Anda di halaman 1dari 18

1.

Cidera cranioserebral
1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala.
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut
Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

1.2 Menjelaskan diagnosis trauma kepala.


a. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :
GCS 13-15 : cedera kepala ringan
GCS 9-12 : cedera kepala sedang
GCS 3-8
: pasien koma dan cedera kepala berat.

a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil
(besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil
pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat
perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
b. Pemeriksaan Penunjang
X-ray tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
CT-scan

Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area
yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer,
atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan
tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada
MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus
(CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita
cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus
kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa
cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong
menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

1.3Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)


Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada
defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga
diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya
terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.
Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera
kranioserebral ringan (CKR).
Tatalaksana pasien dengan penurunan kesadaran
Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi
bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di
rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval,
nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.

Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)


Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan sirkulasi
(Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika
dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan fiksasi leher dengan
c.
d.
e.

Pasien

pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan


Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.
Cedera kepala berat (SKG 3-8)
dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal,

segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan
balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.
Tindakan di ruang unit gawat darurat :
1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.Kelainan sentral
disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma
dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg
yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan.
Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan
luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok
septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung,
mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.

Menjelaskan komplikasi trauma kepala.


a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang terjadi
setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur
impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan
dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka,
luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada
kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.
c. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan
kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor
yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena
hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2
receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.

2. Perdarahan intracranial
2.1 definisi
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium, yang
mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan
intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti
kapitis,tumor otak dan lain-lain. 8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan
kelainan dengan spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau
perdarahan subaraknoid, ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat
mayor. ICH yang disertai dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak
sekitarnya, menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat
menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi fatal.
2.2 diagnosis dan diagnosis banding
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.

Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan
pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas,
perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan
kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan
hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level
hematokrit.
PENCITRAAN

Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin
diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.
Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium.
Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.

CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa
perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan
epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus
mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang
besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut
mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin

mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin


serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial
lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan
hematom intraserebral
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas.

3. Fraktur basis kranii


3.2 Menjelaskan definisi fraktur basis cranii.
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan
fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang
tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita). Dalam beberapa studi telah
terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai
mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda
paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena
beban inersia oleh kepala

3.2 Etiologi

3.3 klasifikasi
Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal
berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal terjadi pada regio
temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari
canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa
cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal
merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial
media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua frakturlongitudinal dan
transversal.
fraktur condylar occipital,
Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau
cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced
dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi
aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil.
Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas,
fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane
tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa
dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann bermotor.
Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur
longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar.
Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.
Jenis jenis fraktur tulang tengkorak :
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur
Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.

a. Fraktur Calvarium.
Beberapa contoh fraktur calvarium
Fraktur Liniair
Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur
yang melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media.
Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan
terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.
Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis garis frakturnya nya menyebar secara radial.
Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan otak.
Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat
menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah fraktur)
dan terjadi perdarahan.
b. Fraktur basis tengkorak
Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS) bersama
darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata tampak
kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma, bila dua mata
disebut Brill Hematoma / Raccoons eyes
Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus Olfactorius)
sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai
hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid sehingga LCS
bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea)
Fraktur Fossa Media
Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga
telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah
(Otorrhoea).
Fraktur Sella Tursica
Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan pars
posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars posterior
sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang menyebabkan Diabetes
Insipidus.
Sinus Cavernosus Syndrome.

Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri
Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung
arteri vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus >
Carotid Cavernous Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit , conjunctiva berwarna merah. Bila
membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti air
mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang
terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna
merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,
Fraktur Fossa Posterior.
Fraktur melintas os petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battles Sign.
Fraktur melintas Foramen Magnum
di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak Medula
Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

3.4 Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari
benturan pada wajah atau mandibula; atau efek remote dari benturan pada kepala (gelombang
tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen
magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya
segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai
(Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai
dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari
arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering
disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara
sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek
misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada

area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut
kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada
benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau
ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii akibat hasil
dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang disajikan
dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti
menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.

3.5Manifestasi
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids
(battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan
memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat
bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu.tuli
sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan
koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower
cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX,
X, dan XI akibat fraktur.Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis
ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius.Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital
dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

3.6 diagnosis dan diagnosis banding

Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging :
o Radiografi
Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel memutuskan
bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray
skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
o CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull
fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,
bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
o MRI
MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus
yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.
Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada
kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,
maka disebut halo atau ring sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan
menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.
Diagnosis banding

3.7Tatalaksana

Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak
memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan
kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi
ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan
waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika
kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,
mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan
pada kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi
leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open fraktur
depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi
fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone.
Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan
pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi
dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini,
cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur
condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini
dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar. Menunda untuk dilakukan intervensi bedah
diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii
jenis longitudinal pada os temporal. Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan
berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi

lain adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini
memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah

3.8Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea.
Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di
bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah
akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,
dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya
fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung
pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang
terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya
ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur
condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom ColletSicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI
dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan
pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). Cedera carotid
diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini,
CT-angiografi dianjurkan.

3.9Pencegahan

3.10 Prognosis

4. TRIAS CUSHING
4.1. Menjelaskan trias cushing.
Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan
intrakranial.

Hipertensi

Bradikardi

Depresi pernapasan

Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala,
timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan
tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna.Iskemia
yang timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada
pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lambat.Mekanisme
kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah
otak.Akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan
vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.

5. FRAKTUR LEFORT III + TATALAKSANA


Tatalaksana Fraktur le fort III
Fraktur le fort III, craniofasial disjunction, dirawat dengan menggunakan arch bar/
alat lain,
fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan plat
pada sutura
zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus
ossis
frontalis. Seperti pada fraktur le fort I, gaya ke arah superior yang mengenai
mandibula pada
waktu memasang kawat fiksasi merupakan persyaratan yang penting (kritis) untuk
keberhasilan perawatan. Apabila kawat suspensi dari alat/pesawat maksilar atau
mandibular
(fiksasi ekstraskeletal) dilekatkan pada headcap atau pesawat halo, diperlukan pula
reduksi
manual terhadap elemn fraktur. Jangka waktu untuk imobilisasi fraktur le fort
bervariasi4-8
minggu, tergantung sifat fraktur dan kondisi pasien. Rontgen pasca-reduksi dan
pascaimobilisasi diperlukan untuk semua fraktur wajah bagian tengah, seperti halnya
pada fraktur
mandibular

6. FRAKTUR OS NASAL + TATALAKSANA


a. Definisi
Tindakan melakukan pengembalian dari fragmen tulang nasal yang mengalami patah tulang
kembali ke kedudukan semula

b. Ruang lingkup
Fraktur nasal adalah fraktur pada os nasal akibat adanya ruda paksa
c. Indikasi operasi
Deformitas
d. Kontra indikasi operasi
Tidak ada kontra indikasi operasi fraktur nasal
e. Diagnosis banding:
Fraktur naso etmoidalis kompleks
Fraktur maksila
f. Pemeriksaan penunjang
foto nasal, untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan foto waters
Teknik Operasi
Menjelang operasi:
Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang akan dijalani serta
resiko komplikasi disertai dengan tandatangan persetujuan dan permohonan dari penderita untuk
dilakukan operasi (Informed consent).
Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi. Instrumen yang digunakan
untuk reduksi tertutup adalah elevator Boies atau Ballenger, forcep Asch dan Walsham.
Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi .
Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau kombinasi Clindamycin dan Garamycin, dosis
menyesuaikan untuk profilaksis.

I. REDUKSI TERTUTUP
Pembiusan
Dengan anestesi umum
Posisi pasien terlentang, dikerjakan di kamar operasi dengan anestesi general atau lokal.
Disinfeksi lapangan operasi dengan larutan hibitan-alkohol 70% 1:1000.
Lapangan operasi dipersempit dengan linen steril

Jarak antara tepi rongga hidung ke sudut nasofrontal diukur, kemudian instrumen
dimasukkan sampai batas kurang 1 cm dari pengukuran tadi.
Fragmen yang depresi diangkat dengan elevator dalam arah berlawanan dari tenaga yang
menyebabkan fraktur, biasanya kearah antero-lateral. Reposisi fraktur nasal dapat
dilakukan dengan forsep Walsam, sedangkan untuk reposisi fraktur septun digunakan
forsep Walsam.
Jangan terlalu ditekan (dibawah tulang hidung yang tebal dekat sutura nasofrontal)
karena daerah ini jarang terjadi fraktur, lagipula bisa menyebabkan robekan mukosa dan
perdarahan.
Reduksi disempurnakan dengan melakukan molding fragmen sisa dengan menggunakan
jari. Pada kasus fraktur dislokasi piramid bilateral, reduksi septum nasal yang tidak
adekuat menyebabkan reposisi hidung luar tidak memuaskan.
Stabilisasi septum dengan splints Silastic, pasang tampon pada tiap lubang hidung dengan
sofratul. Splints dengan menggunakan gips kupu-kupu. Tampon dilepas pada hari ke 3 paska
reposisi.

Meskipun kebanyakan fraktur nasal dan septal dapat direduksi secara tertutup, beberapa
hasilnya tidak optimal, disini penting merencanakan reduksi terbuka.
II. REDUKSI TERBUKA
Tahapan operasi:
Penderita dalam anestesi umum dengan pipa orotrakheal, posisi telentang dengan kepala sedikit
ekstensi .
Desinfeksi lapangan operasi dengan larutan Hibitane dalam alkohol 70% 1: 1000, seluruh wajah
terlihat .
Persempit lapangan operasi dengan menggunakan kain steril
Insisi pada kulit ada beberapa pilihan, melalui bekas laserasi yang sudah terjadi, insisi H, insisi
bilateral Z, Vertikal midline, insisi bentuk W.

Insisi diperdalam sampai perios dan perdarahan yang terjadi dirawat.


Perios diinsisi , dengan rasparatorium kecil fragmen tulang dibebaskan.
Dilakukan pengeboran fragmen tulang dengan mata bor diameter 1 mm, tiap pengeboran lindungi
dengan rasparatorium dan disemprot dengan aquadest steril.
Lakukan reposisi dan fiksasi antara kedua fragmen tulang dengan menggunakan kawat 03 atau
05, sesuaikan dengan kondisi fragmen tulang. Pada fraktur komunitif dapat dipertimbangkan
penggunaaan bone graft.
Luka diirigasi dengan larutan garam faali.
Luka operasi dijahit lapis demi lapis, perios, lemak subkutan dijahit dengan vicryl atau dexon 03,
kulit dijahit dengan dermalon 05.

Komplikasi operasi
Komplikasi awal/cepat
Mencakup keadaan edema, ekimosis, epistaksis, hematoma, infeksi dan kebocoran
liquor.
Hematom cukup serius dan membutuhkan drainase. Harus dicari adanya hematom septal pada
setiap kasus trauma septal karena kondisi ini menyebabkan timbulnya infeksi sehingga kartilago
septal hilang dan akhirnya terbentuk deformitas pelana. Hematom septal harus dicurigai jika
didapati nyeri dan pembengkakan yang menetap; komplikasi ini perlu diperhatikan pada anakanak. Splint silastic dapat digunakan untuk mencegah reakumulasi darah pada tempat hematom.
Epistaksis biasanya sembuh spontan tapi jika kambuh kembali perlu dikauter, tampon nasal atau
ligasi pembuluh darah. Perdarahan anterior karena laserasi arteri etmoid anterior, cabang dari
arteri optalmikus (sistem karotis interna). Perdarahan dari posterior dari arteri etmoid posterior
atau dari arteri sfenopalatina cabang nasal lateral, dan mungkin perlu ligasi arteri maksila interna
untuk menghentikannya. Jika menggunakan tampon nasal, tidak perlu terlalu banyak, karena
dapat mempengaruhi suplai darah pada septum yang mengalami trauma sehingga menyebabkan
nekrosis.
Infeksi tidak umum terjadi, tapi antibiotik profilaksis penting untuk pasien yang mempunyai
penyakit kelemahan kronis, immuno-compromised dan dengan hematom septal.
Kebocoran liquor jarang dan disebabkan fraktur cribriform plate atau dinding posterior sinus
frontal. Kebocoran kulit cukup diobservasi selama 4 sampai 6 minggu dan biasanya terjadi
penutupan spontan. Konsultasi bedah saraf.

Komplikasi lanjut

Komplikasi ini berupa obstruksi jalan nafas, fibrosis/kontraktur, deformitas sekunder,


synechiae, hidung pelana dan perforasi septal. Penatalaksanaan terbaik dari komplikasi
ini adalah dengan mencegah terjadinya komplikasi itu sendiri.

Mortalitas
Fraktur nasal saja tanpa perdarahan hebat dan aspirasi tidak mengakibatkan kematian

Perawatan Paska bedah


Infus Ringer Laktat / Dekstrose 5 % 1 : 4 dilanjutkan selama 1 hari
Antibitika profilaksis diteruskan setiap 8 jam , sampai 3 kali pemberian .
Analgetika diberikan kalau perlu
Penderita sadar betul boleh minum sedikit , sedikit
Bila 8 jam kemudian tidak apa apa boleh makan bubur ( lanjutkan 1 minggu )
Perhatikan posisi tidur , jangan sampai daerah operasi tertekan.
Rawat luka pada hari ke 2 3 , angkat jahitan hari ke-7.

Follow-Up
Tampon hidung dilepas hari 3-4
Splint septum dilepas hari 10
Gips kupu-kupu dilepas minggu ke-3
Kontrol tiap bulan selama 3 bulan

Anda mungkin juga menyukai