Disusun oleh :
Lusiani
M. Ngalaul Huda
Lailatul Fitriya
Ardan Legenda De A
Mirsa Ita D
Wahyu Setiawan
M Arif Rahman
Nur Rohmatuz Z
Siti Ziadatul M
135050100111011
135050100111025
135050100111029
135050100111093
135050100111189
135050100111212
135050100111225
135050100111240
135050100111255
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sapi perah merupakan jenis sapi yang memiliki tujuan produksi untuk
diperah untuk diambil susunya. Di Indonesia populasi ternak sapi perah masih
cukup rendah. Berdasarkan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
melaporkan bahwa tingkat populasi ternak sapi perah pada tahun 2015 (Angka
sementara) yaitu 525.000 ekor yang mana memiliki pertumbuhan 2015 terhadap
2014 berkisar 4.51%. jika dibandingkan dengan ternak sapi lainnya yaitu ternak
sapi potong, sapi perah masih sangat rendah. Populasi ternak sapi potong berkisar
15.494.000 ekor pada tahun 2015 (Angka sementara).
Pertumbuhan populasi yang lambat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah manajemen dari ternak sapi perah. Periode pertumbuhan
ternak sapi perah dibagi menjadi 4 periode, yaitu pedet pra sapih, pedet post sapih,
sapi laktasi dan sapi periode kering. Manajemen yang harus dijaga pada
perkembangan ternak sapi perah diantaranya adalah manajemen pakan,
perkandangan, bahkan sampai penyakit. Hal tersebut dikarenakan ternak sapi
perah memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi dibandingkan dengan ternak
potong.
Kualitas dan kuantitas susu dapat dipengaruhi oleh faktor fisiologis dan
faktor lingkungan. Faktor fisiologis meliputi bangsa, tingkat laktasi, interval
beranak dan umur. Faktor lingkungan meliputi pakan, masa kering, penyakit dan
obat obatan.
Mayoritas di beberapa kalangan tertentu upaya pemenuhan susu di
Indonesia sampai saat ini masih bergantung dari sapi perah. Namun tingginya
permintaan akan pemenuhan susu tidak diimbangi dengan produktivitas sapi
perah yang masih terbilang rendah.Tternak sapi perah merupakan ternak golongan
ruminansia besar dimana dalam hal pemenuhan pakan masih terbilang mudah
meskipun dalam pemberian pakannya masih harus diseleksi agar pakan yang
diberikan berkualitas tinggi sehingga memicu peningkatan produksi susu sapi
perah.
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia biasa dikembangkan oleh
masyarakat Indonesia sebagai mata pencaharaian tetapi masih dalam skala kecil.
Peternakan sapi perah memiliki tujuan produksi sebagai penghasil susu ataupun
bisa juaga menjadi penghasil daging apabila masa laktasinya sudah berakhir.
Namun permintaan akan susu sangatlah tinggi sedangkan produktivitas sapi perah
untuk menghasilkan susu masih sangat terbatas, sehingga perlu adanya perbaikan
secara menyeluruh terkait produktivitas sapi perah.
Terbatas atau rendahnya produktivitas ternak sapi perah disebabkan oleh
kurangnya strategi peternak dalam hal pengelolaan meliputi manajamen
pemeliharaan berupa pakan yang masih diberikan hijauan ataupun konsentrat yang
berkualitas rendah oleh peternak, sistem perkandangan yang masih terbilang
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Pedet Pra Sapih
2.1.1 Pakan (susu) Pedet
Hasil pengamatan yang telah dilakukan dilapang menunjukkan bahwa
jenis sapi yang di pelihara oleh peternak Bapak Sutiyo di Kecamatan Bumiaji,
Batu adalah bangsa sapi PFH ( Peranakan Frisein Holland). Peternak mempunyai
ternak pra sapih 3 ekor, post sapih 2 ekor, 14 ekor laktasi dan 1 Pejantan Unggul
PFH yang dipelihara sendiri oleh Bapak Sutiyo. Pada manajemen pemeliharaan
pedet dibagi menjadi dua, yakni manajemen pedet Pra Sapih dan Post Sapih,
perbedaan perlakuan yang dilakuakan mulai dari perbedaan pakan, kandang dan
pemeliharaan. Pada pedet Pra Sapih yang berumur 0 4 bulan manajemen
pemberian pakan yakni masih diberi colostrum. Hal tersebut sesuai dengan
Imran ( 2012) bahwa pada kinerja ternak sangat dipengarui oleh jumlah dan
kualitas pakan yang diberikan. Ketersediaan protein pada pedet sangat penting
dilakukan karena protein merupakan komponen terpenting untuk pertumbuhan
ternak, dan protein tersebut bisa didapatakan pedet melalau susu dari induk.
Pemberian susu induk dilakukan dua kali sehari yaitu pada pukul 7.00 WIB dan
16.00 WIB. Berikut tabel 2 hasil pengamatan konsumsi pakan (susu) pedet
prasapih
Tabel 2. Konsumsi Susu Pedet Pra Sapi (Pagi dan Sore)
Konsumsi
Jumlah
Susu induk
Tak terbatas
Pada manajemen pemberian pakan pada pedet prasapih peternak tidak
menggunakan pakan seperti hijauan maupun konsentrat pada ransumnya karena
pedet masih belum bisa dalam mencerna serat kasar dalam kadar yang relatif
tinggi. Hal tersebut sesuai dengan Kuswandi (2006) bahwa pada saat pedet hanya
mengkonsumsi susu dari induknya saja, jika pedet diberikan hijauan dapat
menyebabkan terganggunya pencernaan dikarenakan bakteri dalam rumen masih
belum aktif bekerja selain itu jika dalam rumen masih mengandung lemak tinggi
dapat menurunkan kecernaan serat pada hijauan. Hal itu terjadi karena lemak
sudah terurai terlebih dahulu didalam rumen. Pemberian teknologi pakan berupa
creep feeding / pemberian pakan tambahan pada pedet pra sapih dengan sumber
bahan lokal yang bertujuan untuk perbaikan bobot badan pedet. Bahan tambahan
tersebut bisa berupa dedak padi.
2.1.2 Bobot Badan
Tabel 4. Bobot Badan Pedet Prasapih
Bobot badan
90 100 kg
Lingkar dada
80 cm
Pada praktikum lapang ini juga dilakukan pengukuran pada pedet meliputi
pengukuran lingkar dada dan panjang badan untuk mengetahui bobot badan pedet.
Hal tersebut sesuai dengan Setyoningsih (2009) bahwa untuk melakukan
parameter genetik dapat diketahui melalui sifat genetik dengan cara pengukuran
bobot badan dan di estimasi menggunakan pengkuran lingkar dada. Bobot badan
pada pedet sangat berhubungan dengan pemberian pakan pada pedet, melalui
pakan yang baik maka akan terjadi peningkatan bobot harian dan skor kondisi
tubuh pada pedet. Hal tersebut sesuai dengan Affandi ( 2013) bahwa kebutuhan
nutrisi pedet terdiri atas kebutuhan hidup pokok hingga untuk memperoleh
pertambahan bobot maksimal yang berasal dari deposit protein. Bobot pedet rata
rata yakni 34,29 kg dengan pertambahan harian 0,87 jika di berikan pakan dengan
kualitas yang baik dan ditunjang dengan lingkungan yang nyaman. Dalam
pengkuran lingkar dada dan panjang badan dpedet dapat digunakan mistar dengan
cara melingkarkan pada sekelilng tubuh pedet, hal tersebut sesuai dengan
Anggraeni ( 2008)pada pengukuran lingkar dada dengan cara melingkarkan mistar
pada sekeliling rongga dada dan sekeliling bahu ( Os.Scapula ).
2.1.3 Kandang
Selain manajemen pemeliharaan melalui pakan, peternak juga mengatur
kandang yang terdapat dalam lokasi peternakannya, dari hasil pengamatan
terdapat 2 macam kandang, yakni kandang pedet dan kandang koloni. Kandang
pedet digunakan untuk pedet yang beumur 0 4 bulan sebelum akhirnya
dipindahkan dalam kandang koloni. Hasil pengamatan didapat bahwa ukuran
kandang pedet yakni 1 x 1,5 m/ ekor. Kandang tersebut terbuat dari kayu dan ada
celah antar kayu, serta berbentuk panggung agar kotoran pedet langsung jatuh
kebawah. Hal tersebut sesuai dengan Randy ( 2008) bahwa kandang pedet
berukuran dengan panjang 180 cm lebar 89 cm dan tinggi 10 cm, namun pada
lantai kandang diberi bedding atau serbuk gergaji dengan ketebalan 10 cm yang
berfungsi sebagai penghangat tubuh pedet di waktu malam dan sebagai bantalan
bagi tubuh pedet agar tidak terluka. Pada kandang pedet milik Bapak Sutiyo juga
dilengkapi tempat pakan dengan ukuran panjang 297 cm dan lebar 70 cm, namun
tempat pakan tersebut terletak dalam kandang pedet koloni. Hal tersebut juga di
dukung oleh Randy( 2008) bahwa kandang pedet kelompok di khususkan untuk
pedet umur lebih dari 3 bulan sampai 6 bulan. Kandang tersebut juga dilengkapi
tempat pakan dengan ukuran panjang 245 cm, lebar 44,5 m dan tinggi 34 cm.
Hasil survey terhadap lokasi peternakan sapi perah bapak Sutiyo
menunjukkan bahwa pada kandang pedet faktor kebersihan sangat kurang, hal
tersebut bisa dilihat dari masih banyaknya kotoran yang menempel pada pedet,
selain itu pada kandang pedet juga tidak dilengkapi bedding sebagai penghangat
dan lokasi kandangnya berada diluar dan agak jauh dari indukannya dan tidak
menghadap sinar matahari. Hal tersebut kurang sesuai dengan Syaifudin( 2013)
bahwa syarat kandang yang baik yaitu bahan bangunan kandang harus ekonomis,
tahan lama, dan tidak menimbulkan refleksi panas pada ternak. Kandang juga
harus memberikan kenyamanan bagi ternak dan peternaknya, ventilasi udara harus
cukup serta mudah untuk di bersihkan. Selain itu penentuan arah bangunan
kandang juga berpengaruh terhadap kesehatan pedet, pada kandang tunggal
seperti kandang pedet sebaiknya menghadap ke timur hal ini bertujuan agar sinar
matahari pagi dapat masuk untuk membantu proses pembentukan vitamin D
dalam tubuh serta pembasmi bibit penyakit.
2.2Pedet Post Sapih
2.2.1 Pakan Dan Minum Pedet
Pedet yang terdapat pada peternakan sapi perah Bapak Sutyo berjumlah 2
ekor pedet pos sapih yang berumur 5 bulan dan 10 bulan. Pedet tersebut
diberikan pakan yang sesuai dengan proporsi pakan untuk pedet pada umumya.
Pakan yang diberikan sama dengan jenis pakan yang diberikan pada sapi dewasa
pada umumnya. Hanya saja jumlah yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan
dari pedet. Tidak terdapat perlakuan yang khusus pada pakan untuk pedet berumur
5 bulan dan pedet yang berumur 10 bulan. Pakan rumput dan konsentrat mulai
dikenalan pada pedet sejak umur 2,5 bulan atau 10 hingga 11 bulan. Hal ini sudah
seuai dengan pendapat Keles et al (2014) yang menyatakan bahwa pengenalan
pedet pada pakan dilakukan pada saat sapi berumur 8 minggu yang dilanjutkan
dengan proses penyapihan pada umur 10 minggu. Penyapihan tersebut dapat
dilakukan sesuai dengan pertumbuhan organ pencernaan dari pedet. Pada umur 8
minggu, rumen sapi sudah mulai tumbuh sempurna sesuai dengan fungsi dari
rumen, sehingga pencernaan hijauan dapat berlangsung dengan baik dan efektif.
Pemberian pakan dan minum pada pedet dilakukan secara terjadwal yaitu
2 kali sehari. Pemberian pakan hijauan dan konsentrat juga diberikan sebanyak 2
kali sehari. Komposisi yang diberikan juga sesuai dengan kebutuhan pedet. Pedet
diberikan komposisi yang sama dengan komposisi pada sapi dewasa. Hal ini
sesuai dengan pendapat dari Jasper and Weary (2012) yang menyatakan bahwa
komposisi yang baik pada pemberian pakan pada pedet sapi perah ialah 60:40.
Komposisi ini juga sering dikatakan sebagai komposisi yang ideal untuk sapi
perah. Kebutuhan pakan yang diperlukan oleh sapi pada umunya dalah 10% dari
bobot badannya.
Bentuk pakan yang diberikan adalah hijauan segar yang ditambah dengan
konsentrat.Pemberian ini dilakukan selama persediaan hijauan masih mencukupi.
Peternak tidak memberikan pakan berupa silase pada pedet dikarenakan dapat
menimbulkan kembung. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa pemberian pakan
yang mengandung kadar air yang terlalu banyak dapat menyebabkan mencret
pada pedet hingga menyebabkan kematian (Boultonet al, 2015). selain itu, tingkat
kematian pedet akibat mencret dapat mencapai 11,3%, apabila kematian pedet
mencapai 20%, maka dapat dikatakan peternakan tersebut telah gagal. Mencret
pada pedet juga merupakan sebuah hal yang ditakuti oleh peternak, karena tingkat
kematian yang paling banyak pada pedet disebabkan oleh mencret kembung dan
penyakit pencernaan yang lain. Maka dari itu pakan dan minum yang diberikan
juga harus terjag kebersihannya. Pemberian pakn dan minum yang telah tercemar
oleh mikroba dapat menyebabkan pedet mengalami gangguan pencernaan akibat
kontaminasi mikroba. Yang paling sering terjadi adalah mencret, dan terkadang
disertai dengan lendir, warna yang berbeda dari feces normal, bau asam yanng
menyengat dan bahkan diserti dengan bercak darah. Hal yang paling penting
untuk diperhatikan pada pedet ialah pencernaan pedet yang sensitif. Maka dari itu
diperlukan manajemen yang khusus terhadap pemberian pakan dan minum pada
pedet pra sapi maupun pos sapih. Hal ini dibutuhkan hingga organ pencernaan
pedet sudah berkembang dengan baik dan berfungsi degan sempurna.
2.2.2 Bobot Badan
Pedet yang dimiliki mempunyai bobot badan berkisar antara 207 kg pada
pedet umur 5 bulan dan 250 kg pada pedet berumur 10 bulan. Bobot badan ini
terbilang sesuai dengan standart pertumbuhan pedet pada usia tersebut. Rata-rata
pertumbuhan pedet pos sapih dapat mencapai 100 kg pada usia 7 minggu
(Changa et al, 2012). pertumbuhan ini disebabkan oleh manajemen pemberian
pakan dan juga penanganan penyakit yang baik sehigga bobot badan dari pedet
dapat terjaga dan tidak mengalami oertumbuhan yang tidak sesuai dengan
pertumbuhan pedet pos sapih pada umumnya. Ketidak normlan pada bobot badan
sapi dapt terjadi apabila manajemen pemberian pakan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dilakukan. Kemungkinannya adalah pedet memiliki bobot yng kurang
atau pedet mengalami bobot yang berlebih.
Pedet yang dimilki memiliki bobot lahir yang normal, sehingga pada
pertumbuhannya pedet dapat tumbuh dengan normal pula. Tercata bhawa bobot
lahir dari pedet yang dimiliki ialah berkisar antara 38kg hingga 45kg. Hal ini
sesuai dengan peryataan bahwa bobot lahir sapi perah pada umumya adalah 40kg
(Verwer and Kok, 2013). bobot lahir sangat menentukan model pertumbuhan yag
akan dialami oleh sapi. Dapat diprediksi bahwa sapi dengan bobot lahir yang baik
menandakan bahwa sapi akan tumbuh dengan baik dan dapat mencapai bobot
badan yag ideal pada saat dewasa. Pertumbuhan dan bobot lahir memiliki nilai
yang berbanding lurus. Selain dari bobot lshir, pertumbuhan sapi juga dapt
diprediksi dari bobot sapihnya. Sebuah pernyataan menyatakan bahwa obot sapih
dapat dijadikan olok ukur untuk seleksi sapi unggul dikarenakan pertumbuhan
sapi disaat belum disapih menunjukan performa yang bagus. sehingga dapat
dikatan bahwa pemilihan sapi juga dapat ditentukan dengan melihat bobot lahir
dan bobot sapih eeekor sapi sebagai nilai performa sapi tersebut.
Sapi yang dimiliki oleh responden memiliki bobot badan yang sudah
sesuai dengan bobot sapih pada umunya, hal ini dikarenakan manajemen yang
baik dari peternak yang terutama pada pakan. Salah satu kunci keberhasilan dalam
memanjemen pedet ialah dengan cara mengetahui tipe pncernaan yang dimiliki
pleh pedet. Peternak memberikan pakan yang kaya protein pada saat sebelum dan
sesudah disapih dengan memberikan ampas tahu. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Gulliksen et al,(2009) yang menyatakan bahwa pakan yang sesuai
untuk pedet ialah pakan yang mudah dicerna melalui proses enzimatik, karena
lambung yang aktif pada fase ini adalah abomasum.
2.2.3 Kandang
Kandang pedet pos sapih yang dimiliki oleh responden adalah tipe
kandang kelompok yang memiliki tipe tempat pakan tail to tail, yang
dimaksudkan agar sapi dapat terfokus untuk makan tanpa ada ancaman dari sapi
lain. Kandang pedet terpisah dari kandang sapi dewasa. Letaknya bersebelahan
dari kandang sapi dewasa dan laktasi. Hal in bertujuan untuk menghindari sifat
agonistik dari sapi dewasa terhadap pedet yang ada. Apabila pedet diletakan pada
kandang yang sama dengan keadaan pedet sudah mampu makan sendiri, maka
pedet akan beresiko untuk stres karena berebut pakan dengan sapi dewasa. Hal in
sesuai dengan peryataan bahwa lokasi kandang yang ideal adalah terpetak sesuai
dengan fungsinya, suatu peternakan yang ideal setidaknya harus memiliki
kandang sapi laktasi, kandang dara, kandang pedet pra sapih, kandang pedet pos
sapih, kandang isolasi, kandang beranak, dan instalasi pemerahan (Lynch et al
2011). dengan adanya letk kandang yag sesui funsinya tersebut maka sapi dapat
termaajemen dengan baik.
Tipe kandang yang dimiliki memiliki lantai dengan bahan cor kasar yang
diperuntukan untuk menghindari pedet terpeleset akibat licin. Lantai memiliki
kemiringan tertentu untuk membuan feces dan urine lagsung menuju selokan yang
terdapat dibelakang dari pedet. Lantai kandang setidak tidaknya harus memiliki
kemiringan sebesar 4 hingga 6 derajat. Angka tersebut ditujukan agar sapi tetap
merasa nyaman dengan keadaan lantai namun kotoran tetap dapat terbuang
dengan baik menuju saluran pembuangan. Berdasarkan hasil pegamatan, kotoran
pada kandang dibersihkan 2 kali dalam sehari semalam. Dilakukan pada pagi dan
sore hari. Proses pembersihan dilakukan untuk menghindari kontaminasi mikroba
pada pakan ataupun bagian tubuh dari pedet. Permasalahan sanitasi sering
mengakibatkan terjadinya penyakit yang berujung pada kemtian sapi. Contohnya
adalah bakteri salmonela dan E. coli yag sering menyebabkan penyakit pencernan.
Permasalahan sanitasi menyebabkan tingkat kematian pada sapi yang cukup tinggi
yaitu 10% yang pada umunya terjadi pada pedet (Berry et al, 2011). hal ini
mencakup keseluruhan aspek meliputi sanitasi pakan yang presentasinya paling
besar dan bau menyengat dari kotoran serta cemara dalam bentuk lain yang
menyebabkan kematian.
Model bangunan kandang untuk pedet didesain dengan tembok yang
membatasi dalam dan luar bangunan. Hal ini bertujuan untuk menghindari terpaan
angin langsung kepada pedet. Pedet yang terpapar angin terlalu sering dapat
mengalami kembung. Kembung termasuk kejadian yang berbahaya bagi pedet.
ini sesuai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa sapi FH dewasa laktasi
yang dipelihara dengan baik dapat memproduksi susu sebanyak 38-40 liter/hari.
Hal ini merupakan bukti bahwa sapi perah yang memiliki darah FH semakin
banyak maka produksinya dapat menyerupai sapi FH yang sebenarnya.
Tingkat konsumsi sapi perah yang dimiliki responden terbilang cukup
rendah jika dibandingkan dengan sapi Eropa. Konsumsi harian hanya mencapai
40kg/hari, sedangkan sapi FH Eropa dapat mengkonsumsi pakan lebih dari
40kg/hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa konsumsi harian sapi FH
dengan bobot badan 800kg mencapai 80kg/hari (Cobuci and costa, 2012).
Tingkat konsumsi pakan ini sesuai dengan teori yang sering dijadika patokan oleh
peternak. Pada penerapannya, pakan diberikan tidak sesuai dengan teori. Pakan
diberikan secara terbatas oleh responden.
2.3.2 Tingkat Laktasi dan Umur Sapi
Sapi yang terdapat pada peternakan yang dimiliki oleh responden
merupakan sapi dewasa yang sedang dalam periode laktasi. Produksi susu ratarata mencapai 18-20 liter/ hari menandakan bahwa sapi sedang dalam masa laktasi
awal. Dibandingkan produksi rataan sapi di Indonesiaa hanya mencapai angka 20
liter/hari maka dapat disimpulkan bahwa sapi sedang masa awal laktasi. Masa
laktasi sapi beragam. Bebrapa sapi mengalami masa laktasi kedua, ketiga, hingga
masa laktai kelima. Menurut responden, produksi susu mencapai puncaknya
ketika masa laktasi ketiga dan keempat. Hal ini esuai dengan pendapat bahwa
pendewasaan sapi dapat tercapai pada usia 4 tahun hingga 6 tahun (Piccione et al,
2012). Dapat disimpulkan bahwa pada saat itu sapi sedang mengalami masa
laktasi yang ketiga hingg keempat. Pernyataan tersebut juga didukung dengan
catatan produksi yang menunjukan bahwa produksi sapi sangat stabil pada usia
terebut.
Produksi susu yang dimiliki oleh peternak berkisar 22 liter/hari untuk sapi
berumur 5tahun merupakan produksi yang cukup jika dibandingkan dengan umur
dan tingkat produksi. Umur sapi pada saat pertama laktasi pada peternakan
responden rata-rata adalah 2,5 tahun. Hal ini disebabkan dewasa tubuh dan
dewasa kelamin sapi mencapai optimum pada usia 1,5 tahun hingga 2 tahun. Hal
ini sesuai dengan pendapat bahwa umur perkawinan pertama sapi yang paling
optimum adalah 20 bulan (Sorensen et al, 2008). Beberapa faktor yang
mempengaruhi umur pertama kawin adalah kedewasaan umur dan bobot badan.
Umur dan bobot badan dapat mencapai optimum pada umur 20 bulan. Capaian
tersebut sangat diengaruhi oleh nutrisi pakan. Hunbungan yang paling erat dengan
ini adalah bobot badan. Bobot badan yang tinggi akan mempercepat dewasa
tubuh, akan tetapi tidak mempercepat dewasa kelamin. Bobot badan yang berlebih
juga mempengaruhi kecepatan pertumbuhan organ reproduksi. hal tersebut juga
didukung oleh pendapat yang menyatakan bahwa pertumbuhan organ reproduksi
semakin cepat jika diimbangi dengan oleh petumbuhan secara menyeluruh dan
3,5
396,01
181
Lola
3,5
412,09
185
Enis
3,5
384,16
178
Muji
3,5
449,44
194
Yayuk
3,5
384,16
178
Produksi
Pagi
Sore
Singo
10 Liter
6,5 Liter
Lola
16 Liter
12 Liter
Enis
10 Liter
6,5 Liter
Muji
10 Liter
6,5 Liter
Yayuk
16 Liter
12 Liter
Mengikat ekor
Mencuci ambing dan puting (Tridjoko, 2012)
Dan dikatakan bahwa sebelum pemerahan dimulai, pemerah dianjurkan
mencuci tangan bersih dan mengeringkannya. Selain itu, kuku tangan pemerah
dipotong pendek agar tidak melukai puting sapi. Dan sapi yang akan diperah
dibersihkan dari segala kotoran, tempat dan peralatan harus disiapkan dan
dengan keadaan bersih.
Setelah itu, menenangkan sapi, mengikat ekornya dan mencuci ambing
dengan air hangat. Dalam pemerahan juga dianjurkan memassage atau memijat
pelan pada ambing sapi agar merangsang keluarnya susu. Sebelum pemerahan
juga wajib menyiapkan alat pembersih kandang dan sanitasi ternak
(Rosiyadi,2010)
Setelah semua tahap persiapan dilakukan, maka siap dilakukan pemerahan
pada sapi. Hal tersebut sesuai dengan perlakuan yang ada di peternakan Bapak
Tio, Bumiaji. Persiapan meliputi persiapan alat kebersihan hingga mencuci
ambing pada sapi dengan menggunakan air hangat. Setelah itu dilakukan
pemerahan.
Proses pemerahan
Pemerahan adalah tindakan mengeluarkan susu dari ambing hewan ternak.
Pemerahan sendiri memiliki tujuan untuk mendapatkan produksi susu yang
maksimal. Dalam pemerahan dapat dilakukan dengan menggunakan tangan
ataupun dengan mesin pemerah. Metode pemerahan dengan tangan antara lain
yaitu whole hand milking, kneevelen dan streppen. Diantara ketiga metode
tersebut yang terbaik yaitu menggunakan metode whole hand milking dan
apabila tidak karena sesuatu hal maka hendaknya menggunakan metode
tersebut.
Metode pemerahan menggunakan tangan harus dilakukan dengan
memegang pangkal puting susu antar ibu jari dan jari tengah, kedua jari kita
tekan pelan, menariknya kebawah hingga air susu keluar dan cara yang
mempergunakan lima jari yaitu ibu jari diatas dan keempat jari lainnya
memegang puting, menariknya dengan pelan hingga susu dapat keluar dengan
baik.
Hal ini sesuai dengan keadaan di lapang yaitu di peternakan milik bapak
Tio , menggunakan sistem pemerahan manual yaitu menggunakan tangan. Dan
metode pemerahan menggunakan kneevelen.Pemerahan yang baik dilakukan
dengan cara yang benar dan alat yang bersih. Tahapan-tahapan pemerahan
harus dilakukan dengan benar agar sapi tetap sehat dan terhindar dari penyakit
yang akan dapat menurunkan produksi susu nya (S.N Kasim, 2011)
Pasca Pemerahan
Setelah proses persiapan hingga pemerahan selesai, maka dilakukannya
diping atau penuntasan pemerahan agar tidak menimbulkan penyakit mastitis.
Setelah didapatkan air susu dilakukan pengukuran pada susu tersebut. Yaitu
pengukuran meliputi berat jenis, kadar lemak susu. Selain itu juga diharapkan
mencelupkan puting sapi kedalam larutan disinfektan untuk menghindari mastitis.
Hal ini sesuai dengan kondisi di lapang yaitu di peternakan Bapak Tio,
mencelupkan puting ke dalam disinfektan setelah proses pemerahan.
2.3.11 Penyakit
Gangguan dan penyakit dapat mengenai ternak sehingga untuk membatasi
kerugian ekonomi diperlukan control untuk menjaga kesehatan sapi menjadi
sangat penting. Manjememen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi
kesehatan sapi perah. Gangguan kesahatan pada sapi perah terutama berupa
gangguan klinis dan reproduksi. Gangguan reproduksi dapat berupa hipofungsi,
retensi plasenta,kawin berulang, endometritis dan mastitis baik kilnis dan
subklinis.
Sesuai dengan keadaan yang terjadi di lapang yaitu di peternakan milik
bapak Tio, penyakit yang sering dialami pada ternak sapi Frisian Holstein yaitu
mastitis , namun pada saat kunjungan praktikum tidak ditemukan sapi yang
mengalami mastitis. Sesuai yang dikatakan pak Tio sendiri, mastitis yang biasanya
ada pada sapi yaitu dikarenakan sanitasi kandang yang kurang baik, karena jika
kandang kurang terjaga kebersihannya, dan sapi saat posisi beristirahat atau
duduk, puting sapi akan bersentuhan secara langsung dengan lantai kandang.
Maka dari itu keadaan lantai kandang harus bersih dan terjaga agar saat posisi sapi
beristirahat atau duduk, puting sapi tidak tercemar oleh bakteri dan
mengakibatkan mastitis.
Dan menurut (S.N Kasim, 2011) mastitis atau infeksi glandula mamaria
merupakan predisposisi hilangnya kesempatan bunting akibat siklus luteal normal
yang tergangggu. Sapi dengan kasus mastitis pada 45 hari pertama postpartus
memiliki nilai 2,7 kali lebih besar terjadi abortus dibanding yang tidak menderita
mastitis.Hasil dari sebuah penelitian menunjukkan mekanisme mastitis yang
berhubungan dengan kebuntingan adalah karena adanya sekresi PGF2. Faktanya
adalah; 1. Kuartir percobaan yang mengandung mastitis coliform memiliki
konsentrasi PGF2 yang lebih besar daripada kuartir kontrol, 2. Infusi endotoxin
intravena meningkatkan konsentrasi prostaglandin dalam plasma darah,
thromboxane B2 dan kortisol, dimana konsentrasi progesteron menurun
2.3.12 Strees
Stres banyak dipengaruhi oleh lingkungan, Seperti sifat-sifat fisik
lainnya ,panas berpindah berdasarkan perbedaan konsentrasi, daerah dimana dia
berpindah dari daerah panas kedaerah dingin. Beberapa cara perpindahan panas
dapat terjadi antara dua obyek yang berbeda temperaturnya. Karakteristik
instristik dari makhluk hidup adalah kemampuan mereka untuk menjaga stabilitas
Susu merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi karena
mempunyai kandungan nutrisi yang lengkap antara lain lemak, protein, laktosa,
vitamin, mineral, dan enzim. Sebagai produk pangan yang kaya nutrisi, pH
mendekati netral dan kandungan airnya tinggi. Oleh karena itu susu sangat mudah
mengalami kerusakan akibat pencemaran mikroba. Susu segar adalah susu murni,
tidak mengalami pemanasan, dan tidak ada penambahan bahan pengawet. Susu
sapi segar mengandung air (87,25%), laktosa (4,8%), lemak (3,8%), kasein
(2,8%), albumin (0,7%), dan garam-garaman (0,65%). Selain itu perlu kita tahu
bahwa susu juga mengandung vitamin, sitrat, dan enzim. Susu sapi yang baik
memiliki warna putih kekuningan dan tidak tembus cahaya. Tridjoko (2012).
Sedangkan pada kondisi peternakan bapak Tio yaitu hanya diketahui memiliki
Berat Jenis 1,026
2.4 Sapi periode kering
2.4.1 Lama pengeringan
Pada sapi periode kering di peternakan responden menggunakan lama
waktu pengeringan selama 2 bulan 2,5 bulan. Hal ini sesuai dengan Anggraeni
(2010) bahwa lama kering memberi kesempatan sel-sel ambing beregresi,
proliferasi dan diferensiasi, sehingga periode iniesensial dalam menampilkan
kondisi prima bagi sapi betina menjalani laktasi berikutnya, pada umumnya
periode kering selama 2 bulan prepartum. Hal tersebut juga sesuai dengan
Weglarzy et al (2009) bahwa lama kering merupakan suatu periode ketikasel-sel
ambing tidak mensekresikan air susu diantara dua periode laktasi . Periode
tersebut esensial untuk memberi kesempatan sel-sel ephitel ambing beregresi,
proliferasi dan diferensiasi yang memungkinkan stimulasi produksi susu secara
maksimal
untuk
masa
laktasi
beriktnya.
Lamakering50-59hari
menghasilkanproduksi susu tertinggi, akan tetapi secara praktis tidak diperoleh
perbedaan besar apabila lama kering masih dalam kisaran 40-69 hari
2.4.2
Pakan
Pada sapi periode kering di peternakan responden pakan untuk sapi
periode kering adalah 3 kg rumput gajah dan ampas tahu 2,5 kg setiap sekali
pemberian. Dalam waktu satu hari sapi pada periode kering di beri pakan 2 kali.
Hal ini sesuai dengan D. ORouke et al (2009) bahwa pada fase awal kering
dimulai saat sapi dikeringkan hingga 2 3 minggu sebelum beranak. Pada fase
ini, sapi perah dengan kondisi baik hanya membutuhkan hijauan yang berkualitas
baik. Induk sapi yang kondisinya kurang baik membutuhkan makanan penguat
untuk memperbaiki kondisi akibat laktasi sebelumnya.
2.4.3
sesuai dengan Purwanto (2013) bahwa Body Condition Score (BCS) periode
kering tidak memiliki hubungan dan tidak menentukan variasi produksi susu di
BBPTU Sapi Perah Baturraden
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.1 Kesimpulan dan saran untuk lokasi praktikum
Kesimpulan :
Lokasi responden sudah baik memiliki jarak yang cukup jauh dari
pemukiman penduduk. Hal tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, A. 2010. Pengaruh Lama Kering Pada Produksi Susu Sapi Perah.
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia
Atabany, A., B. P. Purwanto., T. Toharmat., & A. Anggraeni. 2011.Hubungan
Masa Kosong Dengan Produktivitas Pada Sapi Perah Friesian Holstein
Di Baturraden,Indonesia. Media Peternakan: 77-82.
A.Yani & B.P. Purwanto. 2006. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons
Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland Dan Modifikasi Lingkungan
Untuk Meningkatkan Produktivitasnya (ULASAN). Journal Media
Peernakan Halaman 36-40
Berry, D.P., F. Buckley., and P. Dillon. 2011. Relationship between live weight and
body condition score in Irish Holstein-Friesian dairy cows. Irish Journal of
Agricultural and Food Research 50: 141-147
Boulton, Alana C., Jonathan Rushton., D. Claire Wathes. 2015. A Study of Dairy
Heifer Rearing Practices from Birth to Weaning and Their Associated
Costs on UK Dairy Farms. Open Journal of Animal Sciences. 5: 185-197.
Changa , Jelly Senyangwa., Torleiv Lken., Robinson H. Mdegela., Olav
Reksen.2012. Factors Associated with Body Weight Attainment in Calves
on Smallholder Dairy Farms in Tanzania. Open Journal of Veterinary
Medicine. 2: 66-73.
Cobuci , Jaime Araujo., Claudio Napolis Costa. 2012.Persistency Of Lactation
Using Random Regression Models And Different Fixed Regression
Modeling Approaches. Revista Brasileira De Zootecnia. Zoote, 41(9) :
1996-2004
Cole, J. B., and D. J. Null. 2009. Genetic evaluation of lactation persistency for
five breeds of dairy cattle. J. Dairy Sci. 92:22482258.
D. ORouke. 2009. Nutrition and Udder Health in Dairy Cows. Irish Veteriner
Journal: Vol 62 pp 15-20.
Edmonson, A. J., Lean, I. J., Weaver, L. D., Loid, J. W., Farver, T and Webster, G.
1989. A Body Condition Scoring Chart for Holstein Dairy Cows. J Dairy
Sci. 72: 68-70.
Ellingsen, Kristian., Cecilie M. Mejdell ., Nina Ottesen ., Stig Larsen ., Ann
Margaret Grndahl. 2015. The effect of large milk meals on digestive
physiology and behaviour in dairy calves. Physiology & Behavior.
Epaphras, A., Karimuribo, E. D. and Msellem, S. N. 2009. Effect of season and
parity on lactation of Crossbred Ayrshire cows reared under coastal
tropical climate in Tanzania. www.Irrd.org/Irrd16/6/epap16042.htm.
Tanggal Akses 15 Desember 2015.
Gulliksen , S. M., K. I. Lie., T. Lken., and O. sters. 2009. Calf mortality in
Norwegian dairy herds. J. Dairy Sci. 92:27822795
Jasper , J., and D. M. Weary. 2012. Effects of Ad Libitum Milk Intake on Dairy
Calves. J. Dairy Sci. 85:30543058.
Keles,A. E.,M. Gorgulu., And S. Goncu. 2014. The Effect Of Feeding Regime
Without Roughage During The Pre-Weaning Period On Pre- And
Postweaning Performance Of Dairy Calves. Bulgarian Journal Of
Agricultural Science, 20 (No 3): 675-679.
K. S. Schwartzkopf-Genswein,.2013. Effect Of Bunk Management On Feeding
Behavior, Ruminal Acidosis And Performance Of Cattle Feedlot. Journal
Of Animal Science
Kuswadi, D.A., Kusmaningrum dan Chalid. 2006. Pengaruh Kandungan Energi
Konsentrat terhadap Pertumbuhan Pedet Peranakan FH Lepas
Sapih.Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 1-4
Lynch, E.M., M. McGee., S. Doyle., and B. Earley. 2011. Effect of post-weaning
management practiceson physiological and immunological responsesof
weaned beef calves. Irish Journal of Agricultural and Food Research 50:
161174.
Magdalena Krbera. 2009. Phylogenetic Characterization Of A Biogas Plant
Microbial Community Integrating Clone Library 16S-Rdna Sequences And
Metagenome Sequence Data Obtained By 454-Pyrosequencing. Journal Of
Biotechnology. Vol142 Hal 38-49
Murti, T. W,. 2014.Ilmu Management dan Industri Ternak Perah. Bandung :
Pustaka Reka Cipta
Piccione , Giuseppe,, Vanessa Messina., Simona Marafioti., Stefania Casella.,
Claudia Giannetto., Francesco Fazio. 2012. Changes Of Some
Haematochemical Parameters In Dairy Cows During Late Gestation, Post
Partum, Lactation And Dry Periods. Veterinarija Ir Zootechnika (Vet Med
Zoot). T. 58 (80) : 59.
Purwanto, H., Sudewo, A.T.A., dan Utami, S. 2013. Hubungan Antara Bobot
Lahir dan Body Score Condition (BCS) Periode Kering dengan Produksi
Susu di BBTU Sapi Perah Baturrad. Jurnal Ilmiah Peternakan Vol 1(1): 134141.
Ramgattie, Reeza., Narendra Siew., Michael Diptee., Valerie Stoute., Marlon
Knights . 2014. Effect of mammary stimulation on dairy cows and heifers
exposed to a lactation induction protocol. Open Journal of Animal
Sciences. Vol.4, No.1, 1-12.
Randy.2008. Kegiatan Usaha Pemeliharaan Sapi Petah Di PT Taurus Dairy
Farm Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi.PKL Universitas Jendral
Soedirman 1-56.
Roosena Yusuf. 2010. KANDUNGAN PROTEIN SUSU SAPI PERAH FRIESIAN
HOLSTEIN AKIBAT PEMBERIAN PAKAN YANG MENGANDUNG
TEPUNG KATU (Sauropus Androgynus (L.) Merr) YANG BERBEDA.
Jurnal Ilmu Ilmu Peternakan. Vol 6 (1) : 1-6