Anda di halaman 1dari 17

Tuberkulosis (Tuberculosis, disingkat Tbc), atau Tb (singkatan dari "Tubercle bacillus")

merupakan penyakit menular yang umum, dan dalam banyak kasus bersifat mematikan.
Penyakit ini disebabkan oleh berbagai strain mikobakteria, umumnya Mycobacterium
tuberculosis (disingkat "MTb" atau "MTbc").[1] Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru,
namun juga bisa berdampak pada bagian tubuh lainnya. Tuberkulosis menyebar melalui udara
ketika seseorang dengan infeksi TB aktif batuk, bersin, atau menyebarkan butiran ludah
mereka melalui udara.[2] Infeksi TB umumnya bersifat asimtomatikdan laten. Namun hanya
satu dari sepuluh kasus infeksi laten yang berkembang menjadi penyakit aktif. Bila
Tuberkulosis tidak diobati maka lebih dari 50% orang yang terinfeksi bisa meninggal.
Gejala klasik infeksi TB aktif yaitu batuk kronis dengan bercak darah sputum atau dahak,
demam, berkeringat di malam hari, dan berat badan turun. (dahulu TB disebut penyakit
"konsumsi" karena orang-orang yang terinfeksi biasanya mengalami kemerosotan berat
badan.) Infeksi pada organ lain menimbulkan gejala yang bermacam-macam. Diagnosis TB
aktif bergantung pada hasil radiologi (biasanya melalui sinar-X dada) serta pemeriksaan
mikroskopis dan pembuatan kultur mikrobiologis cairan tubuh. Sementara itu, diagnosis TB
laten bergantung pada tes tuberkulin kulit/tuberculin skin test (TST) dan tes darah.
Pengobatan sulit dilakukan dan memerlukan pemberian banyak macam antibiotik dalam
jangka waktu lama. Orang-orang yang melakukan kontak juga harus menjalani tes penapisan
dan diobati bila perlu. Resistensi antibiotik merupakan masalah yang bertambah besar pada
infeksi tuberkulosis resisten multi-obat (TB MDR). Untuk mencegah TB, semua orang harus
menjalani tes penapisan penyakit tersebut dan mendapatkan vaksinasi basil CalmetteGurin.
Para ahli percaya bahwa sepertiga populasi dunia telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,[3] dan
infeksi baru terjadi dengan kecepatan satu orang per satu detik.[3] Pada tahun 2007,
diperkirakan ada 13,7 juta kasus kronis yang aktif di tingkat global.[4] Pada tahun 2010,
diperkirakan terjadi pertambahan kasus baru sebanyak 8.8 juta kasus, dan 1,5 juta kematian
yang mayoritas terjadi di negara berkembang.[5] Angka mutlak kasus Tuberkulosis mulai
menurun semenjak tahun 2006, sementara kasus baru mulai menurun sejak tahun 2002.[5]
Tuberkulosis tidak tersebar secara merata di seluruh dunia. Dari populasi di berbagai negara
di Asia dan Afrika yang melakukan tes tuberkulin, 80%-nya menunjukkan hasil positif,
sementara di Amerika Serikat, hanya 510% saja yang menunjukkan hasil positif.[1]
Masyarakat di dunia berkembang semakin banyak yang menderita Tuberkulosis karena
kekebalan tubuh mereka yang lemah. Biasanya, mereka mengidap Tuberkulosis akibat
terinfeksi virus HIV dan berkembang menjadi AIDS.[6] Pada tahun 1990-an Indonesia berada
pada peringkat-3 dunia penderita TB, tetapi keadaan telah membaik dan pada tahun 2013
menjadi peringkat-5 dunia.

Daftar isi

1 Tanda-tanda dan gejala


o 1.1 TB paru
o 1.2 TB ekstra paru

2 Penyebab

o 2.1 Mikobakteria
o 2.2 Faktor-faktor Resiko

3 Mekanisme
o 3.1 Penularan
o 3.2 Patogenesis

4 Diagnosis
o 4.1 Tuberkulosis Aktif
o 4.2 Tuberkulosis laten

5 Pencegahan
o 5.1 Vaksin
o 5.2 Kesehatan masyarakat

6 Penanganan
o 6.1 Kasus baru
o 6.2 Penyakit kambuh
o 6.3 Resistensi obat

7 Prognosa

8 Epidemiologi

9 Sejarah

10 Masyarakat dan budaya

11 Riset

12 Di binatang lain

13 Referensi

Tanda-tanda dan gejala

Gejala utama jenis dan stadium TB ditunjukkan dalam gambar.[7] Banyak gejala yang
tumpang tindih dengan jenis lain, namun ada pula gejala yang hanya spesifik (tapi tidak
seluruhnya) pada jenis tertentu. Beragam jenis bisa muncul secara bersamaan.
Dari kelompok yang bukan pengidap HIV namun kemudian terinfeksi Tuberkulosis, 5-10%
di antaranya menunjukkan perkembangan penyakit aktif selama masa hidup mereka.[8]
Sebaliknya, dari kelompok yang terinfeksi HIV dan juga terinfeksi Tuberkulosis, ada 30%
yang menunjukkan perkembangan penyakit aktif.[8] Tuberkulosis dapat menginfeksi bagian
tubuh mana saja, tapi paling sering menginfeksi paru-paru (dikenal sebagai Tuberkulosis
paru).[9] Bila Tuberkulosis berkembang di luar paru-paru, maka disebut TB ekstra paru. TB
ekstra paru juga bisa timbul bersamaan dengan TB paru.[9] Tanda dan gejala umumnya antara
lain demam, menggigil, berkeringat di malam hari, hilangnya nafsu makan, berat badan
turun, dan lesu.[9] Dapat pula terjadijari tabuh yang signifikan.[8]

TB paru
Bila infeksi Tuberkulosis yang timbul menjadi aktif, sekitar 90%-nya selalu melibatkan paruparu.[6][10] Gejala-gejalanya antara lain berupa nyeri dada dan batuk berdahak yang
berkepanjangan. Sekitar 25% penderita tidak menunjukkan gejala apapun (yang demikian
disebut "asimptomatik").[6] Kadangkala, penderita mengalami sedikit batuk darah. Dalam
kasus-kasus tertentu yang jarang terjadi, infeksi bisa mengikis ke dalam arteri pulmonalis,
dan menyebabkan pendarahan parah yang disebut Aneurisma Rasmussen. Tuberkulosis juga
bisa berkembang menjadi penyakit kronis dan menyebabkan luka parut luas di bagian lobus
atas paru-paru. Paru-paru atas paling sering terinfeksi.[9] Alasannya belum begitu jelas.[1]
Kemungkinan karena paru-paru atas lebih banyak mendapatkan aliran udara[1] atau bisa juga
karena drainase limfa yang kurang baik pada paru bagian atas.[9]

TB ekstra paru
Dalam 1520% kasus aktif, terjadi penyebaran infeksi hingga ke luar organ pernapasan dan
menyebabkan TB jenis lainnya.[11] TB yang terjadi di luar organ pernapasan disebut
"tuberkulosis ekstra paru".[12] TB ekstra paru umumnya terjadi pada orang dewasa dengan
imunosupresi dan anak-anak. TB ekstra paru muncul pada 50% lebih kelompok pengidap
HIV.[12] Lokasi TB ekstra paru yang bermakna termasuk: pleura (pada TB pleuritis), sistem
saraf pusat (pada meningitisTB), dan sistem kelenjar getah bening (pada skrofuloderma
leher). TB ekstra paru juga dapat terjadi di sistem urogenital (yaitu pada Tuberkulosis
urogenital) dan pada tulang dan persendian (yaitu pada penyakit Pott tulang belakang). Bila
TB menyebar ke tulang maka dapat disebut "TB tulang",[13] yang merupakan salah satu
bentuk osteomielitis.[1] Ada lagi TB yang lebih serius yaitu TB yang menyebar luas dan

disebut sebagai TB diseminata, atau biasanya dikenal dengan nama Tuberkulosis Milier.[9] Di
antara kasus TB ekstra paru, 10%-nya biasanya merupakan TB Milier.[14]

Penyebab
Mikobakteria

Hasil pindai mikrograf elektron Mycobacterium tuberculosis


Penyebab utama penyakit TB adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu sejenis basil aerobik
kecil yang non-motil.[9] Berbagai karakter klinis unik patogen ini disebabkan oleh tingginya
kandungan lemak/lipid yang dimilikinya.[15] Sel-selnya membelah setiap 16 20 jam.
Kecepatan pembelahan ini termasuk lambat bila dibandingkan dengan jenis bakteri lain yang
umumnya membelah setiap kurang dari satu jam.[16] Mikobakteria memiliki lapisan ganda
membran luar lipid.[17] Bila dilakukan uji pewarnaan Gram, maka MTB akan menunjukkan
pewarnaan "Gram-positif" yang lemah atau tidak menunjukkan warna sama sekali karena
kandungan lemak dan asam mikolat yang tinggi pada dinding selnya.[18] MTB bisa tahan
terhadap berbagai disinfektan lemah dan dapat bertahan hidup dalam kondisi kering selama
berminggu-minggu. Di alam, bakteri hanya dapat berkembang dalam sel inang organisme
tertentu, namun M. tuberculosis bisa dikultur di laboratorium.[19]
Dengan menggunakan pewarnaan histologis pada sampel dahak yang diekspektorat, peneliti
dapat mengidentifikasi MTB melalui mikroskop (dengan pencahayaan) biasa. (Dahak juga
disebut "sputum"). MTB mempertahankan warna meskipun sudah diberi perlakukan larutan
asam, sehingga dapat digolongkan sebagai Basil Tahan Asam (BTA).[1][18] Dua jenis teknik
pewarnaan asam yang paling umum yaitu: teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen, yang akan
memberi warna merah terang pada bakteri BTA bila diletakkan pada latar biru,[20] dan teknik
pewarnaan auramin-rhodamin lalu dilihat dengan mikroskop fluoresen.[21]
Kompleks M. tuberculosis (KMTB) juga termasuk mikobakteria lain yang juga menjadi
penyebab TB: M. bovis, M. africanum, M. canetti, dan M. microti.[22] M. africanum tidak
menyebar luas, namun merupakan penyebab penting Tuberkulosis di sebagian wilayah
Afrika.[23][24] M. bovis merupakan penyebab umum Tuberkulosis, namun pengenalan susu
pasteurisasi telah berhasil memusnahkan jenis mikobakterium yang selama ini menjadi
masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang ini.[1][25] M. canetti merupakan
jenis langka dan sepertinya hanya ada di kawasan Tanduk Afrika, meskipun beberapa kasus
pernah ditemukan pada kelompok emigran Afrika.[26][27] M. microti juga merupakan jenis

langka dan seringkali ditemukan pada penderita yang mengalami imunodefisiensi, meski
demikian, patogen ini kemungkinan bisa bersifat lebih umum dari yang kita bayangkan.[28]
Mikobakteria patogen lain yang juga sudah dikenal antara lain M. leprae, M. avium, dan M.
kansasii. Dua jenis terakhir masuk dalam klasifikasi "Mikobakteria non-tuberkulosis"
(MNT). MNT tidak menyebabkan TB atau lepra, namun menyebabkan penyakit paru-paru
lain yang mirip TB.[29]

Faktor-faktor Resiko
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa orang lebih rentan terhadap infeksi
TB. Di tingkat global, faktor resiko paling penting adalah HIV; 13% dari seluruh kasus TB
ternyata terinfeksi juga oleh virus HIV.[5] Masalah ini umum ditemukan di kawasan subSahara Afrika, yang angka HIV-nya tinggi.[30][31] Tuberkulosis terkait erat dengan kepadatan
penduduk yang berlebihan serta gizi buruk. Keterkaitan ini menjadikan TB sebagai salah satu
penyakit kemiskinan utama.[6] Orang-orang yang memiliki resiko tinggi terinfeksi TB antara
lain: orang yang menyuntik obat terlarang, penghuni dan karyawan tempat-tempat
berkumpulnya orang-orang rentan (misalnya, penjara dan tempat penampungan
gelandangan), orang-orang miskin yang tidak memiliki akses perawatan kesehatan yang
memadai, minoritas suku yang beresiko tinggi, dan para pekerja kesehatan yang melayani
orang-orang tersebut.[32] Penyakit paru-paru kronis adalah faktor resiko penting lainnya.
Silikosis meningkatkan resiko hingga 30 kali lebih besar.[33] Orang-orang yang merokok
memiliki resiko dua kali lebih besar terkena TB dibandingkan yang tidak merokok.[34] Adanya
penyakit tertentu juga dapat meningkatkan resiko berkembangnya Tuberkulosis, antara lain
alkoholisme/kecanduan alkohol[6] dan diabetes mellitus (resikonya tiga kali lipat).[35] Obatobatan tertentu, seperti kortikosteroid dan infliximab (antibodi monoklonal anti-TNF) juga
merupakan faktor resiko yang semakin penting, terutama di kawasan dunia berkembang.[6]
Meskipun kerentanan genetik[36] juga bisa berpengaruh, namun para peneliti belum
menjelaskan sampai sejauh mana peranannya.[6]

Mekanisme

Kampanye kesehatan masyarakat pada tahun 1920-an untuk menghentikan penyebaran TB.

Penularan
Ketika seseorang yang mengidap TB paru aktif batuk, bersin, bicara, menyanyi, atau
meludah, mereka sedang menyemprotkan titis-titis aerosol infeksius dengan diameter 0.5
hingga 5 m. Bersin dapat melepaskan partikel kecil-kecil hingga 40,000 titis.[37] Tiap titis
bisa menularkan penyakit Tuberkulosis karena dosis infeksius penyakit ini sangat rendah.
(Seseorang yang menghirup kurang dari 10 bakteri saja bisa langsung terinfeksi).[38]
Orang-orang yang melakukan kontak dalam waktu lama, dalam frekuensi sering, atau selalu
berdekatan dengan penderita TB, beresiko tinggi ikut terinfeksi, dengan perkiraan angka
infeksi sekitar 22%.[39] Seseorang dengan Tuberkulosis aktif dan tidak mendapatkan
perawatan dapat menginfeksi 10-15 (atau lebih) orang lain setiap tahun.[3] Biasanya, hanya
mereka yang menderita TB aktif yang dapat menularkan penyakit ini. Orang-orang dengan
infeksi laten diyakini tidak menularkan penyakitnya.[1] Kemungkinan penyakit ini menular
dari satu orang ke orang lain tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara
lain jumlah titis infeksius yang disemprotkan oleh pembawa, efektifitas ventilasi lingkungan
tempat tinggal, jangka waktu paparan, tingkat virulensistrain M. tuberculosis, dan tingkat
kekebalan tubuh orang yang tidak terinfeksi.[40] Untuk mencegah penyebaran berlapis dari
satu orang ke orang lainnya, pisahkan orang-orang dengan TB aktif ("nyata") dan masukkan
mereka dalam rejimen obat anti-TB. Setelah kira-kira dua minggu perawatan efektif, orangorang dengan infeksi aktif yang non-resisten biasanya sudah tidak menularkan penyakitnya
ke orang lain.[39] Bila ternyata kemudian ada yang terinfeksi, biasanya perlu waktu tiga
sampai empat minggu hingga orang yang baru terinfeksi itu menjadi cukup infeksius untuk
menularkan penyakit tersebut ke orang lain.[41]

Patogenesis
Sekitar 90% orang yang terinfeksi M. tuberculosis mengidap infeksi TB laten yang bersifat
asimtomatik, (kadang disebut LTBI/Latent TB Infections).[42] Seumur hidup, orang-orang ini

hanya memiliki 10% peluang infeksi latennya berkembang menjadi penyakit Tuberkulosis
aktif yang nyata.[43] Resiko TB pada pengidap HIV untuk berkembang menjadi penyakit aktif
meningkat sekitar 10% setiap tahunnya.[43] Bila tidak diberi pengobatan yang efektif, maka
angka kematian TB aktif bisa mencapai lebih dari 66%.[3]
Infeksi TB bermula ketika mikobakteria masuk ke dalam alveoli paru, lalu menginvasi dan
bereplikasi di dalam endosom makrofag alveolus.[1][44] Lokasi primer infeksi di dalam paruparu yang dikenal dengan nama "fokus Ghon", terletak di bagian atas lobus bawah, atau di
bagian bawah lobus atas.[1] Tuberkulosis paru dapat juga terjadi melalui infeksi aliran darah
yang dikenal dengan nama fokus Simon. Infeksi fokus Simon biasanya ditemukan di bagian
atas paru-paru.[45] Penularan hematogen (melalui pembuluh darah) ini juga dapat menyebar ke
lokasi-lokasi lain seperti nodus limfa perifer, ginjal, otak dan tulang.[1][46] Tuberkulosis
berdampak pada seluruh bagian tubuh, meskipun belum diketahui kenapa penyakit ini jarang
sekali menyerang jantung, otot skeletal, pankreas, atau tiroid.[47]
Tuberkulosis digolongkan sebagai salah satu penyakit yang menyebabkan radang
granulomatosa. Sel-sel seperti Makrofag, limfosit T, limfosit B, dan fibroblast saling
bergabung membentuk granuloma. Limfosit mengepung makrofag-makrofag yang terinfeksi.
Granuloma mencegah penyebaran mikobakteria dan menyediakan lingkungan khusus bagi
interaksi sel-sel lokal di dalam sistem kekebalan tubuh. Bakteri yang berada di dalam
granuloma menjadi dorman lalu menjadi sumber infeksi laten. Ciri khas lain granuloma
adalah membentuk kematian sel abnormal (nekrosis) di pusat tuberkel. Dilihat dengan mata
telanjang, nekrosis memiliki tekstur halus, berwarna putih keju dan disebut nekrosis kaseosa.
[48]

Bakteri TB bisa masuk ke dalam aliran darah dari area jaringan yang rusak itu. Bakteribakteri tersebut kemudian menyebar ke seluruh tubuh dan membentuk banyak fokus-fokus
infeksi, yang tampak sebagai tuberkel kecil berwarna putih di dalam jaringan.[49] Penyakit TB
yang sangat parah ini disebut tuberkulosis milier. Jenis TB ini paling umum terjadi pada
anak-anak dan penderita HIV.[50] Angka fatalitas orang yang mengidap TB diseminata seperti
ini cukup tinggi meskipun sudah mendapatkan pengobatan (sekitar 30%).[14][51]
Pada banyak orang, infeksi ini sering hilang timbul. Perusakan jaringan dan nekrosis
seringkali seimbang dengan kecepatan penyembuhan dan fibrosis.[48] Jaringan yang terinfeksi
berubah menjadi parut dan lubang-lubangnya terisi dengan material nekrotik kaseosa
tersebut. Selama masa aktif penyakit, beberapa lubang ini ikut masuk ke dalam saluran udara
bronkhi dan material nekrosis tadi bisa terbatukkan. Material ini mengandung bakteri hidup
dan dapat menyebarkan infeksi. Pengobatan menggunakan antibiotik yang sesuai dapat
membunuh bakteri-bekteri tersebut dan memberi jalan bagi proses penyembuhan. Saat
penyakit sudah sembuh, area yang terinfeksi berubah menjadi jaringan parut.[48]

Diagnosis
Tuberkulosis Aktif
Sangat sulit mendiagnosis Tuberkulosis aktif hanya berdasarkan tanda-tanda dan gejala saja.
[52]
Sulit juga mendiagnosis penyakit ini pada orang-orang dengan imunosupresi.[53] Meski
demikian, orang-orang yang menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka memiliki penyakit
paru-paru atau gejala konstitusional yang berlangsung lebih dari dua minggu maka bisa jadi

orang tersebut tertular TB.[53] Gambar sinar X dada dan pembuatan beberapa kultur sputum
untuk basil tahan asam biasanya menjadi salah satu bagian evaluasi awal.[53] Uji pelepasan
interferon- (IGRAs) dan tes kulit tuberkulin tidak optimal diterapkan di dunia berkembang.
[54][55]
IGRA memiliki kelemahan yang serupa bila diterapkan pada penderita HIV.[55][56]
Diagnosis yang tepat untuk TB dilakukan ketika bakteri M. tuberculosis ditemukan dalam
sampel klinis (misalnya, dahak, nanah, atau biopsi jaringan). Namun, proses kultur organisme
yang lambat pertumbuhannya ini membutuhkan waktu dua hingga enam minggu untuk kultur
darah dan dahak saja.[57] Oleh karena itu, pengobatan seringkali dilakukan sebelum hasil
kultur selesai.[58]
Tes amplifikasi asam nukleat dan uji adenosin deaminase dapat lebih cepat mendiagnosis TB.
[52]
Meski demikian, tes ini tidak direkomendasikan secara rutin karena jarang sekali
mengubah cara pengobatan penderita.[58] Tes darah untuk mendeteksi antibodi tidak begitu
spesifik atau sensitif, sehingga tes ini juga tidak direkomendasikan.[59]

Tuberkulosis laten

Tes kulit tuberkulin Mantoux.


Tes kulit tuberkulin Mantoux sering digunakan sebagai penapisan bagi seseorang dengan
resiko TB tinggi.[53] Orang yang pernah diimunisasi sebelumnya dapat memberikan hasil tes
positif yang palsu.[60] Hasil tes dapat memberikan negatif palsu pada orang yang menderita
sarkoidosis, Limfoma Hodgkin, dan malnutrisi. Yang terpenting, hasil tes dapat negatif palsu
pada orang yang menderita tuberkulosis aktif.[1] Interferon gamma release assays (IGRAs)
untuk sampel darah direkomendasikan pada orang dengan hasil tes Mantoux positif.[58]
IGRAs tidak dipengaruhi oleh imunisasi ataupun sebagian besar mikobakteri dari lingkungan,
sehingga mereka memunculkan hasil tes positif palsu yang lebih sedikit.[61] Bagaimanapun
mereka dipengaruhi oleh M. szulgai, M. marinum, and M. kansasii.[62] IGRAs dapat
meningkatkan sensitivitas bila digunakan sebagai tes tambahan selain tes kulit. Tetapi IGRAs
menjadi kurang sensitif dibandingkan tes kulit apabila digunakan sendirian.[63]

Pencegahan
Usaha untuk mencegah dan mengontrol tuberkulosis bergantung pada vaksinasi bayi dan
deteksi serta perawatan untuk kasus aktif.[6] The World Health Organization (WHO) telah
berhasil mencapai sejumlah keberhasilan dengan regimen pengobatan yang dimprovisasi, dan
sudah terdapat penurunan kecil dalam jumlah kasus.[6]

Vaksin

Sejak tahun 2011, satu-satunya vaksin yang tersedia adalah bacillus CalmetteGurin (BCG).
Walaupun BCG efektif melawan penyakit yang menyebar pada masa kanak-kanak, masih
terdapat perlindungan yang inkonsisten terhadap TB paru.[64] Namun, ini adalah vaksin yang
paling umum digunakan di dunia, dengan lebih dari 90% anak-anak yang mendapat
vaksinasi.[6] Bagaimanapun, imunitas yang ditimbulkan akan berkurang setelah kurang lebih
sepuluh tahun.[6] Tuberkulosis tidak umum di sebagian besar Kanada, Inggris Raya, dan
Amerika Serikat, jadi BCG hanya diberikan kepada orang dengan resiko tinggi.[65][66][67] Satu
alasan vaksin ini tidak digunakan adalah karena vaksin ini menyebabkan tes kulit tuberlulin
memberikan positif palsu, sehingga tes ini tidak membantu dalam penyaringan penyakit.[67]
Jenis vaksin baru masih sedang dikembangkan.[6]

Kesehatan masyarakat
World Health Organization (WHO) mendeklarasikan TB sebagai "emergensi kesehatan
global pada tahun 1993.[6] Tahun 2006, Kemitraan Stop TB mengembangkan gerakan
Rencana Global Stop Tuberkulosis yang ditujukan untuk menyelamatkan 14 juta orang pada
tahun 2015.[68] Jumlah yang telah ditargetkan ini sepertinya tidak akan tercapai pada tahun
2015, sebagian besar disebabkan oleh kenaikan penderita HIV dengan tuberkulosis dan
munculnya resistensi tuberkulosis multi-obat (multiple drug-resistant tuberculosis, MDRTB).[6] Klasifikasi tuberkulosis yang dikembangkan oleh American Thoracic Society pada
umumnya digunakan dalam program kesehatan masyarakat.[69]
Karena kuman TB ada di mana-mana termasuk di Mal, Kantor dan tentunya juga di Rumah
Sakit, maka pencegahan yang paling efektif adalah Gaya Hidup untuk menunjang Ketahanan
Tubuh kita:

Cukup gizi, jangan telat makan

Cukup istirahat, jika capai istirahat dulu

Jangan Stres Fisik, capai berlebihan

Jangan Stres Mental, berusahalah berpikir positip dan legowo (bisa menerima)

Penanganan
Pengobatan TB menggunakan antibiotik untuk membunuh bakterinya. Pengobatan TB yang
efektif ternyata sulit karena struktur dan komposisi kimia dinding sel mikobakteri yang tidak
biasa. Dinding sel menahan obat masuk sehingga menyebabkan antibiotik tidak efektif.[70]
Dua jenis antibiotik yang umum digunakan adalah isoniazid danrifampicin, dan pengbatan
dapat berlangsung berbulan-bulan.[40] Pengobatan TB laten biasanya menggunakan antibiotik
tunggal.[71] Penyakit TB aktif sebaiknya diobati dengan kombinasi beberapa antibiotik untuk
menurunkan resiko berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik.[6] Pasien dengan
infeksi laten juga diobati untuk mencegah munculnya TB aktif di kehidupan selanjutnya.[71]
WHO merekomendasikan directly observed therapy atau terapi pengawasan langsung,
dimana seorang pengawas kesehatan mengawasi penderita meminum obatnya. Tujuannya
adalah untuk mengurangi jumlah penderita yang tidak meminum obat antibiotiknya dengan
benar.[72] Bukti yang mendukung terapi pengawasan langsung secara independen kurang baik.

[73]

Namun, metode dengan cara mengingatkan penderita bahwa pengobatan itu penting
ternyata efektif.[74]

Kasus baru
Rekomendasi tahun 2010 untuk pengobatan kasus baru tuberkulosis paru adalah kombinasi
antibiotik selama enam bulan. Rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, dan ethambutol untuk
dua bulan pertama, dan hanya rifampicin dan isoniazid untuk empat bulan selanjutnya.[6]
Apabila resistensi terhadap isoniazid tinggi, ethambutol dapat ditambahkan untuk empat
bulan terakhir sebagai alternatif.[6]

Penyakit kambuh
Bila tuberkulosis kambuh, lakukan tes untuk menentukan jenis antibiotik yang sensitif
sebelum menentukan pengobatan.[6] Jika multiple drug-resistant TB (MDR-TB) terdeteksi,
direkomdendasikan pengobatan dengan paling tidak empat jenis antibiotik efektif selama 8
24 bulan.[6]

Resistensi obat
Resistensi primer muncul saat seseorang terinfeksi jenis TB resisten. Seorang dengan TB
yang rentan dapat mengalami resistensi sekunder (didapat) pada saat terapi. Seseorang juga
dapat mengalami perkembangan resistensi karena pengobatan yang tidak adekuat, jika obat
yang diresepkan tidak dipakai dengan sesuai (karena tidak patuh), atau karena obat yang
digunakan berkualitas rendah.[75] TB dengan resistensi obat merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius di negara yang sedang berkembang. Pengobatan untuk TB yang
resisten terhadap obat akan berlangsung lebih lama dan memerlukan obat yang lebih mahal.
MDR-TB (Mulitple Drugs Resistance-TB) sering didefinisikan sebagai resistensi terhadap
dua obat yang paling efektif dalam lini pertama pengobatan TB: rifampicin and isoniazid.
Extensively drug-resistant TB juga resisten terhadap tiga atau lebih dari enam kelas
pengobatan lini kedua.[76] TB resisten obat total adalah resistensi terhadap semua jenis obat
yang selama ini digunakan. TB dengan resisten total terhadap obat pertama kali ditemukan
pada tahun 2003 di Italia, tetapi hal ini tidak pernah dilaporkan hingga tahun 2012.[77]
Sekarang ini ada kecenderungan untuk mengetahui terlebih dahulu apa betul yang
menginfeksi adalah bakteri TB atau bakteri lainnya dan obat apa saja yang masih mempan,
oleh karenanya perlu dilakukan kultur bakteri terlebih dulu sebelum dilakukan pengobatan.
Pada tahun 2007, WHO merekomendasikan penggunaan media cair untuk kultur bakteri TB
agar lebih akurat dan membutuhkan waktu hingga 40 hari.[78]

Prognosa
Perkembangan dari infeksi TB menjadi penyakit TB yang nyata muncul saat basil
mengalahkan pertahanan sistem imun dan mulai memperbanyak diri. Pada penyakit TB
primer (sejumlah 15% dari kasus), perkembangan ini muncul segera setelah infeksi awal.[1]
Namun, pada kebanyakan kasus, suatu Infeksi laten muncul tanpa gejalan yang nyata.[1]
Kuman yang dorman ini menghasilkan tuberkulosis aktif pada 510% dari kasus laten ini,
dan pada umumnya baru akan muncul bertahun-tahun setelah infeksi.[8]

Resiko reaktivasi meningkat sebagai akibat imunosupresi, seperti misalnya disebabkan oleh
infeksi HIV. Pada orang yang juga terinfeksi oleh M. tuberculosis dan HIV, resiko adanya
reaktivasi meningkat hingga 10% per tahun.[1] Studi yang menggunakan sidik DNA dari galur
M. tuberculosismenunjukkan bahwa infeksi kembali menyebabkan kambuhnya TB lebih
sering dari yang diperkirakan.[79] Infeksi kembali dapat dihitung lebih dari 50% kasus dimana
TB biasa ditemukan.[80] Peluang terjadinya kematian karena tuberkulosis adalah kurang lebih
4% pada tahun 2008, turun dari 8% pada tahun 1995.[6]

Epidemiologi

Pada tahun 2007, prevalensi TB per 100.000 orang tertinggi di Afrika sub-Sahara, dan relatif
tinggi di Asia.[81]
Kurang lebih sepertiga dari populasi dunia pernah terinfeksi M. tuberculosis. Satu infeksi
baru muncul setiap detik dalam skala global.[3] Bagaimanapun, kebanyakan infeksi oleh M.
tuberculosis tidak menyebabkan penyakit TB,[82] dan 9095% dari infeksi tetap
asimptomatik.[42] Pada tahun 2007, diperkirakan ada 13,7 juta kasus kronis aktif.[83] Pada
tahun 2010, terdapat 8,8 juta kasus baru TB yang didiagnosis, dan 1,45 juta kematian,
kebanyakan dari jumlah ini terjadi di negara-negara berkembang.[5] Dari seluruh 1,45 juta
kematian, sekitar 0.35 juta terjadi pada penderita yang juga terinfeksi HIV.[84]
Tuberkulosis merupakan penyebab umum kematian yang kedua yang disebabkan oleh infeksi
(setelah kematian oleh HIV/AIDS).[9] Angka pasti dari kasus tuberkulosis ("prevalensi")
sudah menurun sejak tahun 2005. Kasus tuberkulosis baru ("kejadian") telah menurun sejak
tahun 2002.[5] Cina khususnya telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Cina telah
menurunkan laju kematian akibat TB mendekati 80% antara tahun 1990 dan 2010.[84]
Tuberkulosis lebih umum muncul di negara berkembang. Kurang lebih 80% dari populasi di
berbagai negara Asia dan Afrika memberikan tes tuberkulin positif, tetapi hanya 510% dari
populasi di AS memberikan hasil tes positif.[1] Para ahli berharap bahwa TB dapat
dikendalikan secara penuh. Bagaimanapun, sejumlah faktor menyebabkan pengendalian TB
menjadi tidak mungkin. Vaksin yang efektif sangat sulit dikembangkan. Sangat mahal dan
memakan waktu lama untuk mendiagnosis penyakitnya. Pengobatan memerlukan waktu
beberapa bulan. Lebih banyak orang yang terinfeksi HIV menderita TB. TB yang resisten
terhadap obat muncul pada tahun 1980an.[6]

Angka tahunan laporan kasus baru TB. Data dari WHO.[85]

Pada tahun 2007, negara dengan perkiraan tingkat insiden tertinggi adalah Swaziland, dengan
1.200 kasus per 100.000 orang. India memiliki total insiden terbesar, dengan estimasi 2,0 juta
kasus baru.[83] Di negara maju, tuberculosis tidak umum dan kebanyakan ditemukan di
wilayah urban. Pada tahun 2010, laju TB per 100.000 orang di berbagai tempat di dunia
adalah: di dunia 178, Afrika 332, Amerika 36, Mediterania Timur 173, Eropa 63, Asia
Tenggara 278, dan Pacifik Barat 139.[84] Di Kanada dan Australia, tuberkulosis seringkali
lebih umum terdapat di antara penduduk aborigin, terutama di wilayah yang terpencil.[86][87] Di
Amerika Serikat, para Aborigin mengalami laju mortalitas akibat TB lima kali lebih besar.[88]
Insiden TB bervariasi sesuai usia. Di Afrika, hal ini utamanya mempengaruhi penduduk
berusia antara 12dan 18 tahun dan dewasa muda.[89] Bagaimanapun, di negara yang laju
insidennya sudah menurun dengan tajam (seperti Amerika Serikat), TB umumnya merupakan
penyakit pada orang yang lebih tua dan mereka dengan sistem imun rentan.[1][90]

Sejarah

Mumi Mesir di British Museum sisa pembusukan tuberkulosis ditemukan di spina mumimumi Mesir.
Tuberculosis sudah ada dalam kehidupan manusia sejak zaman kuno.[6] Deteksi paling awal
M. tuberculosis terdapat pada bukti adanya penyakit tersebut di dalam bangkai bison yang
berasal dari sekira 17.000 tahun lalu.[91] Namun, tidak ada kepastian apakah tuberkulosis
berasal dari sapi (bovin), yang kemudian ditularkan ke manusia, atau apakah tuberkulosis
tersebut bercabang dari nenek moyang yang sama.[92] Para ilmuwan yakin bahwa manusia
terkena MTBC dari binatang selama proses penjinakan. Namun, gen Micobacterium
tuberculosis complex (MTbC) pada manusia telah dibandingkan dengan MTbC pada
binatang, dan teori tersebut telah terbukti salah. Galur bakteri tuberkulosis memiliki nenek
moyang yang sama, yang sebenarnya bisa menginfeksi manusia sejak Revolusi Neolitik.[93]
Sisa kerangka menunjukkan bahwa manusia prasejarah (4000 Sebelum Masehi) mengidap
TB. Para peneliti menemukan pembusukan tuberkulosis di dalam tulang spina mumi-mumi
Mesir dari tahun 30002400 SM.[94] "Phthisis" berasal dari bahasa Yunani yang artinya
konsumsi, yakni istilah kuno untuk tuberkulosis paru.[95] Sekira 460 SM, Hippocrates
mengidentifikasi bahwa phthisis adalah penyakit yang paling mudah menular pada saat itu.
Orang dengan phthisis mengalami demam dan batuk darah. Phthisis hampir selalu berakibat
fatal.[96] Penelitian gen menunjukkan bahwa TB telah ada di Amerika dari sekira tahun 100
AD.[97]
Sebelum Revolusi Industri, cerita rakyat seringkali menghubungkan tuberkulosis dengan
vampir. Jika seorang anggota keluarga meninggal karena TB, kesehatan anggota keluarga
lainnya dari orang yang terinfeksi tersebut perlahan-lahan menurun. Masyarakat percaya
bahwa orang pertama yang terkena TB menguras jiwa anggota keluarga lainnya.[98]

Jenis TB paru yang dikaitkan dengan tuberkel ditetapkan sebagai patologi oleh Dr Richard
Morton pada 1689.[99][100] Namun, TB memiliki berbagai gejala, sehingga TB tidak
diidentifikasi sebagai satu jenis penyakit hingga akhir 1820-an. TB belum dinamakan
tuberkulosis hingga 1839 oleh J. L. Schnlein.[101] Selama tahun 18381845, Dr. John
Croghan, pemilik Gua Mammoth, membawa mereka yang terkena TB ke dalam gua dengan
harapan menyembuhkan penyakit tersebut dengan suhu konstan dan kemurnian udara di
dalam gua: mereka meninggal setelah satu tahun di dalam gua.[102] Hermann Brehmer
membuka sanatorium pertama pada 1859 di Sokoowsko, Polandia.[103]

Dr. Robert Koch menemukan basil tuberkulosis.


Basilus yang menyebabkan tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis, diidentifikasi dan
dijelaskan pada 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Dia menerima Hadiah Nobel bidang
fisiologi atau kedokteran pada 1905 atas penemuan ini.[104] Koch tidak percaya bahwa
penyakit tuberkulosis pada sapi (ternak) dan manusia adalah penyakit yang serupa.
Keyakinan ini menunda pengakuan bahwa susu yang terinfeksi menjadi sumber infeksi.
Kemudian, risiko penularan dari sumber ini sangat jauh berkurang karena penemuan proses
pasteurisasi. Koch mengumumkan ekstrak gliserin dari basil tuberkulosis sebagai "obat"
untuk tuberkulosis pada 1890. Dia menamakannya tuberkulin. Meskipun tuberkulin tidak
efektif, tuberkulin diadaptasi sebagai tes penapisan untuk mengetahui adanya tuberkulosis
prasimtomatik.[105]
Albert Calmette dan Camille Gurin menerima kesuksesan pertama dalam imunisasi anti
tuberkulosis pada 1906. Mereka menggunakan tuberkulosis galur bovin di-atenuasi, dan
vaksin tersebut dinamakan BCG (basil Calmette dan Gurin). Vaksin BCG pertama kali
digunakan pada manusia pada 1921 di Perancis.[106] Namun, vaksin BCG baru diterima secara
luas di AS, Inggris, dan Jerman setelah Perang Dunia II.[107]
Tuberkulosis menimbulkan kekhawatiran masyarakat pada abad ke-19 dan pada awal abad
ke-20 sebagai penyakit endemik masyarakat miskin di perkotaan. Pada 1815, satu di antara
empat kematian di Inggris disebabkan oleh "konsumsi." Pada 1918, satu di antara enam
kematian di Perancis disebabkan oleh TB. Setelah para ilmuwan menetapkan bahwa penyakit
tersebut menular pada 1880-an, TB dimasukkan ke penyakit wajib lapor di Inggris.
Kampanye dimulai agar orang-orang berhenti meludah di tempat umum dan orang miskin
yang terinfeksi penyakit tersebut didorong untuk masuk sanatorium yang menyerupai rumah
tahanan. (Sanatorium untuk kelas menengah ke atas menawarkan perawatan yang luar biasa
dan pemeriksaan medis terus-menerus.) [103] Sanatorium tersebut seharusnya memberi

manfaat "udara bersih" dan pekerjaan. Namun bahkan dalam kondisi terbaik, 50% pasien di
dalamnya meninggal setelah lima tahun (ca. 1916).[103]
Di Eropa, angka tuberkulosis mulai meningkat pada awal 1600-an. Angka kasus TB
mencapai puncak tertingginya di Eropa pada 1800-an ketika penyakit ini menyebabkan
hampir 25% dari keseluruhan kasus kematian.[108] Angka kematian kemudian menurun hingga
hampir mencapai 90% pada 1950-an.[109] Peningkatan kesehatan masyarakat secara signifikan
mengurangi angka tuberkulosis bahkan sebelum streptomisin dan antibiotik lainnya
digunakan. Namun, penyakit tersebut masih merupakan ancaman yang serius bagi kesehatan
masyarakat. Ketika Konsil Penelitian Medis dibentuk di Inggris pada 1913, fokus awalnya
adalah penelitian tuberkulosis.[110]
Pada 1946, pengembangan antibiotik streptomisin mewujudkan pengobatan dan
penyembuhan efektif untuk TB. Sebelum obat ini diperkenalkan, pengobatan satu-satunya
(kecuali sanatorium) adalah intervensi bedah. Teknik pneumotoraks" membuat paru-paru
yang terinfeksi kolaps dan memberikan "jeda" sehingga lesi akibat tuberkulosis mulai
sembuh.[111] Kemunculan MDR-TB kembali menjadikan pembedahan sebagai opsi dalam
standar tatalaksana untuk perawatan infeksi TB. Intervensi bedah saat ini meliputi
pengangkatan kavitas ("bula") patologis di dalam paru-paru untuk mengurangi jumlah bakteri
dan meningkatkan pajanan obat bagi bakteri yang masih ada di dalam aliran darah. Intervensi
ini secara bersamaan mengurangi jumlah bakteri total dan meningkatkan efektifitas terapi
antibiotik sistemik.[112] Meskipun para ahli mengharapkan agar TB dapat diberantas
sepenuhnya (bandingkan cacar), munculnya galur resistensi obat pada 1980-an membuat
pemberantasan TB menjadi sulit. Kemunculan kembali tuberkulosis mendorong deklarasi
emergensi kesehatan global yang dibuat oleh WHO pada 1993.[113]

Masyarakat dan budaya


World Health Organization dan Yayasan Bill and Melinda Gates memberi subsidi untuk tes
diagnosis cepat yang baru (fast-acting diagnostic test) untuk digunakan di negara
berpendapatan rendah dan menengah.[114][115] Sejak 2011, banyak tempat miskin yang hanya
memiliki akses ke mikroskopi sputum (pemeriksaan dahak menggunakan mikroskop).[116]
Pada 2010, India memiliki jumlah kasus TB tertinggi di dunia. Satu penyebabnya adalah
karena pengelolaan penyakit yang buruk oleh sektor pelayanan kesehatan swasta. Programprogram seperti Program kontrol TB nasional terevisi membantu untuk mengurangi jumlah
TB di antara orang-orang yang menerima layanan kesehatan masyarakat.[117][118]

Riset
Vaksin BCG memiliki keterbatasan, dan riset untuk mengembangkan vaksin TB baru masih
berjalan.[119] Sejumlah calon potensial saat ini dalam uji klinis fase I dan II.[119] Dua
pendekatan utama dalam uji klinis berusaha untuk memperbaiki kemanjuran efikasi vaksin
yang ada. Satu pendekatan melibatkan penambahan vaksin sub-unit ke BCG. Strategi lainnya
mencoba untuk menciptakan vaksin baru dan vaksin hidup yang lebih baik.[119]MVA85A
adalah contoh dari vaksin sub-unit yang sedang diuji-cobakan di Afrika Selatan. MVA85A
didasarkan pada virus vaccinia yang dimodifikasi secara genetik.[120] Harapannya vaksin akan
berperan secara signifikan dalam perawatan penyakit laten dan aktif.[121]

Untuk mendorong penemuan lebih lanjut, para peneliti dan pembuat kebijakan
memperkenalkan model baru yang lebih murah untuk pegembangan vaksin, termasuk hadiah,
insentif pajak, dan komitmen pasar lanjutan.[122][123] Beberapa kelompok dilibatkan dalam
riset, termasuk Kemitraan Stop TB,[124] the South African Tuberculosis Vaccine Initiative, and
the Aeras Global TB Vaccine Foundation.[125] Aeras Global TB Vaccine Foundation menerima
hibah lebih dari $280 juta (AS) dari Bill and Melinda Gates Foundation untuk
mengembangkan dan melisensi vaksin yang lebih baik untuk melawan tuberkulosis agar
dapat digunakan di negara-negara dengan beban yang tinggi.[126][127]
Tuberkulosis (TB) yang juga dikenal dengan singkatan TBC merupakan penyakit menular
yang menyebabkan masalah kesehatan terbesar kedua di dunia setelah HIV. Indonesia sendiri
termasuk lima besar negara dengan jumlah pengidap TB terbanyak di Asia Tenggara dengan
jumlah pengidap yang mencapai 305.000 jiwa pada tahun 2012.

Gejala dan Jenis Tuberkulosis


Penyakit ini paling sering menyerang paru-paru dengan gejala utama berupa
batuk berdahak yang berlangsung selama lebih dari 21 hari. Batuk juga
terkadang dapat mengeluarkan darah. Selain batuk, pengidap TB biasanya juga
akan kehilangan nafsu makan sehingga mengalami penurunan berat badan yang
disertai demam dan kelelahan.

Ketika bakteri TB masuk ke dalam tubuh, bakteri tersebut bisa bersifat tidak aktif untuk
beberapa waktu sebelum kemudian menyebabkan gejala-gejala TB. Pada kasus ini, kondisi
tersebut dikenal sebagai tuberkulosis laten. Sedangkan TB yang langsung memicu gejala
dikenal dengan istilah tuberkulosis aktif.
Penyebab dan Faktor Risiko Tuberkulosis
Penyebab tuberkulosis adalah bakteri yang menyebar di udara melalui semburan
air liur dari batuk atau bersin pengidap TB. Nama bakteri TB adalah
mycobacterium tuberculosis.

Berikut ini adalah beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi tertular TB:

Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun, misalnya pengidap


HIV/AIDS, diabetes atau orang yang sedang menjalani kemoterapi.

Orang yang mengalami malanutrisi atau kekurangan gizi.

Pecandu narkoba.

Para perokok.

Para petugas medis yang sering berhubungan dengan pengidap TB.

Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis


Tuberkulosis termasuk penyakit yang sulit untuk dideteksi, terutama pada anakanak. Dokter biasanya menggunakan beberapa cara untuk mendiagnosis
penyakit ini, antara lain:

Rontgen dada.

Tes Mantoux.

Tes darah.

Tes dahak.

Penyakit yang tergolong serius ini dapat disembuhkan jika diobati dengan benar.
Langkah pengobatan yang dibutuhkan adalah dengan mengonsumsi beberapa
jenis antibiotik yang harus diminum selama jangka waktu tertentu.

Langkah Pencegahan Tuberkulosis


Langkah utama dalam pencegahan TB adalah dengan menerima vaksin BCG (Bacillus
Calmette-Guerin). Di Indonesia, vaksin ini termasuk dalam daftar imunisasi wajib dan
diberikan sebelum bayi berusia tiga bulan.
Vaksin BCG juga dianjurkan bagi anak-anak, remaja maupun orang dewasa yang belum
pernah menerimanya pada waktu bayi. Tetapi harap diingat bahwa keefektifan vaksin ini akan
berkurang pada orang dewasa.

Anda mungkin juga menyukai