Anda di halaman 1dari 8

ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

Menampilkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Manca Negara

Kamis, 24 November 2016


PLTN Fissi Thorium Lebih Aman dibanding PLTN Uranium

PLTN dengan bahan bakar (BB) berbasis thorium (Th)


makin menarik perhatian dunia apalagi bila dikaitkan dengan kecelakaan nuklir di
Fukushima (PLTN Uranium). Tanggal 25 Januari 2011, beberapa minggu sebelum
gempa dan tsunami yang merusak PLTN Fukushima di Jepang, China
mengumumkan ambisinya untuk membangun PLTN berbasis Thorium dalam jangka
waktu 20 tahun. Salah satu pilihan China jatuh kepada jenis reaktor yang disebut
oleh China dengan istilah TMSR (Thorium Molten-Salt Reactor), Reaktor Garam Cair
Thorium.

Seperti diketahui, Reaktor Thorium


Fluorida Cair (LFTR = the Liquid Fluoride Thorium Reactor, yang disebut 'Lifter')
adalah reaktor generasi IV yang menggunakan campuran garam cair ThF4-U233F4
sebagai BB sekaligus sebagai pendingin reaktor yang disirkulasikan melalui teras
reaktor dan penukar panas yang memanasi gas Helium sebagai media hingga 930C
dan gas He tersebut diumpankan ke turbin gas dan balik ke penukar panas dalam
siklus tertutup. Turbin akan menggerakkan generator listrik.
BB berbasis Th dalam bentuk garam cair tsb tidak memerlukan fabrikasi BB,
sehingga struktur reaktor menjadi sederhana, derajat bakar (burn-up) merata, BB
cair dapat diganti dengan BB segar dan diproses-ulang secara online sekaligus
racun netron Xe-135 dan Kr-83 dapat dibuang secara sinambung. Sementara,
produk fissi lainnya, misalnya molebdinum dan iodine (setelah melalui proses

ekstraksi) dapat digunakan untuk keperluan medis. Akibatnya, jenis reaktor Th


semacam itu dapat terus menerus menyala sampai tua dengan derajat bakar tak
terbatas.

PLTN berbasis Th lebih aman, karena


Th-232 harus dibombardir oleh sumber netron lambat dari luar secara sinambung
(bisa via akselerator / sinar foton / inti Pu seperti yang dikembangkan di India) untuk
mengubahnya menjadi U-233 agar dapat melakukan reaksi fissi, karena tidak
mempunyai reaksi rantai, dan tidak cukup netron untuk melanjutkan reaksi fissi. Bila
sumber netron disingkirkan, reaktor akan mati. Bila reaktor mengalami kelebihan
panas (seperti di Fukushima), sumbat kecil di bawah bejana pengungkung reaktor
akan meleleh dan larutan garam Th mengucur ke bawah akibat gaya berat ke tangki
bawah tanah yang telah disediakan, dan hal itu tidak memerlukan komputer atau
pompa listrik yang bisa saja lumpuh oleh tsunami. Reaktor berbasis Th mampu
menyelamatkan dirinya sendiri. Reaktor beroperasi pada tekanan atmosferik, tidak
ada gas hidrogen yang dapat meledak, lebih bersih, lebih murah dengan limbah
nuklir yang dihasilkan lebih sedikit.

Aspek menarik lain dari Th pemancar alpha ini adalah tidak memerlukan proses
pemisahan isotop (U memerlukan proses ini untuk memperoleh bahan fissil U-235
dari 0,7 % menjadi 3-5 % yang menelan biaya cukup besar), dan U-233 yang
diperoleh tidak dengan mudah dapat dibuat senjata nuklir karena adanya
kontaminan U-232. Oleh karena itu, PLTN berbasis Th dengan BB jenis garam cair
cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia, sekaligus menghapus
kecurigaan negara maju, karena pengguna PLTN berbasis Th sulit membuat senjata
nuklir. Sebaliknya, PLTN U di dunia memproduksi isotop Pu yang bila diprosesulang, Pu-239 dapat digunakan sebagai senjata nuklir.

Energi yang dilepaskan oleh Th ketika melakukan reaksi fissi cukup mengesankan.
Dr. Rubbia, pemenang nobel Fisika 1984 mengatakan bahwa satu ton logam Th
menghasilkan energi setara dengan 300 ton U (alam) atau 3.500.000 ton batu bara
untuk energi listrik 1 GWe. Reaktor Th dapat mengkonsumsi limbahnya sendiri dan
menggunakan Pu sebagai sumber netron sekaligus mengurangi jumlah Pu yang
diproduksi oleh PLTN uranium, sehingga reaktor Th dianggap pula berfungsi sebagai
pembersih lingkungan.
AS mengembangkan Th sejak tahun 1940an, tetapi kebutuhan senjata nuklir U & Pu
diprioritaskan lebih dulu. Dana yang dikeluarkan oleh Amerika dan Eropa untuk
mengembangkan teknologi BB nuklir U & Pu sangat besar, sehingga mereka tidak
ingin melepaskan teknologi itu begitu saja untuk beralih ke Th. Purwarupa pembiak
garam molten pertama pernah dibangun di Oak Ridge (7,4 MW), AS pada tahun
1950 yang beroperasi tahun 1965 hingga 1969.

Perusahaan Amerika, Thorium Power (sekarang Lightbridge) yang melakukan riset


intensif dan bekerja pada desain nuklir berbasis Thorium membuktikan bahwa BB
berbasis Th dapat digunakan di reaktor LWR dan jenis reaktor lainnya tanpa
perubahan
desain
reaktor
yang
berarti.
Sementara, perusahaan Flibe ( Fluoride salt of Lithium and Beryllium) Energy, yang

berasal dari Huntsville, Alabama, AS, diam-diam mengumumkan kehadirannya


dengan teknologi reaktor thorium garam cair, LiF (Lithium Fluorida) dan BeF 2
(Berilium Fluorida) yang berdasarkan teknologi LFTR. Flibe mengadopsi teknologi
tsb dari ORNL, dengan karakteristik beroperasi pada tekanan atmosferik, modular,
dan daya 20-30 MW sekitar $100juta awal (menjadi setengahnya bila diproduksi
massal).

PLTT Fuji, 150MWe


Perusahaan swasta ThEMS (Thorium Energy & Molten-Salt Technology Inc)
didirikan oleh Kazuo Furukawa, perancang reaktor Fuji (Mini Fuji), bertujuan pula
untuk memproduksi listrik menggunakan reaktor Th kecil (10 kW) dalam 5 tahun ke
depan. ThEMS bertujuan menjual listriknya sekitar 11 UScent per kWh (6,8 p/kWh)
jauh lebih murah ketimbang feed-in tariff Inggris yang berkisar antara 34,5 p/kWh
untuk turbin angin kecil hingga 41,3 p/kWh untuk instalasi surya.

Konsep lain adalah ISMR (Integral Molten Salt Reactor) yang ditemukan oleh
Terrestrial Energy (2013, rancangan Dr. D. Leblanc), perusahaan Canada. Reaktor
diganti setiap 7 tahun sekali. Ada dua reaktor tersedia (bersebelahan). Reaksi nuklir
penghasil listrik dilakukan secara bergantian (setiap 7 tahun) yang berisi campuran
garam fluorida thorium dan uranium berpengayaan rendah. Risiko reaktor nuklir
konvensional seperti 1) kehilangan pendingin & pemungutan panas bahang; 2)
produksi hidrogen; 3) tekanan operasi yang amat tinggi; dihindarkan oleh IMSR ini.

PLTN Kakrapar-1
India berencana 30% kebutuhan listriknya berasal dari PLTN berbasis Th pada tahun
2050 nanti. Hal itu memungkinkan, karena India memiliki sekitar 25% cadangan Th
dunia (lebih dari 932.000 ton). Upaya itu telah dirintisnya sejak awal, sehingga India
sekarang memimpin dunia dalam perancangan reaktor nuklir berbasis Th. Sebuah
reaktor mini 30 kW dengan BB berbasis Th telah sukses dioperasikan di reaktor
Kamini di Kalpakkam, India. Kesuksesan itu mendorong India untuk memasang BB
berbasis Th pada PLTN-nya. PLTN Kakrapar-1, di kota Surat, Gujarat, adalah

reaktor yang pertama kali menggunakan BB berbasis Th di dunia, dan


menggunakan akselerator Pu dalam teras reaktor. Percobaan menggunakan 500 kg
Th pada Kakrapar-1 dan Kakrapar-2 dilakukan pada tahun 1995. Kakrapar-1
mencapai operasi daya penuh selama 300 hari, dan Kakrapar-2 mencapai operasi
daya
penuh
selama
100
hari.
Desain PLTN berbasis Th (300 MW) Kakrapar-1 menggunakan reaktor maju air
berat bertekanan (AHWR) telah diselesaikan th 2014 dan akan beroperasi paling
lambat tahun 2025. Dalam desain itu, bahan bakar di bagian tengah teras berupa 30
batang oksida Th-233/U-233 yang dikelilingi oleh 24 batang oksida Th-233/Pu-239.
Konfigurasi itu cukup menyediakan U-233 yang mandiri dengan menghasilkan
keluaran tenaga nuklir sebesar 60%, yang diharapkan beroperasi selama 100
tahun. India menggunakan Th pula pada 5 reaktor lainnya, yaitu di Kakrapar-2,
Kaiga-1,
Kaiga-2,
Rajasthan-3 (Rawatbhata-3),
dan
Rajasthan-4.
Hasil-hasil penelitian India mendorong Amerika, Rusia (Institut Kurchatov Moskow),
dan baru-baru ini Norwegia dan Polandia untuk melakukan penelitian lebih dalam.
Penelitian yang melibatkan Th di Julich (Jerman), Winfrith (UK), dan Peach Bottom
(AS) dihidupkan kembali yang sebelumnya sudah pernah mereka lakukan.
Pemanfaatan Thorium di Indonesia

Thorium dari slag Timah, Babel


Thorium ditemukan tersedia cukup melimpah di Indonesia (sekitar 117 ribu ton;
cukup untuk menyalakan PLTT 1GWe sekitar 117 buah untuk 1000 tahun) (di dunia,
Th 3-4 kali lebih melimpah dibanding U) dan murah, karena monasit (potensi di
Babel sekitar 1,5 miliar ton yang mengandung Th sekitar 0,26-14,9%) sebagian (> 6
ton) sudah ada di permukaan tanah sebagai produk samping / slag tambang timah di
Babel. PT Timah dan BATAN telah melakukan kerjasama untuk memanfaatkan
monasit tersebut. Indonesia tidak perlu lagi berhubungan dengan kartel U yang
dapat memainkan harga U sesuka hati. Lagi pula, limbah monasit membawa pula
produk samping yang berupa logam tanah jarang (LTJ) (di antaranya adalah Y, La,
Ce, Pr, Nd, Gd, Sc, Sm, Eu, Dy, dll) yang harganya cukup mahal. Pemerintah telah
membentuk konsorsium untuk memanfaatkan LTJ ini. Nd adalah bahan magnet
permanen
terkuat
di
dunia
yang
tersedia
di
Babel.
BATAN berencana membangun PLTN (jenis HTGR) mini non komersial (RDE 30
MW, reaktor nuklir generasi IV) di Serpong yang ditargetkan akan beroperasi tahun
2019 dan kemungkinan menggunakan BB Thorium (selain uranium).
PLTT

Pulau nuklir ThorCorn


Di sisi lain, PT INUKI bekerjasama dengan ThorCon Power (konsep dari Martingale
Inc.) guna mengembangkan MSRE (Molten Salt Reactor Experiment) skala pilot
(posisi reaktor 30 m di bawah muka tanah; beratnya 150-500ton; perlu 200 blok
untuk daya 1 GWe) yang akan menghasilkan listrik sekitar 3-5 sen US$/kWh, dan
pembangunannya hanya perlu satu tahun untuk membangun reaktor thorium 1GWe,
sedangkan PLTN uranium dengan daya yang sama perlu waktu 8-10 tahun.

Pertamina, PLN, ThorCon, & INUKI


Kerjasama itu ditingkatkan dengan penekenan MoU (27 Oktober 2015, saat
Presiden Jokowi berkunjung ke AS) di Washington DC antara ThorCon dengan tiga
BUMN Indonesia (PT INUKI, PT PLN, PT Pertamina, yang membentuk Konsorsium
Thorium Indonesia). Tujuan Konsorsium adalah untuk mengembangkan dan
memanfaatkan reaktor garam cair thorium komersial berdasarkan desain ThorCon.
PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) tersebut dijadwalkan akan dikomisioning
th 2021. BIla hal itu terjadi, Indonesia akan menjadi operator pertama PLTT jenis
MSR.

Desain PLTT 2 x 2 x 250 MW


ThorCon Power mengembangkan reaktor buatan ORNL yang telah teruji / proven
(desain 1960, tidak ada yang baru) yang diatur menyerupai bentuk kapal, sehingga
dengan mudah disusun secara modular dan dirakit dengan cepat dan dapat segera
dikirim ke pelanggan. Desain PLTT di darat dan tongkang dapat dilihat dalam
gambar samping. Desain BB reaktornya berupa campuran natrium, berilium,
uranium, dan thorium fluorida yang disebut Nabe. Reaktor PLTT beroperasi pada
tekanan kamar, diganti setiap 4 tahun sekali. Saat ini pengujian 250MWe selama 4
tahun sedang berlangsung.

Thorium Power Canada (TPC, mengadopsi teknologi ThO2 padat milik DBI,
$2juta/MW, dapat dibangun dalam waktu 2-3 tahun, modular) pernah berkeinginan
untuk membangun Reaktor Th berkapasitas 25 MW di Indonesia. Proyek tersebut
berencana akan memasok tenaga listrik ke PLN. TPC (yang membeli paten DBI
Century Fuels, Inc., California, AS) akan menjual listrik berkisar antara 4-7 cent/kWh
dengan daya 25 MW (Indonesia) dan dapat dibuat seri hingga (25 x 40) 1000MW.

Desain PLLT lainnya adalan dari perusahaan Moltex Energy, Inggris / UK yang
mengenalkan SSR (Stable Salt Reactor). BB Thorium Fluorida berbentuk garam cair
molten thorium [2/3 bagian, 1/3 bagian berupa LEU atau Pu (60%Pu-239 + 40%Pu240)] dalam kelongsong, mirip PLTN yang sudah ada. Garam cair molten memiliki
perpindahan panas sangat bagus, stabil secara kimia, efisiensi tinggi, dan
bertekanan atmosferik (pendingin: ZrF4/NaF/KF, titik lebur ~385 oC). Bila suhu
menaik, reaktivitas menurun, tetapi bila suhu menurun, reaktivitas malah menaik.
Reaktor (spt gambar) berada dalam tangki besar. Setiap berkas BB dapat
dipindahkan dari atas dengan mesin pindah.

PLTT SSR 300MW


Dalam kondisi kecelakaan (panas lebih), Passive air cooling system akan berjalan
otomatis, tanpa bantuan mesin apapun. Konduktivitas garam cair 10x lebih rendah
daripada UO2, maka sirkulasi garam cair dari teras reaktor ke pembangkit uap
diperlukan. Tabung BB mirip dengan BB pin padat (reaktor konvensional), yang
terbuat dari paduan logam yang sama. Daya yang ditawarkan sekitar 300 MW
dengan harga <2$/W, atau sekitar Rp.8 triliun. Bila ingin daya di atas 1GW, maka 3
unit disusun secara modular. Motto SSR: milikilah PLTN thorium yang Lebih murah,
lebih
sederhana,
dan
lebih
aman.
Bila Indonesia memilih untuk memiliki PLTN berbasis Thorium (PLTT), misalnya

dengan BB jenis garam cair Thorium seperti ISMR, ThorCon, SSR, dan desain
China, sudah saatnya para staf/operator di reaktor riset/PLTN BATAN (PTBN) terlibat
pula dalam penelitian bersama-sama (termasuk diklat) dengan bangsa lain untuk
menguasai teknologi BB Thorium. Mereka juga sedang berlomba-lomba mencari
angka-angka yang diperlukan dalam pengoperasian reaktor mini/riset thorium dan
PLTT.
Ditulis
oleh:
Fathurrachman
Fagi
________________________________________________
Bila
anda
meng-copy
&
paste
tulisan
ini
di
blog
anda,
mohon
dengan
ikhlas
menyebutkan
link
sumbernya
http://energibarudanterbarukan.blogspot.co.id/2011/03/pltn-fissi-thorium-palingaman.html
http://energibarudanterbarukan.blogspot.co.id/2011/03/pltn-fissi-thorium-paling-aman.html

Anda mungkin juga menyukai