Anda di halaman 1dari 83

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H.

RUMADI SE, SH, MHum

BAHAN AJAR
MATA KULIAH
FILSAFAT HUKUM
Oleh
DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
1. Memahami pengertian filsafat.
2. Memahami pengertian hukum.
3. Mengetahui pengertian filsafat hukum.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Membedakan pengertian Ilmu Filsafat dan Agama.
2. Menyebutkan ruang lingkup Ilmu Filsafat.
3. Menyebutkan pengertian hukum dari berbagai sarjana.
4. Mengetahui pengertian Filsafat Hukum dari berbagai sarjana.
1. Pengertian Filsafat dan Agama
Adakalanya orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk
dapat berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan
filsafat. Sesungguhnya, istilah filsafat merupakan suatu istilah dari bahasa Arab
yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia.1
Secara etimologis, kata filsafat berasal dari kata majemuk, yakni: filo dan
sofia. Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena
ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya
kebijaksanaan. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah
pandai: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat
dimaknakan:

Ingin

mengerti

dengan

mendalam

atau

cinta

kepada

kebijaksanaan. Dengan demikian, rumusan tersebut di atas dapat disebut sebagai


suatu definisi atau pembatasan yang semata-mata berdasarkan atas keterangan
nama atau pembatasan nama.
1

I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta,
1990, halaman 1.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis
filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin
dalam berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya. 2 Filsafat dapat juga
diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan
yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain
filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat
universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai
suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat.
Menurut Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni
objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan
penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu
yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada
dan mungkin ada. Pada intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia.
Barangkali, objek materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang
membedakan adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut
pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari keterangan sampai
sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga terdapat
kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.3
Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok,
yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. 4 Menyeluruh, artinya cara berfikir
filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau
sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar,
artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang
mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan
ilmu biasa.

Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995,
halaman 4.
3
I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9.
4
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1998.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkahlangkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi
harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu
ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.5 Refleksi berarti pengendapan
dari

pemikiran

yang

dilakukan

secara

berulang-ulang

dan

mendalam

(contemplation). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan


yang lebih jauh lagi dan dilakukan secara terus-menerus. Kritis berarti analisis
yang dibuat filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab,
jika yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut baru
melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala semata. Lain halnya, jika
yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan gejala-gejala melainkan hakikat.
Ada beberapa sarjana penulis filsafat yang mengemukakan pendapatnya
tentang filsafat, antara lain:
a. Plato
b.
c.
d.
e.

: filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai


kebenaran yang asli.
Aristoteles : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Al Farabi : Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud
bagaimana hakekat yang sebenarnya.
Descartes
: Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana
Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
Immanuel Kant : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok
dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di
dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama,
dan antropologi.6

Dari perumusan filsafat sebagaimana dikemukakan oleh para penulis filsafat


tersebut dapat ditarik intisarinya bahwa filsafat merupakan karya manusia tentang
hakikat sesuatu.
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa filsafat dapat diartikan
sebagai ilmu, meskipun demikian antara filsafat dengan keseluruhan ilmu yang
5

Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 7.


Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990,
halaman 5.
6

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

bertemu pada obyek materia (segala yang ada dan mungkin ada) tetap berbeda,
karena perbedaan itu terletak pada obyek formanya.
Tentu saja perbedaan itu tidak berlaku pada kedudukan filsafat dengan agama,
karena agama merupakan sesuatu yang ada, sehingga agama juga masuk ke dalam
lingkungan filsafat, dari sini muncul apa yang dinamakan filsafat agama.
Dalam agama ada beberapa hal penting yang diselidiki oleh filsafat, misalnya:
Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut ada
atau paling tidak mungkin ada, namun antara filsafat dan agama memiliki dasar
penyelidikan yang berbeda. Di satu sisi, sudut pandang penyelidikan agama
didasarkan atas wahyu Tuhan atau firman Tuhan. Pada agama, kebenaran
tergantung kepada diwahyukan atau tidak. Yang diwahyukan Tuhan harus
dipercayai, oleh akrena itu agama ada dan disebut kepercayaan.
Di sisi lain, kebenaran diterima oleh filsafat bukan karena kepercayaan,
melainkan diterima dengan penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak
mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya
atas wahyu. Dengan kata lain, filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan
agama berdasarkan wahyu.
2. Ruang Lingkup Ilmu Filsafat
Objek materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada,
dengan kata lain objek filsafat itu ada. Adapun ada ini dapat ditinjau atau dilihat
dari berbagai penjuru sudut pandang, sehingga muncul bermacam-macam bagian
filsafat. Pembagian filsafat dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
a. Berdasarkan Objek, yang dibedakan menjadi dua:
1) Filsafat Umum (Ada-Umum):
Pada filsafat umum, ada mungkin dipandang dari sudut keumumannya.
Segala sesuatunya itu ada. Dalam realitas, terdapat bermacam-macam hal,
yang semuanya mungkin ditangkap dalam adanya. Oleh karena itu,
terdapat ada yang bermacam-macam dan ada-umum. Ada menjadi dasar
dari segala yang ada, misalnya sifat-sifatnya, sehingga filsafat ada-umum
disebut Ontologia atau Metaphysica generalis.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

2) Filsafat Khusus (Ada-Khusus):


Dalam filsafat khusus (ada-khusus), ada dipandang dari sudut pandang
tertentu yang lain dari umum. Oleh karena itu sudut pandang tersebut
banyak macamnya, sehingga memunculkan filsaft bagian yang bermacammacam pula, yang terdiri dari:
a) Theodicea (Ada-Mutlak):
Kekhususan dari ada itu mungkin terdapat dalam mutlaknya. Padahal
di dunia terdapat ada yang tidak mutlak. Jadi, apabila nanti terdapat
ada yang mutlak, maka harus diselidiki sifat-sifatnya, kemampuannya,
dan hubungannya dengan ada-khusus-tak mutlak. Dengan demikian,
filsafat yang mempersoalkan ada-mutlak disebut filsafat ada-mutlak,
yang lazim disebut sebagai Theodicea.
b) Ada-Tidak-Mutlak:
Di samping ada-mutlak terdapat ada-tidak mutlak. Pada ada-tidak
mutlak terdapat banyak macamnya ke golongan ini yang harus
diselidiki oleh filsafat darti sudut pandang tertentu, yang hendak dicari
sebabnya yang terakhir atau sebab yang sedalam-dalamnya, yang
dapat dibagi-bagi lagi ke dalam:
1)) Filsafat Alam (Cosmologia):
Alam semesta dan isinya merupakan ada yang tidak harus ada,
sehingga dapat disebut sebagai ada-tidak mutlak. Alam dicari
intinya oleh filsafat inti alam itu, apakah sebenarnya itu, apakah isi
alam pada umumnya, dan apakah hubungannya satu dengan yang
lain serta hubungannya dengan ada-mutlak, dengan demikian
filsafat alam disebut kosmologia.
2)) Manusia:
Alam merupakan ada-tidak mutlak, karena ada-nya tidak dengan
niscaya. Segala isi alam mungkin lenyap dan pernah tidak ada,
namun alam mempunyai kedudukan yang istimewa yang
menyelidiki semuanya, yaitu: manusia, yang dapat dibagi lagi ke

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

dalam tiga kelompok sebagaimana diuraikan dalam uraian di


bawah ini:
a)) Filsafat Manusia (Anthropologia-Metaphysika):
Dengan sendirinya, kekhususan ada-tidak mutlak merupakan
manusia yang mempunyai kemanusiaan yang tercakup di
dalamnya soal-soal tentang manusia, seperti: apakah manusia
itu sebenarnya, apakah hubungannya satu sama lain, apakah
kemampuan-kemampuannya, apa pendorong hidupnya, apa
sifat-sifat pendorong hidup itu, dan lain-lain. Sehingga
filsafatnya disebut filsafat manusia atau anthropologia
metphysica.
b)) Filsafat Tingkah Laku (Ethica):
Pada filsafat tingkah laku (ethica) yang diselidiki adalah
tindakan-tindakan manusia, yang terdorong oleh kehendaknya
dan diternagi budinya. Tindakan manusia sendiri dapat
dibedakan lagi menjadi tindakan yang baik atau buruk
sehingga untuk menilai tindakan tersebut diperlukan tolok ukur
yang terdiri dari norma (aturan) subyektif maupun yang
obyektif (terlepas dari subyek yang menilai) dan ini dilakukan
dalam ethica atau filsafat tingkah laku.
c)) Filsafat Budi (Logika):
Untuk melakukan penyelidikan, manusia memerlukan alat
penyelidikan yang disebut budi yang harus diselidiki, sebab
tanpa budi tidak akan ada penyelidikan. Oleh karena itu dicari
jawabannya mengenai persoalan-persoalan sebagai berikut:
adakah manusia mempunyai budi dan akal, dapatkah budi
mencapai kebenaran? Dari sini timbul persoalan baru: apakah
kebenaran itu, sampai di mana kebenaran itu dapat dicapai
budi, seluruh kebenaran ataukah hanya sebagian saja?
Dengan kata lain, seluruh isi budi diselidiki oleh filsafat yang
disebut filsafat budi (logika). Namun, dalam bekerjanya budi,

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

ia harus mentaati aturan-aturan yang ada, seperti: pengertian,


jalan pikiran, serta putusan-putusan. Penyelidikan tentang
bahan dan aturan berfikir merupakan bagian dari logika dan
disebut logika minor. Sedangkan penyelidikan terhadap isi
berfikir disebut logika mayor.
b. Pembagian filsafat berdasarkan Subjek:
Selain pembagian filsafat berdasarkan objek, dalam filsafat juga dikenal
pembagian filsafat berdasarkan subjek, karena dalam filsafat tentu ada yang
berfilsafat, dan itu dilakukan oleh subjeknya, yaitu manusia, sehingga perlu
dikenali pembagian filsafat menurut subjeknya, yang terdiri dari 3 (tiga) bidang,
yaitu:
1) Soal Tahu (Pengetahuan):
Soal pengetahuan ada 2 macam menurut sifatnya, yaitu pengetahuan
bermacam-macam yang tidak tetap dan pengeatahuan yang berlaku umum,
yang tidak beruba-ubah dan tetap satu macam. Dari sini timbul persoalan
menganai: bagaimanakah cara mencapai pengetahuan itu? Adakah bawaan
yang dibekalkan kepada manusia waktu lahir ataukah itu hasil dari usaha
kemampuan yang ada padanya dan merupakan pengambilan dari objek yang
dikenalnya itu. Mungkinkah itu hanya gambaran samar-samar atau namanama belaka yang tidak ada hubungannya dengan realitas? Tentu saja semua
pertanyaan tersebut harus dijawab sebagian oleh Logika dan sebagian oleh
Anthropologia.
2) Soal Ada:
Orang berfikir tentu ada. Sehingga, jika ia tidak ada maka dia tidak berfikir.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang ada yang memiliki
bermacam-macam sudut pandang, dan ini dijawab oleh filsafat tentang ada
(ontologia, theodicea, kosmologia, dan anthropologia).
3) Soal Pernilaian:
Dalam berfikir dan mengadakan putusan, setiap orang akan memiliki
pernialaian yang berbeda dan saling bertentangan, misalnya: ada yang
tinggi dan rendah, baik lawan buruk, indah lawan jelek, dan sebagainya.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

Tentu saja untuk melakukan pernilaian harus ada tolok ukurnya (kriteria),
sehingga timbul pertanyaan seperti: apakah sebetulnya nilai itu dan lebihlebih dalam tingkah laku manusia, apakah yang dipakai ukuran untuk
menentukan baik buruknya? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ethica.
Jadi, secara garis besar, pembagian filsafat menurut obyek dan subyek dapat
digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:
a. Menurut Objek:
Ada-umum (fils. ada-umum, ontologia, metaphysica generalis)

Ada

Ada-mutlak (filsafat ada-mutlak, theodicea)


Ada-khusus

Alam (filsafat alam, kosmologia)


Fils. manusia (anthropologia)
Tidak-ada mutlak

Manusia

Fils. tingkah laku (ethica)

Fils. budi (logika mayor & minor)

b. Menurut Subjek:
Logika Mayor & Minor
Soal Pengetahuan
Anthropologia
Ontologia
Theodicea
Soal Ada
Kosmologia
Anthropologia

Soal Penilaian

Ethica

3. Pengertian Hukum

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

10

Bagi mahasiswa yang baru belajar tentang hukum tentu sangat bermanfaat jika
disodori definisi atau pengertian hukum sebelum mengetahui dan mempelajari
filsafat hukum.
MacIver menggambarkan masyarakat sebagai sarang laba-laba, karena di
dalamnya terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antarindividu yang
bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan.7
Kaidah/norma sengaja diciptakan agar tidak terjadi benturan-benturan dalam
masyarakat, terutama anatara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan.
Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan,
terciptalah 4 (empat) kaedah/norma, yaitu: kaedah kepercayaan (keagamaan),
kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun (adat), dan kaedah hukum. 8 Dari ke-4
kaedah/norma tersebut hanya kaedah hukum-lah yang lebih melindungi
kepentingan-kepentingan manusia yang sudah dan belum mendapat perlindungan
dari ketiga kaedah tersebut, dengan alasan sebagai berikut:
a. Dari segi tujuan, kaedah hukum ditujukan kepada pelaku yang konkrit,
untuk ketertiban masyarakat, agar jangan sampai jatuh korban.
b. Dari segi isi, kaedah hukum ditujukan kepada sikap lahir.
c. Dari segi asal-usul, berasal dari kekuasaan luar yang memaksa.
d. Dari segi sanksi, berasal dari masyarakat secara resmi.
e. Dari segi daya kerja, membebani kewajiban dan memberikan hak.
Dengan melihat gambaran mengenai kaedah hukum sebagaimana telah
diuraikan tersebut, rasanya masih terlalu sulit untuk mendefinisikan hukum,
karena memang tidak ada satu pun sarjana yang dapat membuat pengertian atau
definisi hukum secara sempurna. Tentu saja, untuk mendefinisikan hukum
bukanlah pekerjaan yang mudah dan ini terkait dengan perkembangan sejarah
hukum dan aliran-aliran dalam filsafat hukum yang tentunya dapat mempengaruhi
pengertian dari hukum.

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1991, halaman 31.
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
1988, halaman 5.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

11

Sebagai contoh pertama, pada zaman Romawi, para pemikir hukum lebih
banyak dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran ke arah pembentukan
hukum yang dapat diberlakukan secara luas di semua wilayah Romawi.
Kedua, pada Zaman Pertengahan, kekuasaan gereja sedemikian besar sehingga
turut melakukan intervensi ke dalam masalah duniawi, termasuk mengatur
pemerintahan, sehingga hukum yang dihasilkan pada waktu itu

bernafaskan

keagamaan dengan mengaitkan inti pemikiran hukum dengan ajaran-ajaran gereja,


misalnya saja Thomas Aquino, yang membagi hukum ke dalam 4 (empat)
golongan, yaitu:9 Lex Aeterna, Lex Divina, Lex Naturalis, dan Lex Positivis yang
nantinya akan dikupas dalam bagian lain dari tulisan ini mengenai berbagai aliran
dalam filsafat hukum.
Ketiga, pada abad ke-19 hukum dipengaruhi oleh perkembangan dunia
ekonomi yang dibarengi dengan kedudukan negara yang semakin kuat dan kukuh
dalam hal melakukan kontrol dan mengarahkan masyarakat ke arah yang
dikehendakinya, sehingga pada masa ini lahirlah aliran positivisme (analitis
maupun murni) yang menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai
pembentuk hukum. Pada masa ini, pemikiran dari John Austin dan Hans Kelsen
sangat berpengaruh pada dunia ilmu maupun teori hukum, baik pada masa
tersebut maupun sesudahnya.
Di samping itu, masih banyak pendapat dari pemikir-pemikir hukum lain,
seperti Carl von Savigny dan Puchta, juga yang lainnya yang nantinya akan
dibahas dalam madzab filsafat hukum.
3. Pengertian Filsafat Hukum
Untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus
mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah
diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama
untuk mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia
yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan bahwa
9

Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 29-30.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

12

filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat
hukum sebagai subspecies.10 Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Umum
Ada

Ada Mutlak
Ada Khusus

Alam
Ada
Tidak Mutlak
Manusia

Anthropologia
Etika
Filsafat Hukum

Logika
Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika
mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan
objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang
disebut hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan memberikan
definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung dari sudut
pandang para ahli hukum melihatnya seperti yang dikemukakan oleh beberapa
sarjana dalam uraian di bawah ini.
J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan
kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan
orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von
Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang
memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen
menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.
Pendapat tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono
Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian peraturan mengenai
tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satusatunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata
tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi hukum tersebut menunjukkan betapa
10

Lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 10. Bandingkan juga dengan Lili
Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, halaman
4.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

13

luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita
dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.
Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler
yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang
hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum
merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische
bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen
berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis tentang masalahmasalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum,
dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het
systematisch nadenken over alle fundamentele kwesties en grensproblemen het
verschijnsel recht samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de
realisatie van de rechtsidee).11
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar
tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat
keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan
keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan
sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke
lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.

DAFTAR PUSTAKA
11

Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana


Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

14

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan


Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 1988.
Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta, 1990.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.
________________, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
Sastrosoehardjo, Soehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program
Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

15

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat membedakan sejarah
perkembangan filsafat hukum dari zaman Yunani sampai dengan abad dewasa ini.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman Yunani
(Kuno).
2. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
pertengahan.
3. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman modern.
4. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
sekarang.
1. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang
sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu
pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat
membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman
Yunani (Kuno).
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan
sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan
sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada
zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato,
dan Aristoteles.12 Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM),
Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya
keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya
12

Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat


Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 70-71.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

16

dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos
(rasio).13 Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang
dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus
disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah
keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai
dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan
dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat
bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu
keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke
dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak
menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena
dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat
bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif,
karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates
berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas
dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan
terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara
itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa
untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan
(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak
dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan
13

Logos menciptakan bentuk , ukuran, dan harmoni yang menghasilkan aturan. Aturan ini
terwujud dalam polis di mana warga-warga polis memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan
logos (Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 20).

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

17

menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan
agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya.
Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai
kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan
dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles
berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran
Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles,
manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum
yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum
positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif
muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut
Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan
di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak
pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada
ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara
bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum
positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan
diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan
kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama
filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno).
Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian,
dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif)
yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu,
sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori
perjanjian masyarakat.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

18

Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam


hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang
bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya.
Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan logos, yang
selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut Stoisisme, tujuan
hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga
ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif
sesuai dengan hukum alam.
2. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak
runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the
dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa
scholastic),14 dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman
pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada
saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga
tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga
masa ini dikenal sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus
(354-430)

dan

Thomas

Aquino/Thomas

Aquinas

(1225-1275).

Dalam

perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari


pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh
dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi.
Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang
diketemukan dalam jiwa manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah
meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu
Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina),
hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif
14

Lihat Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990, halaman 13.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

19

(Lex Positivis).15 Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan
oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum
pada bagian lain dari tulisan ini.
3. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern
Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri,
yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh
yang berperan sangat penting pada abad pertengahan ini, antara lain: William
Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679),
John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (17111776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius
(1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (17121778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut
Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan
menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak
perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi
yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru,
lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi
dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama
sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai
satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para
penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme
hukum.
4. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang
Yang dimaksud dengan zaman sekarang dimulai pada abad ke-19. Filsafat hukum
yang berkembang di zaman modern berbeda dengan filsafat hukum yang
berkembang pada zaman modern. Jika pada zaman modern berkembang
rsionalisme, maka pada zaman sekarang rasionalisme yang berkembang
15

Lihat Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 39.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

20

dilengkapi dengan empirisme, seperti Hobbes. Namun, aliran ini berkembang


pesat pada abad ke-19, sehingga faktor sejarah juga mendapat perhatian dari para
pemikir hukum pada waktu itu, seperti Hegel (1770-1831), Karl Marx (18181883), juga von Savigny sebagai pelopor mazhab sejarah.
Hegel merupakan tokoh utama dalam idealisme Jerman, ia merupakan penerus
rasionalisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Menurut Hegel, rasio
tidak hanya rasio individual melainkan juga rasio Keilahian. Teorinya disebut
Dialektika, yang popularitasnya mengalahkah ahli pikir di zamannya, seperti J.F.
Fichte (1762-1814) dan F.W.J. Schelling (1775-1854).
Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia
merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung
lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak
ada atau sebaliknya mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi.
Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada akhirnya dari
setiap synthese merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru. 16 Teori dialektika
Hegel ini dapat digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:
Ada

Tidak Ada
Ide Menjadi

Negara diktator

Negara Anarkhis

Negara demokratis konstitusional

Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels
yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam
masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan
bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan perkembangan
masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor sejarah ke dalam
pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum.
Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.17
Dari beberapa fase perkembangan filsafat hukum yang diawali sejak zaman
Yunani (Kuno) dapat digambarkan dalam suatu ikhtisar berikut ini:
16
17

Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 37.


Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 82.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

Z. Yunani (Kuno)

Z. Pertengahan

21

Z. Modern

Z. Sekarang

Masa Gelap
Anaximander
Herakleitos
Parmenides
Socrates
Plato
Aristoteles

Augustinus
Thomas Aquino

W. Occam
Hegel
R. Descartes
Fichte
T. Hobbes
Schelling
J. Locke
von Savigny
G. Berkeley
D. Hume
F. Bacon
Wolf
Montesquieu
J.J. Rousseau
Immanuel Kant

5. Latihan Soal
1. Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides)
berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan keadilan diperlukan
nomos yang bersumber pada logos (rasio)?
2. Mengapa

Socrates

tidak

percaya

terhadap

kebenaran

subjektif

sebagaimana dikemukakan oleh kaum Sofis?


3. Di mana letak pengaruh pemikiran filsuf zaman Yunani terhadap
pemikiran para filsuf di zaman pertengahan? Bagaimana pula Thomas
Aquinas membagi hukum?
4. Mengapa zaman modern dikatakan sebagai zaman Renaissance? Jelaskan!
5. Mengapa Hegel dikatakan sebagai penerus Immanuel Kant?
6. Jelaskan teori dialektika Hegel?
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

22

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

23

BAB III
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
1. Mahasiswa dapat memahami berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.
2. Mahasiswa dapat membandingkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa dapat menyebutkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum,
yaitu: a. Aliran Hukum Alam.
b. Aliran Hukum Positif.
c. Aliran Utilitarianisme.
d. Aliran Sejarah.
e. Alian Positivisme.
f. Aliran Sociological Jurisprudence.
g. Aliran Legal Realism.
1. Berbagai Aliran Dalam Filsafat Hukum dan Perbedaannya
Dalam filsafat hukum dikenal pembagian pelbagai aliran atau mazhab, yang
dikemukakan oleh beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G. Northrop dan Lili
Rasjidi.18
Northrop membagi aliran atau madzhab filsafat hukum ke dalam 5 (lima)
aliran, yaitu:
a. Legal Positivism.
b. Pragmatic Legal Realism.
c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence.
d. Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence.
e. Naturalistic Jurisprudence.

18

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990,
halaman 26-27.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

24

Sedangkan Lili Rasjidi membagi aliran/madzhab filsafat hukum ke dalam 6


(enam) aliran besar, masing-masing:
a. Aliran Hukum Alam:
1) Yang Irrasional.
2) Yang Rasional.
b. Aliran Hukum Positif:
1) Analitis.
2) Murni.
c. Aliran Utilitarianisme.
d. Madzhab Sejarah.
e. Sociological Jurisprudence.
f. Pragmatic Legal Realism.
Selain kedua orang tokoh tersebut ada juga sarjana lain, yaitu Soehardjo
Sastrosoehardjo yang membagi filsafat hukum ke dalam 9 (sembilan) aliran atau
madzhab, yaitu:19
a. Aliran Hukum Kodrat/Hukum Alam.
b. Aliran Idealisme Transendental (Kantianisme).
c. Aliran Neo Kantianisme.
d. Aliran Sejarah.
e. Aliran Positivisme.
f. Aliran Ajaran Hukum Umum.
g. Aliran Sosiologi Hukum.
h. Aliran Realisme Hukum.
i. Aliran Hukum Bebas.
Ketiga sarjana tersebut dalam membagi-bagi aliran dalam filsafat hukum tidak
sama, karena memang tergantung pada penafsiran masing-masing orang dalam
memilah-milahkan aliran dalam filsafat hukum.

19

Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana


Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 1.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

25

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pembagian aliran/madzhab filsafat


hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru besar imu hukum dari
Universitas Padjadjaran, Bandung dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut
Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan
yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku
secara universal dan abadi.20
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui
penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum
alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Irrasional:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi
bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain:
Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius
Padua, dan John Wyclife.
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
a) Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal
dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap
oleh pancaindera manusia.
b) Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia
berdasarkan waktu yang diterimanya.
c) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan
penjelmaan dari rasio manusia.
d) Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam
oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh

20

Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

26

keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan


hukum positif buatan manusia.
Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis
hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:
a)

Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia


yang bersumber dari rasio alam.

b)

Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal


dari alam.

c)

Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat


diubah oleh penguasa.

Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak


Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat demikian,
manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan
umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah
pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan waktu. Berdasarkan
akalnya manusia dapat menerima hukum alam tersebut, sehingga manusia
dapat membedakan antara yang adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan baik
atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia adalah sebagian
saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio) manusia.
1)

Rasional:
Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal
dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman
Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib
ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam
muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk
penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya,
antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant,
dan Samuel Pufendorf.
Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia
menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

27

manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah
sebagai satu-satunya sumber hukum.
Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari
Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik
der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis
(kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya
Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni).
Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia,
yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).21
Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia
(homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang
bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze),
tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri
menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang
penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada
manusia ideala berkepribadian humanistis.
Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der
Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian
dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah
bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk
berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan
kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna
mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa
hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri
dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah
hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap
mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat
21

Soehardjo Sastrosoehardjo, Op. Cit., halaman 12.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

28

unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini


sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan
penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari
Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme.
Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam
itu bersumber dari rasio manusia.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman. Yang
dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar adalah nyata,
dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich
ist, das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is
reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau
realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan
proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang
senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup
seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan
dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis
melalui tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan
terus-menerus. Filsafat hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan
esensinya juga dikuasai oleh hukum dialektika. Negara merupakan
perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum.
b. Aliran Hukum Positif
Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum
yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undangundang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
1) Analitis
Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat
asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain,
yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical
Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
a) Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

29

b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
-

hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif
yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang,
peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun
rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hakhaknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.

Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam
organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.

Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya
terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang
tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
2) Murni
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena
pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen
seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan
dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam.
Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam
walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans
Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam,
walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana
tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran
Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran
hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau
tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu
(hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme
hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah.
Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

30

a) Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah
meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan
keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
b) Teori filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki,
masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
c) Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap)
yang dikuasai oleh hukum kausalitas.
d) Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan
kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e) Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur
perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f) Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif
tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum
yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan
norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma
dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik,
etiika atau agama.
Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau
susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl
(1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering,22 yang kemudian diambil
alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu tergantung pada
norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada suatu
Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya
keseluruhan hukum positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan
dalam arti hukum kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental Logische
Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan bahwa norma
dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus
berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan norma-

22

Bandingkan dengan Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 43.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

31

norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
Penulis lain bernama Rudolf Stammler (1856-1938) merupakan tokoh
kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum kodrat gaya baru, yaitu hukum kodrat
yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa filsafat hukum adalah
ilmu/ajaran tentang hukum yang adil (die lehre vom richtigen recht). Apabila
ilmu hukum meneliti dan mengkaji, secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat
hukum ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara
transendental kritis (metode yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran
manusia hingga menerobos sampai pada landasan/dasar transendental logis
penghayatan hukum yang berujud hakekat pengertian hukum.
Hakekat pengertian hukum atau pengertian hukum yang transendental ini
mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak
bisa diganggu (wollen, verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari
hakekat ini lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek
hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum,
penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan melawan hukum.
Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa metode pikiran formil yang
adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asasasas hukum umum yang menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk
pengertian hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah
hukum yang memenuhi syarat atau tertentu social-ideal, yakni ujud dari
manusia dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak bebas
(Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial ini berfungsi
regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak semata-mata pada bentuk
hukumnya.
c. Aliran Utilitarianisme
Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill
(1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa
alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

32

memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah


kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan.
Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan
kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk
itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka
akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang
lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang
individual.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih
banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan
manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui
hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang
mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum.
Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada
hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu
menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara
utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal
sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan
antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari
John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingankepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan
melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan
tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan
menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang
lain.
d. Aliran Sejarah
Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan
Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

33

dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat,
berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat
kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke
vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen
eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan
adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai
berikut:
1) Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan
sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2) Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena
dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris
yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras.
3) Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya,
tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi
bentuk hukum.
4) Dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar
daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang
dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari
Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di
samping itu juga hendak memberi tempat yang terhormat bagi hukum rakyat
Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum
Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman. Tantangan von Savigny
terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya
Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von
Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von
Savigny berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:
1) Langsung, berupa adat-istiadat.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

34

2) Melalui undang-undang.
3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa
bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.
Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian bangsa ke dalam dua jenis,
yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa
dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian
nasional (negara), sedangkan bangsa alam memiliki hukum sebagai keyakinan
belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga
akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik
hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli
hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh
negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran
mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai
hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan
apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa
menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adatistiadat.
Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut
Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan
Positivisme Yuridis.23 Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht.
e. Aliran Sociological Jurisprudence

23

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 120-121.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

35

Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin
Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika,
pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. 24 Kata sesuai
diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan
rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari
hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu
mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara
hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi
yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping
juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap
masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan
sosiologi

hukum)

dapat

dibedakan

cara

pendekatannya.

Sociological

jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat,


sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada
hukum.
Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law
as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan
harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan
kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha
penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan
anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu
diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan
aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan
primat pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung

24

Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 47.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

36

und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan


kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari
these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran
tersebut ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal
agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu
hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji
oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh
pengalaman . Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem
hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal,
yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undangundang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi
politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.
f. Pragmatic Legal Realism
Salah seorang sarjana bernama Friedman membahas aliran ini dalam
kaitannya sebagai salah satu subaliran dari positivisme hukum. Sebab, pangkal
pikir dari aliran ini bersumber pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber
hukum. Pendasar mazhab/aliran ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell
Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan sebagainya. Friedman
juga berpendapat bahwa Roscoe Pound juga dapat digolongkan ke dalam
Pragmatic

Legal

Realism

di

samping

masuk

ke

dalam

Sociological

Jurisprudence. Hal ini disebabkan oleh pendapat atau pandangan Roscoe Pound
yang mengatakan bahwa hukum itu adalah a tool of social engineering. Sementara
itu, Llewellyn berpendapat bahwa Pragmatic Legal Realism bukan aliran tapi
suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan
dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
2) Realisme adalah suatu konsep mengenai hukum yang berubah-ubah dan
sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

37

diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan
sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
3) Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen
dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu
mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan
observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak
boleh dipenuhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
4) Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh
karena realisme bermaksud melukiskan apa yang sebenarnya oleh
pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisidefinisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang
apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan
keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan
perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada
jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5) Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum
haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.
Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan
program tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut:
1) Keterampilan

diperlukan

bagi

seseorang

dalam

memberikan

argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya


bukan hanya sekedar argumen-argumen yang diajukan oleh ahli hukum
yang nilainya tidak berbobot.
2) Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan
relativitas makna peraturan-peraturan tersebut.
3) Menggantikan katagori-katagori hukum yang bersifat umum dengan
hubungan-hubungan khsusus dari keadaan-keadaan yang nyata.
4) Cara pendekatan seperti tersebut di atas mencakup juga penyelidikan
tentang faktor-faktor/unsur-unsur yang bersifat perseornagan maupun
umum dengan penelitian atas kepribadian sang hakim dengan disertai data-

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

38

data statistik tentang ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat oloeh


pengadilan dan lain-lain.25
Mengenai aliran Pragmatic Legal Realism yang berkembang pada waktu itu
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1) Aliran Realisme Hukum Amerika
Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank. The path
of Law berasal dari Holmes, sedang Law in the modern mind berasal dari
Jerome Frank. Sifat normatif hukum agak dikesampingkan. Hukum pada
hakekatnya adalah berupa pola perilaku/tindakan (pattern of behaviour) nyata dari
hakim dan petugas/pejabat hukum (law officials) lainnya. Pendorong utama
perilaku Hakim atau pejabat-pejabat hukum segarusnya berpijak pada moral
positif dan kemaslahatan masyarakat (social advanrage). Bagi Frank, hukum
dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum yang senyatanya dan hukum yang
mungkin (actual law and probable law). Peraturan-peraturan hukum dan asas-asas
hukum tidak lain adalah semacam stimuli yang mempengaruhi perilaku hakim
yang dapat dilihat dalam putusan-putusan hakim, di samping faktor-faktor lain,
yakni, prasangka politis, ekonomis, dan moril, simpati maupun antipati pribadi
(Frank). Terhadap sikap yang agak ekstrim dari kedua tokoh tersebut, yakni
Roscoe Pound dan benjamin Cardozo dalam bukunya yang berjudul The nature
of the juridical process mengambil pendirian yang lebih moderat, yakni wawasan
sosiologis.
2) Aliran Realisme Skandinavia
Di Skandinavia, para sarjana hukum modern mengembangkan cara berfikir
tentang hukum yang memiliki ciri khas ala Skandinavia yang tidak ada
persamaannya

di negara-negara lain. Walaupun istilah realisme sering

dipergunakan untuk gerakan cara berfikir di Skandinavia akan tetapi persamaan


nama dengan gerakan cara berfikir di Amerika Serikat, hanyalah sebatas
persamaan nama saja. Realisme Skandinavia adalah dasar-dasar filsafat yang
memberikan kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika hukum (Skandinavian
25

Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997,
halaman 77.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

39

realism is essentialy a philosophical critique of the metaphysical foundations


law). Gerakan ini menolak cara pendekatan yang dipergunakan oleh kaum realis
Amerika Serikat yang mempunyai nilai rendah. Dalam caranya memberi kritik
dan pengupasan prinsip-prinsip pertama yang seringkali sangat abstrak, grakan
realis mempunyai ciri-ciri yang mirip sekali dengan ciri-ciri Filsafat Hukum
Eropa. Adanya persamaan cara pendekatan antara penganut-penganut gerakan
relaisme Skandinavia diusebabkan oleh pengaruh dari Axel Hagestrom terhadap
tokoh-tokoh gerakan realisme Skandinavia pada waktu itu, yaitu Oliverscrona,
Lundstedt, sekalipun pengaruh Axel tidak sebesar Ross.
Para ahli hukum tersebut di atas menolak adanya pengertian-pengertian
mutlak tentang keadilan yang menguasai dan yang memberi pedoman pada
sistem-sistem hukum positif. Mengenai nilai-nilai hukum gerakan realisme
Skandinaviamempunyai pendirian yang sama dengan filsafat relativisme; mereka
menolak pendirian yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hukum
dapat disalurkan secara memaksa dari prinsip-prinsip tentang keadilan yang tidak
adapat diubah.
Menureut Friedman, 26 keberadaan realisme Skandinavia telah memberikan
sumbangan yang amat besar kepada teori hukum, yaitu tentang penggunaan
pengertian kehendak kolektif, satu kehendak umum atau kehendak negara (a
collective or general will or of the state) oleh ilmu hukum analitis. Menurut
Hargerstrom dan kawan-kawan, pengertian-pengertian tersebut adalah semacam
satu pengertian gaib yang dipergunakan mereka untuk memberi dasar hukum pada
kemahakuasaan orang-orang yang memegang perintah negara; dan cara mereka
membuktikan legitimitas (dasar hukum) kekuasaan negara tersebut menurut
Hargerstrom dan kawan-kawan adalah pada dasarnya sama dengan cara-cara yang
dipergunakan filsafat hukum kodrat.
2. Latihan Soal

26

Ibid., halaman 86.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

40

a. Mengapa hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang


sengaja dibentuk oleh manusia? Jelaskan!
b. Apa yang melatarbelakangi Thomas Aquinas membagi hukum
menjadi 4, serta sebutkan dan jelaskan ke-4 hukum menurut
Thomas Aquinas?
c. Mengapa dalam aliran hukum positif timbul aliran analitis dan
murni dan bagaimana pula perbedaan yang menonjol antara dua
liran tersebut? Jelaskan!
d. Siapakah pendasar aliran Utilitarianisme dan bagaimana pula
pendapat atau pandangan para ahli hukum penganut aliran
Utilitarianisme terhadap hukum? Sebut dan jelaskan!
e. Adakah perbedaan pendapat antara Karl von Savigny dan Puchta?
Jelaskan jawaban Sdr.!
f. Ada berapa pandangan realisme hukum? Di manakah pertama kali
realisme hukum itu timbul? Jelaskan perbedaannya masing-masing!

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

41

DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 1995.
Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, 1990, halaman.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program
Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1997.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

42

BAB IV
PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUM SECARA FILOSOFIS
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
1.

Memahami berbagai pengertian hukum secara


filosofis.

2.

Memahami berbagai tujuan hukum secara filosofis.

Tujuan Instruksional Khusus:


1.

Menyebutkan

dan

menjelaskan konsepsi hukum menurut Roscoe Pound.


2.

Menyebutkan

dan

Menyebutkan

dan

menjelaskan tujuan hukum secara tradisional.


3.
menjelaskan tujuan hukum secara modern.
1. Konsepsi Hukum Menurut Roscoe Pound
Roscoe Pound sebagai salah seorang pendasar aliran Sociological
Jurisprudence yang tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat, memiliki 12
(dua belas) konsepsi tentang hukum. Kedua belas konsepsi hukum yang
dikemukakan oleh Pound tersebut dipergunakan untuk menjelaskan gagasan
tentang hak-hak asasi yang sebenarnya berguna untuk menerangkan untuk apa
sebenarnya hukum itu, dan menunjukkan bahwa seberapa mungkin harruslah
sedikit hukum itu, karena hukum merupakan satu kekangan terhadap kebebasan
manusia, dan kekangan itu walaupun hanya sedikit menuntut pembenaran yang
kuat.

Hal inilah yang melatarbelakangi adanya 12 konsepsi Pound tentang

hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung sebagian besarnya di
dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan pendek mengenai
gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini akan sangat berguna

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

43

dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12 konsepsi Pound
tentang hukum tersebut terdiri dari:27
a.

Pertama,

boleh

kita

kemukakan gagasan tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang


diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia, misalnya undangundang Nabi Musa, atau undang-undang Hammurabi, yang diturunkan oleh
Dewa Matahari setelah selesai disusun, atau undang-undang Manu yang
didiktekan kepada para budiman oleh putra Manu, Bhrigu namanya, di
depan Manu sendiri dan atas petunjuknya.
b.

Ada

satu

gagasan

tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat
diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh
ditempuh manusia dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang
menganggap dirinya dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam yang
banyak tingkah dan suka membalas dendam, terus-menerus dalam ketakutan
kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan
demikian ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh mahkluk gaib
tersebut. Kesalahan umum menuntut supaya orang melakukan hanya apa
yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara yang digariskan oleh
kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan melakukan apa yang
tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan perintah yang
tradisional akan dicatat, yang di alam kebiasaan itu dipelihara dan
dinyatakan. Bilamana kita menjumpai sehimpunan hukum primitif yang
merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi
ia akan dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi
yang sama tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan dipandang
sebagai yang telah diwahyukan oleh Tuhan.
c.

Gagasan

ini

rapat

dengan yang kedua, yakni memahamkan hukum sebagai kebijaksanaan yang


27

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara,
Jakarta, 1996, halaman 28-32.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

44

dicatat dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan yang
selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila
satu kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan telah
dituliskan dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap
sebagai hukum. Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum
Masehi dapat melukiskan hukum Athena dengan kata-kata tadi.
d.

Hukum

dapat

dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filasaft,


yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus
menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu. Demikianlah,
gagasan sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya merupakan cangkokan
dari gagasan kedua dan ketiga tadi, dan dari satu teori politik tentang hukum
sebagai perintah dari bangsa Romawi; dan semuanya dirukunkan dengan
memahamkan tradisi dan kebijaksanaan yang tercatat dan perintah bangsabangsa yang semata-mata sebagai pernyataan atau pencerminan dari asasasas yang dicari kepastiannya secara filsafat, harus diukur, dibentuk,
ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah diolah oleh ahli-ahli
filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali mendapat bentuk lain,
e.

Sehingga

kelima

hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari


satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.
f.

Ada

satu

gagasan

mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di


dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur
hubungan antara yang seorang dengan yang lainnya. Ini adalah suatu
pandangan demokratis tentang identifikasi hukum dengan kaidah hukum,
dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari negara kota yang
diperbincangkan di dalam buku Minos dari Plato. Sudah sewajarnyalah
Demosthenes menganjurkan kepada satu juri di Athena. Sangat mungkin
dengan teori serupa itu, satu gagasan filsafat akan menyokong gagasan
politik dan kewajiban moril yang melekat pada suatu janji akan

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

45

dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang harus menepati


persetujuan yang mereka buat di dalam majelis rakyat.
g.

Hukum

dipikirkan

sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam semesta
ini; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda
dengan yang masih dilakukan, yang ditujukan kepada mahkluk lain selain
manusia. Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai penganut
banyak sampai abad ke-17 dan semenjak itu masih besar pengaruhnya.
h.

Hukum

telah

dipahamkan sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat


di dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan,
tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat itu, dan
perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap
terdapat di belakang wewenang dari yang berdaulat. Demikianlah anggapananggapan sarjana-sarjana Romawi pada masa republik dan masa klasik
mengenai hukum positif. Dan karena Kaisar memegang kedaulatan rakyat
Romawi yang diserahkan kepada baginda, maka Institutiones dari Kaisar
Justinianus dapat menetapkan bahawa kemauan kaisar mempunyai keuatan
satu undang-undang. Cara berfikir serupa itu cocok dengan pikiran-pikiran
ahli-ahli hukum yang giat menyokong kekuasaan raja dalam memusatkan
kerajaan Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, dan dengan perantaraan ahliahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam hukum publik. Rupanya
dia sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi Parlemen di tanah
Inggris sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris yang kolot.
Demikianlah dia dicocokkan dengan satu teori politik tentang kedaulatan
rakyat yang menurut teori itu, rakyat dianggap sebagai pengganti parlemen
untuk memegang kedaulatan pada waktu Revolusi Amerika, atau sebagai
pengganti Raja Perancis pada waktu Revolusi Perancis.
i.

Satu

gagasan

yang

menganggap hukum sebagai satu sistem pemerintah, ditemukan oleh

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

46

pengalaman manusia yang menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia


perseorangan akan mencapai kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan
dengan kebebasan serupa itu pula, yang diberikan kepada kemauan orangorang lain. Gagasan ini yang dianut dalam salah satu bentuk oleh mazhab
sejarah, telah membagi ksetiaan sarjana hukum kepada teori hukum sebagai
perintah dari pemegang kedaulatan, dan hal in terjadi hampir di sepanjang
abad yang lalu. Menurut anggapan pada masa itu, pengalaman manusia
yang menemukan prinsip hukum ditentukan dengan sesuatu cara yang tak
dapat dielakkan lagi. Ini bukanlah soal daya upaya manusia yang
dilakukannya dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh pengembangan suatu
gagasan mengenai hak dan keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang
mewujudkan dirinya di dalam pelaksanaan peradilan oleh manusia, atau
oleh kerja-kerja hukum yang biologis atau psikologis atau tentang sifat-sifat
jenis bangsa, yang kemudian menghasilkan sistem hukum daru suatu masa
dan suatu bangsa yang bersangkutan.
j.

Orang

menganggap

hukum itu sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat dan
dikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum
dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu
kehidupan lahir manusia diukur oleh akal, atau pada taraf lain, dengan
tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak diselaraskan
dengan kehendak orang lain. Cara berfikir ini muncul pada abad ke-19
sesudah ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk yang mempengaruhi
pikiran hukum selama dua abad, dan filsafat diminta untuk memberikan satu
terhadap kritik susunan sistematik dan perkembangan detail.
k.

Hukum

dipahamkan

sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia di


dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat
memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar
maupun tidak sadar. Interpretasi ekonomis dari hukum ini banyak
bentuknya. Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

47

pengembangan satu gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan. Di dalam


satu bentuk sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan pada perjuangan
kelas atau satu perjuangan untuk hidup di lapangan perekonomian, dan
hukum adalah akibat dari pekerjaan tenaga atau hukum yang terlibat atau
menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam betuk Positivistis-Analistis,
hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi
perintah itu seperti yang ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas
yang berkuasa, pada gilirannya ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri.
Semua bentuk ini terdapat dalam masa peralihan dari stabilitas kematangan
hukum ke satu masa pertumbuhan baru. Apabila gagasan bahwa hukum
dapat mencukupkan keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai
mencoba menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya,
yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi. Tambahan
lagi pada masa undang-undang banyak dibuat peraturan perundangundangan yang dundangkan mudah dianggap orang sebagai type
darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak membentuk satu teori
tentang pembuatan undang-undang oleh badan legislatif dianggap
memberikan uraian tentang semua hukum.
l.

Akhirnya

ada

satu

gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-undang ekonomi dan


sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di dalam
masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah
yang disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa yang akan
terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggaraan peradilan.
Teori type ini terdapat pada akhir abad ke-19, tatkala orang mulai mencari
dasar fisik dan biologis, yang dapat ditemukan oleh pengamatan, dan bukan
lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh perenungan filsafat. Satu bentuk
lain menemukan satu kenyataan sosial yang terakhir dengan pengamatan
dan mengembangkan kesmpulan yang logis dari kenyataan itu, mirip seperti
yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah akibat lagi dari

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

48

suatu kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak mempersatukan


ilmu-ilmu sosial, yang lebih besar kepada teori-teori sosiologi.
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang
dikenal dengan Law as a tool of social engineering. Untuk itu, Pound membuat
penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum
sebagai berikut:28
1) Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:
a) kepentingan negara sebagai badan hukum;
b) kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2) Kepentingan Masyarakat (Social Interest):
a) kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b) perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c) pencegahan kemerosotan akhlak;
d) pencegahan pelanggaran hak;
e) kesejahteraan sosial.
3) Kepentingan Pribadi (Private Recht):
a) kepentingan individu;
b) kepentingan keluarga;
c) kepentingan hak milik.
Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound
mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu
berupa pendekatan terhadap hukum sebagai ke arah tujuan sosial dan sebagai alat
dalam perkembangan sosial. Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya
merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jhering. Oleh karena itu,
dilihat dari hal tersebut, Pound dapat pula digolongkan ke dalam alairan
Utilitarianisme dalam kapasitasnya sebagai penerus Jhering dan Bentham.
Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum,
sehingga membuat pembentuk undng-undang, hakim, pengacara, dan pengajar
28

Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 129130.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

49

hukum menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap


persoalan

khusus.

Dengan

kata

lain,

klasifikasi

tersebut

membantu

menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.


2. Tujuan Hukum Secara Tradisional
Tujuan hukum sudah timbul di dalam pemikiran yang sadar, kita mengenal
tiga gagasan dalam sejarah hukum.
a. Ketertiban Hukum
Tujuan hukum yang paling sederhana ialah hukum diadakan supaya terjaga
ketenteraman dalam masyarakat tertentu, tujuan hukum yang demikian ini
sangat penting artinya bagi masyarakat, karena dalam masyarakat yang
disusun dalam suatu kekerabatan, yang acapkali di dalamnya terjadi benturanbenturan kepentingan sehingga timbul perselisihan.
b. Menjaga Perdamaian:
Tujuan hukum ialah untuk menjga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja,
dan dipelihara dengan mengorbankan apa saja. Pengertian hukum yang
demikian ini disebut sebagai hukum yang primitif, alasannya ialah bahwa
perdamaian antara kekerabatan yang satu dengan kekerabatan lain , antara
orang-orang yang sekutu, dan penduduk yang bertambah banyak. Sehingga
dimungkinkan terjadi benturan-benturan kepentingan. Oleh karena itu, hukum
dibentuk.
c. Mencegah Pergeseran dalam Masyarakat:
Tujuan hukum ketiga ini timbul, untuk mencegah pergeseran anatar sesama
masyarakat. Hal ini disebabkan sistem kekerabatan semakin hilang dan
digeser oleh orang-orang yang kehilangan kekerabatan serta para pendatang,
sementara itu orang-orang yang memiliki kekerabatan masih berkuasa,
sehingga gagasan mengenai tujuan hukum ketiga dapat juga disebut untuk
menjaga ketertiban sosial.
3. Tujuan Hukum Secara Modern

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

50

Seiring dengan perkembangan ekonomi dalam masyarakat, semakin terasa


akan adanya perlindungan hukum untuk kegiatan yang terkait ekonomi, yaitu:
a. Tujuan Penyingkiran Pembatasan Kegiatan Ekonomi yang Bebas:
Hukum ditujukan untuk menyingkirkan pembatasan terhadap kegiatan
ekonomi yang bebas, yang bertumpuk-tumpuk selama jaman pertengahan
sebagai insiden dari sistem kewajiban di dalam hubungan antar manusia dan
sebagai pengucapan dari gagasan tentang penetapan orang

di tempatnya

masing-masing di dalam suatu masyarakat yang statis.


b. Tujuan Konstruktif:
Tujuan ini berkembang pada saat hukum dagang memberikan efek kepada apa
yang dilakukan orang menurut kehendaknya, yang menilik niat bukan
bentuknya, yang menafsirkan keamanan umum sebagai keamanan bagi
transaksi dan mencoba melaksanakan kemauan tiap orang untuk menciptakan
akibat hukum. Tujuan konstruktif ini dikembangkan dari hukum Romawi dan
kebiasaan saudagar dengan perantaraan teori hukum mengenai hukum alam.
c. Menjaga Kestabilan:
Pada akhir abad ke-19, timbul pandangan hukum adalah keburukan, karena
pada hakekatnya hukum mengekang kebebasan orang, sehingga para sarjana
hukum dan pembuat undang-undang dengan senang hati membiarkan
masyarakat melakukan kemauannya untuk mencapai kesenangannya maupun
kesengsaraannya. Oleh karena itu pada akhir abad ke-19 gagasan hukum yang
ada dipergunakan untuk mencapai kebebasan secara maksimum.

Hubungan Filsafat Dengan Filsafat Hukum


Pembahasan Mengenai Hubungan Filsafat Dengan Filsafat Hukum
Manusia dijadikan sebagai objek filsafat yang menelaahnya dari berbagai segi,
salah satu di antaranya mengenai tingkah laku manusia disebut filsafat etika,
sebagian dari tingkah laku ini kemudian diselidiki secara mendalam oleh filsafat
hukum. Filsafat itu tidak lain adalah hasil pemikiran manusia tentang tempat
sesuatu di alam semesta dan hubungannya dengan isi alam semesta yang lainnya.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

51

Dengan demikian, yang menjadi objek filsafat itu adalah berbagai hal yang ada di
dunia nyata ini.
Hukum

merupakan

sesuatu

yang

berkenaan

dengan

manusia

dalam

hubungannya dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup yang disebut
masyarakat. Hukum berfungsi mengatur hubungan pergaulan hidup antara
manusia, namun demikian tidak semua perbuatan manusia itu diperoleh
pengaturannya. Hanya perbuatan atau tingkah laku yang diklasifikasikan sebagai
perbuatan hukum yang menjadi perhatiannya.
Filsafat merupakan karya manusia tentang hakikat sesuatu, sedangkan hukum
merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia, keduanya mempunyai objek
yang sama, yaitu manusia. Ajaran filsafat mengharapkan agar manusia berkarya
berupa hakikat sesuatu, sedangkan jika sesuatu itu yang dimaksud adalah hukum
maka yang ditemukan adalah hakikat tentang hukum, dengan demikian ketemulah
hubungan filsafat dengan hukum itu.
Hubungan Filsafat dengan Filsafat Hukum adalah bahwa filsafat itu terdiri dari
beberapa bagian. Salah satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut
juga etika. Objek dari bagian utama ini ialah tingkah laku manusia dari segi baik
dan buruk yang khas ditemukan dalam tingkah laku manusia, yaitu baik atau
buruk menurut kesusilaan.
Apabila dipelajari secara cermat, maka pada intinya adalah bahwa :
1. Filsafat hukum itu merupakan cabang dari filsafat, yaitu filsafat etika atau
moral.
2. Filsafat hukum yang menjadi objek pembahasannya adalah tentang hakikat atau
inti yang sedalam-dalamnya tentang hukum.
3. Filsafat hukum merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari lebih lanjut
setiap hal yang tidak dapat dijawab oleh cabang ilmu hukum.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

52

Filsafat Hukum berusaha membuat dunia etis yang menjadi latar belakangnya
dan tidak bisa diraba oleh pancaindra manusia dalam menggali ilmu hukum,
filsafat hukum berusaha mencari sesuatu yang dapat menjadi dasar hukum dan etis
bagi berlakunya sistem hukum positif. Filsafat hukum kemudian dijadikan ilmu
yang bersifat normatif untuk berlakunya hukum positif pada suatu masyarakat
tertentu, sehingga filsafat hukum menjadi bidang ilmu tersendiri yang
mempelajari hakikat hukum.
Hukum itu menjadi objek kajian filsafat, artinya bahwa dicari makna hukum
sebagaimana tampak dalam hidup kita, pertanyaan filsafat yang berbunyi : Apa
makna hukum, melihat segala yang ada ? Atau Apa makna hukum sebagai
hukum ? Dalam penyelidikan filsafat hukum agar lebih jelas lagi, hukum dapat
dipelajari pada dua tingkat, yaitu :
1. Sebagai hukum yang berkaitan dengan manusia sebagai manusia. Manusia yang
dimaksud di sini adalah bukan manusia dalam arti abstrak melainkan manusia
secara konkret sebagai pribadi. Menyoroti hukum dalam hubungannya dengan
manusia secara demikian tampak bahwa manusia itu merupakan subjek hukum.
2. Sebagai hukum yang berkaitan dengan negara. Semula negara bukan
merupakan subjek hukum, melainkan sejak zaman modern negara merupakan
instansi yang tidak bersyarat bagi ditetapkannya dan dipertahankannya hukum
dalam arti yuridis.
Dengan memahami hukum sebagai aturan negara akan dapat memperoleh
kemampuan untuk menilai suatu sistem hukum tertentu di suatu negara, dalam hal
ini juga dapat menggabungkan filsafat hukum dengan ideologi negara, contohnya
Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum tertulis di
Indonesia.
Sekian dari informasi ahli mengenai hubungan filsafat dengan filsafat hukum,
semoga tulisan informasi ahli mengenai hubungan filsafat dengan filsafat hukum
dapat bermanfaat.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

53

Sumber :
Agus Santoso, 2014. Hukum, Moral, Dan Keadilan. Yang Menerbitkan Kencana
Prenada Media Group : Jakarta.
KONSTRUKSI TEORI HUKUM
Hukum sebagai gejala social mengandung berbagai aspek, ciri, dimensi
waktu dan ruang serta abstraksi yang majemuk. Karena itu hukum bisa dikaji
secara rasional, sistematikal dan metodikal dari berbagai sudut pandang dan
pendekatan. Dari pengkajian itulah terbentuklah disiplin ilmiah yang obyeknya
hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah itu bisa disebut dengan satu istilah yaitu
disiplin ilmiah tentang hukum (sciences concerned with law, Radrudc), atau ilmuilmu hukum (Mochtar Kusumaatmadja) atau pengembangan hukum teoritikal
(theoritische rechtsbeoefening, Mewwissen). Istilah-istilah tersebut menunjukkan
kegiatan akal untuk secara ilmiah berupaya memperoleh pengetahuan tentang
hukum dan penguasaan intelektual atas hukum. 29[2] Disiplin ilmu tentang hukum
itu,

setidaknya bisa diyakini terkonstruksi oleh tiga kelompok pengkajian

dominan yaitu ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum.


ILMU HUKUM
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam memaknai ilmu hukum
sebagai terjemahan dari bebagai bahasa; Rechtwetenschap (Belanda) atau
Rechtwessenshaft (Jerman) atau Jurisprudenz (Jerman) atau Jurisprudence
(Ingris). Ilmu Hukum pada dasarnya berusaha mengenal hukum. Dengan
demikian mempersoalkan arti ilmu hukum sebenarnya dan mempertanyakan
apakah hukum itu. Ilmu hukum lebih lanjut mensistematisasi hukum positif
tertentu, bukan sitematika hukum pada umumnya. Jadi ilmu hukum membahas
sistem hukum negara tertentu, seperti sistem hukum Jepang, sistem hukum
Amerika Serikat, dan lain sebagainya.
Tugas ilmu hukum juga berusaha mengenal, mensitematisir dan
menganalisa apa yang telah dimulai oleh praktek hukum. Apabila hanya mencatat
29

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

54

saja praktek hukum, hal itu belum dapat disebut sebagai ilmu hukum. Barulah
dapat dikatakan sebagai ilmu, apabila inventarisasi tadi disistematisir, lalu
kemudian dicoba untuk dianalisa secara objektif. Dengan demikian dapatlah
disimpulkan bahwa ilmu hukum itu adalah ilmu tentang praktek hukum. Karena
itu pula ilmu hukum dapat dikatakan bersifat berkesinambungan (kontinuitas).
TEORI HUKUM
Sebelum membicarakan apa sesungguhnya teori hukum itu, agar lebih
menyentuh substansi diperlukan pendalaman makna tentang apa itu Teori?
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan,
yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti
cara atau hasil pandang adalah suatu konstruksi di alam ide imajinatif manusia
tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam pengalaman hidupnya. 30[3] Adapun
yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia dari alam kehidupannya yang indrawi, tetapi juga diperoleh
dari alam kontemplatif-imajinatifnya, khususnya dalam ilmu pengetahuan yang
berobjek manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya. Apapun sumbernya,
apakah pengalamannya yang indrawi ataukah pengalamannya yang kontemplatif
imajinatif murni, teori adalah suatu himpunan konstruksi yang dibangun oleh
konsep-konsep yang berada di alam ide imajinatif manusia.
Berada di alam imajinatif, teori adalah gambaran atau hasil
penggambaran secara reflektif fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman
indrawi manusia, dibangun dengan bahan-bahan rangkaian yang sebagaimana kita
disebut konsep. Maka tepat apa yang dikatakan secara ringkas dalam kepustakaan
berbahasa Inggris, bahwa concepts is the building blocks of theories.
Berbicara tentang teori, tak pelak lagi orang niscaya akan
diperhadapkan dengan dua macam realitas. Di dalam bahasa falsafati yang
pertama adalah realitas in abstracto yang berada di alam idea yang imajinatif, dan
yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in concreto yang berada di
alam pengalaman yang indrawi., sementara orang mengatakan bahwa realitas

30

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

55

pertama disebut realitas nomenon (atau nomena apabila jamak), sedangkan


yang tersebut kedua disebut realtas fenomenon (atau fenomena apabila jamak).
Berhakikat sebagai realitas yang berada di alam nomena yang imajinatif
itu, teori hanya bisa dijembatani dengan padanannya yang berada di alam realitas
fenomena, bersaranakan simbol-simbol yang dalam ilmu bahasa disebut katakata atau rangkaiannya yang disebut kalimat. Dengan demikian, teori itu terdiri
dari sehimpunan konsep berikut rangkaian-rangkaiannya yang disebut hukum
(dalam artinya yang umum dan luas). Adapun yang disebut hukum dalam artian
hukum kalimat-kalimat pernyataan tentang adanya keniscayaan dalam dua bentuk.
Yang pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal dari hasil amatan indrawi di
alam fenomena (disebut nomos atau keteraturan empirikal yang objektif);
sedangkan yang kedua ialah keniscayaan moralitas yang berasal dari segugus
ajaran yang diyakini kebenarannya sebagaimana yang bermaqom di alam nomena
(disebut norma, atau pula aturan yang secara subjektif membedakan mana yang
baik, yang karena itu wajib dijalani, dan mana pula yang buruk, yang karena itu
wajib dijauhi).
Keniscayaan tersebut pertama, apabila telah teruji dan terverifikasi
berdasarkan data

ialah informasi yang dihimpun secara terukur dari alam

empirik berdasarkan metode sains akan disebut hukum alam atau hukum kodrat,
atau yang didalam bahasa Inggris disebut the scientific laws of nature. Hukum
kodrat adalah suatu rangkaian kata yang secara afirmatif menyatakan adanya teori
tentang ada-tidaknya hubungan kausal atau korelatif antara fenomenon yang telah
dikonsepkan. Misalnya tentang adanya hubungan antara permintaan atas suatu
komoditas dan harga komoditas itu; kian tinggi jumlah permintaan akan kian
tinggi pula harga; demikian sebaliknya, kian rendah jumlah permintaan akan
kian rendah pula harga yang ditawarkan. Teori akan tervalidasi secara ilmiah
manakala konstruksi rasionalnya seperti yang disebutkan di muka itu konform
dengan data empirik yang bisa dan telah diperoleh lewat observasi, untuk
selanjutnya diabstrakkan sebagai asas atau dalil yang akan menjelaskan sejumlah
amatan yang serupa, di manapun dan kapanpun, yang terjadi di alam fenomena.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

56

Berbeda dengan keniscayaan tersebut pertama, keniscayaan tersebut


kedua tidaklah memerlukan verifikasi pembenaran dari konsep-konsep yang
diperoleh sebagai hasil observasi. Alih-alih, kebenaran keniscayaan tersebut kedua
ini berpangkal pada konsepkonsep abstrak yang disebut bahan-bahan ajaran, yang
hadirnya sebagai realitas tidaklah dibenarkan atas otoritas data empirik melainkan,
melainkan atas dasar asas-asas yang diyakini sebagai yang telah benar dengan
sendirinya (self-evident).
Sedangkan menurut Soentandyo W,31[4] teori berasal dari kata theoria
dalam bahasa Latin yang berarti perenungan , yang pada gilirannya dari kata
thea dalam bahasa Yunani yang berarti cara atau hasil pandang , adalah suatu
konstruksi di dalam cita atau ide manusia, yang dibangun untuk menggambarkan
secara teflektif fenomena yang dijumpai didalam pengalaman. Dari kata dasar
thea ini pulalah datang kata modern tater yang berarti pertunjukan atau
tontonan. Didefinisikan dari rumusan yang demikian, berbicara tentang teori
tak pelak lagi orang akan menemukan dua macam realitas. Yang pertama adalah
realitas in abstracto yang ada dalam ide yang imajinatif, dan yang kedua adalah
padanannya

yang berupa

realitas

in

concreto

yang berada dalam alam

pengalaman yang indrawi.


Menurut Prof. Dr. Hambali Thalib, SH.MH.32[5] bahwa teori adalah
ungkapan idealis seseorang yang bisa diuji dan diteliti serta memiliki argumentasi
yang konsisten. Suatu teori senantiasa dikonstruksi dari pengertian, konsep dan
proposisi. Oleh karenanya teori yang memadai adalah teori memenuhi syaratsyarat tertentu yakni:
1.

Pernyataan saling berkaitan

2.

Memenuhi unsur-unsur sebuah teori;

a.

Pernyataan

b.

Mempunyai hipotesis

c.

Mempunyai metode

d.

konsisten
31
32

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

57

Dalam perspektif pokok pengkajian ini yakni teori hukum, maka harus
diakui bahwa sesungguhnya tidak ada satu konsep semata wayang tentang apa
yang disebut hukum itu. Karena ditentukan oleh konsep apa yang dugunakan
dalam membahasanya. Diketahui bahwa apa yang disebut konsep itu
sesungguhnya merupakan penentu suatu bangunan teori seperti yang dikatakan
dalam kepustakaan Inggris di atas bahwa concepts is the building blocks of
theories, haruslah disimpulkan di sini bahwa tiadanya kesamaan konsep akan
berkonsekuansi pada akan tiadanya satu teori semata tentang apa yang disebut
hukum itu. Hukum yang dikonsepkan sebagai aturan-aturan undang-undang
tentulah akan diteorikan lain dari hukum yang dikonsepkan sebagai seluruh hasil
proses yudisial yang berujung pada putusan hakim, dan akan lain pula apabila
hukum dikonsepkan dalam ujud realitas atau realisasinya yang tertampak sebagai
keteraturan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya.
Bicara teori hukum berarti bicara tentang hukum, namun perlu
dipahami bahwa teori hukum tidak sama dengan ilmu hukum. Teori hukum
bukanlah ilmu hukum, sebaliknya ilmu hukum bukan teori hukum. Kata teori
dalam dalam teori hukum dapat diartikan sebagai sesuaatu kesatuan pandang,
pendapat dan pengertian yang berhubungan dengan kenyataan yang dirumuskan
sedemikian sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis yang dapat dikaji.33
[6]
Istilah teori hukum dalam berbagai literatur antara lain disebut : Legal
Theory, Rechtstheorie yang digunakan oleh Friedmann, Yurisprudence oleh Paton,
Legal Philosophy oleh, Kelsen. Menurut B. Arief Sidharta, teori hukum adalah
disiplin hukum yang secara kritis dalam persfektif interdisipliner menganalisis
berbagai aspek dari gejala hukum secara tersendiri dan dalam kaitan dengan
keseluruhannya baik dalam konsepsi teoretisnya maupun dalam pengolahan
praktisnya, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
penjelasan yang lebih jernih atas bahan-bahan yuridis. 34[7] Adapun pokok telaah
teori hukum mencakup:
33
34

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

58

(1) Analisis tentang pengertian hukum, pengertian dan struktur sistem hukum, sifat
dan struktur norma hukum, pengertian dan fungsi asas-asas hukum, pengertian
serta interelasi konsep-konsep yuridis (misalnya: subyek hukum, hak, kewajiban,
hubungan hukum, peristiwa hukum, dan perikatan;
(2) Ajaran metode dari hukum yang mencakup teori argumentasi yuridis (teori
penalaran hukum), metode dari ilmu hukum dan metode penerapan hukum
(metode penemuan dan pembentukan hukum);
(3) Ajaran ilmu (epistemologi) dari hukum yang mempersoalkan keilmiahan dari ilmu
hukum; dan
(4) Kritik ideologi yang mencakup kritik terhadap norma hukum positif dan
menganalisis norma hukum untuk mengungkapkan kepentingan dari ideologi
yang melatar belakanginya.
Setiap teori sebagai produk ilmu tujuannya adalah untuk memecahkan
masalah dan membentuk system. Demikian pula dengan teori hukum tujuannya
untuk menyelesaikan masalah hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa
dalam teori hukum dalam memecahkan masalah

ditingkatan paling bawah

ditanyakan tentang apa itu?, Apa yang terjadi?, yang mengharapkan


jawabannya bersifat deskriftif, menguarai atau melukiskan peristiwa semata. Di
bidang hukum, di tingkat berikutnya

kemudian ada pertanyaan bagaimana

seyogyanya?. Pertanyaan ini bersifat perspriktif yang memerlukan tentang


berlakuknya atau keberlakukan dan keabsahan peraturan hukum. Pada tingkatan
yang lebih tinggi ditanyakan tentang bagimana? dan mengapa? yang bersifat
problematic aplikatif dan memerlukan penjelasan.35[8] Dengan kerangka teori
pemecahan masalah yang demikian maka sebuah permasalahan hukum akam
muda dikonstruksikan dalam pengertian, konsep dan sejumlah proposisi lalu
kemdian sintesakan secara teoritik.
Dengan demikian dapat juga dijelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan
dan obyek teori hukum lebih luas dan teoritik sifatnya dari pada ilmu hukum yang
hanya mencari jawaban permasalahan dalam hukum positif. Teori hukum tidak
puas dengan jawaban yang ada dalam hukum positif, karenanya harus
35

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

59

mengungkap berbagai konsep dan proposisi baru. Oleh karena itu, teori hukum
adalah teorinya ilmu hukum. Dengan perkataan lain bahwa ilmu hukum adalah
obyek teori hukum. Oleh sebab itu sebagai teorinya teori ilmu hukum, maka teori
hukum disebut dengan meta teorinya. 36[9] Satjipto Raharjo (1986) menyatakan
bahwa teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari
hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.
Bruggink dalam bukunya Refleksi Tentang Hukum membedakan teori
hukum dalam dua aliran, yakni teori hukum empiris dan teori hukum
kontemplatif.37[10] Teori hukum empiris bertujuan untuk bekerja dari perspektif
eksternal, artinya dari titik berdiri pengamat yang mengobservasi sehingga
diharapkan menghasilkan perodik penelitian yang murni dan obyektif. Aliran ini
mengacu pada teori kebenaran korespondensi. Teori hukum kontemplatif bertolak
dari titik berdioei internal terbatas. Artinya titik berdiri partisipan yang
obyektivitasnya intersubyektivitas. Aliran ini mengacu pada teori kebenaran
pragmatic.
Hubungan Teori Hukum, Ilmu Hukum (Dogmatik Hukum) dan Filsafat Hukum
Friedmann dalam buknya Legal Theory mengemukakan bahwa semua
teori hukum harus berisikan unsur unsur filsafat yang berarti harus lebih bersifat
teoritik/abstrak dari pada dogmatik hukum, oleh karena itu untuk memperoleh
pemahaman yang mendalam

tentang teori hukum, maka penting untuk

menguraikan tentang filsafat hukum.


Filsafat hukum berusaha untuk mendalami sifat khas hukum dalam
pelbagai bentuknya , mencari hakikat dari hukum untuk memahami hukum
sebagai manifestasi suatu perinsip yang ada didalamnya. Dengan perkataan lain
filsafat hukum menanyakan tentang hakikat hukum berdasarkan atas refleksi yang
tidak dapat diuji secara empiris, tetapi harus persyaratan rasional tertentu dan
tersusun secara logis.
36
37

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

Filsafat

hukum

tidak

bertujuan

60

menguraikan,

menafsirkan

atau

menjelaskan hukum positif, tetapi untuk memahami dan menyelami hukum


dengan segala sifat sifatnya yang umum. Filsafat hukum mempermasalahkan hal
hal yang tidak dapat dijawab oleh dogmatik hukum. Filsafat hukum
mengharapkan yang lebih hakiki mengenai hukum.
Dengan demikian semua permasalahan hukum yang memerlukan
pemecahan pada dasarnya dapat menjadi obyek filsafat hukum, misalnya apa
hakikat hukum itu, apa yang menjadi tujuan hukum serta apa yang membuat
hukum mempunyai kekuatan mengikat. Sedangkan perbedaan antara filsafat
hukum dengan dogmatik

hukum. Dogmatik hukum obyeknya adalah hukum

positif , yaitu peraturan perundang undangan dan yurisprudensi. Dogmatik hukum


adalah teorinya hukum positif, mempelajari hukum positif dan yurisprudensi ,
dengan demikian sifatnya adalah praktis dan konkrit. Pertanyaan dogmatik hukum
hanya dapat dijawab dengan menunjuk pada peraturan perundang undangan,
sedangkan pertanyaan filsafat hukum hanya dijawab secara teoritiks abstraksi,
obyeknya adalah segala sesuatu yang berhubungan hukum dan gejala hukum.
Menurut M. Van Hoecke dalam B. Arief Sidharta 38[15] mengurai bahwa
ilmu hukum dalam arti luas terdiri atas filsafat hukum, dogmaika hukum dan teori
hukum. Dalam penjelasannya dengan menggunakan meta teori bahwa filsafat
hukum adalah teori dari teori hukum dan meta teori dari dogmatika hukum dan
juga teori tentang hukum. Filsafat hukum sendiri tidak mempunyai meta teori
karena

sebagai

filsafat

mempertanggungjawabkan

ia

merefleksi

keberadaannya

dan

dirinya

sendiri

menjelaskan

makna

untuk
dan

karakternya.
Dengan demikian bahwa Obyek kajian

ilmu hukum adalah tatanan

hukum normatif yang berlaku positif maupun ilmu-ilmu hukum dalam tataran
dogmatik hukum yang meliputi pula interpretasi, dan konstruksi serta teori-teori
tentang argumentasi hukum; sedangkan kajian ilmu-ilmu hukum empirik, meliputi
perbandingan hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum, antropologi hukum dan
psikologi hukum. Kajian teori hukum adalah juga tatanan hukum positif yang
38

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

61

meliputi analisis tentang pengertian hukum, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum,


analisis konsep yuridis, hubungan antara hukum dan logika, teori argumentasi dan
metode penemuan hukum yang meliputi metode interpretasi dan metode
konstruksi. Sementara kajian filsafat hukum adalah bagian dari dan dipengaruhi
oleh filsafat umum dan teori ilmu hukum yang bersifat ekstra yuridis dan kritis
yang inti persoalannya meliputi landasan daya ikat dari hukum serta landasan
penilaian keadilannya.
Hubungan antara teori hukum dan filsafat hukum adalah suatu hubungan
dari disiplin meta (filsafat hukum) dengan disiplin objek (teori hukum) dimana
filsafat hukum memperhatikan secara esensial pemikiran yang bersifat spekulatif,
sedangkan teori hukum berusaha kearah pendekatan gejala hukum secara positif
keilmuan.
Prof.Mr. Roeslan Saleh39[16] mengemukakan mengenai dua disiplin
ilmu yang termasuk ke dalam ilmu pengetahuan hukum murni, yaitu teori hukum
dan dogmatik hukum. Dogmatik Hukum atau ajaran hukum dalam arti sempit
merupakan ilmu pengetahuan yang memperhatikan hukum positif dengan
menguraikannya, mensistemkan serta dalam batas-batas tertentu menjelaskannya.
Suatu ilmu tentang kenyataan hukum. Dogmatik hukum bukan merupakan suatu
ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai. Dogmatik hukum dapat
dirumuskan sebagai cabang dari ilmu pengetahuan hukum yang mengemukakan
dan atau menuliskan serta mengsistematisasikan hukum positif yang berlaku
dalam suatu kehidupan masyarakat tertentu dan pada saat tertentu, dilihat dari
sudut pandangan normatif.
Teori Hukum dilihat dari hubungannya dengan dogmatik hukum adalah
sebagai suatu teori meta dari dogmatik hukum. Suatu teori meta adalah suatu
disiplin yang objek studinya adalah ilmu pengetahuan lain. Jika dogmatik hukum
mengkaji aturan-aturan hukum dengan bertolak dari sudut teknis, maka teori
hukum terutama adalah suatu refleksi terhadap teknik hukum itu. Dogmatik
hukum memperhatikan perumusan yang dikemukakannya mengenai hukum

39

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

62

positif yang berlaku, dan mensitematisasikannya, sedangkan teori hukum


memperhatikan suatu refleksi terhadap perumusan dan sistematisasi ini.
Secara singkat dan sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu hukum adalah
ilmu praktis hukum, sementara teori hukum adalah disiplin hukum dalam tataran
yang abstrak, sedangkan pada tingkatan yang abstraksinya paling tinggi yakni
tataran abstraksi kefilsafatan, disiplin kajiannya dinamakan filsafat hukum.

Fungsi Filsafat Hukum


Fungsi Filsafat Hukum dalam Perkembangan Ilmu Hukum
Berbicara mengenai fungsi filsafat hukum, terlebih dahulu perlu dipahami dalam
kaitannya terhadap fungsi hukum. Pada masa perkembangan hukum, terdapat
beberapa masa yang menjelaskan fungsi hukum secara berbeda. Pada zaman
Yunani Kuno hukum dipandang dalam kaitannya dengan alam. Alam dikuasai
hukum, demikian juga manusia yang termasuk alam. Hukum dianggap berfungsi
untuk mengatur alam supaya menurut garis-garis tertentu, dan mengatur hidup
manusia supaya mengikuti peraturan-peraturan yang sesuai dengan hakikatnya.
Terdapat perubahan pandangan di abad pertengahan, bahwa hukum tetap
dipertahankan dalam fungsinya yang semula, yakni menciptakan aturan, namun
aturan yang tercipta tidak dipandang sebagai suatu keharusan alamiah melainkan
suatu aturan hidup yang dikehendaki Tuhan. Sedangkan di zaman modern, hukum
dipandang sebagai ciptaan manusia. Dengan menetapkan hukum, manusia sendiri
menetapkan aturan hidupnya. Latar belakang pandangan ini adalah kenyataan
bahwa manusia merupakan makhluk yang bebas. Fungsi hukum dalam pandangan
ini adalah untuk mewujudkan hidup bersama yang teratur sehingga menunjang
perkembangan pribadi manusia masing-masing. Radbruch menyatakan bahwa
fungsi hukum untuk memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga
hak-hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama (Theo Huijbers,
1982: 285-287).

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

63

Secara garis besar, fungsi hukum dapat diklarifir daam tiga tahap, yaitu: sebagai
alat ketertiban dan keteraturan masyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan
keadilan sosial lahir batin, sebagai sarana penggerak pembangunan, dan sebagai
sarana kritis untuk mengawasi aparat penegak hukum. Thomas Hobbes
menerangkan bahwa hukum sebagai sosial technology untuk menemukan cara
terbaik mencapai keadaan yang diinginkan tatanan sosial (Winfried Brugger,
2008: 1263).
Fungsi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu. Agar
terwujud terpeliharanya kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak
manusia, dan mewujudkan keadilan-keadilan dalam hidup bersama, harus
dipahami terkait disiplin hukum yang berisi ajaran mengenai kenyataan atau
gejala-gejala hukum yang ada dan hidup di tengah pergaulan masyarakat.
Disiplin hukum ada dua macam, yang pertama adalah disiplin analitis yang
merupakan sistem ajaran yang menganalisa, memahami, dan menjelaskan ejalagejala yang dihadapi, yang kedua adalah disiplin perspektif merupakan sistemsistem ajaran yang menentukan apakah yang seyogyanya, seharusnya dan patut
dilakukan dalam menghadapi kenyataan, contohnya adalah ilmu hukum, politik
hukum,

dan

filsafat

hukum.

Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan


arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhami keyakinan
kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang
tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras, agama, dan mengabdi pada cita-cita
mulia kemanusiaan. Demikian juga halnya dengan filsafat hukum yang berfungsi
untuk

menentukan

kearah

mana

hukum

itu

diciptakan.

Filsafat hukum memiliki beberapa karakteristik yang memberikan fungsi, yang


pertama adalah filsafat hukum dengan karakteristik yang bersifat menyeluruh
artinya adalah manusia yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk
berwawasan luas dan terbuka dengan cara menghargai pemikiran, pendapat, dan
pendirian orang lain tentu yang diajarkan adalah pemikiran tentang hukum.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

64

Harapannya adalah ketika seseorang menjadi ahli hukum ia tidak akan bersikap
arogan dan apriori bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dibanding
dengan disiplin ilmu yang lainnya. Yang kedua adalah filsafat hukum yang
memiliki sifat yang mendasar, fungsinya agar ahli hukum dapat berfikir kritis dan
radikal. Artinya adalah dalam menganalisis isu dan masalah manusia diajak untuk
memahami hukum yang tidak dalam arti hukum positif sementara, karena orang
yang mempelajari hukum dalam arti positif semata, ia tidak akan mampu
memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Misalnya apabila ia
menjadi hakim, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim corong undang-undang
belaka. Karakteristik yang ketiga adalah sifat filsafat hukum yang spekulatif. Sifat
ini mengajak manusia yang mempelajari filsafat hukum untuk berfikir inovatif,
selalu mencari sesuatu yang baru, tidak boleh diartikan sesuatu yang negatif atau
sembarangan meskipun salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang
dengan cara yang baru, namun tindakan spekulatif disini adalah tindakan yang
terarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sehingga hukum dapat
dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Dan karakteristik yang
terakhir adalah filsafat hukum yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat
hukum berfungsi untuk membimbing kita untuk menganalisis masalah-masalah
hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terusmenerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekadar diangkat dari gejala-gejala
yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala
itu. Analisis nilai inilah yang membantu ahli hukum untuk menentukan sikap
secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah yang konkrit (Darji
Darmodiharjo

dan

Sidharta,

1999:

16-18).

Fungsi filsafat hukum juga dapat ditemukan secara tegas dengan adanya mata
kuliah filsafat hukum dan etika profesi hukum. Mengapa fungsi filsafat hukum
dikaitkan dengan proses akademik pendidikan? Dalam konteks pendidikan,
filsafat
akademik

hukum
subjek

dipahami
dengan

subjek

sebagai
eksklusif

yang

independen
khas

mencakup

khusus bidang pengetahuan yang harus dipelajari dan dikuasai di dunia


profesional, dan sebagai salah satu media yang paling memadai untuk

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

65

mengajarkan bagaimana untuk berpikir sehat secara konvensional hukum dan juga
dalam cara yang ilmiah tentang hukum (Csaba Varga, 2009: 166).
Fungsi Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia
Rumusan Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang
merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami
dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi
dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk
menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa,
dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering
terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan
hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda, hukum Islam; Al-Quran)
sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas
penduduk Indonesia adalah umat muslim. Contoh konkrit dari hukum Islam yang
masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undangundang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang sampai sekarang masih
berlaku tanpa adanya perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat
hukum yang muncul dari kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara
konstitusi kenegaraan. Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi
negara Indonesia. Contoh adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya
Undang-undang Otonomi daerah, yang pada intinya memenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Tugas untuk menyelamatkan nasib
negara ditetapkan oleh badan legislatif negara, termasuk untuk mengatasi
ketiadaan hukum umum yang kemudian diambil dari ide dasar negara (Philip W.
Romohr, 2006: 1965).
Filsafat hukum yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan dapat
mengakomodir berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan perbedaan
ideologi dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam. Sehingga dengan
demikian masyarakat Indonesia akan tetap dalam koridor satu nusa, satu bangsa,

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

66

satu kesatuan, satu bahasa, yang menjunjung nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan
bertitik tolak dari kerangka pemikiran filsafat hukum yang bercirikan mendasar,
rasional, reflektif dan komprehensif, diharapkan dapat membantu semua pihak
dapat bersikap lebih arif dan tidak terkotak-kotak keilmuannya yang
memungkinkan

dapat

menemukan

akar

masalahnya.

Tahap

selanjutnya

diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi krisis yang
menerpa bangsa Indonesia.
Tujuan dan Objek

pengkajian filsafat hukum

Tujuan Filsafat Hukum


Kita akan mencoba mengenal filsafat hukum dan mencoba memulai sedikit
demi sedikit berfilsafat. Kita sebagai subjek mencoba mengenal filsafat hukum,
untuk mengenali filsafat hukum kita menggunakan metodologi atau pendekatan.
Dari pendekatan yang kita pilih, kita badingkan dengan pendekatan lainnya.
Dengan menggunakan metode tersebut kita melakukan proses pemahaman filsafat
hukum. Hasilnya kita mendapat pemahaman tentang objek yang kita hadapi.
Dalam proses tersebut kita mencoba menemukan pengetahuan. Pengetahuan
adalah makna tentang sesuatu yang menjadi objek dari refleksi kita atau objek dari
proses memperoleh pengetahuan yang kita lakukan. Makna yang muncul
mengantar kita pada hidup kita sehari-hari. Makna yang muncul mengantar kita
pada kesejatian hidup kita dan kepenuhan diri kita sebagai manusia. Filsafat
mengantar kita dan menjadi jalan untuk menemukan kebermaknaan ini. Kita dapat
mengatakan bahwa filsafat mengantar kita pada diri kita yang sejati. Menurut
Huda Lukoni, tujuan mempelajari filsafat hukum adalah untuk memperluas
cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas
hukum dan diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai
dan menerapkan kaidah-kaidah hukum.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

67

OBJEK FILSAFAT HUKUM


Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum merupakan bagian
khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya
mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak
relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini
sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus
mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja
dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuantujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari
filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara
timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat,
yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan
perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji
secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan
filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu
hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut
Apeldorn , hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban
yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat
diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejalagejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum,
tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen),
sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

68

Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang
hukum. Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel
Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi
(batasan) tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam,
tergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan , mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan
ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi
kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat tersebut mirip dengan
definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum bahwa hukum
adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu
negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana
orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia,
Wiryono Prodjodikoro , yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan
mengenai tingkah lau orang-orangsebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan
satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan
tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa
hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulisyang biasanya
bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar
negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata
tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu.
Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum
dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun
secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem
ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi ; (3) norma, yakni
pedoman atau patokan siakap tindak atau perikelakuan yang pantas atau
diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma
hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk
tertulis; (5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

69

berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6)


keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu
proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;
(8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang
diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai
kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak
tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan,
kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang cukup panjang yang
meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan
yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan dengan hukum itu
sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat
dengan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum,
sampai pada masalah-masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia,
keadilan dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn , menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh
filsafat hukum, yaitu : (1) adakah pengertian hukum yang berlaku umum ; (2)
apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum ; dan (3) adakah sesuatau hukum
kodrat. Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat
hukum, antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan ; (2) hubungan
hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara berhak
menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5) masalah
pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ; (8) dan
masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldorn dan Lili
Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam
pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan berkembang, seiring dengan
perkembangan zaman. Demikian pula karena semakin banyaknya para ahli hukum
yang menekuni dunian filsafat hukum.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

3.

70

Latihan Soal
a.

Ada

berapa

konsepsi

hukum

yang

dikemukakan oleh Roscoe Pound?


b.

Sebut dan jelaskan secara singkat keduabelas


konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pound!

c.

Mengapa Roscoe Pound juga digolongkan ke


dalam tokoh aliran Utilitarianisme? Jelaskan!

d.

Di mana letak perbedaan tujuan hukum yang


tradisional dan yang modern?

DAFTAR PUSTAKA
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit
Bhratara, Jakarta, 1996.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

71

BAB V
KEADILAN DAN HUKUM YANG BENAR DAN ADIL
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat :
1.

Memahami bermacam-macam
arti keadilan.

2.

Memahami pengertian hukum


yang benar dan adil.

Tujuan Instruksional Khusus:


Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Menyebutkan bermacam-macam arti keadilan.
2. Menyebutkan kriteria hukum yang benar dan adil.
1. Arti Keadilan
Membicarakan hukum tidak lepas dari kata keadilan yang sudah ada sejak
jaman Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato
dan Aristoteles melontarkan pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang
perenungan tentang keadilan yang menguasai filsafat hukum.40 Plato mencoba
mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari inspirasi, sedang Aristoteles
mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan prinsip-prinsip
rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan peraturan-peraturan
hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan mereka adalah
concept of virtue, yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah
mencakup segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya.
Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian keimbangan (balance) dan
harmoni sebagai suatu ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil,
sehingga dari sini tidak jarang pula antara keimbangan dan harmoni terpisah jalan

40

Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997,
halaman 11.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

72

keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan merupakan pengertian yang tercipta


pada perpaduan antara keimbangan dan harmoni sebagai suatu ukuran.
Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat
dianalisis dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang
ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa
keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan
adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing
bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal
senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil
apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima.
Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan
hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan
umum.41
Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang
menentukan sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat
berikut ini:42
a.

Keadilan menentukan
bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan
yang lain;

b.

Keadilan

berada

di

tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan


tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
c.

Untuk mengutamakan
dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan
ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.

Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:43

41

Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154.
42
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 29.
43
Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

73

a. Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang


pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang
menurut tempatnya.
b. Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice),terutama
untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum,
untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat
tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh
karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang
obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi
lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum
poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang
sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah
keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya
karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya
bermacam-macam hukum positif.
Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak
dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturanaturan yang berlaku umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal
perseorangan. Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan halhal yang benar tentang sesuatu undang-undang.
Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan
menjadi 2, yaitu:
a. Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak
masing-masing yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
b. Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi
menjadi 3, yaitu:
1) keadilan distributif;
2) keadilan komutatif;
3) keadilan vindikatif.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

74

Kaum Positivis (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan


hukum. Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu
kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan adagium Summun jus, summa injuria,
summa lex, summa crux, yaitu hukum yang keras akan dalam melukai kecuali
keadilan dapat menolongnya. Ungkapan tersebut berawal dari ketidakpercayaan
kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya, karena keadilan yang tertinggi
adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.
3.

Hukum

Yang

Adil

dan

Benar
Gambaran mengenai hukum yang adil dan benar dapat diketemukan dalam
pemikiran yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, seorang politikus dan
sarjana hukum dari Jerman. Ia berusaha menyeberangi jurang bidang ada (sein)
dan bidang harus (sollen) dengan menerima bahwa suatu bidang terkandung
kedua bidang tersebut untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran.
Menurut Radbruch, bidang kebudayaan tidak hanya terletak di antara dua bidang
tersebut, tetapi menggabungkan kedua bidang itu juga, sebab kebudayaan
merupakan perwujudan dari nilai-nilai realitas alam, dan Radbruch hendak
menerapkan teori ini pada hukum.44
Alasan yang dipergunakan Radbruch ialah bahwa hukum merupakan unsur
kebudayaan, maka seperti unsur-unsur kebudayaan lain, hukum diwujudkan
dalam satu nilai, yakni nilai keadilan. Sehingga hukum merupakan perwujudan
dari keadilan, sedikitnya merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan.
Sedangkan tolok ukur adil atau tidak adilnya tata hukum dibentuk dalam
masyarakat, namun tolok ukur tersebut belumlah cukup, karena ada dasar lain,
yaitu dasar hukum sebagai hukum.
Dalam mewujudkan adanya hukum yang benar dan adil ini, Radbruch
membagi keadilan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu:

44

Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 162.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

a.

75

Keadilan dalam arti


sempit, artinya keadilan merupakan persamaan hak untuk semua orang di
depan pengadilan.

b.

Tujuan keadilan atau


finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai.

c.

Kepastian hukum atau


legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaati.

Dengan adanya pembagian keadilan ke dalam tiga aspek tersebut, kita dapat
mengetahui bahwa suatu hukum yang adil haruskah hukum memenuhi unsur
konstitutif hukum atau hanya unsur regulatif sebagimana dikatakan oleh
Huijbers.45 Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, maka suatu peraturan
tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, tetapi karena faktor non hukum (non
yuridis), seperti politik. Sebaliknya apabila adil merupakan unsur regulatif bagi
hukum, maka suatu peraturan yang tidak adil tetap merupakan hukum walaupun
buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk mentaatinya.
4.

Latihan Soal
a.

Sebutkan pengertian keadilan menurut para


penganut aliran hukum alam dan positivisme !

b.

Bagaimana pendapat Sdr. Tentang suatu


hukum yang adil dan benar? Bagaimana pula kaitannya dengan keberadaan
UU No. 23 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jika
dikaitkan dengan teori tentang hukum yang benar dan adil? Jelaskan!

45

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, halaman 48.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

76

DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993.
_________________, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1997.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

77

BAB VI
FILSAFAT HUKUM BERDASARKAN PANCASILA
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa dapat memahami filsafat
hukum berdasarkan Pancasila.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini, mahasiswa mampu:
1.

Menjelaskan falsafah hukum


nasional.

2.

Menjelaskan filsafat hukum


dan Pancasila.

1.

Falsafah Hukum Nasional


Usaha pengembangan falsafah hukum nasional di Indonesia bertumpu kepada

3 konsep dasar, yaitu:46


a.

Pemahaman

ukum

yang bersifat normatif sosiologis yang melihat huku tidak hanya sekumpulan
kaidah dan asas yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat, tetapi
juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan
berlakunya hukum itu. Sejalan dengan konsep tersebut maka fungsi hukum
dalam masyarakat adalah untuk terwujudnya ketertiban dan kepastian sebagai
prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan
bangsa, serta sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan
pembangunan yang menyeluruh.
b.

Tujuan hukum yang


merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan bernegara sebagaimana

46

Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana


Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 44.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

78

tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang sekaligus juga merupakan


perwujudan sila-sila Pancasila.
c.

Cita-cita falsafah yang


telah dirumuskan oleh para pendiri Kenegaraan dalam Konsep Indonesia
adalah Negara Hukum dan setiap orang sama di depan hukum, mengandung
arti:
1)

Indonesia

sebagai

negara

yang

berdasarkan

atas

hukum

menentukan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan,


kekuasaan tunduk pada hukum sebagai kunci kestabilan politik yang
berkesinambungan.
2)

Persamaan kedudukan setiap orang di hadapan hukum menentukan


bahwa hukum tidak membeda-bedakan antara orang berdasarkan status,
sosial, kekuasaan, agama, atau keturunan. Setiap orang mendapat
kesempatan yang sama untuk mendapatkan bantuan dan melakukan
pembelaan di muka pengadilan.

Dalam pengembangan hukum dan ilmu hukum, falsafah hukum mempunyai


peranan penting dalam memberikan dasar dan arahan melalui aspek-aspek:
a.

Ontologi, meliputi permasalahan apa hakekat ilmu, apa


hakekat kebenaran, dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan.

b.

Epistemologi, meliputi berbagai sarana dan tata cara dan


sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran atau kenyataan.

c.

Aksiologi, meliputi nilai-nilai normatif parameter bagi


apa yang disebut kebenaran atau kenyataan dalam konteks dunia simbolik, dan
sebagainya.
Pengembangan filsafat hukum nasional harus diarahkan menjadi falsafah

hukum Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang juga merupakan dasar
falsafah hukum nasional mempunyai sifat imperatif yang tidak saja dijadikan
dasar dan arah pengembanganfalsafah hukum nasional kita, melainkan sekaligus
juga menjadi acuan dalam penyusunan, membina dan mengembangkan falsafah
hukum yang konsisten dan relevan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

79

Sehubungan dengan itu, maka falsafah Pancasila melalui tafsiran falsafatinya


harus dikembangkan agar mampu menunjukkan nilai-nilai yang aktual dan
relevan dengan kemajuan dan mengarahkan kemajuan itu sesuai dengan apa yang
terkandung dalam nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Untuk itu, Pancasila harus tetap
terbuka , tidak difahami secara doktriner dan dogmatis tanpa kehilangan substansi
falsafahnya ditafsirkan secara kreatif dan dinamis dalam perspektif ke masa kini
dan masa depan.
Dalam hubungan dengan perkembangan filsafat hukum nasional, perlu
dikembangkan critical mass, yaitu suatu masyarakat akademik yang mau dan
mampu menukik ke dalam masalah-masalah yang bersifat falsafati untuk bersikap
kritis, radikal, kreatif, dan eksploratif. Dalam suasana yang demikian, maka nilainilai falsafati universal perlu digali untuk menentukan unsur-unsur yang relevan
bagi sumber hukum pada umumnya dan falsafah hukum pada khususnya. Untuk
itu, perlu dikembangkan kondisi yang makin kondusif untuk mengembangkan
falsafah hukum Pancasila tersebut.
Sistem hukum nasional yang juga merupakan sistem hukum Pancasila harus
merupakan penjabaran dari seluruh sila-sila Pancasila secara keseluruhan.
Mengenai asas persamaan kedudukan di muka hukum ada yang melihat bahwa
pembinaan perlakuan yang sama dalam kondisi yang berbeda adalah sebuah
ketidakadilan, sehingga untuk hal-hal tertentu adanya berbagais tudi masih sangat
diperlukan.
Hukum dan kekuasaan dalam kenyataan masih sering tidak saling melengkapi
antara satu dengan yang lain.
2.

Filsafat Hukum dan Pancasila


Untuk mengetahui keterkaitan antara Pancasila dengan berbagai aliran dalam

filsafat hukum, perlu dipahami mengenai hakekat dari Pancasila sampai sedalamdalamnya. Di dalam mengupas hakekat Pancasila sampai kedalamannya, dapat
dipergunakan pendekatan filosofis. Adapun pendekatan filosofis yang digunakan
ialah metode dialektis dan analitis.47
47

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

80

Metode deduktif paralel dengan metode sintesis sebagaimana dikemukakan


oleh Hegel pada abad XIX (zaman Modern), 48 mengemukakan teorinya yang
disebut Teori Dialektika. Dalam Teorinya, Hegel berpendapat bahwa proses
perkembangan rohani berjalan dialektis, yang menurut Hegel ide-ide saling
berlawanan dan sekalian rohani melemah untuk menjadi kesatuan dalam suatu ide
baru, yang merangkap kebenaran yang terkandung dalam dua ide tadi. Sebagai
contoh, ide tadi berawal daru suatu yang ada, kemudian diperkirakan sesuatu
yang ada, akan tetapi belum ada secara menyeluruh, yakni ide menjadi
mempunyai pikiran melalui tesei, anti tesis, dan sintesis, sehingga cara berfikir
yang demikian ini disebut dialektis. Hal ini berlangsung secara terus-menerus.
Menurut Hegel pula, teori dialektis berlaku tidak hanya bidang logika, tetapi juga
dalam bidang realitas, dan yang paling banyak adalah bidang sejarah.
Pancasila yang kita kenal sebagai dasar negara Indonesia sebagaimana
dikemukakan oleh Notonegoro yang menggunakan teori Causalis untuk
menyelesaikan Pancasila. Teori ini mengatakan bahwa semua yang ada
mempunyai sebab, lebih lanjut dikemukakan pula, berdasarkan teori causalis,
Pancasila juga dapat dipahami secara mendalam, yaitu:
Pertama, dilihat dari causa materialis, Pancasila berdasar adat kebiasaan,
kebudayaan, dan agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Adat kebiasaan di sini
ialah adat kebiasaan dalam arti luas yang meliputi adat kebiasaan politik,
kewarganegaraan, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Causa Formalis Pancasila, menurut Notonegoro, ialah anggota BPUPKI, yaitu
Soekarno dan Hatta yang kemudian disebut sebagai pembentuk negara. Causa
Finalis, Pancasila adalah calon dasar filsafat negara. Hal ini tertuang dalam pidato
Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa tujuan
dari pidatonya tentang Pancasila ialah untuk merumuskan dasar Indonesia
merdeka yang disebut sebagai Filosofische Grondslag. Hal ini dapat juga
disebutkan untuk Pancasila dalam Piagam Jakarta yang ditandatangani pada
Woro Winandi & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence Dalam
Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi kelas, Program Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 9.
48
Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 106.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

81

tanggal 22 Juni 1945 yang selanjutnya dipakai sebagai Pembukaan UUD 1945.
Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Causa Finalis Pancasila ialah dasar
filsafat negara, sebab Pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI dimaksudkan sebagai dasar filsafat negara.
Causa Efficient Pancasila ialah PPKI, karena PPKI secara resmi menetapkan
Pembukaan UUD 1945 yang berintikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara.
Dengan demikian, causa efficient Pancasila sebagai dasar filasafat negara ialah
pembentuk negara Indonesia, dalam hal ini PPKI.
Pancasila merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan
dijungkirbalikkan tanpa mengubah inti dari isinya, karena susunan Pancasila
berbentuk hirarkis piramidal. Dikatakan hirarkis, karena jika dilihat dari isinya,
urut-urutan lima sila tersebut menunjukkan satu rangkaian tingkatan dalam luas
dan isinya. Selanjutnya, dikatakan piramidal, karena tiap-tiap sila yang ada di
belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila/sisla-sila yang ada di
depannya. Penjelasan selanjutnya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis
dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial.
Sebaliknya,

Ketuhanan

Yang

Maha

Esa

adalah

Ketuhanan

yang

berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilans osial,


demikian seterusnya. Sehingga tiap-tiap sila yang ada di dalamnya terkandung
sila-sila lainnya. Kecuali itu, ditegaskan bahwa sila ketuhanan dan kemanusiaan
meliputi seluruh hidup manusia dan menjadi dasar dari sila-sila persatuan,
kerakyatan, keadilan sosial. Mengenai susunan hirarki Pancasila bahwa nilai-nilai
Ketuhanan lebih tinggi dari nilai kemanusiaan, nilai kemanusiaan lebih tinggi
daripada nilai kerakyatan, dan nilai kerakyatan lebih tinggi daripada nilai keadilan
sosial. Namun mengenai bentuk piramid dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap sila
yang berada di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang
ada di depannya. Jadi kalau diterapkan dalam sila-sila pada Pancasila dapat
dijelaskan sebagai berikut: Bahwa sila kemanusiaan merupakan pengkhususan
dari sila Ketuhanan, sila kerakyatan merupakan pengkhususan dari sila persatuan
Indonesia dan sila keadilan sosial merupakan pengkhususan dari sila kerakyatan.

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

82

Pancasila sebagai pandangan hidup, Ideologi Nasional dan Dasar Negara pada
esensinya adalah perwujudan dari pelaksanaan hak dan kewajiban individu
sebagai anggota masyarakat untuk mengejawantahkan pola perilaku sebagaimana
tercermin dalam masing-masing kelima sila tersebut. Demikian pula sebagai
bangsa Indonesia dan warga negara. Pancasila dengan dimensinya pada
hakekatnya selaras dengan aliran dalam filsafat hukum, yaitu Sociological
Jurisprudence, sebagaimana keinginan dan tujuan dari tiga dimensi Pancasila yang
bertujuan menciptakan harmoni berupa keserasian pelaksanaan hak dan kewajiban
sehingga secra optimal kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat
dapat terpenuhi secara tidak memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan
terdapat 3 kepentingan hukum yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:
a. Kepentingan Umum.
b. Kepentingan Masyarakat.
c. Kepentingan Individu.
Aliran Sociological Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara
positivisme hukum dan mazhab sejarah. Pada aliran Positivisme Hukum,
memandang tidak ada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa,
sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama
masyarakat. Kedua mazhab tersebut dapat dilihat pada kepentingannya, yaitu:
Positivisme mementingkan logika, sedang mazhab Sejarah mengutamakan
pengalaman. Namun Sociological Jurisprudence mementingkan keduanya. Oleh
karena itu dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, ideologi
negara, dan dasar negara, terdapat kesamaan dengan mazhab Sociological
Jurisprudence, karena adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapainya. Seperti
yang dikatakan Roscoe Pound yang menganggap hukum sebagai alat untuk
rekayasa sosial/masyarakat, dan ini tercermin dalam kelima sila dari Pancasila,
yang di dalamnya terkandung cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat
adil dan makmur. Dengan demikian, pencerminan kedua aliran tersebut terdapat
kesesuaian dengan apa yang terkandung di dalam UUD 1945, baik pembukaan,
batang tubuh, maupun penjelasannya.
3.

Latihan Soal

Modul Filsafat Hukum 2016 DR. H. RUMADI SE, SH, MHum

a.

83

Mengapa Pancasila disebut sebagai dasar falsafah negara?


Jelaskan!

b.

Mengapa ada keterkaitan antara Pancasila dengan mazhab


sejarah dan dialektika Hegel? Jelaskan!

c.

Jelaskan pula tentang teori causalis untuk mendalami


Pancaila!
DAFTAR PUSTAKA

Hujibers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,


Yogyakarta, 1993 Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program
Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Winandi, Woro & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence
Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi
kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,
Semarang, 1997

Anda mungkin juga menyukai