Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampai saat ini, terdapat banyak kasus keracunan dan pencemaran
lingkungan yang sulit terungkap, yang umumnya disebabkan karena seringkali
data yang diperlukan tidak cukup untuk dapat membuktikan penyebabnya,
seperti kasus Buyat, kasus keracunan di Magelang, kasus kematian aktivis
HAM Munir, dan kasus keracunan makanan yang seringkali terjadi di
beberapa daerah di Indonesia. Kurangnya pemahaman mengenai hal-hal apa
saja yang diperlukan untuk dapat membuat suatu kesimpulan mengenai kasus
terkait keracunan dan pencemaran lingkungan menjadikan strategi
pengumpulan data-data yang diperlukan seringkali tidak tepat.
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi
dalam dua kelompok, yang pertama bertujuan untuk mencari
penyebab kematian, misalnya kematian akibat keracunan
morfin, sianida, karbon monoksida, keracunan insektisida, dan
lain sebagainya, dan kelompok yang kedua adalah untuk
mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa
pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat
udara dan perkosaan dapat terjadi. Dengan demikian, tujuan
yang kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan
rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi.
Dalam ilmu kedokteran kehakiman, keracunan dikenal
sebagai salah satu penyebab kematian yang cukup banyak
sehingga keberadaannya tidak dapat diabaikan. Jumlah
maupun jenis reaksi pun semakin bertambah, apalagi dengan
makin banyaknya macam-macam zat pembasmi hama. Selain
karena faktor murni kecelakaan, racun yang semakin banyak
jumlah dan jenisnya ini dapat disalahgunakan untuk tindakantindakan kriminal. Walaupun tindakan meracuni seseorang itu
dapat dikenakan hukuman, tapi baik di dalam kitab UndangUndang Hukum Pidana maupun di dalam Hukum Acara Pidana
(RIB) tidak dijelaskan batasan dari keracunan tersebut,

TOKSIKOLOGI FORENSIK

sehingga banyak dipakai batasan-batasan racun menurut


beberapa ahli, untuk tindakan kriminal ini, adanya racun
harus dibuktikan demi tegaknya hukum.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skenario
LBM II
FORENSIC TOXICOLOGY
Vignette
A young couple found dead in a luxury car with the engine
running. Several tiny white and yellow pills were found inside the
car.
2.2 Terminologi
1. Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber sifat serta rahasia
racun, gejala, pengobatan pada keracunan serta kelainan yang di daptkan
pada korban meninggal. Ilmu yang sangat luar mencakup farmakologi,
kimia, forensik medicine.
2. Racun adalah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik
yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau
kematian
2.3 Permasalahan
1. Apa yang sebenarnya terjadi pada sepasang kekasih di dalam mobil
mewah ??
Kemungkinan keracunan karbonmonoksida yang bisa di picu atau
tidak dipicu oleh pill kuning dan putih
2. Faktor yang mempengaruhi keracunan ?
- Cara masuk : lebih cepat masuk melalui inhalasi

TOKSIKOLOGI FORENSIK

Umur : anak dan orang tua lebuh rentan, bayi prematur lebih rentan

terkena racun akibat obat-obatan


Kondisi tubuh : terutama peny. Ginjal

Kebiasaan : pengguna alkohol dan morfin


Idiosinkrasi dan alergi pada vit e, penisilin, streptomisin, prokain
Waktu pemberian : jika sebelum makan maka efeknya lebih cepat
Racun itu sendiri : toksisitas racun, dosis racun

3. Mekanisme kerja racun dalam tubuh ?


- Lokal
1. Iritatif
2. Anastetik
3. Korosif
- Sistemik
1. Narkotika, barbiturat dan alkohol : berpengaruh pada ssp
2. Digitalis dan as. Oksalat : pengaruh pada jantung
3. Karbonmonoksida atau sianida : sistem enzim pernapasan dalam

sel
4. Insektisida gol klorinat hidrokarbon dan fosfor organik : pada hati
5. Strychnine : pada medula spinalis
6. Cantarides : pada ginjal
Lokal dan sistemik :
1. As. Oklsalat
2. As. Karbon
3. Arsen
4. Garam pb timbal

4. Cara racun masuk ke dalam tubuh ?


- Ditelan atau perolar atau ingesti
- Inhalasi atau di hirup
- Injeksi atau parenteral
- Penyerapan melalui kulit yang sehat atau sakit
- Perektal atau pervaginam
5. Jenis-jenis racun ?
- Dapat dibagi berdasarkan sumber :
1. Tumbuh-tumbuhan
2. Hewan
3. Mineral
4. Sintetis
-

Dari tempatnya :
1. Alam bebas
2. Rumah tangga
3. Industri
4. Laboratorium

TOKSIKOLOGI FORENSIK

5. Makanan
6. Obat
7. Pertanian
-

Dari organ tubuh :


1. Hepatotoksisk
2. Nefrotoksisk

Cara kerja atau efek yang ditimbulkan :


1. Lokal
2. Sistemik
3. Lokal dan sistemik

6. Kriteria diagnosis ?
- Anamnesa kontak korban dengan racun
- Adanya tanda-tanda serta gejala dari racun yang diduga
- Dari sisa benda bukti
- Dari bedah mayat
- Analisa kimia atau toksikologik
7. Pemeriksaan laboratorium pada korban keracunan ?
- Yang dapat dilakukan untuk mengambil sampel selain dengan cara
yang telah disebutkan, adalah:
1. Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)
2. Darah
3. Tempat keluar (urin, empedu)
8. Prinsip pengobatan pada kasus keracunan ?
- Pengobatan terhadap kasus keracunan terutama berdasarkan cara masuk
-

racun ke dalam tubuh.


Bila racun ditelan, keluarkan racun tersebut sebanyak mungkin, dengan
jalan memuntahkan (dengan merangsang dinding faring atau pemberian

emetik, misalnya sirup ipecacuanha).


Tetapi jika kesadaran sangat menurun, atau racun bersifat korosif atau
racun terlarut dalam minyak, maka uasaha untuk memuntahkan merupakan
indikasi kontra.

9. Analisis toksikologi ?
Analisa tentang adanya racun.
Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.
Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.
Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun
organophospat.

TOKSIKOLOGI FORENSIK

Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate,


narkotika, ganja, dan lain sebagainya.

2.4 Toksikologi Forensik


1) Definisi dan Peran Toksikologi Forensik
Toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos)
merupakan studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu
zat terhadap organisme/mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari
mengenai gejala, mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan
pada sistim biologis makhluk hidup. Toksikologi sangat bermanfaat untuk
memprediksi atau mengkaji akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik
dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya.
Toksikologi forensik, adalah penerapan toksikologi untuk
membantu investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan
maupun penggunaan obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup
pula disiplin ilmu lain seperti kimia analitik, farmakologi, biokimia dan
kimia kedokteran.
Hal yang menjadi perhatian utama dalam toksikologi forensik
bukanlah keluaran aspek hukum dari investigasi secara toksikologi, namun
mengenai teknologi dan teknik dalam memperoleh serta menginterpretasi
hasil seperti: pemahaman perilaku zat, sumber penyebab keracunan,
metode pengambilan sampel dan metode analisa, interpretasi data terkait
dengan gejala/efek atau dampak yang timbul serta bukti-bukti lainnya
yang tersedia.
Seorang ahli toksikologi forensik harus mempertimbangkan
keadaan suatu investigasi, khususnya adanya catatan mengenai gejala
fisik, dan adanya bukti apapun yang berhasil dikumpulkan dalam lokasi
kriminal/kejahatan yang dapat mengerucutkan pencarian, misalnya adanya

TOKSIKOLOGI FORENSIK

barang bukti seperti botol obat-obatan, serbuk, residu jejak dan zat toksik
(bahan kimia) apapun yang ditemukan.
Dengan informasi tersebut serta sampel yang akan diteliti, ahli
toksikologi forensik harus dapat menentukan senyawa toksik apa yang
terdapat dalam sampel, dalam konsentrasi berapa, dan efek yang mungkin
terjadi akibat zat toksik tersebut terhadap seseorang (korban). Dalam
mengungkap kasus kejahatan lingkungan, toksikologi forensik digunakan
untuk memahami perilaku pencemar, mengapa dapat bersifat toksik
terhadap biota dan manusia, dan sejauhmana risikonya, serta
mengidentifikasi sumber dan waktu pelepasan suatu bahan pencemar.
Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik.
Menurut Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah the
application of science to low, maka secara umum ilmu forensik (forensik
sain) dapat dimengerti sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu
pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan peradilan.
Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek
berbahaya zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu
organisme. Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang
berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan
oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimis toksikan
tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap
organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Tosikologi forensik
menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk
kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah
melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik
dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada
atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan,
sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil
analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu
laporan yang sesuai dengan hukum dan perundanganundangan.
Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut
dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan. Jadi toksikologi
forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi untuk
keperluan penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi forensik

TOKSIKOLOGI FORENSIK

merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh


berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia
instrumentasi, farmakologitoksikologi, farmakokinetik, biotransformasi.

2) Prinsip Dasar dalam Investigasi Toksikologi


Dalam menentukan jenis zat toksik yang menyebabkan keracunan,
seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi
dalam tubuh manusia. Jarang sekali suatu bahan kimia bertahan dalam
bentuk asalnya didalam tubuh. Bahan kimia, ketika memasuki tubuh akan
mengalami proses ADME, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi. Misalnya, setelah memasuki tubuh, heroin dengan segera
termetabolisme menjadi senyawa lain dan akhirnya menjadi morfin,
menjadikan investigasi yang lebih detil perlu dilakukan seperti jenis
biomarker (petanda biologik) zat racun tersebut, jalur paparan zat, letak
jejak injeksi zat pada kulit dan kemurnian zat tersebut untuk
mengkonfirmasi hasil diagnosa. Zat toksik juga kemungkinan dapat
mengalami pengenceran dengan adanya proses penyebaran ke seluruh
tubuh sehingga sulit untuk terdeteksi.
Walaupun zat racun yang masuk dalam ukuran gram atau
miligram, sampel yang diinvestigasi dapat mengandung zat racun atau
biomarkernya dalam ukuran mikrogram atau nanogram, bahkan hingga
pikogram.
Bapak Toksikologi Modern, Paracelsus (1493-1541) menyatakan
bahwa "semua zat adalah racun; tidak ada yang bukan racun. Dosis yang
tepat membedakan suatu racun dengan obat". Toksikan (zat toksik) adalah
bahan apapun yang dapat memberikan efek yang berlawanan (merugikan).
Racun merupakan istilah untuk toksikan yang dalam jumlah sedikit (dosis
rendah) dapat menyebabkan kematian atau penyakit (efek merugikan)
yang secara tiba-tiba. Zat toksik dapat berada dalam bentuk fisik (seperti
radiasi), kimiawi (seperti arsen, sianida) maupun biologis (bisa ular). Juga
terdapat dalam beragam wujud (cair, padat, gas). Beberapa zat toksik

TOKSIKOLOGI FORENSIK

mudah diidentifikasi dari gejala yang ditimbulkannya, dan banyak zat


toksik cenderung menyamarkan diri.
Sulit untuk mengkategorisasi suatu bahan kimia sebagai aman atau
beracun. Tidak mudah untuk membedakan apakah suatu zat beracun atau
tidak. Prinsip kunci dalam toksikologi ialah hubungan dosis-respon/Efek.
Kontak zat toksik (paparan) terhadap organisme/tubuh dapat melalui jalur
tertelan (ingesti), terhirup (inhalasi) atau terabsorpsi melalui kulit. Zat
toksik umumnya memasuki organisme/tubuh dalam dosis tunggal dan
besar (akut), atau dosis rendah namun terakumulasi hingga jangka waktu
tertentu (kronis).
Tabel Contoh zat-zat toksik dan gejalanya.
Zat Toksik
Asam (nitrat, hidroklorat, sulfat)

Gejala
Luka bakar pada kulit, mulut, hidung,
membran mukosa

Anilin

Kulit muka dan leher menghitam (gelap)

Arsen

Diare parah

Atropin

Pelebaran pupil mata

Basa (kalium, hidroksida)

Luka bakar pada kulit, mulut, hidung,


membran mukosa

Asam karbolat (atau fenol

Bau desinfektan

lainnya) Karbon monoksida

Kulit berwarna merah terang Kematian

Sianida

cepat, kulit memerah

Keracunan makanan

Muntah, nyeri perut

Senyawa logam

Diare, muntah, nyeri perut

Nikotin

Kejang

Asam oksalat

Bau bawang putih

Natrium fluorida

Kejang

Striknin

Kejang, muka dan leher menghitam (gelap)

3) Analisis Toksikologi
Analisis toksikologi merupakan pemeriksaan
laboratorium yang berfungsi untuk:

TOKSIKOLOGI FORENSIK

1.
2.
3.
4.

Analisa
Analisa
Analisa
Analisa

tentang
tentang
tentang
tentang

adanya
adanya
adanya
adanya

racun.
logam berat yang berbahaya.
asam sianida, fosfor dan arsen.
pestisida baik golongan

organochlorin maupun organophospat.


5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya:
transquilizer, barbiturate, narkotika, ganja, dan lain
sebagainya.
Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan
penentuan jumlah zat yang bukan merupakan
komponen normal dalam material biologis yang
didapatkan dalam otopsi. Guna toksikologi adalah
menolong menentukan sebab kematian.
Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang
masih hidup, misalnya darah, rambut, potongan kuku
atau jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini
membantu dalam menentukan kasus-kasus yang diduga
keracunan. Pada pengiriman material untuk analitikal
toksikologi, diharapkan dokter mengirimkan material
sebanyak mungkin, dengan demikian akan
memudahkan pemeriksaan dan hasilnya akan lebih
sempurna. Jaringan tubuh masing-masing memiliki
afinitas yang berbeda terhadap racun-racun tertentu,
misalnya:
-

Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk


pemeriksaan racun-racun organis, baik yang mudah

menguap maupun yang tidak mudah menguap.


Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk

menentukan keracunan logam berat yang akut.


Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk
analisa zat organik non volatile, misalnya obat sulfa,
barbiturate, salisilat dan morfin.

TOKSIKOLOGI FORENSIK

Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material


yang baik untuk pemeriksaan keracunan logam yang
bersifat kronis.
Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat
ditemukan dalam darah atau organ parenkim ataupun
urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka
belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut.
Penemuan racun-racun yang efeknya sistemik dalam
lambung hanyalah merupakan penuntun bagi seorang
analis toksikologi untuk memeriksa darah, organ, dan
urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung tadi.
Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka penentuan
dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat
diagnosa.
Secara umum tugas analisis toksikolog forensik (klinik) dalam
melakukan analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu:
1. penyiapan sampel sample preparation
2. analisis meliputi uji penapisan screening test atau dikenal juga
dengan general unknown test dan uji konfirmasi yang meliputi uji
identifikasi dan kuantifikasi
3. langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan
laporan analisis.
Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa
obat dan makanan, analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi
forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi target analisis,
tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering
hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi
forensik, karena seperti diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan
jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk
mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali
dari informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak
wajar akibat keracunan, tindak kekerasan dibawah pengaruh obat-

TOKSIKOLOGI FORENSIK

10

obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat


kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi
penyidik.
Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak
diketemukan senyawa induk, melainkan metabolitnya. Sehingga dalam
melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa metabolit juga
merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi forensik pada
umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin,
air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah
salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik
disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi.
Berbeda dengan analisis kimia lainnya, hasil indentifikasi dan
kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari analisis
toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus
mampu menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan
dengan kadar tertentu dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan
(pada kasus kematian).
4) Kriteria Diagnosis Kasus Keracunan
Anamnesa yang menyatakan bahwa korban
benar-benar kontak dengan racun (secara injeksi,
inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau
mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan
pegangan sepenuhnya sebagai kriteria diagnostik,
misalnya pada kasus bunuh diri keluarga korban
tentunya tidak akan memberikan keterangan yang
benar, bahkan malah cenderung untuk
menyembunyikannya, karena kejadian tersebut
merupakan aib bagi pihak keluarga korban.

Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan


tanda / gejala keracunan zat yang diduga.

TOKSIKOLOGI FORENSIK

11

Adanya tanda/gejala klinis biasanya hanya terdapat


pada kasus yang bersifat darurat dan pada prakteknya
lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai
dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian
karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama
pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang
sebelumnya dalam keadaan sehat.

Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya


racun di dalam sisa makanan / obat / zat yang
masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa
sewaktu zat yang digunakan korban itu adalah racun
(walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan
secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan
seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti,
atau si korban menelan semua racun kriteria ini
tentunya tidak dapat dipakai.

Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh


korban, baik secara makroskopik atau
mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang
diakibatkan oleh racun yang bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada
setiap kasus keracunan, selain untuk menentukan jenisjenis racun penyebab kematian, juga penting untuk
menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab
kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus
yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana
pada kasus-kasus seperti ini kita tidak akan
menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang

TOKSIKOLOGI FORENSIK

12

dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ


yang bersangkutan.

Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya


racun atau metabolitnya di dalam tubuh /
jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus
dilakukan. Tanpa pemeriksaan tersebut, visum et
repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki
arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan
dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh
terpaku pada dosis letal sesuatu zat, mengingat faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kerja racun.
Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara
sistematik, diagnosa kematian karena racun tidak dapat
ditegakkan misalnya hanya berdasar pada
ditemukannya racun dalam lambung korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan
sebab kematian pada kasus-kasus keracunan seperti
tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima
merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh
dilupakan.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik
Bila dibandingkan dengan kelainan atau penyakit yang ditimbulkan
oleh bakteri, kuman, virus atapun trauma; maka keracunan kasusnya relatif
sedikit, sehingga tidak jarang terjadi kekeliruan dalam penanganan pasien.
Oleh karena itu, perlu diketahui pada keadaan apa saja pemeriksaan
toksikologi diperlukan.
pada kasus kematian mendadak,
pada kematian mendadak yang terjadi pada sekelompok orang,
pada kematian yang dikaitkan dengan tindakan abortus,

TOKSIKOLOGI FORENSIK

13

pada kasus perkosaan atau kejahatan seksual lainnya,


pada kecelakaan transportasi, khususnya pada pengemudi dan
pilot,
pada kasus penganiyaan atau pembunuhan (selektif),
pada kasus yang memang diketahui atau patut diduga menelan
racun,
pada kematian setelah tindakan medis, penyuntikan, operasi dan
lain sebagainya.
Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2
golongan, yang sejak semula sudah dicurigai kematian akibat
keracunan dan kasus yang sampai saat sebelum diautopsi dilakukan,
belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan.
Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracunan bila
pada pemeriksaan setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan
akan keracunan, bila pada autopsi ditemukan kelainan yang lazim
ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat
yang tidak biasa, luka bekas suntikan sepanjang vena dan keluarnya
buih dari mulut dan hidung serta bila pada autopsi tidak ditemukan
penyebab kematian.
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan penting, yaitu:
1. Pemeriksaan di tempat kejadian
Perlu dilakukan untuk membantu penentuan penyebab
kematian dan menentukan cara kematian, mengumpulkan
keterangan sebanyak mungkin tentang saat kematian,
mengumpulkan barang bukti.
2. Pemeriksaan luar
Bau. Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa
yang kiranya ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksa
berada di samping mayat ia harus menekan dada mayat untuk
menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari
lubang-lubang hidung dan mulut.

TOKSIKOLOGI FORENSIK

14

Pakaian. Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang


disebabkan oleh tercecernya racun yang ditelan atau oleh
muntahan. Misalnya bercak berwarna coklat karena asam sulfat
atau kuning karena asam nitrat. Pada pembunuhan biasanya

bercak tidak beraturan karena telah disiram.


Lebam mayat. Warna lebam mayat yang tidak biasa juga
mempunyai makna, karena warna lebam mayat pada dasarnya
adalah manifestasi warna darah yang tampak pada kulit. Pada
keracunan sianida, berwarna merah terang, pada keracunan CO
berwarna cherry-red, pada keracunan aniline, nitrobenzene,
kina, potassium-chlorate dan acetanilide, berwarna coklat

kebiruan.
Bercak disekitar mulut. Pada keracunan yodium, kulit
menjadi hitam, pada keracunan nitrat, kulit menjadi kuning,
dan pada keracunan zat korosif, terdapat luka bakar berwarna

merah.
Perubahan warna kulit. Pada hiperpigmentasi atau melanosis
dan keratosis pada telapak tangan dan kaki pada keracunan
arsen kronik. Kulit berwarna kelabu kebiru-biruan akibat
keraunan perak (Ag) kronik (deposisi perak dalam jaringan ikat
dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan
tembaga (Cu) dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan
insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan

fungsi hati.
Kuku. Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang
menebal yang tidak teratur. Pada keracunan Talium kronik

ditemukan kelainan trofik pada kuku.


Rambut. Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada

keracunan talium, arsen, air raksa dan boraks.


Sklera. Tampak ikterik pada keracunan dengan zat
hepatotoksik seperti fosfor, karbon tetraklorida. Perdarahan
pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa ular.

3. Pembedahan jenazah

TOKSIKOLOGI FORENSIK

15

Segera setelah rongga dada dan perut dibuka, tentukan apakah


terdapat bau yang tidak biasa (bau racun). Bila pada pemeriksaan
luar tidak tercium "bau racun" maka sebaiknya rongga tengkorak
dibuka terlebih dahulu agar bau visera perut tidak menyelubungi
bau tersebut, terutama bila dicurigai adalah sianida. Bau sianida,
alkohol, kloroform, dan eter akan tercium paling kuat dalam
rongga tengkorak.
Perhatikan warna darah. Pada intoksikasi dengan racun yang
menimbulkan hemolisis (bisa ular), pirogarol, hidrokuinon,
dinitrophenol dan arsen. Darah dan organ-organ dalam
berwarna coklat kemerahan gelap. Pada racun yang
menimbulkan gangguan trombosit, akan terdapat banyak
bercak perdarahan, pada organ-organ. Bila terjadi keracunan
yang cepat menimbulkan kematian, misalnya sianida, alkohol,
kloroform maka darah dalam jantung dan pembuluh darah
besar tetap cair tidak terdapat bekuan darah.

Pada lidah perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau


kapsul obat atau menunjukan kelainan disebabkan oleh zat
korosif. Pada esophagus bagian atas dibuka sampai pada ikatan
atas diafragma. Adakah terdapat regurgitasi dan selaput lendir
diperhatikan akan adanya hiperemi dan korosi. Pada epiglotis
dan glotis perhatikan apakah terdapat hiperemi atau edema,
disebabkan oleh inhalasi atau aspirasi gas atau uap yang
meransang atau akibat regurgitasi dan aspirasi zat yang
meransang. Edema glotis juga dapat ditemukan pada
pemakaian akibat syok anafilaktik, misalnya akibat penisilin.
Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan kelainan yang tidak
spesifik, berupa pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang
meransang seperti klorin dan nitrogen oksida ditemukan
pembendungan dan edema hebat, serta emfisema akut karena
terjadi batuk, dipsneu dan spasme bronki. Pada lambung dan

TOKSIKOLOGI FORENSIK

16

usus dua belas jari lambung dibuka sepanjang kurvakura mayor


dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau yang tidak biasa.
Perhatikan isi lambung warnanya dan terdiri dari bahan-bahan
apa. Bila terdapat tablet atau kapsul diambil.6 dengan sendok
dan disimpan secara terpisah untuk mencegah disintegrasi
tablet/kapsul. Pada kasus-kasus non-toksikologik hendaknya
pembukaan lambung ditunda sampai saat akhir otopsi atau
sampai pemeriksa telah menemukan penyebab kematian. Hal
ini penting karena umumnya pemeriksa baru teringat pada
keracunan setelah pada akhir autopsi ia tidak dapat menemukan
penyebab kematian.
Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi
beberapa jam setelah korban menelan zat beracun dan ini ingin
diketahui berapa lama waktu tersebut. Pada hati apakah
terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak
sering ditemukan pada peminum alkohol. Nekrosis dapat
ditemukan pada keracunan fosfor, karbon tetraklorida, klorform
dan trinitro toulena.
Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal
dapat disebabkan oleh racun yang meransang. Ginjal agak
membesar, korteks membengkak, gambaran tidak jelas dan
berwarna suram kelabu kuning. Perubahan ini dapat dijumpai
pada keracunan dengan persenyawaan bismuth, air raksa,
sulfonamide, fenol, lisol, karbon tetraklorida. Umumnya
analisis toksikologik ginjal terbatas pada kasus-kasus
keracunan logam berat atau pada pencarian racun secara umum
atau pada pemeriksaan histologik ditemukan Kristal-kristal
Caoksalat atau sulfonamide.
Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang
bersih, seluruh urin diambil dari kandung kemih. Bila bahan
akan dikirim ke kota lain untuk dilakukan pemeriksaan maka
urin dibiarkan berada dalam kandung kemih dan dikirim
dengan cara intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan tali.

TOKSIKOLOGI FORENSIK

17

Walaupun kandung kemih dalam keadaan kosong, kandung


kemih harus tetap diambil untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan otak biasanya tidak ditemukan adanya edema otak
pada kasus kematian yang cepat, misalnya pada kematian
akibat barbiturat, eter dan juga pada keracunan kronik arsen
atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat
ditemukan pada keracunan karbonmonoksida, barbiturat,
nitrogen oksida, dan logam berat seperti air raksa air raksa,
arsen dan timah hitam. Obat-obat yang bekerja pada otak tidak
selalu terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam jaringan otak.
Pada pemeriksaan jantung dengan kasus keracunan karbon
monoksida bila korban hidup selama 48 jam atau lebih dapat
ditemukan perdarahan berbercak dalam otot septum
interventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris
pada muskulus papilaris ventrikel kiri dengan garis menyebar
radier dari ujung otot tersebut sehingga tampak gambaran
seperti kipas.
Pada pemeriksaan limpa selain pembendungan akut limpa tidak
menunjukkan kelainan patologik. Pada keracunan sianida,
limpa diambil karena karena kadar sianida dalam limpa
beberapa kali lebih besar daripada kadar dalam darah. Empedu
merupakan bahan yang baik untuk penentuan glutetimida,
quabaina, morfin dan heroin. Pada keracunan karena inhalasi
gas atau uap beracun, paru-paru diambil, dalam botol kedap
udara.
Jaringan lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak
bawah kulit daerah perut. Beberapa racun cepat di absorpsi
dalam jaringan lemak dan kemudian dengan lambat dilepaskan
ke dalam darah. Jika terdapat persangkaan bahwa korban
meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar tempat
suntikan diambil dalam radius 5-10 cm.
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus
diambil. Rambut diikat terlebih dahulu sebelum dicabut, harus
berikut akar-akarnya, dan kemudian diberi label agar ahli

TOKSIKOLOGI FORENSIK

18

toksikologi dapat mengenali mana bagian yang proksimal dan


bagian distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa
menggunakan pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap
bagian rambut yang telah digunting beberapa bagian yang
dimulai dari bagian proksimal dan setiap bagian panjangnya
inci atau 1 cm. terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar
arsennya. Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu
harus terdapat kuku-kuku kedua ibu jari tangan dan ibu jari
kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa diawetkan. Ahli
toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari
proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3 bagian
proksimal.
5) Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologi
Para dokter hendaknya mengetahui dengan baik
bahan apa yang harus diambil, cara mengawetkan dan
cara pengiriman.
Tidak jarang seorang dokter mengirimkan bahan
yang salah atau dalam jumlah terlampau sedikit. Dengan
demikian jelas bahwa ahli toksikologi tidak dapat
memenuhi permintaan dokter tersebut.
Pada semua kasus, bahan tersebut di bawah ini perlu
diambil. Sekalipun dokter yang melakukan autopsi sudah
memperoleh petunjuk yang kuat bahwa ia sedang
menghadapi satu jenis racun, hendaknya ia tetap
mengambil bahan-bahan secara lengkap.
Misalnya, sudah jelas bahwa karbon monoksida
adalah racun penyebab kematian sehingga pada
hakekatnya pengiriman darah saja sudah cukup untuk
pemeriksaan toksikologi. Tetapi selalu terdapat
kemungkinan bahwa setelah beberapa hari timbul
kecurigaan akan adanya racun lain terlibat dalam kematian
tersebut. Misalnya, korban diberi obat tidur terlebih dahulu

TOKSIKOLOGI FORENSIK

19

sebelum ia diracuni dengan gas yang mengandung kabon


monoksida. Untuk penentuan racun lain itu dibutuhkan
bahan-bahan lain, selain darah.
Adalah lebih baik mengambil bahan dalam keadaan
segar dan lengkap pada waktu autopsi daripada harus
kemudian mengadakan penggalian kubur untuk mengambil
bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis
toksikologik atas jaringan yang sudah busuk atau yang
sudah diawetkan (dengan formalin)
Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara
terpisah dari sebelah kanan dan sebelah kiri masingmasing sebanyak 50 ml. Darah tepi sebanyak 30-50 ml,
diambil dari vena iliaka komunis bukan darah dari vena
porta. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan
yang terpenting, diambil 2 contoh darah masing-masing 5
ml, yang pertama diberi pengawet NaF 1% dan yang lain
tanpa pengawet.
Urin diambil semua yang ada di dalam kandung kemih
untuk pemeriksaannya. Pada mayat diambil lambung
beserta isinya. Usus beserta isinya berguna terutama bila
kematian terjadi dalam waktu beberapa jam setelah
menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat kematian
dan dapat pula ditemukan pil yang tidak hancur oleh
lambung. Seluruh usus dengan isinya dengan membuat
sekat dengan ikatan-ikatan pada usus setiap jarak sekitar
60 cm.
Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk
pemeriksaan patologi anatomi dengan alasan takaran
forensik kebanyakan racun sangat kecil, hanya beberapa
mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh sangat rendah
dan untuk menemukan racun, bahan pemeriksaan harus

TOKSIKOLOGI FORENSIK

20

banyak, serta hati merupakan tempat detoksikasi tubuh


terpenting. Hati yang diambil sebanyak 500 gram.
Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada
keadan intoksikasi logam, pemeriksaan racun secara
umum dan pada kasus dimana secara histologik ditemukan
Caoksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan lipoid
dalam otak mampu menahan racun Misalnya CHCI3 tetap
ada walaupun jaringan otak telah membusuk. Otak bagian
tengah penting pada intoksikasi CN karena tahan terhadap
pembusukan. Otak diambil sebanyak 500 gram. Untuk
menghidari cairan empedu mengalir ke hati dan
mengacaukan pemeriksaan, sebaiknya kandung empedu
jangan dibuka.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengambil
sampel selain dengan cara yang telah disebutkan, adalah:
1.
Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)
2.
Darah
3.
Tempat keluar (urin, empedu)
Wadah Bahan Pemeriksaan Toksikologi. Idealnya
terdiri dari 9 wadah dikarenakan masing-masing bahan
pemeriksaan diletakkan secara tersendiri, yaitu:
1. peles 2 liter untuk hati dan usus
2. 3 peles 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak
dan ginjal
3. 4 botol a 25 ml untuk darah (2 buah), urin dan
empedu
4. Wadah harus dibersihkan dahulu dengan mencucinya
memakai asam kromat hangat dan dibilas dengan
aquades serta dikeringkan.
5. Bahan Pengawet. Yang terbaik adalah tanpa bahan
pengawet, bila terpaksa dapat digunakan bahan
-

pengawet:
Alkohol absolut
Larutan garam dapur jenuh
Larutan NaF 1 %
Larutan NaF + Na sitrat

TOKSIKOLOGI FORENSIK

21

Na benzoat + fenil merkuri nitrat


Volume pengawet sebaiknya dua kali volume bahan

pemeriksaan.
6) Jenis-jenis Racun
Berdasarkan sumber dapat digolongkan menjadi racun yang
berasal dari
- tumbuh-tumbuhan; opium, kokain, kurare, aflatoksin.
- hewan; bisa/toksin ular/laba-laba/hewan laut. Mineral; arsen,

timah hitam.
- sintetik; heroin.
Berdasarkan tempat dimana racun berada, dapat dibagi menjadi
racun yang terdapat
- di alam bebas, misalnya gas racun di alam, racun yang
terdapat di rumah tangga misalnya deterjen, insektisida,
-

pembersih.
Racun yang digunakan dalam pertanian misalnya

insektisida, herbesida, pestisida.


Racun yang digunakan dalam industri laboratorium dan

industri misalnya asam dan basa kuat, logam berat.


Racun yang terdapat dalam makanan misalnya CN di dalam
singkong, toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta
racun dalam bentuk obat misalnya hipnotik sedatif.

Berdasarkan atas kerja atau efek yang ditimbulkan. Ada racun


yang bekerja secara lokal, sistemik dan lokal-sistemik.
- Racun lokal, adalah racun yang merusak kulit, terutama
berasal dari asam atau basa kuat atau zat kimia lain, seperti:
H2SO4, HNO3, HCL, dan NaOH. Keracunan zat ini ditandai
dengan : Rasa terbakar, Panas di mulut, sukar menelan,
haus yang hebat, muntah berwarna hitam. Sakit perut,
Oliguria, konstipasi. Setelah 12 jam dapat terjadi asfiksia,
-

perforasi lambung, dan neurogenic syok.


Racun sistemik, misalnya pada keracunan morfin, bisa

terjadi asfiksia, edema paru, depresi SSP, bahkan kematian.


Racun lokal dan sistemik. Bersifat kongestif terhadap
mukosa dan erosif terhadap tunika muscularis GIT.

TOKSIKOLOGI FORENSIK

22

Penderita muntah, kolik, diare, serta mengalami gangguan


hati dan ginjal
7) Faktor-faktor yang mempengaruhi keracunan
Cara masuk
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya
racun secara inhalasi. Cara masuk lain secara
berturut-turut melalui intravena, intramuskular,
intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat

ialah melalui kulit yang sehat.


Umur
Orang tua dan anak-anak lebih sensitif
misalnya pada barbiturat. Bayi prematur lebih rentan
terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal
belum sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati

belum cukup.
Kondisi tubuh
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih
mudah mengalami keracunan. Pada penderita
demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih
lambat.

Kebiasaan
Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin
dikarenakan terjadi toleransi pada orang yang

mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol4.


Idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E, penisilin,
streptomisin dan prokain.
Pengaruh langsung racun tergantung pada
takaran, makin tingi takaran maka akan makin cepat
(kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada
racun yang bersifat lokal, misalnya asam sulfat.

8) Jenis-Jenis Keracunan
A. Keracunan Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah
manusia. Sejak dikenal cara membuat api, manusia senantiasa

TOKSIKOLOGI FORENSIK

23

terancam oleh asap yang mengandung CO. Gas CO adalah gas yang
tidak berwarna, tidak berbau dan tidak meransang selaput lendir,
sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar. Sejak
penggantian batu bara dengan gas alam, insidensi kematian akibat
karbon monoksida telah berkurang.
Kandungan CO dihasilkan juga oleh bensin sekitar 4-8%, mesin
diesel menghasilkan kadar CO yang lebih rendah. Walaupun gas
pembuangan kendaraan bermotor akan terbawa ke udara sampai ke
atmosfer, tetapi kadar CO yang rendah tersebut tetap berbahaya.
Terlebih lagi polisi dan petugas lalu lintas yang bekerja di jalan raya.
Kadar saturasi CO pada hemoglobin orang-orang tersebut dapat
mencapai 10 persen.
Keracunan CO dipengaruhi dengan keadaan lingkungan seperti
ventilasi yang minimal, ruangan yang tertutup sehingga gas CO dapat
terhirup. Pada kasus bunuh diri, cara yang sering dilakukan adalah
korban duduk di mobil dengan jendela terbuka pada garasi yang
tertutup, sehingga mereka dapat mengirup gas pembuangan tersebut.
Pada kasus kebakaran banyak korban meninggal bukan karena api ,
melainkan karena menghisap asap yang sebagian besar kandungan
asap tersebut adalah CO. Banyak proses industrial yang menyebabkan
keracunan CO khususnya pembuatan besi dan baja.
Gas CO memiliki afinitas yang tinggi terhadap hemoglobin dalam
darah. Kekuatan kombinasi ini 250x lebih kuat dibandingkan ikatan
hemoglobin dengan oksigen. Hal ini mengakibatkan walaupun
konsentrasi CO yang rendah dapat menggantikan oksigen dari sel
darah merah dan secara progresif mengurangi kemampuan sel darah
dalam transportasi oksigen ke jaringan. Konsentrasi CO yang kuat
dapat membunuh.
Kadar saturasi carboxyhaemoglobin (ikatan CO dengan
hemoglobin) di atas 50-60% berakibat fatal pada orang dewasa yang
sehat. Orang yang berusia lanjut, memiliki penyakit paru-paru atau
penyakit jantung dapat meninggal pada kadar CO yang rendah, bahkan
pada kadar saturasi 25%. Gejala dari keracunan CO bersifat progresif

TOKSIKOLOGI FORENSIK

24

sehingga korban tidak mendapat tanda apapun kecuali sakit kepala,


hingga mereka pingsan hingga koma. Pada kadar sekitar 30-40% dapat
terjadi nausea, dapat disertai vomit, pingsan, kehilangan ketajaman
penglihatan, lemah, dan dapat jatuh ke dalam tahap stupor dan dapat
terjadi koma. Pada kadar sekitar 40-50% terjadi sickness, lemah,
inkoordinasi, convulsions, dan koma dapat terus berjalan hingga terjadi
kegagalan kardiorespirasi dan kematian. Beberapa orang dewasa yang
sehat dapat mencapai kadar 70% atau lebih sebelum meninggal.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CO


Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya
berdasarkan anamnesis adanya kontak dan di temukannya gejala
keracunan CO.-Pada korban yang mati tidak lama setelah
keracunan CO, ditemukan lebam mayat berwarna merah terang
(cherry pink colour) yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai
30% atau lebih. Warna lebam mayat seperti itu juga dapat
ditemukan pada mayat yang di dinginkan, pada korban keracunan
sianida dan pada orang yang mati akibat infeksi oleh jasad renik
yang mampu membentuk nitrit, sehingga dalam darahnya terbentuk
nitroksi hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di bedakan
dengan pemeriksaan sederhana.
Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN,
penampang ototnya berwarna biasa, tidak merah terang. Juga pada
mayat yang di dinginkan warna merah terang lebam mayatnya
tidak merata selalu masih ditemukan daerah yang keunguan (livid).
Sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera dan darah
juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda
khas lain. Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan
hiperemia visera. Pada otak besar dapat ditemukan petekiae di
substansia alba bila korban dapat bertahan hidup lebih dari jam.
Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya
COHb pada korban keracunan CO yang tertunda kematiannya
sampai 72 jam maka seluruh CO telak di eksresi dan darah tidak

TOKSIKOLOGI FORENSIK

25

mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat


berwarna livid seperti biasa demikian juga jaringan otot, visera dan
darah. Kelainan yang dapat di temukan adalah kelainan akibat
hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di rawat.
Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak,
globus palidus dapat di temukan petekiae. Kelainan ini tidak
patognomonik untuk keracunan CO, karena setiap keadaan
hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan petekiae.
Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran:
- Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin
- Nikrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah
yang mengandung trombihialin dengan pendarahan di
-

sekitarnya, lazimnya di sebut ring hemorrage


Nikrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh

darah yang mengandung trombi


Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi
nekrotik akibat hipoksia dan memecah.
Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling

sering di muskulus papilaris ventrikal kiri. Pada penampang


memanjangnya, tampak bagian ujung muskulus papilaris
berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti kipas
berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak.
Ditemukan eritema dan vesikal / bula pada kulit dada, perut,
luka, atau anggota gerak badan, baik di tempat yang tertekan
maupun yang tidak tertekan. Kelainan tersebut di sebabkan oleh
hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit. Pneunomonia hipostatik
paru mudah terjadi karena gangguan peredaran darah. Dapat terjadi
trombosis arteri pulmonalis.
B. Keracunan Sianida
Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam
sianida dalam takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian
pada seseorang dengan cepat seperti bunuh diri yang dilakukan oleh

TOKSIKOLOGI FORENSIK

26

beberapa tokoh nazi. Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi


pada kasus bunuh diri dan pembunuhan.
Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium,
pada penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di
gudang-gudang kapal.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Sianida


Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian
luar jenazah, dapat tercium bau amandel yang patognomonig untuk
keracunan CN, dapat tercium dengan cara menekan dada mayat
sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Bau tersebut
harus cepat dapat ditentukan karena indra pencium kita cepat
teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus
dingat bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena
kemampuan untuk mencium bau khas tersebut bersifat genatik sexlinked trait.
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan
lebam mayat berwarna terang, karena darah vena kaya akan oksiHb. Tetapi ada pula yang mengatakan karena terdapat CyanmetHb.
Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat tercium bau
amandel yang khas pada waktu membuka rongga dada, perutdan
otak serta lambung(bila racun melalui mulut) darah, otot dan
penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya
ditemukan tandatanda asfiksia pada organ tubuh.
Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat
ditemukan kelainan pada mukosa lambung berupa korosi dan
berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan
pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat
mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal
atau posmortal.

C.

Keracunan Arsen (As)


Senyawa arsen dahulu sering mengunakan sebagai racun untuk
membunuh orang lain, dan tidaklah mustahil dapat ditemukan kasus
keracunan dengan arsen dimasa sekarang ini. Disamping itu keracunan

TOKSIKOLOGI FORENSIK

27

arsen kadang-kadang dapat terjadi karena kecelakaan dalam industri


dan pertanian akibat memakan/meminum makanan/minuman yang
terkontaminasi dengan arsen. Kematian akibat keracunan arsen sering
tidak menimbulkan kecurigaan karena gejala keracunan akutnya
menyerupai gejala gangguan gastrointestinal yang hebat sehingga
dapat didiagnosa sebagai suatu penyakit.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik As


1. Korban Mati Keracunan Akut
Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda
dehidrasi.
Pada pemeriksaan dalam ditemukan tanda-tanda iritasi
lambung, mukosa berwarna merah, kadang-kadang
dengan perdarahan (flea bitten appearance). Iritasi
lambung dapat menyebabkan produksi mucin yang
menutupi mukosa dengan akibat partikel-partikel arsen
dapat tertahan. Orpimen terlihat sebagai partikelpartikel arsen berwarna kuning sedangkan As2O3
tampak sebagai partikel berwarna putih.
Pada jantung ditemukan perdarahan sub-endokard pada
septum. Histopatologik jantung menunjukkan infiltrasi
sel-sel radang bulat pada miokard. Sedangkan organ
lain parenkimnya dapat mengalami degenerasi dan
bengkak keruh.
Pada korban meninggal perlu diambil semua sample
organ, darah, urin, isi usus, isi lambung, rambut, kuku,
kulit dan tulang. Sedangkan bahan-bahan yang perlu
diambil untuk pemeriksaan toksikologi pada korban
hidup adalah muntahan, urin, tinja, bilas lambung,
darah, rambut, dan kuku.
2. Korban Mati akibat Keracunan Arsin
Bila korban cepat meninggal setelah menghirup arsin, akan

TOKSIKOLOGI FORENSIK

28

terlihat tanda-tanda kegagalan kardio-respirasi akut.


Bila meninggalnya lambat, dapat ditemukan ikterus dengan
anemia hemolitik, tanda-tanda kerusakan ginjal berupa
degenerasi lemak dengan nekrosis fokal serta nekrosis
tubuli.

3. Korban Mati akibat Keracunan Kronik


Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk.
Pada kulit terdapat pigmentasi coklat (melanosis arsenik),
keratosis telapak tangan dan kaki (keratosis arsenik).
Kuku memperlihatkan garis-garis putih (Mees lines) pada
bagian kuku yang tumbuh dan pada dasar kuku.
Temuan pada pemeriksaan dalam tidak khas.
Pada kasus keracunan arsen, kadar dalam darah, urin,
rambut dan kuku meningkat. Nilai normal kadar arsen dalam
rambut kepala adalah 0,5 mg/kg, nilai 0,75 mg/kg menimbulkan
kecurigaan adanya keracunan, nilai 30 mg/kg menunjukkan adanya
keracunan akut. Nilai normal kadar arsen dalam kuku adalah
sampai dengan 1 mg/kg. Nilai 1 mg/kg menumbulkan kecurigaan
adanya keracunan, dan pada keracunan akut dapat dijumpai kadar
arsen pada kuku sebanyak 80 mg/kg. Dalam urin, arsen dapat
ditemukan dalam waktu 5 jam setelah diminum, dan dapat terus
ditemukan hingga 10-12 hari.
Pada keracunan kronik, arsen diekskresikan secara
intermiten tergantung intake. Titik-titik basofil pada eritrosit dan
leukosit muda mungkin ditemukan pada darah tepi, menunjukkan
beban sumsum tulang yang meningkat. Uji kopro-porfirin urin
akan memberikan hasil positif.
D. Keracunan Alkohol

TOKSIKOLOGI FORENSIK

29

Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering


menimbulkan keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan
daya reaksi atau kecepatan, kemampuan untuk menduga jarak dan
ketrampilan mengemudi sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan
lalu-lintas di jalan, pabrik dan sebagainya. Penurunan kemampuan
untuk mengontrol diri dan hilangnya kapasitas untuk berfikir kritis
mungkin menimbulkan tindakan yang melanggar hukum seperti
perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun tindakan bunuh
diri.
Pada kadar yang rendah, 10-20 mg% sudah menimbulkan
gangguan berupa penurunan keahlian keterampilan tangan dan
perubahan tulisan tangan. Pada kadar 30-40 mg% telah timbul
penciutan lapang pandang, penurunan tajam penglihatan, dan
perpanjangan waktu reaksi. Pada kadar alkohol darah 30-50 mg% dan
lebih jelas pada kadar 150 mg% terdapat penurunan keterampilan
mengemudi. Pada kadar kurang dari 80 mg% telah terjadi gangguan
penglihatan 3 dimensi, kedalaman pandangan, dan gangguan
pendengar. Tampak gangguan pada kehidupan psikisnya, seperti
penurunan kemampuan memusatkan perhatian, konsentrasi, asosiasi,
dan analisa. Alkohol dengan kadar dalam darah 200 mg%
menimbulkan gejala banyak bicara, ramai (boisterous behaviour),
refleks menurun, inkoordinasi otot-otot kecil, kadang terjadi
nistagmus, dan sering terdapat pelebaran pembuluh darah kulit.
Alkohol dengan kaadar 250-300 mg% menimbulkan gejala
penglihatan kabur, tidak dapat mengenali warna, konjunctiva merah,
dilatasi pupil (jarang konstriksi), diplopia, sukar memusatkan
pandangan/penglihatan, nistagmus. Bila kadar dalam darah dan otak
makin meningkat akan timbul pembicaraan kacau, tremor tangan dan
bibir, keterampilan menurun, inkoordinasi otot, dan tonus otot muka
menghilang. Pada kadar 400-500 mg%, aktivitas motorik hilang sama
sekali, timbul stupor atau koma, pernafasan perlahan dan dangkal,
suhu tubuh menurun.

TOKSIKOLOGI FORENSIK

30

Mekanisme kematian pada alkoholisme kronik terutama akibat


gagal hati dan rupture varises esophagus akibat hipertensi portal.
Selain itu dapat disebabkan secara sekunder oleh pneumonia dan TBC.
Peminum alkohol sering terjatuh dalam keadaan mabuk dan
meninggal. Pada autopsi dapat ditemukan memar pada korteks serebri,
hematoma subdural akut atau kronik. Pada kadar alkohol otak lebih
dari 450 mg% dapat terjadi depresi pusat pernafasan. Pada kadar 500600 mg% dalam darah, penderita biasanya meninggal dalam 1-4 jam
setelah koma selama 10-16 jam

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Alkohol


Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara
pernapasan merupakan petunjuk awal. Petunjuk ini harus
dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol darah, baik melalui
pemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari
darah vena.
Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas,
Mungkin ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia.
Seluruh organ menunjukkan tanda perbendungan, darah lebih
encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukkan
tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi tapi
kadangkadang tidak ada kelainan.
Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada
pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran
pembuluh darah otak dan selaput otak, degenerasi bengkak keruh
pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna.Pada kasus keracunan kronik yang, meninggal, jantung dapat
memperlihatkan fibrosis interstisial, hipertrofi serabut otot jantung,
sel-sel radang kronik pada beberapa tempat, gambaran seran
lintang otot jatunng menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi
serabut otot jantung. Schneider melaporkan miopati alhokolik akut
dengan miohemoglobinuri yang disebabkan oleh nekrosis tubuli
ginjal dan kerusakan miokardium.

TOKSIKOLOGI FORENSIK

31

E. Keracunan Narkotika
Narkotika (Yunani: Narkosis) ialah setiap obat yang dapat
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan suatu keadaan
stupor. Sekarang, pengertian secara farmakologis pengertian diperluas
dengan memasukkan obat-obat yang sebenarnya tidak dapat
menimbulkan narkosis misalnya: cocaine (golongan stimulan),
marijuana (halusinogen ringan), dan jenis lain seperti yang tertera
dalam Undang-Undang No.9 tahun 1976 tentang Narkotika, pasal 1
butir 1 sampai dengan 13.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1997, Tentang Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini
atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pemeriksaan luar pada pengguna narkotika dapat ditemukan bekas
suntikan (needle mark), di daerah lipat siku, punggung tangan, lengan
atas, dan sekitar putting susu. Dapat ditemukan skin blisters pada
korban keracunan narkotika, barbiturate, dan karbon monoksida.
Jenis-jenis Narkotika:
1. Opiat/ Opium. Opiat atau opium adalah bubuk yang dihasilkan
langsung oleh tanaman poppy/ papaver somniferum di mana di dalam
bubuk tersebut terkandung morfin yang dapat menghilangkan rasa
sakit dan kodein yang berfungsi sebagai antitusif.
2. Morfin. Mofrin adalah alkoloida yang merupakan hasil ekstraksi serta
isolasi opium dengan zat kimia tertentu untuk penghilang rasa sakit
atau hipnoanalgetik bagi pasien penyakit tertentu. Dampak atau efek
dari penggunaan morfin yang sifatnya negatif membuat penggunaan
morfin diganti dengan obat-obatan lain yang memiliki kegunaan yang
sama namun lebih kecil efek sampingnya.

TOKSIKOLOGI FORENSIK

32

3. Heroin. Heroin adalah turunan dari morfin atau opioda semisintatik


dengan proses kimiawi yang dapat menimbulkan ketergantungan/
kecanduan yang berlipat ganda dibandingkan dengan morfin. Heroin
dipakai dengan cara menyuntikkan keotot, kulit/sub kutan atau
pembuluh vena.
4. Kodein. Kodein adalah sejenis obat batuk yang digunakan oleh dokter,
namun dapat menyebabkan ketergantungan/ efek adiksi sehingga
peredarannya dibatasi dan diawasi secara ketat.
5. Opiat Sintetik/ Sintetis. Jenis obat yang berasal dari opiat buatan
tersebut seperti metadon, petidin dan dektropropoksiven (distalgesic)
yang memiliki fungsi sebagai obat penghilang rasa sakit. Metadon
berguna untuk menyembuhkan ketergantungan opium/ opiat. Opiat
sintesis dapat memberi efek seperti heroin, namun kurang
menimbulkan ketagihan/ kecanduan.
6. Kokain / Cocaine Hydrochloride. Kokain adalah bubuk kristal putih
yang didapat dari ekstraksi serta isolasi daun coca (erythoroxylon
coca) yang dapat menjadi perangsang pada sambungan syaraf dengan
cara / teknik diminum dengan mencampurnya dengan minuman,
dihisap seperti rokok, disuntik ke pembuluh darah, dihirup dari hidung
dengan pipa kecil, dan beragam metode lainnya.
7. Ganja/ Mariyuana/ Kanabis. Mariyuana adalah tanaman semak/perdu
yang tumbuh secara liar di hutan yang mana daun, bunga, dan biji
kanabis berfungsi untuk relaksan dan mengatasi keracunan ringan
(intoksikasi ringan). Zat getah ganja/ THC (delta-9 tetra
hidrocannabinol) yang kering bernama hasis, sedangkan jika dicairkan
menjadi minyak kanabasis. Minyak tersebut sering digunakan sebagai
campuran rokok atau lintingan tembakau yang disebut sebagai cimenk,
cimeng, cimenx, joint, spleft, dan sebagainya.
Sebab dan Mekanisme Kematian
Cara kematian hanya dapat ditentukan jika kita melakukan
penyelidikan ke tempat kejadian. Kecelakaan adalah sebab terbanyak,
biasanya dikarenakan ketidaktahuan dosis. Cara kematian yang lain adalah
pembunuhan. Pembunuhan dengan suntikan biasanya menggunakan

TOKSIKOLOGI FORENSIK

33

morfin/heroin dosis letal atau dicampur dengan racun lain misalnya


sianida atau strichnin. cara kematian dapat pula bersifat bunuh diri yang
biasanya akibat abstinensia. kematian biasanya terjadi pada penggunaan
secara intravena.
Mekanisme kematian melalui :
-

Depresi pusat pernapasan : pusat pernapasan menjadi kurang

sensitive terhadap stimulus CO2 atau H+.


Edema paru : terjadinya edema paru diakibatkan oleh
peningkatan tekanan cairan serebrospinal dan tekanan
intrakranial serta berkurangnya sensitifitas pusat pernafasan
terhadap CO2. Kedua keadaan ini menyebabkan menurunnya

ventilasi paru dan gangguan permeabilitas.


Syok anafilaktik terjadi akibat hipersensitifitas terhadap

morfin/heroin atau terhadap bahan pencampuranya.


Kematian pada pemakai narkotika dapat pula diakibatkan oleh
berbagai hal lain, seperti : pemakaian alat suntik dan bahan
yang tidak steril sehingga menimbulkan infeksi, misalnya
pneumonia, endokarditis, hepatitis, tetanus, AIDS, malaria,
sepsis dan sebagainya. Bila cara penyuntikan tidak benar, dapat
terjadi emboli udara.

Dosis letal tidak dapat ditentukan dengan pasti karena tergantung


dari individu. Dosis letal terkecil yang pernah dilaporkan adalah sebesar
60 mg morfin, tetapi biasanya diambil patokan sekitar 200 mg. Selain itu
kadar dalam urine dan darah dapat digunakan sebagai pegangan. Jika
kadar morfin dalam urine sebesar 55mg% berarti orang tersebut
menggunakan morfin dalam jumlah yang berlebihan. Bila kadara dalam
urine sebesar 5-20 mg% atau dalam darah 0,1-0,5 mg% berarti sudah
dalam keadaan toksik.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Narkotika


Pada korban hidup yang menunjukkan gejala keracunan
narkotika, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah dan
urine. Apabila hasil pemeriksaan laboratoriummenunjukkan adanya

TOKSIKOLOGI FORENSIK

34

narkotika, maka kita wajib melaporkannya kepada pihak yang


berwewenang (Pasal 48 UU Narkotika,1976).
Pemeriksaan jenasah :
-

Bekas-bekas suntikan, tersering terdapat pada liupat siku,


lengan atas, punggung tangan dan tungkai. Tempat yang jarang
namun harus tetap kita perhatikan adalah pada leher, di bawah

lidah atau pada daerah perineum.


Pembesaran kelenjar getah bening setempat. Ini diakibatkan
pemakaian kronis menggunakan suntikan yang tidak steril.
Pada pemeriksaan mikroskopik kelainan ini menunjukkan

hipertrofi dan hiperplasi limfositik.


Lepuh kulit (skin-blister), biasanya pada kulit daerah telapak
tangan dan kaki. Kelainan ini biasanya terdapat pada kasus
kematian karena suntikan dalam jumlah besar. Keadaan ini juga

mungkin didapatkan pada kasus keracunan CO atau barbiturat.


Kelainan lain : biasanya merupakan tanda asfiksia saeperti
keluarnya busa halus dari lobang hidung dan mulut, yang
mulanya berwarna putih yang kemudian kemerahan (karena
adanya autolysis). Kelainan ini dianggap sebagai tanda edema
paru. Sianosis pada ujung-ujung jari dan bibir, perdarahan
petekial pada konjungtiva dan pada pemakaian narkotika

dengan cara sniffing kadang dijumpai perforasi septum nasi.


Kelainan paru akut. Perubahan awal(3 jam pertama) didapatkan
edema dan kongesti saja. Pada jangka waktu 3-12 jam
didapatkan narcotic lungs. Menurut Siegel, kelainan ini khas

dan dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis.


Perubahan lanjut. Terjadi lebih dari 24 jam. Paru menunjukkan
gambaran pneumonia lobularis difus, penampangnya tampak
berwarna coklat kemerahan, padat seperti daging dang

menunjukkan gambaran granuler.


Kelainan paru kronik berupa granulomatosis vaskular paru
sebagai manifestasi reaksi jaringan terhadap talk yang
digunakan sebagai bahan pencampur, mungkin pula akibat

TOKSIKOLOGI FORENSIK

35

bahan yang tidak larut pada penggunaan parenteral. Pada


-

mikroskopis tampak gambaran kristal.


Kelainan hati dapat berupa akumulasi sel radang. Derajat
kelainannya tergantung lamanya penggunaan narkotika. Pada
pemeriksaan mikroskopik juga ditemukan fibrosis ringan dan
proliferasi sel-sel duktus biliaris.
Pada pemeriksaan laboratorium, bahan pemeriksaan

diambil dari urine (jika tidak ada dapat diambil ginjal), cairan
empedu dan jaringan sekitar suntikan. Isi lambung diambil jika
korban menggunakan narkotika peroral, apusan mukosa hidung
bila menggunakan sniffing. Pemeriksaan laboratorium untuk
mendeteksi adanya narkotika minimal adalah kromatografi lapis
tipis (tlc). Cara pemeriksaan lain adalah menggunakan teknik glc
(kromatografi gas) dan ria (radio immunoassay). Untuk mendeteksi
seorang pencandu atau bukan dapat diketahui melalui uji nalorfin,
analisa urine, uji marquis, uji mikrokristal dan hanging microdrop
technique.
F. Keracunan Barbiturat
Barbiturat digunakan secara luas sebagai obat adiktif, namun efek
lain yang terdapat pada obat ini disalahgunakan. Obat ini memiliki
batas komposisi yang luas, dari yang bersifat anestesi kerja singkat
seperti thiopentone sodium hingga yang bersifat kerja sedang seperti
amylobarbitone.
Saat ini babiturat kerja lama (long acting) seperti phenobarbitone
digunakan dalam terapi epilepsi pada manusia. Toleransi mudah
diinduksi dengan cepat dan gejala withdrawal terhadap obat dapat
bersifat berat. Barbiturat (downers) dapat dikombinasikan dengan
stimulan amphetamines (uppers) dalam tablet yang sama, dan dikenal
sebagai purple heart. Alkohol dan barbiturat memiliki kekuatan aditif
yang kuat dan dapat menyebabkan kematian.
Pada awalnya amphetamine (benzedrine) dan dextroamphetamine
(dexedrine) diresepkan untuk mencegah kelelahan dan menekan nafsu

TOKSIKOLOGI FORENSIK

36

makan. Obat ini memiliki efek stimulan yang kuat sehingga


penggunaan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
hyperexcitement, hallucinations, dan psychoses. Pada umumnya
terdapat hyperpyrexia dan hypertension yang dapat mempresipitasi
pendarahan serebral atau pendarahan subarachnoid, dan berisiko
aritmia jantung. MDMA (methylene-dioxy-methamphetamine) dikenal
juga sebagai ectasy, XTC, ADAM, yang pada beberapa tahun disebut
sebagai desainer drug dan bertanggung jawab dalam sejumlah
kematian. Penggunaan MDMA dapat menyebabkan gangguan pada
neurologis, ginjal, hepar, dan paru-paru, dan dapat menyebabkan
rhabdomyolysis dan disseminated intravaskular coagulation. Beberapa
pengguna diketahuin meminum sejumlah besar air, yang
mengakibatkan intoksikasi air dan meninggal akibat oedem serebral.
G. Keracunan Insektisida
Diantara jenis atau pengelompokan pestisida, jenis insektisida
banyak digunakan dinegara berkembang. Insektisida adalah racun
serangga yang banyak dipakai dalam pertanian, perkebunan, dan dalam
rumah tangga. Keracunan insektisida biasanya terjdi karena kecelakaan
dan percobaan bunuh diri, jarang sekali karena pembunuhan.
1. Insektisida Golongan Hidrokarbon Terkhlorinasi
Hidrokarbon terkhlorinasi adalah zat kimia sintetik yang
stabil beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah
penggunaannya. Termasuk golongan ini adalah DDT, aldrin,
dieldrin, endrin, cholordine, lindane, toxaphane dan BHC (Benzene
Hexa Chlorida). Takaran toksik DDT pada manusia adalah 1 gram
dan takaran fatalnya adalah 30 gram. sedangkan takaran fatal pada
binatang untuk aldrin 2-5 gram, dieldrin 2-5 gram, endrin 10
mg/kgBB, lindane 15-30 gram, toxaphane 2-7 gram.
Gejala pada keracunan ringan adalah lelah, berat dan sakit
pada tungkai, sakit kepala, parestesia pada lidah, bibir dan muka,
serta gelisah. Sedangkan gejala pada keracunan berat adalah

TOKSIKOLOGI FORENSIK

37

pusing, gangguan keseimbangan, bingung, tremor, mual, muntah,


midriasis kejang,bisa sampai koma.
Pada keracunan kronik, dilakukan biopsi lemak tubuh yang
diambil pada perut setinggi garis pinggang minimal 50 gram dan
dimasukkan ke dalam botol bermlut lebar dengan penutup dari
gelas dan ditimbang dengan ketelitian 0,1 mg. pada keadaan
normal, insektisida golongan ini dalam lemak tubuh terdapat
kurang dari 15 ppm.
2. Insektisida Golongan Inhibitor Kolinesterase
Insektisida yang termasuk golongan ini adalah golongan
fosfat organic dan karbamat. Cara kerja golongan ini adalah
mengikat enzim asetil kolinesterase. Takaran fatal untuk golongan
organofosfat: malathion 1-5 gram, parathion 10 mg/kg BB. Takaran
fatal untuk golonan karbamat: aldicarb 0,9-1 mg/kgBB.
Pada keracunan akut gejala timbul dalam 30-60 menit dan
mencapai puncaknya dalam 2-8 jam. Pada keracunan ringan gejala
yang timbul adalah anorexia, sakit kepala, gelisah, tremor lidah dan
kelopak mata, miosis dan penglihatan kabur. Sedangkan gejala
pada keracunan berat adalah diare, pupil pinpoint sukar bernapas,
edema paru, sianosis, kejang.

9) Prinsip Pengobatan
Pengobatan terhadap kasus keracunan terutama
berdasarkan cara masuk racun ke dalam tubuh. Bila racun
ditelan, keluarkan racun tersebut sebanyak mungkin,
dengan jalan memuntahkan (dengan merangsang dinding
faring atau pemberian emetik, misalnya sirup
ipecacuanha). Tetapi jika kesadaran sangat menurun, atau
racun bersifat korosif atau racun terlarut dalam minyak,

TOKSIKOLOGI FORENSIK

38

maka uasaha untuk memuntahkan merupakan indikasi


kontra.
Aspirasi dan bilas lambung, merupakan indikasi
untuk mengeluarkan racun nonkorosif dan racun yang
menekan susunan saraf pusat. Untuk ini diberikan air
hangat atau garam lemah. Dapat juga diberikan norit.
(indikasi kontra seperti cara memuntahkan).
Pemberian pencahar, misalnya natrium sulfat 30 g
dalam 200 cc air. Mempercepat ekskresi dengan dialis
(pemberian diuretik merupakan indikasi kontra). Dapat
pula dengan pemberian antidotum spesifik, pada
keracunan morfin, diberikan nalorfin atau naloxon,
(keduanya bersifat antagonis terhadap morfin, tetapi
nalorfin kadang-kadang dapat juga agonis, sedangkan
naloxon murni antagonis).
Demulcen dalam bentuk pemberian putih telur
sebanyak 3 butir yang dilarutkan dalam 500 cc air/susu
dengan maksud untuk menghambat absorbsi.
Pengobatan simptomatik dan suportif perlu
dipertimbangkan, tergantung dari gejala yang timbul. Jika
terdapat gejala berupa kejang jangan diberikan barbiturat
tetapi sebaiknya benzodiazepam.
Bila racun masuk secara inhalasi, keluarkan korban
daari ruangan agar terhindar dari inhalasi lebih lanjut. Bila
secara parenteral. Pertimbangkan untuk pemasangan
tuorniquet. Bila masuk melalui kulit atau mengenai mata,
bersihkan dengan air leding mengalir, jangan dengan
bahan kimia.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

TOKSIKOLOGI FORENSIK

39

Toksikologi adalah studi mengenai perilaku dan efek yang


merugikan dari suatu zat terhadap organisme/mahluk hidup. Toksikologi
forensik, adalah penerapan toksikologi untuk membantu investigasi
medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obatobatan. Jenis-jenis racun dapat dibagi berdasarkan sumber, tempat dimana
racun tersebut didapat, dan efek kerja yang dihasilkan. Kelainan atau
perubahan yang terjadi pada korban yang meninggal karena keracunan
dapat mengetahui jenis racun yang terdapat dalam tubuhnya. Karena setiap
jenis racun memiliki tanda dan gejala keracunan yang berbeda.
Dalam skenario kedua pasangan muda tersebut kemungkinan
mengalami keracunan karbonmonoksida dikarenakan kedua pasangan
tersebut ditemukan di dalam mobil dengan mesin mobil yang masih
menyala, namun untuk memastikan racun tersebut pada korban harus
dilakukan otopsi.

DAFTAR PUSTAKA

TOKSIKOLOGI FORENSIK

40

Abdul Munim Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama.
Jakarta : Binarupa Aksara
Adiwisastra, A.1985. Keracunan, Sumber, Bahaya serta
Penanggulangannya. Bandung : Angkasa.
Budiyanto, Arik, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : FK
UI
Hadikusumo, Nawawi. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik IKF III. FK
Universitas Gajah Mada
Idries, A.M, dkk. 1985. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta : PT.
Gunung Agung

TOKSIKOLOGI FORENSIK

41

Anda mungkin juga menyukai