Anda di halaman 1dari 19

Laporan Hasil Belajar Mandiri

Skenario A Blok 23 Tahun 2016


Elfandari Taradipa/04011181419006/Beta 2014/kelompok 8
I.

II.

III.

Tn M, umur 40 tahun seseorang lakilaki bekerja sebagai buruh bangunan, sejak lima bulan
yang lalu teraba benjolan di leher kanan sebesar telur puyuh, benolan tidak nyeri, badan
terasa demam tapi tidak terlalu tinggi dan mudah berkeringat, nafsu makan menurun dan
berat badan masih normal. VV
a) Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin dan pekerjaan terhadap kasus?
Pada sampel yang diambil pada tahun 2014 perbandingan laki laki dan perempuan
yang mengidap Limfoma non Hodkin yaitu 2:1, 46% orang berada dibawah 55 tahun
dan 54 % diatas 55 tahun.
Sejak 4 bulan yang lalu timbul benjolan di leher sebelah kiri sebesar telor puyuh
sedangkan benjolan sebelah kanan semakin membesar yaitu sebesar telur ayam. Berat
badan menurun 6 kg dalam 2 bulan terakhir. Sejak 1 bulan yang lalu Tn.M mengeluhkan
sakit menelan dan sulit menelan, akhirnya Tn.M berobat ke bagian penyakit dalam dan
dirawat. VVV
a) Mengapa benjolan sebelah kana semakin membesar dan bagaimana
mekanismenya?
b) Mengapa berat badan menurun 6kg dalam 2 bulan terakhir dan bagaimana
mekanismenya?
Berat badan menurun merupakan gejala sistemik sehingga membuat pasien
malas makan dan berat badan menurun.
c) Mengapa timbul keluhan sulit menelan sejak satu blan yang lalu pada kasus?
Riwayat batuk lama tidak ada, riwayat keluarga batuk lama tidak ada, riwayat sakit
kepala tidak ada, keluhan nyeri sendi dan demam lama tidak ada. Tn.M sering
memelihara binatang seperti kucing dan juga senang makan yang dibakar seperti sate.
Tn.M jarang minum obat-obatan dan jamu-jamuan. Riwayat keluarga tidak ada penyakit
seperti ini, Ibu Tn.M menderita karsinoma payudara. VV
a) Apa makna klinis sering memelihara binatang seperti kucing dan juga senang
makan yang dibakar seperti sate?
Sebagai DD adanya kemungkinan penyebab infeksi virus dan bakteri.
b) Apa makna klinis Tn.M jarang minum obat-obatan dan jamu-jamuan?
Menyingkirkan etiologi akibat obat-obatan.
c) Apa hubungan ibu pasien menderita karsinoma payudara dengan penyakit yang
diderita oleh Tn M?

Definisi
Limfoma merupakan kanker yang berasal dari jaringan limfoid yang mencakup sistem
limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu
pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali, dan kelainan sumsum tulang.
Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodal yaitu di luar sistem limfatik dan imunitas antara lain
pada traktus digestivus, paru, kulit, dan organ lain.
Sistem limfatik adalah bagian penting sistem kekebalan tubuh yang memainkan peran
kunci dalam pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker. Cairan limfatik adalah
cairan putih mirip susu yang mengandung protein, lemak dan limfosit (sel darah putih) yang
semuanya mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfatik. Ada dua macam sel limfosit
yaitu: Sel B dan Sel T. Sel B membantu melindungi tubuh melawan bakteri dengan jalan
membuat antibodi yang menyerang dan memusnahkan bakteri.
Dalam kondisi normal, sel limfosit merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh.
Sementara sel limfosit yang tidak normal (limfoma) bisa berkumpul di kelenjar getah bening
dan menyebabkan pembengkakan. Sel limfosit ternyata tak cuma beredar di dalam pembuluh
limfe, sel ini juga beredar ke seluruh tubuh di dalam pembuluh darah karena itulah limfoma bisa
juga timbul di luar kelenjar getah bening. Dalam hal ini, yang tersering adalah di limpa dan
sumsum tulang. Selain itu, bisa juga timbul di organ lain seperti perut, hati, dan otak. Dalam
garis besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian yaitu:

Limfoma Hodgkin (LH), Limfoma non

Hodgkin (LNH), Histiositosis x, Mycosis fungoides.


Dalam keseharian praktek, yang dimaksud dengan limfoma adalah LH dan LNH, sedang
Histiositosis x dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.
Penyakit Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH) memiliki gejala yang mirip.
Perbedaannya dibedakan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana pada PH ditemukan
sel Reed Sternberg, dan sifat LNH lebih agresif.
Saat ini, sekitar 1,5 juta orang di dunia hidup dengan limfoma maligna terutama tipe
LNH, dan dalam setahun sekitar 300 ribu orang meninggal karena penyakit ini. Dari tahun ke
tahun, jumlah penderita penyakit ini juga terus meningkat. Sekadar gambaran, angka kejadian
LNH telah meningkat 80 persen dibandingkan angka tahun 1970-an. Data juga menunjukkan,
penyakit ini lebih banyak terjadi pada orang dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia
antara 45 sampai 60 tahun. Makin tua umur, makin tinggi risiko terkena penyakit ini. Tapi secara
umum, LNH bisa menyerang semua usia, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Sementara
dari sisi jenis kelamin, kasus LNH lebih sering ditemukan pada pria ketimbang wanita.

Di negara maju limfoma maligna relatif jarang yaitu kira-kira 2 % dari kanker yang ada.
Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan
terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit.
Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyulit
dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor penting
dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini
angka harapan kehidupan 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh (kuratif) berkat manajemen
tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Dalam artikel ini akan dibahas
lebih lanjut dan jelas tentang limfoma Hodgkin (LH).3
Limfoma Hodgkin adalah keganasan system limforetikuler dan jaringan pendukungnya
yang sering menyerang kelenjar getah bening dan disertai gambaran histopatologi yang khas.
Ciri histopatologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed Steinberg atau variannya yang
disebut sel Hodgkin dan gambaran pleimorfik kelenjar getah bening1
Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum.
Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu
sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma
malignum (maligna = ganas).
Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832, kemudian
gambaran histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun 1872, disusul oleh laporan terpisah
dari Sternberg dan Reed yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian diberi nama Sel
Reed-Sternberg.
Klasifikasi
Dalam manajemen penyakit ini identifikasi subtype histopatologi merupakan prosedur penting.
Sebab ada kaitannya dengan terapi dan prognosis. Parameter identitas subtype lebih banyak
pada kuantitas sel datia Reed-Steinberg, limfosit dan reaksi jaringan ikat.3
Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan Butler sesuai
keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi ini penyakit
Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
1.

Tipe Lymphocyte Predominant

Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel limfosit yang
dewasa, beberapa sel Reed-Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak muda. Prognosisnya baik.
2.

Tipe Mixed Cellularity

Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil, neutrofil, limfosit
dan banyak didapatkan sel Reed-Sternberg. Dan merupakan penyakit yang luas dan mengenai

organ ekstranodul. Sering pula disertai gejala sistemik seperti demam, berat badan menurun dan
berkeringat. Prognosisnya lebih buruk.
3.

Tipe Lymphocyte Depleted

Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed-Sternberg banyak sekali dan
hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan cenderung merupakan proses yang
luas (agresif) dengan gejala sistemik. Prognosis buruk.
4.

Tipe Nodular Sclerosis

Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering dilaporkan sel
Reed-Sternberg yang atifik yang disebut sel Hodgkin. Sering didapatkan pada wanita muda /
remaja. Sering menyerang kelenjar mediastinum.
Klasifikasi histopatologik morbus Hodgkin
(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)
Tipe utama

Sub-tipe

Bentuk lymphocyte predominance (LP)

Nodular
Difus

Bentuk nodular sclerosis (NS)


Bentuk Mixed Cellulating (MC)
Bentuk Lymphocyte Depletion (LD)

Reticular
Fibrosis difus

Freku
ensi
}5%
7080%
1020%
}1%

"http://3.bp.blogspot.com/-I8-smP6CrT4/VeGGH8cQ9RI/AAAAAAAAAgA/psi--cSXmmY/s1600/image001.jpg"
Bentuk histopatologik limfoma hodgkin
Namun ada bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya golongan Nodular
Sclerosis (NS) ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte Predominant NS=LP-NS), ada yang
limfositnya sedikit (Lymphocyte-Depleted NS=LD-NS) dan sebagainya. Demikian pula
golongan Mixed Cellularity (MC), ada yang limfositnya banyak (LP-MC), ada yang sedikit
(LD-MC).
Penyakit ini mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus perifer tunggal dan
perkembangan selanjutnya dengan penjalaran di dalam system limfatik. Mungkin bahwa sel
Reed-Sternberg yang khas dan sel lebih kecil, abnormal, bersifat neoplastik dan mungkin bahwa
sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon.hipersensitivitas untuk hospes. Setelah
tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah
penyakit ini adalah menyebar ke jaringan non limfatik. 4
Epidemiologi
Insidensi penyakit Hodgkin kira-kira 3 per 100.000 penderita per tahun. Pada pria
insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2.
Pada morbus Hodgkin distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak
dalam distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 35
tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir
terdapat kenaikan berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular
sklerotik pada golongan umur lebih muda
Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia belum ada.
Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian penyakit dalam RS.
Dr.Sutomo Surabaya antara tahun 1963-1972 (9 tahun) telah dirawat 26.815 pasien, dimana 81
diantaranya adalah limfoma malignum dan 12 orang adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI
VIII tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa selama 1 tahun di bagian penyakit dalam RSUP Dr.
Sardjito dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah limfoma malignum dan semuanya adalah
limfoma Hodgkin. Dari laporan-laporan tersebut di atas terlihat bahwa di Indonesia limfoma
non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih banyak daripada
wanita.1
Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear seiring dengan
usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di negara-negara barat yang
telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur berbentuk bimodal dengan puncak awal pada
orang dewasa muda (15-35 tahun). Dan puncak kedua setelah 50 tahun. Penyakit Hodgkin lebih
prevalen pada laki-laki dan bila kurva insidensi spesifik umur dibandingkan dengan distribusi
jenis kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi laki-laki lebih nyata pada dewasa muda.

Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok dengan lebih dari 80%
pasien adalah laki-laki. Hal ini menyebabkan beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat
peningkatan kerentan yang berhubungan dengan faktor genetik terkait seks dan hormonal.2
Etiologi
Banyak kemajuan telah dicapai dalam memahami penyakit ini. Meskipun masih banyak
yang belum konklusif. Seperti pada keganasan yang lain penyebab limfoma Hodgkin ini
multifaktorial dan belum jelas benar.
Perubahan genetik, disregulasi gen-gen factor pertumbuhan, virus dan efek imunologis,
semuanya dapat merupakan factor tumorigenik penyakit ini.
Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai sekarang.
Kejangkitan limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan ada kaitannya
dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga menderita limfoma Hodgkin, maka resiko
anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar dibanding dengan orang lain yang tidak termasuk
keluarga itu. Pada orang hidup berkelompok insiden limfoma Hodgkin cenderung lebih banyak.
Patogenesis limfoma Hodgkin

cukup rumit dan masih banyak hal yang belum

diketahui dalam bidang ini. Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya
peran infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak-anak. Misalnya, pada negara
non industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur yang
lebih muda, puncak insidensi pertama limfoma Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini (antara 5
dan 15 tahun) dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan terhadap
virus umum yang terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi sosial yang
lebih tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan bahwa
infeksi virus tertentu mempunyai efek predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya
timbul pada usia lebih lanjut.
Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang peran pada
patogenesis morbus Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi molekular pada persentase
yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan
adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV
tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya
morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan kausa
langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.
Empat kemungkinan penyebab yang sedang berkembang saat ini adalah: faktor
keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, virus human T-cell
leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV) yang ditemukan pada limfoma Burkitt,
Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia).

Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada


kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV,
tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal
pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar
limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain.
Patofisiologi
Asal-usul pasti penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa
penyakit Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi) yang
berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit Hodgkin
merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel transformasi. Tetapi
asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed-Sternberg tidak membawa
penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak memiliki komplemen dan reseptor
Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan dari penderita dengan jalur sel penyakit
Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed-Sternberg.5
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan antigen
permukaan dengan sejumlah kecil sel dendrit pada daerah parafolikel nodus limfatik.
Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam pengenalan antigen
oleh sel T. Berkurangnya kapasitas memberitahukan antigen berkaitan dengan transformasi
neoplasi sel dendritik, mungkin menjelaskan adanya gangguan imunitas sel-T, yang begitu
umum terjadi pada penyakit Hodgkin. Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel
Reed-Sternberg ini kini harus dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih
meyakinkan.
Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit Hodgkin.
Beberapa laporan telah menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit
Hodgkin. Tetapi tidak ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS yang dibiakkan, tidak
mendukung peran EBV sebagai penyebab penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi infeksi
penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat laporan yang menunujukkan kemungkinan adanya
suatu pengelompokan penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah menengah tertentu.6
Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal penyakit
Hodgkin.7
Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah limfonodus perifer
tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam system lmfatik. Mungkin
bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebuh kecil, abnormal yang menyertai (sekarang
diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat
bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas oleh hospes, manfaat yang menentukan pola
evolusi. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi histologis. Setelah tersimpan dalam

limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah
menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik.4

HYPERLINK "http://4.bp.blogspot.com/-jDmiZbfyCc/VeGFjmhvpAI/AAAAAAAAAf4/dGLlqJhVhdU/s1600/Patofisiologi+LNH.png"

NFKB = Nuclear Factor Kappa B


KGB = Kelenjar Getah Bening
Manifestasi Klinis
Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada pembesaran kelenjar limfe,
biasanya

di

leher.

Kelenjar

ini

sering

asimtomatik.

Jika

terjadi

di

bawah

m.

sternocleidomastoideus dapat terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang
bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat timbul dari
kelainan di tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar limfe yang keras,
teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah supraklavikula, atau
disertai batuk kering non produktif sekunder akibat limfadenopati halus.
Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau febris (gejala B) pada 20-30%
kasus merupakan presentasi pertama, terutama pada proses yang lebih luas. Pada 15% kasus
disebutkan adanya nyeri pada penggunaan alkohol.
Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat juga
terjadi pada infeksi umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau infeksi virus
lain yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada pembengkakan kelenjar yang
persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus cepat diadakan biopsi untuk penentuan
diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu untuk orientasi. Biopsi jaringan diperlukan
untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika ada dugaan ke arah limfoma maligna pada biopsi
harus disisihkan material untuk pemeriksaan imunologik dan kalau perlu pemeriksaan DNA
untuk penetapan monoklonalitas dan untuk menentukan imunofenotipe.
Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit lokal dan kemudian menyebar ke
struktur limfoid didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non limfoid dengan kemungkinan
kematian pasien. Pasien penyakit Hodgkin umumnya datang dengan adanya massa atau
kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah digerakkan dan biasanya tidak nyeri tekan. Sekitar
separuh pasien datang dengan adenopati di leher atau daerah supraklavikula dan lebih dari 70
persen pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superfisial. Karena kelenjar
tersebut umumnya tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat sampai kelenjar
limfe cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati mediastinum. Hal ini
kadang-kadang pertama kali dideteksi pada pemeriksaan sinar-x toraks rutin. Kelenjar limfe
yang terkena pada penyakit Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial dan berlainan dengan

yang terkena pada limfoma non Hodgkin yang memperlihatkan kecenderungan sentrifugal
mengenai kelenjar limfe epitroklear, cincin waldeyer dan abdomen.
Pada 2-5 persen pasien, kelenjar limfe atau jaringan lain yang terkena penyakit Hodgkin
dapat tersa nyeri setelah minum minuman beralkohol. Pertumbuhan kelenjar limfe cukup
bervariasi, beberapa lesi dapat menetap dalam jangka lama, sedangkan pada kelenjar yang lain
terjadi regresi spontan dan temporer.
Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit mengalami gejala yang
berkaitan dengan penyakitnya. Gejala tersering adalah demam ringan yang mungkin disertai
keringat malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam mungkin merupakan satu-satunya
keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami demam naik turun disertai banyak keringat
malam (demam Pel-Epstein). Demam ini dapat menetap selama beberapa minggu, diikuti oleh
interval afebris. Demam dan keringat malam lebih sering ditemukan pada pasien tua dan pada
pasien dengan penyakit stadium lanjut.
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10 persen dalam 6
bulan atau kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering ditemukan adalah rasa lemah,
malaise dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar 10n persen pasien pada saat diagnosis,
gejala ini biasanya generalisata dan mungkin berkaitan dengan ruam kulit atau walaupun jarang
merupakan satu-satunya gejala penyakit.
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau perikardium mungkin disertai batuk, nyeri
dada, sesak napas atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin disertai nyeri
tulang. Kadang-kadng pasien datang dengan gejala sumbatan vena kava superior sebagai gejala
awal. Kompresi mendadak korda spinalis dapat merupakan gejala awal tetapi biasanya
merupakan penyulit penyakit progresif stadium lanjut. Nyeri kepala atau gangguan penglihatan
dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Hodgkin intrakranium dan ketrlibatan abdomen
menimbulkan nyeri abdomen, gangguan usus dan bahkan asites.2

HYPERLINK "http://1.bp.blogspot.com/lkOWbgVWTpM/VeGFM3i7OwI/AAAAAAAAAfw/HohjQlKEyfc/s1600/image006.jpg"

Stadium / Staging Limfoma Hodgkin


Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :

1. Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.

1. Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan yang
abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu : hepar, paru,
sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi sesuai
konferensi Cotswald.1
Table Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.
Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi
diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip
angka, misal : II2, II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang
tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).
Dapat diberi tambahan :
A : bila tanpa gejala sistemik
B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan 38C yang tak jelas
sebabnya; penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap
kombinasi dari 3 gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit ini.
X : bila ada bulky mass ( 1/3 lebar thorax dan 10 cm untuk ukuran kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena.

HYPERLINK "http://3.bp.blogspot.com/dEzKxx2Mz1s/VeGEvDoq6kI/AAAAAAAAAfo/GL8l1FyUu0M/s1600/image010.jpg"

Untuk menentukan luasnya penyakit diperlukan prosedur staging tertentu.


Table Prosedur yang diperlukan untuk menentukan tingkat (stadium)
penyakit Hodgkin.1
1.

Riwayat dan pemeriksaan :


Identifikasi gejala-gejala sistemik

2.

3.

Prosedur-prosedur radiologis :
a.

Foto dada biasa

b.

CT-Scan dada (bila foto dada abnormal)

c.

CT-Scan abdomen dan pelvis

d.

Limfografi bipedal

Prosedur-prosedur hematologis :

4.

5.

a.

Darah lengkap dan hitung jenis

b.

LED

c.

Aspirasi dan biopsy sumsum tulang

Prosedur biokimiawi
a.

Tes faal hati

b.

Serum albumin, LDH, Ca

Prosedur untuk hal-hal khusus :


a.

Laparatomi (diagnostic dan staging)

b.

USG abdomen

c.

MRI

d.

Gallium scanning

e.

Technetium bone scan

f.

Scan hati dan limpa

Diagnosis 2, 4
Anamnesis
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila ataupun
lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam, keringat dan
gatal
Pemeriksaan fisik
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikular, aksiler dan
inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk
menentukan kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlihat perlu diperiksa
gastrointestinal sebab sering terlihat bersama-sama.
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting dalam
pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit. atau keterlibatan
organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya
mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan
penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau
meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada
pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang menderita
pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute limfositopenia absoluit (<1000 sel per millimeter
kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi
terhadap banyak pemeriksaan sebagai indicator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi pemeriksaan ini
tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat penyakit residual. Uji lain
yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali,
lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum.
Sitologi Biopsi Aspirasi
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis pendahuluan
limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar
getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma malignum.
Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun LNH adalah adanya negatif
palsu dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole di beberapa tempat permukaan tumor.
Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan
terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype histopatologi
walaupun sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan bukan sekedar
mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsy tersebut dapat memberi
informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening
di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang,
dianjurkan agar biopsy dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat
suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan
Radiologi
Termasuk didalamnya :
a.

foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal

b.

Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca


aortal

c.

USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus


menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.

d.

CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH

Laparotomi
Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka para aotal dan
mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan teknologi radiology
misalnya USG dan CT Scan ditambah sitologi biopsy aspirasi jarum halus, tindakan laparotomi
dapat dihindari atau sekurang-kurangnya diminimalisasi.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin pada
pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus,
mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya
limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher
local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin dan kanker payudara.
Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada
pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel
kecil dan non sel kecil. Medistinitis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat
mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit
abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan,
dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan
ini.
Penatalaksanaan
Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini juga
berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita dengan residif
sesudah terapi pertama.
Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh dihentikan atau
dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada pembicaraan antara
radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi.
Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin
Terapi pertama
Stadium I II

- Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi kelenjar paraaorta


dan limpa; kadang-kadang hanya lapangan mantel saja

Stadium IIIA
Stadium IIIB IV

- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan dengan


radioterapi
- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan involved field
radiation
Kemoterapi ditambah dengan radioterapi
Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

1. Stadium klinik I dan II


Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi di atas
diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi daerah paraaortal dan
limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30% dalam daerah ini, seperti ternyata dari
hasil laparotomi penetapan stadium. Terapi demikian itu berlangsung 4 minggu untuk daerah
mantel dan sesudah periode istirahat 3-4 minggu, 4 minggu untuk daerah kelenjar limfe
paraaortal dan limpa. Dengan terapi ini ketahanan hidup bebas penyakit yang berlangsung lama
adalah kira-kira 75%, ketahanan hidup total kira-kira 90%. Ini dengan titik tolak bahwa periode
bebas penyakit 5-7 tahun berarti penyembuhan. Residif terutama terjadi pada tahun-tahun
pertama sesudah terapi.
Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II diberikan
penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal, limpa, kelenjar iliakal dan
kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat dalam lapangan penyinaran. Karena itu
dipertimbangkan pada wanita muda untuk menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran.
Jika kelainan di perut sangat voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi dengan
radioterapi.
Ada beberapa perkecualian terhadap garis pedoman standar ini. Dalam hal-hal tertentu
hanya dapat dipertimbangkan penyinaran lapangan mantel, misalnya pada stadium I terbatas
pada wanita-wanita, dengan lokasi tinggi di leher. Pengalaman menunjukkan bahwa lokasi
occult di dalam perut, jadi residif disitu, jarang terdapat. Ada 3 golongan penderita dalam
stadium klinik I dan II yang untuknya radioterapi saja tidak memberi hasil yang optimal.
Kelompok pertama terdiri atas penderita yang mempunyai mediastinum sangat lebar (lebar
mediastinum misalnya > 1/3 diameter toraks, diukur setinggi vertebra torakal 5-6). Penderita ini
sering mendapat residif di paru atau dalam mediastinum jika hanya diberikan radioterapi saja.
Dalam hal ini lebih dipilih kombinasi kemoterapi dan radioterapi.
Golongan kedua terdiri atas penderita yang meskipun dalam stadium II mempunyai
berbagai lokalisasi kelenjar limfe, misalnya bilateral di leher, mediastinum atau aksila.
Pengalaman menunjukkan bahwa pada penderita yang diberikan radiasi saja sering (40-50%)
timbul residif, juga kalau perut atas ikut diberi sinar. Juga laju enap darah yang tinggi atau umur
lebih dari 50 tahun tampaknya memperbesar kemungkinan residif.
Golongan ketiga terdiri atas wanita muda. Ada laporan bahwa penyinaran lapangan
mantel yang diberikan pada wanita antara 15-25 tahun, sesudah 10-15 tahun memberikan
kemungkinan karsinoma payudara yang meningkat. Ini menjadi alasan bagi kelompok ini untuk

di terapi dengan kemoterapi dalam kombinasi dengan penyinaran terbatas, dengan sebagian
besar menghindari payudara.
Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara inisial harus
diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun akhir ini pada umumnya
ada tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa faktor resiko tambahan diterapi dengan
kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat
penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul
masalah kardial.
Dalam hal ini dipilih kombinasi kemoterapi, dengan efek samping relatif sedikit, dan
radioterapi terbatas pada daerah yang terkena. Sementara sebaiknya kombinasi ini tidak
digunakan dahulu di luar penelitian.
Jenis-jenis radioterapi
1. Stadium IIIA
Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang mungkin, misalnya
dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat perluasan terbatas di limpa atau
perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi
total node). Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini
diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB IV.
2. Stadium IIIB IV
Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990). Skema MOPP
yang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh skema MOPP/ABV. Dalam hal
ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa
dengan pilihan ini kemungkinan penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja.
Persentase remisi komplit adalah 80%, dengan 60% kemungkinan penyembuhan.
Sesudah periode istirahat biasanya 2 minggu seri berikutnya diberikan, dengan kadangkadang mengatur kembali dosisnya atas dasar jumlah leukosit dan trombosit. Mengenai lamanya
terapi berlaku aturan bahwa diberikan terapi sampai tercapai remisi komplit, diteruskan dengan
2 terapi konsolidasi. Jika cepat terjadi remisi ini berarti 6 seri, jika tidak, menjadi 8 seri. Lebih
lama dari ini tidak ada artinya.
Pertanyaannya adalah apakah ada artinya bila pada kemoterapi diberikan penyinaran
tambahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Ini tidak seluruhnya jelas.
Kemungkinan residif lokal di daerah yang disinar dapat diperkecil, tetapi belum jelas dibuktikan
bahwa kemungkinan kurasi menjadi lebih baik.
Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada umumnya
lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek akut yang terjadi
(misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan rambut), juga harus

diperhatikan efek samping yang timbul kemudian. Pada terapi MOPP pada laki-laki terjadi
sterilitas yang menetap dalam persentase yang tinggi. Sebaiknya sebelum mulai terapi harus
dibicarakan dengan penderita resiko infertilitas dan kemungkinan pembekuan spermanya.
Meskipun pada terapi MOPP/ABV resikonya lebih kecil, disini juga harus dilakukan
pembekuan sperma. Pada wanita harus diperhatikan kemungkinan amenorrhea jika mereka lebih
tua daripada 25-30 tahun. Pada wanita lebih muda kemungkinan cukup besar bahwa siklus dan
fertilitasnya tetap utuh.
Tampaknya lebih mungkin bahwa pada laki-laki maupun wanita fertilitas lebih dapat
dipertahankan pada terapi ABVD.
Selanjutnya ada resiko terjadinya tumor kedua seperti leukemia sekunder dan limfoma
non-Hodgkin (Van Leeuwen, 1994). Kemoterapi memegang peran dalam hal ini. Terapi MOPP
terkenal tidak baik dalam hal terjadinya leukemia sekunder. Kemungkinannya adalah 5%
sesudah 10 tahun. Nitrogen mustard, suatu zat pengalkil tampaknya merupakan penyebab
terbesar. Ini juga menjadi alasan bahwa akhir-akhir ini lebih disukai skema-skema dengan
mengurangi obat pengalkil atau sama sekali tidak, seperti MOPP/ABV atau ABVD.
Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin
Dosis (mg/m2)

Hari ke-

1 5 8 15

MOPP
Nitrogen mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
ChlVPP

6
1,4
100
25

i.v.
i.v.
p.o.
p.o.

++
++

Chlorambusil
Vinblastin
Procarbazine
Prednisone
ABVD

6
6
100
25

p.o.
i.v.
p.o.
p.o.

++

Adriamisin
Bleomisin
Vinblastin
DTIC
MOPP/ABV

25
10
6
250

i.v.
i.v.
i.v.
i.v.

++
++
++
++

Nitrogen mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
Adriamisin
Vinblastin
Bleomisin
CEP

6
1,4
100
40
35
6
10

i.v.
i.v.
p.o.
p.o.
i.v.
i.v.
i.v.

+
+

+
+
+

CCNU
Etoposid
prednimustin

80
100
80

p.o.
p.o.
p.o.

Keterangan : + dosis sekali


diminum tiap hari berkelanjutan
Penanganan residif
Jika penderita hanya disinar pada terapi pertama dan kemudian mengalami residif, maka
dia harus ditangani dengan kemoterapi. Hasil-hasilnya dapat disamakan dengan penderita yang
dalam instansi pertama ditangani dengan kemoterapi. Pada residif sesudah kemoterapi dengan
atau tanpa radioterapi, kebijaksanaan ditentukan oleh interval akhir terapi sebelumnya dan
residifnya.
Prognosis penderita dengan residif selama atau segera sesudah (kurang dari 1 tahun)
akhir kemoterapi pertama adalah buruk. Terapi dengan skema lain yang disebut skema non cross
resistant, ditambah dengan radiasi jika memungkinkan, memberi 20% kemungkinan ketahanan
hidup lebih lama pada residif dini. Jika penderita diterapi dengan MOPP/ABV dan selama atau
segera sesudah itu mendapat residif, akan lebih sukar lagi untuk menemukan terapi lini kedua,
karena hampir semua obat yang aktif telah terpakai dalam skema ini.
Jika residif timbul belakangan ternyata dengan kemoterapi yang sama atau dengan
alternatif yang non cross resistant, ditambah dengan radioterapi jika masih memungkinkan,
dapat dicapai remisi jangka panjang pada 30-40% penderita.
Baik untuk residif dini maupun jangka setengah panjang sedang diadakan penelitian
mengenai nilai kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi sumsum tulang autolog (ABMT).
Prinsipnya adalah diambil sumsum tulang dan dibekukan. Kemudian penderita diberi
kemoterapi yang biasa dipakai untuk mencapai remisi sebaik mungkin, kemudian diadakan
intensifikasi dengan kemoterapi dosis tinggi, dengan reinfusi sumsum tulang yang tersimpan
untuk memperpendek periode pansitopenia. Tahun-tahun terakhir didapat banyak pengalaman
dalam hal ini. Sedang diadakan penelitian acak untuk menunjukkan golongan penderita mana
yang dengan prosedur demikian itu mendapat kenaikan kemungkinan kesembuhan dibanding
dengan terapi standar.
Perkembangan yang lebih baru sebagai pengganti sumsum tulang adalah sel induk
perifer (PSC) dipanen dari darah dan dikembalikan pada penderita. Sel-sel induk ini dapat
dimobilisasi dengan satu kuur kemoterapi dengan memberikan G-CSF (Granulocyte stimulating
factor). Efek tindakan ini adalah bahwa sesudah penurunan singkat jumlah sel darah putih dalam
darah perifer, jumlah itu meningkat lagi dengan penambahan sel muda (diantaranya sel induk
dengan CD34-positif). Ini melalui leukoferesis dapat dikumpulkan dan dibekukan. Jika
kemudian sel induk itu diberi dosis tinggi kemoterapi dan diinfuskan, dengan cepat akan terjadi

perbaikan nilai darah perifer lagi. Perbaikan ini umumnya lebih cepat daripada jika sumsum
tulang yang dikembalikan (Richel, 1993).
Pilihan terapi residif pada morbus Hodgkin
Terapi residif
Sesudah radioterapi
Interval pendek
Interval panjang

Kemoterapi, seperti pada penderita yang tidak diterapi sesudah kemoterapi


Kemoterapi lain dengan obat-obat yang tidak dipakai sebelumnya, dengan
radioterapi dalam penelitian; kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT
Kemoterapi sama atau lain, jika mungkin dengan radioterapi dalam penelitian
kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT

Pada residif yang timbul sesudah waktu lama, artinya lebih lama daripada 5-7 tahun
sesudah akhir kemoterapi pertama, pada umumnya diusahakan dengan kemoterapi yang sama,
atau variannya, dengan tambahan radioterapi untuk menginduksi remisi kedua. Ini dapat berhasil
pada residif lambat. Dalam hal ini orang tidak akan tergesa-gesa memberikan dosis tinggi
kemoterapi diteruskan dengan ABMT. Tindakan ini baru akan dilakukan pada residif kedua.
Skema yang dipakai pada residif lambat atau pada situasi paliatif adalah skema CEP yang
diberikan.

Prognosis
Dengan pengelolaan yang baik, penyakit Hodgkin dapat dikendalikan dalam waktu yang
cukup lama. Di Amerika Serikat, kemampuan hidup 5 tahun lebih dari 80% pada stadium I atau
II. Pasien dengan stadium IIIA mempunyai ketahanan hidup 5 tahun sebanyak 65%. Pada pasien
dengan stadium IIIA2, IIIB, atau IV, apabila diterapi dengan kemoterapi, dapat terjadi remisi
pada 80-95% kasus, di mana lebih dari 50% dari pasien tersebut mencapai perpanjangan masa
bebas gejala. Prognosis ini banyak ditentukan oleh faktor-faktor seperti stadium, jenis
histologik, massa tumor keseluruhan, terapi, dll
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup lama
dengan pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama, kemungkinan
mendapatkan late complication makin besar. Late complication itu antara lain :

1. timbulnya keganasan kedua atau sekunder


2. disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal
3. penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian antrasiklin
terutama yang dosisnya banyak (dose related)

4. penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga dose related
5. pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan

Daftar Pustaka

1. Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi 3.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 1996.

2. Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu


3.
4.
5.
6.

Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000.
Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995.
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential
Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
Diehl V, et al : Characteristic of Hodgkins disease derived cell lines cancer treat. Rep. 66:
615, 1982.
Vianna N J, and Polan, A K : Epidemiologic evidence for transmission of Hodgkins disease
N. Engl J. Med. 289-499, 1973.

Anda mungkin juga menyukai