Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penanggulangan Tuberkulosis ( TB ) di Indonesia sudah berlangsung
sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah
perang kemerdekaan, TB paru ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru
Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan TBC dilakukan secara Nasional
melalui Puskesmas dengan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) panduan
standar terdiri atas INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Sejak
tahun 1977 mulai digunakan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampicin,
dan Ethambutol selama 6 bulan (Depkes, 2001).
Jumlah pasien TB paru di Indonesia diperkirakan sekitar 10 % dari total
jumlah pasien TB di dunia dan termasuk penyebab kematian utama. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga ( SKRT ) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebab kematian nomor tiga ( 3 ) setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu ( 1 ) dari
golongan penyakit infeksi (Depkes, 2001).
Hasil survey Prevalensi TB paru di Indonesia tahun 2004 menunjukkan
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional adalah sebesar 110 per
100.000 penduduk. Secara regional prevalensi TB BTA positip di Indonesia di

kelompokan dalam 3 wilayah yaitu wilayah Sumatra dengan angka prevalensi TB


sebesar 160 per 100.000 penduduk, wilayah Jawa dan Bali dengan angka prevalensi
TB sebesar 110 per 100.000 penduduk, dan wilayah Indonesia Timur dengan angka
prevalensi TB sebesar 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan
Bali angka prevalensi TB adalah sebesar 68 per 100.000 penduduk (Depkes, 2008).
Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Namun demikian di sisi lain
masing- masing obat OAT bersifat bakterisid dan mempunyai efek samping ringan
seperti tidak napsu makan, dan nyeri sendi hingga pada efek samping yang berat
misalnya, tuli, gangguan keseimbangan, ikterus, bingung, muntah-muntah (awal
ikterus karena obat), bahkan sampai terjadi renjatan (syok) (Depkes.2008 ).
Adanya berbagai efek samping OAT terutama yang berkaitan dengan faal
hati, maka perlu dilakukan upaya pencegahan agar klien TB paru tidak menjadi lebih
buruk kondisinya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh BKPM ( Balai Kesehatan
Paru Masyarakat ) Wilayah Pati, dimana sejak tahun 2004, bagi pasien yang dicurigai
atau tersangka TB paru, dilakukan pemeriksaan tes fungsi hati melalui pemeriksaan
SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase). Bila kadar SGPT melebihi nilai
normal maka OAT ditunda dan diberikan curcuma dengan dosis sehari 2 kali 1 tablet
selama 20 hari.

10

Berdasarkan hasil dari survey pendahuluan diketahui bahwa pemberian


curcuma dimaksudkan untuk menurunkan kadar SGPT. Dengan demikian pasien TB
paru yang diberikan OAT betul-betul dalam kondisi faal hati yang normal. Apa yang
telah dilakukan oleh BKPM Pati ini sesuai dengan hasil penelitian / teori yang
menyatakan bahwa Curcuma xanthorhizae yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan
temulawak memiliki manfaat bagi pasien yang mengalami gangguan fungsi hati.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Mono Raharjo dan Otih Rostiana (Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, 2005), yang menyatakan bahwa temulawak
dapat memberikan dampak positif terhadap kesehatan liver (organ hati).
Namun demikian perlu dilakukan penelitian secara terstruktur untuk
membuktikan adanya pengaruh pemberian Curcuma xanthorhizae terhadap
penurunan kadar SGPT pada tersangka penderita TB paru di BKPM Wilayah Pati,
sehingga diharapkan dari hasil penelitian tersebut dapat menjadi dasar untuk
pemberian terapi Curcuma xanthorhizae bagi pasien tersangka TB paru terhadap
adanya faal hati khususnya yang memeriksakan diri di BKPM Pati.

B. Perumusan masalah
Adakah pengaruh pemberian Curcuma xanthorhizae terhadap penurunan
kadar SGPT pada penderita tersangka TB paru sebelum diberikan OAT di BKPM
Wilayah Pati?

11

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian Curcuma xanthorhizae terhadap
penurunan kadar SGPT pada penderita tersangka TB paru.

2. Tujuan Khusus
a. Mengukur kadar SGPT penderita dengan Tersangka TB paru di BKPM
Pati sebelum dan setelah dilakukan pemberian Curcuma xanthorhizae.
b. Menganalisa pengaruh pemberian Curcuma xanthorhizae terhadap
penurunan kadar SGPT pada penderita tersangka TB di BKPM wilayah
Pati.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat terhadap program
pengelolaan TB Paru, khususnya di BKPM Wilayah Pati, juga sebagai alternatif
pencegahan efek samping pemberian OAT pada klien TB paru.

12

Anda mungkin juga menyukai