IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. I
Umur
: 53 tahun
: Cilegon
Pekerjaan
Agama
: Islam
RM
: 50xxxx
MRS
: 04 Oktober 2016
Ruangan
: Nusa Indah
Pembiayaan
: BPJS
II ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 08 Oktober 2016
KELUHAN UTAMA
Kulit
(-)
(-)
Bisul
Kuku
(-)
(-)
Rambut
Ikterus
(-)
(-)
(-)
Keringat malam
Sianosis
Lain-lain
Kepala
(-)
(-)
Trauma
Sinkop
(-)
(-)
Nyeri kepala
Nyeri sinus
Nyeri
Radang
Sklera Ikterus
Congjungtiva Anemis
(-)
(-)
(-)
Sekret
Gangguan penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan
(-)
(-)
(-)
Tinitus
Gangguan pendengaran
Kehilangan pendengaran
(-)
(-)
(-)
Gejala penyumbatan
Gangguan penciuman
Pilek
(-)
(-)
(-)
Lidah
Gangguan pengecapan
Stomatitis
(-)
Perubahan suara
(-)
Nyeri leher
(+)
Sesak nafas
Mata
(-)
(-)
(-)
(-)
Telinga
(-)
(-)
Nyeri
Sekret
Hidung
(-)
(-)
(-)
(-)
Trauma
Nyeri
Sekret
Epistaksis
Mulut
(-)
(-)
(-)
Bibir
Gusi
Selaput
Tenggorokan
(-)
Nyeri tenggorok
Leher
(-)
Benjolan/ massa
Jantung/ Paru
(-)
Nyeri dada
(-) Berdebar-debar
(+) Ortopnoe
(-)
(-)
Batuk darah
Batuk
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Perut membesar
Wasir
Mencret
Melena
Tinja berwarna dempul
Benjolan
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Kencing nanah
Kolik
Oliguria
Anuria
Retensi urin
Kencing menetes
Kencing seperti air teh
(-)
Perdarahan
Rasa kembung
Mual
Muntah
Muntah darah
Sukar menelan
Nyeri perut
Disuria
Stranguri
Poliuria
Polakisuria
Hematuria
Batu ginjal
Ngompol
Katamenis
(-)
(-)
Leukore
Lain-lain
Haid(tidak ditanyakan)
()
()
()
Hari terakhir
Teratur
Gangguan menstruasi
()
()
()
()
()
Menarche
Gejala Klimakterium
Anestesi
Parestesi
Otot lemah
Kejang
Afasia
Amnesis
Lain-lain
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Sukar menggigit
Ataksia
Hipo/hiper-estesi
Pingsan / syncope
Kedutan (tick)
Pusing (Vertigo)
Gangguan bicara (disartri)
(-)
(-)
Deformitas
Sianosis
Ekstremitas
(+) Bengkak
(-) Nyeri sendi
IV PEMERIKSAAN FISIK :
Dilakukan pada tanggal 08 Oktober 2016
Pemeriksaan Umum
1.Keadaan Umum : pasien tampak agak sesak, tidak tampak sianotik, tampak lemas,
tidak ikterik
2.Kesadaran
Tanda Vital :
Tekanan Darah
: 180/110 mmHg
Nadi
reguler, equal
Pernafasan
28/menit,
torakoabdominal,
kussmaul(-)
Kepala
Suhu
Berat Badan
: 56 kg
Tinggi Badan
: 155 cm
: 23.33 kg/m2
Kesan
: Normal
Mata
simetris(+/
entropion
(-/-),ektropion (-/-),
Telinga
sekret (-/-)ptosis(-/-)
nyeri
tekan
Mulut
Bibir
kering(-)pucat(-)trismus(-)sianotik
(-)caries
gigi
(-)Gusi
Thorax
Bentuk
Pembuluh darah
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Kiri
Kanan
Kiri
Depan
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan
Belakang
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Wheezing (-)
Wheezing (-)
Ronkhi (+)
Suara dasar vesikuler
Ronkhi (+)
Suara dasar vesikuler
Wheezing (-)
Wheezing (-)
Ronkhi (+)
Ronkhi (+)
Kanan
Jantung
Inspeksi
Palpasi
sinistra
Perkusi
:
Batas kanan
Batas kiri
kanan
linea midklavikula kiri
Batas atas
kiri
Auskultasi
Kesan
Abdomen
Inspeksi
navi(-)
Auskultasi
Palpasi
Dinding perut
Hati
Limpa
: tidak teraba
Ginjal
KIRI
normotonus
eutrofi
tidak ada kelainan
baik
baik
tidak ada
(-)
Extremitas Inferior
KANAN
KIRI
Tonus
normotonus
normotonus
Massa
eutrofi
eutrofi
Sendi
Gerakan
baik
baik
Kekuatan
baik
baik
Oedem
V PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil
17/10/20
16
Hasil
04/10/20
16
Hasil
05/10/20
16
Hasil
06/10/20
16
Hasil
07/10/20
16
Satu
an
Nilai
rujukan
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
SGOT
22
U/L
<37
SGPT
14
U/L
<41
mg/d
l
%
70-110
mg/dl
mg/d
l
mg/d
l
mg/d
l
mg/d
l
<200
mg/d
l
mg/d
l
10-40
mg/d
l
<200
Diabetes
Glukosa Puasa
265
HbA1c
9,6%
Lemak Darah
Lemak Lengkap
Cholesterol Total
261
Trigliserida
130
Cholesterol HDL
direk
Cholesterol LDL
direk
Fungsi Ginjal
38
202
Ureum Darah
51
Kreatinin Darah
2,6
GDS
394
298
276
214
<150
>40
<130
0,6-1,3
Dengan hasil GFR 26,02 pada pasien ini termasuk CKD STAGE 4 ( 17 Agustus
2016)
GFR
Tanggal
Deskripsi
Pemeriksaan
17/10/2016
CKD STAGE 4
= 26,02
ECHO
EKG
Interpretasi EKG
Irama
: Sinus
Heart Rate
: 120x/menit
Axis
: Normal
Gelombang P : Normal
o PR Interval
: Normal
o Gelombang RR
: Normal
o QRS Interval
: Normal
o ST
: Normal
o T
: Normal
Kesimpulan :
-
Sinus Takikardi
LBBB
10
VI DAFTAR MASALAH
- Dyspnoe
- Edema kaki
-
Orthopnoe
Pernafasan meningkat 28x
Tensi tinggi 180/110
Ureum meningkat 51 mg/dl
Creatinin meningkat 2,6 mg/dl
VII DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KERJA
DM Tipe II
Hipertensi
CKD Grade IV
CHF
Dasar diagnosis :
Anamnesis
Untuk diagnosis CHF : Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 08 Oktober 2016
di Ruang Nusa Indah RSUD Cilegon dengan keluhan sesak nafas, sesak nafas sudah
dirasakan sejak 2 minggu SMRS, sesak dirasakan hilang timbul, sebelum masuk rumah
sakit sesak yang di rasakan memberat sehingga pasien datang ke Poli RSUD. Sesak
yang dirasakan memberat saat beraktivitas dan saat pasien tidur terlentang. Tidak
berbunyi saat menghembuskan atau menarik nafas. Sesak membaik bila pasien
beristirahat dalam posisi duduk. Sesak yang dirasakan pasien tidak dipengaruhi cuaca
dan debu. Pasien juga mengeluhkan nyeri di bagian tengah dada 1 hari SMRS. Rasa
panas di dada (-). Riwayat trauma di dada (-).
Pasien mengeluhkan badan terasa lemas terutama saat sedang sesak disertai
mual yang sudah dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan muntah tidak dialami
pasien. Muntah bercampur dengan darah disangkal.
Pasien juga mengeluhkan kaki bengkak 1 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
11
o Sesak
o Terdapat edema pada kaki
o Lemas
Pemeriksaan fisik :
- Tampak pergeseran Jantung ke lateral inferior
- Rhonki pada kedua lapang paru
- Didapatkan edema pada kedua kaki.
Pemeriksaan lab :
Pemeriksaan
Hasil
17/10/20
16
Hasil
04/10/20
16
Hasil
05/10/20
16
Hasil
06/10/20
16
Hasil
07/10/20
16
Satu
an
Nilai
rujukan
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
SGOT
22
U/L
<37
SGPT
14
U/L
<41
mg/d
l
%
70-110
mg/dl
mg/d
l
mg/d
l
mg/d
l
mg/d
l
<200
mg/d
l
mg/d
l
10-40
mg/d
l
<200
Diabetes
Glukosa Puasa
265
HbA1c
9,6%
Lemak Darah
Lemak Lengkap
Cholesterol Total
261
Trigliserida
130
Cholesterol HDL
direk
Cholesterol LDL
direk
Fungsi Ginjal
38
202
Ureum Darah
51
Kreatinin Darah
2,6
GDS
394
298
276
214
<150
>40
<130
0,6-1,3
GFR
= 26,02
13
XI Prognosis
- Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
14
FOLLOW UP
FOLLOW UP
Nusa Indah , 05/10/2016
TD: 180/110 mmHg
R: 28x/menit
N: 92x/menit reguler
S: 36 ,6 C
S:
O:
Os mengatakan lemas
o KU: TSS
o KS: CM
o Kepala:
dan sesak
A:
Normocephali
o Mata: CA (-/-) SI
(-/-)
o THT: dbn
o Cor: BJI-BJII
reguler, Gallop(-),
Murmur(-)
o Pulmo: SNV, rh (+/
+), wh (-/-)
o Abd: soefl,
pelebaran vena (-),
BU (+), aorta
abdominalis tidak
terdengar, shifting
dullness (-),
P:
-
DM Tipe II
Hipertensi
CKD Grade IV
CHF
IVFD KAEN 1B
tab
ISDN 2X2,5 mg
Levofloxacin
2x1 tab
BicNat 3x1 tab
Prorenal 3x1 tab
Hemafort 1x1
tab
Gliquidon 1x1
tab
Candesartan
1x16 mg
Salbutamol 2x2
mg
Nebu Combivent
3x
splenomegaly (-),
hepatomegaly (-),
undulasi (-), NT (-)
epigastrik.
o Eks: Edema (+)
kedua tungkai, akral
hangat, CRT<2
R: 24x/menit
N: 80 x/menit irreguler
S: 36 ,5 C
S:
O:
Os mangatakan lemas
o KU: TSS
o KS: CM
o Kepala:
dan sesak
A:
Normocephali
o Mata: CA (-/-) SI
(-/-)
o THT: dbn
o Cor: BJI-BJII
reguler, Gallop(-),
Murmur(-)
o Pulmo: SNV, rh (+/
+), wh (-/-)
o Abd: buncit,
pelebaran vena (-),
BU (+), aorta
abdominalis tidak
terdengar, shifting
P:
-
DM Tipe II
Hipertensi
CKD Grade IV
CHF
IVFD KAEN 1B
tab
ISDN 2X2,5 mg
Levofloxacin
2x1 tab
BicNat 3x1 tab
Prorenal 3x1 tab
Hemafort 1x1
tab
Gliquidon 1x1
tab
Candesartan
1x16 mg
Salbutamol 2x2
mg
dullness (-),
splenomegaly (-),
hepatomegaly (-),
undulasi (-), NT (-)
epigastrik.
o Eks: Edema (-)
kedua tungkai, akral
hangat, CRT<2
16
R: 24x/menit
N: 82 x/menit reguler
S: 36 ,4 C
S:
O:
Os mangatakan lemas
o KU: TSS
o KS: CM
o Kepala:
A:
Normocephali
o Mata: CA (-/-) SI
(-/-)
o THT: dbn
o Cor: BJI-BJII
reguler, Gallop(-),
Murmur(-)
o Pulmo: SNV, rh (+/
+), wh (-/-)
o Abd: buncit,
pelebaran vena (-),
BU (+), aorta
abdominalis tidak
terdengar, shifting
P:
-
DM Tipe II
Hipertensi
CKD Grade IV
CHF
IVFD KAEN 1B
tab
ISDN 2X2,5 mg
Levofloxacin
2x1 tab
BicNat 3x1 tab
Prorenal 3x1 tab
Hemafort 1x1
tab
Gliquidon 1x1
tab
Candesartan
1x16 mg
Salbutamol 2x2
mg
dullness (-),
splenomegaly (-),
hepatomegaly (-),
undulasi (-), NT (-)
epigastrik.
o Eks: Edema (-)
kedua tungkai, akral
hangat, CRT<2
17
ANALISA KASUS
1. Apakah penegakan diagnosis akhir pada pasien ini sudah benar?
Sudah.
Untuk diagnose CHF : Menurut kriteria framingham , gagal jantung ditegakkan
minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor yakni : pada pasien ini
Kriteria minor :
terdapat
1.Anamesis :
Edema eksremitas
Orthopneu dan edema
Pemeriksaan fisik:
Batuk malam2.hari
Edema pada kedua kaki, terdengar suara rhonki pada kedua lapang
Dispnea d effort
paru
Kriteria Mayor:
3. Pemeriksaan penunjang
Hepatomegali Cardiomegali
Paroksismal nokturnal dispnea
Efusi pleura
Distensi vena pada leher
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
Ronkhi basah
normal
Takikardia(>120/menit)
Kardiomegali
Gallop S3
Penurunan BB4.5kg dalam 5 hari
pengobatan.
Peningkatan tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
18
Pasien ini termasuk dalam gagal jantung kongestif dengan functional capacity II
karena sudah merasakan sesak napas ketika melakukan aktivitas lebih berat dari
aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
19
NUSA INDAH
durian)
Hindari makanan yang telah di awetkan (hamburger, sosis, ikan asin,
kornet)
Pilih bahan makanan yang kandungan lemaknya tidak banyak (daging
normal
Hindari bahan makanan yang terlalu berlemak (daging, usus, otak,
sumsum, santan kental)
20
Diet rendah garam 2 gram (setengah sendok teh) pada gagal jantung
ringan dan 1 gram pada gagal jantung berat, jumlah caran 1,5 L/hari
pada gagal jantung ringan dan 1 L/hari pada gagal jantung berat
Hindari mengkonsumsi alcohol dan merokok
Aktivitas fisis rutin, misalnya berjalan kaki 3-5 kali/minggu selama 2030 menit atau sepeda statis 5kali/minggu selama 20 menit dengan bebar
70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang
- Kontrol Jika BAB berwarna hitam (melena)
- Kontrol jika badan atau mata berwarna kuning (ikterik)
- Kontrol jika terjadi bengkak (edema)
- Kontrol jika perut terasa kembung (asites)
6. Apakah hubungan CKD dengan riwayat DM ?
DM yang tidak terkontrol merupakan salah satu faktor terjadinya nefropati
diabetikum. Telah diperkirakan bahwa 35-40% pasien DM tipe 1 akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15-25 tahun setelah
awitan diabetes. Sedang DM tipe 2 lebih sedikit. DM menyerang struktur dan
fungsi ginjal dalam berbagai bentuk dan dapat dibagi menjadi 5 stadium.
Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan
lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan
hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat
menyebabkan glomerulusklerosis fokal, terdiri dari penebalan difus matriks
mesangeal dengan bahan eosinofilik disertai penebalan membran basalin
kapiler. Bila penebalan semakin meningkat dan GFR juga semakin meningkat,
maka masuk ke stadium 2.
Pada stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan.
Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan terjadi
hipertensi. Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR.
Retinopati dan hipertensi hampir selalu ditemui. Stadium 5, adalah stadium
akhir, ditandai dengan peningkatan BUN dan kreatinin plasma disebabkan oleh
penurunan GFR yang cepat.
7. Apakah hubungan antara Hipertensi dengan CHF?
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya
gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam Cowie tahun 2008
didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Studi terbaru
21
Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik menyebutkan bahwa 66.5% pasien
gagal jantung memiliki riwayat hipertensi.
Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi
sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi
terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung
pada gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).
22
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
1.1. Definisi
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat
penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi
insulin (Soegondo dkk, 2009).
Diabetes Mellitus adalah kondisi abnormalitas metabolisme karbohidrat
yang disebabkan oleh defisiensi (kekurangan) insulin, baik secara absolute
(total) maupun sebagian (Hadisaputro. Setiawan, 2007).
1.2. Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang
diseluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total
populasi, insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun
2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia,
DM terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi
di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di
Afrika , ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan
yang tidak sehat.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24417
responden berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu
(kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban
glucosa sebanyak 75 gram), DM lebih banyak ditemukan pada wanita
23
dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan
status sosial yang rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi
adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok
usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang
dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007).
Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada
penduduk usia >15 tahun diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan
sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10
tahun sebesar 48,2% disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari
pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% (Depkes, 2008).
Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1993 di
Jakarta daerah urban membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari
1.7% pada tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001 di Depok dan
didaerah Jakarta Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung Pandang
daerah urban meningkat dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada
tahun1998, kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di daerah rural yang
dilakukan oleh Arifin di Jawa Barat 1,1% didaerah terpencil, di tanah Toraja
didapatkan prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan prevalensi
daerah urban dan rural (Soegondo dkk, 2009).
1.3. Etiologi
Pada penderita diabetes mellitus pangaturan sistem kadar gula darah
terganggu , insulin tidak cukup mengatasi dan akibatnya kadar gula dalam
darah bertambah tinggi. peningkatan kadar glukosa darah akan menyumbat
seluruh sistem energi dan tubuh berusaha kuat mengeluarkannya melalui ginjal.
Kelebihan gula dikeluarkan didalam air kemih ketika makan makanan yang
banyak kadar gulanya. Peningkatan kadar gula dalam darah sangat cepat pula
karena insulin tidak mencukupi jika ini terjadi maka terjadilah diabetes
mellitus.
24
1.4. Klasifikasi
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh Perkeni adalah yang sesuai
dengan anjuran klasifikasi DM American Diabetes Association (ADA),
klasifikasi etiologi Diabetes Mellitus, menurut ADA (2007) adalah dapat dilihat
pada table dibawah ini:
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus
Tipe
Diabetes Tipe 1
Keterangan
Diabetes yang tergantung dengan
insulin disebabkan oleh kerusakan
sel-sel beta dalam pankreas sejak
masa anak anak atau remaja.
Diabetes Tipe 2
25
6. Resistensi Insulin
7. Sindroma genetik lain yang
berkaitan dengan DM (Klinefelter,
sindrom Turner)
Diabetes Gestasional
26
1. Obesitas (kegemukan)
28
Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai
enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakitini.
8. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini
dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak aktifan
fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan
tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan
dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe
2. Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita
DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan
tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila
mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml
proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml.
29
1.6. Patofisiologi
Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolism
karbohidrat, yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel dan digunakan sebagai
bahan bakar. Insulin diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu
masuknya glukosa ke dalam sel, yang kemudian di dalam sel tersebut glukosa akan
dimetabolisme menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat
masuk ke sel, yang mengakibatkan glukosa tetap berada di dalam pembuluh darah
yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Patogenesis diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, gangguan hepatic glucosa production (HGP) dan penurunan fungsi sel , yang
akhirnya akan menuju kerusakan total sel . Mula-mula timbul resistensi insulin
kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin, untuk mengkompensasi
(mengatasi kekurangan) resistensi insulin agar kadar glukosa darah tetap normal.
Lama-kelamaan sel beta tidak sanggup lagi mengkompesasikan resistensi insulin
hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta semakin menurun saat
itulah diagnosa diabetes ditegakkan ternyata penurunan fungsi sel beta berlangsung
secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengekresi insulin.
1.7. Manifestasi Klinis
Gejala Akut Penyakit Diabetes Mellitus
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan
mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.
1. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli), yaitu:
1) Banyak makan (poliphagia).
2) Banyak minum (polidipsia).
3) Banyak kencing (poliuria).
2. Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
1) Banyak minum.
2) Banyak kencing.
3) Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun
5 10 kg dalam waktu 2-4 minggu).
4) Mudah lelah.
5) Bila tidak segera diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan
jatuh koma .
Gejala Kronik Penyakit Diabetes Melitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes Mellitus adalah
sebagai berikut:
1) Kesemutan.
2) Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
4) Rasa tebal di kulit.
5) Kram.
6) Capai.
7) Mudah mengantuk.
8) Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.
9) Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
10) Gigi goyah mudah lepas, kemampuan seksual menurun, impotensi.
11) Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan berat lahir lebih dari 4 kg.
1.8. Diagnosis
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia(PERKENI) membagi alur diagnosis
DM menjadi2 bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM,
Gejala khas dari DM terdiri dari:
-
Polidipsi
Polifagi
Poliuri
Lemas
Kesemutan
Luka yang sukar sembuh
Mata kabur
Gatal
Disfungsi ereksi (pria)
Pruritus vulva (wanita)
Apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali pemeriksaan
glukosa darah abnormal
terapi dan yang memiliki kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1
terapi.
Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
d. Penapisan Komplikasi Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita
yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan :
Profil lipid dan kreatinin serum.
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh
sel beta pankreas.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion(TZD)
1. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
2. Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti termasuk di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC IIIIV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan.
Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal
hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
3)
Penghambat
glukosidase
alfa
tidak
digunakan
bila
GFR
muntah.
c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus menggunakan dua macam
obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi
sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi
tiga obat antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat
antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis
dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan.Kombinasi obat antihiperglikemia oral
dan insulin yang banyak dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi
kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral
dihentikan.
1.10.
Prognosis
Prognosis Diabetes Meitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak
selamanya buruk, pasien usia lanjut dengan Dibetes mellitus tipe II yang terawat baik
prognosisnya baik. Pada pasien diabetes mellitus usia lanjut yang jatuh dalam kondisi
koma mempunyai prognosis kurang baik. Hipoglikemik pada pasien usia
lanjut
biasanya berlangsung lama dan serus dengan akibat kerusakan otak yang permanen
karena hiperosmolaritas adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut
dan angka kematiannya tinggi.
HIPERTENSI
1.11.
Definisi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur
dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran
manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung
tegak atau terlentang paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah
merokok atau minum kopi. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah
hipertensi primer untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena
sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure (JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.
1.12.
Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi
gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit
jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini
telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia
maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya populasi usia
lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan
bertambah. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara
berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan
menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka
penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Armilawati et al,
2007). Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan
menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh
pelayanan kesehatan. Baik dari segi case finding maupun penatalaksanaan
pengobatannya. Jangkauan masih sangat terbatas dan sebagian besar penderita
hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai
dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa Tengah
sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6%
sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8%.
1.13.
Etiologi
Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti.
Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini
disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan
oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat
tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Adapun penyebab paling umum
pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak terobati. Risiko relatif
hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan
faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi.
1.14.
Klasifikasi
Beberapa klasifikasi hipertensi:
a. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7
Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education Program
merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalm sukarelawan, dan
agen federal. Mereka mencanangkan klasifikasi JNC (Joint Committe on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure) pada
tabel 1, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat (Sani, 2008).
Tabel 5.
Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention, Detection,
Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure)
Kategori
Kategori
Tekanan
dan/
Tekanan
Darah Diastol
menurut JNC 7
menurut JNC 6
(mmHg)
(mmHg)
Normal
Optimal
< 120
dan
< 80
120-139
atau
80-89
Pra-Hipertensi
-
Nornal
< 130
dan
< 85
Normal-Tinggi
130-139
atau
85-89
Hipertensi:
Hipertensi:
Tahap 1
Tahap 1
140-159
atau
90-99
Tahap 2
160
atau
100
Tahap 2
160-179
atau
100-109
Tahap 3
180
atau
110
Diatol (mmHg)
< 120
< 130
130-139
< 80
< 85
85-89
140-159
140-149
90-99
90-94
160-179
100-109
180
110
Optimal
Normal
Normal-Tinggi
< 90
hypertension)
Sub-group: perbatasan
<90
140-149
dari pedoman Negara maju dan Negara tetangga, dikarenakan data penelitian
hipertensi di Indonesia yang berskala Nasional dan meliputi jumlah penderita
yang banyak masih jarang.
2) Tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan
diastolik dengan merujuk hasil JNC dan WHO.
3) Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan tingginya
tekanan darah, adanya faktor resiko lain, kerusakan organ target dan penyakit
penyerta tertentu.
Tekanan
Sistol (mmHg)
Darah Diastol
(mmHg)
Normal
<120
Dan
<80
Prehipertensi
120-139
Atau
80-89
Atau
90-99
Atau
100
Dan
<90
1
Hipertensi Tahap 160-179
2
Hipertensi Sistol 140
terisolasi
(Sumber: Sani, 2008)
Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu hipertensi sistolik dan
hipertensi diastolic. Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut terlalu
kuat sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan
tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Ini adalah
tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan tercermin pada hasil pembacaan
tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah
yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik
berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi
diantara dua denyutan. Sedangkan faktor yang mempengaruhi prevalensi hipertensi
antara lain ras, umur, obesitas, asupan garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi
dalam keluarga.
Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder
dan primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat
diketahui.
Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi
Benigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang
tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek up.
Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai
dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti
otak, jantung dan ginjal.
1.15.
Patofisiologi
Aktivitas kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks
cairan
ekstraseluler,
aldosteron
akan
Naiknya
konsentrasi
NaCl
akan
Renin
Angiotensin I Converting Enzyme
Angiotensin II
Konsentrasi NaCl
di pembuluh darah
Volume darah
Diencerkan dengan
volume ekstraseluler
Tekanan darah
Volume darah
Tekanan darah
Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung,
gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Hipertensi
yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya
memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Dengan pendekatan sistem organ
dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi, yaitu:
Tabel 11.
Komplikasi hipertensi
Angina pectoris
Infark miokard
Gagal jantung kongestif
Ensefalopati hipertensi
Ginjal
Mata
Retinopati hipertensif
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata,
ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan
sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan
pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
perdarahan
yang
disebabkan
oleh
pecahnya
mikroaneurisma
yang
dapat
mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli
dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA).
1.17.
Penatalaksanaan
Kelas obat utama yang digunakan untuk mengendalikan tekanan darah
adalah :
1. Diuretik
Diuretik
menurunkan
tekanan
darah
dengan
menyebabkan
diuresis.
tekanan darah. Dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium dan cairan akan
terakumulasi maka diuretik jerat Henle perlu digunakan untuk mengatasi efek
dari peningkatan volume dan natrium tersebut. Hal ini akan mempengaruhi
tekanan darah arteri. Thiazide menurunkan tekanan darah dengan cara
memobilisasi natrium dan air dari dinding arteriolar yang berperan dalam
penurunan resistensi vascular perifer.
b. Diuretik Hemat Kalium
Diuretik Hemat Kalium adalah anti hipertensi yang lemah jika digunakan
tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila diuretik dikombinasikan dengan
diuretik hemat kalium thiazide atau jerat Henle. Diuretik hemat kalium dapat
mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik
lainnya.
c. Antagonis Aldosteron
Antagonis Aldosteron merupakan diuretik hemat kalium juga tetapi lebih
berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset aksi yang lama (hingga 6
minggu dengan spironolakton).
2. Beta Blocker
Mekanisme hipotensi beta bloker tidak diketahui tetapi dapat melibatkan
menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif dan efek inotropik jantung
dan inhibisi pelepasan renin dan ginjal.
a. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada
dosis rendah dan mengikat baik reseptor 1 daripada reseptor 2. Hasilnya agen
tersebut kurang merangsang bronkhospasmus dan vasokontruksi serta lebih
aman dari non selektif bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi
pulmonari
kronis
(COPD),
diabetes
dan
penyakit
arterial
perifer.
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, seperti pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan stuktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju fitrasi glomerolus (LFG), dengan
manifestasi:
-
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
60-89
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
30-59
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
15- 29
Gagalginjal
Rejeksi kronik
Keracunanobat (siklosporin/takrolimus)
Transplant glomerulopathy
Patofisiologi 1,4
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi kompensatori ini akibat hiperfiltrasi
adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis reninangiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor . Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Pada stadium yang
paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada
keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih
belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada
LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara
lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal.
V. Pendekatan Diagnostik
Gambaran Klinis 2,3,4,5
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, LupusEritomatosus Sistemik
(LES),dll.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,kalium, khlorida).
Gambaran Laboratorium 2,3,4,5
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam
urat,
hiper
atau
hipokalemia,
hiponatremia,
hiper
atau
hipokloremia,
60-89
kardiovaskuler
menghambat pemburukan (progession)
30-59
15-29
fungsi ginjal
evaluasi dan terapi komplikasi
persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5
<15
Terapi Nonfarmakologis: 4,5
b. Pengatu
ran
asupan
35
kalori:
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
harus dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik
Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM
tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Koreksi hiperkalemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
Terapi ginjal pengganti.
I. DEFINISI
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting
dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan
metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung
secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi
miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi
mekanisme
kompensatorik
sirkulasi
dapat
menunda
atau
bahkan
mencegah
sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.
Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel,
maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun
tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara
tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok,
namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir
selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure),
karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal,
hal ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol,
peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan
tekanan vena . Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan
jantung atau seluruh rongga jantung. 5
II1. ETIOLOGI
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta
dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark
miokardium
dan
kardiomiopati.
Faktor-faktor
yang
dapat
memicu
PATOFISIOLOGI
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti nfark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan
timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang
menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis. 5,6,7
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu
dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup
peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini
mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau
hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat.
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak
saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin
kurang efektif. 1,5,6,7
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah
peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik
simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung
(efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume
darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah
misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.
Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk
selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar
katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama
latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam
darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons
miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan
berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel. 1, 4, 6
angiotensinI
Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus. Angiotensin
II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah.
5, 6, 7
1,
gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini
adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.
1,
4,6,7
V.
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala
hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung,
toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan
aktivitas yang lebih ringan. 1, 4
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan
adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan
merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak
kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang.
Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar
membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling
umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti
vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara
juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari
kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar,
maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan
gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah
ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga
akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal
Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan
dengan dispnea atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring.
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari
gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena
pengaruh gaya gravitasi.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat
distensi vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena
sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher
mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara
paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan
terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan
kapsula hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat
disebabkan kongesti hati dan usus.
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema
mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam
hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi
cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu
berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara
klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini
dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal
jantung kanan yang nyata.
Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami
sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat
iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi
dan merupakan penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.
VI.
DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,
EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis :
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif
Kriteria Major :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kriteria Minor :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Diagnosis
Edema eksremitas
Batuk malam hari
Dispnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi(>120/menit)
gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman
untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas
fisik, antara lain: 1
NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik
serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan. 12
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin : 11, 12, 13
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan
gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG
adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy
(LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal
biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung
dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang
efusi pleura.
kardiak
noninvasive
penting
untuk
mendiagnosis,
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik
akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis,
meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi. 13
Terapi : 14
a. Non Farmakalogi :
Anjuran umum :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti
biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa
dilakukan.
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan
1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung
lainnya.
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30
menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 7080% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis Angiotensin
II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator lain, digoksin, obat
inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling
sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop
diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat
dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan
tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari
dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang
sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal,
dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu
sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian
dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan
kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan
sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta
yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan
bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi
terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial,
digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan
emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi
ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial
kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan Trancient Ischemic
Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau
aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali
pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama
amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan
untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis
untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2 l/hari)
dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek
dapat
membantu
perbaikan
gejala
karena
mengurangi
metabolisme
serta
prognosa
yang
buruk.
Koreksi
hipoperfusi
memperbaiki
Opioid
parenteral
seperti
morfin
atau
diamorfin
penting
dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri
dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan
tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan
dapat diulang sesuai kebutuhan. 13
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta
tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal
jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang
lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis
pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri
tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada
pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam. 13
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada
gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis
hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan
fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit.
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide
adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.
Pemberiannya
akan
memperbaiki
hemodinamik
dan
neurohormonal,
dapat
5 15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan
meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang
reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 3 g/kg/mnt,
untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15 g/kg/mnt. Pada pasien
yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15
20 g/kg/mnt.
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi
AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering
digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk
terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi
penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 g/kg
bolus 10 20 menit kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25
0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt. 13
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang
disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok
kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan
tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa digunakan adalah
epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 0,5
g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 1 g/kg/mnt. 13
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan
terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah
penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan
hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload.
Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena,
nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine).
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat
untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner.
Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload
tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia
jantungharus diterapi. 13
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,
pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist
device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau
syok
DAFTAR PUSTAKA
1. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13.
Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
2. Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.
3. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434.
4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. p.581-584.
5. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit
Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.
6. Adamson JW (ed). Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemias in
Harrisons Principles of Internal Medicine 16
th