Anda di halaman 1dari 4

Karakter Mikroba Patogen

Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang hidup secara menggerombol dan
tidak dapat membentuk spora. Bakteri ini memiliki sel yang berbentuk bola dengan diameter
sekitar 1 m dan dinding selnya tersusun atas dua komponen yaitu peptidoglikan dan asam
teikhoat, serta tidak memiliki kapsul. Kemampuan patogen yang dimiliki oleh Staphilococcus
aureus adalah adanya kemampuan menghasilkan koagulase, yaitu suatu protein yang mirip
enzim dan dapat menggumpalkan plasma yang telah diberi oksalat atau sitrat dengan bantuan
suatu faktor yang terdapat dalam serum. Bakteri yang mampu membentuk koagulase ini
dianggap memiliki potensi sebagai mikroba patogen (Jawetz, 1996).

Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme yang mampu memproduksi toksin


(termasuk mikroorgansime patogen) dan mampu hidup baik dengan kondisi aerob maupun
anaerob dalam bahan pangan. Jenis toksin yang diproduksi adalah enterotoksin A, sehingga
disebut juga dengan Staphylococcal enterotoxins. Karakteristik umum yang dimiliki
Staphylococcus aureus atau Staphylococcal enterotoxins ini adalah:
Stabil terhadap panas.
Protein larut air yang tahan terhadap enzim proteolitik (pepsin dan tripsin).
Tahan terhadap aktivitas metabolisme pencernaan manusia.
Suhu pertumbuhan: 7-46C; optimal pada 37C.
Suhu optimum dalam memproduksi enterotoksin: 40C.
pH pertumbuhan: 4.5 9.3, optimum pada pH 7.0.
pH optimum dalam memproduksi enterotoksin: 4.8 9.0, biasanya aktivitas bakteri ini akan
terhambat di bawah pH 5.
Enterotoksin memiliki Aw di bawah 0,87; sehingga Staphylococcus aureus sangat tahan
terhadap kondisi pengeringan.
(Lawley, 2008)

2.

Sumber Kontaminasi
Salah satu sumber kontaminasi Staphylococcus aureus adalah kulit manusia yang sebagian
besar terkumpul di bagian tangan dan hidung manusia. Secara tidak langsung, kontaminasi
bakteri ini dapat terjadi ketika aktivitas pengolahan bahan pangan dilakukan langsung dengan
tangan, tanpa penggunaan alat sanitasi seperti sarung tangan atau larutan antibakteri. Selain
itu, kontaminasi juga dapat terjadi melalui respirasi atau pernafasan manusia karena pada
suatu penelitian menunjukkan bahwa 40-50% manusia adalah pembawa Staphylococcus
aureus di dalam hidungnya. Sehingga benda-benda di sekitar manusia pun akan tercemar juga
dengan bakteri ini dan terakumulasi seiring dengan kondisi lingkungan yang mendukung
pertumbuhannya (Jawetz, 1996). Selain manusia, hewan juga termasuk objek pembawa
bakteri patogen ini. Misalnya pada sapi yang terkena penyakit Mastitis, dimana penyakit
tersebut disebabkan karena terserang bakteri Staphylococcus aureus (Lawley, 2008).

3.

Bahan Pangan yang Sering Terkontaminasi


Staphylococcus aureus terdeteksi sebagai bakteri kontaminan atau bakteri patogen yang
mampu hidup dan beraktivitas pada berbagai jenis bahan pangan. Jenis bahan pangan yang
terkontaminasi Staphylococcus aureus antara lain adalah:
Susu dan produk berbasis susu (coklat, mentega, dan keju)
Produk daging dan unggas (bacon, sosis, daging kaleng, ham, dan kornet daging)
Produk fermentasi lambat (keju)

a.
b.
c.

== Mekanisme kerja Staphylococcus aureus ini adalah dengan menghambat produksi


asam dari proses fermentasi dengan memutuskan ikatan rantainya. Dengan proses fermentasi
yang lambat, maka produksi asam akan menjadi lebih lambat/sedikit dibandingkan dengan
proses fermentasi yang menggunakan waktu singkat seperti yoghurt dan tempe. Hal ini
terlihat bahwa terjadi kompetisi antara asam yang dihasilkan dengan bakteri Staphylococcus
aureus yang menjadikan asam sebagai medianya untuk bertahan hidup dalam media pangan
yang difermentasi.
Ketika bakteri Staphylococcus aureus sudah ada di dalam bahan pangan, ketahanan yang
dimilikinya antara lain adalah:
- Tahan terhadap pengeringan yang tidak menggunakan panas karena bakteri ini memiliki nilai
Aw yang sangat rendah (0,87).
- Dapat memproduksi enterotoksin pada kondisi aerob (ada O 2), tetapi tetap dapat memproduksi
dalam jumlah kecil pada kondisi anaerob (tanpa O2).
- Tahan pada pengolahan suhu pasterurisasi, yaitu 60C.
(Lawley, 2008)
4.

Gejala yang Timbul


Staphylococcal merupakan salah satu bakteri yang menyebabkan foodborne disease yang
diakibatkan oleh keracunan makanan. Keracunan makanan tersebut tergolong dalam bentuk
yang ringan, meskipun begitu semua orang rentan terhadap hal tersebut. Foodborne disease
terjadi melalui racun yang ada dalam bahan makanan, dan akan memberikan suatu gejala
yang cepat yaitu antara 30 menit hingga 7 jam, akan tetapi rata-rata yang sering terjadi adalah
2 - 4 jam. Tingkat keparahan gejala tersebut berkaitan dengan jumlah enterotoksin yang
dicerna, selain itu kerentanan individu terhadap enterotoksin tertentu. Jumlah enterotoksin
antara 0,1 1 g dapat menyebabkan penyakit, begitupula dengan enterotoksin yang
diproduksi oleh organisme yang mencapai 105-106 CFU/g dalam makanan (Lawley, 2008).
Pada kasus keracunan makanan, dapat dimungkinkan juga terdapat lebih dari satu jenis racun
yang ada dalam makanan tersebut. Gejala yang biasanya terjadi adalah mual serta muntah
dengan disertai kram perut, dan terkadang diikuti dengan diare. Pada kasus yang lebih berat,
seseorang dapat terserang sakit kepala, kram otot dan dehidrasi. Tetapi penyakit tersebut
dapat sembuh dalam waktu 2 hari. Kematian akibat penyakit ini jarang sekali terjadi, baik
pada anak-anak maupun orang tua (Lawley, 2008).

5.

Penyakit yang Ditimbulkan


Penyakit yang ditimbulkan oleh Staphylococcus aureus termasuk jenis intoksikasi, dimana
keracunan pada manusia disebabkan oleh konsumsi enterotoksin yang dihasilkan oleh
beberapa strain Staphylococcus aureus di dalam makanan, umumnya dikarenakan makanan
tersebut tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (>60C) atau cukup dingin (<7.2C)
(Ray dan Bhunia, 2008).
Enterotoksin merupakan protein globuler dengan berat molekul 28.000-35.000 dalton.
Enterotoksin ini bersifat toksik bagi manusia dan hewan. Toksin yang dihasilkan sangat tahan
terhadap pemanasan. Oleh karena itu, meskipun bakterinya telah mati karena pemanasan
(pemanasan pada suhu 66C selama 10 menit), toksinnya masih dapat bertahan pada suhu
100C selama 30 menit (Gaman dan Sherington, 1992).

6.

Catatan Insiden atau Outbreak

Keracunan makanan akibat staphylococcal jarang sekali dilaporkan, selain itu kejadian yang
sebenarnya pun seringkali tidak pasti. Akan tetapi, terdapat beberapa kasus yang pernah
terjadi mengenai penyakit akibat keracunan makanan tersebut, yaitu seperti di Amerika
Serikat. Pada saat itu, wabah yang tejadi berkaitan dengan susu coklat yang berdampak bagi
anak sekolah di AS. Diperkirakan bahwa susu coklat tersebut mengandung enterotoksin
sekurangnya 144 (50) ng. Toksin yang terdapat pada susu coklat tersebut dihasilkan akibat
penggunaan temperatur yang kurang tepat sebelum pasteurisasi (Lawley, 2008).
Selain itu, di Jepang selama tahun 2000 pun terjadi sebuah wabah massal (410.000 kasus)
akibat keracunan makanan staphylococcal. Wabah tersebut berkaitan dengan susu dari susu
tunggal yang melibatkan enterotoksin staphylococcal A (SEA) pada tingkat yang sangat
rendah (80 ng). Akan tetapi, dilakukan penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa
produk tersebut diperkirakan mengandung enterotoksin lain (SEH), yang telah diabaikan
dalam pengujian asli (hanya classical staphylococcal enterotoxins (A E) yang dipilih oleh
commercial kits) (Lawley, 2008).
7.

Pencegahan Kontaminasi
Pada umumnya, keracunan makanan akibat staphylococcal dikarenakan penanganan yang
kurang baik, seperti saat pemrosesan, pendinginan ataupun penyimpanan. Maka dari itu,
untuk mengurangi resiko Staphylococcus aureus, selama pemrosesan harus dilakukan
penanganan yang baik, dengan cara meminimalkan penanganan fisik produk yang salah,
memperhatikan kebersihan dan dengan pelaksanaan pengendalian suhu yang baik. Selain itu,
dalam pembuatan produk makanan sebaiknya menggunakan peralatan supaya kontak dengan
manusia dapat diminimalkan ataupun saat bekerja orang tersebut harus menggunakan sarung
tangan yang dapat membantu mengurangi kontak manusia langsung dengan produk makanan.
Seseorang yang sedang mengalami penyakit seperti flu sebaiknya tidak disarankan untuk
melakukan pekerjaan (Lawley, 2008).
Staphylococcus aureus biasanya terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroflora
endogen, dan juga terdapat pada saluran hidung dan tenggorokan (Eley, 1992).
Staphylococcus aureus juga dimungkinkan terdapat di udara, debu, air, susu, pangan,
peralatan pangan, dan permukaan lingkungan. Staphylococcus aureus dapat berpindah
melalui bersin, batuk, kontak jari, kontak bibir, gigitan, dan sapu tangan. Selain itu,
beberapa strain Staphylococcus aureus dapat membentuk koloni pada peralatan dan
lingkungan tempat pengolahan makanan (Blackburn dan Mc Clure, 2002). Maka dari itu,
sanitasi atau kebersihan merupakan faktor penting untuk meminimalkan risiko dari
Staphylococcus aureus
Setelah proses berlangsung, penanganan fisik ataupun pemberian garam atau diawetkan dapat
dilakukan untuk mengurangi resiko kontaminasi Staphylococcus aureus. Dan pada produk
yang beresiko sebaiknya disimpan baik pada refrigerator (<5 oC) atau dalam kondisi panas
(>63oC) sehingga mikroorganisme kontaminan yaitu Staphylococcus aureus tidak dapat
tumbuh. Akan tetapi, pemanasan produk hanya dapat menonaktifkan Staphylococcus aureus,
dan tidak dapat menonaktifkan enterotoksin. Penyalahgunaan suhu produk sebelum
pengolahan panas dapat mengakibatkan keracunan makanan staphylococcal (Lawley, 2008).
Selain itu, untuk menahan atau menghambat kontaminasi pada bahan pangan, dimana jika
kontaminasi tersebut sudah terjadi, dapat digunakan CO2 pada konsentrasi 80% yang dapat
efektif menghambat pertumbuhannya. US Food & Drug Administrations (FDA) menetapkan
bahwa apabila terdapat keju atau ikan yang positif mengandung Staphylococcal enterotoxin

sebesar 104 CFU/g maka produk tersebut akan ditarik dan dihapuskan dari pemasaran
(Lawley, 2008).
8.

Daftar Pustaka

Blackburn C de W, PJ Mc Clure. 2002. Food-Borne Pathogens : Hazard, Risk Analysis and Control
. Cambridge : Woodhead.
Elley, W. B. (1992) How in the World do Students Read? IEA, The Hague, Netherlands.
Gaman dan Sherrington, 1992. Ilmu Pangan Gadjah Mada University press.Yogyakarta.
Jawetz, Ernest. (1996). Mikrobiologi Kedokteran edisi 20. EGC. Jakarta.
Lawley, Richard., Laurie Curtis., & Judy Davis. (2008). The Food Safety Hazard Guidebook. The
Royal Society of Chemistry, UK.
Ray, B. & A. Bhunia. 2008. Fundamental Food Microbiology. 4th ed. CRC Press, Boca
Raton.

Anda mungkin juga menyukai