Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Benigna Prostat Hiperplasia adalah kelenjar prostat mengalami pembesaran,
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi
ofisium uretra ( Brunner & Suddarth, 2000). Sedangkan menurut Schwartz, 2000 BPH
adalah kelainan yang sering terdapat pada kelenjar prostat, lebih sering terjadi setelah
berusia 50 tahun dan berhubungan dengan pembesaran prostat yang jinak.
Maligna Prostat Hiperplasi ( MPH ) adalah pembesaran ganas kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang bersifat ganas yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika
Sedangkan Benigna Prostat Hipertropi adalah : pembesaran progresif dan kelenjar
prostat (secra umum pada pria lebih dari 50 th ) enyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretal dan pembatasan aliran urinarius.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian BPH?
2. Bagaimana tahap perkembangan penyakit BPH?
3. Apa saja penyebabnya ?
4. Bagaimana tanda dan gejalanya?
5. Bagaimana patofisiologi terjadinya BPH?
6. Bagaimana pathways dari BPH?
7. Apa saja pemeriksaan penunjangnya ?
8. Apa saja komplikasi dari BPH?
9. Bagaimana penatalaksanaan medis untuk BPH?
10. Bagaiman penatalaksanaan pre dan post operasi BPH?
11. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien BPH?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian BPH
2. Untuk mengetahuia tahap perkembangan penyakit BPH?
3. Untuk mengetahui Apa saja penyebabnya
4. Untuk mengetahui Bagaimana tanda dan gejalanya
5. Untuk mengetahui Bagaimana patofisiologi terjadinya BPH
6. Untuk mengetahui pathways pada BPH
7. Untuk mengetahui Apa saja pemeriksaan penunjangnya
8. Untuk mengetahui Apa saja komplikasi dari BPH
9. Untuk mengetahui Bagaimana penatalaksanaan medis untuk BPH
10. Untuk mengetahui penatalaksanaan pre dan post operasi BPH
11. Untuk mengetahui asuhan keperawatab pada BPH

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut
beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).

2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam


prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut
mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi
leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari
kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih
yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami
atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat
mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi
(BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang
biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung
kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan
B. TAHAPAN PERKEMBANGAN PENYAKIT BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005)
secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas
dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-100 ml.
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat
diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
C. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada
pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka
kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011) Etiologi yang
belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi penyebab

timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori
Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel
(apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya
penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada
BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5alfa reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada
BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar
estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan
testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan
dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).
Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih panjang
sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh
sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel
stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri
intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast
Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostad jinak. bFGF
dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis) Progam kematian sel (apoptosis) pada
sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar

prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya selsel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara
laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam
keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar
prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada
keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun,
akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma
maupun sel epitel.
D. MANINFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan
gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga
urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah,
Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak
nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada

epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual
yang besar.
E. PATOFISIOLOGI
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan
hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang
jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan
berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien
tidak bias mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin.
Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran
urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputusputus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk
memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika
urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga
pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan
adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi
dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
F. PATHWAYS
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1. Laboratorium
a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk
menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa
antimikroba.

b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang


menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.
c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak
perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate
specific antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya
dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
2. Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan
volume BPH, menentukan derajat disfungsi bulibuli dan volume residu urin serta
untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak
berhubungan dengan
a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh
dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat
kegagalan ginjal.
b. Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya
kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis.
Dan memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya
indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian
distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelokbelok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi,
divertikel atau sakulasi buli-buli.
c. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa
masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli,
mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan
mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.
H. KOMPLIKASI
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi


7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat
pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.
I. PENATALAKSANAAN
Jenis pengobatan pada BPH antara lain:
1. Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan
adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari

obat-obat

dekongestan,

mengurangi

minum

kopi

dan

tidak

diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan
dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot
polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air
seni dan gejala-gejala berkurang.
b. Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga
prostat yang membesar akan mengecil.
3. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. indikasi absolut untuk terapi
bedah yaitu : retensi urin berulang, hematuri ,tanda penurunan fungsi ginjal ,infeksi
saluran kemih berulang, tanda obstruksi berat seperti hidrokel,.ada batu saluran
kemih.
a. Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen
bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat
yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan
kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang
menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard
karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat
menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung
kemih dan bukan melalui uretra.
1) Prostatektomi Supra pubis.

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.


Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat
diangkat dari atas.
2) Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara
ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat
mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan
pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
3) Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan
spingter kandung kemih lebih sedikit.
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang jaringan
prostat yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pasca
prostatektomi

mencakup

perdarahan,

infeksi,

retensi

oleh

karena

pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan


prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi
perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal.
Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6
sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah sembuh. Setelah
ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan
diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada uretra posterior
menyebabkan ejakulasi retrogard.
b. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil
( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini
dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih
rendah di banding cara lainnya.
c. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong

dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih
dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai
efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada
prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan
reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis
selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan
granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika.

J. PENATALAKSANAAN PRE DAN POST OPERASI BPH


1. Pre operasi
a. Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT, AL)
b. Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
c. Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
d. Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya udara
2. Post operasi
a. Irigasi/Spoling dengan Nacl
1) Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
2) Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
3) Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
4) Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
5) Hari ke 4 post operasi diklem
6) Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin
dalam kateter bening)
7) Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan
serohemoragis < 50cc)

b. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2 hari,
bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi bisa
diganti dengan obat oral.
c. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
d. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan
e.
f.
g.
h.
i.

betadin
Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk
berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan perdarahan
dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat
membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat membantu

menghilangkan spasme.
j. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi tidak
duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
k. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol
berkemih.
l. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian
jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
m. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah
bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap
dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi pada
kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya memberikan
tekannan pada fossa prostatik.

K. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Eliminasi
Gejala
: Penurunan kekuatan/dorongan aliaran urin ; tetesan, Ragu -ragu
Tanda

berkemih, nokturia, disuria, hematuria.


: Massa padat dibawah abdomen bawah ( DistensiKandung kemih,

nyeri tekan kandung kemih )


b. Nyeri/ kenyamanan

Gejala

: Nyeri suprapubis, panggul, punggung bawah, Sirkulasi: Peninggian


tekanan darah, Psikososial: Ekspresi takut akibat inkontinensia,

gangguan Seksualitas
c. Pemeriksaan Diagnostik
Urinalisa : Warna kuning,coklatgelap,merah gelap atau terang( berdarah ),PH 7
atau lebih.
Kultur urin
:Ada staphylococcusAureus,E.Colly,Pseudomonas.
BUN/Kreatinin : Meningkat pada gangguan ginjal
SDP
: Lebih dari 11.000 Ultrasonografi transrektal dan suprapubic untuk
mengetahui ukuran prostat.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker
dan Canobbio (2008) adalah :
a) Pre Operasi
1) Retensi urin akut/kronis

berhubungan

dengan

obstruksi

mekanik,

pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung


kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2) Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
3) Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status
kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi
prosedur bedah.
4) Kurang pengetahuan

tentang

kondisi

dan

kebutuhan

pengobatan

berhubungan dengan kurangnya informasi.


b) Post Operasi
1) Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema,
trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
2) Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder
pada pembedahan
3) Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler ( tindakan
pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
5) Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten
akibat dari pembedahan.
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

Anda mungkin juga menyukai