Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Stroke
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan dapat
menimbulkan cacat atau kematian.1
Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular
Disease (CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI)
mengistilahkan stroke sebagai penyakit akibat gangguan peredaran darah otak
(GPDO).1
Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai serangan
otak (brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas).2
2.2. Epidemiologi Stroke
Stroke adalah penyebab neurologis utama pasien datang ke rumah sakit
dan penyebab kematian tertinggi ketiga di Amerika Serikat setelah penyakit
jantung dan kanker (Purve, 2004). Setiap tahunnya 500.000 orang di negara ini
mengalami stroke dan 150.000 meninggal. Prevalensi secara keseluruhan adalah
750/ 100.000.3
Di Indonesia, penyebab kematian utama pada semua umur adalah stroke
(15,4%), yang disusul oleh TB (7,5%), Hipertensi (6,8%), dan cedera (6,5%).
Hasil Riskesdas 2007, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per
1.000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per
1.000. Prevalensi stroke tertinggi Indonesia dijumpai di Nanggroe Aceh
Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan terendah di Papua (3,8 per 1.000
penduduk).4
2.3. Anatomi Pembuluh Darah Otak
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang

23

24

memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%
oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial (Gambar 2.1.).5
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar
15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi
normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis
interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke
bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang kedua
adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut
sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum
anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu
sirkulus willisi (Gambar 2.2).5,6
Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsifungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat
sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke
atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang
berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan
serabutserabut saraf ke target organ (gambar 2.3.).7

Gambar 2.1. Sel Glia Pada Otak

25

26

Gambar 2.2. Pembuluh Darah di Otak

Gambar 2.3. Bagian Otak dan Fungsi Otak


Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan
kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam
pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya
serangan stroke.7
2.4. Patofisiologi Stroke Iskemik
Dalam keadaan fisiologis, jumlah darah yang mengalir ke otak adalah 50
60 ml per 100 gram otak per menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang
kira-kira beratnya antara 1200-1400 gram adalah 700-840 ml per menit. Dari

27

jumlah darah itu, satu pertiganya disalurkan melalui tiap arteri karotis interna dan
satu pertiga sisanya disalurkan melalui susunan vertebrobasilar. Daerah otak tidak
berfungsi bisa karena secara tiba-tiba tidak menerima suplai darah lagi karena
arteri yang memperdarahi daerah tersebut putus atau tersumbat. Penyumbatan itu
bisa terjadi secara mendadak atau secara berangsur-angsur.8
Oklusi akut pembuluh darah intrakranial menyebabkan penurunan aliran
darah ke regio otak sesuai dengan kebutuhannya. Penurunan aliran ini akan
berpengaruh pada aliran darah kolateral dan ini sangat tergantung pada anatomi
vaskular individual dan lokasi oklusi. Apabila aliran darah serebral tidak ada sama
sekali, akan terjadi kematian pada jaringan otak dalam 4 hingga 10 menit. Apabila
aliran darah ke otak kurang dari 16-18 ml/ 100 gram jaringan otak per menit maka
akan menyebabkan infark dalam satu jam. Apabila kurang dari 20 ml/ 100 gram
jaringan otak per menit menyebabkan iskemik tanpa infark kecuali jika
berlangsung selama beberapa jam atau hari. Jika aliran darah dikembalikan
dengan cepat sesuai dengan kebutuhannya, sehingga jaringan otak dapat pulih
penuh dan simptom pada pasien hanya transien dan ini disebut transient ischemic
attack (TIA). Tanda dan gejala TIA biasanya berlangsung dalam 5-15 menit tetapi
secara defenisi harus kurang dari 24 jam.9
Kematian sel pada otak terjadi melalui dua jalur yaitu: (1) jalur nekrosis di
mana pemecahan sitoskletal seluler berlangsung cepat yang berakibat pada
kegagalan energi sel, dan (2) jalur apoptosis di mana sel terprogram untuk mati.
Iskemik menyebabkan nekrosis karena sel-sel neuron mengalami kekurangan
glukosa yang berakibat pada kegagalan mitokondria dalam menghasilkan ATP.
Tanpa ATP, pompa ion pada membran akan berhenti berfungsi dan neuron
mengalami depolarisasi dan disertai dengan peningkatan kalsium intraselular.
Depolarisasi selular juga menyebabkan pelepasan glutamat dari terminal
sinapsis.10 Di samping itu, penurunan ATP akan menyebabkan penumpukan asam
laktat dan menyebabkan terjadinya asidosis selular. Radikal bebas juga dihasilkan
oleh degradasi membran lipid dan mitokondria yang mengalami disfungsi.
Radikal bebas ini menyebabkan kerusakan pada membran dan fungsi vital lain sel.
Di samping itu, demam akan memperparah iskemik begitu juga dengan

28

hiperglikemia, oleh karena itu demam dan hiperglikemia harus diatasi dan jika
bisa dicegah.11 Penurunan suhu setidaknya 2 3 0C dapat menurunkan kebutuhan
metabolik neuron dan meningkatkan toleransi terhadap hipoksia sebesar 25-30
%.12
Pembuluh darah

Trombus/embolus karena plak ateromatosa, fragmen, lemak, udara, bekuan darah

Oklusi

Perfusi jaringan cerebral


Iskemia

Hipoksia

Metabolisme anaerob

Aktivitas elektrolit terganggu

Nekrotik jaringan otak

Asam laktat

Na & K pump gagal

Infark

Na & K influk

Retensi cairan
Oedem serebral

Gg.kesadaran, kejang fokal, hemiplegia, defek medan penglihat

2.5. Klasifikasi Stroke Non Hemoragik7,13


Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik
dan proses patologik (kausal):

29

a. Berdasarkan manifestasi klinik:


1) Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2) Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological
Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
3) Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
4) Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.
b. Berdasarkan Kausal:
1) Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh
darah di otak. rombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar
dan pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik
terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan
darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya
kadar kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan
pada pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke
pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan
merupakan indikator penyakit aterosklerosis.
2) Stroke Emboli/Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan
lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah yang
mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.
2.6. Gejala Stroke Non Hemoragik7,13,14
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan
lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut
adalah:
a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.

30

1) Buta mendadak (amaurosis fugaks).


2) Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia)
bila gangguan terletak pada sisi dominan.
3) Kelumpuhan pada sisi tubuh yang

berlawanan

(hemiparesis

kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.


b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
1)
Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih
menonjol.
2)
Gangguan mental.
3)
Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
4)
Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
5)
Bisa terjadi kejang-kejang
c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.
1)
Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan.
Bila tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol.
2)
Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.
3)
Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).
d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.
1) Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.
2) Meningkatnya refleks tendon.
3) Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
4) Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor),
kepalaberputar (vertigo).
5) Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).
6) Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga
pasien sulit bicara (disatria).
7) Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara
lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan
daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi).
8) Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia), gerakan
arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan
kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah
lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia
homonim).
9) Gangguan pendengaran.
10) Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
1) Koma
2) Hemiparesis kontra lateral.
3) Ketidakmampuan membaca (aleksia).

31

4) Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.


f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur
Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua
yaitu, Aphasia motorik dan Aphasia sensorik.
1) motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi
pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara kemampuannya untuk
mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia sensorik adalah
ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang lain, namun
masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walau sebagian
diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan
otak.
2) Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak.
Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu
Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat
membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca
huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan
keduanya disebut Global alexia.
3) Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya
kerusakan otak.
4) Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal
angka setelah terjadinya kerusakan otak.
5) Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah
sejumlah

tingkat

kemampuan yang sangat

kompleks,

seperti

penamaan, melakukan gerakan yang sesuai dengan perintah atau


menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini sering bersamaan
dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari
yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat jarinya).
6) Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya
kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan
dengan ruang.
7) Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat
kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan
yang menyebabkan terjadinya gangguan bicara.

32

8) Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma


capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan
massa di otak.
9) Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup
sejumlah kemampuan.
2.7. Diagnosis Stroke Non Hemoragik13
Diagnosis didasarkan atas hasil:
a. Penemuan Klinis
1. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami
defisit neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat
kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan
stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejala seperti mual
muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi
pada stroke hemoragik. Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke
meliputi hemiparese, monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan
monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau
penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat
muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan
waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan
perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat
mengganggu dalam mencari gejala atau onset stroke seperti:
Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak

didapatkan hingga pasien bangun (wake up stroke).


Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari

pertolongan.
Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti
kejang, infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis,
dan hiponatremia.2

2. Pemeriksaan Fisik

33

Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab


stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang
menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang
dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher
untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan
juga dilakukan untuk mencari faktor resiko stroke seperti obesitas,
hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain.2
3. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi
gejala stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki
gejala seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk
mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan
neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran,
pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral,
gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun
harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya
kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bells palsy di
mana pada Bells palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.2,5
Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada
arteri yang tersumbat:6
Sirkulasi terganggu
Sensomotorik
Sindrom Sirkulasi Anterior
A.Serebri media (total)
Hemiplegia kontralateral

A.Serebri media (bagian


atas)

Gejala klinis lain


Afasia global (hemisfer

(lengan lebih berat dari

dominan), Hemi-neglect

tungkai) hemihipestesia

(hemisfer non-dominan),

kontralateral.

agnosia, defisit visuospasial,

Hemiplegia kontralateral

apraksia, disfagia
Afasia motorik (hemisfer

(lengan lebih berat dari

dominan), Hemi-negelect

tungkai) hemihipestesia

(hemisfer non-dominan),

kontralateral.

hemianopsia, disfagia

34

A.Serebri media (bagian

Tidak ada gangguan

Afasia sensorik (hemisfer

bawah)

dominan), afasia afektif


(hemisfer non-dominan),

A.Serebri media dalam

A.Serebri anterior

Hemiparese kontralateral,

kontruksional apraksia
Afasia sensoris transkortikal

tidak ada gangguan

(hemisfer dominan), visual dan

sensoris atau ringan sekali

sensoris neglect sementara

Hemiplegia kontralateral

(hemisfer non-dominan)
Afasia transkortikal (hemisfer

(tungkai lebih berat dari

dominan), apraksia (hemisfer

lengan) hemiestesia

non-dominan), perubahan

kontralateral (umumnya

perilaku dan personalitas,

ringan)
Sindrom Sirkulasi Posterior
A.Basilaris (total)
Kuadriplegia, sensoris
umumnya normal

inkontinensia urin dan alvi


Gangguan kesadaran samapi ke
sindrom lock-in, gangguan saraf
cranial yang menyebabkan
diplopia, disartria, disfagia,

A.Serebri posterior

Hemiplegia sementara,

disfonia, gangguan emosi


Gangguan lapang pandang

berganti dengan pola

bagian sentral, prosopagnosia,

gerak chorea pada tangan,

aleksia

hipestesia atau anestesia


terutama pada tangan
Pembuluh Darah Kecil
Lacunar infark

Gangguan motorik murni,


gangguan sensorik murni,
hemiparesis ataksik, sindrom
clumsy hand

b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan
mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia,

35

trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat


menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti
anemia.3
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan
yang memiliki gejala seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat
pula menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan
ginjal). Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati
pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi
trombolitik dan antikoagulan. Biomarker jantung juga penting karena eratnya
hubungan antara stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga
mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan
hasil yang buruk dari stroke.3
c. Gambaran Radiologi
1) CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik
memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari
stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang
gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).3

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus


dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense
regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam
terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan
pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain

36

terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,


hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya
perberdaan gray-white matter.3
CT perfusion merupakan modalitas baru yang berguna untuk
mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan
pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur.
Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.3
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT
angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian
arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah
penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah
perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan gambaran
hipodense.3
2) MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi
lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan
pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta
waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI memiliki banyak
kegunaan untuk pada stroke akut.3

3) USG, ECG, EKG, Chest X-Ray


Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai
stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan
dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi
anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA,
arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG
(ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien dengan stroke non
hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal
ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu,

37

modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium
kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan jantung
adalah EKG dan foto thoraks.3

Sistem skor
Perbedaan antara stroke hemoragik dan stroke non-hemoragik
sangat penting dalam rangka pengobatan stroke, pengetahuan mengenai
taraf ketepatan pembuktian klinis terhadap stroke hemoragik dan stroke
non-hemoragik yang dapat diandalkan akan sangat membantu para dokter
yang bekerja di daerah terpencil dengan fasilitas pelayanan medis yang
sangat terbatas dan belum tersedianya pemeriksaan penunjang yang
memadai (misalnya CT-Scan).

Untuk itu beberapa peneliti mencoba

membuat perbedaan antara kedua jenis stroke dengan menggunakan tabel


dengan sistem skor.
Siriraj-score :

Algoritma Stroke Gajah Mada (ASGM) :

38

2.8. Penatalaksanaan
Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan
pasien dan menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya
pencitraan dan pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah
pasien tiba. Keputusan penting pada manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya
intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan menentukan resiko atau keuntungan
dari pemberian terapi trombolitik.15
1.

Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS 8 atau memiliki jalan napas yang tidak
adekuat atau paten memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian induksi dilakukan
untuk mencegah efek samping dari intubasi.6
b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik kristaloid atau koloid 1500-2000
ml dan elektrolit sesuai dengan kebutuhan hindari cairan mengandung
glukosa dan isotonik.
Pemberian nutria per oral jika fungsi menelanya baik. jika fungsi
menelannya terganggu sebaiknya dianjurkan melalui selang nasogastrik.6
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait
dengan prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada
trombolisis. Pasien dengan normoglokemik tidak boleh diberikan cairan
intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat

39

menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi.


Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat dengan pemberian
insulin. Target gula darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl.
Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien
pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian
insulin.6
Kadar glukosa darah >150 mg/dl harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu 15 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3
hari pertama. Hipoglikemia diatasi dengan dextrose 40%

iv sampai

kembali normal dan di cari penyebabnya.6


d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih
maksimal jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring
telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial padahal hal
tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke
diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.6
e. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau
peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan
vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen arterial pressure
(MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah otak.
Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah dapat
berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin
memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa pemberian terapi anti
hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang ekstrim
(sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau
pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.6
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien
stroke non hemoragik adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak
direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah sistolik
kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120
mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic maka tekanan darah

40

harus diawasi (tanpa adanya intervensi) dan gejala stroke serta


komplikasinya harus ditangani.6
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik
antara 120-140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20
mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat
ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis
maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5
mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang
diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga
mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan
nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian
terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.6
Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik
lebih 185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan
antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah selama dan
setelah

pemberian

trombolitik

agar

tidak

terjadi

komplikasi

perdarahan.Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah labetolol


(10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali). Alternatif obat
yang dapat digunakan adalah nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi
hingga dosis maksimal 15 mg/jam.6
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah
harus diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit
selama 6 jam berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target
terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk
mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat
diberikan 6
1. TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat
diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang
selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat
infuse hingga 2-8 mg/menit.
2. TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat
diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5
mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam.

41

3. Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari


karena dapat menyebabkan hipotensi ekstrim.
f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami
demam karena hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat
menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen
menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai
neuroprotektor.6
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non
hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset
stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat6
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama
setelah

onset.

Meskipun

profilaksis

kejang

tidak

diindikasikan,

pencegahan terhadap sekuel kejang dengan menggunakan preparat


antiepileptik tetap direkomendasikan6
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan
secara intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu
enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan
protein pembekuan lainnya.16
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological
Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu
tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg
(maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV
sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah
pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau hanya
minimal.Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang
diperkirakan sekitar 6%.Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.16

42

Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute


Stroke Study (ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg
(maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6
jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik
tapi secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang
menguntungkan. Tetapi pada penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien
menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6
jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang meninggal atau
cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral dijumpai
sebesar 8,8%.Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di
Eropa.17
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw
dkk mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam
skala besar sebab resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang
jelas.Lagi pula jendela waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan
secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang
penelitian dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study
Group (MAST-E) dengan menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam
waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata meningkatkan
mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik akut
tidak dianjurkan17.
b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak
artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark
lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan
penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri
karotisdan infark serebral akibat kardioemboli.Pada keadaan yang terakhir
ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian
heparin tersebut 17.
1) Warfarin

43

Segera diabsorpsi dari gastrointestinal.Terkait dengan protein


plasma. Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi:
lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan
3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi,
terutama ren dan gastrointestinal.18
2) Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir.Normal
terdapat pada mast cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang
terlibat dalam proses pembekuan darah. Heparin mempunyai efek
vasodilatasi ringan.Heparin melepas lipoprotein lipase.Dimetabolisir di
hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan
tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per
hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam
fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting
Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang
sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi, alopesia,
osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan antikoagulan
oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala sesuatunya dapat
kembali normal.Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine
sulphute dengan intravenous lambat untuk menetralisir. Dalam setengah
jam pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100
unit)17.
c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu
peningkatan hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas
trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit,
keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline
merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki
mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan
fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan
kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit akan mengurangi

44

viskositas darah. Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari,


maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset17.
d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan
sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti
thromboxane A2.Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan stroke.
Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari
samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan
dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975
mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan hasil yang
efikasius18.
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin
harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan.
Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat diabsorpsi,
konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi
tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half
time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic
acid dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen
dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi
yang

merugikan:

nyeri

epigastrik,

muntah,

perdarahan,

hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye.17


Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin
antara lain adalah kemungkinan terjadi resistensi aspirin pada dosis
rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk menghasilkan12-hydroxyeicosatetraenoicacid, hasil samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet
(lipid-oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis
rendah aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi
dengan dosis rendah aspirin.17
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg
(belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak

45

pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang mendapatkan bukti


bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.17
Operasi
Pertimbangkan konsultasi bedah saraf bila perdarahan serebelum
diameter lebih dari 3 cm atau volum lebih dari 50 ml untuk dekompresi
atau pemasangan pintasan ventrikulo-peritoneal bila ada hidrosefalus
obstruktif akut atau kliping aneurisma.
Penatalaksanaan

operatif

pada

pasien

dengan

perdarahan

intraserebral masih kontroversi. Walaupun terdapat indikasi, indikasi jelas


bahwa pasien memerlukan suatu tindakan operatif ataupun tidak, masih
terdapat daerah abu-abu diantaranya. Sebagai contoh pasien usia muda
dengan perdarahan intraserebral

pada hemisfer non dominan

yang

awalnya sadar dan berbicara kemudian keadaannya memburuk secara


progresif dengan perdarahan intraserebral area lobus memerlukan
penanganan operatif. Sebaliknya pasien usia lanjut dengan perdarahan
intraserebral luas pada hemisfer dominan disertai perluasan ke area
talamus dan berada dalam kondisi koma tergambar memiliki prognosis
jelek sehingga tindakan operatif tidak memerlukan pertimbangan.
Tindakan pembedahan untuk evakuasi atau aspirasi bekuan darah
pada stadium akut kurang begitu menguntungkan. Intervensi bedah pada
kasus-kasus demikian adalah :
a. Pasien yang masih dapat tetap bertahan setelah iktus awal setelah
beberapa hari, dimana pada saat itu bekuan sudah mulai mencair dan
memungkinkan untuk di aspirasi sehingga masa desakan atau defisit
dapat dikurangi.
b. Hematom intraserebeler, mudah segera dikeluarkan dan kecil
kemungkinan menimbulkan defisit neurologis. Dalam hal ini biasanya
daapat segara dilakukan operasi pada hari-hari pertama.
c. Hematom intraserebral yang letaknya superficial, seringkali mudah
diangkat dan tidak memperburuk defisit neurologis.

46

Kontraindikasi tindakan operasi terhadap kasus-kasus perdarahan


intraserebral adalah hematom yang terletak jauh di dalam otak (dekat
kapsula interna) mengingat biasanya walaupun hematomnya bisa
dievakuasi, tindakan ini malahan menambah kerusakan otak.
Operasi juga tidak dipertimbangkan pada pasien dengan volume
hematoma sedikit dan defisit fokal minimal tanpa gangguan kesadaran.
Hal tersebut diatas menunjukkan indikasi jelas mengapa seseorang
memerlukan tindakan operatif atau tidak. Hal inilah yang menjadi
ketidakmenentuan mengenai indikasi apakah operasi diperlukan atau tidak.
Jenis-jenis operasi pada stroke hemoragik antara lain :
1. Kraniotomi
Mayoritas ahli bedah saraf masih memilih kraniotomi untuk
evakuasi hematoma. Secara umum, ahli bedah lebih memilih
melakukan operasi jika perdarahan intraserebral terletak pada hemisfer
nondominan, keadaan pasien memburuk dan jika bekuan terletak pada
lobus dan superfisial karena lebih mudah dan kompresi yang lebih besar
mungkin dilakukan dengan resiko yang lebih kecil. Beberapa ahli bedah
memilih kraniotomi luas untuk mempermudah dekompresi eksternal
jika terdapat udem serebri yang luas.
2. Endoskopi
Melalui penelitian Ayer dan kawan-kawan dikatakan bahwa
evakuasi hematoma melalui bantuan endoskopi memberikan hasil lebih
baik. Pada laporan observasi lainnya penggunaan endoskopi dengan
tuntunan streotaktik dan ultrasonografi memberikan hasil memuaskan
dengan evakuasi hematoma lebih sedikit (volume <30ml) namun teknik
ini belum banyak diaplikasikan dan validitasnya belum dibuktikan .
3. Aspirasi dengan bantuan USG
Hondo dan Lenam melaporkan keberhasilan penggunaan aspirator
USG pada aspirasi streotaktik perdarahan intraserebral supratentorium,
namun prosedur ini masih diobservasi.
4. Ttrombolisis intracavitas

47

Blaauw dan kawan-kawan melalui penelitian prospektik kecil


meneliti

pasien

perdarahan

intraserebral

supratentorial

dengan

memasukkan urokinase pada kavitas serebri (perdarahan intraserebri)


dan setelah menunggu periode waktu tertentu kemudian melakukan
aspirasi. Namun penelitian dinyatakan tidak berpengaruh pada angka
mortalitas, walaupun pada beberapa pasien menunjukkan keberhasilan.
Pasien perdarahan intraserebral dengan ruptur menuju ke ventrikel
drainase ventrikular eksternal mungkin berguna. Namun cara ini belum
melalui penelitian prospektif luas dan patut dicatat bahwa melalui
penelitian observasi menunjukkan prognosis buruk. 13
2.9. Komplikasi
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi
edema serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.17
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun
agak jarang (10-20%)
2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah
indikator independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol
dan terapi lain untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan
dalam situasi darurat, meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder
stroke iskemik lebih lanjut belum diketahui. Beberapa pasien mengalami
transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada
5% dari stroke iskemik yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik.
Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan neurologis
dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma yang memerlukan
evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Poststroke iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang
mengalami serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders.
Kejang sekunder dari stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang sama
seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.

48

2.10. Prognosis
Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting
adalah sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan.Usia pasien,
penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi
prognosis. Secara keseluruhan, agak kurang dari 80% pasien dengan stroke
bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan
hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini tidak mengejutkan,
mengingat usia lanjut di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat
dari periode akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi
independen, sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional.6

Anda mungkin juga menyukai