pertama kali datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Gujarat dan Hadramaut di
sekitar abad ke-13. Kedatangan Islam ke Nusantara berlangsung secara damai tanpa melalui
cara peperangan.
Islam dapat diterima di masyarakat karena para pedagang menggunakan pendekatan budaya,
adat, dan bahasa penduduk setempat sebagai pintu masuk dakwah mereka. Mereka tidak
menggunakan pendekatan kekuatan (power).
Sebaliknya, mereka mengakomodasi budaya-budaya masyarakat setempat melalui proses
akulturasi tanpa mengubahnya secara radikal. Jika budaya masyarakat setempat ini tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, mereka menghargai dan menggunakannya sebagai sarana
dakwah dengan sentuhan Islam.
Akan tetapi jika budaya setempat bertentangan dengan ajaran Islam, mereka mengubahnya
dengan penuh kelembutan dan kesabaran.
Dengan cara Islamisasi kultural ini masih bisa dilihat warisan-warisan budaya Hindu dan
Buddha, seperti candi Borobudur dan Prambanan. Candi-candi ini masih berdiri kokoh
sekalipun penduduk sekitar mayoritas beragama Islam. Bahkan umat Hindu dan Budha bisa
menggunakannya secara bebas sebagai tempat suci tanpa ada gangguan.
Proses Islamisasi kultural ini sangat berpengaruh besar terhadap cara beragama umat Islam di
Indonesia yang sangat khas dibanding dengan Islam di tempat lain. Sejak pertama kali
datang, Islam sudah bersentuhan dengan pluralitas budaya dan agama-agama yang sudah ada
berabad-abad sebelumnya.
Karena sejak awal terbiasa hidup dalam keberagaman, umat Islam Indonesia tetap
memberikan ruang hidup bagi penganut agama lain untuk tumbuh dan berkembang.
***
Sikap moderat dan inklusif Islam ini juga tercermin dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Umat Islam di Indonesia sekalipun mayoritas tidak pernah memaksakan Islam
sebagai dasar formal negara. Para founding fathers sejak awal menyadari bahwa Indonesia
adalah bangsa yang plural dari segi agama dan budaya.
Karena itu, mereka tidak menginginkan Islam sebagai dasar formal negara. Mereka
menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Bagi para founding fathers, Pancasila bukan saja
tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama, tapi mampu menjadi pemersatu. Pancasila
adalah pilihan yang cerdas untuk menjaga keutuhan bangsa.
Pertanyaannya adalah mengapa Indonesia tidak berazaskan Islam? Selalu ada jarak antara
simbol dan bentuk formal agama dengan realitas pelaksanaan ajaran agama. Sekalipun
sebuah negara berazaskan Islam atau berbentuk negara Islam, tidak secara otomatis nilai-nilai
ajaran Islam dapat dilaksanakan secara baik dalam pelaksanaan sistem kenegaraan.
Seringkali, sebuah negara yang berazaskan Islam justru para penguasanya adalah seorang
diktator. Banyak penguasa sebuah negara Islam menjalankan roda pemerintahannya dengan
cara-cara yang sama sekali bertentangan dengan ajaran agama Islam sendiri.
Mereka menumpuk kekayaan pribadi dan mewariskannya kepada keturunan mereka sendiri
sementara rakyat mereka kelaparan dan menderita.
Sebuah negara yang berasaskan Islam tapi perilaku penguasanya jauh dari nilai-nilai Islam,
ini tidak lebih baik dibanding dengan negara yang tidak berazaskan Islam tetapi perilaku
penyelenggaraan negaranya sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Indonesia adalah contoh sebuah negara yang tidak berdasarkan agama tetapi nilai-nilai agama
menjadi inspirasi penyelenggaraan negara. Nilai-nilai agama yang dibawa di level negara ini
pada gilirannya akan menjadi akumulasi sosiologis dan titik temu di tingkat penyelenggaraan
negara dan mewarnai setiap produk hukum dan perundangan.
Sebaliknya, teks-teks agama tidak menjadi pilihan bangsa Indonesia di tingkat
penyelenggaraan negara secara formal, karena teks-teks agama-agama ini pasti berbedaantara
satu agama dengan agama yang lain. Jika dipaksakan teks-teks agama ini dalam kehidupan
bernegara, pasti menimbulkan benturan teologis antar sesama pemeluk agama.
***
Sekalipun umat Islam merupakan mayoritas terbesar umat, Indonesia bukanlah negara
teokrasi, juga bukan negara sekular dalam arti yang sesungguhnya.
Sekalipun tidak berdasarkan agama secara formal, Indonesia bukanlah negara sekuler.
Indonesia adalah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, negara tidak saja
wajib memberikan perlindungan (proteksi), tetapi juga mengatur hubungan umat beragama
tanpa melakukan intervensi terhadap ajaran teologis setiap agama.
Dengan demikian agama akan terlindungi oleh negara. Adapun pelaksanaan secara sempurna
baik tekstual maupun substansi agama-agama diserahkan sepenuhnya kepada organisasiorganisasi sosial agama yang ada seperti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, PGI, KWI, Walubi
dan lain sebagainya.
Sebaliknya, sebuah negara sekuler hampir tidak memberi ruang bagi agama baik formal
maupun subtansinya di dalam setiap produk hukum dan penyelenggaraan negara. Agama
selalu vis a vis dengan negara.
Karena itu, seringkali sebuah negara sekuler menerapkan aturan hukum dan perundangan
yang justru bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang ada di negara itu.
Misalnya, karena mengatasnamakan keadilan dan hak-hak asasi manusia, salah satu negara
sekuler di Eropa mengeluarkan undang-undang yang mengesahkan perkawinan antar sesama
jenis, padahal perkawinan antara sesama jenis ini bertentangan dengan ajaran agama-agama.
Sekalipun umat Islam merupakan mayoritas terbesar umat, Indonesia bukanlah negara
teokrasi, juga bukan negara sekular dalam arti yang sesungguhnya. Sebaliknya, Indonesia
adalah negara yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan , Persatuan, Demokrasi dan Keadilan Sosial. Pendirian Kementerian agama
melayani semua pemeluk agama.
Pancasila merupakan konsensus nasional dan platform umum bagi seluruh kelompok agama
untuk bertemu dan berdiskusi tentang masa depan Indonesia. Prisip- prinsip Pancasila
mempromosikan budaya toleran antar agama dan keyakinan lokal.
Dalam sistem Pancasila, seseorang meyakini kebenaran agamanya dan pada saat yang sama
menghormati pengikut dan doktrin agama lain. Masyarakat hidup berdampingan secara
harmoni dan saling bekerjasama.
Konsep ideal hubungan antara agama dan negara seperti diatas ternyata tidak mudah untuk
dilaksanakan di Indonesia. Dalam dua belas tahun belakangan, banyak kelompok-kelompok
tertentu yang mempertentangkan hubungan antara negara dan agama.
Faktor penyebabnya antara lain, euforia demokrasi yang tidak seimbang dengan stabilitas,
dibukanya sistem perdagangan bebas yang tidak lagi memperhatikan batas (border) wilayah,
dan proses reformasi tanpa arah.