Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN PERPAJAKAN

TAX PLANNING TRANSFER PRICING


MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Manajemen Perpajakan

OLEH:
Dian Novia Anatami
Marselina Welerubun

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

A. Pendahuluan
Globalisasi ekonomi telah membawa dampak semakin meningkatnya transaksi
internasional. Salah satu masalah perpajakan yang timbul dari transaksi tersebutadalah
transfer pricing, yaitu kegiatan mentransfer laba dari perusahaan dalam negeri ke
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih
rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah
dari harga pasar dan membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang
sewajarnya. Transfer pricing merupakan isu sentral saat ini yang dialami oleh seluruh
dunia yang terhubung dalam jaringan perdagangan internasional. Banyak perusahaan
sering melakukan transfer pricing guna memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan
pajak, karena pajak dianggap sebagai beban yang mengurangi keuntungan.
Transfer pricing dulunya merupakan salah satu cara pengusaha dalam
mengoperasikan usahanya umtuk mengukur kinerja setiap departemen dalam satu
perusahaan. Transfer pricing digunakan untuk mengukur efektifitas departemen dari
suatu perusahaan untuk melihat kinerja keseluruhan perusahaan tersebut. Makna arti
tersebut berubah dimana pergeseran laba yang mengakibatkan kerugian di dunia
perpajakan. Pergeseran ini digunakan oleh Wajib Pajak sebagai salah satu cara tax
planning untuk menghemat pajak dengan menggunakan kelemahan peraturan di suatu
negara. Biasanya tax planning ini dilakukan oleh perusahaan multinasional yang
bergerak atau yang mempunyai anak perusahaan di berbagai negara. Transfer pricing
menjadi masalah besar bagi aparat pajak suatu negara jika ada yang merasa dirugikan
dan inilah yang menjadi permasalahan transfer pricing di dunia perpajakan.
Transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya
menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Dari
sisi pemerintah, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya
potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung
menggeser kewajiban perpajaknnya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang
tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax
countries). Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan
biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya meminimalisasi pembayaran pajak
perusahaan (corporate income tax). Bagi korporasi multinasional, perusahaan berskala
global (multinational corporation), transfer pricing dipercaya menjadi salah satu strategi

yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber-sumber


daya yang terbatas.
Caranya bermacam-macam, mulai dari mengatur penjualan, membebankan
harga pokok, membebankan biaya umum kantor sampai ke biaya bunga modal. Timbul
kerugian negara akibat kurang disetornya perhitungan pajak penghasilan badan atas laba
yang telah ditransfer ke luar negeri tersebut. Di negara-negara sekaliber Amerika Serikat
pun praktek transfer pricing tetap merupakan dilema, karena meskipun dikategorikan
praktek yang tidak etis, namun pada kenyataannya hampir semua perusahaan besar di
Amerika melakukan hal tersebut. Di Indonesia pun Sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak
sangat menyadari praktik penghindaran pajak melalui manipulasi Transfer Pricing (TP).
Disebut menghindari pajak (tax avoidance), karena penghindaran tersebut masih
dilakukan dalam koridor peraturan pajak yang berlaku. Praktik ini terutama dilakukan
oleh perusahaan multinational. Tujuan utama dari manipulasi transfer pricing tentu saja
adalah pergeseran penghasilan kena pajak.
Praktek transfer pricing di Indonesia belakangan mendapat perhatian serius dari
kantor pajak, antara lain dengan diterbitkannya fasilitas pelaporan adanya hubungan
istimewa antar perusahaan dalam form SPT PPh Badan, di mana berdasarkan UU No 17
tahun 2000 pasal 18 UU PPh hal tersebut diatur dalam hubungan khusus antar
perusahaan di mana Dirjen Pajak memiliki kewenangan mengatur kembali besaran
penghasilan dan pengurangan serta menentukan besarnya utang dalam rangka penyertaan
modal untuk menentukan besaran Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Lain sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman bidang usaha lain yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa. Selain itu
aturan pajak mengenai transfer pricing juga terus disempurnakan untuk meminimalkan
praktek ini, terakhir Direktur Jendral Pajak mengeluarkan peraturan No PER-32/PJ/2011
tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara
Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Ini jelas menandakan bahwa Indonesia pun tidak menginginkan terjadinya
Transfer Pricing, walaupun dalam praktek di lapangan banyak sekali perusahaanperusahaan besar melakukan hal tersebut. Lemahnya tata cara pemungutan dan
pengawasan perpajakan di lapangan, menimbulkan terjadinya anggapan sah praktek
transfer pricing bagi para stakeholder maupun bagian keuangan di perusahaan-

perusahaan tersebut. Sehingga hal tersebut perlu mendapatkan reformasi yang cukup
serius dari depkeu selaku induk dari direktorat jenderal pajak.
B. Landasan Hukum
Beberapa landasan hukum yang mengatur transfer pricing dalam perpajakan adalah
sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir denganUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
3. PP No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan.
4. Peraturan Menteri Keuangan No. 82/PMK.03/2011 tentang Perubahan Atas
Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

199/PMK.03/2007

Tentang

Tatacara

Pemeriksaan Pajak.
5. Peraturan DirJen Pajak No. PER - 69/PJ/2010 Tentang Kesepakatan Harga Transfer
(Advance Pricing Agreement).
6. Peraturan Dirjen Pajak NO. PER - 32/PJ/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan
Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
7. Keputusan DirJen Pajak No. KEP - 01/PJ.7/1993 Tentang Pedoman Pemeriksaan
Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
8. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan
Kasus-kasus Transfer Pricing (Seri TP-1).
C. Pengertian Transfer Pricing
1. Menurut Hansen & Mowen (2013), harga transfer adalah harga yang ditagihkan
untuk barang yang ditransfer dari satu divisi ke divisi lainnya.
2. Menurut Ralph Estes dalam Kamus Akuntansi, harga transfer adalah suatu harga
internal yang dibebankan oleh satu unit (seperti divisi, perusahaan anak, atau
departemen) dari suatu perusahaan pada unit lainnya dalam perusahaan yang sama.
3. Menurut Tsurumi dalam Gunadi (1997), dalam suatu grup perusahaan, transfer
pricing merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian manajemen
(management control) atas transfer barang dan jasa dalam satu grup perusahaan.

Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada
prinsipnya transfer pricing adalah harga transfer dari barang/jasa atau aktiva tak
berwujud (intangible property) yang ditransfer antar perusahaan afiliasi dalam satu grup
perusahaan atau antar divisi dalam satu perusahaan.Semula transfer pricing digunakan
untuk kepentingan penilaian tingkat kemampuan laba masing-masing divisi atau masingmasing perusahaan afiliasi yang terlibat dalam transaksi afiliasi. Tetapi sejalan dengan
makin besarnya perusahaan multinasional, perbedaan tarif pajak antar negara dan
perencanaan pajak yang makin komprehensif, maka transfer pricing digunakan sebagai
alat untuk menggeser penghasilan kena pajak dari suatu negara ke negara yang tarif
pajaknya lebih rendah, atau dari perusahaan yang berada dalam posisi laba ke perusahaan
afiliasi yang masih mengalami kerugian.
Perlu disadari bahwa dengan perkembangan dunia usaha yang demikian cepat,
yang sering kali bersifat transnasional dan diperkenalkannya produk dan metode usaha
baru yang semula belum dikenal dalam bidang usaha (misalnya dalam bidang keuangan
dan perbankan), maka bentuk dan variasi transfer pricing dapat tidak terbatas. Namun
demikian dengan pengaturan lebih lanjut ketentuan tentang transaksi antar Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa diharap dapat meminimalkan atau mengurangi
praktek penghindaran/ penyelundupan pajak dengan rekayasa transfer pricing tersebut.
D. Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Transfer Pricing
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa umumnya

transfer pricing

melibatkan transaksi-transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Secara


universal transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut
dikenal dengan istilah transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak
ke Wajib Pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak
terhutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.
Pihak-pihak yang tergolong hubungan istimewa adalah sebagaimana dijelaskan berikut :
Menurut UU No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 18 ayat (4) dan
UU PPN Pasal 2 ayat (2), dijelaskan bahwa, Hubungan istimewa dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib
Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib

Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada
di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan
istimewa dapat terjadi :
1. antara pihak-pihak yang bertempat tinggal, didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia;
2. antara pihak yang bertempat tinggal, didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia dengan pihak yang bertempat tinggal/kedudukan di luar Indonesia.
Transfer Pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara Wajib
Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di Tax
Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari
Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut, undang-undang perpajakan kita menganut azas mate-riil (substance over form
rule).
E. Praktek Transfer Pricing menurut Peraturan Perpajakan
a. Menggunakan Harga Wajar
Sebagaimana dijelaskan dalam PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (6) dan PER69/PJ/2010 Pasal 1 ayat (4), Yang dimaksud dengan Harga Wajar atau Laba Wajar
adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihakpihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding,
atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya
penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila
terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan
kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara
para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.
b. Menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

PER 32/PJ/2011 Pasal 3 ayat (1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (5) dan PER-69/PJ/2010 Pasal 1 ayat (6)
menjelaskan bahwa, Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length
principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihakpihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka
harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa yang menjadi pembanding.
c. Harus ada Analisa Kesebandingan yang dibuat oleh WP atau Dirjen Pajak
PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (7) dan PER-69/PJ/2010 Pasal 1 ayat (8) dijelaskan
bahwa, Analisa Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan
dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi
dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa

dengan

nilai

seluruh

transaksi

tidak

melebihi

Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap
lawan

transaksi,

dikecualikan

dari

kewajiban untuk

melakukan

analisis

kesebandingan, cukup dengan pencatatan dan pengungkapan biasa saja.


F. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak terkait Transfer Pricing
Dalam hal melakukan transaksi dengan pihak istimewa, wajib pajak juga berhak
untuk mengajukan Kesepakatan Harga Transfer sesuai PER-69/PJ/2010.

Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara


Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/atau otoritas pajak negara lain untuk
menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar

dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.


Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib
Pajak guna menyelesaikan permasalahan transfer pricing.

Kesepakatan Harga Transfer mencakup perjanjian tertulis antara Wajib Pajak dan
Direktur Jenderal atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak Negara
lain yang melibatkan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a)

Undang-Undang PPh.
Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik

penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara


Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara
lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada
kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan
penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan
keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama.
APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal
Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak
dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di
wilayah yurisdiksinya.
G. Metode Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing)
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP)
Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga
barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Perbandingan Harga antara
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled
Price/CUP) antara lain adalah:

Barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik


dalam kondisi yang sebanding; atau

Kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai


Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa

Identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan
penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi
yang timbul.
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)
Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba
kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali
produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau
penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali
(Resale Price Method/RPM) antara lain adalah:

Tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak


yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang
tidak mempunyai

Hubungan

Istimewa,

khususnya

tingkat

kesebandingan

berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan
berbeda; dan

Pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan

atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.


c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)
Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari
transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada
harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)
antara lain adalah:

Barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan


Istimewa;

Terdapat

kontrak/perjanjian

penggunaan

fasilitas

bersama

(joint

facility

agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply
agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau

Pentuk transaksi adalah penyediaan jasa.

d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM)


Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan
Harga Transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit Method Based)
yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang
akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan
menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan
pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan
antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan
Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian
Laba (Residual Profit Split Method).
Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) secara khusus hanya dapat
diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:

Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait


satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara
terpisah; atau

Terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi
yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.

e. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM)


Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin method/TNMM)
adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan
presentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva,
atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas
transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang
dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih Transaksional
(Transactional Net Margin Method/TNMM) antara lain adalah:

Salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi


yang khusus; atau

Salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan transaksi


yang kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

Kelebihan dan kekurangan setiap metode;

Kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi antar
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan
analisis fungsional;

Ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antar pihak


yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk menerapkan metode yang
dipilih dan/atau metode lain;

Tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang mempunyai


Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian yang dilakukan untuk
menghilangkan pengaruh yang material dari perbedaan yang ada.

H. Simpulan
Salah satu faktor yang membuat keputusan transfer pricing semakin rumit adalah
perbedaan tarif pajak antar negara. Transfer pricing dapat membuat potensi penerimaan
pajak suatu negara berkurang atau hilang. Perusahaan multinasional memiliki
kecenderungan untuk menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang
memiliki tarif pajak yang tinggi ke negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah.
Sehingga dengan demikian terjadi pergeseran dasar pengenaan pajak dari satu negara ke
negara lainnya. Hal inilah yang membuat masalah transfer pricing menjadi masalah
internasional karena banyak negara yang memiliki kepentingan, terutama bagi negara
berkembang seperti Indonesia yang dalam transaksi yang mengandung transfer pricing
menjadi negara sumber penghasilan. Transfer pricing dapat menimbulkan distorsi
penerimaan negara.
Strategi transfer pricing dengan memanfaatkan perbedaaan tarif pajak antar
negara yang bertujuan untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) akan sangat
merugikan negara-negara yang termasuk high tax countries karena akan kehilangan
potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh. Masalah transfer pricing akan

makin parah apabila dimaksudkan untuk melakukan penggelapan pajak (tax evasion).
Perusahaan multinasional akan dianggap melakukan tindakan kriminal di bidang
perpajakan. Dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing telah
menyimpang dari ketentuan perpajakan yang berlaku karena secara substansi negara
seharusnya dapat memajaki perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang lebih
besar. Sehingga dengan demikian akan dikenai sanksi pidana perpajakan, untuk
Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 39
bahwa perbuatan kriminal pajak akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar. Perbedaan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak sangat
tipis dan dari sisi etika bisnis, praktik transfer pricing dapat menimbulkan moral hazard
karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

REFERENSI

Hansen & Mowen. 2013. Akuntansi Manajerial. Salemba Empat:Jakarta.


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir denganUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
PP No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan No. 82/PMK.03/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 Tentang Tatacara Pemeriksaan Pajak
Peraturan DirJen Pajak No. PER - 69/PJ/2010 Tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement)
Peraturan Dirjen Pajak NO. PER - 32/PJ/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan
Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang
Mempunyai Hubungan Istimewa
Keputusan DirJen Pajak No. KEP - 01/PJ.7/1993 Tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak
Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-kasus
Transfer Pricing (Seri TP-1)

Anda mungkin juga menyukai