OLEH:
Dian Novia Anatami
Marselina Welerubun
A. Pendahuluan
Globalisasi ekonomi telah membawa dampak semakin meningkatnya transaksi
internasional. Salah satu masalah perpajakan yang timbul dari transaksi tersebutadalah
transfer pricing, yaitu kegiatan mentransfer laba dari perusahaan dalam negeri ke
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih
rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah
dari harga pasar dan membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang
sewajarnya. Transfer pricing merupakan isu sentral saat ini yang dialami oleh seluruh
dunia yang terhubung dalam jaringan perdagangan internasional. Banyak perusahaan
sering melakukan transfer pricing guna memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan
pajak, karena pajak dianggap sebagai beban yang mengurangi keuntungan.
Transfer pricing dulunya merupakan salah satu cara pengusaha dalam
mengoperasikan usahanya umtuk mengukur kinerja setiap departemen dalam satu
perusahaan. Transfer pricing digunakan untuk mengukur efektifitas departemen dari
suatu perusahaan untuk melihat kinerja keseluruhan perusahaan tersebut. Makna arti
tersebut berubah dimana pergeseran laba yang mengakibatkan kerugian di dunia
perpajakan. Pergeseran ini digunakan oleh Wajib Pajak sebagai salah satu cara tax
planning untuk menghemat pajak dengan menggunakan kelemahan peraturan di suatu
negara. Biasanya tax planning ini dilakukan oleh perusahaan multinasional yang
bergerak atau yang mempunyai anak perusahaan di berbagai negara. Transfer pricing
menjadi masalah besar bagi aparat pajak suatu negara jika ada yang merasa dirugikan
dan inilah yang menjadi permasalahan transfer pricing di dunia perpajakan.
Transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya
menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Dari
sisi pemerintah, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya
potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung
menggeser kewajiban perpajaknnya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang
tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax
countries). Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan
biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya meminimalisasi pembayaran pajak
perusahaan (corporate income tax). Bagi korporasi multinasional, perusahaan berskala
global (multinational corporation), transfer pricing dipercaya menjadi salah satu strategi
perusahaan tersebut. Sehingga hal tersebut perlu mendapatkan reformasi yang cukup
serius dari depkeu selaku induk dari direktorat jenderal pajak.
B. Landasan Hukum
Beberapa landasan hukum yang mengatur transfer pricing dalam perpajakan adalah
sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir denganUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
3. PP No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan.
4. Peraturan Menteri Keuangan No. 82/PMK.03/2011 tentang Perubahan Atas
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
199/PMK.03/2007
Tentang
Tatacara
Pemeriksaan Pajak.
5. Peraturan DirJen Pajak No. PER - 69/PJ/2010 Tentang Kesepakatan Harga Transfer
(Advance Pricing Agreement).
6. Peraturan Dirjen Pajak NO. PER - 32/PJ/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan
Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
7. Keputusan DirJen Pajak No. KEP - 01/PJ.7/1993 Tentang Pedoman Pemeriksaan
Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
8. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan
Kasus-kasus Transfer Pricing (Seri TP-1).
C. Pengertian Transfer Pricing
1. Menurut Hansen & Mowen (2013), harga transfer adalah harga yang ditagihkan
untuk barang yang ditransfer dari satu divisi ke divisi lainnya.
2. Menurut Ralph Estes dalam Kamus Akuntansi, harga transfer adalah suatu harga
internal yang dibebankan oleh satu unit (seperti divisi, perusahaan anak, atau
departemen) dari suatu perusahaan pada unit lainnya dalam perusahaan yang sama.
3. Menurut Tsurumi dalam Gunadi (1997), dalam suatu grup perusahaan, transfer
pricing merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian manajemen
(management control) atas transfer barang dan jasa dalam satu grup perusahaan.
Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada
prinsipnya transfer pricing adalah harga transfer dari barang/jasa atau aktiva tak
berwujud (intangible property) yang ditransfer antar perusahaan afiliasi dalam satu grup
perusahaan atau antar divisi dalam satu perusahaan.Semula transfer pricing digunakan
untuk kepentingan penilaian tingkat kemampuan laba masing-masing divisi atau masingmasing perusahaan afiliasi yang terlibat dalam transaksi afiliasi. Tetapi sejalan dengan
makin besarnya perusahaan multinasional, perbedaan tarif pajak antar negara dan
perencanaan pajak yang makin komprehensif, maka transfer pricing digunakan sebagai
alat untuk menggeser penghasilan kena pajak dari suatu negara ke negara yang tarif
pajaknya lebih rendah, atau dari perusahaan yang berada dalam posisi laba ke perusahaan
afiliasi yang masih mengalami kerugian.
Perlu disadari bahwa dengan perkembangan dunia usaha yang demikian cepat,
yang sering kali bersifat transnasional dan diperkenalkannya produk dan metode usaha
baru yang semula belum dikenal dalam bidang usaha (misalnya dalam bidang keuangan
dan perbankan), maka bentuk dan variasi transfer pricing dapat tidak terbatas. Namun
demikian dengan pengaturan lebih lanjut ketentuan tentang transaksi antar Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa diharap dapat meminimalkan atau mengurangi
praktek penghindaran/ penyelundupan pajak dengan rekayasa transfer pricing tersebut.
D. Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Transfer Pricing
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa umumnya
transfer pricing
Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada
di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan
istimewa dapat terjadi :
1. antara pihak-pihak yang bertempat tinggal, didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia;
2. antara pihak yang bertempat tinggal, didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia dengan pihak yang bertempat tinggal/kedudukan di luar Indonesia.
Transfer Pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara Wajib
Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di Tax
Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari
Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut, undang-undang perpajakan kita menganut azas mate-riil (substance over form
rule).
E. Praktek Transfer Pricing menurut Peraturan Perpajakan
a. Menggunakan Harga Wajar
Sebagaimana dijelaskan dalam PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (6) dan PER69/PJ/2010 Pasal 1 ayat (4), Yang dimaksud dengan Harga Wajar atau Laba Wajar
adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihakpihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding,
atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya
penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila
terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan
kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara
para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.
b. Menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
PER 32/PJ/2011 Pasal 3 ayat (1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (5) dan PER-69/PJ/2010 Pasal 1 ayat (6)
menjelaskan bahwa, Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length
principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihakpihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka
harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa yang menjadi pembanding.
c. Harus ada Analisa Kesebandingan yang dibuat oleh WP atau Dirjen Pajak
PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (7) dan PER-69/PJ/2010 Pasal 1 ayat (8) dijelaskan
bahwa, Analisa Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan
dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi
dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa
dengan
nilai
seluruh
transaksi
tidak
melebihi
Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap
lawan
transaksi,
dikecualikan
dari
kewajiban untuk
melakukan
analisis
Kesepakatan Harga Transfer mencakup perjanjian tertulis antara Wajib Pajak dan
Direktur Jenderal atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak Negara
lain yang melibatkan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a)
Undang-Undang PPh.
Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik
Identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan
penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi
yang timbul.
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)
Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba
kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali
produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau
penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali
(Resale Price Method/RPM) antara lain adalah:
Hubungan
Istimewa,
khususnya
tingkat
kesebandingan
berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan
berbeda; dan
Pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan
Terdapat
kontrak/perjanjian
penggunaan
fasilitas
bersama
(joint
facility
agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply
agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
Terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi
yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
Kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi antar
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan
analisis fungsional;
H. Simpulan
Salah satu faktor yang membuat keputusan transfer pricing semakin rumit adalah
perbedaan tarif pajak antar negara. Transfer pricing dapat membuat potensi penerimaan
pajak suatu negara berkurang atau hilang. Perusahaan multinasional memiliki
kecenderungan untuk menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang
memiliki tarif pajak yang tinggi ke negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah.
Sehingga dengan demikian terjadi pergeseran dasar pengenaan pajak dari satu negara ke
negara lainnya. Hal inilah yang membuat masalah transfer pricing menjadi masalah
internasional karena banyak negara yang memiliki kepentingan, terutama bagi negara
berkembang seperti Indonesia yang dalam transaksi yang mengandung transfer pricing
menjadi negara sumber penghasilan. Transfer pricing dapat menimbulkan distorsi
penerimaan negara.
Strategi transfer pricing dengan memanfaatkan perbedaaan tarif pajak antar
negara yang bertujuan untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) akan sangat
merugikan negara-negara yang termasuk high tax countries karena akan kehilangan
potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh. Masalah transfer pricing akan
makin parah apabila dimaksudkan untuk melakukan penggelapan pajak (tax evasion).
Perusahaan multinasional akan dianggap melakukan tindakan kriminal di bidang
perpajakan. Dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing telah
menyimpang dari ketentuan perpajakan yang berlaku karena secara substansi negara
seharusnya dapat memajaki perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang lebih
besar. Sehingga dengan demikian akan dikenai sanksi pidana perpajakan, untuk
Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 39
bahwa perbuatan kriminal pajak akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar. Perbedaan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak sangat
tipis dan dari sisi etika bisnis, praktik transfer pricing dapat menimbulkan moral hazard
karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
REFERENSI