Anda di halaman 1dari 8

ANEMIA HEMOLITIK

Pendahuluan
Anemia hemolitik merupakan anemia dimana terjadi peningkatan penghancuran sel darah merah.
Proses ini berimplikasi pada pemendekan lamanya hidup dari sel darah merah. Anemia hanya
terjadi ketika tingkat destruksi dari sel darah merah melebihi kemampuan produksi dari sel darah
merah. Individu sehat mempunyai kapasitas untuk meningkatkan produksi sel darah merah
hingga 6-8 kali.
Epidemiologi
Anemia hemolitik kira-kira 5 persen dari semua kasus anemia. Kejadian anemia hemolitik tidak
spesifik untuk ras tertentu ataupun jenis kelamin.
Etiologi anemia hemolitik
1. Imun
Patofisiologi:
SDM terpapar igG maka akan dihancurkan makrofag.
a. Autoimun ( antibodi terhadap antigen sel darah merah sendiri)
Warm antibodi (IgG)
Cold antibodi (IgM) dan polisakarida aglutinasi
b. Aloimun ( antibodi terhadap antigen sel darah merah donor)
c. Drug induced
d. dll
2. Non imun
a. Kongenital
-

Kelainan membran

Kelainan enzim

b. Didapat
-

Destruksi sel darah secara mekanik

Mikroangipati hemolitik anemia

Infeksi

dll

Turnover sel darah merah

Sel darah merah sangat lentur dan dapat bertahan lebih dari 100 hari dalam sirkulasi.
Kemampuan eritrosit bertahan selama 120 hari, disebabkan kekuatan membran dan jalur
metabolik yang mesuplai energi tinggi phospat yang dibutuhkan untuk mempertahankan
membran. Dengan bertambah tuanya sel darah merah, jalur metabolik mengalami kerusakan,
terjadi penumpukan hemoglobin dan phospholipid yang teroksidasi.terutama phosphatidylserine
di permukaan sel darah merah. Bersamaan dengan proses tersebut, fleksibilitas sel darah merah
menjadi hilang, disertai berkurangnya kemampuan bergerak melewati mikrovaskuler dan
memulai proses penghancuran oleh sistem monosit dan makrofag. Makrofag didistribusi luas
pada berbagai jaringan dalam tubuh tapi tempat utamanya adalah hati dan limfa. Limfa adalah
tempat utama dari penghancuran sel darah merah. Makrofag dari sistem retikuloendotelial
bertempat di ekstravaskuler dan 90 persen dari sel darah yang dihancurkan, terjadi tanpa
hemoglobin dilepaskan kedalam sirkulasi (90 persen darah dihancurkan di ekstravaskuler).

Gambar.1 Perjalanan hemoglobin intravaskuler

Patofisiologi Anemia Hemolitik

Terdapat 2 mekanisme terjadinya hemolisis yaitu hemolisis intravaskuler dan hemolisis


ekstravaskuler.
1. Hemolisis Intravaskuler
Pada hemolisis intravaskuler terjadi destruksi sel darah merah dalam sirkulasi dengan pelepasan
isi sel kedalam plasma. Mekanisme trauma dari kerusakan endotel, Sel darah merah
dihancurkan karena turbulensi hemodinamik ketika eritrosit dipaksa melewati
sumbatan atau bekuan, pada kasus-kasus seperti mikroangiopati,koagulasi
intravaskuler, kelainan katup jantung atau trombositopeni purpura. Selain itu
mekanisme fiksasi komplemen dan aktifasi pada permukaan sel dan agen-agen infeksi,
menyebabkan degradasi langsung membran dan penghancuran sel.

Gambar 2. Katabolisme hemoglobin intravaskuler diikuti hemolisis intravaskuler


2. Hemolisis Ekstravaskuler

Hemolisis ekstravaskuler yang paling umum terjadi, merupakan proses pembersihan dan
destruksi dari sel darah merah dengan perubahan membran oleh makrofag dari lein dan hati.
Darah di sirkulasi di filter terus menerus melalui melalui pembuluh limfa ke sinusoid limfa.
Sebuah labirin menyerupai sepon dari makrofag. Satu sel darah dengan ukuran 8 mikron, dapat
merubah bentuk sendiri dan melewati dengan saluran yang terbuka dengan ukuran 3 mikron dari
splenic cords . Sel darah merah dengan perubahan struktur dari permukaan membran termasuk
antibodi, tidak dapat melewati jaringan ini dan di fagosit serta dihancurkan oleh makrofag.
Anemia hemolitik autoimun, terdapat serangan sistem imun terhadap antigen membran sel
darah merah. Kondisi ini terjadi pada keadaan autoimun sistemik,seperti sistemik lupus
eritematosus. Jika autoantibodi adalah klas IgG, hemolitik akan terjadi warm autoimmune
hemolytic anemia sedangkan autoantibodi dari klas IgM menyebabkan cold
agglutinin syndrome, dimana pasien mempunyai risiko lebih besar timbul gejala
hemolitik pada lingkungan temparatur rendah. Cold agglutinin syndrome
adakalanya terjadi sekilas pada kasus Mycoplasma pneumonia dan infeksi
mononucleosis.

Gambar.3 Katabolisme hemoglobin ekstravaskuler diikuti destruksi sel darah merah

Untuk menetapkan mekanisme patofisiologi dari hemolisis. Pertama kali


ditentukan apakah hemolisis terjadi di sinusoid sistem
retikuloendotelial(ekstravaskuler) atau sirkulasi (intravaskuler). Kedua tipe ini
menyebabkan peningkatan bilirubin,urobilinogen dalam urin dan feses, penurunan
haptoglobin dan retikulositosis. Hemolisis intravaskuler menghasilkan hemosiderin
dalam sedimen urin, hemoglobin serum dan hemoglobin bebas denaturasi di urin.
Beberapa kondisi hemolisis intravaskuler karena mekanisme destruksi dari sel
darah merah menghasilkan schizocytes yang mana dapat dilihat pada slide darah
perifer. Hemolisis ekstravaskuler menyebabkan terbentuknya spherocytes. Mayoritas

pasien anemia hemolitik merupakan hemolisis ekstravaskuler. Identifikasi pasien dengan


hemolisis intravaskuler sangat bermanfaat karena kondisi yang mendasari hemolisis
intravaskuler umumnya membutuhkan lebih banyak perhatian dari hemolisis ekstravaskuler
Gejala Klinis dan Diagnosis
Pendekatan untuk diagnosis untuk anemia hemolitik berdasarkan tampilan klinis. Penegakan
diagnosis meliputi apakah anemia akut atau kronik dan apakah hemolisis intravaskuler atau
ekstravaskuler. Langkah pertama dalam diagnosis adalah menentukan keadaan klinik,riwayat
medik pasien dan pemeriksaan klinis dan laboratorium rutin. Kebanyakan anemia hemolitik
dihubungkan dengan beberapa gejala spesifik. Pasien akan mengeluhkan letih dan lelah,
intoleransi terhadap aktifitas fisik, organomegali,sklera ikterik dan konjungtiva anemis. Pada
hemolisis intravaskuler dapat dijumpai demam, menggigil dan nyeri punggung berat dan pada
hemolisis intravaskuler berat dapat dijumpai hemoglobinuri.
Perbedaan hemolisis inravaskuler dan ekstravaskuler
Pemeriksaan
Gambaran darah tepi
LDH serum
Bilirubin serum
Haptoglobulin serum
Hemoglobinuri
Hemoglobin bebas plasma
Hemosiderin urin

Hemolisis intravaskuler
Fragmen sel darah merah (-)

Normal atau
Negatif
Negatif
Negatif

Hemolisis ekstravaskuler
Fragmen sel darah merah (-)

atau (-)
Positif
Positif
Positif

Gambar 4. Algoritma untuk evaluasi anemia hemolitik


Laboratorium
1. Pemeriksaan hematologi
Karakteristik laboratorium dari hemolisis adalah retikulositosis, merupakan respon normal dari
bone marrow terhadap kehilangan darah. Anemia hemolitik biasanya normositik normokrom.
Pemeriksaan gambaran darah tepi merupakan langkah penting dalam evaluasi anemia. Morfologi
sel darah merah seperti spherocyte atau schistocyte, pemeriksaan sel darah putih dan trombosit
untuk adanya kelainan dan keganasan hematologi adalah hal paling penting.
2. Pemeriksaan kimia
Destruksi sel darah merah ditandai dengan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi,peningkatan
laktat dehidrogenase (LDH), dan penurunan kadar haptoglobin. LDH dan hemoglobin dilepas ke
sirkulasi ketika sel darah merah dihancurkan. Pemeriksaan methemalbumin.
3. Pemeriksaan urin
Pada pemeriksaan urin di jumpai hemosiderin urin dan terjadi hemoglobinuri.
4. Uji diagnostik untuk hemolisis imun

a. Direct antiglobulin test (DAT, direct Coombs) untuk melihat IgG atau komplemen yang
menggumpalkan sel darah merah pasien. Sebahagian besar pasien dengan anemia hemolitik
imun memberikan reaksi DAT positif.
b. Indirect antiglobulin test (IAT) untuk melihat antibodi pada serum pasien dengan terhadap
antigen sel darah merah. Tes ini dapat menolong untuk deteksi dari alloantibodi.
Pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan stabilitas hemoglobin dan struktur membran.
Tatalaksana
a. Sebagaimana kebanyakan anemia, produksi sel darah merah, tergantung pada suplai
substrat esensial, struktur sumsum tulang yang normal dan respon eritropoitin. Pada
pasien dengan anemia hemolitik, suplai asam folat dan zat besi yang adekuat adalah
sangat penting. Semua anemia hemolitik mengalami peningkatan kebutuhan akan asam
folat dan membutuhkan asupan yang lama 2 kali sehari 1 mg.
b. Terapi untuk hemolisis Imun
Terapi tergantung pada penyebab. Apabila diduga obat, maka harus dihentikan. Jka terdapat
penyakit yang mendasari,penyakit tersebut harus diobati. Apabila suatu autoimun, diberikan
prednison sebagai terapi lini pertama.
c. Terapi lain adalah dengan pemberian kortikosteroid dan terapi kombinasi kemoterapi dan
splenektomi.
Prognosis
Prognosis pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada etiologi. Secara keseluruhan, angka
mortalitas rendah. Risiko meningkat pada pasien usia tua dan pasien dengan gangguan
kardiovaskuler.

Anda mungkin juga menyukai