Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN

KULTUR JARINGAN TUMBUHAN


Acara I
(Media Kultur Jaringan Tumbuhan)
Oleh :
KELOMPOK: 7
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Lulut Tri Rizki


Siti Lailatul M.
Dellya Ramadhan K.
Siti Mustaqimah
Barid Firdausy
Yeni Triya M.
Syarifatul L.
Zainatuh A.
Dyah Chandra P.

(130210103083)
(130210103021)
(130210103039)
(130210103016)
(130210103084)
(130210103017)
(130210103063)
(130210103066)
(130210103099)

LABORATORIUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN


JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara

vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara


mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagianbagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat
pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian
tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap.
Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan
menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang
dilakukan di tempat steril. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu
memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan
secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan tersendiri.
Komponen utama yang dibutuhkan dalam teknik kultur jaringan adalah
media. Media tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya.
Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan
diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin,
dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan
lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik
jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang
dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botolbotol kaca.

Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara

memanaskannya dengan autoklaf. Dari paparan diatas, teknik kultur jaringan perlu
untuk dipelajari. Oleh karena itu dilakukannya pembelajaran dan praktikum
mengenai teknik kultur jaringan.
1.3

Tujuan
1. Mempelajari cara pembuatan media dengan baik dan benar
2. Mengenal perbedaan bermacam-macam media kultur jaringan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


Kultur jaringan adalah kultur in vitro aseptic berupa sel, jaringan, organ
atau seluruh tanaman di bawah kondisi gizi dan lingkungan yang dikendalikan
bertujuan untuk menghasilkan klon dari tanaman. Klon yang dihasilkan benar
benar mirip dengan genotipe yang dipilih. Kondisi tersebut disesuaikan dengan
lingkungan agar plantet mampu tumbuh dan berkembang. Kondisi ini termasuk
pasokan nutrisi yang tepat, media pH, memadai suhu dan lingkungan gas dan air
yang tepat. Tanaman teknologi kultur jaringan sedang banyak digunakan untuk
skala besar. Terlepas dari penggunaannya sebagai alat penelitian, teknik kultur
jaringan tanaman memiliki di baru-baru ini, menjadi penting di bidang
perbanyakan tanaman, tanaman bebas penyakit, perbaikan tanaman dan produksi
metabolit sekunder. Potongan-potongan kecil jaringan tumbuhan (eksplan) dapat
digunakan untuk menghasilkan ratusan dan ribuan tanaman dalam proses yang
berkesinambungan. Sebuah eksplan tunggal dapat dikalikan menjadi beberapa
ribu tanaman dalam relatif singkat di bawah kondisi yang terkendali, terlepas dari
musim dan cuaca sepanjang tahun. Spesies langka berhasil ditumbuhkan dan
dilestarikan oleh mikropropagasi karena koefisien pembelahan yang tinggi
perkalian dan tuntutan kecil pada jumlah tanaman yang sedikit .
Kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi
tanaman kecil yang mempunyai sifat sama seperti induknya. Kultur jaringan
tanaman merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa
sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Teknik ini dicirikan
oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan
kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang
kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Hendaryono dan Wijayani,
1994).
Kultur jaringan tanaman mengacu pada tumbuh dan multiplikasi sel,
jaringan dan organ tanaman pada media padat atau cair di bawah lingkungan
aseptik dan terkendali. Teknologi komersial ini terutama didasarkan pada
budidaya, di mana proliferasi cepat dicapai dari stek batang kecil, tunas ketiak,

dan sampai batas tertentu dari embrio somatik. Proses budidaya biasanya dibagi
menjadi beberapa tahap yaitu, prepropagation, inisiasi eksplan, subkultur eksplan
untuk proliferasi, menembak dan perakaran, dan pengerasan. Tahap-tahap ini
secara universal berlaku pada perbanyakan tanaman.Pemilihan bahan awal,
komposisi media, zat pengatur tumbuh, kultivar dan faktor lingkungan, efek dari
auksin dan sitokinin pada multiplikasi tunas dari berbagai tanaman harus sangat
diperhatikan. Dalam proses regenerasi dan organogenesis, kelompok sel dari
meristem apikal di apeks pucuk, tunas ketiak, ujung akar, dan kuncup bunga
dirangsang untuk tumbuh menjadi tunas dan akhirnya menjadi tanaman lengkap.
Eksplan dikultur pada jumlah auxin

yang relatif tinggi membentuk massa

terorganisir sel, yang disebut kalus. Induksi pertumbuhan kalus dan diferensiasi
berikutnya dan organogenesis dicapai dengan penerapan diferensial pengatur
tumbuh dan kontrol kondisi dalam media kultur. Dengan stimulus zat
pertumbuhan endogen atau dengan penambahan pertumbuhan eksogen regulator
untuk media nutrisi, pembelahan sel, pertumbuhan sel dan jaringan diferensiasi
yang diinduksi. Kemudian akan menuju tahap aklimatisasi. Planlet regenerasi
lengkap dengan akar yang cukup diambil adalah secara bertahap ditarik keluar
dari media dan direndam dalam air untuk menghilangkan tetap partikel agar-agar
menempel ke sistem akar dengan menggunakan sikat halus. Planlet tersebut
dipindahkan ke pot yang berisi campuran tanah disterilkan dan pasir (3: 1). Planlet
pot ditutupi dengan kantong plastik transparan untuk memastikan kelembaban
tinggi sekitar tanaman. Setelah sekitar dua minggu yang kantong plastik dibuka
selama 3-4 jam setiap hari untuk mengekspos tanaman ke kondisi kelembaban
alami untuk aklimatisasi. Kemudian tanaman akan dipindahkan ke dalam pot yang
lebih besar setelah satu bulan (Yadav et.al. 2012 :311-313).
Formula dari media sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
pada eksplan. Setiap media memiliki formula yang berbeda-beda juga memiliki
tujuan yang berbeda pula terhadap suatu eksplan. Respon tanaman pada media
hoagland adalah pelepah cepat mengalami proliferasi dan perttambahan biomassa.
media juga mendukung pemanjangan akar. Sebaliknya, tingkat pertumbuhan
tanaman relatif rendah di media MS. Dengan demikian, media MS dapat

digunakan untuk menjaga pertumbuhan tanaman yang pada subkultur.


(Kittiwongwattana et.al, 2013: 67).
Unsur hara makro merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam
jumlah yang banyak. Unsur hara makro tersebut meliputi, Nitrogen (N), Fosfor
(P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Sulfur (S), Magnesium (Mg), dan Besi (Fe) (B.
.Untuk beberapa unsur hara mikro yang berperan penting dalam mengendalikan
pertumbuhan tanaman antara lain adalah tembaga dan boron. Boron di dalam
tanah utamanya sebagai asam borat (H2BO3) serta memiliki kadar berkisar antara
7-80 ppm. Boron dalam tanah umumnya dalam bentuk ion borat hidrat B(OH) 4-.
Tanaman muda yang kekurangan Boron pada pertumbuhan daun muda lamban
dan batang kecil sehingga tanaman mudah roboh atau tumbang. Pada tanaman
berbuah pasir yang kekurangan Boron ditandai dengan gagalnya buah akibat tidak
terjadi penyerbukan (Stepanus et al, 2013).
Tembaga berperan dalam memantu pembentukan klorofil (zat hijau daun),
sebagai katalisator proses fisiologi tanaman, metabolisme karbohidat dan protein,
serta perkembangan tanaman generatif yaitu pada saat terbentuknya bunga (akhir
masa vegetatif). Tembaga umumnya diserap dalam bentuk ion Cu2+. Peranan
tembaga bersama dengan besi bagi tanaman ialah sebagai pendorong proses
terbentuknya klorofil daun dan komponen dalam pembentukan enzim tanaman
yang berperan dalam proses perombakan karbohidart serta metabolisme nitrogen.
Tembaga juga berperan sebagai aktifator enzim dalam penyimpanan cadangan
makanan (Rosmarkam dan Yuwono, 2002 dalam Stepanus et. al, 2013). Tanaman
muda yang kekurangan tembaga akan tampak kerdil dan daun kekuningan, ini
disebabkan pembentukan zat hijau daun (klorofil) terhambat. Dampak lainnya
ialah mengakibatkan fotosintesis tanaman terganggu, sehingga pembentukan
karbohidrat dan zat tepung (sachz) sebagai bahan makan tanaman berkurang
(Stepanus et al, 2013).
ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang diberikan
dalam media (eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan
arah perkembangan suatu kultur. Penambahan hormon tumbuhan atau zat

pengatur tumbuh pada jaringan parenkim dapat mengembalikan jaringan ini


menjadi meristematik kembali dan berkembang menjadi jaringan adventif tempat
pucuk, tunas, akar maupun daun pada lokasi yang tidak semestinya. Proses ini
dikenal dengan peristiwa diferensiasi (Suliansyah, 2010: 5).

BAB III. METODE PELAKSANAAN


3.1

Waktu dan tempat


Pelaksanaan praktikum Kultur Jaringan Tumbuhan dengan acara Media

Kultur Jaringan dilaksanakan pada hari Sabtu, 21 Mei 2016 pukul 12.30 16.00
WIB di Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan Budidaya Tanaman Fakultas
Pertanian Universitas Jember. Pengamatan kontaminasi media dilakukan pada hari
ke-3 yaitu tanggal 24 Mei 2016 dan hari ke-5 pada tanggal 26 Mei 2016.
3.2

Bahan dan alat

3.2.1 Bahan :
1. Stok A
2. Stok B
3. Stok C
4. Stok D
5. Stok F
6. Vitamin
7. NH4NO3
8. Aquades
9. Gula
10. Agar
11. NaOH 1 N
12. HCl 1 N
13. Alumunium foil
14. Alkohol
15. Kertas label
3.2.2
Alat
1. Beker glass
2. Timbangan
3. Stirer
4. pH meter
5. Pemanas
6. Botol ketebalan 1 cm
7. Autoclave
3.3 Prosedur kerja
Pembuatan media padat MS kultur jaringan sebanyak 1 liter
1. Menyiapkan semua larutan baku MS.
2. Mengambil larutan baku sesuai ketentuan dan menuang ke dalam baker
glass 1 liter yang sudah terisi aquades.

3. Menimbang gula 7,5 gr dan agar 2 gr.


4. Memasukkan gula ke dalam beker glass.
5. Mengaduk campuran di atas stier dan mengukur derajat keasaman dengan
pH meter (5,8), menggunakan NaOH 1N dan HCL 1N untuk mengaturnya.
6. Menambahkan agar ke dalam larutan dan mendidihkannya di atas perapian
sampai agar larut
7. Menuangkan media dalam keadaan cair ke dalam botolbotol dengan
ukuran ketebalan 1 cm sebanyak 10 botol.
8. Menutup semua botol dengan aluminium foil, dan menandai menurut jenis
medianya.
9. Mensterilkan botol botol berisi media di dalam autoclave selama 1 jam
temperatur 121 C tekanan 17,5 psi.
10. Menyimpan media setelah autoclave mati sambil menguji kesterilannya
selama 6 x 24 jam.
11. Menanami media yang telah steril.
3.4 Parameter pengamatan
1. Mengamati kontaminasi media, menentukan tingkat prosentase kontaminasi
2. Menentukan jenis mikroba yang menyebabkan kontaminasi

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1

Hasil
Medium
1
2
3
4
5
6
Keterangan :

Pengamatan Hari keHari ke- 3


Hari ke- 3

K
0
0
0
0
0
0

Pengamatan Hari keHari ke- 5


Hari ke- 5

K
0
0
0
0
0
0

Tidak ada kontaminasi berupa jamur maupun bakteri.


4.1

Pembahasan
Praktikum yang dilakukan pada hari Sabtu, 21 Mei 2016 di Laboratorium

Kultur Jaringan Jurusan Budidaya Tanaman Fakultas Pertanian Universitas


Jember bertujuan untuk mempelajari dan membuat media kultur jaringan. Media
kultur jaringan adalah media tanam yang komposisinya terdiri dari bahan-bahan
yang dibutuhkan oleh tanaman agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
sebagaimana mestinya. Kultur jaringan adalah kultur in vitro aseptic berupa sel,
jaringan, organ atau seluruh tanaman di bawah kondisi gizi dan lingkungan yang
dikendalikan bertujuan untuk menghasilkan klon dari tanaman. Dengan demikian,
pada penerapan kultur jaringan, media kultur memiliki peranan penting dalam
menentukan keberhasilan teknik kultur in-vitro. Berdasarkan wujudnya, media
kultur jaringan dibedakan menjadi media padat media cair. Perbedaan antara
media padat dengan media cair adalah ada tidaknya zat pemadat, yaitu agar. Pada
medium padat, dalam proses pembuatannya disertakan agar sehingga medium
dapat menjadi padat. Sedangkan pada medium cair tidak demikian, sehingga
medium tetap dalam keadaan cair.
Dalam teknik kultur jaringan dikenal puluhan macam media dasar.
Penamaan resep media dasar pada umumnya diambil dari nama penemunya atau

peneliti yang menggunakan pertama kali. Adapun beberapa media yang sering
digunakan dalam kultur jaringan diantaranya yaitu:
a. Media Knudson dan media Vacin and Went
Media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang
ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya
mengandung N dari Nitrat. Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan
7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkecambahan dan
pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk
perkembangan protocorm.
b. Media Murashige & Skoog (media MS)
Merupakan perbaikan komposisi media Skoog, terutama kebutuhan garam
anorganik yang mendukung pertumbuhan optimum pada kultur jaringan
tembakau. Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N
dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang
terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant,
dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20
mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya konsentrasinya dinaikkan
sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur
kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur
jaringan jenis tanaman lain. Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai
tujuan kultur tanaman.
c. Media Schenk & Hildebrant (media SH)
Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman
monokotil dan dikotil. Konsentrasi ion-ion dalam komposisi media SH sangat
mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level
Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari
pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan mendapatkan
bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan sangat baik, 19% baik,
30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk pertumbuhannya. Tetapi karena zat
tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH ini
cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman legume.

d. Media WPM (Woody Plant Medium)


Media WPM (Woody Plant Medium) dikembangkan oleh Lioyd & Mc
Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang lebih
rendah dari media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan
dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat
pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman
hias berperawakan perdu dan pohon-pohon (Abbas, 2008).
e. Media Gamborg B5 (media B5)
Media Gamborg B5 (media B5) Pertama kali dikembangkan untuk kultur
kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan
media MS. Media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat
baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.. Pada masa
ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain. Media ini dikembangkan
dari komposisi PRL-4, media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah,
karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel
kedelai. Fosfat yang diberikan setelah 1 mM, Ca2+ antara 1-4 mM, sedangkan
Mg2+ antara 0.5-3 mM(Abbas, 2008).
Adapun media yang dibuat dalam praktikum ini adalah media MS
(Murahige Skoog) yang berbentuk padat karena diberi agar, agar inilah yang
membuat media menjadi padat. Komposisi media terdiri atas unsur hara makro,
unsur hara mikro, gula, vitamin, dan zat pengatur tumbuh. Selain itu dalam
membuat media untuk kultur jaringan harus memperhatikan Ph. Sel-sel tanaman
membutuhkan pH sedikit asam yaitu berkisar antara 5,5-5,8. Adapun pH dalam
pembuatan media yang kami buat menggunakan pH sekitar 5,8. Hal ini dilakukan
sebagai antisipasi penurunan pH media yang sangat drastis apabila sudah
dilakukan sterilisasi di dalam autoclave. Oleh karena itu, pada pembuatan media
pada praktikum ini tidak menggunakan pH 5,5.
Dalam pembuatan media dalam kultur jaringan juga ditambahkan suatu zat
tambahan yaitu zat pengatur tumbuh. Untuk media kultur jaringan, kombinasi zat
pengatur tumbuh disesuaiakan dengan macam eksplan yang digunakan, misalnya
eksplan yang berasal dari jaringan meristem suatu tanaman tertentu seperti

tanaman anggrek, tanaman Cerealea, tanaman tembakau atau tanaman lain, dan
sebagainya (Daisy, dkk, 2012). Ada lima macam golongan zat pengatur tumbuh
yaitu sitokinin, auksin, giberelin, inhibitor dan ethylene, namun ada dua golongan
yang sering digunakan dalam media kultur adalah auksin dan sitokinin. ZPT
tersebut berperan dalam merangsang pertumbuhan dan morfogenesis sel jaringan
dan organ. Menurut Daisy (2012), bahwa zat pengatur tumbuh yang tergong
auksin adalah Indol Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA), dan
sebagainya. Zat pengatur tumbuh yang termasuk golongan sitokinin adalah
Kinetin, Zeatin, Ribosil, dan Bensil Aminopurin (BAP). Zat pengatur tumbuh
yang termasuk golongan giberelin antara lain adalah GA1, GA2, GA3, GA4.
Sedangkan zat pengatur tumbuh yang termasuk golongan inhibitor antara lain
adaah fenolik dan asam absisik. Hormon auksin di dalam tubuh tanaman
dihasilkan oleh pucuk-pucuk batang, pucuk-pucuk cabang dan ranting yang
menyebar luas ke dalam seluruh tubuh tanaman. Penyebar luasan auksin ini
arahnya dari atas ke bawah hingga sampai pada titik tumbuh akar, melalui
jaringan pembuluh tipis (floem) atau jaringan parenkim. Oleh karena itu, pada
kultur jaringan digunakan jaringan meristem sebagai ekspan, sebab pada jaringan
ini terdapat hormon yang mengatur pembelahan sehingga keadaannya selalu
membelah. Penambahan zat pengatur tumbuh dimaksudkan untuk membantu
pembelahan sel, diferensiasi unsur-unsur trakheal dan diferensiasi sewaktu
membentang.
Indole-3-acetic acid (IAA) merupakan suatu auksin alamiah yang
terdapat pada tumbuhan. Auksin disintesis dari tryptophane terutama diprimordial
daun, daun muda dan kecambah. IAA ditansport dari sel ke sel dengan arah
basipetal (dari pucuk ke akar). IAA berperan dalam peanjanagan sel, pembelahan
sel, diferensiasi jaringan faskuler, inisiasi pembentukan akar, mempengaruhi
dominasi apikal, zona absisi pada daun dan buah serta pemasakan buah (Abbas,
2008).
Sitokinin

merupakan

suatu

derivat

dari

adenin,

kinetin

(6-

furfurylaminopurin) dan zeatin adalah sitokinin alami yang umumnya digunakan


secara meluas pada medium kultur. Sitokinin disintesis melalui modifikasi

biokimia dari adenin, yang terdapat pada ujung akar dan biji yang tumbuh.
Sitokinin ditransport dari akar ke pucuk. Sitokinin akan aktif apabila ada auksin,
dan pemberian auksin bersama-sama dengan sitokinin pada media kultur dapat
memacu pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin dapat mempengaruhi
transport auksin, pertumbuhan kuncup lateral (mematahkan dominasi apikal),
perkembangan

daun,

menghambat

proses

penuaan

dan

mempengaruhi

perkembangan kloroplas. Sitokinin sitetik seperti N6-Benzyl Amino Purine (BAP)


lebih sering digunakan pada medium kultur jaringan (Abbas, 2008).
Giberelin (GA) merupakan zat pengatur tumbuh yang dalam bentuk
larutan pada temperatur tinggi mudah kehilangan sifatnya sebagai zat pengatur
tumbuh. Giberelin merupakan keluarga persenyawaan yang didasarkan pada
struktur giberelin. Terdapat 34 giberelin yang telah diindentifikasi secara kimia,
beberapa diantaranya ditemukan pada embryo dimana dapat memicu produksi alfa
amylase yang dapat mengubah cadangan makanan pada biji menjadi gula
sehingga digunakan oleh embrio untuk pertumbuhannya. Giberelin berpengaruh
terhadap pertumbuhan batang, pembesaran dan pembelahan sel, induksi
perkecambahan biji, produksi enzim selama perkecambahan, pembentukan bunga.
Seperti auksin, giberelin juga dapat memacu pembentukan akar. Pada medium
kultur yang biasa digunakan adalah GA3 (Abbas, 2008).
Abcisic acid (ABA) adalah persenyawaan tunggal dengan berat molekul
264,31, larut dalam NaHCO3 cair, kloroform, aceton dan ether. ABA disintesis
dari asam mevalonat pada daun-daun tua terutama sebagai respon terhadap stress
air (kekeringan). ABA ditransport dari daun melalui floem. ABA dapat bergerak
dari akar ke dalam floem dan kemudian kembali ke pucuk melalui xylem. ABA
berperan pada penutupan stomata, transport fotosintat kearah biji-biji yang sedang
tumbuh. Pada kultur in vitro tumbuhan, ABA dapat mengahmbat proses
perkecambahan yang terlalu dini pada embrio somatic (Abbas, 2008).
Ethylene merukanan zat pengatur tumbuh yang berbentuk gas, disintesis
dari methionine didalam berbagai jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap
stress. Pada umumnya gas ethylene disintesis pada jaringan-jaringan yang
mengalami penuaan. Ethylene bergerak secara berdifusi dari tempat sintesisnya.

Peranan dari ethylene adalah membebaskan dormansi, diferensiasi dan


pertumbuhan tunas, pembentukan akar adventive, pemasakan buah, induksi
pembungaan dan lain-lain. Ethylene jarang digunakan pada kultur in vitro.
Penggunaan ethylene inhibitor seperti silver nitrat atau sulfat (ZnSO 4), cobalt atau
nikel chloride (CoCl2) dan asam salisilat pada medium kultur dapat meningkatkan
regenerasi pucuk dan produksi embryo somatik, namun hasilnya seringkali
koetradiktif. Ethylene dapat mempercepat perusakan sitokinin dan menstimulasi
perakaran pada kultur in vitro (Abbas, 2008).
Dalam praktikum ini yang berjudul media kultur jaringan, kami membuat
media pada hari Sabtu tanggal 21 Mei 2016, yang kemudian kami amati pada hari
Selasa pada tanggal 24 Mei 2016. Hasil pengamatan yang dilakukan pada hari
Selasa tersebut menunjukkan bahwa media dalam keadaan tidak ada kontaminasi
baik oleh jamur maupun bakteri. Kemudian pengamatan dilanjutkan pada hari
Kamis tanggal 26 Mei 2016, pada pengamatan hari Kamis tersebut, media yang
kami buat menunjukkan bahwa media dalam keadaan tidak ada kontaminasi baik
oleh jamur maupun bakteri seperti halnya pada pengamatan pada hari Selasa 21
Mei 2016. Hal ini dapat terjadi karena pada proses pembuatan media, praktikan
sudah memperhatikan teknik aseptik dan sterilisasi dengan baik. Sterilisasi
menggunakan autoclave dengan suhu 1210C dan tekanan 17,5 psi selama 120
menit dapat menjamin semua jenis kontaminan mati.
Pada penerapan kultur jaringan, media kultur memiliki peranan penting
dalam menentukan keberhasilan teknik kultur in-vitro, jika dalam pembuatan
media untuk kultur jaringan dilakuakan secara sembarangan (mengabaikan teknis
aseptis) maka akan memperbesar terjadinya kontaminasi oleh mikroba pada
medium yang dibuat. Kontaminasi merupakan permasalahan mendasar yang
sering terjadi pada kultur in vitro. Pada kondisi media yang mengandung sukrosa
dan hara, serta kelembaban dan suhu yang relatif tinggi, memungkinkan
terjadinya kontaminasi oleh mikroorganisme. Adapun Faktor yang menyebabkan
terjadinya kontaminasi pada media kultur jaringan diantaranya karena :
a. Pada saat melakukan di Laminar Air Flow maka kondisi tangan tidak
boleh keluar dari tempat tersebut, dan sebelum masuk tangan harus

disemprot alcohol terlebih dahulu. Apabila terjadi kelalaian tangan tidak


disemprot atau tangan tidak sengaja keluar dari laminar saat bekerja maka
tidak menutup kemungkinan factor kontam akan masuk ke dalam.
b. Kurang rapat dalam menutup botol. Botol ditutup menggunakan
aluminium foil yang ditutup sedemikian rupa sangat rapat agar factorfaktor penyebab kontam tidak masuk ke dalam botol. Apabila tutup
( aluminium foil ) tidak rapat maka tidak menutup kemungkinan
terjadinya kontaminasi.
c. Pada saat autoclave dibuka, maka kita harus ingat bahwa kondisi
lingkungan tidak steril sehingga berpeluang masuknya kontaminasi ke
dalam botol. Oleh sebab itu maka sebaiknya membuka autoclave
seharusnya diruang steril, dan tutup botol harus segera dikuatkan kembali.
d. Kondisi praktikan yang tidak aseptic juga dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi pada media kultur jaringan akibat dari mikroorganisme yang
tersebar dan dibawa oleh praktikan.
Kontaminasi oleh mikroba merupakan salah satu masalah serius dalam
kultur in vitro tanaman dan merupakan penyebab utama hilangnya kultur
tanaman. Adapun kontaminasi yang sering terjadi pada media kultur jaringan
tanaman terdiri atas dua jenis yaitu kontamiasi oleh bakteri dan kontaminasi oleh
jamur. Untuk membedakan kedua jenis kontaminasi ini, dapat dilihat dari ciri-ciri
fisik yang muncul pada eksplan maupun media kultur. Bila terkena kontaminasi
bakteri maka tanaman akan basah atau menyebabkan adanya lendir, hal ini
dikarenakan bakteri langsung menyerang terhadap jaringan dari tubuh tumbuhan
itu sendiri (Sinta et.al, 2014).
Pada kultur in vitro karakteristik koloni bakteri dapat diamati langsung
(unaided eye), diantaranya dikenali dengan adanya lendir berwarna putih, coklat,
merah muda, atau kuning. Sedangkan bila terkontaminasi oleh jamur, tanaman
akan lebih kering dan akan muncul hifa jamur pada tanaman yang terserang dan
biasanya dapat dicirikan dengan adanya garis garis (seperti benang) yang
berwarna putih sampai abu abu (Sinta et.al, 2014).

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
1. Media kultur yang baik adalah media yang di dalamnya tidak terdapat kontaminan
oleh mikroorganisme jenis apapun baik oleh bakteri maupun oleh jamur, sehingga
pertumbuhan eksplan tidak terganggu dan dapat berlangsung dengan optimal,
untuk mendapatkan media yang baik maka pada proses pembuatan dan
penyimpanan harus memperhatikan teknik aseptik dan sterilisasi.
2. Macam-macam media kultur jaringan dibedakan berdasarkan wujudnya dan
komposisinya. Berdasarkan wujudnya media dibedakan menjadi media padat dan
media cair. Sedangkan berdasarkan kandungan atau komposisinya diantaranya
yaitu Media Knudson dan media Vacin and Went, media Murashige & Skoog
(media MS), Media Schenk & Hildebrant (media SH), Media WPM (Woody Plant
Medium), media Gamborg B5 (media B5), dan sebagainya. Namun, media yang
digunakan dalam praktikum ini yaitu media Murashige & Skoog (media MS).
5.2

Saran
Secara umum, praktikum pembuatan media kultur ini berlangsung dengan

baik dan hasilnya sesuai dengan apa yang diharapkan. Tidak ada kontaminasi
yang terdapat pada media. Namun, sebaiknya pengamatan dilakukan setiap hari,
tidak hanya pada hari ke-3 dan hari ke-5 saja, karena di dalam buku petunjuk
praktikum, pengamatan ada tidaknya kontaminan dilakukan setiap hari.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, B. 2008. Prinsip Dasar Teknik Kultur Jaringan. Jakarta : Rineka Cipta.
Altaf Hussain, Iqbal Ahmed Qarshi, Hummera Nazir and Ikram Ullah .2012. Plant
Tissue Culture: Current Status and Opportunities . licensee InTech
Daisy, PSriy., S. Hendaryono., dan A. Wijayani. 2012. Teknik Kultur Jaringan.
Yogyakarta : Kanisius.
Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik kultur jaringan. Yogyakarta:
Kanisius.
Kittiwongwattana, Chokchai and S. Vuttipongchaikij. 2013. Effects of nutrient
media on vegetative growth of Lemna minor and Landoltia punctata
during in vitro and ex vitro cultivation. Maejo Int. J. Sci. Technol 7 (1).
Putri, A. 2009. Kajian Glycocalyx Bakteri Pada Kontaminasi Ulin (Eusideroxylon
zwageri) In-Vitro. Jurnal Pemuliaaan Tanaman Hutan. 3(1).
Sinta, M,M., I. Riyadi., Sumaryono. 2014. Identifikasi dan pencegahan
kontaminasi pada kultur cair sistem perendaman sesaat. Menara
Perkebunan. 82 (2).
Stepanus, Daniel., Supriadi., dan Sarifuddin. 2013. Survei dan Pemetaan Status
Hara Tembaga dan Boron Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Hutabayu
Raja. Jurnal Online Agroekoteknologi. .2 (1): 64-71
Suliansyah, Irfan. 2010. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Bandung: Leutikaprio.
Yadav, Kuldeep,Narender Singh and Sharuti Verma. 2012. Plant tissue culture: a
biotechnological tool for solving the problem of propagation of
multipurpose endangered medicinal plants in India. Agricultural
Technology 8(1).

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai