Anda di halaman 1dari 5

Mencintai Pekerjaan

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 28 September 2004
Konon pada tahun 1998 Wall Street Journal pernah membuka polling untuk menjaring pendapat
umum tentang bagaimana orang menerima pekerjaan atau profesi yang saat ini dimiliki. Hasilnya,
lebih dari 50 % responden menyatakan akan meninggalkan pekerjaan yang saat ini di tangan apabila
(andaikan saja) mereka memiliki kesempatan untuk pindah atau ada peluang untuk ganti pekerjaan /
profesi (Warshaw: 1998).

Hasil polling ini meskipun belum tentu mutlak benar atau mungkin belum mewakili pekerja secara
keseluruhan, tetapi oleh beberapa pakar pengembangan karir dijadikan petunjuk untuk bahwa
ternyata banyak sekali orang yang tidak mencintai apa yang dilakukan, tidak mencintai profesi atau
pekerjaan yang saat ini dimiliki.

Bagaimana kalau polling itu diadakan di sini?


Kalau kita menggunakan indikator umum (logika matematis) angkanya bisa jadi bertambah.
Mengapa? Di negara yang sudah punya kemampuan lebih bagus dari kita dalam melayani
kepentingan publik saja masih ditemukan kenyataan seperti itu, apalagi di kita...? Tetapi logika
matematis itu bisa jadi patah di lapangan kalau kita bicara urusan perasaan atau kalau kita
menggunakan indikator khusus yang disebut paradoks kemajuan.

Contoh dari paradok itu misalnya saja belum tentu kalau orang yang punya banyak uang itu lebih
bahagia dengan orang yang punya uang sedikit, meskipun kalau kita tidak memiliki uang, kebahagian
itu juga terancam. Belum tentu juga orang yang hidup di negara maju bisa dipastikan lebih bahagia
dengan orang yang hidup di negara berkembang.

Terlepas dari sejumlah kemungkinan itu, namun ada yang masih bisa kita pastikan bahwa baik di
Amerika dan di Indonesia, tetap akan ada sekelompok orang yang merasa tidak bahagia atau tidak
sanggup mencintai pekerjaan atau profesi yang digeluti saat ini. Padahal baik secara filosofis
keduanya dapat dikatakan, bahwa mencintai pekerjaan adalah kekuatan utama untuk meraih prestasi
di bidang yang sudah kita pilih saat ini atau nanti.

Hasil wawancara yang dilakukan oleh Doris Lee McCoy, Ph.D penulis buku "Mega Traits for
Successful People" (Career Life Institute: 1994) terhadap 1000 orang Amerika yang berprestasi tinggi
di bidangnya, ternyata urusan mencintai pekerjaan ini menduduki urutan pertama, yang membedakan
antara mereka dengan kebanyakan orang di lingkungannya. Secara keseluruhan, mereka yang
berprestasi tinggi itu menikmati apa yang dilakukan (enjoy their work) dengan sepenuh hati
(total involvement).

Meskipun wawancara itu dilaksanakan di Amerika, tetapi karena ini urusan prinsip yang berlaku
secara universal, maka hampir bisa dipastikan akan tidak jauh berbeda andaikan saja wawancara itu
dilakukan terhadap sejumlah orang Indonesia yang berprestasi. Di samping itu, tanpa wawancara pun
sebetulnya naluri kita sudah bisa berbicara bahwa yang namanya cinta pekerjaan, cinta profesi atau

ke-sepenuhan-hati itu nampaknya sudah menjadi semacam "kemutlakan". Jika semuanya sudah kita
ketahui bersama namun pada prakteknya pengetahuan itu masih kurang sakti menolong kita untuk
bisa mencintai pekerjaan yang kita tekuni, lantas apa yang menyebabkan? Di sinilah nampaknya kita
perlu sedikit membahas tentang bagaimana rasa tidak bahagia dan rasa tidak cinta ini berproses di
dalam diri kita.

Logika Telur Ayam

Mana yang benar menurut praktek hidup antara kita menyatakan bahwa "kalau saya mendapatkan
pekerjaan yang saya cintai maka saya akan mencintai pekerjaan itu" ATAU "kalau saya mencintai
pekerjaan yang ada saat ini maka cinta itu akan mengantarkan saya untuk mendapatkan pekerjaan
yang saya cintai...?" Inilah yang kira-kira saya maksudkan logika telor-ayam di sini.

Pernyataan pertama bisa jadi benar karena untuk orang tertentu dalam keadaan tertentu dengan
alasan tertentu dan tujuan tertentu, mendapatkan pekerjaan yang dicintai memang cukup
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mencintai pekerjaan. Tetapi ya itu tadi: hanya berlaku
untuk keadaan yang sifatnya sangat terbatas (baca: pengecualian)

Kalau kita merujuk pada hasil temuan sejumlah pakar yang dikutip dalam catatan ERIC
Clearinghouse on Adult Career and Vocational Education (Columbus OH: 2002), akan kita dapatkan
bahwa cinta dan tidak cinta pekerjaan (di luar batasan tertentu itu), lebih banyak disebabkan oleh apa
yang terjadi di dalam diri (What is happening IN us), bukan tergantung pada apa yang menimpa kita
(What is happening ON us), terlepas dari perbedan istilah tehnis yang mereka gunakan.

Studi ilmiah membuktikan, bahwa penyabab utama mengapa kita tidak sanggup mencintai pekerjaan
adalah konflik diri. Ini bukan masalah ada gejolak dan tidak ada gejolak, sebab tidak mungkin orang
hidup tanpa gejolak. Dari mana konflik-diri ini muncul? Masih merujuk pada hasil temuan yang sama,
konflik diri ini dimunculkan oleh mandeknya roda pengembangan diri (developmental process
factors). Kalau kita berhenti mengembangkan diri kita, entah itu melalui pekerjaan atau pendidikan,
maka cepat atau lambat kita akan diterpa oleh konflik diri, seiring dengan bertambahnya kebutuhan
dan keinginan kita.

Lantas, mengapa kita mandek? Bicara maunya kita, mungkin tidak ada orang yang menghendaki
kemandekan. Pasti semua orang ingin maju, dinamis, proaktif, dan progresif. Jika dalam prakteknya
kemandekan itu terjadi, lantas apa yang menjadi akar penyebabnya? Ajaran agama menunjukkan kita
bahwa kemandekan ini disebabkan oleh kesalahan dalam memilih ke mana penglihatan pikiran ini
kita fokuskan.

Kalau kita mengarahkan penglihatan ini pada hal-hal yang berbau kurang tentang diri kita
maka kesimpulan yang tercetak di kepala kita adalah kesimpulan minus tentang kita. Kesimpulan
minus ini akan kita jadikan alat untuk melihat sesuatu di luar diri kita termasuk pekerjaan. Penglihatan
kita tidak bisa melihat selain apa yang sudah dipahami oleh pikiran kita. Nah, kalau terhadap diri kita
saja pikiran ini sudah punya kesimpulan minus, maka apalagi terhadap pekerjaan? Inilah kira-kira
kalau diuraikan urut-urutannya secara sekilas.

Alasan lain yang juga mendukung pendapat para pakar itu, adalah logika kita bersama. Katakanlah
bahwa hari ini kita sudah mendapatkan pekerjaan yang kita cintai, tetapi kalau roda dinamika di
dalam diri kita berhenti, maka cepat atau lambat pekerjaan itu akan hilang keindahannya di mata kita.
Sebab, pasti di dalam pekerjaan yang kita cintai pun akan tetap ada bagian yang tidak kita cintai dan
ini hanya bisa diharmoniskan oleh usaha pengembangan diri dalam hal kemampuan menyelesaikan
masalah yang muncul (problem solving skill).

Alasan lain adalah fakta alamiah. Andaikan dunia ini selalu tunduk pada rencana kita, tentu saja
perdebatan telor-ayam di atas akan gugur. Semua orang sudah pasti menginginkan agar kita
didatangi lebih dulu oleh sesuatu yang kita cintai. Hanya saja praktek hidup tak selamanya tunduk
pada rencana kita dan seringkali memberikan kita sebuah tawaran memilih yang kira-kira kalau
dikalimatkan akan berbunyi: Apa yang akan anda pilih ketika anda tidak mendapatkan secara utuh
apa yang anda inginkan?

Pembelajaran

Will Rogers pernah mengatakan: "walaupun anda saat ini sudah berada di jalur yang benar tetapi
kalau yang anda lakukan hanya diam saja, maka perubahan akan membawa anda ke tempat yang
tidak aman". Pendapat ini bisa kita jadikan petunjuk bahwa terlepas apakah kita sudah mendapatkan
pekerjaan yang kita cintai atau tidak, tetapi kalau dinamika kita mandek, perubahan akan membawa
kita pada konflik-diri.

Pembelajaran yang mungkin kita lakukan untuk menyelamatkan diri kita dari kemandekan (stagnasi)
adalah menyusun Tangga Dinamika yang sesuai dengan ukuran diri kita dengan melakukan gerakan
berikut ini:

1. Menaikkan Keinginan

Kalau dulu kita pernah punya keinginan untuk menjadi karyawan atau keinginan untuk memiliki
sesuatu - katakanlah begitu - dan hari ini keinginan itu sudah kita wujudkan, maka kita perlu
menaikkan lagi standar keinginan itu ke tingkat yang lebih atas yang kira-kira secara rasional bisa kita
capai, misalnya saja menjadi supervisor atau manajer, supaya kemandekan tidak mudah menguasai
kita. Keinginan pada dasarnya adalah motivasi penggerak yang mendorong niat kita untuk
berprestasi.

Tetapi yang perlu kita catat, adalah pentingnya kesadaran untuk membuat manajemen aktivitas yang
diarahkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan, baik jangka pendek (dan rutin) maupun jangka
panjang - serta aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.

2. Menaikkan Pengetahuan

Mungkin kalau sekedar menaikkan keinginan untuk menjadi atau untuk memiliki ini mudah dan sudah
dilakukan oleh hampir semua orang. Tetapi yang tidak dilakukan oleh hampir semua orang atau
bahkan hanya dilakukan oleh sedikit orang adalah berusaha mencari pengetahuan yang cocok untuk
digunakan sebagai alat mewujudkan keinginan itu.

Merujuk pada hasil temuan Aristotle, formula untuk berprestasi itu ada dua yaitu: rumusan tujuan
yang jelas tentang apa yang kita inginkan untuk menjadi atau memiliki, dan yang kedua, menemukan
metode yang cocok. Metode ini banyak dan salah satunya adalah ilmu pengetahuan yang tepat untuk
keadaan diri kita.

Fungsi pengetahuan bagi keinginan kita adalah memberikan lebih banyak pilihan strategi dalam
mewujudkan keinginan yang tidak hanya itu-itu saja. Selain itu, fungsi lain yang dimainkan oleh
bertambahnya pengetahuan di kepala kita adalah memperbaruhi diri kita. Seperti kata Atkin, Ilmu
pengetahuan yang kita dapatkan tidak saja membuat kita memiliki pengetahuan tetapi juga
memperbaruhi definisi kita tentang diri kita.

3. Menaikkan Kemampuan

Sudah pasti akan ada gap (jurang pemisah) antara keinginan ideal dan kemampuan faktual kita dan
sudah pasti akan ada gap antara pengetahuan yang baru kita dapatkan dengan kenyataan yang kita
hadapi di bidang kita. Gap ini menawarkan pilihan antara: apakah kita akan menggunakan gap itu
untuk mencerahkan diri kita atau kita akan menggunakan gap itu untuk menggelapkan diri
kita.

Supaya gap itu bisa berfungsi mencerahkan, maka jalan yang tersedia hanya satu yaitu menjalankan
agenda pembelajaran secara alamiah (sedikit demi sedikit tetapi terus menerus). Gap antara
kemampuan dan keinginan hanya bisa dikuasai dengan cara menaikkan kemampuan. Kalau
kemampuan kita tidak bertambah sementara kebutuhan dan keinginan kita terus bertambah, akhirnya
konflik diri melanda. Gap antara pengetahuan dan kenyataan hanya bisa didamaikan dengan praktek
yang mengikuti metode air hujan yang menetes dari atas ke bawah atau dari konsep ke praktek.

Walhasil, kalau kita coba menghitung dengan kalkulasi dagang, akan berbeda di tingkat keuntungan
antara kita mencintai pekerjaan lebih dulu dan menemukan pekerjaan yang kita cintai dulu, meskipun
keduanya benar. Mendahulukan cinta akan memberikan keuntungan ganda buat kita, terlepas
apakah kita saat ini sudah menemukan pekerjaan yang kita cintai atau belum. Sementara
mendahulukan pekerjaan hanya akan memberikan satu keuntungan dan itupun masih dengan syarat:
Asalkan kita bisa menemukan pekerjaan yang kita cintai.
Herman Chain akhirnya menyimpulkan: "Kesuksesan bukanlah kunci kebahagian. Kebahagianlah
yang menjadi kunci kesuksesan. Jika kamu mencintai apa yang kamu lakukan maka kamu

akan sukses". Puisi cinta mengatakan: "Anda tidak mencintai gadis karena dia cantik tetapi si dia
menjadi cantik karena anda mencintainya". Benarkah begitu...?

Anda mungkin juga menyukai