
j. Jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan yang
diterima berupa service charge, provisi, dan diskon.
k. Penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya
dan penyerahan BKP dan atau JKP antar cabang adalahHargaJual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
l. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
adalah garga lelang.

D. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Mekanisme Pemungutan PPN dapat dilakukan dengan:


1. Menggunakan Faktur Pajak
Sebagai konsekuensi penggunaan credit method untuk menghitung PPN
yang terutang maka setiap penyerahan BKP/JKP, Pengusaha Kena Pajak yang
bersangkutan diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti
pemungutan pajak. Berdasarkan Faktur Pajak inilah akan dihitung jumlah
pajak yang terutang dalam satu masa pajak, yang wajib di bayar ke negara.
a. Pajak Masukan
Pajak Masukan adalah Pajak pertambahan Nilai yang seharusnya
sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah Pabean dan/atau
pemanfaatn Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabeandan/atau impor
Barang Kena Pajak.
b. Pajak Keluaran
Pajak Keluaran adalah Pajak pertambahan Nilai terutang yang wajib
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Brang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud, ekpor Brang Kena Pajka Tidak Berwujud, dan/atau
ekspor Jasa Kena Pajak.
c. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak
keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
PM < PK = Kurang Bayar a Setor
PM > PK = Lebih Bayar a Kompensasi/Restitusi
Restitusi terjadi apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali.
d. PM yang tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 ayat (2) UU PPN:
Perolehan BKP atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
PKP.
Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha.
Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan jeep,
station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang
dagangan atau disewakan.
Pemanfaatn BKP tidak berwujud atau oemanfaatan JKP dari luar
Daerah Bapean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
Perolehan BKP atau JKP yang bukti peungutannya berupa Faktur
Pajak Sederhana.
Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud bdalam Pasal 13 ayat (5).
Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari
luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).
Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih denngan
penerbitan ketetapan pajak.

Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan


dalam Surat Pemnberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai,
yangdiketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya palinglama 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.

2. Menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan


Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat
menggunakan pedoman penghitungan pengkrditan Pajak Masukan apabila
memenuhi syarat:
a. Mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya
tidak melebihi Rp 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta
rupiah) untuk setiap 1 (satu) tahun buku; atau
b. Wajib pajak yang baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang bermaksud menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak masukan harus memberitahukan secara tertulis kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan paling
lama
a. Pada saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak pertama dalam tahun buku dimulainya
penggunaan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, bagi
Pengusaha Kena Pajak
b. Pada saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai Masa pajak saat dikukuhkan sebagai Pengusaha kena
Pajak, bagi Wajib Pajak yang baru dikuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan pajak Masukan sebesar:
1. 60% (enam puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena
Pajak.
2. 70% (tujuh bpersen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena
Pajak.
Pengusaha Kena pajak yang dapat menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan adalah Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai
peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp 1.800.000.000,oo
(satu miliar delapan ratus juta rupiah).(PMK No.74/2010)
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan
Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma penghitungan Penghasilan Neto

sebagaimana dimaksud dalam UU PPh: dapat dihitung dengan menggunakan


pedomana penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan PMK NOMOR 45/PMK.03/2008 stdtd PMMK NOMOR
74/PMK.03/2010.
Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2012 tanggal 5 April
2012 menyatakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP
yang melakukan usaha tertentu, sebagai berikut:
1. Penyerahan Kendaraan bermotor Bekas: Pajak Masukan = 90% x pajak
keluaran
2. Penyerahan emas perhiasan secara eceran: pajak Masukan = 80% x Pajak
Keluaran

E. Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha kena
Pajak (PKP) yang melakukakn penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan,
tatacara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh
Direktur Jenderal pajak (PER-24/PJ/2012, tgl 22-11-2012). Faktur Pjaak harus diisi
secara lengkap, jelas dan bebar sesuai dengan keterangan Pasal 13 ayat (5)
Undang-Undang PPN tahun 1984 danperubahannya, serta ditandatangani oleh
pejabatkuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha kena Pajak untuk
menandatanganinya. Dalam hal diperlukan, Pengusaha Kena Pajak dapat
menambahkan keterangan lain dalam Faktur Pajak selain keterangan.
1. Faktur Pajak Gabungan
Faktur Pajak gabungan adalah Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan
yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
Pajak.
2. Dokumen Tertentu Yang Ditetapkan Sebagai Faktur Pajak
Dokumen-dokumen tersebut di bawah ini diperlukan sebagai Faktur Pajak:
a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB yang dilampiri surat setoran pajak
dan tau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
untuk impor Barang Kena Pajak.
b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh
pejabat yanng berwenang dari DirektoratJenderalnBea dan Cukai dan
dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan PEB tersebut.
c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/ dikeluarkan
oleh BULOG DOLOG untuk penyaluran tepung terigu.
d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/ dikeluarkan oleh
Pertamina untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM.
e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa
telekomunikasi.

f.

3.

4.

5.

6.

7.

Ticket, Tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Deliveru Bill,
yang dibuat/ dikeluarakan untuk penyerahan jasa angkutan udara
dalam negeri.
g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atan
pemnafaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean.
h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/ dikeluarakan untuk penyerahan
jasakepelabuhan.
i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.
Larangan Membuat Faktur Pajak
Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
Saat Pembuatan faktur Pajak
Faktur Pajak harus dibuat paling lambat:
a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan
Brang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak dalam hal pembayaran
diterima setelah akhir bulan berikkutnya setelah bulan penyerahan
Brang kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
b. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi
sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
c. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan
pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
sebelum penyerahan Jasa Kena pajak.
d. Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan
sebagai tahap pekerjaan.
e. Pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan
kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
Saat Pembuatan Faktur Pajak Gabungan
Faktur Pajak gabungan harus dibuat paling lambat:
a. Pada akhir bulan berikkutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian
atau seluruhnya terjadi setelah setelah berakhirnya bulan penyerahan
Barang Kena dan/atau Jasa Kena Pajak.
b. Pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau jasa Kena
Pajak, dalam hal pembayaran baik sebegian atau seluruhnya terjadi
sebelum berakhirnya bulan penyerahan Brang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak.
Penggantian Faktur Pajak
Tata cara penggantian faktur pajak yang hilang dapat dilakukan penggantian
dengan cara sebagai berikut:
a. Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak dapat
mengajukan permohonan tertulis untuk meminta copy dari Faktur
Pajak yang hilang kepada Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi
Jasa Kena Pajak dengan tembusan kepada Kantor Pelayanan Pajak di
tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa kena Pajak
dikukuhkan dan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat pengusaha
kena Pajak dikukuhkan.
Pembetulan Faktur Pajak

a. atas permintaan Pengusaha Kena Pajak pemebeli Barang kena pajak


atau penerima Jasa Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak
membuat Faktur Pajak Pengganti terhadap Faktur Pajak yang rusaj,
cacat, sakah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan.
b. Pembetulan faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam pengisian,
atau salah dalam penulisan tidak diperkenankan dengan cara
menghapus, atau mencoret, atau dengan cara lain , selain dengan
cara membuat Faktur Pajak Pengganti.
c. Faktur Pajak Pengganti, diisi berdasarkan keterangan yang seharusnya
dan dilampiri dengan Faktur pajak yang rusak, ccat, salah dalam
penulisan atau salah dalam pengisian tersebut.
d. Pada Faktur Pajak Pengganti, dibutuhkan cap yang mencantumkan
Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti tersebut.
e. Penerbitan Faktur Pajak pengganti mengakibatkan adanya kewajiban
untuk membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan faktur Pajak
tersebut.
f. Faktur Pajak Pengganti diulaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai pada:
Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur
Pajak yang diganti, dengan mencantumkan nilai setelah
penggantian.
Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Pengganti tersebut
dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN dan
PPnBM, untuk menjaga urutan Faktur Pajak yang diterbitkan
oleh Pengusaha Kena Pajak.
g. Pelaporan Faktur Pajak Pengganti pada Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak, harus mencantumkan Kode dan
Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti pada kolom yang telah
ditentukan.
8. Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak
Tata cara pembatalan faktur Pajak atas transaksi penyerahan barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena pajak:
a. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya telah
diterbitkan, maka Faktur Pajak tersebut harus dibatalkan.
b. Pembatalan transaksi harus didukung oleh bukti atau dokumen yang
membuktikan bahwa telah terjadi pembatalan transaksi. Bukti dapat
berupa pembatalan kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan
telah terjadi pembatalan transaksi.
c. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang melakukan pembatalan Faktur
Pajak harus memiliki b ukti dari Pengusaha Kena Pajak Pembeli yang
menyatakan bahwa transaksi dibatalkan.
d. Faktur Pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasi (di-simpan)
oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak
tersebut.
e. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang membatalkan Faktur Pajak harus
mengirimkan surat pemberitahuan dan copy dari Faktur Pajak yang
dibatalkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak

Penjual dikukuhkan dan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha


Kena Pajak Pembeli dikukuhkan.
f. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Penjual belum melaporkan Faktur
Pajak yang dibatalkan di dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, maka Pengusaha Kena PajakPenjual harus tetap
melaporkan Faktur Pajak tersebut alam Surat Pemberitahuan
Masapajak Pertambahan Nilai dengan mencantumkan nilai 0 (nol)
padfa kolom DPP, PPN atau PPN dan PPnBM.
g. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Penjual telah melaporkan Faktur
Pajak tersebuut dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai sebagai Faktur Pajak Keluaran, maka Pengusaha Kena Pajak
Penjual harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak yang bersangkutan, denmgan cara
melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan tersebut dan mencantumkan
nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN atau PPN dan PPnBM.
h. Dalam hal Pengusaha Kena pajak Pembeli telah melaporkan Faktur
Pajak yanng dibatalkan tersebut dalam Surat Pemberutahuan Masa
Pajak pertambahan Nilai sebagai faktur Pajak Masukan, maka
Pengusaha Kena Pajak Pembeli harus melakukan pembetulan Surat
pemberitahuan Masa Pajak Pemberitahuan Masa pajak Pertambahan
Nilai Masa pajak yang bersangkutan, dengan cara tetap melaporkan
Faktur Pajak yang dibatalkan tersebut dengan mencantumkan nilai 0
(nol) pada kolom DPP, PPN atau PPN dan PPnBM.

F. Impor dan/atau Penyerahan barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat


Strategis
Dalam pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak
pertambahan Nilai barang dan Jasa dan pajak Penjualat Atas Barang Mewah
sebagaimana telah bebrapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2009 ditetapkan jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN,
selain itu dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dan
meningkatkan daya saing, maka Pemerintah menetapkan jenis-jenis Brang Kena
Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nlai, yang bertujuan untuk menjamin tersedianya barang-barang
yang bersifat stretegis tersebut.
G. Kegiatan Pembangunan Sendiri yang dikenakan PPN
Bangunan permanen adalah bangunan yang konstruksi utamamnya terdiri dari
beton dan/atau kayu tahan lama dan/atau bahan lainyang umur bangunannya
lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun.
Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN apabila:
1. Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunaka sendiri
atau digunakan oleh pihak lain.

2. Bangunan yang dibangun sendiri diperuntukkan bagi tempat tinggal atau


usaha. Bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan atau konstruksi
yang semata-mata diperuntukkan bagi tempat tinggal (tidak termasuk
fasilitas olah raga atau fasilitas lain). Bangunan unutuk tempat usaha adalah
keseluruhan bangunan atau konstruksi yang diperuntukkan bagi tempat
usaha termasuk fasilitas yang ada., berdasarkan PMK 163/2012 yang berlaku
sejak 22 Oktober 2012, luas Bangunan 200 m2 atau lebih dikenakan PPN
membangun sendiri.

1. Tarif dan Pengenaan Pajak


a. Kegiatan membangun sendiri dikenanakan PPN 10% (sepuluh persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak.
b. Dasar Pengenaan pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20%
(dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau
dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
c. Termasuk dalam pengertian jumalah biaya yang dikeluarkan dan atau
dibayarkan untuk membangun snediri adalah juga jumlah PPN yang
dibayarkan atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan
membangun sendiri.
2. Saat dan Tempat Pajak Terutang
Saat yang mentukan PPN terurtang adalah saat dimulainya secara fisik
kegiatan membangun sendiri (menggali fondasi, memasang tiang pancang
dan lain-lain). Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap
dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang
waktuantara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Tempat
pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan
tersebut didirikan.

Anda mungkin juga menyukai