Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Ny. I

Umur

: 53 tahun

Jenis Kelamin : Wanita


Alamat

: Cilegon

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Islam

RM

: 50xxxx

MRS

: 04 Oktober 2016

Ruangan

: Nusa Indah

Pembiayaan

: BPJS

II ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 08 Oktober 2016
KELUHAN UTAMA

: Sesak sejak 1 hari SMRS

KELUHAN TAMBAHAN : Badan lemas, Kaki Bengkak dan Mual


RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 08 Oktober 2016 di Ruang Nusa
Indah RSUD Cilegon dengan keluhan sesak nafas, sesak nafas sudah dirasakan sejak 2
minggu SMRS, sesak dirasakan hilang timbul, sebelum masuk rumah sakit sesak yang
di rasakan memberat sehingga pasien datang ke Poli RSUD. Sesak yang dirasakan
memberat saat beraktivitas dan saat pasien tidur terlentang. Tidak berbunyi saat
menghembuskan atau menarik nafas. Sesak membaik bila pasien beristirahat dalam
posisi duduk. Sesak yang dirasakan pasien tidak dipengaruhi cuaca dan debu. Pasien
juga mengeluhkan nyeri di bagian tengah dada 1 hari SMRS. Rasa panas di dada (-).
Riwayat trauma di dada (-).
Pasien mengeluhkan badan terasa lemas terutama saat sedang sesak disertai
mual yang sudah dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan muntah tidak dialami
pasien. Muntah bercampur dengan darah disangkal.
Pasien juga mengeluhkan kaki bengkak 1 hari SMRS.
BAK: tidak ada keluhan, tidak bercampur darah ataupun nanah.
BAB : tanpa keluhan, tidak berdarah tidak cair, warna tidak ada kelainan.

Pasien mengatakan 2 bulan yang lalu pernah mengalami keluhan badan


bengkak di seluruh tubuh disertai sesak lalu dibawa ke klinik dan dilakukan
pemeriksaan lab. Setelah itu pasien diberi obat dan keluhan badan bengkak dan sesak
mengalami perbaikan.
RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA :
Riwayat Hipertensi (+) 1 tahun. pasien sudah berobat, obat diminum teratur
Riwayat Diabetes Melitus (+) sejak 1 tahun yang lalu, pasien sudah berobat, pasien
juga meminum obat teratur
Riwayat penyakit TB (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit Ginjal (-)
Riwayat cuci darah sebelumnya (-)
Riwayat sakit kuning (-)
Riwayat BAB hitam (-)
Riwayat Asma (-)
Riwayat Alergi (-)
Riwayat tranfusi darah (-)
Riwayat dirawat dirumah sakit sebelumnya (-)
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Diabetes melitus (-)
Riwayat Asma (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit TB (-)
RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien merokok (-)
Riwayat mengkonsumsi alkohol (-)
Riwayat penggunaan narkotika (-)
Riwayat konsumsi jamu (-)
III Anamnesis Sistem:
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)
menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.

Kulit
(-)
(-)

Bisul
Kuku

(-)
(-)

Rambut
Ikterus

(-)
(-)
(-)

Keringat malam
Sianosis
Lain-lain

Kepala
(-)
(-)

Trauma
Sinkop

(-)
(-)

Nyeri kepala
Nyeri sinus

Nyeri
Radang
Sklera Ikterus
Congjungtiva Anemis

(-)
(-)
(-)

Sekret
Gangguan penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan

(-)
(-)
(-)

Tinitus
Gangguan pendengaran
Kehilangan pendengaran

(-)
(-)
(-)

Gejala penyumbatan
Gangguan penciuman
Pilek

(-)
(-)
(-)

Lidah
Gangguan pengecapan
Stomatitis

(-)

Perubahan suara

(-)

Nyeri leher

(+)

Sesak nafas

Mata
(-)
(-)
(-)
(-)

Telinga
(-)
(-)

Nyeri
Sekret

Hidung
(-)
(-)
(-)
(-)

Trauma
Nyeri
Sekret
Epistaksis

Mulut
(-)
(-)
(-)

Bibir
Gusi
Selaput

Tenggorokan
(-)

Nyeri tenggorok

Leher
(-)

Benjolan/ massa

Jantung/ Paru
(-)

Nyeri dada

(-) Berdebar-debar
(+) Ortopnoe

(-)
(-)

Batuk darah
Batuk

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Perut membesar
Wasir
Mencret
Melena
Tinja berwarna dempul
Benjolan

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Kencing nanah
Kolik
Oliguria
Anuria
Retensi urin
Kencing menetes
Kencing seperti air teh

(-)

Perdarahan

Abdomen (Lambung / Usus)


(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)

Rasa kembung
Mual
Muntah
Muntah darah
Sukar menelan
Nyeri perut

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Disuria
Stranguri
Poliuria
Polakisuria
Hematuria
Batu ginjal
Ngompol

Katamenis
(-)
(-)

Leukore
Lain-lain

Haid(tidak ditanyakan)
()
()
()

Hari terakhir
Teratur
Gangguan menstruasi

()
()
()

Jumlah dan lamanya


Nyeri
Paska menopause

()
()

Menarche
Gejala Klimakterium

Otot dan Syaraf


(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Anestesi
Parestesi
Otot lemah
Kejang
Afasia
Amnesis
Lain-lain

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Sukar menggigit
Ataksia
Hipo/hiper-estesi
Pingsan / syncope
Kedutan (tick)
Pusing (Vertigo)
Gangguan bicara (disartri)

(-)
(-)

Deformitas
Sianosis

Ekstremitas
(+) Bengkak
(-) Nyeri sendi

IV PEMERIKSAAN FISIK :
Dilakukan pada tanggal 08 Oktober 2016
Pemeriksaan Umum
1.Keadaan Umum : pasien tampak agak sesak, tidak tampak sianotik, tampak lemas,
tidak ikterik
2.Kesadaran

: Compos Mentis (E4V5M6)

Tanda Vital :
Tekanan Darah

: 180/110 mmHg

Nadi

: 92/menit, isi dan tegangan cukup,

reguler, equal
Pernafasan

28/menit,

torakoabdominal,

kussmaul(-)

Kepala

Suhu

: 36,6oC per aksiler

Berat Badan

: 56 kg

Tinggi Badan

: 155 cm

Index Massa Tubuh

: 23.33 kg/m2

Kesan

: Normal

: normosephal, rambut hitam (+) sedikit beruban, lurus(+) tidak mudah


dicabut (-), distribusi merata(+), alopesia (-)

Mata

: konjungtiva palpebra pucat(-/-), sklera ikterik(-/-)Lensa jernih (+/


+),reflek cahaya langsung

pupil isokor (+/+)dengan diamete 2mm,alis mata

simetris(+/

+),rontok (-/-),pertumbuhan bulu mata normal,

entropion

(-/-),ektropion (-/-),
Telinga

(+/+),reflek cahaya tidak langsung (+/+)

sekret (-/-)ptosis(-/-)

: Bentuk daun telinga normal,nyeri tarik helix (-/-)

nyeri

tekan

tragus(-/-)liang telinga lapang (+/+)serumen (-/-)nyeri tekan mastoid


(-/-)
Hidung

: Bentuk normal,deviasi septum(-),sekret (-/-),nafas cuping hidung


(-),bekuan darah (-/-),mukosa hidung hiperemis/pucat(-/-)

Mulut

Bibir

kering(-)pucat(-)trismus(-)sianotik

perdarahan(-)Lidah kotor (-),hiperemis(-)

(-)caries

gigi

(-)Gusi

Tonsil ukuran T1/T1 kripta

melebar (-/-)hiperemis (-/-)faring hiperemis (-/-)


Leher

deformitas (-),trakea deviasi(-)tanda inflamasi (-),pembesaran limfonodi


(-),nyeri tekan (-),JVP 5+2cmH2O,pembesaran tiroid (-)

Thorax
Bentuk

: normochest, tidak tampak pelebaran sela


iga

Pembuluh darah

Inspeksi
Palpasi

Perkusi
Auskultasi

: tidak melebar,spider navy (-),

Kiri
Kanan
Kiri

Depan
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan

Belakang
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan

Kanan

Fremitus taktil simetris


Tidak ada benjolan

Fremitus taktil simetris


Tidak ada benjolan

Kiri
Kanan
Kiri

Fremitus taktil normal


Sonor di seluruh lapang paru
Sonor di seluruh lapang paru
Suara dasar vesikuler

Fremitus taktil normal


Sonor di seluruh lapang paru
Sonor di seluruh lapang paru
Suara dasar vesikuler

Wheezing (-)

Wheezing (-)

Ronkhi (+)
Suara dasar vesikuler

Ronkhi (+)
Suara dasar vesikuler

Wheezing (-)

Wheezing (-)

Ronkhi (+)

Ronkhi (+)

Kanan

Penampang paru anterior

penampang paru posterior

Jantung

Inspeksi

Ictus cordis tidak nampak

Palpasi

Ictus cordis teraba 1 jari lateral midclavikula

sinistra
Perkusi

:
Batas kanan

sela iga III-V parasternalis

Batas kiri

: sela iga V 1cm sebelah lateral

kanan
linea midklavikula kiri
Batas atas

sela iga III linea para sternalis

kiri
Auskultasi

Bunyi jantung I/II murni reguler, gallop tidak


ada,mur-mur tidak ada

Kesan

Tampak pergeseran Jantung ke lateral inferior

Buncit, ikut gerak napas,dilatasi vena (-), spider

Peristaltik (+) 20x/menit

Abdomen
Inspeksi
navi(-)
Auskultasi
Palpasi
Dinding perut

: supel, datar, nyeri tekan (-)

Hati

: tidak teraba (-)

Limpa

: tidak teraba

Ginjal

: ballotemen -/Nyeri ketuk CostoVertebraeAngle

-/Shiftting dulnes (-)


Kesan
Extremitas Superior
Tonus
Massa
Sendi
Gerakan
Kekuatan
Oedem
Palmar eritema

: tidak ada pembesaran hepar, lien, ginjal


KANAN
normotonus
eutrofi
tidak ada kelainan
baik
baik
tidak ada
(-)

KIRI
normotonus
eutrofi
tidak ada kelainan
baik
baik
tidak ada
(-)

Extremitas Inferior

KANAN

KIRI

Tonus

normotonus

normotonus

Massa

eutrofi

eutrofi

Sendi

tidak ada kelainan

Gerakan

baik

baik

Kekuatan

baik

baik

Oedem

tidak ada kelainan

V PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan

Hasil
17/10/20
16

Hasil
04/10/20
16

Hasil
05/10/20
16

Hasil
06/10/20
16

Hasil
07/10/20
16

Satu
an

Nilai
rujukan

KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
SGOT

22

U/L

<37

SGPT

14

U/L

<41

mg/d
l
%

70-110
mg/dl

mg/d
l
mg/d
l
mg/d
l
mg/d
l

<200

mg/d
l
mg/d
l

10-40

mg/d
l

<200

Diabetes
Glukosa Puasa

265

HbA1c

9,6%

Lemak Darah
Lemak Lengkap
Cholesterol Total

261

Trigliserida

130

Cholesterol HDL
direk
Cholesterol LDL
direk
Fungsi Ginjal

38
202

Ureum Darah

51

Kreatinin Darah

2,6

GDS

394

298

276

214

<150
>40
<130

0,6-1,3

GFR = (140 - umur) berat badan


72 kreatinin plasma (mg/dl)
= (140 - 53) 56
72 2,6 (mg/dl)
= 87 x 56
187,2 (mg/dl)
GFR = 26,02

Dengan hasil GFR 26,02 pada pasien ini termasuk CKD STAGE 4 ( 17 Agustus
2016)
GFR

GFR = (140 - umur) berat badan


72 kreatinin plasma (mg/dl)
= (140 - 53) 56
72 2,6 (mg/dl)
= 87 x 56
187.2 (mg/dl)
GFR

Tanggal
Deskripsi
Pemeriksaan
17/10/2016
CKD STAGE 4

= 26,02
ECHO

Kesan : Cardiomegali (HHD)

EKG

Interpretasi EKG

Irama

: Sinus

Heart Rate

: 120x/menit

Axis

: Normal

Gelombang P : Normal
o PR Interval

: Normal

o Gelombang RR

: Normal

o QRS Interval

: Normal

o ST

: Normal

o T

: Normal

Kelainan Lain : LBBB lead III, aVL dan aVF

Kesimpulan :
-

Sinus Takikardi

LBBB

COR : CTR >50%

Pulmo : Tampak infiltrat di


Rontgen
lapang atas sampai bawah
kedua paru
Hilus tertutup infiltrat
Kedua sinus diagfragma baik
Jaringan lunak baik

10

VI DAFTAR MASALAH
- Dyspnoe
- Edema kaki
-

Orthopnoe
Pernafasan meningkat 28x
Tensi tinggi 180/110
Ureum meningkat 51 mg/dl
Creatinin meningkat 2,6 mg/dl

VII DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA
DM Tipe II
Hipertensi
CKD Grade IV
CHF
Dasar diagnosis :
Anamnesis
Untuk diagnosis CHF : Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 08 Oktober 2016
di Ruang Nusa Indah RSUD Cilegon dengan keluhan sesak nafas, sesak nafas sudah
dirasakan sejak 2 minggu SMRS, sesak dirasakan hilang timbul, sebelum masuk rumah
sakit sesak yang di rasakan memberat sehingga pasien datang ke Poli RSUD. Sesak
yang dirasakan memberat saat beraktivitas dan saat pasien tidur terlentang. Tidak
berbunyi saat menghembuskan atau menarik nafas. Sesak membaik bila pasien
beristirahat dalam posisi duduk. Sesak yang dirasakan pasien tidak dipengaruhi cuaca
dan debu. Pasien juga mengeluhkan nyeri di bagian tengah dada 1 hari SMRS. Rasa
panas di dada (-). Riwayat trauma di dada (-).
Pasien mengeluhkan badan terasa lemas terutama saat sedang sesak disertai
mual yang sudah dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan muntah tidak dialami
pasien. Muntah bercampur dengan darah disangkal.
Pasien juga mengeluhkan kaki bengkak 1 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
11

o Sesak
o Terdapat edema pada kaki
o Lemas
Pemeriksaan fisik :
- Tampak pergeseran Jantung ke lateral inferior
- Rhonki pada kedua lapang paru
- Didapatkan edema pada kedua kaki.
Pemeriksaan lab :
Pemeriksaan

Hasil
17/10/20
16

Hasil
04/10/20
16

Hasil
05/10/20
16

Hasil
06/10/20
16

Hasil
07/10/20
16

Satu
an

Nilai
rujukan

KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
SGOT

22

U/L

<37

SGPT

14

U/L

<41

mg/d
l
%

70-110
mg/dl

mg/d
l
mg/d
l
mg/d
l
mg/d
l

<200

mg/d
l
mg/d
l

10-40

mg/d
l

<200

Diabetes
Glukosa Puasa

265

HbA1c

9,6%

Lemak Darah
Lemak Lengkap
Cholesterol Total

261

Trigliserida

130

Cholesterol HDL
direk
Cholesterol LDL
direk
Fungsi Ginjal

38
202

Ureum Darah

51

Kreatinin Darah

2,6

GDS

394

298

276

214

GFR = (140 - umur) berat badan


72 kreatinin plasma (mg/dl)
= (140 - 53) 56
72 2,6 (mg/dl)
= 87 x 56
187,2 (mg/dl)
12

<150
>40
<130

0,6-1,3

GFR

= 26,02

ECHO 06 Oktober 2016

Kesan : Cardiomegali (HHD)

VIII Pemeriksaan yang Dianjurkan


- Fungsi Ginjal
- Urin lengkap
- Usg abdomen
IX Diagnosis Banding
- Nefrolithiasis
- Ureterolithiasis
- Pneumonia
- Asma
X Terapi yang diberikan
NUSA INDAH

IVFD KAEN 1B 500 cc/24 jam


Sleeding Scale
Furosemid 2x1 tab
ISDN 2X2,5 mg
Levofloxacin 2x1 tab
BicNat 3x1 tab
Prorenal 3x1 tab
Hemafort 1x1 tab
Gliquidon 1x1 tab
Candesartan 1x16 mg
Salbutamol 2x2 mg
Nebu Combivent 3x

13

XI Prognosis
- Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

- Quo ad functionam : Dubia ad malam


- Quo ad sanactionam : Dubia ad malam

14

FOLLOW UP
FOLLOW UP
Nusa Indah , 05/10/2016
TD: 180/110 mmHg

R: 28x/menit

N: 92x/menit reguler

S: 36 ,6 C

S:

O:

Os mengatakan lemas

o KU: TSS
o KS: CM
o Kepala:

dan sesak

A:

Normocephali
o Mata: CA (-/-) SI
(-/-)
o THT: dbn
o Cor: BJI-BJII
reguler, Gallop(-),
Murmur(-)
o Pulmo: SNV, rh (+/
+), wh (-/-)
o Abd: soefl,
pelebaran vena (-),
BU (+), aorta
abdominalis tidak
terdengar, shifting
dullness (-),

P:
-

DM Tipe II
Hipertensi
CKD Grade IV
CHF

IVFD KAEN 1B

500 cc/24 jam


Sleeding Scale
Furosemid 2x1

tab
ISDN 2X2,5 mg
Levofloxacin

2x1 tab
BicNat 3x1 tab
Prorenal 3x1 tab
Hemafort 1x1

tab
Gliquidon 1x1

tab
Candesartan

1x16 mg
Salbutamol 2x2

mg
Nebu Combivent
3x

splenomegaly (-),
hepatomegaly (-),
undulasi (-), NT (-)
epigastrik.
o Eks: Edema (+)
kedua tungkai, akral
hangat, CRT<2

Nusa Indah , 07/10/2016


15

TD: 140/80 mmHg

R: 24x/menit

N: 80 x/menit irreguler

S: 36 ,5 C

S:

O:

Os mangatakan lemas

o KU: TSS
o KS: CM
o Kepala:

dan sesak

A:

Normocephali
o Mata: CA (-/-) SI
(-/-)
o THT: dbn
o Cor: BJI-BJII
reguler, Gallop(-),
Murmur(-)
o Pulmo: SNV, rh (+/
+), wh (-/-)
o Abd: buncit,
pelebaran vena (-),
BU (+), aorta
abdominalis tidak
terdengar, shifting

P:
-

DM Tipe II

Hipertensi

CKD Grade IV

CHF

IVFD KAEN 1B

500 cc/24 jam


Sleeding Scale
Furosemid 2x1

tab
ISDN 2X2,5 mg
Levofloxacin

2x1 tab
BicNat 3x1 tab
Prorenal 3x1 tab
Hemafort 1x1

tab
Gliquidon 1x1

tab
Candesartan

1x16 mg
Salbutamol 2x2
mg

dullness (-),
splenomegaly (-),
hepatomegaly (-),
undulasi (-), NT (-)
epigastrik.
o Eks: Edema (-)
kedua tungkai, akral
hangat, CRT<2

Nusa Indah , 08/10/2016

16

TD: 130/80 mmHg

R: 24x/menit

N: 82 x/menit reguler

S: 36 ,4 C

S:

O:

Os mangatakan lemas

o KU: TSS
o KS: CM
o Kepala:

dan sesak berkuang

A:

Normocephali
o Mata: CA (-/-) SI
(-/-)
o THT: dbn
o Cor: BJI-BJII
reguler, Gallop(-),
Murmur(-)
o Pulmo: SNV, rh (+/
+), wh (-/-)
o Abd: buncit,
pelebaran vena (-),
BU (+), aorta
abdominalis tidak
terdengar, shifting

P:
-

DM Tipe II

Hipertensi

CKD Grade IV

CHF

IVFD KAEN 1B

500 cc/24 jam


Sleeding Scale
Furosemid 2x1

tab
ISDN 2X2,5 mg
Levofloxacin

2x1 tab
BicNat 3x1 tab
Prorenal 3x1 tab
Hemafort 1x1

tab
Gliquidon 1x1

tab
Candesartan

1x16 mg
Salbutamol 2x2
mg

dullness (-),
splenomegaly (-),
hepatomegaly (-),
undulasi (-), NT (-)
epigastrik.
o Eks: Edema (-)
kedua tungkai, akral
hangat, CRT<2

17

ANALISA KASUS
1. Apakah penegakan diagnosis akhir pada pasien ini sudah benar?
Sudah.
Untuk diagnose CHF : Menurut kriteria framingham , gagal jantung ditegakkan
minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor yakni : pada pasien ini
Kriteria minor :
terdapat
1.Anamesis :
Edema eksremitas
Orthopneu dan edema
Pemeriksaan fisik:
Batuk malam2.hari
Edema pada kedua kaki, terdengar suara rhonki pada kedua lapang
Dispnea d effort
paru
Kriteria Mayor:
3. Pemeriksaan penunjang
Hepatomegali Cardiomegali
Paroksismal nokturnal dispnea
Efusi pleura
Distensi vena pada leher
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
Ronkhi basah
normal
Takikardia(>120/menit)

Kardiomegali

Major atau minor

Edema paru akut

Gallop S3
Penurunan BB4.5kg dalam 5 hari
pengobatan.
Peningkatan tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular

18

Pasien ini termasuk dalam gagal jantung kongestif dengan functional capacity II
karena sudah merasakan sesak napas ketika melakukan aktivitas lebih berat dari
aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.

Diagnosis CKD STAGE 4 pada pasien ini ditegakkan berdasarkan :

Gejala: sesak, mual, lemas.


Riwayat DM, Riwayat Hipertensi
Gambaran laboratorium :
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG

2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah adekuat?


Sudah tepat,

19

NUSA INDAH

IVFD KAEN 1B 500 cc/24 jam


Sleeding Scale
Furosemid 2x1 tab
ISDN 2X2,5 mg
Levofloxacin 2x1 tab
BicNat 3x1 tab
Prorenal 3x1 tab
Hemafort 1x1 tab
3. Apakah tujuan diagnosis
Gliquidon 1x1 tab
Candesartan 1x16 mg
dan pengobatan congestive
Salbutamol 2x2 mg
heart failure ?
Nebu Combivent 3x
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbilitas dan
mortalitas,tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tatalaksana penyakit jantung.
4. Kapan pasien dengan CHF harus dibawa kerumah sakit atau pelayanan
kesehatan?
- Sesak memberat
- Nyeri dada yang memberat
- Kaki bengkak
- Bak sedikit atau tidak ada bak sama sekali
5. Edukasi yang disampaikan kepada pasien?
Edukasi
-

Istirahat yang cukup


Ketaatan pasien berobat
Memelihara sanitasi yang baik dan kebersihan diri
Atur pola makan
Hindari makanan yang dapat menyebabkan penimbunan gas dalam
lambung (ubi, singkong, kacangm erah, kol, sawi, lobak, nangka,

durian)
Hindari makanan yang telah di awetkan (hamburger, sosis, ikan asin,

kornet)
Pilih bahan makanan yang kandungan lemaknya tidak banyak (daging

tidak berlemak, ikan segar, ayam tanpa kulit)


Pilih sayuran rendah serat (bayam, wortel, bit, labu siam, kacang

panjang muda, buncismuda, kangkung)


Hindari bumbu-bumbu masakan yang terlalu banyak dan dalam batas

normal
Hindari bahan makanan yang terlalu berlemak (daging, usus, otak,
sumsum, santan kental)

20

Diet rendah garam 2 gram (setengah sendok teh) pada gagal jantung
ringan dan 1 gram pada gagal jantung berat, jumlah caran 1,5 L/hari

pada gagal jantung ringan dan 1 L/hari pada gagal jantung berat
Hindari mengkonsumsi alcohol dan merokok
Aktivitas fisis rutin, misalnya berjalan kaki 3-5 kali/minggu selama 2030 menit atau sepeda statis 5kali/minggu selama 20 menit dengan bebar

70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang
- Kontrol Jika BAB berwarna hitam (melena)
- Kontrol jika badan atau mata berwarna kuning (ikterik)
- Kontrol jika terjadi bengkak (edema)
- Kontrol jika perut terasa kembung (asites)
6. Apakah hubungan CKD dengan riwayat DM ?
DM yang tidak terkontrol merupakan salah satu faktor terjadinya nefropati
diabetikum. Telah diperkirakan bahwa 35-40% pasien DM tipe 1 akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15-25 tahun setelah
awitan diabetes. Sedang DM tipe 2 lebih sedikit. DM menyerang struktur dan
fungsi ginjal dalam berbagai bentuk dan dapat dibagi menjadi 5 stadium.
Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan
lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan
hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat
menyebabkan glomerulusklerosis fokal, terdiri dari penebalan difus matriks
mesangeal dengan bahan eosinofilik disertai penebalan membran basalin
kapiler. Bila penebalan semakin meningkat dan GFR juga semakin meningkat,
maka masuk ke stadium 2.
Pada stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan.
Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan terjadi
hipertensi. Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR.
Retinopati dan hipertensi hampir selalu ditemui. Stadium 5, adalah stadium
akhir, ditandai dengan peningkatan BUN dan kreatinin plasma disebabkan oleh
penurunan GFR yang cepat.
7. Apakah hubungan antara Hipertensi dengan CHF?
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya
gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam Cowie tahun 2008
didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Studi terbaru

21

Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik menyebutkan bahwa 66.5% pasien
gagal jantung memiliki riwayat hipertensi.
Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi
sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi
terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung
pada gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).

22

TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
1.1. Definisi
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat
penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi
insulin (Soegondo dkk, 2009).
Diabetes Mellitus adalah kondisi abnormalitas metabolisme karbohidrat
yang disebabkan oleh defisiensi (kekurangan) insulin, baik secara absolute
(total) maupun sebagian (Hadisaputro. Setiawan, 2007).

1.2. Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang
diseluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total
populasi, insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun
2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia,
DM terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi
di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di
Afrika , ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan
yang tidak sehat.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24417
responden berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu
(kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban
glucosa sebanyak 75 gram), DM lebih banyak ditemukan pada wanita

23

dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan
status sosial yang rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi
adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok
usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang
dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007).
Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada
penduduk usia >15 tahun diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan
sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10
tahun sebesar 48,2% disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari
pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% (Depkes, 2008).
Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1993 di
Jakarta daerah urban membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari
1.7% pada tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001 di Depok dan
didaerah Jakarta Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung Pandang
daerah urban meningkat dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada
tahun1998, kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di daerah rural yang
dilakukan oleh Arifin di Jawa Barat 1,1% didaerah terpencil, di tanah Toraja
didapatkan prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan prevalensi
daerah urban dan rural (Soegondo dkk, 2009).

1.3. Etiologi
Pada penderita diabetes mellitus pangaturan sistem kadar gula darah
terganggu , insulin tidak cukup mengatasi dan akibatnya kadar gula dalam
darah bertambah tinggi. peningkatan kadar glukosa darah akan menyumbat
seluruh sistem energi dan tubuh berusaha kuat mengeluarkannya melalui ginjal.
Kelebihan gula dikeluarkan didalam air kemih ketika makan makanan yang
banyak kadar gulanya. Peningkatan kadar gula dalam darah sangat cepat pula
karena insulin tidak mencukupi jika ini terjadi maka terjadilah diabetes
mellitus.

24

Insulin berfungsi untuk mengatur kadar gula dalam darah guna


menjamin kecukupan gula yang disediakan setiap saat bagi seluruh jaringan dan
organ, sehingga proses-proses kehidupan utama bisa berkesinambungan.
Pelepasan insulin dihambat oleh adanya hormon hormon tertentu lainnya,
terutama adrenalin dan nonadrenalin, yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar
adrenal, yang juga dikenal sebagai katekolamin, dan somatostatin.

1.4. Klasifikasi
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh Perkeni adalah yang sesuai
dengan anjuran klasifikasi DM American Diabetes Association (ADA),
klasifikasi etiologi Diabetes Mellitus, menurut ADA (2007) adalah dapat dilihat
pada table dibawah ini:
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus
Tipe
Diabetes Tipe 1

Keterangan
Diabetes yang tergantung dengan
insulin disebabkan oleh kerusakan
sel-sel beta dalam pankreas sejak
masa anak anak atau remaja.

Diabetes Tipe 2

Mulai dari yang dominan


resistensi insulin relatif sampai
yang dominan defek sekresi
insulin

Diabetes Tipe Lain

1. Defek genetik fungsi insulin


2. Defek genetik kerja insulin
3. Karena obat
4. Infeksi
5. Sebab imunologi yang jarang :
antibody insulin

25

6. Resistensi Insulin
7. Sindroma genetik lain yang
berkaitan dengan DM (Klinefelter,
sindrom Turner)
Diabetes Gestasional

Karena dampak kehamilan

Sumber: Perkeni 2006


1.5. Faktor resiko
a. Genetik atau Faktor Keturunan
Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan
ditularkan. Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan
lebih besar terserang penyakit ini dibandingkan dengan anggota
keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli kesehatan juga
menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks.
Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan
kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan
kepada anak-anaknya (Maulana, 2008).
b. Virus dan Bakteri
Virus yang menyebabkan DM adalah rubella, mumps, dan
human coxsackievirus B4. Diabetes mellitus akibat bakteri masih belum
bisa dideteksi. Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup
berperan menyebabkan DM (Maulana, 2008).
c. Bahan Toksin atau Beracun
Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara
langsung, yakni allixan, pyrinuron (rodentisida), streptozotocin (produk
dari sejenis jamur) (Maulana, 2008).
d. Asupan Makanan
Diabetes mellitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan
dengan asupan makanan, baik sebagai factor penyebab maupun
pengobatan. Asupan makanan yang berlebihan merupakan factor risiko

26

pertama yang diketahui menyebabkan DM. Salah satu asupan makanan


tersebut yaitu asupan karbohidrat. Semakin berlebihan asupan makanan
semakin besar kemungkinan terjangkitnya DM (Maulana, 2008).
e. Obesitas
Retensi insulin paling sering dihubungkan dengan kegemukan
atau obesitas. Pada kegemukan atau obesitas, sel-sel lemak juga ikut
gemuk dan sel seperti ini akan menghasilkan beberapa zat yang
digolongkan sebagai adipositokin yang jumlahnya lebih banyak dari
keadaan pada waktu tidak gemuk. Zat-zat itulah yang menyebabkan
resistensi terhadap insulin (Hartini, 2009).
Menurut Syafrii Syahbudin (2002) dan Bogdan Mc Wright, MD (2008),
resiko terkena diabetes melitus lebih tinggi salah satunya kriteria dari faktor
risiko seperti :
1). Kurangnya olah raga
2). Rendahnya berat badan bayi yang lahir karena tidak memadainya asupan
gizi pada janin selama tahap perkembangan, terutama jika ibu bayi memiliki
kelebihan berat badan dalam hidupnya.
3). Kurang mengkonsumsi serat
4). Kegemukan
5). Pola makan yang salah
6). Minum obat yang dapat menaikkan kadar glukosa darah
7). Stres
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita
polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolikmemiliki
riwatyat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
seperti stroke, PJK, atau peripheral rrterial Diseases (PAD), konsumsi
alkohol,faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan
kafein.
27

1. Obesitas (kegemukan)

Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa


darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari
dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang
yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes
Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi
> 4000gram
7. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental
Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial.

28

Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai
enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakitini.
8. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini
dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak aktifan
fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan
tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan
dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe
2. Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita
DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan
tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila
mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml
proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml.

29

1.6. Patofisiologi
Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolism
karbohidrat, yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel dan digunakan sebagai
bahan bakar. Insulin diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu
masuknya glukosa ke dalam sel, yang kemudian di dalam sel tersebut glukosa akan
dimetabolisme menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat
masuk ke sel, yang mengakibatkan glukosa tetap berada di dalam pembuluh darah
yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Patogenesis diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, gangguan hepatic glucosa production (HGP) dan penurunan fungsi sel , yang
akhirnya akan menuju kerusakan total sel . Mula-mula timbul resistensi insulin
kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin, untuk mengkompensasi
(mengatasi kekurangan) resistensi insulin agar kadar glukosa darah tetap normal.
Lama-kelamaan sel beta tidak sanggup lagi mengkompesasikan resistensi insulin
hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta semakin menurun saat
itulah diagnosa diabetes ditegakkan ternyata penurunan fungsi sel beta berlangsung
secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengekresi insulin.
1.7. Manifestasi Klinis
Gejala Akut Penyakit Diabetes Mellitus
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan
mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.
1. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli), yaitu:
1) Banyak makan (poliphagia).
2) Banyak minum (polidipsia).
3) Banyak kencing (poliuria).
2. Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
1) Banyak minum.
2) Banyak kencing.

3) Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun
5 10 kg dalam waktu 2-4 minggu).
4) Mudah lelah.
5) Bila tidak segera diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan
jatuh koma .
Gejala Kronik Penyakit Diabetes Melitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes Mellitus adalah
sebagai berikut:
1) Kesemutan.
2) Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
4) Rasa tebal di kulit.
5) Kram.
6) Capai.
7) Mudah mengantuk.
8) Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.
9) Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
10) Gigi goyah mudah lepas, kemampuan seksual menurun, impotensi.
11) Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan berat lahir lebih dari 4 kg.
1.8. Diagnosis
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia(PERKENI) membagi alur diagnosis
DM menjadi2 bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM,
Gejala khas dari DM terdiri dari:
-

Polidipsi
Polifagi
Poliuri

Berat bada turun tanpa sebab yang jelas

Gejala tidak khas DM:


-

Lemas
Kesemutan
Luka yang sukar sembuh
Mata kabur
Gatal
Disfungsi ereksi (pria)
Pruritus vulva (wanita)

Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal, 1

kali saja cukup untuk menegakan diagnosis.

Apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali pemeriksaan
glukosa darah abnormal

Tabel 2. Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus


Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu > 200mg/dl
Gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa > 126 mg/dl atau
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) > 200 mg
dl, menggunakan beban glukosa 75 g anhidrus yang dilarutkan dalam air
Sumber, Parkeni 2006
1.9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yang meliputi:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup,
dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif. Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum:
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
a. Riwayat Penyakit
Gejala yang dialami oleh pasien.
Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat

penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).

Riwayat penyakit dan pengobatan.


Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi dan berat badan.
Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru dan jantung
Pemeriksaan kaki secara komprehensif
c. Evaluasi Laboratorium
HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien yang mencapai
sasaran

terapi dan yang memiliki kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1

tahun pada pasien dengan

perubahan terapi atau yang tidak mencapai sasaran

terapi.
Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
d. Penapisan Komplikasi Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita
yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan :
Profil lipid dan kreatinin serum.

Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.


Elektrokardiogram.
Foto sinar-X dada
Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara komprehensif oleh dokter
spesialis mata atau optometris.
Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk mengenali faktor risiko
prediksi ulkus dan amputasi: inspeksi, denyut pembuluh darah kaki, tes monofilamen
10 g, dan Ankle Brachial Index (ABI).
Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral dan/atau
suntikan.
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya

pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari

pengelolaan DM secara holistik.


2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu, dengan
jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (5070% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-usia pasien.

4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh
sel beta pankreas.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion(TZD)
1. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
2. Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti termasuk di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC IIIIV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan.
Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal
hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

3)

Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.


Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan.

Penghambat

glukosidase

alfa

tidak

digunakan

bila

GFR

30ml/min/1,73 m2 , gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.


4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan
menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose
dependent).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan
cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan
ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Tabel 3. Obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

b. Obat Antihiperglikemia Suntik


1) Insulin

Tabel 4. Farmakokinetik insulin eksogen berdasarkan waktu kerja


NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama obat
disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia. [Dimodifikasi dari Mooradian et al.
Ann Intern Med. 2006;145:125-34].
2) Agonis GLP-1/Incretin MimeticPengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1
merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja
sebagai perangsang pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia
ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan insulin
ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan.
Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan

muntah.
c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus menggunakan dua macam
obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi
sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi
tiga obat antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat
antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis
dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan.Kombinasi obat antihiperglikemia oral
dan insulin yang banyak dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi
kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral
dihentikan.
1.10.

Prognosis
Prognosis Diabetes Meitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak

selamanya buruk, pasien usia lanjut dengan Dibetes mellitus tipe II yang terawat baik
prognosisnya baik. Pada pasien diabetes mellitus usia lanjut yang jatuh dalam kondisi
koma mempunyai prognosis kurang baik. Hipoglikemik pada pasien usia

lanjut

biasanya berlangsung lama dan serus dengan akibat kerusakan otak yang permanen
karena hiperosmolaritas adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut
dan angka kematiannya tinggi.
HIPERTENSI
1.11.

Definisi

Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur
dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran
manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung
tegak atau terlentang paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah
merokok atau minum kopi. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah
hipertensi primer untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena
sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure (JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.
1.12.

Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi

gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit
jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini
telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia
maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya populasi usia
lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan
bertambah. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara
berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan
menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka
penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Armilawati et al,
2007). Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan
menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh
pelayanan kesehatan. Baik dari segi case finding maupun penatalaksanaan
pengobatannya. Jangkauan masih sangat terbatas dan sebagian besar penderita
hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai
dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa Tengah
sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6%
sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8%.
1.13.

Etiologi

Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti.
Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini
disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan
oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat
tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Adapun penyebab paling umum
pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak terobati. Risiko relatif
hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan
faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi.
1.14.

Klasifikasi
Beberapa klasifikasi hipertensi:
a. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7
Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education Program
merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalm sukarelawan, dan
agen federal. Mereka mencanangkan klasifikasi JNC (Joint Committe on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure) pada
tabel 1, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat (Sani, 2008).
Tabel 5.
Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention, Detection,
Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure)

Kategori

Kategori

Tekanan

dan/

Tekanan

Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistol atau

Darah Diastol

menurut JNC 7

menurut JNC 6

(mmHg)

(mmHg)

Normal

Optimal

< 120

dan

< 80

120-139

atau

80-89

Pra-Hipertensi
-

Nornal

< 130

dan

< 85

Normal-Tinggi

130-139

atau

85-89

Hipertensi:

Hipertensi:

Tahap 1

Tahap 1

140-159

atau

90-99

Tahap 2

160

atau

100

Tahap 2

160-179

atau

100-109

Tahap 3

180

atau

110

(Sumber: Sani, 2008)


Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya
dipertimbangkan normal ternyata menyebabkan peningkatan resiko komplikasi
kardiovaskuler. Data ini mendorong pembuatan klasifikasi baru yang disebut pra
hipertensi (Sani, 2008).
b. Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)
WHO dan International Society of Hypertension Working Group (ISHWG)
telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal, normaltinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat (Sani, 2008).
Tabel 6
Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Kategori

Tekanan Darah Tekanan Darah


Sistol (mmHg)

Diatol (mmHg)

< 120
< 130
130-139

< 80
< 85
85-89

Tingkat 1 (Hipertensi Ringan)


Sub-group: perbatasan

140-159
140-149

90-99
90-94

Tingkat 2 (Hipertensi Sedang)

160-179

100-109

Tingkat 3 (Hipertensi Berat)

180

110

Optimal
Normal
Normal-Tinggi

Hipertensi sistol terisolasi


140
(Isolated
systolic

< 90

hypertension)
Sub-group: perbatasan

<90

140-149

(Sumber: Sani, 2008)


c. Klasifikasi berdasarkan hasil konsesus Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Sani,
2008).
Pada pertemuan ilmiah Nasional pertama perhimpunan hipertensi Indonesia
13-14 Januari 2007 di Jakarta, telah diluncurkan suatu konsensus mengenai
pedoman penanganan hipertensi di Indonesia yang ditujukan bagi mereka yang
melayani masyarakat umum:
1) Pedoman yang disepakati para pakar berdasarkan prosedur standar dan
ditujukan untuk meningkatkan hasil penanggulangan ini kebanyakan diambil

dari pedoman Negara maju dan Negara tetangga, dikarenakan data penelitian
hipertensi di Indonesia yang berskala Nasional dan meliputi jumlah penderita
yang banyak masih jarang.
2) Tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan
diastolik dengan merujuk hasil JNC dan WHO.
3) Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan tingginya
tekanan darah, adanya faktor resiko lain, kerusakan organ target dan penyakit
penyerta tertentu.

Tabel 10. Klasifikasi Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia


Kategori

Tekanan Darah dan/atau

Tekanan

Sistol (mmHg)

Darah Diastol
(mmHg)

Normal

<120

Dan

<80

Prehipertensi

120-139

Atau

80-89

Hipertensi Tahap 140-159

Atau

90-99

Atau

100

Dan

<90

1
Hipertensi Tahap 160-179
2
Hipertensi Sistol 140
terisolasi
(Sumber: Sani, 2008)
Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu hipertensi sistolik dan
hipertensi diastolic. Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut terlalu
kuat sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan
tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Ini adalah
tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan tercermin pada hasil pembacaan
tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah
yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik

berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi
diantara dua denyutan. Sedangkan faktor yang mempengaruhi prevalensi hipertensi
antara lain ras, umur, obesitas, asupan garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi
dalam keluarga.
Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder
dan primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat
diketahui.
Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi
Benigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang
tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek up.
Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai
dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti
otak, jantung dan ginjal.
1.15.

Patofisiologi
Aktivitas kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks

adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting


pada

ginjal. Untuk mengatur volume

cairan

ekstraseluler,

aldosteron

akan

mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus


ginjal.

Naiknya

konsentrasi

NaCl

akan

diencerkan kembali dengan cara

meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan


volume dan tekanan darah.
Angiotensin I

Renin
Angiotensin I Converting Enzyme

Angiotensin II

Stimulasi sekresi aldosteron dari


korteks adrenal

Sekresi hormone ADH rasa haus

Urin sedikit pekat & osmolaritas


Ekskresi NaCl (garam) dengan
mereabsorpsinya di tubulus
Mengentalkan

Konsentrasi NaCl
di pembuluh darah

Menarik cairan intraseluler ekstraseluler

Volume darah

Diencerkan dengan
volume ekstraseluler

Tekanan darah
Volume darah

Tekanan darah

Gambar 1. Patofisiologi hipertensi


Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi
dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan dukungan dari
arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah
ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi
sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai
dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal.
1.16.

Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung,

gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Hipertensi
yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya
memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Dengan pendekatan sistem organ
dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi, yaitu:
Tabel 11.

Sistem organ komplikasi


Jantung

Komplikasi hipertensi
Angina pectoris
Infark miokard
Gagal jantung kongestif

Sistem saraf pusat

Ensefalopati hipertensi

Ginjal

Gagal ginjal kronis

Mata

Retinopati hipertensif

Pembuluh darah perifer

Penyakit pembuluh darah perifer

Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata,
ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan
sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan
pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
perdarahan

yang

disebabkan

oleh

pecahnya

mikroaneurisma

yang

dapat

mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli
dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA).
1.17.

Penatalaksanaan
Kelas obat utama yang digunakan untuk mengendalikan tekanan darah

adalah :
1. Diuretik
Diuretik

menurunkan

tekanan

darah

dengan

menyebabkan

diuresis.

Pengurangan volume plasma dan Stroke Volume (SV) berhubungan dengan


dieresis dalam penurunan curah jantung (Cardiac Output, CO) dan tekanan darah
pada akhirnya. Penurunan curah jantung yang utama menyebabkan resitensi
perifer. Pada terapi diuretik pada hipertensi kronik volume cairan ekstraseluler dan
volume plasma hampir kembali kondisi pretreatment.
a. Thiazide
Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi, golongan
lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah. Penderita dengan fungsi
ginjal yang kurang baik Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) diatas 30 mL/menit,
thiazide merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk menurunkan

tekanan darah. Dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium dan cairan akan
terakumulasi maka diuretik jerat Henle perlu digunakan untuk mengatasi efek
dari peningkatan volume dan natrium tersebut. Hal ini akan mempengaruhi
tekanan darah arteri. Thiazide menurunkan tekanan darah dengan cara
memobilisasi natrium dan air dari dinding arteriolar yang berperan dalam
penurunan resistensi vascular perifer.
b. Diuretik Hemat Kalium
Diuretik Hemat Kalium adalah anti hipertensi yang lemah jika digunakan
tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila diuretik dikombinasikan dengan
diuretik hemat kalium thiazide atau jerat Henle. Diuretik hemat kalium dapat
mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik
lainnya.
c. Antagonis Aldosteron
Antagonis Aldosteron merupakan diuretik hemat kalium juga tetapi lebih
berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset aksi yang lama (hingga 6
minggu dengan spironolakton).
2. Beta Blocker
Mekanisme hipotensi beta bloker tidak diketahui tetapi dapat melibatkan
menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif dan efek inotropik jantung
dan inhibisi pelepasan renin dan ginjal.
a. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada
dosis rendah dan mengikat baik reseptor 1 daripada reseptor 2. Hasilnya agen
tersebut kurang merangsang bronkhospasmus dan vasokontruksi serta lebih
aman dari non selektif bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi
pulmonari

kronis

(COPD),

diabetes

dan

penyakit

arterial

perifer.

Kardioselektivitas merupakan fenomena dosis ketergantungan dan efek akan


hilang jika dosis tinggi.
b. Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol memiliki aktivitas intrinsik
simpatomimetik (ISA) atau sebagian aktivitas agonis reseptor .
3. Inhibitor Enzim Pengubah Angiotensin (ACE-inhibitor)
ACE membantu produksi angiotensin II (berperan penting dalam regulasi
tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada beberapa jaringan dan ada pada
beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial.
Kemudian, tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah bukan
ginjal. Pada kenyataannya, inhibitor ACE menurunkan tekanan darah pada
penderita dengan aktivitas renin plasma normal, bradikinin, dan produksi jaringan
ACE yang penting dalam hipertensi.

4. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)


Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin (termasuk ACE) dan
jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain seperti chymases. Inhibitor ACE
hanya menutup jalur renin-angiotensin, ARB menahan langsung reseptor
angiotensin tipe I, reseptor yang memperentarai efek angiotensin II. Tidak seperti
inhibitor ACE, ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin.
5. Antagonis Kalsium
CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat
saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan sehingga mengurangi masuknya
kalsium ekstra selluler ke dalam sel. Relaksasai otot polos vasjular menyebabkan
vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal
kalsium dihidropiridini dapat menyebbakan aktibasi refleks simpatetik dan semua
golongan ini (kecuali amilodipin) memberikan efek inotropik negative.
Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat konduksi nodus AV,
dan menghasilkan efek inotropik negative yang dapat memicu gagal jantung pada
penderita lemah jantung yang parah. Diltiazem menurunkan konduksi AV dan
denyut jantung dalam level yang lebih rendah daripada verapamil.
6. Alpha blocker
Prasozin, Terasozin dan Doxazosin merupakan penghambat reseptor 1 yang
menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vascular perifer yang memberikan
efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas reseptor 2 sehingga
tidak menimbulkan efek takikardia.
7. VASO-dilator langsung
Hedralazine dan Minokxidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos
arteriol. Aktivitasi refleks baroreseptor dapat meningkatkan aliran simpatetik dari
pusat fasomotor, meningkatnya denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan
renin. Oleh karena itu efek hipotensi dari vasodilator langsung berkurang pada
penderita yang juga mendapatkan pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretik.
8. Inhibitor Simpatetik Postganglion
Guanethidin dan guanadrel mengosongkan norepinefrin dari terminal
simpatetik postganglionik dan inhibisi pelepasan norepinefrin terhadap respon
stimulasi saraf simpatetik. Hal ini mengurangi curah jantung dan resistensi
vaskular perifer .
9. Agen-agen obat yang beraksi secara sentral
10. VASO-dilator langsung
PENYAKIT GINJAL KRONIK
Definisi

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, seperti pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan stuktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju fitrasi glomerolus (LFG), dengan
manifestasi:
-

Kelainan patologis

Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,

atau kelaian dalam tes pencitraan


2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m, selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.
Klasifikasi4
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage)
penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar
LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 2
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan
LFG(ml/mnt/1,73m)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
1
> 90
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
2

60-89
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30-59
Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15- 29

Gagalginjal

< 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis tampak pada tabel 3


Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit
Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes

Penyakit glomerular(penyakit otoimun, infeksi


sistemik, obat, neoplasia)

Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah


besar, hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik,


batu, obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Rejeksi kronik

Keracunanobat (siklosporin/takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

Penyakit pada transplantasi

Patofisiologi 1,4
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.

Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi kompensatori ini akibat hiperfiltrasi
adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis reninangiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor . Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Pada stadium yang
paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada
keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih
belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada
LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara
lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal.
V. Pendekatan Diagnostik
Gambaran Klinis 2,3,4,5
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, LupusEritomatosus Sistemik
(LES),dll.

b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,kalium, khlorida).
Gambaran Laboratorium 2,3,4,5
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam

urat,

hiper

atau

hipokalemia,

hiponatremia,

hiper

atau

hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik


d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria
Gambaran Radiologis 2,3,4,5
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
VI. Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGK sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat
pada tabel 4.
Tabel 4. Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya
Derajat
LFG(ml/mnt/1,73m)
Rencana tatalaksana
1
> 90
terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progession)
fungsi ginjal, memperkecil resiko
2
3
4

60-89

kardiovaskuler
menghambat pemburukan (progession)

30-59
15-29

fungsi ginjal
evaluasi dan terapi komplikasi
persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5
<15
Terapi Nonfarmakologis: 4,5

terapi pengganti ginjal

a. Pengaturan asupan protein:


Tabel 4. Pembatasan Asupan Protein pada Penyakit GGK
LFG ml/menit
Asupan protein g/kg/hari
>60
tidak dianjurkan
25-60
0,6-0,8/kg/hari
5-25
0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g
<60

b. Pengatu
ran

asam amino esensial atau asam keton


0,8/kg/hari(=1
gr
protein
/g

asupan

proteinuria atau 0,3g/kg tambahan

35

kalori:

asam amino esensial atau asam keton.


kal/kgBB ideal/hari
c. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.

Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total


Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
Kalsium: 1400-1600 mg/hari
Besi: 10-18mg/hari
Magnesium: 200-300 mg/hari
Asam folat pasien HD: 5mg
Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

Terapi Farmakologis 1,2,3,4:


a. Kontrol tekanan darah
- Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II evaluasi kreatinin dan
kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

harus dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik
Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM
tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Koreksi hiperkalemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
Terapi ginjal pengganti.

CONGESTIVE HEART FAILURE

I. DEFINISI
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting
dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan
metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung
secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi
miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi
mekanisme

kompensatorik

sirkulasi

dapat

menunda

atau

bahkan

mencegah

perkembangan penyakit menjadi gagal jantung. 1


Beberapa istilah dalam gagal jantung : 4
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan
echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas
fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi
ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi,
pseudo-normal, tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan
katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan resistensi
vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A V, beri-beri,
dan Penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung
kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena

sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.
Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel,
maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun
tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara
tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok,
namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir
selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure),
karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal,
hal ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol,
peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan
tekanan vena . Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan
jantung atau seluruh rongga jantung. 5
II1. ETIOLOGI
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta
dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark

miokardium

dan

kardiomiopati.

Faktor-faktor

yang

dapat

memicu

perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat


berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru. 1
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit
katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan
penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien
dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid. 5
IV.

PATOFISIOLOGI

Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti nfark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan
timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang
menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis. 5,6,7
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu
dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup
peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini
mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau
hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat.
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak
saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin
kurang efektif. 1,5,6,7
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah
peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik
simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung
(efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume
darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah
misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.
Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk
selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar
katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama
latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam
darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons
miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan
berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel. 1, 4, 6

Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan


parasimpatik pada gagal jantung. 8
2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron :
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air
oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun
apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai serangkaian
peristiwa berikut:
- Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
- Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
- Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
-

angiotensinI
Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus. Angiotensin
II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah.
5, 6, 7

1,

Gambar 2. Sistem Renin - Angiotemsin- Aldosteron 8


3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah
tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan
kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;
namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan
kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan
kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir
dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat
karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen
miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih
lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan
kebutuhan oksigen

tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan

gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini
adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.

1,

4,6,7

V.

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala
hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung,
toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan
aktivitas yang lebih ringan. 1, 4

Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai


dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.1, 4, 9

Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan
adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan
merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak
kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang.
Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar
membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling
umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti
vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara
juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari
kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar,
maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan
gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah
ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga
akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal
Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan
dengan dispnea atau ortopnea.

Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring.

Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari
gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena
pengaruh gaya gravitasi.

Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat
distensi vena.

Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena
sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher
mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara
paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan
terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.

Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan
kapsula hati.

Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat
disebabkan kongesti hati dan usus.

Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema
mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam
hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi
cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu
berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.

Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara
klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini
dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal
jantung kanan yang nyata.

Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami
sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat
iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi
dan merupakan penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.

VI.

DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,
EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis :
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif

Kriteria Major :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Paroksismal nokturnal dispnea


Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekana vena jugularis
Refluks hepatojugular

Kriteria Minor :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Diagnosis

Edema eksremitas
Batuk malam hari
Dispnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi(>120/menit)
gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria

minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman
untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas
fisik, antara lain: 1

NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik
serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak

napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.


NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka
tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa
dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung

berdebar, sesak napas atau nyeri dada.


NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam
kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi
kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala

insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.


NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik

meskipun sangat ringan.


b. Pemeriksaan Penunjang

Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan. 12
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin : 11, 12, 13
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan
gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG
adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy
(LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal
biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung
dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang
efusi pleura.

begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat

mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.


4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan

kardiak

noninvasive

penting

untuk

mendiagnosis,

mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna


adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian
semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan
menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan dinding
regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan
hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic
pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal
jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai
untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat
penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga

memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang


menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling
berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan
end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan
noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas
oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak
ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral
sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi
sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).
VII.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik
akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis,
meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi. 13
Terapi : 14
a. Non Farmakalogi :
Anjuran umum :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti
biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa

dilakukan.
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan
1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung

berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.


Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang

lainnya.
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30
menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 7080% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).

Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis Angiotensin
II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator lain, digoksin, obat
inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling
sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop
diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat
dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan
tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari
dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang
sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal,
dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu
sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian
dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan
kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan
sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta
yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan
bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi
terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial,
digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan
emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi
ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial
kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan Trancient Ischemic
Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau
aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali
pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama
amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan

untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis
untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2 l/hari)
dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek
dapat

membantu

perbaikan

gejala

karena

mengurangi

metabolisme

serta

meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada


penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan
fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. 13
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu,
takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan
hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta
cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok
kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul
pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel)
atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum
ventrikel pasca infark. 13
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana
memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan
hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan.
Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring
gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi
jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan,
semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan
merupakan

prognosa

yang

buruk.

Koreksi

hipoperfusi

memperbaiki

asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter. 13


Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat
oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus
dihindari bila memungkinkan. 13

Opioid

parenteral

seperti

morfin

atau

diamorfin

penting

dalam

penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri
dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan
tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan
dapat diulang sesuai kebutuhan. 13
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta
tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal
jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang
lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis
pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri
tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada
pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam. 13
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada
gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis
hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan
fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit.
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide
adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.
Pemberiannya

akan

memperbaiki

hemodinamik

dan

neurohormonal,

dapat

menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin,


aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan
pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume
karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit. 13
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 100 mmHg.
Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan
pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan
afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan
arteri rata - rata > 65 mmHg. 13
Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian

5 15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan
meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang
reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 3 g/kg/mnt,
untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15 g/kg/mnt. Pada pasien
yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15
20 g/kg/mnt.
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi
AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering
digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk
terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi
penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 g/kg
bolus 10 20 menit kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25
0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt. 13
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang
disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok
kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan
tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa digunakan adalah
epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 0,5
g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 1 g/kg/mnt. 13
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan
terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah
penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan
hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload.
Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena,
nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine).
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat
untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner.
Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload
tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia
jantungharus diterapi. 13
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,
pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist
device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau

syok

kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai

regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung


bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi
atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device
bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist
Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel,
indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi
terutama inotropik.
VIII. PROGNOSA
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun
bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada
pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai
dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan
kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit),
insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat.
Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa
kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark
miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah
akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami
gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi
paliatif yang sangat cermat. 11

DAFTAR PUSTAKA
1. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13.
Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
2. Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.
3. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434.
4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. p.581-584.

5. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit
Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.
6. Adamson JW (ed). Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemias in
Harrisons Principles of Internal Medicine 16

th

edition vol 1. McGraw-Hill

Companies : 2005;586-92 Collaghan C. At a Glance Sistem Ginjal, 2nd ed. Jakarta


7. Rozi, a. (2012). BUKU SAKU DOKTER. Dipetik NOVEMBER 19, 2015, dari
http://bukusakudokter.org/2012/10/08/thiamphenicol/
8. AHA. (2012). Types of heart failure. Juni 27, 2013.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailure/Types
-of-Heart-Failure_UCM_306323_Article.jsp
9. Bidang Keperawatan RSCM. (2012). Pengisian catatan perkembangan pasien
terintegrasi (CPPT) untuk petugas keperawatan. Power Point disampaikan pada
Pencerdasan Perawat RSCM, Jakarta
10. Bidang Keperawatan RSCM. (2012). Aplikasi proses keperawatan di RSCM. Power
Point disampaikan pada Pencerdasan Perawat RSCM, Jakarta.
11. Polikandrioti, M. (2008). Health failure and health related quality of life. Health
Science Journal, 2(3): 119-120 Leslie, D. (2004). Cardiovascular nursing secret. St
Louise Missouri: Mosby
12. Kumala, Yasmin D. (2009). Hubungan riwayat hipertensi dengan angka mortalitas
pasien gagal jantung akut di lima rumah sakit di Indonesia pada Desember 20052006. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas.

Anda mungkin juga menyukai