Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang hidup secara menggerombol dan
tidak dapat membentuk spora. Bakteri ini memiliki sel yang berbentuk bola dengan diameter
sekitar 1 m dan dinding selnya tersusun atas dua komponen yaitu peptidoglikan dan asam
teikhoat, serta tidak memiliki kapsul. Kemampuan patogen yang dimiliki oleh Staphilococcus
aureus adalah adanya kemampuan menghasilkan koagulase, yaitu suatu protein yang mirip
enzim dan dapat menggumpalkan plasma yang telah diberi oksalat atau sitrat dengan bantuan
suatu faktor yang terdapat dalam serum. Bakteri yang mampu membentuk koagulase ini
dianggap memiliki potensi sebagai mikroba patogen (Jawetz, 1996).
2.
Sumber Kontaminasi
Salah satu sumber kontaminasi Staphylococcus aureus adalah kulit manusia yang sebagian
besar terkumpul di bagian tangan dan hidung manusia. Secara tidak langsung, kontaminasi
bakteri ini dapat terjadi ketika aktivitas pengolahan bahan pangan dilakukan langsung dengan
tangan, tanpa penggunaan alat sanitasi seperti sarung tangan atau larutan antibakteri. Selain
itu, kontaminasi juga dapat terjadi melalui respirasi atau pernafasan manusia karena pada
suatu penelitian menunjukkan bahwa 40-50% manusia adalah pembawa Staphylococcus
aureus di dalam hidungnya. Sehingga benda-benda di sekitar manusia pun akan tercemar juga
dengan bakteri ini dan terakumulasi seiring dengan kondisi lingkungan yang mendukung
pertumbuhannya (Jawetz, 1996). Selain manusia, hewan juga termasuk objek pembawa
bakteri patogen ini. Misalnya pada sapi yang terkena penyakit Mastitis, dimana penyakit
tersebut disebabkan karena terserang bakteri Staphylococcus aureus (Lawley, 2008).
3.
a.
b.
c.
5.
6.
Keracunan makanan akibat staphylococcal jarang sekali dilaporkan, selain itu kejadian yang
sebenarnya pun seringkali tidak pasti. Akan tetapi, terdapat beberapa kasus yang pernah
terjadi mengenai penyakit akibat keracunan makanan tersebut, yaitu seperti di Amerika
Serikat. Pada saat itu, wabah yang tejadi berkaitan dengan susu coklat yang berdampak bagi
anak sekolah di AS. Diperkirakan bahwa susu coklat tersebut mengandung enterotoksin
sekurangnya 144 (50) ng. Toksin yang terdapat pada susu coklat tersebut dihasilkan akibat
penggunaan temperatur yang kurang tepat sebelum pasteurisasi (Lawley, 2008).
Selain itu, di Jepang selama tahun 2000 pun terjadi sebuah wabah massal (410.000 kasus)
akibat keracunan makanan staphylococcal. Wabah tersebut berkaitan dengan susu dari susu
tunggal yang melibatkan enterotoksin staphylococcal A (SEA) pada tingkat yang sangat
rendah (80 ng). Akan tetapi, dilakukan penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa
produk tersebut diperkirakan mengandung enterotoksin lain (SEH), yang telah diabaikan
dalam pengujian asli (hanya classical staphylococcal enterotoxins (A E) yang dipilih oleh
commercial kits) (Lawley, 2008).
7.
Pencegahan Kontaminasi
Pada umumnya, keracunan makanan akibat staphylococcal dikarenakan penanganan yang
kurang baik, seperti saat pemrosesan, pendinginan ataupun penyimpanan. Maka dari itu,
untuk mengurangi resiko Staphylococcus aureus, selama pemrosesan harus dilakukan
penanganan yang baik, dengan cara meminimalkan penanganan fisik produk yang salah,
memperhatikan kebersihan dan dengan pelaksanaan pengendalian suhu yang baik. Selain itu,
dalam pembuatan produk makanan sebaiknya menggunakan peralatan supaya kontak dengan
manusia dapat diminimalkan ataupun saat bekerja orang tersebut harus menggunakan sarung
tangan yang dapat membantu mengurangi kontak manusia langsung dengan produk makanan.
Seseorang yang sedang mengalami penyakit seperti flu sebaiknya tidak disarankan untuk
melakukan pekerjaan (Lawley, 2008).
Staphylococcus aureus biasanya terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroflora
endogen, dan juga terdapat pada saluran hidung dan tenggorokan (Eley, 1992).
Staphylococcus aureus juga dimungkinkan terdapat di udara, debu, air, susu, pangan,
peralatan pangan, dan permukaan lingkungan. Staphylococcus aureus dapat berpindah
melalui bersin, batuk, kontak jari, kontak bibir, gigitan, dan sapu tangan. Selain itu,
beberapa strain Staphylococcus aureus dapat membentuk koloni pada peralatan dan
lingkungan tempat pengolahan makanan (Blackburn dan Mc Clure, 2002). Maka dari itu,
sanitasi atau kebersihan merupakan faktor penting untuk meminimalkan risiko dari
Staphylococcus aureus
Setelah proses berlangsung, penanganan fisik ataupun pemberian garam atau diawetkan dapat
dilakukan untuk mengurangi resiko kontaminasi Staphylococcus aureus. Dan pada produk
yang beresiko sebaiknya disimpan baik pada refrigerator (<5 oC) atau dalam kondisi panas
(>63oC) sehingga mikroorganisme kontaminan yaitu Staphylococcus aureus tidak dapat
tumbuh. Akan tetapi, pemanasan produk hanya dapat menonaktifkan Staphylococcus aureus,
dan tidak dapat menonaktifkan enterotoksin. Penyalahgunaan suhu produk sebelum
pengolahan panas dapat mengakibatkan keracunan makanan staphylococcal (Lawley, 2008).
Selain itu, untuk menahan atau menghambat kontaminasi pada bahan pangan, dimana jika
kontaminasi tersebut sudah terjadi, dapat digunakan CO2 pada konsentrasi 80% yang dapat
efektif menghambat pertumbuhannya. US Food & Drug Administrations (FDA) menetapkan
bahwa apabila terdapat keju atau ikan yang positif mengandung Staphylococcal enterotoxin
sebesar 104 CFU/g maka produk tersebut akan ditarik dan dihapuskan dari pemasaran
(Lawley, 2008).
8.
Daftar Pustaka
Blackburn C de W, PJ Mc Clure. 2002. Food-Borne Pathogens : Hazard, Risk Analysis and Control
. Cambridge : Woodhead.
Elley, W. B. (1992) How in the World do Students Read? IEA, The Hague, Netherlands.
Gaman dan Sherrington, 1992. Ilmu Pangan Gadjah Mada University press.Yogyakarta.
Jawetz, Ernest. (1996). Mikrobiologi Kedokteran edisi 20. EGC. Jakarta.
Lawley, Richard., Laurie Curtis., & Judy Davis. (2008). The Food Safety Hazard Guidebook. The
Royal Society of Chemistry, UK.
Ray, B. & A. Bhunia. 2008. Fundamental Food Microbiology. 4th ed. CRC Press, Boca
Raton.