Anda di halaman 1dari 31

A.

Pengertian Belajar, Ingatan, STM, LTM, Rehearsal, Retrieval dan Lupa


A.1 Belajar
Menurut Winkel, Belajar adalah semua aktivitas mental atau
psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dalam lingkungan, yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan pemahaman.
Menurut

Ernest

R.

Hilgard

dalam

(Sumardi

Suryabrata,

1984:252) belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan


sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya
berbeda dari perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya.
Sifat perubahannya relatif permanen, tidak akan kembali kepada
keadaan semula. Tidak bisa diterapkan pada perubahan akibat situasi
sesaat, seperti perubahan akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya.
Sedangkan Pengertian Belajar menurut Gagne dalam bukunya The
Conditions of Learning 1977, belajar merupakan sejenis perubahan yang
diperlihatkan dalam perubahan tingkah laku, yang keadaaannya berbeda
dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan
tindakan yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat adanya suatu
pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta
akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah.
Moh. Surya (1981:32), definisi belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksinya dengan lingkungan. Kesimpulan yang bisa diambil dari
kedua pengertian di atas, bahwa pada prinsipnya, belajar adalah perubahan
dari diri seseorang.
A.2 Ingatan
Ingatan atau sering disebut memory adalah sebuah fungsi dari
kognisi yang melibatkan otak dalam pengambilan informasi. Ingatan akan
dipelajari lebih mendalam di psikologi kognitif dan ilmu saraf. Pada
umumnya para ahli memandang ingatan sebagai hubungan antara
pengalaman dengan masa lampau. Apa yang telah diingat adalah hal yang
pernah dialami, pernah dipersepsinya, dan hal tersebut pernah dimasukkan

kedalam jiwanya dan disimpan kemudian pada suatu waktu kejadian itu
ditimbulkan kembali dalam kesadaran. Ingatan merupakan kemampuan
untuk menerima dan memasukkan (learning), menyimpan (retention) dan
menimbulkan kembali apa yang pernah dialami (remembering).
Dalam proses mengingat informasi ada 3 tahapan yaitu memasukkan
informasi (encoding), penyimpanan (storage), dan mengingat (retrieval
stage).
A.3 STM
Ingatan jangka pendek atau sering disebut dengan short-term
memory atau working memory adalah suatu proses penyimpanan memori
sementara, artinya informasi yang disimpan hanya dipertahankan selama
informasi tersebut masih dibutuhkan. Ingatan jangka pendek adalah tempat
kita menyimpan ingatan yang baru saja kita pikirkan. Ingatan yang masuk
dalam memori sensoris diteruskan kepada ingatan jangka pendek. Ingatan
jangka pendek berlangsung sedikit lebih lama dari memori sensoris,
selama anda menaruh perhatian pada sesuatu, anda dapat mengingatnya
dalam ingatan jangka pendek.
Dari ingatan jangka pendek ini, ada sebagian materi yang hilang,
sebagian lagi diteruskan ke dalam ingatan jangka panjang. Jika kita
mengingat kembali akan suatu informasi, informasi dari ingatan jangka
panjang tadi akan dikembalikan ke ingatan jangka pendek. Misal, pada
nomor telepon yang telah anda ulang terus sampai anda bisa
menuliskannya, dan nomor tersebut akan tetap tersimpan dalam memori
anda selama anda aktif memikirkannya. Jika anda berhenti memberikan
perhatian pada itu, maka akan terhapus dalam waktu 10-20 detik. Dalam
rangka untuk mengingat sesuatu berikutnya, otak mentransfernya ke
memori jangka panjang. Proses mengingat nomor telepon, pada
kenyataannya, suatu cara untuk memindahkan nomor dari memori jangka
pendek ke memori jangka panjang.
A.4 LTM
Ingatan jangka panjang (long term memory) adalah suatu proses
memori atau ingatan yang bersifat permanen, artinya informasi yang

disimpan sanggup bertahan dalam waktu yang sangat panjang. Kapasitas


yang dimiliki ingatan jangka panjang ini tidak terbatas. Memori jangka
panjang adalah gundangnya informasi yang dimiliki oleh manusia. Ingatan
jangka panjang berisi informasi dalam kondisi psikologis masa lampau,
yaitu semua informasi yang telah disimpan, tetapi saat ini tidak sedang
dipikirkan.
Informasi yang disimpan dalam ingatan jangka panjang diduga
dapat bertahan dalam waktu yang panjang bahkan selamanya. Kehilangan
ingatan pada ingatan jangka panjang ini hanya dimungkinkan apabila
seseorang mengalami kerusakan fungsional dari sistem ingatannya.
A.5 Rehearsal
Otak kita dapat melakukan beberapa proses untuk menyimpan apa
yang ada di Memori Jangka Pendek ke dalam Memori Jangka Panjang,
(rehearsal) (mengulang-ulang informasi di dalam benak kita hingga
akhirnya kita mengingatnya)
A. 6 Retrieval
Fungsi ketiga ingatan adalah berkaitan dengan menimbulkan
kembali hal-hal yang disimpan dalam ingatan. Proses mengingat kembali
merupakan suatu proses mencari dan menemukan informasi yang
disimpan dalam memori untuk digunakan kembali bila dibutuhkan.
Mekanisme dalam proses mengingat kembali sangat membantu organisme
dalam menghadapi berbagai persoalan sehari-hari. Seseorang dikatakan
Belajar dari Pengalaman karena ia mampu menggunakan berbagai
informasi yang telah diterimanya di masa lalu untuk memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi saat ini juga.
Proses mengingat kembali merupakan suatu proses mencari dan
menemukan informasi yang disimpan dalam memori untuk digunakan
kembali. Hilgrad (1975) menyebutkan tiga jenis proses mengingat, yaitu :
a. Recall yaitu mengeluarkan bagian spesifik dari informasi, biasanya
diarahkan dengan menggunakan cues. Selective attention adalah

membatasi perhatian pada stimulus tertentu ketika ada banyak stimulus


yang hadir pada situasi tertentu. Individu lebih memperhatikan
karakteristik fisik dari stimulus, contohnya adalah volume dan ritme
suara.
b. Recognition yaitu mengenali bahwa stimulus tertentu telah disajikan
sebelumnya. Contohnya Misalnya dalam soal pilihan berganda, siswa
hanya dituntut untuk melakukan recognition karena semua pilihan jawaban
sudah diberikan. Siswa hanya perlu mengenali jawaban yang benar di
antara

pilihan

yang

ada.

c. Redintegrative yaitu proses meningat dengan menghubungkan berbagai


informasi menjadi suatu cerita yang cukup lengkap. Proses ini terjadi bila
seseorang ditanya sebuah nama, misalnya Susilo Bambang Yudhoyono
(presiden RI), maka akan teringat banyak hal tentang tokoh tersebut.
A.7 Lupa
Kelupaan terjadi karena materi yang disimpan dalam ingatan itu jarang
ditimbulkan kembali dalam alam kesadaran yang akhirnya mengalami
kelupaan. Hal itu dikarenakan interval merupakan titik pijak dari teoriteori tentang kelupaan.

B. Proses Terjadinya Lupa


Ada lima teori lupa, yaitu:
1.

Decay Theory (Atropi), teori ini beranggapan bahwa memori menjadi

semakinaus dengan berlalunya waktu bila tidak pernah diulang kembali


(rehearsal). Informasi yang disimpan dalam memori akan meninggalkan jejakjejak (memory trace) yang bila dalam jangka waktu lama tidak ditimbulkan
kembali dalam alam kesadaran, akan rusak atau menghilang.

2.

Teori Interferensi, teori ini menitikberatkan pada isi interval. Teori ini

beranggapan bahwa informasi yang sudah disimpan dalam memori jangka


panjang masih ada dalam gudang memori (tidak mengalami keausan), akan tetapi
jejak-jejak ingatan saling bercampur aduk, mengganggu satu sama lain. Bisa jadi
bahwa informasi yang baru diterima mengganggu proses mengingat yang lama,
tetapi juga terjadi sebaliknya.
Bila informasi yang baru kita terima menyebabkan kita sulit mencari
informasi yang sudah ada dalam memori kita, maka terjadilah interferensi
retroaktif. Sedangkan, bila informasi yang kita terima sulit untuk diingat karena
adanya pengaruh ingatan yang sama, maka terjadi proses interferensi proaktif.
3.

Teori Retrieval Failure, teori ini sebenarnya sepakat dengan teori

interferensi bahwa informasi yang sudah disimpan dalam memori jangka panjang
selalu ada, tetapi kegagalan untuk mengingat kembali lebih disebabkan tidak
adanya petunjuk yang memadai. Dengan demikian, bila syarat tersebut dipenuhi
(disajikan petunjuk yang tepat), maka informasi tersebut tentu dapat ditelusuri dan
diingat kembali.
4.

Teori Motivated Forgetting, menurut teori ini, seseorang akan cenderung

berusaha melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Hal-hal yang menyakitkan


atau tidak menyenangkan ini akan cenderung ditekan atau tidak diperbolehkan
muncul dalam kesadaran. Jadi, teori ini beranggapan bahwa informasi yang telah
disimpan masih selalu ada.
5.

Lupa Karena Sebab-sebab Fisiologis, para peneliti sepakat bahwa setiap

penyimpanan informasi akan disertai berbagai perubahan fisik di otak. Perubahan


fisik ini disebut engram. Gangguan pada engram ini akan mengakibatkan lupa
yang mengakibatkan amnesia. Bila yang dilupakan adalah berbagai informasi
yang telah disimpan beberapa waktu yang lalu, yang bersangkutan disebut
menderia amnesia retrograd. Bila yang dilupakan adalah informasi yang baru saja
diterimanya, maka orang tersebut menderita amnesia anterograd.

C. Teori Tentang Belajar


Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagi prinsip umum atau
kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas
sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara
sekian banyak teori yang berdasarkan hasil ekspirimen terdapat tiga macam yang
sangat menonjol, yakni:Connectionism, Classical Conditioning, dan Operant
Conditioning. Teori-teori tersebut merupakan ilham yang mendorong para ahli
melakukan ekspirimen-eksipirimen lainnya untuk mengebangkan teori-teori baru
yang berkaitan dengan belajar seperti Contiguous Conditioning (Guthrie),
Sign Learning (Tolman), Gestalt Theory, dan lain sebagainya.
1)

Connectionism (Koneksionisme)
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan

dikembangkan oleh Edward L. Thorndika (1874-1949) berdasarkan ekspirimen


yang ia lakukan pada tahum 1890an. Ekkspirimen Thorndika ini menggunakan
hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak
berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel tersebut.
Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinan kucing tersebut
memperoleh makanan yang telah tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan bagian dalam sangkar yang tersebut puzzle box (peti teka-teki) itu
merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan
diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing
tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal
membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya,
entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan
terbukalah pintu sangkar tersebut. Ekspirimen puzzle boxini kemudian terkenal
dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari
berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran
yang dikehendaki (Hintzman, 1978).

Berdasarkan eksperimen diatas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar


adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori
koneksionisme juga disebut S-R Bond Tjeory dan S-R Psychology of
Learning Selain itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan Trial and Error
Learning. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah
kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975). Apabila kita
perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati
dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar.
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang,
sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan
tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu
tidak menampakkan gejala belajar untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini,
hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) menurupakan hal
yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini
merupakan efek positif atau memuaskan dicapai oleh respons dan kemudian
menjaadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika
sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus
dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan
(mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus
dan repons tersebut. Hukuj belajar inilah yang mengilhami munculnya
konsep reinforcer dalam teori Operant Conditioning hasil penemuan B.F Skinner.
Di samping law. Of effect, Thorndike juga mengemukakan dua macam
hokum lainnya masing-masing disebut law of readiness dan law exercise.
Sekarang, kedua macam hukum ini sesungguhnya tidak begitu popular, namun
cukup berguna sebagai tambahan kajian dan perbandingan.
Lae of radiness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan
asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conduction
unitsb (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang
mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini
semata-mata bersifat spekulaatif dan menuurut Reber (1988) hanya bersifat

historis. Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa ada kemiripan antara kecenderungan
dan conduction

units tersebut

dengan self-regulation/self-direction dalam

peristiwa belajar.
Law of exercise (hukum latihan) ialah generalisasi atas law of use dan law
of disuse. Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil
belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan
semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau
tidak digunakan maka ia akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun
(law of disuse).
2)

Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)


Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang

berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936),


seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun
1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan
reflex baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks
tersebut (Terrace, 1973).
Kata classical yang mengaawali nama teori ini semata-semata dipakai
untuk

menghargai

karya

Pavlov

yang

dianggap

paling

dahulu

bidang conditioning (upaya pembiasaan) dan untuk membedakannya

di
dari

teori conditioning lainnya (Gleitman, 1986). Selanjutnya, mungkin karena


fungsinya,

teori

Pavlov

ini

juga

dapat

disebut respondent

conditioning (pembiasaan yang dituntut).


Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui
hubungan-hubungan

antara conditioned

stimulus (CS), unconditioned

stimulus (UCS), conditioned respons (CR), dan unconditioned response (UCR).


CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari,
sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti
rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang
tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah
satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan

pipa kecil (tube). Perlu diketehui bahwa sebelum dilatih (diketahui eksperimen),
secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi
makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukan
reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian, dilakukan eksperimen berupa latihan kebiasaan mendengarkan
bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS).
Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan
lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apakah yang terjadi? Ternyata anjing
percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara
bel (CS). Jadi, (CS) akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali
dihadirkan bersama-sama.
Agar lebih jelas, pada halaman berikut ini penyusun gambarkan proses
terjadinya

hubungan

antara

stimulus

dan

respon

tersebut

baik

yang unconditioned (secara alami) maupun yang conditioned ( buatan/yang


dibiasakan ).
Berdasarkan eksperimen tersebut, semangkin jelaslah bahwa belajar
adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan
respon. Jadi, pada prinsipnya hasil eksperimen E.L. Thorndike dimuka kurang
lebih sama dengan hasil eksperimen Pavlov yang memang dianggap sebagai
pendahulu dan anutan Thorndike yang behavioristik itu. Kesimpulan yang dapat
kita tarik dari hasil eksperimen pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS)
Selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau
lambat akhirnya akan menimbulkan respon atau perubahan yang kita kehendaki
yang dalam hal ini CR.
Selanjutnya, skinner berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung
dalam eksperimen Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda,
yakni: law of respondent conditioning dan law of extinction. Secara harfiah, law
of respondent conditioning berarti hukum pembiasaan yang dituntut, sedangkan
law of respondent extinction adalah hukum pemusnahan yang dituntut.
Menurut Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law of respondent
conditioningialah jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah

satunya berfungsi sebagai reinforce) maka refleks ketiga yang terbentuk dari
respons atas penguatan refleks dan stimulus lainya akan meningkat. Yang
dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan UCS, sedangkan refleks ketiga
adalah

hubungan

antara

CS

dan

CR.

Sebaliknya, law

of

respondent

extinction ialah jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning
itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatannya akan
menurun.
3)

Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respons).


Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan

teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh dikalangan
para psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner
(lahir sekitar tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang dianggap
controversial. Karya tulisanya yang dianggap baru/terakhir berjudul About
Behaviorism diterbitkan tahun 1974. Tema pokok yang mewarnai karya-karyanya
adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang
sama

terhadap

lingkungan

yang

dekat

(Reber,

1988).

Tidak

seperti

dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus


tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan olehreinforcer. Reinforcer itu sendiri
sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respons tertentu,namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan
stimulus lainya seperti dalam classical respondent conditioning.
Dalam salah satu eksperimenya, Skinner menggunakan seekor tikus yang
diletakan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama Skinner Box.
Peti

sangkar

ini

terdiri

atas

dua

macam

komponen

pokok

yakni: manipulandum dan alat pemberireinforcement yang antara lain berupa


wadah makanan. Manipulnadum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan
gerakan hubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol,
batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).

Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar


dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada di sekitarnya,
mencakar dinding dan sebagainya. Aksi-aksi ini disebut emitted behavior
(tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme
tanpa memperdulikan stimulus tertentu. kemudian pada giliranya, secara
kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cakaran kaki depan atau
sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini
menyebabkan munculnya butir-butiran makanan kedalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi yang
penekanan pengungkit. Penekan pengungkit inilah yang disebut tingkah
laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement,
yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas

sekali

bahwa

eksperimen

Skinner

di

atas

mirip

sekali

dengan trial dan error learning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal
ini,fenomena

tingkah

laku

belajar

menurut

Thorndike

selalu

melibatkan satisfaction/kepuasan, sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut


melibatkan reinforcement/ penguatan. Dengan demikian, baik belajar dalam teori
S-R

Bond

maupun

dalam

teori operant

conditioning langsung

atau

tidak,keduanya mengakui arti penting law of effect.


Selanjutnya, proses belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk
kepada

dua

hukum operant yang

conditioning dan law

of

berbeda, yakni: law

operant

of

extinction. Menurut law

operant
of

operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku diiringi dengan stimulus


penguat, maka

kekuatan

tingkah

laku

tersebut

akan

meningkat.Sebaliknya, menurut law of operant extincton, jika timbulnya tingkah


laku operant yang diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau
bahkan musnah( Hintzman,1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja
dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori
pembiasaan yang klasik.

Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov diatas


secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya
perilaku jasmaniah yang nyata dan diukur. Teori-teori itu juga bersifat otomatismekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot.Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga
temuan riset psikologi kognitif,karakteristik belajar yang terdapat dalam teoriteori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan kita
itu, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.
Diantara kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:
a.

Proses belajar itu dipandang dapat diamati secara angsung, padahal

belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali
sebagian gejalanya
b.

Proses belajar itu dipandang bersifat otomatis-mekanis,sehingga terkesan

seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-regulation
(kemampun mengatur diri sendiri) dan self control (pengendalian diri) yang
bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak, merespons jika ia tidak
menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati
c.

Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan sangat

suit diterima, mengingat sangat mencoloknya perbedaan antara karakter fisik dan
psikis manusia dengan karakter fisik dan psikis hewan
4)

Contiguous Conditioning (Pembiasan Asosiasi Dekat)


Teori

belajar

pembiasan

asosiasi

dekat

(contiguous

conditioning) adalah sebuah teori belajar yang mengasumsikan terjadinya


peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respons
yang relevan. Contiguous conditoning sering disebut sebagai teori belajar
istimewa dalam arti paling sederhana dan efisien, karena di dalamnya hanya
terdapat satu prinsip, yaitu kontiguitas (contiguity) yang berarti kedekatan asosiasi
antar stimulus-respons.

Menurut teori ini,apa yang sesungguhnya dipelajari orang, misalnya


seorang siswa, adalah reaksi atau respons terakhir yang muncul atas sebuah
rangsangan atau stimulus. Artinya,setiap peristiwa belajar hanya mungkin terjadi
sekali saja untuk selamanya atau sama sekali tak terjadi (Reber, 1989:153). Dalam
pandangan

penemu

teori

tersebut

yakni

EdwinR. Guthrie

(1866-

1959), peningkatan berangsur-angsur kinerja hasil belajar yang lazim dicapai


seorang siswa bukanlah hasil dari pelbagai respons kompleks terhadap stimulusstimulus sebagaimana yang diyakini para behavioris lainnya, melainkan karena
dekatnya asosiasi antara stimulus dengan respons yang diperlukan.
Dalam kenyataan sehari-hari, memang acapkali terjadi peristiwa belajar
dengancontiguous conditioning sederhana seperti: mengasosiasikan 2 + 2 dengan
4; mengasosiasikan kewajiban dibulan Ramadhan dengan berpuasa; dan
mengasosiasikan 17 Agustus dengan hari Kemerdekaan RI. Belajar dengan
kontiguitas sederhana seperti asosiasi-asosiasi tersebut dapat terjadi misalnya
dengan menyajikan stimulus-stimulus berikut ini:
Dua tambah dua sama dengan . . . . . .
.

Kewajiban di bulan Ramadhan adalah . . . . . .


Tanggal 17 Agustus adalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Sudah barang tentu tak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan para siswa
melengkapi kalimat-kalimat di atas dengan kata-kata empat, berpuasa, dan Hari
Kemerdekaan RImenunjukkan adanya peristiwa belajar dalam diri para siswa
tersebut.
Namun

demikian,

perlu

dicatat

bahwa

teori

belajar contiguous

conditioning sebagai salah satu cabang mazhab behaviorisme itu tak dapat
diterima begitu saja terutama mengingat kecenderungannya yang serba mekanis
dan otomatis seperti robot atau mesin. Padahal, dalam kebanyakan proses belajar
yang dialami manusia, peranan insight, tilikan akal dan information processing,
tahapan pengolahan informasi baik disadari atau tidak selalu terjadi dalam diri
setiap siswa yang sedang mengalami peristiwa belajar. Sehubungan dengan ini,
Hilgard & Bower (1975:121) menyatakan bahwa meskipun kepercayaan terhadap
teori contiguous conditioning akan berlanjut terus, namun teori tersebut

sebenarnya telah kehilangan daya tarik bagi generasi penerus ahli psikologi
belajar seiring dengan muncul dan populernya psikolodi kognitif.
5)

Cognitve Theory (Teori Kognitif)


Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang

telah member kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi


belajar. Sains kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas: psikologi
kognitif, ilmu-ilmu computer, linguistic, intelegensi buatan, matematika,
epistemology, dan neuropsychologi(psikologi syaraf).
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses
internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku
manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses
mental, yakni: motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan
behaviorisme, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap behaviorisme. Hanya,
menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap
sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang
berdimensi ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan
mengambil keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan
ranah rasa.
Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada dasarnya adalah
peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun
hal-hal yang bersifatbehavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa
belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan
menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut
dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi,
perilaku pengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak
tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih
penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya.
Sehubungan dengan hal ini, Piaget, seseorang pakar psikologi kognitif
terkemuka, menyimpulkan: . . .Children have a built-in desire to learn (barlow,

1985). Ungkapan ini bermakna bahwa semenjak kelahirannya, setiap anak


manusia memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.
Sementara itu, teori filsafat pragmatisme yang dipelopori yang dipelopori
oleh William James (1842-1910) dan teori-teori belajar yang bersumber dari
eksperimen Pavlov, Thorndike, dan Skinner, telah diambil sebagai landasan
psikologi aliran behaviorisme di bawah kepemimpinan Jons Broadus Watson
(1878-1958). Aliran behaviorisme yang terkenal radikal dan menantang itu kini
sedang mengalami fase keruntuhannya. Karena kini semakin banyak pakar
psikologi kelas dunia yang merasa tidak puas terhadap teori-teori behavioristik,
apalagi setelah dibandingkan dengan hasil- hasil riset para pakar psikologi
(Reber,1988)
Di antara kenyakinan prinsipal yang terdapat dalam teori behavioristik
ialah setiap anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan
perasaan, dan warisan abstrak lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan
perasaan baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar
terutama alam pendidikan. Artinya , seseorang individu manusia bisa pintar,
terampil , dan berperasaan hanya bergantung pada bagaimana individu itu
terdidik.
Kenyakinan prinsipal lainnya yang dianut oleh para behavioris adalah
peranan refleks, yakni reaksi jasmaniah yang dianggap tidak memerlukan
kesadaran mental. Apapun yang dilakukan manusia, termasuk kegiatan belajar
adalah kegiatan refleks belaka, yaitu reaksi manusia atas rangsanganrangsangan
yang ada. Refleks-refleks ini jika dilatih akan menjadi keterampilan-keterampilan
dan kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai manusia. Jadi. Peristiwa belajar seorang
siswa menurut para behavioris adalah peristiwa melatih refleks-refleks sedemikian
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai siswa tersebut.
Dalam perspektif psikologi kognitif, peristiwa belajar yang digambarkan
seperti tadi adalah naif (terlalu sederhana dan tak masuk akal) dan sulit
dipertanggungjawabkan secara psikologis. Sebagai bukti dan bahan perbandingan,
berikut ini penyusun kemukakan dua contoh kritik terhadap kepercayaan
behavioristik tadi.

Pertama, memang tak dapat di pungkiri bahwa kebiasan pada umumnya


berpengaruh terhadap kegiatan belajar siswa. Seorang siswa lazimya menyalin
pelajaran, juga dengan kebiasaan. Gerakan tangan dan goresan pena dilakukan
siswa tersebut demikian lancarnya karena sudah terbiasa menulis sejak tahun
pertama masuk sekolah.
Namun demikian, perlu diingat bahwa sebelum siswa tadi menyalin
pelajaran dengan cara yang biasa ia lakukan, tentu terlebih dahulu ia membuat
keputusan apakah ia akan menyalin pelajaran sekarang, nanti, atau sama sekali
tidak. Jadi, kebiasaan dapat berfungsi sebagai pelaksana aktivitas menyalin
pelajaran dari awal hingga akhir, sedangkan keputusan berfungsi untuk
menetapkan untuk dimulainya aktivitas menyalin pelajaran oleh siswa tadi dengan
kebiasaan yang ia kuasai. Keputusan teersebut tentu bukan peristiwa behavioral
melainkan peristiwa mental siswa itu sendiri.
Kedua ,kebiasaan belajar seorang siswa dapat ditiadakan oleh kemampuan
siswa itu sendiri. Contoh menurut kebiasaan, seorang siswa belajar seharian
diperpustakaan sambil mengunyah permen. Tetapi, ketika tiba saat berpuasa pada
bulan Ramadhan ia hanya belajar setengah hari dengan mengunyah permen.
Dalam hal ini, pengurangan alokasi waktu belajar dan penghentian kebiasaan
mengunyah permen merupakan kemauan siswa tersebut karena sedang
menunaikan ibadah puasa. Kemauan siswa itu tentu bukan prilaku behavioral
melainkan peristiwa mental (konatif), meskipun secara lahiriah yang menerima
akibat kemauan tersebut adalah perilaku behavioral.
Dari uraian contoh-contoh diatas, semakin jelas bahwa perilaku pelajar itu,
dalam hampir semua bentuk dan manifestasnya, bukan sekedar peristiwa S-R
Bond (ikatan antara stimulus dan respons) melainkan lebih banyak melibatkan
proses kognitif. Hanya dalam peristiwa belajar tentu yang sangat terbatas ruang
lingkupnya (umpamanya belajar meniru sopan santun di meja makan dan bertegur
sapa ), peranan ranah cipta siswa tidak menonjol.
6)

Sosial Learning Theory (Teori Belajar Sosial)


Teori belajar sosial yang juga masyhur dengan sebutan teori observational

learning, belajar observasional/dengan pengamatan itu (Pressly and McCormick,

1995:216) adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan
dengan teori-teori belajar lainnya. Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura,
seorang psikolog pada Universitas Stanford Amerika Serikat, yang oleh banyak
ahli dianggap sebagai seorang behavioris masa kini yang moderat. Tidak seperti
rekan-rekannya sesama penganut aliran behaviorisme. Bandura memandang
tingkah laku manusia bukan semata-semata refleks otomatis atas stimulus (S-R
bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri .
Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan
normal. Menurut Barlow (1985), sebagian besar dari yang di pelajari manusia
terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Dalam hal ini, seseorang siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui
penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi atau merespons sebuah
stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan
cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau
orang tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan
moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons)
dan imitation(peniruan). Penjelasan lebih lanjut mengenai prosedurprosedur
belajar sosial dan moral tersebut adalah sepeti terurai dibawah ini.
Conditioning. Menurut prinsip-prinsip kondisioning, prosedur belajar
dalam mengembangkan prilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan
prosedur belajar dalam menegmbangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni
dengan reward (

ganjaran

memberi

hadiah

atau

mengajar)

dan punishment (hukuman /memberi hukuman). Dasar pemikirannya adalah sekali


seorang siswa mempelajari perbedaan antara perilaku-perilaku yang menghasilkan
ganjaran (reward) dengan perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukum
(punishment), ia senantiasa berfikir dan memutuskan prilaku sosial mana yang ia
perbuata.
Sehubungan dengan hal di atas, komentar-komentar yang disamapaikan
orang tua atau guru ketika mengganjar / menghukum siswa merupakan faktor

yang penting untuk proses internalisasi atau penghayatan sisawa tersebut terhadap
moral standar (patokanpatokan moral). Orang tua dan guru dalam hal ini sangat
diharapkan memberi penjelasan agar siswa tersebut benar-benar paham mengenai
jenis prilaku mana yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku mana yang
menimbulkan sanksi. Reaksireaki seorang terhadap stimulus yang ia pelajari
adalah hasil dari adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan.
Melalaui proses pembiasaan merespons (conditioning) ini, ia juga menemukan
pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf yang
sebaik-sebaiknya agar kelak terhindar dari sanksi .
Imitation. Prosedur lain yang juga penting dan menjadi bagian
yang integraldangan prosedur-prosedur belajar menurut teori social learning,
ialah proses imitasi atau peniruan. Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogianya
memainkan peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan
contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa.
Sebagai contoh, mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya
sendiri yang sedang melakukan sebuah perilaku sosial, umpamanya menerima
seorang tamu. Lalu, perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, berramah tamah,
dan seterusnya dilakuakan model itu diserap oleh memori siswa tersebut.
Diharapkan, cepat atau lambat siswa tesebut mampu meniru sebaik-baiknya
perbuatan sosial yang di contohkan oleh modelnyan itu.
Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil
pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada
ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan
dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu,
tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi siswa
terhadap siapa yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan
beribawa seorang model semakin tinggi pula kualitas imitasai prilaku
sosial dan moral siswa tersebut.
D. Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Faktor yang Mempengaruhi Belajar Internal dan Eksternal


Faktor yang mempengaruhi belajar seseorang dalam belajar itu banyak
jenisnya. Faktor-faktor belajar itupun dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor
intern yang berasal dari dalam dan faktor ekstern atau berasal dari luar.faktor luar
banyak dipengaruhi dari dalam diri siswa itu sendiri dan faktor eksternal
dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah
dan lingkungan masyarakat. Antara kedua faktor yang mempengaruhi belajar itu
masing masing bisa mempengaruhi seseorang untuk meningkatkan prestasinya
yang diperoleh dengan cara belajar.
Faktor yang Mempengaruhi Belajar Secara Internal
Faktor internal yaitu faktor faktor yang berasal dari seseorang sendiri dan
dapat mempengaruhi terhadap belajarnya. Faktor internal dibedakan menjadi tiga
yaitu faktor jasmaniah, faktor kelelahan dan faktor psikologi.
1. Faktor Jasmaniah
Faktor jasmaniah ini terdiri atas dua faktor yang mempengaruhinya antara lain
faktor kesehatan dan cacat tubuh.
Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya/bebas
dari penyakit. Kesehatan adalah keadaan atau hal sehat. Kesehatan seseorang
berpengaruh terhadap belajarnya karena proses belajar seseorang akan terganggu
jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu juga akan cepat lelah, kurang
bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika badannya lemah, kurang darah ataupun
ada gangguan-gangguan/kelainan kelainan alat inderanya serta tubuhnya.
Agar seseorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan
kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuanketentuan tentang bekerja,belajar, istirahat, tidur, makan olah raga, rekreasi dan
ibadah.
Cacat tubuh adalah faktor yang mempengaruhi belajar berupa sesuatu yang
menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh/badan. Keadaan
cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Siswa yang cacat belajarnya juga

terganggu, jika hal ini terjadi maka hendaknya ia belajar pada lembaga pendidikan
khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat menghindari atau mengurangi
pengaruh kecacatan itu.
2. Faktor Kelelahan
Kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani.
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul
kecenderungan untuk membaringkan tubuh karena terjadi kekacauan substansi
sisa pembakaran di dalam tubuh, sehingga darah tidak/kurang lancar pada bagianbagian tertentu. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan
dan kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang,
kelelahan ini sangat terasa pada bagia kepala dengan pusing-pusing sehingga sulit
untuk konsentrasi seolah-olah otak kehabisan daya untuk bekerja.
Kelelahan baik secara jasmani maupun rohani dapat dihilangkan dengan
cara-cara
sebagai berikut:

Tidur,

Istirahat,

Mengusahakan variasi dalam belajar, juga dalam bekerja,

Menggunakan obat-obatan yang bersifat melancarkan peredaran darah,


misalnya obat gosok,

Reaksi dan ibadah yang teratur,

Olahraga secara teratur, dan

Mengimbangi makan dengan makanan yang memenuhi syarat-syarat


kesehatan (memenuhi empat sehat lima sempurna),

Jika kelelahan sangat serius cepat-cepat menghubungi seorang ahli,


misalnya dokter, psikiater dan lain-lain.

3. Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belajar
yang terdiri dari delapan faktor yang mempengaruhinya antara lain faktor
intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan dan cara belajar.
Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Belajar
Faktor eksternal yaitu faktor faktor yang berasal dari lingkungan luar dan
dapat mempengaruhi terhadap belajarnya. Faktor eksternal dibedakan menjadi tiga
yaitu faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat.
1. Faktor Keluarga
Faktor keluarga yang mempengaruhi belajar ini mencakup cara orang tua
mendidik, relasi antara angota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi
keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan.
2. Faktor Sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode
mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin
sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode
belajar dan tugas rumah.
3. Faktor Masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap belajar
siswa. Pengaruh itu terjadi karena keberadaannya siswa dalam masyarakat. Faktor
masyarakat ini membahas tentang kegiatan siswa dalam masyarakat, dibahas
tentang kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk
kehidupan masyarakat, yang semuanya mempengaruhi belajar.
E. Cara dan Teknik Belajar yang Baik di Perguruan Tinggi

Bahan kuliah yang telah diperoleh harus dipelajari kembali dengan baik.
Untuk belajar sendiri di rumah sebaiknya mahasiswa menyusun Rencana Kegiatan
Belajar (RKB), kegunaan RKB adalah:
a.

agar ada waktu yang tersedia untuk belajar

b.

agar tersedia waktu untuk mereviu setiap matakuliah

c.

agar kita dapat memupuk disiplin belajar dan bekerja dengan baik

Dalam menyusun RKB perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan belajar terdiri
atas dua jenis kegiatan, yaitu:
a.

belajar untuk mengadakan persiapan kuliah yang akan datang

b.

mereviu (mempelajari kembali bahan yang sudah diajarkan)

Reviu akan lebih berhasil lagi jika kita mengadakan tiga macam reviu:
a.

menyediakan waktu 10 menit setiap hari untuk mereviu satu matakuliah

b.

menyediakan

waktu

untuk

mengadakan

reviu

mingguan,

yaitu

mempelajari kembali bahan-bahan yang dipelajari selama satu minggu


c.

reviu dalam rangka menghadapi ujian (jika no 1 dan 2 dilaksanakan

dengan ketat, no 3 lebih mudah dilaksanakan)


Dengan menyusun RKB, kita akan menetapkan dan menyediakan waktu yang
khusus untuk belajar dan untuk mereviu pelajaran. RKB juga mendisiplinkan kita
dalam kegiatan belajar. Dalam penyusunan RKB, mula-mula kita mencatat semua
kegiatan yang biasa kita lakukan di luar jam kuliah, kemudian dihitung waktu
yang tersedia untuk belajar. Waktu yang tersedia inilah yang dibagi-bagi untuk
keperluan belajar, kegiatan pribadi, kegiatan masyarakat, olahraga, juga sediakan
waktu yang cukup untuk beristirahat.
Belajar kelompok hendaklah dilakukan setelah mahasiswa belajar sendirisendiri, dan telah memperoleh gambaran yang agak jelas tentang bahan kuliahnya.
Belajar kelompok akan berguna sekali untuk menguji hasil pemikiran kita,
melengkapi kekurangan-kekurangan kita, membetulkan pengertian-pengertian
yang keliru dan melatih kemampuan kita untuk mengekspresikan kembali sesuatu
yang telah kita pelajari. Beberapa nasihat untuk belajar kelompok :

a.

Kelompok jangan terlalu besar, 3 sampai 5 orang (terdiri dari putera dan

puteri)
b.

Rencanakan pertemuan kelompok secara teratur dan tertib

c.

Sebelum kelompok bertemu, hendaknya masing-masing anggota telah

belajar secara individual


d.

Diskusi jangan berkepanjangan, tetapi dibatasi waktunya

e.

Pokok-pokok pembicaraan hendaknya ditetapkan lebih dahulu, agar tidak

terjadi penyimpangan-penyimpangan
f.

Ketua kelompok harus mampu membagi tugas dan mengatur jalannya

diskusi
g.

Setiap anggota membuat catatan-catatan sesuai dengan kebutuhannya

F. Cara Belajar dengan Metode-metode


a. SURVEY 5W + 1H
Artinya bila metoda ini dijadikan arah cara tentu kita harus
mengetahui latar belakang:
a)
What apa ? apa sebenarnya yang baru kita pelajari
b)
Why mengapa perlu kita pelajari?
c)
When kapan ?
d)
wheredimana ?
e)
who oleh siapa?
f)
How bagaimana?artinya teorinya, analisanya, aplikasinya, dsb.
b. Q3R
Cara

belajar

dengan

metode

(Questions, Read, Recite dan Review) Artinya

dengan

metode

R
ini

si

mahasiswa yang belajar dituntut untuk : bertanya, membaca,mengucapkan


kembali, dan mengulangi.
c. PQRST
Salah satu metode membaca yang sering dipakai adalah Metode
PQRST.

PQRST

adalah

singkatan

dari Preview ( Menyelidiki ), Question ( Bertanya ), Read ( Membaca), S


tate ( Menyatakan ) dan Test ( Menguji ).
Preview
Sebelum membaca isi sebuah buku handaklah kita terlebih dahulu
mengadakan

penyelidikan.

Penyelidikan

ini

dimaksudkan

untuk

mendapatkan gambaran umum mengenai buku yang dibaca. Salah satu


tujuan gambaran umum ini adalah untuk menentukan apakah buku ini
harus dibaca dari awal atau kita dapat langsung ke bab yang kita butuhkan.
Gambaran umum ini dapat diperoleh dengan membaca daftar isi atau bab
pendahuluan buku yang bersangkutan.
Question
Sesudah mengadakan penyelidikan, lalu kita membuat beberapa
pertanyaan yang berhubungan dengan bab atau buku yang kita baca.
Misalnya anda membaca buku matematika bab yang berisikan logaritma.
Anda dapat membuat salah satu pertanyaan "Apakah logaritma itu?"
Read
Setelah selesai membuat beberapa pertanyaan, selanjutnya anda
membaca dan mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang anda buat
tadi. Pada saat membaca ini keaktifan sangat diperlukan. Artinya anda
tidak sekedar membaca, tetapi juga harus berpikir, mencatat atau menandai
pokok-pokok yang penting yang anda temukan dalam bacaan.
State
State artinya mengucapkan atau menuliskan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan, jawaban harus disusun dengan kat-kata sendiri.
Jarang sebuah buku menuliskan definisi dari logaritma. Akan tetapi setelah
membaca kita bisa saja membuat definisi: "Logaritma adalah invers dari
eksponen.
Test
Anda telah berhasil membuat jawaban atas

pertanyaan-

pertanyaan. Hal ini menunjukan bahwa anda memang telah mengerti. Tapi
harus diingat, kata "mengerti" itu pun sangat relatif. Karena itu, kita harus
menguji ilmu kita dengan berbagai soal.

d. RTP-ABRI
Cara belajar deangan RTP biasanya dilakukan dilingkungan ABRI yang
punya arti Read The Problem, baca masalah. Sering dipergunakan metode PERU (
preview / menyelidiki, Enquire / menanyakan, Read / membaca, dan Use /
menggunakan).

e. Cara Membaca Buku


Belajar di Perguruan Tinggi selain mengikuti kuliah juga harus banyak
membaca buku. Membaca sekedar membaca adalah mudah, tetapi membaca untuk
belajar perlu dipelajari dengan baik. Yang perlu diusahakan oleh mahasiswa baru :
memaksa diri sendiri untuk suka membaca, karena dengan senang membaca ia
akan memperoleh pengetahuan yang luas. Belajarlah membaca secara efisien.
Membaca yang efisien ialah membaca dengan cepat, dapat dimengerti dengan
baik, serta tetap mengingat sebagian besar yang dibaca. Kemampuan ini akan
diperoleh mahasiswa dengan berlatih secara teratur.
Petunjuk praktis dalam proses membaca buku :
a.

Bacalah title/ judul buku itu serta pengarangnya dan hafalkan.

b.

Bacalah tahun terbitnya, penerbitnya, cetakan yang keberapa?

c.

Bacalah kata pendahuluannya, sehingga anda akan mengetahui pokok-

pokok pikiran pengarang, petunjuk-petunjuknya dalam mempelajari buku


tersebut, dan sebagainya.
d.

Bacalah daftar isinya sehingga akan memperoleh gambaran yang bulat

akan isi buku ttersebut.


e.

Biasanya pada buku-buku yang tebal terdapat pula indeks. Pergunakanlah

indeks ini setepat-tepatnya.


f. Cara Menggunakan Kepustakaan Efisien

Perpustakaan biasa dikatakan jantungnya Perguruan Tinggi. Dari sebutan ini


nampak jelas betapa besar peranan perpustakaan bagi suatu Perguruan Tinggi.
Apabila mahasiswa bermaksud ingin belajar sungguh-sungguh, maka di
Perpustakaanlah tempatnya. Pergunakanlah perpustakaan yang ada dengan
semaksimal mungkin. Pelajarilah peraturan-peraturan dan petunjuk-petunjuk yang
ada di perpustakaan, sehingga anda mampu mencari dan menggunakan buku-buku
yang diperlukan

g. Cara dan Teknik Belajar yang Baik dan Efisien


Belajar yang efisien dapat tercapai apabila dalam Keadaan jasmani yang
sehat, Keadaan emosional dan sosial harus dalam keadaan tak tertekan, Ruang
belajar harus bersih, Ruangan cukup terang, Cukup sarana yang diperlukan untuk
belajar misalnya alat pembelajaran buku-buku, Mood (suasana hati) : Ciptakan
selalu mood yang positif untuk belajar. Ini bisa dilakukan dengan menentukan
waktu, lingkungan dan sikap belajar yang sesuai dengan pribadimu, Understand
(pemahaman) : Tandai informasi bahan pelajaran yang tidak kamu mengerti dalam
satu unit.
Fokuskan pada unit tersebut atau melakukan beberapa kelompok latihan
untuk unit itu. Recall (ulang) : Setelah belajar satu unit, berhentilah dan ulang
bahan dari unit tersebut dengan kata-kata yang kita buat sendiri. Digest (telaah) :
Kembalilah pada unit yang tidak kamu mengerti dan pelajari kembali keterangan
yang ada. Lihatlah informasi yang terkait pada artikel, buku teks atau sumber
lainnya atau didiskusikan dengan teman atau guru / dosen.Expand (kembangkan) :
Pada langkah ini, tanyakan 3 persoalan berikut terhadap materi yang telah kita
pelajari.
1. Diselingi Dengan Istirahat
Jika merasa mulai jenuh atau bosan belajar terus menerus, ada baiknya
diselingi dengan istirahat. Misalkan setiap belajar 1 jam, istirahatnya sekitar 10
menit. Kita bisa melakukannya sambil keluar dulu dari dalam ruang belajar, ambil
minum atau makan makanan kecil, tapi jangan lupa untuk balik lagi buat belajar.

2. Mengatur Tata Ruangan Belajar


Kenyamanan ruang belajar juga bisa membuat suasana belajar kita
menjadi enak. Jangan sampai ruangan tersebut berantakan, rapikan dulu barangbarang yang acak-acakan tersebut, jika sudah rapi akan keliatan lebih luas dan
segar. Ini juga merupakan bentuk cara belajar efektif yang mempunyai faktor
besar.
3. Sambil Dengarkan Musik
Cara belajar efektif sambil dengerin musik bisa ngebantu kita agar berpikir
jernih. Tapi jangan sampai musik yang diputar adalah jenis musik hingar bingar,
malahan tidak bisa konsentrasi nantinya. Carilah musik yang lembut, dan kalo
bisa musik instrumental.
4. Belajar Sekaligus Praktek
Cara belajar efektif yang tidak membosankan keempat adalah jika belajar
hanya dengan membaca (teori) saja, bisa menyebabkan jenuh, sebaiknya
melakukan (praktek) juga. Misalnya pelajaran IPA, kita bisa belajar sambil
mengamati tumbuh-tumbuhan, hewan atau apapun, dengan demikian kita bisa
membuat sebuah acara belajar jadi mengasyikan, sekalian membuktikan
kebenaran teori tersebut.
5. Belajar Dengan Rutin
Dengan belajar dengan rutin, kita bisa mengingat pelajaran yang dahulu
pernah diajarkan oleh guru maupun belum pernah diajarkan.
6. Jadilah Seorang Detektif
Maksudnya adalah, di dalam belajar, anggaplah pelajaran itu sebagai tekateki yang harus dipecahkan, atau kasus yang sangat sulit untuk diselesaikan.
Kayak detektif Conan gitu, kalo kita berhasil mecahin kasus tersebut, berarti kita
adalah detektif yang hebat.
7. Mengubah Metode Belajar

Jangan belajar dengan cara yang sama dengan terus menerus. mungkin kita
tidak cocok dengan teknik belajar seperti itu, ada 2 jenis metode cara belajar
efektif yang bisa dipahami . Metode Membaca : sebagian besar orang
mengunakan metode belajar ini, orang yang cocok mengunakan tidak mengalami
kesulitan yang berarti. Dan Metode Mendengarkan : Orang tipe ini akan lebih
mudah
8. Ciptakan Suasana Yang Kondusif
Dalam cara belajar efektif, kita harus menciptakan suasana yang kondusif,
nyaman dan tenang untuk belajar. Cara ini merupakan salah satu cara belajar yang
baik karena bagaimanapun jika ingin materi yang kita pelajari itu bener-bener
masuk ke otak, kita harus tenang dan dalam keadaan yang nyaman. Sehingga
nggak mengganggu konsentrasi. Belajar di luar ruangan mungkin adalah pilihan
yang cukup baik, karena selain lebih fresh, kita juga bisa lebih tenang dan nggak
penat dalam belajar.
9. Sering Tapi Jangan Lama (Rutin Dan Teraturlah Belajar)
Belajar jangan terlalu lama, namung per sering anda belajar, seperti pagi
45 menit, siang 15 menit, sore 30menit, malam 1 jam, insya allah cara belajar
efektif ini bisa berjalan baik.
10. Mengerti Bukan Menghafal
Kalau menghafal sesuatu belum tentu kita mengerti. Saat kita mengerti
topik yang dipelajari, secara otomatis akan paham. Pemahaman ini yang akan
membantu menganalisa jawaban. Jadi, biar soalnya diputar-putar, kita pasti bisa
jawab. Memang sih, beberapa mata pelajaran memang butuh hafalan. Misalnya
saja tanggal bersejarah atau nama-nama tokoh. Kuncinya, baca berulang-ulang,
tanpa anda sadari hafalan itu bakal melekat di ingatan dengan sendirinya.
h. Cara Mengatasi Bosan dan Malas Belajar
Refresing dan Relaksasi
Stress yang mengarah ke Dis stress dibuang
Dengan berolahraga yang baik dan benar
Menghilangkan/mengurangi emosi samapi ke ubun-ubun
Belajar berkelompok

i. Empat Puluh Lima Cara Belajar Mengajar dalam Kelompok


Metode-metode pendidikan nonformal lebih banyak

memberikan

kebebasan kepada warga belajar untuk mengembangkan minat dan bakat


dalam waktu singkat. Metode-metode ini juga deisesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi seperti situasi dan kondisi jumlah, usia, jenis kelamin,
status, minat, serta waktu, tempat, sarana dan dana yang tersedia untuk
program tersebut. Hingga tibalah saatnya pendidikan informal dalam keluarga
tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan belajar yang dikehendaki. Sebagai
akibat

keterbatasan

kemampuan

keluarga

untuk

memberikan

ilmu

pengetahuan teknologi yang terus berkembang, dan memerlukan kesempatan


pemenuhan kebutuhan melalui bentuk pendidikan yang lebih sistematis dan
terprogram, muncullah kemudian pendidikan formal.
Martha M. Leopoldt memperkenalkan adanya 45 metode pendidikan luar
sekolah:
1.Merangkum buku.
2.Curah Pendapat (Brainstrorming)
3.Kelompok Buzz.
4. Studi kasus.
5. Mimbar reaksi berantai .
6. Sambutan melingkar.
7. Mengajukan pertanyaan .
8. Rembuk sejoli.
9. Forum debat.
10. Demontrasi kelompok kerja.
11. Pembahasan Mendalam kitab suci.
12. Panel yang mengembang.
13. Field trip.
14. Diskusi dengan menggunakan film.
15. Obrolan serambi seni.
16. Karangan kelompok.
17. Diskusi kelompok
18. Lukisan kelompok
19. Team sambutan kelompok
20. Penelaah induktif kitab suci
21. Forum wawancara
22. Ceramah
23. Forum ceramah
24. Team pendengar
25. Forum musik
26. Panel

27. Forum panel


28. Langen suara
29. Forum tanya jawab
30. Tanya jawa
31.Panel beraksi
32. Penelitian dan laporan
33. Bermain peranan
34. Ceramah saringan
35. Seminar
36. Forum khotbah.
37. Simposium.
38. Dialog dalam simposium.
39. Forum simposium .
40. Kelompok -kelompok kerja.
41. Lokakarya
42. Potret diri
43. Diskusi mengembang
44. Keputusan juri
45. Permainan simulasiasi teori
j. Aplikasi Teori Belajar untuk Perawat dan Keperawatan
G. belajar untuk perawat dan keperawatan
Perawat dapat lebih efektif, efisien dan tepat guna dalam menggunakan

waktu belajar
Perawat dapat mengerti, memahami teori tentang belajar sehingga hal-hal

yang berkaitan dengan belajar dan keperawatan dapat diaplikasikan


Perawat dapat mempersiapkan diri dalam manajemen waktu
luang/senggang untuk belajar

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis, Teori-teori Belajar, (Jember : PT. Madania Center Press, 2008), hal, 1
E.P. Hutabarat. Cara Belajar. PT BPK Gunung Mulia. Jakarta. 243 hal.
Eveline Siregar, dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor : PT.
Ghalia Indonesia, 2010), hal. 25

Hilgard, g,g, and Bower G.M. 1977. Theories of Learning. New Delhi. Prentice
Hall of India
Mohammad Surya, (1981). Pengantar Psikologi, Pengaruh Faktor. Non Intelektual
terhadap Gejala Berprestasi Kurang. (Studi Terhadap Siswa SPG), IKIP Bandung
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005),
hal. 92-93
N.N. Meningkatkan Daya Ingat. http://www.e-edukasi.net.
Riyanti, D.B.P., Prabowo, H,. Puspitawati, I,. (1996) . Psikologi Umum 1: Seri
Diktat Kuliah Editor: Hendro Prabowo. Jakarta. Fakultas Psikologi Gunadarma
Samidjo, Sri Mardiani. Bimbingan Belajar. Armico. Bandung. 214 hal.
Slameto. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta.
Jakarta. 195 hal
Sumadi Suryabrata , 1987, Pengembangan tes hasil belajar, Ed. ke-1, Cet. 1.
Jakarta: Rajawali Press
Suwadji,L. Belajar di Peguruan Tinggi
Tim Quantum & Tim Widia Gamma. 2011. Pemantapan Menghadapi SNMPTNIPC 2012 Edisi 10 Tahun. Bandung: Yrama Widia
Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.

Anda mungkin juga menyukai