Anda di halaman 1dari 9

A.

Pendahuluan
Kehadiran Perguruan Tinggi Islam di Indonesia didahului oleh
Pesantren dan ternyata dari lembaga pendidikan Islam tradisional dimaksud
mampu melahirkan ulama yang keilmuannya diakui dan dijadikan acuan oleh
masyarakat; Berbekalkan ilmu agama yang diperoleh dari pondok pesantren,
ulama dimaksud menjadi pemimpin masyarakat, tokoh agama, melakukan
peran-peran stragis lainnya di tengah masyarakat. Tidak sedikit tokoh Islam
tingkat nasional sekarang ini pernah mengenyam pendidikan pesantren.
Semangat perubahan kelembagaan yang terjadi di lingkungan
perguruan tinggi Islam dari institut atau sekolah tinggi menjadi universitas
didasari oleh pemahaman terhadap keilmuan Islam yang semakin
berkembang dan juga adanya kenyataan bahwa lembaga pendidikan Islam
yang berupa Institut dan sekolah tinggi belum memenuhi harapan. Sosok
ulama yang intelek atau intelek yang ulama sebagaimana dicita-citakan
terdahulu dirasakan belum terpebuhi, bahkan para lulusannya ditengarahi
tidak lebih unggul dibanding lulusan pesantren. Hal demikian itu mungkin
saja disebabkan oleh karena keilmuan yang dikembangkan di Perguruan
Tnggi Islam tidak jauh berbeda dari apa yang dikembangkan di pesantren,
yaitu ilmu ushuluddin, Ilmu Syari'ah, ilmu Tarbiyah, Ilmu Dakwab, dan
Bahasa Arab.
Menyadari atas kenyataan tersebut, maka muncul gagasan baru, yaitu
memperluas cakupan keilmuan yang dikembangkan, agar perguruan tinggi
Islam mampu meraih cita-citanya sebagaimana dikemukakan di muka. Usaha
itu

dibarengi

dengan

mengubah

kelembagaannya,

dan

sekaligus

melengkapinya dengan tradisi pesantren di dalam kampus. Perubahan bentuk


menjadi universitas dimaksudkan agar perguruan tinggi Islam berkewenangan
mengembangkan ilmu modern seperti ilmu alam, ilmu social, dan humaniora.
Sementara itu, melalui pesantren diharapkan melahirkan sosok ulama yang
dikenal memiliki kedalaman spiritual dan kemuliaan akhlak. Konsep
dimaksud sebenarnya mendasarkan pada realitas bahwa ulama selalu lahir
dari pesantren atau ma'had, sementara itu cendekiawan lahir dari perguruan
tinggi.

Upaya memadukan antara tradisi pesantren dan perguruan tinggi Islam


sebenarnya

juga

sekaligus

untuk

menghindari

keterputusan

sejarah

pendidikan Islam. Membangun pribadi melalui pendidikan akan tepat


jikaditempuh dengan cara bukan mengubah, tetapi meneruskan atau
menyempurnakan. Selain itu juga ingin menunjukkan bahwa sebenarnya
Islam itu adalah merupakan ajaran yang memiliki cakupan sedemikian luas.
Islam bukan hanya merupakan ajaran yang bersifat terbatas, yaitu berisi
tuntunan ritual dan sejenisnya, melainkan juga menganjurkan kepada
umatnya agar selalu mengingat Tuhan pada setiap waktu, memikirkandan
merenungkan penciptaan langit dan bumi atau mengembangkan sains, dan
mengembangkan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Konsep yang sedemikian indah itu diperoleh dari al Qur'an dengan sebutan
ulul albaab.
Dalam perkembangan lebih lanjut, sebagai upaya merespon tuntutan
zaman modern, dari para ulama sendiri menginginkan ada lembaga
pendidikan Islam yang mampu melahirkan sosok ulama yang sekaligus
intelek, dan intelek yang sekaligus Ulama'. Jika ulama dikonotasikan sebagai
seorang lulusan pesantren, maka sebagai sosok intelek lahir dari perguruan
tinggi pada umumnya. Keinginan para tokoh Islam tersebut ternyata menjadi
kenyataan, bahwa secara bertahap berdiri lembaga pendidikan tinggi Islam,
dan pada perkembangan selanjutnya, lembaga pendidikan tinggi dimaksud
dikenal dengan sebutan Istitut Agama Islam Negeri.
B. Pengertian Konsep Integrasi Ilmudi PTAI/PTKIN
Integrasi Secara etimologis, merupakan kata serapan dari Bahasa
Inggris Integrate, Integration yang kemudian diadapatsi ke dalam Bahasa
Indonesia menjadi Integrasi yang berarti menyatu-padukan; penggabungan1
atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh, pemaduan. 2 Sedangkan
secara terminologis, Integrasi Ilmu adalah pemaduan antara ilmu-Ilmu yang

1Alim Roswantoro, Paradigma Keilmuan UIN Yogyakarta dalam Mengukir Prestasi di


Jalur Khusus,(Yogyakarta : Penerbit Pendi Pontren Depag RI, 2007), hlm 39.
2John M. Echlos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia , (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003), hlm. 326.
2

terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmuIlmuyang bercorak Agama dengan ilmu-Ilmuyang bersifat Umum.
Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum ini adalah upaya untuk
meleburkan polarisme antara Agama dan Ilmu yang diakibatkan pola pikir
pengkutupan antara Agama sebagai sumber kebenaran yang independen dan
Ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula. Hal ini karena
sebagaima keberadaannya yang saling membutuhkan dan melengkapi.
Seperti yang dirasakan oleh negara-negara di belahan dunia sebelah
Barat yang terkenal canggih dan maju di bidang keilmuan dan teknologi,
mereka tergugah dan mulai menyadari akan perlunya peninjauan ulang
mengenai dikotomisme Ilmuyang terlepas dari nilai-nilai yang di awal telah
mereka kembangkan, terlebih nilai religi. Agama sangat bijak dalam menata
pergaulan dengan Alam yang merupakan ekosistem tempat tinggal manusia.
Meninjau begitu urgennya kapasitas Agama dalam kehidupan manusia,
maka sepatutnya Agama dikembangkan sebagai basic nilai pengembangan
ilmu. Karena perkembangan Ilmuyang tanpa dibarengi dengan kemajuan nilai
religinya, menyebabkan terjadinya gap, jurang. Akibat meninggalkan Agama,
Ilmu secara arogant mengeksploitasi Alam sehingga terjadi berbagai
kerusakan Ekosistem.3
Dalam halnya menggabungkan antara Ilmu Umum dan Ilmu Agama,
maka Integrasi Ilmu ini dekat dengan Islamisasi Ilmu. keduanya merupakan
upaya mendamaikan polarisasi antara Sains Modern yang didominasi dan
dikuasai Barat dengan wacana keislaman yang masih berada pada titik
inferioritas peradaban global. Kritik epistemologis, dalam asumsi penyusun,
adalah berangkat dari proses Obyektivikasi Islam yang pernah digagas
oleh Pak Kuntowijoyo. Upaya Obyektivikasi Islam merupakan proses
dinamisasi Agama yang diarahkan menuju pada Ilmuyang kemudian terjadi
dialektika antara Agama dengan Sains modern.4
C. Konsep UIN Jakarta
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu IAIN tertua di
Indonesia yang bertempat di Jakarta, menempati posisi yang unik dan
3 Op.Cit, Alim Roswantoro, hlm. 40.
4Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2006), hlm. 102.
3

strategis. Ia tidak hanya menjadi "Jendela Islam di Indonesia", tetapi juga


sebaga simbol bagi kemajuan pembangunan nasional, khususnya di bidang
pembangunan sosial-keagamaan. Sebagai upaya untuk mengintegrasikan ilmu
umum dan ilmu agama, lembaga ini mulai mengembangkan diri dengan
konsep IAIN dengan mandat yang lebih luas (IAIN with Wider Mandate)
menuju terbentuknya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat membutuhkan sebuah panduan
bagi penyelenggaraan baik pada level nasional maupun internasional, masih
dipengaruhi oleh dualism yang kental antara ilmu-ilmu agama di satu pihak,
dan ilmu-ilmu umum di pihak lain. Kebutuhan tersebut semakin mendekat
lagi setelah lembaga ini berubah nama dan karakter dari sebuah institut yang
membatasi dirinya hanya pada kajian Agama (dalam hal ini Agama Islam)
menjadi sebuah Universitas. Perubahan ini tentu saja membawa konsekuensi
pada diperkenalkannya pada bidang-bidang ilmu sekuler seperti : IPA,
Psikologi, Matematika, Ekonomi, Teknik Informasi, Kedokteran, dll. Yang
dari sudut metodologis tentu memiliki perbedaan-prbedaan yang signifikan.
Perbedaan-perbedaan yang signifikan dari sudut metodologis ini pada
dasarnya telah menimbulkan problem-problem epistemologis dan hingga saat
ini belum lagi ditemukan solusi-solusinya yang tepat dan efektif.
Model integrasi ilmu ini ditunjukkan dengan diselenggarakannya
seminar nasional berkenaan dengan reintegrasi ilmu, yaitu seminar yang
diharapkan mampu memformulasikan model pendidikan integral yang sangat
dibutuhkan UIN dalam penyelenggaraan pendidikannya.model pendidikan
integral sangat dibutuhkan UIN dalam penyelenggaraan pendidikan dan telah
memberikan banyak masukan yang berharga tetapi tentu saja belum bisa
dinamakan memadai sebagai panduan praktis bagi penyelenggaraan proses
belajar-mengajar disana, sehingga masih dirasakan perlu untuk menyusun
sebuah karya yang lebih sistematis dan terpadu bagi setiap fakultas yang
mengelola bidang atau program studi tertentu.
Model integrasi yang dikembangkan oleh UIN Jakarta terlihat lebih
bersifat taktis-pragmatis, karenanya warna integrasi yang terlihat pada
masing-masing program studi dan bidang keilmuan sangat beragam. Secara

antologi, model integrasi UIN Yogyakarta menekankan ketiadaan dikotonomi


ilmu, dan prinsip bahwa pada dasarnya semua ilmu adalah Ilmu Islam, serta
pentingnya nilai Islam mewarnai setiap wacana keilmuan, dengan
personifikasi lulusan sebagai ulama yang intelek dan intelektual. Penjabaran
lebih lanjut diserahkan pada proses akademik pada masing-masing program
studi bidang keilmuan itu. Dengan demikian, meskipun menggunakan konsep
Integralisme, namun tampaknya implementasi yang terjadi lebih simetris
dengan pandangan dialog sebagaimana dimaksud oleh Barbour. Konsep
integrasi keilmuan UIN Jakarta tidak dijabarkan lebih jauh menjadi bagian
dari sistem akademik, dan dengan demikian tidak menjadi aspek penting
dalam sistem penjaminan mutu perguruan tinggi di UIN Jakarta tampaknya,
model integrasi UIN Jakarta lebih menekankan pada aspek aksiologi, dengan
memberikan penekanan pada nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan yang
universal.5
D. Konsep UIN Yogyakarta
Model integrasi yang dikembangkan oleh UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta terlihat lebih memiliki spektrum yang lebih luas dan moderat dari
aspek epistemologi kajian dan pengembangan keilmuan. Secara epistemologi
uin yogyakarta menawarkan beragam bentuk integrasi dalam model kajian
yang bervariasi yang direpresentasikan dengan model jaring-jaring keilmuan,
secara praktis, uin yogyakarta mengenal kajian informatif, konfirmati, atau
klarifikativ, maupun korektif.
Disamping itu, dalam konteks praktis dapat dilakukan similarisasi,
paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi, serta virifikasi.
Rentang model kajian yang bervariasi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
bidang keilmuan di masing-masing program studi ini, menjadikan uin
yogyakarta terlihat lebih moderat dan memiliki spektrum yang lebih luas
dalam hal model integrasi keilmuan keseluruhan spektrum model kajian
tersebut sesungguhnya tidak hanya mencakup pandang integrasi Barbour,
tetapi juga pandangan dialog, terutama pada model kajian informatif, maupun
5Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, (Jakarta: Arasy Milan Pustaka, 2005), hlm. 1516.
5

similarisasi dan paralelisasi. Luasnya spektrum model kajian integrasi


tersebut, tampaknya menjadi salah satu kendala bagi diperolehnya capaian
hasil implementasi yeng lebih konsisten.
Terdapat berbagai kendala teknis dalam implementasi di berbagai
program

studi.

Meskipun

konseptualisasi

integrasi

keilmuan

telah

diterjemahkan menjadi bagian dari kebijakan akademik dan pengembangan


keilmuan, dan hal ini terlihat dari content kurikulum maupun sap perkuliahan
yang telah dibakukan, bahkan telah dimasukkan sebagai bagian dalam sistem
penjaminan mutu, namun proses supervisi dan evaluasi terhadap capaian
implementasi integrasi keilmuan belum prioritas perhatian. Namun demikian,
terdapat kegagalan lain yang ditawarkan oleh model integrasi uin yagyakarta.
Model integrasi uin yogyakarta tidak semata memperhatikan relasi dan
integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam bentuk integrasi interkonektif,
tetapi juga memberikan perhatian integrasi sesama cabang-cabang ilmu
agama dengan konsep intrakonektif.6
E. Konsep UIN Malang
Armahedi mahzar mencermati pandangan ini bahwa dalam hubungan
integratif memberikan wawasasn yang lebih besar mencakup sains dan agama
sehingga dapat bekerja sama secara aktif bahkan sain dapat meningkatkan
keyakinan ummat beragama dengan dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu
atau pengalaman mistis. Sebagai contoh adalah maurice bucaille yang
melukiskan tentang persejajaran deskripsi ilmiah modren tentang alam
dengan deskripsi al-quran tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang
dianggap memberikan dukungan objektif ilmiah pada pengalaman subjektif
kegamaan.
Pengakuan keabsahan klaim sain maupun agama ini atas dasar
kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang
alam. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi
ini. Pendekatan pertama berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti
konklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan
kesadaran akan eksistensi tuhan. Pendekatan kedua yaitu, dengan menelaah
6 Ibid, hlm 19-20
6

ulang doktrin doktrin agama dalam relefansinya dengan teori-teori ilmiah,


atau kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan
ulang sesuai dengan penemuan sains terkini lalu pemikiran sains keagamaan
ditafsirkan dengan filsafat prosese dalam kerangka konseptual yang sama.
Mengacu pada teori tentang pandangan integrasi barbour diatas, model
integrasi keilmuan yang dikembangkan oleh UIN

malang denagn

konseptualisasi pohon keilmuannya terlihat lebih konsisten dalam hal


konseptualisasi maupun implementasi. Secara ontologi, epistomologi maupun
aksiologi model integrasi keilmuan UIN Malang dapat direpresentasikan oleh
visualisasi pohon keilmuan dan profil ulul al-bab yang ditejemahkan sebagai
ulama inteleg yang frofesional.
Kekuatan konsep integrasi keilmuan tersebut kemudian ditunjang oleh
kepemimpinan yang kuat, administrasi akademik dan kurikulum yang lebih
sistematis, serta sistem penjaminan mutu yang konsisten. Hal ini juga terlihat
dari produk karya ilmiah dosen dan mahasiswa yang dihasilkan dalam bentuk
buku, dalam laporan penelitian, maupun sikripsi mahasiswa. Kepemimpinan
yang kuat, managemen akademik yang rapi dan sisitem penjaminan mutu
yang konsisiten menjadi kunci bagi keberhasilan implementasi integrasi
keilmuan di UIN Malang.7
Perlu ditambahkan bahwa yang membedakan antara perguruan tinggi
Islam dan perguruan tinggi pada umumnya, adalah bukan lagi terletak pada
jenis ilmu yang dikembangkan, melainkan pada sumber di dalam
pengembangan ilmu itu sendiri. Mendasarkan pada konsep tersebut,
perguruan tinggi Islam seharusnya mengembangkan ilmu-ilmu alam, ilmuilmu sosial, humaniora dan bahkan juga teknologi. Hal yang membedakan
antara perguruan tinggi Islam dengan lainnya adalah terletak pada sumber
dalam mengembangkan ilmu. Perguruan tinggi Islam menggunakan dua
sumber sekaligus, yaitu ayat-ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Al
Qur'an dan hadits nabi adalah merupakan ayat-ayat qawliyah, sementara itu
hasil observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis adalah merupakan ayat
kawniyah.
7 Ibid, hlm, 22-23
7

F. Kesimpulan
Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh.
Integrasi Ilmu adalah pemaduan antara ilmu-Ilmu yang terpisah menjadi satu
kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-Ilmuyang bercorak
Agama dengan ilmu-Ilmuyang bersifat Umum.
Islamisasi adalah menuju kepada proses pengislaman, dimana objeknya
adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.
Paradigma integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu dan model pendekatan
tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan, disebut
paradigma integrasi ilmu integratif.
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu
memiliki sisi kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga
tradisi yang sudah mapan, cenderung eksklusif, dan subjektif. Sementara ilmu
selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif, bersifat
inklusif, dan objektif.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 2006.
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Jakarta: Arasy Milan Pustaka, 2005.
M. Echlos, John dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia , Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Roswantoro, Alim, Paradigma Keilmuan UIN Yogyakarta dalam

Mengukir

Prestasi di Jalur Khusus, Yogyakarta : Penerbit Pendi Pontren Depag RI,


2007.

Anda mungkin juga menyukai