Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan saling membutuhkan antara pelaku usaha dengan
konsumen, baik berupa pelaku usaha dan konsumen barang maupun jasa. Kepentingan pelaku
usaha adalah memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dari transaksi dengan konsumen,
sedangkan disisi lain, konsumen berkepentingan untuk memperoleh kepuasan melalui
pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu. Dengan kata lain, konsumen mempunyai
hak untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan.
Dalam hubungan demikian, seringkali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya dimana
secara umum konsumen berada pada posisi tawar menawar yang lemah, akibatnya menjadi
sasaran eksploitasi dari pelaku usaha atau produsen yang secara social dan ekonomi memiliki
posisi yang kuat. Utnuk melindungi atau memberdayakan konsumen sangat diperlukan adanya
campur tangan dan pemerintah dan atau Negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum
terhadap konsumen. Berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen dalam hubungannya
dengan produsen sangat membutuhkan suatu kepastian hukum yang dapat memberikan kejelasan
tentang hak dan kewajiban para pihak, sehingga pemerintah membentuk badan penyelesaian
sengketa konsumen.

B.
1.
2.
3.

Rumusan Masalah
Bagaimana Pengertian dan Peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) ?
Bagaimana Pembentukan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ?
Bagaimana Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Sistem Peradilan di
Indonesia?

C.
1.
2.
3.

Tujuan Masalah
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan BPSK dan bagaimana peran BPSK
Untuk mengetahui bagaimana pembentukan BPSK
Untuk mengetahui bagaimana BPSK dalam sistem peradilan di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Peran BPSK
BPSK adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan
dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana dan
murah. Dengan demikian, BPSK hanya menerima perkara yang nilai kerugian kecil.
Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga (pengacara)
sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan. Putusan BPSK tidak dapat
disbanding kecuali bertentangan dengan hukum yang berlaku.
2

Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat 12, BPSK adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Disamping
bertugas menyelesaikan masalah sengketa konsumen BPSK juga bertugas memberikan
konsultasi perlindungan konsumen.
Badan ini dibentuk disetiap daerah

tingkat II ( pasal 49) BPSK dibentuk untuk

menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan (pasal 49 ayat 1) dan badan ini mempunyai
anggota-anggota dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha setiap unsur tersebut
berjumlah 3 ornag atau sebanyak banyaknya 5 orang, yang kesemuanya diangkat dan
diberhentikan oleh menteri (perindustrian dan perdagangan). Keanggotaan badan terdiri atas
ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan anggota dengan dibantu oleh
sebuah secretariat (pasal 50 jo. 51)
Peranan BPSK
Secara umum, peran BPSK dalam menghadapi masalah sengketa konsumen antar lain:
1. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen
2. BPSK berperan sebagai konsiliator, Mediator dan Arbiter dalam penyelesaian sengketa
konsumen.
Tugas dan wewenang BPSK (pasal 52) meliputi:
a.

Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui

b.
c.
d.
e.

mediasi, arbitrasi atau konsiliasi


Memberikan konsultasi perlindungan konsumen
Pengawasan klausul baku
Melapor kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran undang-undang ini
Menerima pengaduan dari konsumen, lisan atau tertulis, tentang dilarangnya

perlindungan konsumen
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen
g. Memanggil pelaku usaha pelanggar
h. Menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran itu.
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan mereka tersebut huruf g tersebut apabila
tidak mampu memenuhi pemanggilan
3

j. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat dokumen atau alat-alat bukti lain guna
penyelidikan dan atau pemeriksaan
k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian konsumen
l. Memberitahu keputusan para pelaku usaha pelanggaran undang-undang
m. Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha pelanggar undang-undang
B. Pembentukan BPSK
Badan penyelesaian sengketa konsumen dihadirkan sebagai lembaga yang melindungi
kepentingan-kepentingan konsumen dalam bentuk-bentuk yang bersifat sengketa diluar
pengadilan. Dalam rangka memenuhi maksud pasal 49 ayat 1 UUPK, dibentuk beberapa BPSK
dibeberapa kota besar di Indonesia.
Idealnya setiap kabupaten dan kota, atau setidaknya disetiap ibu kota provinsi pantaslah
dibentuk BPSK supaya tidak terlalu memberatkan konsumen mengajukan penyelesaian sengketa
yang dihadapinya. karena berbgaai pertimbangan, khususnya menyangkut pembiayaan institusi
tersebut, hanya di beberapa kota saja yang dibentuk BPSK.
Pada awalnya beberapa kota besar di Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden No 90
tahun 2001 telah di bentuk BPSK di 10 kota, yakni medan, Palembang, Jakarta pusat, Jakarta
barat, bandung, semarang, Yogyakarta, Surabaya, malang dan Makasar. Di kota-kota yang telah
didirikan BPSK, para konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha.
Gugatan diajukan ditempat domisili konsumen atau pada BPSK terdekat untuk jelasnya
pasal 2 Kepres No.90 tahun 2001 menyatakan demikian: setiap konsumen yang dirugikan atau
ahli warisnya dapat menggugat pelaku usaha melalui BPSK ditempat domisili konsumen atau
BPSK terdekat.
Perkembangan selanjutnya mengenai pembentukan kelembagaan penyelesaian sengketa
konsumen BPSK, berdasarkan keputusan presiden No.108 tahun 2004 dan keputusan presiden
No.18 tahun 2005 telah dibentuk 14 BPSK di beberapa kota dan kabupaten. pembentukan ini
ditempuh berdasarkan perkembangan tentang penyelesaian sengketa konsumen. sejak dibentuk
BPSK di 10 pemerintah kota di Indonesia tahun 2001, telah diselesaikan sengketa-sengketa
konsumen.

Dasar Hukum Pembentukan BPSK


1.

BPSK diatur dalam UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bab XI pasal

49 sampai dengan pasal 58.


2. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang BPKN
3. Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2001 tentang

Pembinaan

Pengawasan

Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen


4. Peraturan Pemerintah No 59 Tahun 2001 tentang LPKSM (lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat)
5. Keputusan mentri perindustrian dan perdagangan No 301 NPP/Kep/10/2001 tanggal 24
Oktober 2001 tentang Pengangkatan Pemberhentian anggota sekretarian BPSK
6. Keputusan Presiden No 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
7. Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan No 302/NPP.Kep/10/2001 Tanggal 24
Oktober 2001 tentang Pendaftaran LPKSM
8. Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan No 350/NPP./Kep/12/2001 Tanggal 10
Desember 2001 tentang Tugas dan wewenang BPSK
9. Surat Keputusan mentri Perindustrian dan Perdagangan No 605/NPP.Kep/8/2002 tanggal
29 Agustus 2002 tentang Pengangkatan Anggota BPSK
10. Keputusan Presiden No 108/2004 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
11. Keputusan Presiden No 23/2006tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
Keberadaan BPSK ini diatur dalan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal
49 ayat 1 yaitu: pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen didaerah
tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan.

Kekurangan dan kelemahan perumusan BPSK:


1. Masalah final dan mengikat
Sebagaimana ditentukan pasal 54 ayat 3 bahwa putusan majelis di BPSK tersebut bersifat
final dan mengikat. Mengenai maksud ketentuan ini kemudian didalam penjelasannya dikatakan
bahwa putusan yang bersifat final adalah bahwa dalam BPSK tidak ada upaya banding dan
kasasi
5

2. Masalah pihak mengaju keberatan


Ketidakjelasan kedua adalah tentang pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan
(dalam tenggang waktu yang ditentukan) terhadap keputusan BPSK dianggap menerima putusan
(pasal 56 ayat 3). Persoalannya kenapa hanya dibatasi kepada pihak pelaku usaha saja dan
bagaimana seandainya pihak konsumen berlaku sama, apakah juga telah dianggap menerima
putusan itu.
Pelaku usaha bisa saja puas dan menerima putusan dari BPSK. Tetapi bagaimana bila pihak
konsumen sendiri tidak puas atas putusan BPSK itu? Disini ada kesan diskriminatif karena tidak
memberlakukan keadaan atau kesempatan yang sama bagi pihak lain.
3. Kesan sebagai instansi subordinat kepolisian
Masalah berikutnya dalam kaitanya dengan pasal 56 ayat 1 dan 3 terjadi jika putusan tidak
dilaksanakan pelaku usaha maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik. Ayat 4
dari pasal yang sama mengatakan, putusan BPSK merupakan bukti permulaan yang cukup bagi
penyidik.
4. Tenggang waktu
Mengenai fiat eksekusi dari pengadilan negri sebagai mana dimaksud pasal 57, tidak
ditentukan tenggang waktu maksimum sebagaimana juga dalam proses lainnya. Tidak adanya
pembatasan tenggang waktu untuk mengeluarkan eksekusi demikian dapat membuat pengadilan
melepaskan diri dari saksi melewati waktu.
5. Ketentuan menerima putusan
Ketentuan mengenai batas waktu paling lama 7 hari setelah menerima putusan diatur
dalam pasal 56 ayat 1.
Ketentuan menerima putusan ini sebaiknya harus dengan jelas dirumuskan karna pihak yang
kalah biasanya cendrung mengulur-ulur waktu.
C. BPSK Dalam Sistem Peradilan Diindonesia
Pasal 54 UUPK ayat 3 menegaskan bahwa putusan majelis dari BPSK itu bersifat final dan
mengikat. Kata final diartikan sebgai tidak adanya upaya banding dan kasasi. Kembali timbul
kerancuan tentang kata final dan mengikat tadi. Pertama, dengan dibukanya kesempatan
mengajukan keberatan dapatlah disimpulkan bahwa putusan BPSK itu masih belum final.
Sementara kata mengikat ditafsirkan sebagai harus dijalankan oleh yang diwajibkan untuk
itu. Jika tidak dijalankan, maka putusan akan dijadikan bukti penyidikan. Muncul pertanyaan
lebih lanjut apakah dengan demikian perkara yang barangkali semula bersifat murni perdata itu
dapat serta merta dapat diubah menjadi kasus pidana?
6

Dalam hubungannya dengan keputusan majelis badan penyelesaian sengketa konsumen


yang tidak diterima oleh para pihak dan mengajukan keberatan kepengadilan negri (pasal 56 ayat
2 UUPK). Selanjutnya pengadilan negri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan tersebut
pasal 58 ayat 1 UUPK, hal ini terkait dengan produk yang harus dikeluarkan pengadilan negri
yang sesuai dengan ketentuan aturan hukum. Kalau produk yang harus dikeluarkan oleh
pengadilan negri yang sesuai dengan ketentuan aturan hukum. Kalau produk yang harus
dikeluarkan itu berupa putusan, bukan keputusan, maka prosedur hukum yang harus ditempuh
adalah gugatan perdata biasa sesuai dengan proses hukum acara yang berlaku.
Dewasa ini memang banyak perangkat hukum applicable atau tidak efektif dalam
penerapannya, atau bahkan ada aturan hukum yang menjadi antik karna tidak pernah atau jarang
sekali diterapkan, pemaslahan ini merupakan bagian dari manajemen bangunan hukum
diindonesia. Termasuk diantaranya perangkat hukum yang tidak dapat diterapkan sesuai dengan
tujuannya, adalah UU No. 8 Tahun 1999 mengenai BPSK dalam hal yang menyangkut hubungan
dengan pengadilan negri dan Penyidik.
Pelaksanaan pasal 58 UUPK yang menyatakan bahwa pengadilan Negri wajib
mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana yang dimaksud pasal 56 ayat 2 dalam waktu
paling lambat 21 hari dari sejak diterimanya keberatan. Sedangkan pasal 56 ayat 2 menentukan
bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan (keberatan atas keputusan BPSK) kepada
pengadilan negri yang paling lambat 14 hari setelah menerima keputusan.
Dalam hal ini menurut hukum yang lazim karna putusan pengadilan negri menurut adanya
pemenuhan standar yang baku dan produk luar negri telah ditentukan pula secara yuridis.
Penyerahan kasus pihak yang tidak melaksanakan putusan BPSK kepada penyidik, secara
yuridis dituntut untuk memenuhi kualifikasi persyaratan bahwa ketentuan yang dilanggar itu
menyangkut masalah pidana. Hal ini merupakan kewajiban yuridis bagi penyidik untuk tidak
melibatkan diri dalam urusan perdata karna penyidik tidak memilki mandat hukum mengurus
perkara perdata. Pada saat yang sama penyidik menghadapi gugatan dari pengacara pihak yang
merasa dirugikan, jika penyidik memaksakan diri menjadi peran juru sita. Dalam kacamata
sistem peradilan diindonesia, pada dasarnya putusan majelis BPSK bersifat non litigasi, sehingga
ada pihak yang keberatan atas putusan BPSK tersebut, mereka dapat mengajukan kepada
7

pengadilan negri. Dalam arti pula putusan BPSK ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial.
Ketentuan pasal 58 UU No 8 Tahun 1999 yang mewajibkan pengadilan negri disyaratkan untuk
memproses penyelesaian suatu perkara dengan melalui acara gugatan perdata biasa. Hal ini
menunjukkan bahwa posisi proses hukum dan putusan BPSK itu pada dasarnya non yudisial.
Dalam arti pula, putusan BPSK itu merupakan gerbong lain dari rangkain gerbong mekanisme
sistem pengadilan, jadi berada diluar mekanisme peradilan umum.
Pengaturan mengenai BPSK terdapat beberapa pasal dalam UUPK yang tidak applicable
karna tidak sesuai dengan ketentuan aturan uu yang lain. Akibat adanya cacat substansial dalam
bebarapa pasal tersebut, maka tujuan untuk melindungi konsumen tidak tercapai. bahkan yang
tujuannya untuk mengurangi beban kuantitas perkara dengan poengadilan umum, tapi berbalik
menambah beban bagi pengadilan. Begitu pula kualifikasi personal orang yang duduk di BPSK
perlu diperjelas dangan kode etik personal perlu ditegakkan. Apalagi untuk masa mendatang
masyarakat konsumen akan semakin meningkat tuntutan kualitas perlindungan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
8

Keberadaan BPSK yang ada diIndonesia, adalah langkah awal pemecahan dari masalahmasalah sengketa konsumen yang terjadi. Didukung dengan adanya berbagai peraturan
perundang-undangan yang menaunginya, membuat BPSK semakin menyebar diseluruh kota
besar yang ada diindonesia. Dalam setiap lembaga tentu mengalami pasang surut serta
penghambat dan pengdukung dalam kinerjanya terutama berperan dalam menangani masalah
sengketa konsumen. Meskipun secara tegas tugas dan wewenang BPSK termaktub dalam UU No
8 Tahun 1999 tentang Undang-undang perlindungan konsumen dalam pasal 52.
B. Saran
Penyelesaian sengketa konsumen telah diatur dalam beberapa undang-undang dan
sebaiknya BPSK dilevel daerah diharapkan mampu mengatasi dan menyelesaikan permasalahan
sengketa konsumen, tanpa harus melakukan pengurusan dipusat. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan kepada konsumen untuk melakukan upaya hukum yang tidak menguras
energy, biaya dan pikirannya.

DAFTAR PUSTAKA

N.H.T Siahaan. 2005. Hukum Konsumen. Jakarta: Panta Rei

Celina Tri Siwi Kristiyanti, S.H., M.HUM. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar
Grafika
Janus Sidabalok, S.H., M.HUM. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti
Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.Ag., S.H., M.HUM. Hak-hak Konsumen

10

Anda mungkin juga menyukai