Anda di halaman 1dari 39

ARTIKEL UTAMA

Breakthrough in Management of
Acute Pain
KRT Lucas Meliala*, Rizaldy Pinzon**
*
**

Bagian IP Saraf FK UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta


SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta

Pendahuluan
Nyeri merupakan pengalaman sensorik multidimensi yang
tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Kelompok
studi nyeri Perdossi (2000) telah menterjemahkan definisi nyeri
yang dibuat IASP (International Association The Study of Pain)
yang berbunyi nyeri adalah pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.1
Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan
merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk
mencari pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua
orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status
sosial, dan pekerjaan (Crombie, dkk. 1999). Tipe nyeri yang
digunakan secara luas adalah nosiseptif, inflamasi, neuropatik,
dan fungsional. Saat ini mulai jelas mekanisme neurobiologi
yang mendasari berbagai tipe nyeri tersebut. Tipe nyeri yang
berbeda memiliki faktor etiologik yang berbeda pula. Saat ini
pendekatan terapi nyeri telah bergeser dari pendekatan terapi
yang bersifat empirik menjadi pendekatan terapi yang
didasarkan pada mekanisme.2
Pustaka ini membahas mekanisme terkini nyeri akut dan
pendekatan terapi yang rasional berdasar mekanisme tersebut.
Pembahasan terapi secara farmakologis akan difokuskan pada
peran dexketoprofen (Ketesse) pada berbagai kondisi nyeri.

Pembahasan
Mekanisme Nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya
bahaya kerusakan jaringan. Nyeri akan membantu individu
untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan secara fungsional.
Pada kasus-kasus gangguan sensasi nyeri (misalnya: neuropati
akibat diabetes) maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang
hebat (Brookoff, 2000).
Nyeri pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar,
yaitu: nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif
berperan serta dalam proses bertahan hidup dengan
melindungi organisme dari cedera berkepanjangan dan
membantu proses pemulihan. Sebaliknya, nyeri maladaptif
merupakan bentuk patologis dari sistem saraf.2
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh
stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui


spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri. Pencegahan
terhadap terjadinya kerusakan jaringan mengharuskan setiap
individu untuk belajar mengenali stimulus-stimulus tertentu
yang berbahaya dan harus dihindari.2
Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem
nosiseptif akan bergeser fungsinya, dari fungsi protektif
menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk
mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan
meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious
ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan
mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang
cidera tersebut sampai perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan
meminimalisasi kerusakan jaringan lebih lanjut. Nyeri
inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan
menghilangkan respon inflamasi.2
Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif
namun demikian pada kasus-kasus cedera elektif (misalnya:
pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid arthritis,
penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi
berlebihan atau kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh
dibiarkan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas
nyeri.2
Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya
stimulus noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri
maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf
(nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem
saraf (nyeri fungsional).2,3
Berbagai mekanisme yang mendasari munculnya nyeri
telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah: nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,
eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan
inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi,
transmisi, dan persepsi. Transduksi merupakan konversi
stimulus noksious termal, mekanik, atau kimia menjadi
aktivitas listrik pada akhiran serabut sensorik nosiseptif. Proses
ini diperantarai oleh reseptor ion channel yang spesifik.
Konduksi merupakan perjalanan aksi potensial dari akhiran
saraf perifer ke sepanjang akson menuju akhiran nosiseptor
di sistem saraf pusat. Transmisi merupakan bentuk transfer

151

sinaptik dari satu neuron ke neuron lainnya.2


Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat
kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi
inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri
dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut
saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan ) yang
bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis medulla spinalis.
Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus
di otak, dimana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan
diintepretasikan (Brookoff, 2000).
Sensitisasi perifer
Cidera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya
perubahan lingkungan kimiawi pada akhiran nosiseptor. Sel
yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti
adenosin trifosfat dan ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan
menghasilkan sitokin, chemokine, dan faktor pertumbuhan.
Beberapa komponen tersebut di atas akan langsung
merangsang nosiseptor (nociceptor activators), dan komponen
lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih
hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor
sensitizers). Sebagai contoh: adenosin trifosfat dilepaskan oleh
sel yang cedera dan merangsang reseptor purin P 2x3, dan
mengaktifkan nosiseptor. Proton berikatan pada reseptor V1,
dan menghasilkan nyeri beberapa waktu setelah cedera.
Prostaglandin E2 (sebuah bentuk prostanoid) dan nerve growth
factor berikatan pada reseptor prostaglandin E dan tirosin
kinase A, menyebabkan sensitisasi tanpa langsung
menimbulkan nyeri. Bradikinin akan mengaktifkan dan
mensensitisasi nosiseptor dengan berikatan pada reseptor B2.2
Produksi prostanoid pada tempat cedera merupakan
komponen utama reaksi inflamasi. Prostanoid terbentuk dari
asam arakidonat dari membran fosfolipid dengan bantuan
fosfolipase A 2 . Cyclooxygenase-2 (COX-2) berperan
mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin H, yang
kemudian dikonversi menjadi spesies prostanoid yang spesifik,
misalnya prostaglandin E2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) dipicu
oleh interleukin 1- dan tumor necrosis factor-, yang keduanya
terbentuk beberapa jam setelah permulaan inflamasi, sehingga
obat antiinflamasi yang selektif menghambat COX-2 tidak
efektif pada nyeri nosiseptif atau inflamasi yang berlangsung
cepat. Obat demikian bisa efektif pada kondisi nyeri kronis
(misalnya: rheumatoid arthritis), dimana COX-2 ada secara
kronik sebagai respon inflamasi yang menetap.2
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan
mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan
kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor
spesifik di nosiseptor. Aktivasi adenil siklase oleh
prostaglandin E akan meningkatkan kadar adenosin
monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A. Protein
kinase A dan protein kinase C akan menfosforilasi asam amino
serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan perubahan
aktivitas reseptor dan ion channel yang dramatik.3
Berbagai komponen yang menyebabkan sensitasi akan
muncul secara bersamaan (prostaglandin E2, nerve growth factor,
dan bradikinin), blokade hanya pada salah satu substansi kimia
tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer.
Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang, dan
152

berperan besar dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di


tempat cedera atau inflamasi.2

Gambar 1. Sensitisasi yang menyebabkan hiperalgesia dan


allodinia (Gottschalk dan Smith, 2001)
Keterangan: stimulus noksious dapat menyebabkan sensitisasi respon
sistem saraf terhadap stimulus berikutnya. Respon nyeri yang normal
ditunjukkan oleh kurva sebelah kanan. Pada cedera jaringan, kurva
tersebut akan bergeser ke kiri, sehingga stimulus noksious dirasakan
lebih nyeri (hiperalgesia), dan stimulus non noksious juga dirasakan
sebagai nyeri (allodinia).

Sensitisasi sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi
nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi.
Sensitisasi sentral dan perifer bertanggungjawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cedera. Sensitisasi
sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari
nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medula spinalis (activity
dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron
(transcription dependent).2
Secara umum proses sensitisasi sentral serupa dengan
sensitisasi perifer. Diawali dengan aktivasi kinase intraseluler,
memacu fosforilasi saluran ion dan reseptor, dan terjadi
perubahan fenotip neuron. Sensitisasi sentral dan perifer
merupakan bentuk plastisitas sistem saraf, dimana terjadi
perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan
jaringan). Pada keadaan aliran sensoris yang masif akibat
kerusakan hebat jaringan, dalam beberapa detik neuron di
medula spinalis akan menjadi hiperresponsif. Reaksi ini
menyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus non noksious
(misalnya: nyeri akibat sentuhan ringan), dan terjadinya
hiperalgesia sekunder (nyeri pada daerah sekitar jaringan yang
rusak).2
Sensitisasi sentral hanya membutuhkan aktivitas nosiseptor
yang singkat dengan intensitas yang tinggi, misalnya: irisan
kulit dengan scalpel. Sensitisasi sentral dapat juga terjadi akibat
sensitisasi nosiseptor akibat inflamasi, dan aktivitas ektopik
spontan setelah cedera saraf. Sensitisasi sentral merupakan
urutan kejadian di kornu dorsalis yang diawali dengan
pelepasan transmiter dari nosiseptor, perubahan densitas
reseptor sinaptik, perubahan ambang, yang kesemuanya secara
dramatis meningkatkan transmisi nyeri.2 Salah satu reseptor
yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor
NMDA. Selama proses sensitisasi sentral, reseptor ini akan
mengalami fosforilasi, dan meningkatkan kepekaannya
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

terhadap glutamat. Respon berlebih pada glutamat ditandai


oleh hilangnya blokade ion Mg 2+ dan terjadi pembukaan
saluran ion yang lebih lama. Eksitabilitas membran dapat
diaktifkan baik oleh input yang di bawah (subtreshold), dan
respon berlebih pada input di atas ambang (supratreshold).
Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada rangsang
yang di bawah ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih
akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan
sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder).2
Aspek klinis nyeri akut
Neurotransmiter utama yang berperan pada proses nosiseptif
adalah Glutamat. Pada kondisi nyeri akut, reseptor utama yang
berperan adalah AMPA (alpha-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic-acid). Pada kondisi nyeri kronis, reseptor
utama yang berperan adalah NMDA (N-methyl-D-aspartate).
Reseptor NMDA pada kondisi fisiologik tidak akan terangsang,
kecuali ada pelepasan glutamat dalam jumlah besar atau
menetap (Brookoff, 2000). Aktivasi berualang reseptor AMPA
akan menyebabkan deplesi ion magnesium yang berperan
sebagai penghalang ion kalsium dan natrium pada kompleks
reseptor NMDA. Perubahan pada membran neuron ini
merupakan bentuk awal hipersensitisasi sentral, sebagai
permulaan transisi nyeri akut menjadi nyeri kronik (Brookoff,
2000).
Nyeri akut dibagi atas: Pertama, nyeri yang muncul pada
pasien, dimana sebelumnya tidak ada nyeri kronik. Untuk
pasien dengan nyeri akut tipe ini, pengobatan ditujukan
terhadap nyeri dan penyebabnya. Kedua, nyeri yang datang
tiba-tiba pada pasien yang sebelumnya sudah menderita nyeri
kronik akan tetapi nyeri akut tidak berhubungan dengan nyeri
kronik. Misalnya: pasien dengan nyeri kanker yang diderita
selama ini, kemudian menderita patah tulang tanpa
berhubungan dengan kankernya, dan mengalami nyeri.
Keadaan seperti ini selain pengobatan untuk nyeri yang lama,
perlu ditambahkan analgetik yang sesuai untuk patah tulang.
Ketiga, nyeri akut yang merupakan eksaserbasi nyeri kronik
yang selama ini diderita oleh pasien. Misalnya: seorang pasien
dengan nyeri kanker kronik dan mengalami nyeri patah tulang
oleh karena memberatnya penyakit. Oleh karena itu kecemasan
sangat mempengaruhi intensitas nyeri. Untuk kasus seperti
ini, terapi ditujukan untuk menurunkan kecemasan yang dapat
berupa dukungan emosional.4

akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan


mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada
nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang
serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri
terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan
oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal dengan nama WHO
analgesic ladder.4

Gambar 2. Panduan terapi inflamasi nyeri inflamasi akut dan


nyeri inflamasi kronik5

Gambar 3. Terapi nyeri inflamasi akut berdasar mekanisme6


Keterangan:
LA: Local anesthetic (anestesi lokal)
NSAID: Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (Obat antiinflamasi
nonsteroid)
5-HT: 5-Hydroxytriptamin (Serotonin)
NE: Norepinefrin

Penatalaksanaan Nyeri Inflamasi Akut


Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama
adalah OAINS, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan
analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan
pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut,
diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan
cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat
daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat
mentolerir efek samping obat.4 Istilah pukul dulu, urusan
belakang tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip
tatalaksana nyeri akut.3
Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual
Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek
analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri


berkorelasi dengan beratnya lesi atau stimulus. 3 Cedera
jaringan atau inflamasi akut akan menyebabkan pengeluaran
berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, prostaglandin,
leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya yang dapat
mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung
atau tidak langsung. 3,6,7 Sebagian dari mediator inflamasi
tersebut dapat langsung mengaktivasi nosiseptor dan sebagian
lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang
menyebabkan hiperalgesia.3
Mekanisme nyeri akut diawali oleh transduksi yang
mengubah sinyal-sinyal noksious kimiawi menjadi potensial
aksi. Potensial aksi terjadi oleh karena depolarisasi membran
153

Nyeri akut merupakan


gejala dimana intensitas
nyeri berkorelasi dengan
beratnya lesi atau
stimulus. 3 Cedera
jaringan atau inflamasi
akut akan menyebabkan
pengeluaran berbagai
mediator inflamasi, seperti:
bradikinin, prostaglandin,
leukotrien, amin, purin,
sitokin, dan sebagainya
yang dapat mengaktivasi
atau mensensitisasi
nosiseptor secara langsung
atau tidak langsung. 3,6,7

setelah permulaan inflamasi, sehingga obat anti inflamasi yang


selektif menghambat COX-2 tidak efektif pada nyeri nosiseptif
atau inflamasi yang berlangsung cepat.2

Pembagian cyclooxygenase inhibitor


Acetasol
Ketorolac

Indomethacin
Piroxicam

Ibuprofen
Etodolac
Ketesse

Diclofenac
Meloxicam
Nimesulide

COXIB

COX-1
selective
inhibitor

Preferentially
COX-1
selective
inhibitor

Dual
COX
inhibitor

Preferentially
COX-2
selective
inhibitor

COX-2
selective
inhibitor

anti-inflammatory
analgesic
Gambar 4. Spektrum NSAID berdasar pada sifat hambatannya
pada COX6
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa
deketoprofen memiliki efek analgesik sentral dengan menekan
aktivitas wind-up (lihat gambar 5.)

sebagai akibat pembukaan saluran natrium.3,6 Obat-obat yang


menstabilkan membran (misalnya: anestesi lokal) dapat
menghambat pembentukan potensial aksi dari nosiseptor.6
Obat-obat antiinflamasi nonsteroid mencegah transduksi
dengan menghambat berbagai mediator inflamasi.6

Gambar 5. Dexketoprofen memiliki efek penekanan fenomena


wind-up setara dengan fentanyl9

Tinjauan Khusus pada Dexketoprofen


Dexketoprofen merupakan S(+) enansiomer yang aktif dari
bentuk ketoprofen rasemat. Dexketoprofen secara poten
menghambat COX-1 dan COX-2. Hal ini berkontribusi besar
pada efek analgesiknya. Bentuk preparat garam trometamol
memberikan berbagai manfaat farmakokinetik, yaitu absorbsi
dan mula kerja yang cepat.8
Keunggulan dexketoprofen trometamol adalah proses absorbsi
yang cepat, dan pencapaian konsentrasi plasma maksimal (Cmax)
dalam waktu yang singkat. Bentuk garam trometamol yang larut
air sangat cepat diabsorbsi, dan dapat mencapai kadar puncak di
plasma dalam waktu 15 menit sampai 45 menit. Bentuk
enansiomer yang murni mengakibatkan pengurangan dosis untuk
mencapai efek terapi. Hal ini akan mengurangi kemungkinan
efek samping dan toksisitas obat.8
Pada saat awal inflamasi, COX-1 lebih dulu terbentuk.
Cyclooxygenase-2 (COX-2) dipicu oleh interleukin 1- dan tumor
necrosis factor-, yang keduanya terbentuk beberapa jam

Efek analgesik sentral dexketoprofen disebabkan oleh karena


penekanan sistem nosiseptif di medula spinalis, dan penekanan
fenomena wind up dengan stimulasi mekanik dan listrik.
Penekanan fenomena wind up dexketoprofen sebanding dengan
fentanyl (opioid dengan efek agonis reseptor ).9
Pada penelitian Leman, et al. (2003) terhadap 122 pasien dengan
cedera tungkai akut, pasien dirandomisasi untuk mendapat terapi
dexketoprofen 25 mg atau natrium diklofenak 50 mg. Pasien dengan
terapi dexketoprofen mendapat pengurangan nyeri secara bermakna
dengan onset yang lebih cepat dibandingkan dengan pasien yang
menerima natrium diklofenak.10 Hal serupa teramati pada pasien
pasca operasi. Penelitian pada 93 pasien operasi gigi yang
dirandomisasi untuk mendapat ibuprofen 600 mg dan
dexketoprofen 25 mg, menunjukkan bahwa pengurangan nyeri
secara bermakna pada jam pertama lebih bermakna pada
kelompok dexketoprofen dibanding ibuprofen (70,2% vs 39,1%).
Tidak didapatkan perbedaan durasi analgesik antara ibuprofen
dan dexketoprofen.11 Penelitian uji klinik tersamar ganda (double-

154

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

blind) pada 1.003 pasien pasca operasi memperlihatkan bahwa


efektivitas dexketoprofen sebanding dengan tramadol.12

Grafik di atas memperlihatkan bahwa kedua terapi samasama efektif dalam mengurangi nyeri. Kejadian efek
samping lebih sedikit pada kelompok dexketoprofentrometamol.
Tabel 1. Profil efek samping pada kelompok terapi tramadol
dan dexketoprofen pada pasien NPB akut
Sistem organ
Susunan saraf
Gejala psikiatrik
Gastrointestinal
General

Tramadol (n=97)
7,4%
4,2%
15,8%
6,3%

Dexketoprofen (n=95)
1%
8,2%
4,1%

Kesimpulan
Gambar 6. Efektivitas dexketoprofen pada nyeri pasca operasi12

Nyeri merupakan pengalaman sensoris yang tidak


menyenangkan akibat kerusakan jaringan, yang dihubungkan
dengan penderita dan disabilitas. Penatalaksaan nyeri akut
memerlukan pendekatan yang berbeda dengan nyeri kronik.
Penggunaan obat yang efektif, beronset cepat akan sangat
diperlukan. Dexketoprofen menunjukkan kemampuan untuk
diabsorbsi dengan cepat, mencapai kadar efektif dalam waktu
yang singkat, dan terbukti efektif dari beberapa penelitian
terdahulu.

Daftar Pustaka
1.

Gambar 7. Efektivitas dexketoprofen dalam terapi dysmenorhea13


Penelitian Castioux, dkk. (1999) membandingkan
efektivitasdexketoprofen 25 mg/8 jam dengan tramadol 50 mg/
8 jam pada 182 pasien lumbago akut. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa dexketoprofen sebanding dengan
tramadol dalam mengurangi nyeri dan memperbaiki
keterbatasan gerak.

2.

3.
4.
5.
6.

VAS

7.

Dexketoprofen
Tramadol

8.
9.

10.

Gambar 8. Efektivitas dexketoprofen dalam pengurangan nyeri


pada NPB akut

11.

VAS

12.
13.
Dexketoprofen
Tramadol

Hari

14.

15.

Meliala L, Suryamiharja A, Purba JS, et al. Penuntun praktis nyeri


neuropati. POKDI Nyeri PERDOSSI, 2000
Woolf CJ. Pain: moving from symptom control towards
mechanism-specific pharmacologic management. Annals of
Internal Medicine 2004; 140(6):441-51
Meliala L. Terapi rasional nyeri: tinjauan khusus nyeri
neuropatik. Aditya Media: Yogyakarta, 2004
Levine RS. Pain management: primary oral medications. Medical
Progress 2004:349-59
McQuay H, Moore A. An evidence based resource for pain relief.
Oxford Medical Publications, 1999
Koo PJS. Management of acute pain. Journal of Pharmacy
Practice 2003; 16(4):231-48
Byers MR, Bonica JJ. Peripheral pain mechanisms and
nociceptor plasticity. I n : L o e s e r J D , e t a l ( e d s ) . B o n i c a s
Management of Pain. Lipponcott William & Wilkins Philadelphia,
2001.p.27-72
Barbanoj MJ, Antonijoan RM, Gich I. Clinical pharmacokinetics
of dexketoprofen. Clin Pharmacokinetic 2001; 40(4):245-62
Mazario J, Roza C, Herrero JF. The NSAID dexketoprofen
trometamol is as potent as opioid in the depression of windup and spinal cord nociceptive reflexs in normal rats. Brain
Research 1999; 816:512-7
Leman P, Kapadia Y, Herington J. Randomised controlled trial
of the onset analgesic efficacy of dexketoprofen and diclofenac
in lower limb injury. Emerg Me J 2003; 20:511-3
Martinez J, Garcia G, Blanco CA, et al. Study of analgesic
efficacy of dexketoprofen trometamol 25 mg vs ibuprofen 600
mg after their administration in patients subjected to oral
surgery. Med Oral 2004; 9:138-48
Vogt, et al. Der Niedergelanssene Chirurg 1999; 3:28-32
Ezcurdia M, et al. Comparison of the efficacy and tolerability of
dexketoprofen and ketoprofen in the treatment of primary
dysmenorrhea. J Clin Pharmacol 1998; 38:65S-73S
Brooks P, et al. Interpreting the clinical significance of the
differential
inhibition
of
cyclooxygenase-1
and
cyclooxygenase-2. British Journal of Rheumatology 1999; 38:77987
McCormack K, Twycross R, et al. Are COX-2 selective inhibitors
effective analgesics? Pain Review 2001; 8:13-26

Gambar 9. Efektivitas dexketoprofen dalam memperbaiki


keterbatasan gerak pada NPB akut

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

155

SEKILAS PRODUK

Dexketoprofen trometamol tab 25 mg

Enhancing Pain Control with

Stronger, Faster & Safer Analgesic

Dosis efektif Ketoprofen 50 mg dan 100 mg


Dosis efektif Dexketoprofen 25 mg dan 50 mg
Untuk memenuhi kriteria dokter terhadap onset kerja
suatu NSAID, Dexketoprofen dalam sediaannya dibuat
dalam bentuk garam menjadi Dexketoprofen Trometamol
yang membuat kelarutan dexketoprofen trometamol 1000
kali lebih cepat dibandingkan dexketoprofen bentuk asam
(hanya dexketoprofen) sehingga onset kerja yang cepat
seperti diharapkan para dokter dapat tercapai. Dibawah ini
(gambar 1) adalah perbandingan onset kerja KETESSE
dengan beberapa molekul NSAID lain: 1

Waktu (menit)

da beberapa pertimbangan dokter dalam pemilihan


preparat NSAID, yaitu selain efikasi, efek samping
dan onset kerjanya. Banyak perusahan farmasi
mengembangkan molekul-molekul baru dengan berbagai
pendekatan untuk memenuhi ke-3 spesifikasi tersebut.
Demikian juga Menarini International salah satu grup
perusahaan farmasi tertua dan terbesar di Italia, yang
mengembangkan suatu molekul melalui pemurnian suatu
campuran rasemat Ketoprofen. Dalam campuran rasemat,
biasa terdapat 2 enansiomer yaitu enantiomer dextro dan
Levo dimana biasanya hanya satu enansiomer yang memiliki
profil efikasi dan sisanya selain tidak aktif juga memberikan
kontribusi efek samping. Khusus molekul
ketoprofen yang diteliti, terbukti bahwa
efikasi yang dihasilkan selama ini didapat
dari enansiomer dextro yang kemudian
Menarini International melakukan pemurnian
dengan mengambil enansiomer dextro
sebagai zat aktifnya dan dinamakan
Dexketoprofen. 1
Namun saat ini PT Ferron Par
Pharmaceutical telah memasarkan satu
preparat Dexketoprofen, dengan nama
dagang KETESSE.

Beberapa keuntungan dexketoprofen


dibandingkan Ketoprofen:1
1. Dexketoprofen memiliki kemampuan
penghambatan enzim siklo-oksigenase
lebih kuat
2. Toksisitas yang lebih rendah
3. Selektifitas pada organ target yang lebih tinggi
4. Variabilitas farmakokinetik yang lebih terkontrol
5. Dosis efek efektif yang lebih rendah sehingga
meminimalkan efek samping pada organ-organ ekresi

156

Gambar 1.
Pada gambar berikut (2) dapat dilihat perbandingan
jumlah lesi pada gaster antara pasien yang menggunakan
garam trometamol dengan pasien yang menggunakan yang

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

tidak menggunakan garam trometamol. Ternyata dapat


dilihat bahwa pada pasien yang menerima garam trometamol
menunjukkan jumlah lesi pada gaster yang lebih sedikit
dibandingkan dengan pasien yang tidak menggunakan
garam trometamol. Hal ini disebabkan karena preparat yang
mengandung garam trometamol tidak bersifat asam,
berbentuk zwitterion, meningkatkan kelarutan 1.000 kali
dalam air sehingga kontak dengan saluran cerna minimal
yang pada akhirnya akan menurunkan kejadian efek samping
gastrointestinal dan T max menurun, sehingga mula kerja
cepat.3,4

Indikasi:4
Tablet:
nyeri akut dengan intensitas ringan hingga sedang (nyeri
muskuloskeletal, nyeri pasca operasi
dismenore dan sakit gigi paska pencabutan gigi).3
Ampul:
Pengobatan gejala nyeri akut sedang hingga berat, pada
keadaan dimana pemberian peroral tidak memungkinkan,
seperti nyeri setelah operasi

Dosis:4

Number of Gastric Lesions

Tablet:

Gambar 2.

Pengurangan rasa nyeri (%)

Penggunaan Ketesse dengan menggunakan dosis yang


lebih kecil dibandingkan ketoprofen (efikasinya sama),
menyebabkan beban pada organ hati dan ginjal menjadi
lebih kecil, sehingga akan meminimalkan efek samping pada
organ-organ ekresi. Hal ini dapat dibuktikan pada penelitian
osteoartritis di bawah ini (gambar 3). 2

Ketoprofen 50 mg 3 x sehari

Ketesse 25 mg 3 x sehari

Dosis umum: 3 x 1 tablet Ketesse


25 mg sehari

Usia lanjut: dosis awal 12,5 mg


3 x sehari (maksimal 50 mg / hari)

Disfungsi hati ringan hingga


sedang: 12,5 mg 3 x sehari (maksimal
50 mg/hari)

Disfungsi ginjal ringan : 12,5 mg


3 x sehari (maksimal 50 mg/hari)

Disfungsi ginjal sedang hingga


berat: dikontraindikasikan

Ampul:

50 mg setiap 8-12 jam.

Pada kasus pasca operasi


dengan nyeri yang hebat, KETESSE
dapat diberikan setiap 6 jam (4 ampul/hari) khususnya
pada hari pertama pasca operasi
Lama pemberian: diberikan untuk waktu 2 hari dan
dilanjutkan dengan oral. Pembatasan ini didasarkan atas
pertimbangan etika.

Kemasan:4
Kotak, 5 strip @ 10 tablet
Kotak, 5 ampul @ 2 ml

Kesimpulan:
Ketesse merupakan NSAID yang memenuhi semua kriteria
NSAID yang ideal dengan potensi meningkat dan lebih
murni, selain itu dengan adanya tambahan garam
trometamol, menyebabkan solubilitas meningkat dan mula
kerja lebih cepat

Daftar Pustaka
1. Barbanoj MJ et al. Clin Pharmacokinet 2001;40(4):24562
2. Beltran et al. J. Clin Pharmacol. 1998 ;38;74s-80s
3. Cabre F, et al. Br. J. Rheumatol. 1998;37(Suppl.):115
4. Ketesse. PT Dexa Medica. Package Insert.

Gambar 3. Multicenter, acak, tersamar ganda selama 2


minggu terhadap 180 pasien Osteoartritis

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

157

SEKILAS PRODUK

WET AND HEALING


DESKRIPSI
HIALID tetes mata steril
Bahan aktif: sodium hyaluronate 0.1%
pH: 6,0 - 7,0
Rasio osmolar: 0,9 - 1,1
Mengandung benzaleonium chloride 0.003%

INDIKASI
Menghilangkan rasa terbakar, iritasi dan ketidaknyamanan
yang disebabkan karena kekeringan pada mata dan untuk
mempercepat perbaikan permukaan okular yang rusak
seperti pada Sjogrens syndrome dan Sicca syndrome (dry
eye).

MEKANISME KERJA

Sodium hyaluronate pada Hialid dibuat dari ekstrak

jengger ayam, sehingga memberikan keseimbangan


antara keamanan dan efikasi.
Sodium hyaluronate mengikat fibronektin dan
mempercepat perekatan dan perluasan dari sel epitel
Sodium hyaluronate juga memiliki kemampuan
menahan air yang baik sebab setiap molekul sodium
hyaluronate dapat menyimpan molekul H2O

DOSIS DAN CARA PEMAKAIAN


5 - 6 kali sehari 1 tetes. Dosis dapat disesuaikan dengan
gejala yang ada pada pasien

EFEK SAMPING
Efek samping yang utama adalah gatal, iritasi dan
hiperemia. Jika tampak adanya efek samping tersebut,
pengobatan harus dihentikan.
Hipersensitivitas
Ophthalmic

0,1% n < 5%
Blefaritis, eyelid dermatitis
Gatal, iritasi, konjungtivitis,
injeksi konjungtiva, lesi
kornea

N < 0,1%
Eye discharge

PERINGATAN
1. Hanya digunakan sebagai tetes mata
2. Pada saat pemakaian, hati-hati agar ujung dari botol
tetes mata tidak meyentuh langsung ke mata untuk
160

menghindari kontaminasi terhadap obat.


3. Jangan menggunakan obat ini pada saat menggunakan
soft contact lenses.

PERINGATAN DAN PERHATIAN KHUSUS:


Benzalkonium chloride, yang umumnya digunakan
sebagai bahan pengawet pada sediaan untuk mata,
dilaporkan memiliki sitotoksisitas. Karena obat ini
mengandung benzalkonium chloride, diperlukan monitor
yang ketat pada pasien dry eye yang sering
menggunakan dalam jangka panjang, atau pada kondisi
dimana terdapat gangguan pada kornea.
Contact Lenses
Bahan pengawet pada obat ini, benzalkonium chloride,
mungkin diabsorpsi oleh soft contact lenses. Pasien
yang menggunakan soft contact lenses harus
menunggu minimal 10 menit setelah menggunakan
obat ini, sebelum memakai kembali lensa kontaknya.

KARAKTERISTIK FARMAKOLOGI
Di Jepang, cornea society mendefinisikan dry eye (mata
kering) adalah suatu kondisi pada segmen anterior mata,
dimana terjadi kerusakan pada epitel kornea yang
disebabkan karena perubahan kualitatif dan kuantitatif
air mata.
Oleh sebab itu, dalam pengobatan dry eye, sangat
direkomendasikan untuk menggunakan obat yang efektif
mengatasi kedua masalah tersebut, yaitu kerusakan
pada epitel kornea dan gangguan pada air mata
(kualitatif dan kuantitatif).
Hasil research Santen - Jepang pada 985.511 pasien,
ditemukan bahwa pada semua kasus dry eye (ringan sampai
berat) terjadi kerusakan pada epitel kornea.
Hialid memiliki karakterisitik farmakologi yang dapat
mengatasi kedua masalah tersebut, melalui kelebihannya:
1. WET
Hialid memiliki kemampuan menahan air yang sangat
baik dengan menyimpan banyak molekul air di dalam
struktur molekul sodium hyaluronate, sehingga
menjaga mata lebih lembab/basah dalam jangka
waktu yang lebih lama.1
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

2. HEALING
Pada proses penyembuhan secara alami, sel epitel
bermigrasi lambat pada fibronektin melalui regenerasi.
Pada proses penyembuhan oleh Hialid, sodium
hyaluronate berikatan dengan fibronektin dan bekerja
langsung pada proses penyembuhan dengan
meningkatkan adhesi dan migrasi dari sel epitel3
Hialid meningkatkan migrasi dari sel epitel kornea4
Sampel kornea kelinci 20 jam setelah inkubasi:
perbandingan dengan kontrol in vitro

Hialid menjaga kestabilan air mata, dimana Hialid


secara bermakna memperpanjang BUT (break up
time of the tear film)2
Cairan air mata menjadi lapisan yang tipis dengan
proses pengedipan. Pada saat seseorang tidak
berkedip, lapisan air mata pecah dan kornea terpapar.
Durasi proses tersebut dinamakan BUT. Hal ini menjadi
indikator dalam menegakkan diagnosis sindrom mata
kering. Nilai normalnya adalah 10-20 detik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hialid. Data on file
2. Hamano T, Horimoto K, Lee M, et al. Evaluation of the
effect of the sodium hyaluronate ophthalmic solution
on tear film stability. Acta Soc Ophthalmol 1993; 97:92832
3. Nakamura M, Hikida M, Nakano T. Concentration and
molecular weight dependency of rabbit corneal
epithelial wound healing on hyaluronan. Current Eye
Research 1992; 11(10):981-5

Seluruh Direksi & Staf Dexa Medica Group


Mengucapkan
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H
Minal Aidin wal Faizin
Mohon Maaf Lahir dan Batin
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

161

ARTIKEL UTAMA

Dry Eye Syndrome (Sindroma Mata


Kering)
Fatma Asyari
Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI
Jakarta

Abstrak. Dry eye syndrome merupakan suatu kelompok gejala dimana mata terasa tidak nyaman (seperti
iritasi, perih, berair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, merasa mengantuk, mudah lelah) dan
dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan perforasi.
Dry eye sangat sering dijumpai, mengenai hampair 1030% penduduk, tidak pandang ras, gender maupun
umur. Meskipun demikian, dry eye lebih banyak pada wanita usia di atas 40 tahun. Pada era komputer dan
pemakaian AC yang terus menerus, hampir semua orang pernah mengalami gejala ini sebagian besar
menganggap hal tersebut sesuatu yang biasa dan tidak perlu diobati. Ternyata, satu dari 4 pasien yang datang
ke dokter mata adalah penderita dry eye dan kebanyakan dari mereka tidak menyadarinya, bahkan sampai
bertahun-tahun.
Agar mata terasa nyaman dan penglihatan baik, sel-sel epitel permukaan mata (kornea, konjungtiva) harus
dalam keadaan jernih dan lembab, mata lembab disebabkan karena adanya lapisan airmata yang membasahi
permukaan mata setiap saat. Banyak faktor yang berperan pada terjadinya dry eye, diantaranya fungsi air
mata, baik kuantitas maupun kualitasnya. Mekanisme ini sangat tergantung pada neuroanatomic control serta
integritas sel induk pada limbus (stem cell ).

Pendahuluan
Dry eye syndrome merupakan suatu kelompok gejala dimana
mata terasa tidak nyaman, seperti iritasi, perih, berair, seperti
ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, cepat merasa mengantuk,
cepat lelah, dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila
sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan pada kasus yang
sudah lanjut dapat terjadi perforasi kornea dan kebutaan.
Kelembaban permukaan mata merupakan keseimbangan
antara produksi dan ekskresi air mata melalui sistem drainase
melalui duktus nasolakrimalis serta penguapan. Apabila
keseimbangan ini terganggu, mata terasa kering, timbul suatu
dry spot pada permukaan kornea sehingga menimbulkan rasa
iritasi, perih diikuti refleks berkedip, lakrimasi dan mata berair.
Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut dalam waktu yang
lama akan terjadi kerusakan sel epitel kornea dan konjungtiva,
bahkan dapat terjadi infeksi, ulkus, dan kebutaan.
Sangat banyak faktor yang berperan pada terjadinya dry
eye baik pada wanita maupun pria, beberapa diantaranya tidak
dapat dihindari:
1. Usia lanjut. Dry eye dialami oleh hampir semua penderita
usia lanjut, 75% di atas 65 tahun baik laki maupun
perempuan.
2. Faktor hormonal yang lebih sering dialami oleh wanita
seperti kehamilan, menyusui, pemakaian obat kontrasepsi,
dan menopause.
3. Beberapa penyakit seringkali dihubungkan dengan dry eye
seperti: artritis rematik, diabetes, kelainan tiroid, asma,
162

4.

5.

6.

7.

8.

lupus erythematosus, pemphigus, Stevens-johnsons syndrome,


Sjogren syndrome, scleroderma, polyarteritis, nodosa,
sarcoidosis, Mickulicks syndrome.
Obat-obatan dapat menurunkan produksi air mata seperti
antidepresan, dekongestan, antihistamin, antihipertensi,
kontrasepsi, oral, diuretik, obat-obat tukak lambung,
tranquilizers, beta bloker, antimuskarinik, anestesi umum.
Pemakai lensa kontak mata terutama lensa kontak lunak
yang mengandung kadar air tinggi akan menyerap airmata
sehingga mata terasa perih, iritasi, nyeri, menimbulkan rasa
tidak nyaman/intoleransi saat menggunakan lensa kontak,
dan menimbulkan deposit protein.
Faktor lingkungan seperti, udara panas dan kering, asap,
polusi udara, angin, berada diruang ber-AC terus menerus
akan meningkatkan evaporasi air mata.
Mata yang menatap secara terus menerus sehingga lupa
berkedip seperti saat membaca, menjahit, menatap monitor
TV, komputer, ponsel
Pasien yang telah menjalani operasi refraktif seperti PRK,
LASIK akan mengalami dry eye untuk sementara waktu.

Patofisiologi
Lapisan air mata (tear film) yang terdapat pada permukaan
mata berfungsi untuk membasahi serta melumasi mata agar
terasa nyaman. Pada setiap berkedip lapisan airmata ini
terbentuk yang terdiri atas 3 lapis/komponen.1
1. Lapisan lemak dengan ketebalan 0,1 m, merupakan
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

lapisan paling luar yang berfungsi mencegah penguapan


berlebihan. Lapisan lemak ini mengandung esters , gliserol
dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar Meibom
yang terdapat pada kelopak mata atas dan bawah. Infeksi
atau kerusakan berulang pada kelenjar ini (seperti
hordeolum, kalazion serta blefaritis) akan menyebabkan
gangguan lapisan lemak sehingga terjadi lipid deficiency
dry eye akibat penguapan berlebihan.

Gambar 4
Gambar 3 dan 4. Mekanisme terbentuknya lapisan airmata
pada saat mengedip dan saat mata terbuka di antara kedipan.
Pada saat mata terbuka, lapisan air mata (aquous) akan
berkurang akibat evaporasi serta aliran keluar melalui
pungtum dan duktus nasolakrimal. Apabila mata mulai terasa
kering dan terjadi dry spot pada kornea, mata akan terasa
perih, menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris dan terjadi
refleks mengedip sehingga lapisan airmata terbentuk lagi dan
seterusnya.
Gambar 1. Anatomi mata dan saluran ekskretoir airmata

Fungsi air mata yang


paling penting adalah
melindungi serta
mempertahankan integritas
sel-sel permukaan mata,
terutama kornea dan
konjungtiva.1
Gambar 2. Lapisan airmata yang terdiri dari 3 lapis

Gambar 3
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

2. Lapisan aquous (air mata) dengan ketebalan 7


m, dihasilkan oleh kelenjar lakrimal dan
merupakan komponen yang paling besar. Lapisan
ini berfungsi sebagai pelarut bagi oksigen,
karbondioksida dan mengandung elektrolit,
protein, antibodi, enzim, mineral, glukosa, dan
sebagainya. Lysozyme, suatu enzim glikolitik,
merupakan komponen protein terbanyak (20-40%),
bersifat alkali dan mampu menghancurkan dinding
sel bakteri yang masuk ke mata. Lactoferrin juga
memiliki sifat antibakteri serta antioksidan
sedangkan epidermal growth factor (EGF) berfungsi
mempertahankan integritas permukaan mata
normal serta mempercepat penyembuhan jika
terjadi luka kornea. Albumin, transferrin, immunoglobulin
A (IgA), immunoglobulin M (IgM), dan immunoglobulin
163

G (IgG) juga terdapat dalam lapisan aqueous air mata .


3. Lapisan musin: sangat tipis 0,02-0,05 m, dihasilkan oleh
sel Goblet yang banyak terdapat pada selaput konjungtiva
(konjungtiva bulbi, forniks dan caruncula). Lapisan musin
ini akan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva yang
bersifat hidrofobik sehingga menjadikannya bersifat
hidrofilik agar air mata dapat membasahinya, serta
berfungsi mempertahankan stabilitas lapisan air mata.
Fungsi air mata
Fungsi air mata yang paling penting adalah melindungi serta
mempertahankan integritas sel-sel permukaan mata,
terutama kornea dan konjungtiva.1
1. Optik: lapisan air mata akan membentuk serta
mempertahankan permukaan kornea selalu rata dan licin
sehingga memperbaiki tajam penglihatan pada saat setelah
berkedip.
2. Secara mekanis, pada setiap berkedip, air mata mengalir
membersihkan kotoran, debu yang masuk ke mata.
3. Lubrikasi agar gerakan bola mata ke segala arah serta
berkedip terasa nyaman.
4. Menjaga agar sel-sel permukaan kornea dan konjungtiva
tetap lembab.
5. Mengandung antibakteri, lisozim, betalisin dan antibodi,
sebagai mekanisme pertahanan mata dan proteksi terhadap
kemungkinan infeksi.
6. Sebagai media transport bagi produk metabolisme ke dan
dari sel-sel epitel kornea dan konjungtiva terutama oksigen
dan karbondioksida (40% oksigen di dapat dari atmosfir).
7. Nutrisi: air mata merupakan sumber nutrisi seperti glukosa,
elektrolit, enzim, dan protein.

Dry eye syndrome


merupakan suatu kelompok
gejala dimana mata terasa
tidak nyaman, seperti iritasi,
perih, berair, seperti ada pasir,
lengket, gatal, pegal, merah,
cepat merasa mengantuk,
cepat lelah, dan dapat terjadi
penurunan tajam
penglihatan bila sudah
terjadi kerusakan epitel
kornea, bahkan pada kasus
yang sudah lanjut dapat
terjadi perforasi kornea dan
kebutaan.

Pemeriksaan
Pada anamnesis penderita akan mengeluh matanya tidak
nyaman (discomfort). Dry eye syndrome merupakan suatu
kelompok gejala dimana mata terasa tidak nyaman, seperti
iritasi, perih, berair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal,
merah, cepat merasa mengantuk, cepat lelah, dan dapat terjadi
penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel
kornea, bahkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terjadi
perforasi kornea dan kebutaan.
Pemeriksaan mata
- Tajam penglihatan biasanya tidak terganggu kecuali pada
kasus berat
- Vasodilatasi/hiperemia konjungtiva
- Tampak banyak sekret dan debris, mukus pada air mata
- tear meniscus (air mata yang berada pada sudut antara
konjungtiva bulbi inferior dengan tepi kelopak bawah)
berkurang
- Kelainan kornea: permukaan kornea ireguler, epiteliopati,
keratitis pungtata, filamen, defek epitel, ulkus.

Diagnosis
Diagnosis biasanya cukup ditegakkan atas dasar gejala klinis,
anamnesis yang lengkap keluhan pasien, usia, pekerjaan,
penyakit serta pemakaian obat-obatan yang mungkin dapat
menjadi penyebab.
164

Pemeriksaan klinis segmen anterior mata termasuk


kelopak, sistem lakrimal, konjungtiva, epitel kornea, serta
tekanan intraokuler. Pemeriksaan khusus penting dapat
dilakukan untuk menilai fungsi air mata secara kualitas
maupun kuantitas seperti:1,2

Test Schirmer
Pemeriksaan ini menilai kuantitas produksi air mata yang
dihasilkan oleh kelenjar lakrimal. Kertas filter Schirmer 30 x 5
mm diletakkan pada sakus inferior 1/3 temporal (agar tidak
menyentuh kornea) tanpa anestesi topikal selama 5 menit.
Bagian kertas yang dibasahi menunjukkan kuantitas airmata.
Nilai di bawah 6-7 mm dianggap kurang. Tes ini dapat juga
dilakukan dengan anestesi topikal (pantokain 0.5%) untuk
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

menilai sekresi dasar (basic secretion) air mata. Nilai kurang


dari 5 mm dianggap dry eye.
Tear break-up time (BUT)
Untuk menilai stabilitas lapisan airmata. Lapisan air mata
diberi pewarnaan fluoresin dan dilakukan pemeriksaan kornea
dengan menggunakan lampu biru. Apabila interval waktu
antara mengedip dan terbentuknya dry spot pada kornea
kurang dari 10 detik dianggap abnormal (nilai normal 15 detik).
Pewarnaan
Pewarnaan fluoresin dapat mendeteksi adanya kerusakan
epitel kornea pada penderita dry eye berupa pungtata, defek
atau ulkus kornea.
Pewarnaan Rose Bengal/lissamin green dapat menilai
keadaan sel-sel konjungtiva dan kornea yang patologis, yang
tidak dilapisi musin, serta filamen.1-3

Grade 3: gambaran daun pakis mulai tidak berbentuk, masih


ada sebagian kecil yang berbentuk pakis

Tes ferning
Tes untuk menilai kualitas serta stabilitas air mata. Bila air
mata dibiarkan kering di atas suatu gelas objek, dengan
menggunakan mikroskop cahaya akan tampak suatu
gambaran kristal berbentuk daun pakis (ferns). Tes ini sangat
sederhana, tidak invasif, cepat dan dapat memberikan
gambaran kualitas serta stabilitas lapisan airmata.

Grade 4: gambaran daun pakis tidak terbentuk sama sekali


Impression cytology
Sitologi impresi menggunakan cellulose acetate filter dapat
dilakukan untuk menilai keadaan serta densitas sel-sel
permukaan mata, seperti sel epitel, sel goblet, serta gambaran
kerusakan sel yang mengalami keratinisasi.

Pengobatan
Grade 1: gambaran daun pakis baik serta banyak

Grade 2: gambaran daun pakis mulai berkurang tapi masih


baik

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

Pengobatan dry eye sangat tergantung pada faktor yang


mendasarinya, seringkali faktor tersebut tidak dapat dicegah
sehingga penderita akan selamanya merasakan ketidaknyamanan
atau mempertahankan sisa airmata yang ada. Sampai saat ini
belum ditemukan cara/obat yang dapat merangsang produksi
airmata.
Pemakaian tetes air mata buatan (artificial tears) sampai saat
ini merupakan terapi yang paling penting. Artificial tears/air
mata buatan merupakan pengobatan yang paling banyak
diberikan pada penderita dry eye apapun etiologinya, meskipun
hanya memberikan kenyamanan bersifat sementara. Dosis
serta frekuensi pemakaian sangat tergantung pada derajat dry
eye penderita, meskipun pemakaian yang terus menerus dan
dalam jangka waktu lama dapat mengganggu produksi air
mata dan memperburuk keadaan.
Sangat banyak ragam air mata buatan yang tersedia di
apotek, pemahaman prinsip serta patologi yang ada sangat
menentukan pilihan obat mana yang akan diambil.
Beberapa hal penting yang perlu diketahui yang
165

Pengobatan dry eye sangat


tergantung pada faktor yang
mendasarinya, seringkali faktor
tersebut tidak dapat dicegah
sehingga penderita akan
selamanya merasakan
ketidaknyamanan atau
mempertahankan sisa airmata
yang ada. Sampai saat ini belum
ditemukan cara/obat yang dapat
merangsang produksi air mata.
berhubungan dengan obat tetes mata:2
- Preservatives (bahan pengawet seperti benzalkonium
hidroklorida, sodium klorida, sodium perborate)
- Drug delivery system polymers : biodegradable polimers seperti HPMC
hydroxypropyl methyl cellulose, PVA polyvinyl alcohol, PLA
polyglycolic Acid, PCL polycaprolactones, serta non-biodegradable polymers seperti EVA ethylene vinyl acetate atau hydrogels.
- bentuk formulasi obat: apakah suspensi atau emulsi.
Drug reservoir/oklusi pungtum
Untuk mempertahankan sisa air mata yang ada dengan cara menutup
punktum lakrimal baik secara permanen dengan melakukan kauter
pungtum, atau sementara dengan menggunakan punctum plug yang
dimasukkan ke dalam kanalikulus inferior dengan tujuan preservasi
air mata (ocular inserts)4

dengan konsentrasi sama bahkan lebih tinggi dari airmata.


Mucolytic agents: N-acetylcysteine drops 10% (Mucomyst) untuk
mengurangi mucus, filaments atau plaques.
Pada keadaan dry eye berat dapat dipertimbangkan
pemakaian bandage contact lens, inserts, atau pungtum plugs atau
oklusi, kacamata goggles.4
Tindakan operatif dapat dilakukan bila serjadi kerusakan
kornea pada kasus berat seperti amnion membrane transplantation, limbal allograft, tarsorrhapy.5,6
Emerging therapy seperti:
- terapi hormonal (topical androgen, fetoestrogen)
- secretagogues (substansi yang dapat meningkatkan aktivitas
sel acinar kelenjar serta sintesa protein, seperti oral pilocarpine
and cevimeline)
- Cytokine-blocking agents
- P2Y2 receptor agonist Diquafosol, yang dapat meningkatkan
aliran air mata dan produksi aquous dari kelenjar lakrimal serta
mucin dari sel goblet.
Konsultasi ke cabang ilmu kedokteran lain seperti penyakit
dalam, reumatologi, obstetrik-ginekologi, andrologi, apabila
disertai kelainan sistemik.
Prinsip pengobatan dry eye
Pada kasus dry eye ringan, cukup dengan tetes air mata ,
lubrikan pada malam hari, kompres hangat dan massage
kelopak mata jika disertai radang tepi kelopak mata (blefaritis).
Pada kasus berat (pasca Stevens Johnsons syndrome, trauma
kimia/luka bakar) dapat dipertimbangkan pemakaiaan bandage contact lens, autologus serum, terapi hormonal, cyclosporine
tetes mata, oklusi pungtum bahkan tindakan operasi bila terjadi
komplikasi kornea

Kesimpulan
Pada umumnya prognosis tajam penglihatan baik, hanya terapi
harus terus menerus selama masih ada keluhan. Pemakaian
obat tetes air mata secara terus menerus terutama yang
mengandung preservative dapat menimbulkan efek toksik
kornea. Sebaiknya konsultasi ke dokter mata jika terjadi reaksi
alergi/nyeri, merah, atau ketajaman penglihatan menurun.
Deteksi dini dan pengobatan intensif bila terjadi komplikasi
akan sangat membantu mencegah kerusakan yang lebih berat.

Daftar Pustaka
1.
2.
3.

4.

Vitamin A: membantu stimulasi sel-sel permukaan mata


terutama bila terjadi kerusakan epitel kornea. Autologous serum: serum yang didapat dari darah penderita diencerkan
dengan artificial tears dan dipakai sebagai obat tetes mata.
Larutan ini tanpa pengawet, tidak antigenik, mengandung
growth factors, fibronectin, immunoglobulins, and vitamins
166

5.
6.

Lamberts DW. Physiology of the tear film in the cornea. Scientific


Foundation and Clinical Practice1983.p.31-42
David benEzra. Ocular surface inflammation. Guidelines for diagnosis
and treatment. highlight of ophthalmology international. IOIS 2003
Lee S-H, Tseng SCG. Rose bengal staining and cytologic
characteristics associated with lipid tear deficiency. Am J Ophthalmol
1997; 124:736-50
Yang H-Y, Fujishima H, Toda I, et al. Punctal occlusion for the
treatment of superior limbic keratoconjunctivitis. Am J Ophthalmol
1997; 124:80-7
Tsubota K, Satake Y, Ohyama, M et al. Surgical reconstruction of the
ocular surface in advanced ocular cicatricial pemphigoid and
Stevens-Johnson syndrome. Am J Ophthalmol 1996; 122:38-52
Lee S-H, Tseng SCG. Amniotic membrane transplantation for
persistent epithelial defects with ulceration. Am J Ophthalmol 1997;
123:303-12

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

LAPORAN KASUS

Penderita Limfadenitis Tuberkulosa


dengan DOT-EIA-TB Negatif
Juliani Dewi, Anik Widijanti
Laboratorium Patologi Klinik RSU Dr. Saiful Anwar / FK Universitas Brawijaya
Malang

Abstrak. Meskipun sebagian besar penyakit tuberkulosis (TB) mengenai paru, tetapi TB di luar paru (TB
ekstra pulmonal) juga merupakan manifestasi yang penting, dan paling banyak mengenai kelenjar getah
bening perifer. Diagnosis TB kelenjar secara tradisional membutuhkan biopsi. Diagnosis pasti dapat
ditegakkan, dengan menemukan Mycobacterium tuberculosis. Gambaran histopatologi adanya granuloma
caseous menandakan kemungkinan besar adanya infeksi mycobacterial. Berkembangnya dot-enzyme
immunoassay (DOT-EIA) merupakan uji serologis yang amat praktis pada akhir-akhir ini. Sensitivitas uji
DOT-EIA-TB tergolong tinggi, yaitu 88,9% dengan spesifisitas 87,5%.
Kami melaporkan suatu kasus penderita sirosis hati dan limfadenitis TB dengan pemeriksaan DOT-EIA-TB
ekstra dan intra pulmonar negatif. Pada pemeriksaan kompleks imun, terdapat peningkatan dari nilai cut off
dan setelah dilakukan re-suspensi, hasil serologis DOT-EIA-TB positif. Pemeriksaan histopatologis penderita
ini menyimpulkan suatu proses tuberkulosis. Fenomena ini dapat disebabkan karena keadaan imun penderita
yang buruk.
Kata kunci: TB kelenjar, DOT-EIA-TB, kompleks imun

Pendahuluan
WHO memperkirakan kurang lebih 10 juta kasus tuberkulosis (TB)
baru setiap tahun di seluruh dunia, sebagian besar terdapat di negara
berkembang.1 TB merupakan penyebab kematian terbesar di dunia
dan diperkirakan terjadi kematian sekitar 1,5 juta orang setiap tahun
di negara berkembang. Khusus untuk Indonesia, data WHO barubaru ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan
kasus TB terbesar ke-3 di dunia, setelah India dan Cina, dengan jumlah
penderita baru 583.000 orang per tahun dan penderita TB menular
262.000 orang per tahun.2
TB dapat mengenai berbagai organ dalam tubuh. Meskipun
sebagian besar TB mengenai paru, tetapi TB di luar paru (TB
ekstrapulmonal) juga merupakan manifestasi yang penting.
TB ekstrapulmonal dapat tidak bergejala, atau dengan gejala
tidak khas, dan mungkin tidak terdiagnosis pada saat awal
penyakit. Diagnosis yang terlambat dapat berbahaya, bahkan
dapat mengancam kehidupan, terutama jika mengenai spinal,
meningeal, perikardial, atau abdominal. TB ekstrapulmonal
meliputi 10-15% dari semua kasus TB secara keseluruhan.3,4

Limfadenitis Tuberkulosis
TB kelenjar getah bening perifer (limfadenitis TB) merupakan
bentuk TB ekstrapulmonal yang paling sering terjadi. Tempat
yang paling sering adalah kelenjar getah bening cervikal.
Limfadenitis TB paling sering terjadi pada penderita usia
dekade ke-2 dan ke-3, meskipun dapat pula mengenai segala
usia. Limfadenitis TB menjadi kasus yang paling sering
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

menimbulkan lymphadenopathy.5 Gambaran klinis limfadenitis


TB berupa benjolan selama beberapa minggu hingga beberapa
bulan tanpa disertai rasa nyeri. Pada umumnya kelenjar yang
terkena adalah jugular, posterior triangle, atau supraclavicular.
Empat belas hingga tiga puluh persen kasus terjadi pada kelenjar
aksilar, inguinal, dan mediastinum. Gejala yang lain berupa
demam, keringat malam, lemah, dan penurunan berat badan.
Diagnosis banding limfadenitis TB adalah persistent generalized
lymphadenopathy, limfoma, sarkoma kaposi, metastasis suatu
keganasan, sarkoidosis, dan reaksi obat.5,6
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran napas dan menyebar secara lymphohematogenous.
Karena masuknya kuman melalui pulmonal, kelenjar getah
bening yang pertama kali terkena adalah kelenjar getah bening
hilus dan mediastinum. Tetapi kelenjar-kelenjar ini jarang
dilaporkan sebagai tempat limfadenitis TB. Limfadenitis TB dapat
terjadi pada saat infeksi pertama (seperti pada anak-anak atau
pada penderita immunocompromised) atau merupakan reaktifasi
infeksi primer sebelumnya.5
Kuman TB yang masuk ke dalam tubuh akan difagositosis
oleh neutrofil dan makrofag. Kuman tidak mati di dalam
neutrofil, bahkan tumbuh dengan baik di dalamnya. Kuman
tersebut akan segera keluar lagi dan difagosit oleh makrofag.
Bila makrofag tidak mampu membunuh kuman, maka kumankuman TB tersebut akan tumbuh dalam makrofag dan berakhir
dengan kematian makrofag. Selanjutnya kuman-kuman TB
tersebut akan difagositosis oleh makrofag-makrofag yang lain.
167

Di dalam makrofag, kuman TB mengalami proses endositosis


dan selanjutnya masuk ke dalam sitoplasma membentuk kantong
(fagosom). Fagosom akan mengadakan fusi dengan lisosom
membentuk fagolisosom yang mengandung enzim-enzim
proteinase dan hidrolase sehingga dapat menghancurkan kumankuman. Kuman TB mempunyai kemampuan menghalangi fusi
tersebut sehingga tidak terbentuk fagolisosom dan kuman tetap
bertahan hidup dalam makrofag. Makrofag yang sedang
memfagosit kuman-kuman TB mengeluarkan bahan-bahan yang
akan menarik sel-sel mononuklear, yaitu monosit dan limfosit,
kemudian membentuk dinding di sekitar kuman dan membentuk
tuberkel. Dalam waktu beberapa minggu, bagian tengah tuberkel
akan mengalami nekrosis kaseosa atau pengejuan, yang dikelilingi
sel-sel epiteloid, dan kadang-kadang didapatkan sel-sel raksasa
dari Langhans. Setelah 1 bulan, disekitarnya timbul fibroblas
yang membentuk kapsel. Kapsel ini dikelilingi oleh sel-sel limfosit
dan kadang-kadang sel plasma. Pada bagian sentral terjadi
pengendapan kalsium. Lesi pertama ini disebut fokus ghon. Lesi
ini masih terlalu halus untuk dapat dilihat secara radiologis.
Penyebaran kuman TB dari fokus ghon terjadi melalui saluran
limfe ke kelenjar getah bening regional dan secara hematogen ke
7
organ-organ lain atau bagian lain dari paru.
Diagnosis TB kelenjar secara tradisional membutuhkan biopsi.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan, dengan menemukan Mycobacterium
tuberculosis, baik secara histopatologis maupun dengan sediaan
hapusan melalui pewarnaan tahan asam, atau dengan kultur.
Gambaran histopatologis adanya granuloma caseous menandakan
5
kemungkinan besar adanya infeksi mycobacterial.
Dalam perkembangannya kini, ada beberapa teknik baru
yang dapat mengidentifikasi pasti kuman TB secara lebih cepat
daripada kultur yang memakan waktu lebih lama. Dasar
pemeriksaan adalah mendeteksi kuman TB dan/atau
mendeteksi respons tubuh terhadap masuknya kuman
tersebut. Untuk mendeteksi kuman dapat dilakukan
pendekatan secara molekular, khususnya mendeteksi DNA
melalui PCR, pendekatan serologis untuk mendeteksi antigenantibodi terhadap kuman, serta pendekatan komponen untuk
mendeteksi struktur kuman itu sendiri. Sementara itu deteksi
respons tubuh terhadap masuknya kuman, biasanya dilakukan
secara serologis untuk mendeteksi respons humoral dan
6
kadang-kadang pula mendeteksi respons selular yang terjadi.
Berkembangnya dot-enzyme-immunoassay (DOT-EIA)
merupakan uji serologis yang amat praktis pada akhir-akhir
ini. Sensitivitas uji DOT-EIA-TB tergolong tinggi, yaitu 88,9%
8
dengan spesifisitas 87,5%.
Pada penderita TB yang belum diterapi, kadar antibodi
terhadap Mycobacterium tuberculosis, umumnya sering tidak
terlalu tinggi bila dibandingkan dengan keadaan 12 bulan setelah
terapi atau bila dibandingkan dengan penderita TB yang kambuh.
Hal ini mungkin disebabkan, karena lapisan lipoid dinding sel
kuman merupakan selubung yang menutupi antigen spesifik
Mycobacterium tuberculosis, sehingga tidak dapat merangsang
pembentukan antibodi spesifik terhadap kuman tersebut. Setelah
terapi, dinding sel kuman pecah, sehingga antigen spesifik terbuka
dan merangsang timbulnya antibodi spesifik. Selain itu kadar
antibodi yang tidak tinggi ini, dapat disebabkan karena bahanbahan arabinomannan dan arabinogalactan pada dinding sel kuman,
Mycobacterium tuberculosis hidup akan menekan pembentukan
168

antibodi pada penderita yang belum diterapi.


Dalam keadaan antigen yang berlebihan, kadar antibodi
(IgG) spesifik terhadap Mycobacterium tuberculosis juga rendah,
karena produksi dihambat oleh bahan-bahan imunosupresi
yang terdapat dalam dinding sel kuman. Kadar ini menjadi
semakin rendah, bila sebagian antibodi tersebut diikat oleh
antigen kuman TB dalam bentuk kompleks imun, sehingga
tidak terdeteksi oleh uji-uji laboratorium yang amat sensitif
seperti DOT-EIA-TB. Dalam hal ini penentuan kompleks imun
7
spesifik TB memegang peranan penting.
Kasus berikut adalah kasus penderita sirosis hati dan
limfadenitis TB dengan pemeriksaan DOT-EIA-TB ekstra dan
intrapulmonal negatif.

Kasus
Seorang laki-laki, berusia 56 tahun, dengan pekerjaan buruh tani,
datang ke rumah sakit dengan keluhan utama terdapat benjolan
pada beberapa bagian tubuh. Dari anamnesis diketahui bahwa,
benjolan terdapat di pangkal paha, ketiak, dan leher kanan.
Benjolan tersebut sudah dialami sejak beberapa bulan yang lalu.
Penderita merasa lemah, nafsu makan berkurang, dan semakin
kurus. Kaki sakit bila digunakan untuk berjalan. Penderita belum
pernah berobat sebelumnya.
Dari pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran kompos mentis,
0
tampak lemah, kurus, demam dengan suhu aksilar 38 C, tekanan
darah normal 120/90 mmHg, dan denyut nadi normal 88 kali per
menit. Pemeriksaan toraks dan abdomen dalam batas normal. Status
lokalis leher kanan didapatkan pembesaran kelenjar. Pembesaran
kelenjar didapatkan juga pada regio aksila kanan dan kiri serta pada
regio inguinal kanan dan kiri.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia ringan
dengan Hb 10,1 g/dl, peningkatan laju endap darah yaitu 120
3
mm/jam, dan leukositosis sebesar 17.000/mm . Sedangkan
jumlah trombosit, hematokrit, dan retikulosit dalam batas normal
3
(trombosit 320.000/mm , PCV 20%, dan retikulosit 8%). MCV
sedikit turun yaitu 76 fl dan MCH normal 27,4 pg. Dari hitung
jenis didapatkan relatif netrofilia dimana eosinofil 3%, basofil dan
stab 0%, segmen 92%, limfosit 5%, dan monosit 0%. Dari hasil
evaluasi hapusan darah didapatkan eritrosit yang normokrom
anisositosis, kesan jumlah leukosit yang meningkat, dan kesan
jumlah trombosit normal. Dari hasil urinalysis tidak didapatkan
kelainan (albuminuria negatif, reduksi negatif, bilirubinuria dan
urobilin negatif, sedimen lekosit 02/lpb, dengan epitel gepeng
positif). Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan peningkatan
SGOT 3 kali upper limit (113 mU/ml dengan nilai normal <31
mU/ml) dan peningkatan SGPT 3 kali upper limit (96 mU/ml
dengan nilai normal <31 mU/ml), peningkatan alkali fosfatase
(438 mU/ml, nilai normal 98279 mU/ml), peningkatan gamma
GT (110 mU/ml, nilai normal 1150 mU/ml), penurunan total
protein yaitu 6,3 g/dl (nilai normal 6,68,3 g/dl), dengan kadar
albumin hanya 1,6 g/dl (nilai normal 3,55,5 g/dl), penurunan
kolesterol total yaitu 60 mg/dl (nilai normal <200 mg/dl).
Sedangkan kadar gula darah puasa dan 2 jam setelah makan
dalam batas normal (96 mg/dl dan 128 mg/dl), kadar kreatinin,
ureum, dan asam urat dalam batas normal (berturut-turut 0,9
mg/dl, 33 mg/dl, dan 5,8 mg/dl). Kadar bilirubin baik total
maupun bilirubin direk dan indirek dalam batas normal
(bilirubin direk 0,1 mg/dl dengan nilai normal <0,25 mg/dl dan
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

kadar bilirubin total 0,3 mg/dl dengan nilai normal, 1 mg/dl).


Hasil pemeriksaan serologis dengan DOT-EIA-TB ekstra dan
intrapulmonal negatif, tetapi dari pemeriksaan imun kompleks
didapatkan peningkatan yaitu 0,252 (cut off 0,092), dan setelah
dilakukan re-suspensi hasil DOT-EIA-TB menjadi positif.
Foto toraks tidak menunjukkan adanya kelainan jantung
maupun paru. Sedangkan hasil USG abdomen menunjukkan
gambaran asites minimal dan sirosis hati. Dari pemeriksaan
histopatologis dengan FNA (fine needle aspiratiron) pada kelenjar
inguinal, aksila, dan leher menunjukkan adanya gambaran
jaringan nekrosis kaseosa dengan sel-sel radang PMNMN serta
sel plasma. Juga didapatkan sel-sel epiteloid dan jaringan ikat
fibrosis, sehingga dapat disimpulkan suatu proses tuberkulosa.

Pembahasan
Penderita seorang laki-laki tua, tampak kurus, dengan keadaan
lemah, demam, pembesaran kelenjar leher, aksila, dan inguinal
menunjukkan gambaran penderita limfadenitis. Anemia
ringan normokrom anisositosis yang terjadi, disebabkan karena
adanya penyakit kronis. Sedangkan hasil kimia darah
menunjukkan, adanya gangguan fungsi hati yang kronis,
ditandai dengan peningkatan SGOT dan SGPT 3 kali upper
limit, dengan ratio de ritis (SGOT/SGPT) lebih dari 1. Adanya
hipoalbuminemia dengan penurunan kadar kolesterol total,
juga mendukung adanya kelainan hati kronis, di mana hasil
pembacaan USG abdomen menunjukkan gambaran hati.
Peningkatan kadar ALP dan GGT menunjukkan adanya kolestasis
intra hepatik yang disebabkan karena sirosis hati tersebut. Asites
minimal yang didapatkan pada penderita, berasal dari keadaan
hipoalbuminemia, tetapi keadaan ini dapat juga disebabkan
karena terjadinya hipertensi portal.
Hasil histopatologis berupa jaringan nekrosis kaseosa dengan
sel-sel radang PMNMN serta sel plasma, sel-sel epiteloid, dan
jaringan ikat fibrosis, merupakan gambaran histopatologis suatu
tuberkel yang mengalami pengejuan dari proses spesifik TB.
Meskipun hasil serologis DOT-EIA-TB negatif, tetapi hasil
pemeriksaan imun kompleks menunjukkan peningkatan dari cut
off dan setelah dilakukan re-suspensi hasil serologis DOT-EIATB positif. Hal ini dapat terjadi karena status imun penderita yang
buruk, mengingat keadaannya yang lemah, disertai penurunan
berat badan, anemia, dan adanya gangguan fungsi hati yang berat
dan kronis. Selain itu penderita belum pernah didiagnosis
limfadenitis TB dan belum pernah mendapatkan terapi TB
sebelumnya. Keadaan ini dapat dijelaskan dengan teori bahwa
pada penderita TB yang belum diterapi, kadar antibodi terhadap
Mycobacterium tuberculosis sering tidak terlalu tinggi karena
lapisan lipoid dinding sel kuman merupakan selubung yang
menutupi antigen spesifik Mycobacterium tuberculosis, sehingga
tidak dapat merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap
kuman tersebut. Selain itu kadar antibodi yang tidak tinggi ini
dapat disebabkan karena bahan-bahan arabinomannan dan
arabinogalactan pada dinding sel kuman Mycobacterium tuberculosis
hidup akan menekan pembentukan antibodi pada penderita yang
belum diterapi. Kemungkinan lain mengapa hasil tes serologis
menunjukkan hasil negatif palsu adalah terdapat antigen yang
berlebihan. Kadar antibodi menjadi semakin rendah karena
sebagian antibodi tersebut diikat oleh antigen kuman TB dalam
bentuk kompleks imun, sehingga tidak terdeteksi oleh uji-uji
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

laboratorium yang amat sensitif seperti DOT-EIA-TB. Dalam


hal ini penentuan kompleks imun spesifik TB memegang
7
peranan penting.
Pemeriksaan kompleks imun dilakukan dengan metode
Bhattacharya dengan presipitasi menggunakan PEG 6000. Setelah resuspensi kemudian dilakukan kembali pemeriksaan DOT-EIA-TB.
Sensitivitas pemeriksaan imun kompleks ini 2340% tetapi memiliki
spesifisitas cukup tinggi sebesar 78%, terutama karena setelah
resuspensi dilakukan pemeriksaan DOT-EIA-TB kembali dengan
8
hasil positif. Sedangkan spesifisitas uji DOT-EIA-TB mencapai 87,5%.
Diagnosis banding kasus ini adalah limfoma maligna dengan
TB sebagai infeksi sekunder. Hal ini didukung dengan data
adanya pembesaran kelenjar getah bening di berbagai tempat,
yang biasanya jarang ditemukan pada penderita TB kelenjar. Pada
limfoma maligna, besar kemungkinan terjadinya gangguan fungsi
hati dan adanya kolestasis intrahepatik yang disebabkan karena
adanya metastasis ke hati. Untuk membedakan limfadenitis TB
dan limfoma maligna kiranya perlu adanya biopsi jaringan
kelenjar getah bening, bukan hanya sekedar FNA saja.

Kesimpulan dan Saran


Penderita dengan status imunitas yang kurang baik
(immunocompromised) akibat fungsi hati yang menurun, dengan
hasil pemeriksaan DOT-EIA-TB negatif disertai hasil pemeriksaan
kompleks imun meningkat, dan ditunjang dengan pemeriksaan
histopatologis yang menunjukkan adanya limfadenitis TB dan
sirosis hati. Pemeriksaan kompleks imun yang meningkat,
menunjukkan bahwa dalam sirkulasi tubuh penderita terdapat
kadar antibodi terhadap Mycobacterium tuberculosis yang rendah,
karena sebagian antibodi spesifik telah terikat oleh antigen dalam
bentuk kompleks imun. Kasus ini dapat didiagnosis banding
dengan limfoma maligna disertai dengan metastasis ke hati. Saran,
agar dilakukan biopsi kelenjar getah bening.
Bila terdapat penderita dengan kecurigaan TB yang diduga
mengalami keadaan status imun yang buruk
(immunocompromised), yaitu penderita dengan keadaan umum
kurus, malnutrisi, serta didapatkan limfopenia, dan hasil uji
serologis negatif dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
kompleks imun dan pemeriksaan histopatologis.
Pada penderita TB dengan gangguan fungsi hati, sebaiknya
dipertimbangkan pemberian oral anti TB yang tidak hepatotoksik.

Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Djatisoesanto W. Penatalaksanaan tuberculosis urogenital. In: TB-UpdateII. Proceedings of Simposium Nasional TB-Update-II; Surabaya; 2003.p.73-8
Achmadi UF. Penanggulangan tuberkulosis di Indonesia. In: TB-Update 2002.
Proceedings of Simposium Nasional TB-Update; Surabaya; 2002.p.164-76
Humphries MJ, Lam WK, Teoh R. Non respiratory tuberculosis. In:
Davies PDO. Clinical Tuberculosis. 1st ed. London: Chapman & Hall
Medical; 1994.p.93-125
Moestidjab. Tuberkulosa ukuler. In: TB-Update-II. Proceedings of
Simposium Nasional TB-Update-II; Surabaya; 2003.p.65-72
Sloane MF. Mycobacterial lymphadenitis
lymphadenitis. In: Rom WN, Garay SM.
Tuberculosis. 2nd ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.489-95
Aditama TY, Priyanti. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya.
3rd ed. Jakarta: Laboratorium Mikobakteriologi RSUP Persahabatan/
WHO Collaborating Center for Tuberculosis; 2000.p.48
Hariohoedojo O. Peranan pemeriksaan kompleks imun pada penyakit
tuberkulosis paru [karya akhir]. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga; 1991
Handojo I. Nilai diagnostik DOT-EIA-TB pada penyakit tuberkulosis
paru. Surabaya: Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
UNAIR/RSUD Dr. Sutomo;1996

169

TINJAUAN PUSTAKA

Komplikasi Jantung pada Kehamilan dan


Preeklampsia Berat
Ismail Yusuf
PPDS IPD FKUI/RSCM
Jakarta

Pendahuluan

1. Hipertensi yang berhubungan dengan Kehamilan


Preeklampsia
Definisi
Preeklampsia adalah suatu keadaan yang terjadi pada
seorang wanita hamil, yang ditandai dengan adanya trias
seperti peningkatan tekanan darah, proteinuria, dan edema.
Eklampsia adalah gejala trias yang disertai kejang.2,5
Frekuensi di tiap negara berbeda karena dipengaruhi
beberapa faktor seperti jumlah kehamilan, keadaan sosial
dan ekonomi, usia >35 tahun, obesitas, dan lain-lain.1
Gejala Klinis
Gejala klinis preeklampsia-eklampsia dapat dilihat dari enam
bagian seperti pada sistem saraf, ginjal, hati, sistem vaskular
dan darah, dan unit fetoplacental. Keenam bagian ini harus
dievaluasi baik preeklampsia ringan sampai sedang.2,5
Preeklampsia ringan-sedang sampai berat2,5
Kedua keadaan yang pertama sulit untuk dibedakan, sebab
perkembangan mulai dari ringan ke sedang sampai berat
terjadi dengan cepat. Preeklampsia biasanya mulai terlihat
pada saat usia kehamilan memasuki trimester ke-3. 3
Diagnosis ditegakkan dengan adanya dua tanda dari trias
(hipertensi, proteinuria, dan edema). Perubahan fisiologi
patologi terjadi pada plasenta, ginjal, retina, paru-paru,
jantung, otak dan air serta elektrolit. Perubahan pada paru
dapat mengakibatkan edema paru, yang merupakan
penyebab utama kematian. Komplikasi ini biasanya dapat
terjadi akibat adanya kegagalan pada jantung kiri.
Penatalaksanaan preeklampsia
Penanganan yang paling tepat adalah mengakhiri
170

kehamilan pasien. Dalam hal ini, kita berhadapan dengan ibu


dan janin. Untuk itu, perlu evaluasi yang lebih hati-hati dalam
mengambil keputusan. Mengakhiri kehamilan dapat
dilakukan dengan cara induksi maupun operasi. Secara
umum indikasi untuk mengakhiri kehamilan adalah adanya
preeklampsia ringan, cukup bulan, preeklampsia berat (PEB),
dan eklampsia.5

Perubahan Fisiologi Sirkulasi Darah pada Kehamilan


Pada saat kehamilan sirkulasi darah mengalami perubahan
yang dipengaruhi oleh sirkulasi ke plasenta, uterus, dan
payudara, serta alat-alat lain yang ikut mengalami perubahan.
Secara fisiologis, adanya peningkatan volume darah sebesar
25%, akan diikuti dengan meningkatnya curah jantung sebesar
30%. Eritropoiesis juga akan meningkat, tetapi karena terjadi
peningkatan volume darah, maka konsentrasi darah menjadi
lebih rendah. Jumlah leukosit juga dapat meningkat sampai
dengan 10.000/ul, begitu pula dengan trombosit. Segera setelah
postpartum, sirkulasi darah ke uterus dan plasenta terhenti,
akibatnya sirkulasi darah akan membebani jantung.

Tabel 1. Gejala dan tanda preeklampsia ringan/sedang sampai berat.2


ORGAN
Sistem saraf
pusat

Ginjal
Hati
Darah
Vascular
Unit
fetoplacental

GEJALA dan TANDA

RINGAN-SEDANG
Hiperrefleksi dan sakit
kepala

BERAT
Pandangan kabur,
skotoma, sakit kepala,
klonus, iritabel dan
kejang (eklampsia)

Proteinuria
Produksi urin
SGOT, SGPT, LDH

0,35 gr/hari
>20 ml/menit
Normal

Trombosit
Hemoglobin
Tekanan darah
Retina
Gangguan pertumbuhan

>100.000/ul

>5 gr/gari atau 4+


<20 ml/menit
Meningkat disertai
nyeri epigastrium
sampai ruptur limpa
<100.000/ul

<160/110 mmHg
Spasme arteriol
Tidak ada

>160/110 mmHg
Perdarahan retina
Ada

Oligohidramnion
Fetal distress

Tidak ada
Bisa ada/tidak

Ada
Ada

2. Komplikasi Jantung pada Kehamilan


Kardiomiopati
Gagal jantung dapat terjadi pada saat kehamilan pada
pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat penyakit
jantung maupun yang tidak.2
Sekitar 1 dari 4.000-15.000 pasien hamil mengalami dilatasi
kardiomiopati pada akhir masa kehamilan sampai dengan
6 bulan setelah melahirkan. Penyebabnya belum diketahui,
namun biasanya keadaan akan kembali normal setelah
beberapa bulan. Bila keadaan tersebut terus menetap, maka
dapat menyebabkan gagal jantung. Keadaan ini dapat
berulang pada kehamilan berikutnya. Perubahan EKG,
seperti perubahan ST-T, gelombang T, gangguan konduksi,
sinus takikardia, dan ventrikular ektopik, juga terjadi
diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda gagal
jantung, EKG, foto toraks, dan ekokardiografi. Prognosis
menjadi buruk bila 6 bulan tidak kembali normal. Terapi
menjadi tidak spesifik dan gagal jantung harus ditangani.
Telah dilaporkan bahwa penggunaan L-tiroksin dapat
memperbaiki kontraktilitas otot jantung melalui
peningkatan pembentukan protein otot jantung.2-12

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

Ilustrasi Kasus
Seorang wanita G5P4A0H aterm berusia 35 tahun masuk rumah
sakit pemerintah (RSP) bagian kebidanan pukul 10.00 pagi dengan
keluhan utama berupa mulas 6 jam sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Pasien hamil cukup bulan. Kontrol kehamilan selama
hamil dilakukan di bidan dan pasien tidak ingat hari pertama
haid terakhirnya (HPHT). Sampai dengan kontrol terakhir, dua
bulan sebelumnya di bidan, pasien tidak mengalami hipertensi.
Pasien mengalami pembengkakan pada kaki sejak hamil tujuh
bulan dan sesak napas yang semakin terasa sejak satu bulan
terakhir. Ketika tidur terlentang, pasien juga merasa sesak,
sehingga sulit untuk tidur. Sesak pada pasien tidak berbunyi.
Demam pada waktu itu tidak ada. Penyakit jantung, diabetes
mellitus (DM), hipertensi (HT), dan asma sebelumnya tidak ada.
Sejak 6 jam SMRS, pasien sudah merasa mulas dan 2 jam
kemudian keluar air ketuban yang tidak berbau dan berwarna
putih. Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah (TD) 160/120
mmHg, frekuensi nadi 112x/menit, frekuensi napas 26x/menit,
suhu 36,8oC, dan keadaan gizi sedang. Tidak terdapat data jug
venous pressure (JVP) pada saat itu. Pemeriksaan pada mata:
konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik. Jantung: bunyi jantung
(BJ) I-II murni, murmur (-), gallop (+). Paru: vesikuler, ronki basah
halus di paru kanan bawah, wheezing -/-. Ekstremitas: edema +/
+. Pada pemeriksaan status obstetrik vulva/uretra (V/U) tenang.
I: porsio livide, ostium tertutup, tampak air ketuban mengalir, fluor
albus (+). Vaginal touche (VT): porsio kenyal, arah belakang,
panjang 1 cm, 3 cm, selaput ketuban (+), kepala Hodge-I. Pada
saat itu ditegakkan diagnosis kerja: G5P4H aterm persalinan kala
I (PK I) laten, suspek congestive heart failure (CHF), dan PEB.
Pada pukul 12.45 lahir spontan bayi laki-laki, BB 2.000 g, dan
apgar skor (AS) 7/9. Pukul 13.00 dilahirkan secara spontan
plasenta lengkap dengan 500 g. Pukul 16.30 pasien mengalami
mual dan muntah, namun tidak sering. TD 100/60 mmHg,
frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi napas 26x/menit, suhu
afebris. Pemeriksaan jantung didapatkan BJ I-II murni, murmur
(-), gallop (+). Pemeriksaan paru didapatkan suara napas vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/-, dan akral dingin. Pemeriksaan status
obstetrik dalam batas normal dan perdarahan (-). Pukul 19.00
pasien dikonsulkan ke bagian kardiologi, dan hasil pemeriksaan
kardiologi ditegakkan masalah syok kardiogenik, dekompensasi
kordis ec. PPHD (post partum heart disease) dengan riwayat PEB,
gangguan fungsi hati, dan ARF (acute renal failure) ec. prerenal.
Syok kardiogenik ditegakkan atas dasar TD menjadi 100/60
mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, dan akral yang dingin.
Dekompensasi kordis ec. PPHD ditegakkan atas dasar pasien
postpartum, sesak napas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
frekuensi napas meningkat, tekanan darah menurun (100/60
mmHg), bunyi jantung ditemukan suara gallop, dan adanya
edema tungkai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan enzim hati. Gangguan fungsi hati ditegakkan atas
dasar peningkatan enzim hati. ARF ec. prerenal ditegakkan atas
dasar peningkatan ureum dan adanya dekompensasi kordis.
Penatalaksanaannya adalah pasien dalam posisi duduk,
restriksi cairan 600 cc/24 jam, O2 4 liter/menit, drip dobutamin
mulai 4 tetes/menit maksimum 20 tetes/menit, jika tekanan darah
sistolik 100 mmHg lasix 2 ampul. ISDN dan captopril ditunda
selama TD masih <100 mmHg. Pukul 22.10, TD 120/80 mmHg,
frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi napas 28x/menit, dan suhu
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

39oC. Pukul 22.20 sesak berkurang, status generalis keadaan


umum: tampak sakit sedang (KU:TSS), kompos mentis, TD 120/
80 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi napas 24x/menit,
suhu 39oC. Mata: konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik. Jantung:
BJ I-II murni, murmur (-), gallop (-). Paru: vesikuler, ronki-/-,
wheezing -/-, abdomen lemas, nyeri tekan (-). Ekstremitas: akral
hangat, edema +/+. Status obstetrikus: kontraksi fundus baik dan
perdarahan (-). Kemudian pasien dipindahkan ke Intensive
Coronary Care Unit (ICCU) pada pukul 00.00 dan ditegakkan
masalah. Pasca syok kardiogenik, decompensation cordis ecraus.
PPHD dengan riwayat PEB, gangguan fungsi hati, ARF.
Kemudian pasien di tatalaksana: tirah baring dengan posisi
duduk, UMU balance cairan -500 cc/24 jam, diet jantung II, ISDN
3x5 mg, furosemid 1x2 ampul, kalium sust. released (KSR) 1x1,
captopril 2x12,5 mg, lesichol 3x1, laxadine 1xCI malam, O2 2-3 liter/
menit, darah perifer lengkap (DPL) ulang, hitung jenis, liver
function test (LFT), ureum-kreatinin ulang, elektrolit, rontgen
toraks, dan ekokardiografi.
Hari pertama perawatan, keluhan sesak pasien berkurang,
berdebar-debar, berkeringat, sulit tidur, dan tidak nafsu makan. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kompos mentis, TD 120/85 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit,
frekuensi napas 20x/menit, suhu afebris, JVP 5-2 cmH2O, konjungtiva
tidak pucat, sklera tidak ikterik, jantung: BJ I-II murni, murmur (-),
gallop (-), paru: vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-, perut: bising usus
(+) normal, ekstremitas: hangat, edema (+). EKG: VES (venticular
extrasystolic) jarang, gelombang T (T) inverted I & AVL, V3-6 dan heart
rate 100x/menit. Masalah saat itu adalah pasca syok kardiogenik,
gangguan fungsi hati, ARF, nifas hari pertama (NH-1). Terapi sama
dengan sebelumnya namun ditambahkan dengan propanolol 3x5 mg.
Pada perawatan hari kedua pasien dipindahkan ke bagian kebidanan.
Terapi masih sama dengan terapi di ICCU. Keluhan saat itu adalah
batuk, tenggorokan gatal, tidak ada demam, dan masih terasa sesak.
Pasien diberikan CTM 3x1 untuk batuk dan tenggorokannya.
Hari keempat di bagian kebidanan, kondisi pasien sudah
membaik. Hari kelima di bagian kebidanan, pasien mengalami sesak
dan batuk berdahak yang bercampur dengan sedikit darah segar
tanpa adanya demam. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum pasien baik, kompos mentis, TD 120/70 mmHg, frekuensi
nadi 80x/menit, frekuensi napas 20x/menit, suhu afebris. Dari
pemeriksaan paru didapatkan suara napas vesikuler, ronki basah
kasar di kedua lapangan paru, wheezing +/+, dan keadaan lainnya
dalam batas normal. Masalah pneumonia kemudian ditegakkan
diferensial diagnosis (dd)/TB paru, NH-7. Pasien diberikan inhalasi
ventolin:bisolvon:NaCl 0,9% 1:1:1/6 jam dan dikonsulkan ke bagian
penyakit dalam. Hari kesembilan, pasien di pindah rawat ke bagian
penyakit dalam. Ditegakkan masalah CHF fc. IV ec. kardiomiopati
peripartum dan pneumonia dd/TB paru, dan NH-8. Pneumonia
ditegakkan atas dasar adanya batuk berdarah yang disertai sesak.
Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan adanya suara tambahan ronki
basah kasar di kedua lapangan paru. Hasil laboratorium untuk
leukosit adalah leukosit 11.600/ul. Penatalaksanaan pasien ini adalah
bed rest total, O2 2 l/menit, captopril 2x6,25 mg, furosemid 1x2 ampul,
ISDN 3x5 mg, laxadine 3xCI, ascardia 3x80 mg, pantoprazol 1x40 mg,
KSR 1x1, ceftriaxone 1x2 g, dan inhalasi ventolin:bisolvon:NaCl 0,9%
1:1:1/8 jam.
Hari kesebelas di bagian penyakit dalam, sesak berkurang,
KU:TSS, tekanan darah (TD) 120/70 mmHg, frekuensi nadi 92x/
171

menit, frekuensi napas 24x/menit, suhu afebris, konjungtiva tidak


pucat, sklera tidak ikterik, bunyi jantung I-II murni, murmur (-), gallop
(+). Paru: vesikuler, ronki +/+, wheezing -/-. Abdomen: lemas, nyeri
tekan (-), bising usus (+) normal. Ekstremitas: akral hangat, edema /-. Hari keduabelas, keluhan tidak ada pada pemeriksaan fisik
KU:TSS, kompos mentis, TD 110/80 mmHg, frekuensi nadi 92x/
menit, frekuensi napas 18x/menit, suhu afebris. Mata: konjungtiva
tidak pucat, sklera tidak ikterik. Jantung: BJ I-II murni, murmur (-),
gallop (-). Paru: vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-. Abdomen: lemas,
nyeri tekan (-), bising usus (+) normal. Ekstremitas: akral hangat dan
edema -/-. Masalah pada saat itu adalah CHF fc. I ec. Kardiomiopati
peripartum, pneumonia dd/TB paru, NH-11. Pasien direncanakan
ekokardiografi dan hasilnya adalah EF 59% dan susp.sign of CAD ec.
kardiomiopati. Terapi pada pasien ini diteruskan. Pasien direncanakan
pulang keesokan harinya dengan diberikan levofloxacin 1x500 mg
secara oral.
Berikut ini adalah hasil rangkuman laboratorium.
DPL

Lab/tgl
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
Hitung jenis
LED

9/5
12,7
39
10.900
199.000

10/5
13,2
42,1
19.000
115.000
-/-/-/80/20/9

13/5
11,6
33,4
10.700
166.000

16/5
11,9
34,4
13.900
266.000

9/5
182
104

10/5
373
179
5,4
2,8
2,6
1,56
0,74
0,82
102
2,0

16/5
62
131
3,8
2,5
1,3

19/5
36
45
6
2,9
3,1
0,52
0,18
0,34
42
0,7
83

Kimia Darah
Lab/tgl
SGOT
SGPT
Protein total
Albumin
Globulin
Bil.tot
Bil.direk
Bil.indirek
Ureum
Kreatinin
GDS
Nuchter
PP 2 jam
Retikulosit

59
1,3
76

34
0,8
149

98
106
1,2%

Urinalisa
Lab/tgl
Warna
Kejernihan
BJ
PH
Protein
Reduksi
Benda Keton
Bilirubin
Urobilinogen
Urobilin
Nitrit
Darah samar
Sedimen
* Lekosit
* Eritrosit
* Epitel
* Bakteri
* Silinder
* Hyaline
* Granuler
* Kristal
AGD
* pH
* pCO2
* pO2

9/5
Kuning
Keruh
1030
6,0
++
0,2
+
+

10/5
Kuning
Jernih
1010
5,0
+
0,2
-

2-3
0-2
+
0-1
-

2-4
2-5
+
-

* BE
* Std HCO3
* Sat.O2

172

140,9
3,9
104,2

18/5

0,2
1-2
-

* HCO 3
* Tot.CO 2

Na+
K+
Cl-

16/5

7,370

7,48

34,1

28,2

87

67,8

19,9

21,3

21,0
-4,2

22,2
-0.5

20,8

23,9

96,2

95,1
143,1
3,6
102

19/5
11/08/07
34,6
16.500
144.000
-/-/1/76/23/60

Pembahasan
Pada saat masuk rumah sakit masalah yang ditegakkan di
bagian kebidanan adalah G5P4A0 hamil aterm dengan CHF
dan PEB. Masalah utama adalah PEB yang merupakan
komplikasi dalam kehamilan. Masalah tersebut ditandai
dengan adanya peningkatan tekanan darah proteinuria, dan
edema tungkai. Walaupun proteinuria 2+ (berdasarkan trias
4+) namun dua dari trias tersebut sudah terpenuhi. Hal
tersebut yang sebelumnya diperkuat dengan keadaan pasien
tidak mempunyai riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit
jantung. Faktor pendukung lainnya penegakkan masalah
tersebut adalah multipara, usia 35 tahun dan keadaan sosial
ekonomi yang rendah. Pada pasien ini ditegakkan pula
masalah CHF. Masalah ini ditegakkan atas dasar klinis adanya
dipsneu d`effort waktu hamil, ortopnea, dan edema tungkai.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan gallop, ronki basah halus
di kedua lapangan paru, dan edema tungkai. Pada
pemeriksaan penunjang rontgen toraks ditemukan gambaran
edema paru dan CTR (cardio thoracic ration) >50%. EKG: VES
jarang, T inverted di lead I, AVL, V3-V6. Gejala CHF pada pasien
ini bisa saja merupakan bagian dari proses fisiologis kehamilan
seperti dipsneu deffort dan sesak napas pada saat tidur terlentang
dapat terjadi karena kapasitas paru yang berkurang karena
dorongan dari uterus yang membesar dan gallop dapat didengar
pada orang hamil. Namun adanya edema paru dan gambaran
kardiomegali memperjelas masalah komplikasi CHF sudah
terjadi. Masalah pneumonia sebaiknya juga perlu dipikirkan saat
itu berdasarkan gejala klinis dan radiologis yang ada dan
kerentanan pasien terhadap infeksi. Walaupun pemeriksaan
laboratorium leukosit menunjukkan peningkatan sedikit, namun
dapat juga merupakan bagian dari fisiologis kehamilan. Untuk
itu pemeriksaan sputum pada pasien perlu direncanakan.
Empat jam setelah kelahiran spontan, tekanan darah pasien
menurun dan tidak adanya perdarahan patologis. Pasien
kemudian dikonsulkan ke bagian kardiologi. Hasil
pemeriksaan kardiologi ditegakkan masalah syok kardiogenik,
dekompensasi kordis susp. PPHD, post partum dengan riwayat
PEB, gangguan fungsi hati, dan ARF ec. prerenal. Masalah syok
kardiogenik ditegakkan berdasarkan tekanan darah 100/60
mmHg dan akral dingin. Tetapi masalah ini dapat juga saja
terjadi karena pasien sudah mempunyai komplikasi jantung
yang berupa kardiomiopati, dekompensasi kordis dan adanya
hipertensi. Pada keadaan fisiologis, perubahan sirkulasi yang
membebani jantung dapat terjadi, sehingga kemungkinan pada
pasien dengan adanya tanda-tanda komplikasi ke jantung juga
dapat terjadi. Syok hipovolemik dalam kasus ini dapat
disingkirkan karena tidak ditemukan perdarahan yang banyak
postpartum. Penatalaksanaan pasien ini dengan drip
dobutamin sudah tepat dan secara klinis adanya perbaikan
hemodinamik. PPHD pada pasien ini adalah berupa
kardiomiopati (juga didukung hasil ekokardiografi).
Kardiomiopati dapat terjadi pada saat akhir kehamilan dan
biasanya akan kembali normal pada bulan keenam setelah
melahirkan. Masalah gangguan fungsi hati dan ARF, dapat
disatukan dengan PEB, karena PEB dapat meningkatkan
kenaikan enzim hati dan gangguan fungsi ginjal. Keadaan ini
bersifat reversibel karena biasanya setelah melahirkan PEB
akan hilang dan kenaikan enzim hati dan gangguan fungsi
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

ginjal akan kembali normal. Penatalaksanaan masalah


kardiomiopati tidak spesifik dan diobati bila ada komplikasi
dekompensasi balance kordis seperti cairan 500 cc/24 jam, O2
2-3 ltr/mnt, diet jantung II, ISDN 3x5mg, furosemid 1x2 amp.,
KSR 1x1, dan captopril 2x12,5 mg.
Pada hari kedua pasien sudah banyak kemajuan keluhan
sesak berkurang dan demam sudah tidak ada. Kemudian
pasien dialihkan perawatannya ke bagian kebidanan. Pada hari
kelima di kebidanan, pasien kembali mengalami sesak dan
batuk bercampur darah. Hari ke-9, pasien kembali dirawat di
bagian penyakit dalam dengan masalah CHF Fc. IV ec.
Kardiomiopati, pneumonia dd/TB paru, dan NH ke-8.
Pneumonia ditegakkan atas dasar adanya sesak, walaupun
sesak dapat timbul karena kondisi jantung yang belum stabil,
selain itu pada bunyi jantung ditemukan adanya gallop dan
batuk berdahak bercampur darah. Pasien kemudian ditangani
sesuai penatalaksanaan CHF namun ditambah pemberian
ceftriaxone 1x2 g dan inhalasi ventolin dan bisolvon.
Hari kesepuluh, pasien dipulangkan karena sudah tidak
ada keluhan dengan diberikan levofloksasin 1x500 mg.
Pemeriksaan sputum belum dilakukan oleh karena itu
penatalaksanaan pasien belum selesai. Pemeriksaan sputum
perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi infeksi
nosokomial pada pasien. Selain itu, untuk mengetahui apakah
pemberian antibiotik efektif untuk pneumonia.
Kontrol pertama kondisi pasien baik, tidak ada sesak,
bengkak di kaki sudah jauh berkurang. Hasil rontgen paru
ulang didapatkan perbaikan (gambar 1, 2 dan 3).
Hasil pemeriksaan rontgen toraks saat masuk rumah sakit
adalah sebagai berikut: CTR >90%, elongasi aorta, terlihat
perselubungan pada kedua lapangan paru, sudut costophrenicus
normal, jaringan tulang, dan lunak normal. Kesan: pneumonia
dupleks, kardiomegali, dan elongasi aorta.

Gambar 2. Hasil rontgen pasien saat kontrol

Gambar 3. Hasil rontgen pasien saat pulang

Daftar Pustaka
Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan: Perubahan anatomi dan fisiologi
pada wanita hamil. Edisi ketiga. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1994.p.89
2. Crombleholme WR. Preeclampsia-eclampsia. In: Tierney LM, McPhee
SJ, Papadakis MA, eds. Current Medical Diagnosis & Treatment. USA:
McGraw-Hill Companies, 2002.p.788-90
3. Jota S. Kardiomiopati
Kardiomiopati. In: Soeparman, Waspadji S, editors. Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1996.p.1072-3
4. Felker GM, Thompson RE, Hake JM, et al. Underlying causes and longterm survival in patiens with initially unexplained cardiomyopathy.
Baltimore: John Hopkins School of Medicine, 2000.p.1077-84
5. Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan: Preeklampsia dan eklampsia. Edisi
ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
1994.p.281-300
6. Massie BM, Amidon TM. The cardiomyopathies. In: Tierney LM,
McPhee SJ, Papadakis MA, eds. Current Medical Diagnosis & Treatment
2002. USA: McGraw-Hill companies, 2002.p.441-3
7. Cardiovascular health and disease in women. Available from: http://
www.nejm.org. Diakses tanggal 3 Juni 2005
8. Wynne J, Braunwald E. The cardiomyopathies and myocarditides. In:
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL et al, eds. Harrisons Principles of
Internal Medicine. USA: McGraw-Hill companies, 2001.p.1359-61
9. Elkayam U, Tummala PP, Rau K, et al. Maternal and fetal outcomes of
subsequent pregnancies in women with peripartum cardiomyopathy.
Los Angeles: University of Southern California School of Medicine,
2001.p.1567-71
10. Peripartum cardiomyopathy. Available from: http://www.nejm.org.
Diakses tanggal 3 Juni 2005
11. Progress in defining the causes of idiopathic dilated cardiomyopathy. Available from: http://www.nejm.org. Diakses tanggal 3 Juni 2005
12. Underlying causes and survival in patients with heart failure. Available from: http://www.nejm.org. Accesed tanggal June 2005
1.

Kesimpulan eko-kardiografi (23/6/05):


- EF 59%
- susp. sign of CAD ec. kardiomiopati

Gambar 1. Hasil rontgen pasien saat masuk

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

173

TINJAUAN PUSTAKA

Sindroma Churg-Strauss
Ismail Yusuf
PPDS IPD FKUI/RSCM
Jakarta

Pendahuluan

bunyi bruit biasanya kelainan pada pembuluh darah besar.

1-5

Vaskulitis
Vaskulitis adalah sekelompok penyakit dengan sekumpulan
klinis dan patologis yang ditandai dengan adanya inflamasi
pada dinding pembuluh darah arteri atau vena dengan
berbagai ukuran. Penyakit ini belum banyak dilaporkan, tetapi
dengan kemajuan pemeriksaan histopatologi dan imunologi,
penyakit ini mulai dijumpai.
Vaskulitis dapat diklasifikasikan menurut penyebabnya
yaitu primer dan sekunder (tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi sindrom vaskulitis
Primer














Wagener's Granulomatosis
Sindroma Churg-Strauss
Poliarteritis Nodosa
Poliangitis Mikroskopik
Giant Cell Artritis
Arteritis Takayasu
Purpura Henoc shnlein
Cutaneus Vaskulitis Idiopatik
Cryoglobulinemia
Sindrom Behet
Vaskulitis Sistem Saraf Pusat
Sindrom Cogan's
Penyakit Kawasaki

Sekunder






Vaskulitis Imbas Obat


Serum Sickness
Infeksi
Keganasan
Penyakit Rematik

Gambar 1. Preferred sites of vascular involvement by selected.


Sumber: NEJM 1997

Sumber: buku imunologi dasar

Gell dan Commbs membagi vaskulitis menjadi 4 tipe.5 Tipe


I yang berhubungan dengan atopi. Contohnya vaskulitis
urtikaria dan Sindrom Churg-Strauss. Tipe II yang
berhubungan dengan autoantibodi. Tipe III yang berhubungan
dengan imun kompleks. Tipe IV yang berhubungan dengan
hipersensitivitas selular.2, 4-6
Penyebab vaskulitis biasanya tidak diketahui, dengan gejala
tidak spesifik seperti demam, penurunan berat badan, atralgia,
dan mialgia, serta keadaan iskemia pada usia muda dan
kelainan berbagai organ.
Berbagai ahli berusaha membuat kriteria diagnostik agar
penyakit ini dapat didiagnosis dan diobati lebih dini.
Insiden vaskulitis di Inggris adalah 25 kasus per 1 juta populasi.
Di Amerika Serikat terdapat 1 kasus dari 300 pasien yang
masuk ke rumah sakit pendidikan. Di Indonesia belum ada
data insiden penyakit ini.5

Pendekatan berdasarkan pembuluh darah yang terkena


ditambah gejala klinis dan laboratorium dapat membantu
dalam menegakkan diagnosis. Misalnya purpura palpebra,
ulserasi superfisial, dan hematuri biasanya kelainan pada
pembuluh darah kecil. Nodul kutaneus, lesi papulonekrotik,
dan infark pada jari biasanya kelainan pada pembuluh darah
sedang. Pulsasi pembuluh darah yang lemah dan terdengan

Sindrom Churg-Strauss2-5,7
Sindroma Churg-Strauss (SCS) adalah penyakit inflamasi pada
pembuluh darah kecil sampai sedang. Nama lainnya adalah
granulomatosis alergi dan angiitis. SCS juga merupakan bagian
dari sekelompok penyakit vaskulitis.1
SCS merupakan penyakit yang jarang. Dari suatu studi
didapatkan 30 kasus dalam 25 tahun. Rasio pria dibanding

Sumber: Harrisons Principles of Internal Medicine


Sedangkan menurut Zeek dkk vaskulitis dibagi berdasarkan
pembuluh darah yang terkena (tabel 2 dan gambar 1)
Tabel 2. Klasifikasi menurut Zeek dkk
Jenis Pembuluh Darah
Pembuluh darah besar
Pembuluh darah sedang
Pembuluh darah kecil

174

Penyakit











Temporalis arteritis
Arteritis Takayasu
Poliarteritis Nodosa
Penyakit Kawasaki
Wagener's granulomatosis
Sindrom Churg-Strauss
Poliangiitis mikroskopik
Purpura Henoch Schnlein
Vaskulitis cryoglobulinemia esensial
Cutaneus leukocytoclasic angiitis

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

wanita adalah 2:1. Timbulnya penyakit ini antara 15-25 tahun.


7
68,8% penderita mempunyai riwayat alergi pada keluarga.
Sebelum tahun 1950, para peneliti mendiagnosa poliarteritis
nodosa pada pasien dengan gejala demam, anoreksia, lemah
otot, parestesis, mialgia, nyeri perut, oliguri, dan inflamasi
pada arteri kecil dan sedang. Kemudian Zeek dkk menemukan
adanya arteritis yang mengenai arteri yang lebih kecil seperti
arteriol mukosa, kapiler glomerular, dan kapiler alveolar paruparu. Zeek dkk menyebutnya dengan vaskulitis pembuluh
darah kecil. Pada tahun 1950-an, ditemukan dua varian
vaskulitis yang dihubungkan dengan inflamasi granulomatosis
nekrosis yaitu Wageners granulomatosis dan Sindroma Churg8
Strauss.
Churg dan Strauss pada tahun 1951 mendapatkan 13 pasien
mempunyai gejala asma, eosinofilia, inflamasi granulomatous,
necrotizing systemic vasculitis, dan necrotizing glomerulonephritis.
Kemudian penyakit ini dinamakan Churg-Strauss Syndrome.
Menurut mereka timbulnya penyakit ini melalui mekanisme
5,8
alergi.
SCS sering terlihat pada penderita asma. Kulit dan paruparu adalah organ yang sering terlibat, selain organ lain seperti
7
jantung, saluran cerna, hati, dan saraf tepi.

Patogenesa
4,5,9

1. Sindrom Vaskulitis
Terdapat 3 mekanisme terjadinya vaskulitis, yaitu:
A. Imun kompleks
B. Antineutrophilik cytoplasmic antibody (ANCA)
C. Respon limfosit T
1.A. Imun Kompleks
Beberapa jenis vaskulitis adalah berdasarkan mekanisme
imun kompleks. Walaupun diduga mekanisme vaskulitis
berdasarkan kompleks imun, tetapi penyebab imun
kompleks masih belum jelas ditemukan. Adanya kompleks
imun ini adalah berdasarkan bukti:
a. Terdapat lesi vaskuler seperti pada kondisi yang
disebabkan kompleks imun.
b. Pada pasien penderita vaskulitis, terdapat antigen atau
virus bersamaan dengan kompleks imun dan
komplemen pada sirkulasi.
c. Terdapat kompleks antiHBs dan HBsAg pada penderita,
begitu pula pada HCV.
Faktor lain yang diduga berperan pada terjadinya vaskulitis
adalah:
a. Menurunnya kemampuan sistem retikuloendotelial
untuk membersihkan kompleks imun.
b. Kelainan reseptor komplemen seperti CR1, CR3, dan CR4.
c. Faktor genetik yang berperan seperti HLA-DR2 pada
Wageners granulomatosis.
Contoh penyakit melalui mekanisme imun kompleks
adalah Purpura Henoch Schnlein, penyakit vaskular
kolagen, serum sickness, penyakit vaskulitis kutaneus,
poliarteritis nodosa, dan cryoglobulinemia.
1.B. Antineutrophilik cytoplasmic antibody (ANCA)
ANCA pertama sekali diperkenalkan oleh Davies pada
tahun 1982. Beliau mendeteksi ANCA pada 8 pasien
penderita necrotizing glomerulonephritis.
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

ANCA adalah antibodi protein pada plasma neutrofil dan


lisosom monosit. Kadar ANCA meningkat pada penderita
penyakit Wageners granulomatosis, poliarteritis
mikroskopik, necrotizing glomerulonephritis, dan Sindrom
Churg-Strauss. Ada dua jenis ANCA berdasarkan target
antibodi yaitu cytoplasmic ANCA (c-ANCA) dan perinuclear
ANCA (p-ANCA). Kemudian dengan pemeriksaan
immunochemical assay spesifik, dapat ditemukan 2 antigen
yaitu antimyeloperoksidase (MPO-ANCA) dan antiproteinase
3 (PR3-ANCA). Pada pasien vaskulitis, hampir 90% antigen
c-ANCA adalah PR3-ANCA dan hampir 90% antigen pANCA adalah MPO-ANCA.
1.C. Respon Limfosit T
Mekanisme ini berdasarkan hipersensitivitas tipe lambat
yang menyebabkan respon granulomatosis. Endotel
pembuluh mensekresi IL-1 yang mengaktivasi limfosit T
dan menyebabkan serangkaian proses imunologis.
Mekanisme lain adalah limfosit sitotoksik menyerang
dinding pembuluh darah.
2-5,7,10

2. Patogenesa SCS
Sindrom Churg-Strauss (SCS) atau angiitis alergi mengenai
otot pembuluh darah kecil sampai sedang yaitu dari arteri,
kapiler sampai venula dengan gambaran nekrosis
vaskulitis. Gambaran histopatologi angiitis adalah reaksi
granulomatous pada jaringan atau pada dinding pembuluh
darah di jaringan tersebut. Pada jaringan tersebut terdapat
infiltrasi eosinofil. Proses ini terjadi pada berbagai organ
seperti paru-paru, dimana terdapat infiltrat dan
perdarahan alveolar (gambar 2), kulit, sistem
kardiovaskular, ginjal, sistem saraf tepi, dan saluran cerna.
Walaupun patogenesis penyakit ini belum diketahui secara
pasti, namun terdapat hubungan yang erat dengan
penderita asma dan eosinofilia. Peningkatan eosinofil dan
2,4
IgE menunjukkan proses ini merupakan alergi tipe I.
Tetapi dengan ditemukannya ANCA, maka penyakit ini
juga merupakan penyakit autoimun, dimana ditemukan
autoantibodi terhadap neutrofil dan monosit, sehingga sel
tersebut mengeluarkan sitokin proinflamasi dan oksigen
reaktif yang menyebabkan kerusakan jaringan.

Transient pulmonary infiltrates in a


patient with ChurgStrauss Syndrome
(CSS)

175

2-6

Gambar 2. Pulmonary hemorrhagic alveolar capillaritis in a patient


with ANCA-associated small-vessel vasculitis in whom severe
9
hemoptysis developed.
11,12

3. Peranan ANCA
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ANCA pertama
diperkenalkan pada tahun 1982. ANCA adalah antibodi spesifik
terhadap granula yang ada di dalam sitoplama neutrofil dan
monosit. Antibodi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan
mikroskop imunofluoresensi. Ada dua jenis ANCA yaitu
cytoplasmic-ANCA (c-ANCA) dan perinuclear-ANCA (p-ANCA).
Dengan pemeriksaan yang lebih spesifik lagi c-ANCA ditujukan
terhadap proteinase 3 (PR3-ANCA) sedangkan p-ANCA
ditujukan terhadap mieloperoksidase (MPO-ANCA). ANCA
berhubungan dengan vaskulitis pembuluh darah kecil, sehingga
dengan mengetahui pembuluh darah yang terkena ditambah
pemeriksaan ANCA dapat membantu menegakkan diagnosa
(gambar 3). Hubungan dengan vaskulitis pembuluh darah kecil
adalah c-ANCA banyak terdapat pada penyakit Wageners
granulomatosis. Sedangkan p-ANCA banyak terdapat pada
penyakit Sindrom Churg-Strauss dan poliangiitis mikroskopik.
Bagaimana ANCA dapat mencapai sitoplasma neutrofil atau
monosit masih belum jelas, tetapi diduga akibat TNF atau
IL- 1.
Small-vessel vasculitis
ANCA-associated
small-vessel vasculitis
Wegener's granulomatosis
Microscopic polyangitis
Churg-Strauss Syndrome

Granuloma present?

Yes

No

Asthma and
eosiophilia present?

Microscopic
polyangiitis

Yes

No

Churg-Strauss
Syndrome

Wegener's
granulomatosis

Non-ANCA-associated
small-vessel vasculitis
Henoch-Schnlein
serum cryoglobulin?

No

Henoch-Schnlein
purpura

Serum cryoglobulin?

Yes
Cryoglobulinemia

No
Other Non-ANCA
vasculitis (e.g.
inflammatory bowel
disease vasculitis)

Gambar 3. Major classifications of vasculitis (ANCA=AntiNeutrophilic Cytoplasmic Antibodies)11


176

Gambar 4. Lesi kulit berupa purpura, ptekie, nodul subkutan


mencapai 51%
sumber: NEJM 1997
2-5,7-10,13

Ig-A dominant immune deposit

Yes

4. Manifestasi Klinik
Gejala klinik biasanya tidak spesifik seperti demam,
lelah, tidak nafsu makan, dan penurunan berat badan.
Perjalanan penyakit ini melalui 3 tahap. Tahap I adalah
masa prodromal yang berlangsung lebih dari 10 tahun.
Gejala tahap ini adalah rinitis, asma, dan poliposis.
Tahap II berupa eosinofilia pada darah perifer dan
jaringan, sindroma Loeffler, pneumonia eosinofilik, atau
gastroenteritis eosinofilik. Tahap III adalah vaskulitis
sistemik. Gejala pernapasan adalah yang dominan,
berupa asma dan infiltrat pada paru. Gejala kedua
tersering adalah mononeuritis sebesar 72%. Gejala rinitis
mencapai 61%.
Lesi kulit berupa purpura, ptekie, nodul subkutan
mencapai 51% (gambar 4). Granulomatosis vaskulitis pada
pembuluh darah lambung dan usus dapat menyebabkan
infark dan akhirnya ulserasi atau perforasi. Komplikasi
jantung berupa arteritis pembuluh darah koroner mencapai
14% dan merupakan 50% menyebabkan kematian.
Komplikasi ginjal jarang terjadi. Berbeda dari penyakit
Wageners granulomatosis, pada SCS komplikasi ginjal lebih
jarang, lebih sering terjadi komplikasi neuropati dan
penyakit jantung.

5. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan eosinofil > 1000
sel/l pada 80% pasien. IgE > 200 U/ml. ANCA dapat
meningkat pada 70-90% pasien, terutama p-ANCA
(MPO-ANCA). LED biasanya meningkat. Pemeriksaan
lainnya adalah yang berhubungan dengan organ yang
terkena.
13
6. Pemeriksaan Lain
Rontgen thorax, rontgen sinus, dan EKG
7. Biopsi
Biopsi organ yang terkena dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Perubahan patologi khususnya
pada paru adalah vaskulitis nekrosis, dan granuloma
dengan eosinofil berada di tengah yang dikelilingi
10
makrofag dan sel raksasa epiteloid (gambar 5).

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

Pemberian metilprednisolon 0,5-1 gr/hari diberikan pada


vaskulitis yang mengancam nyawa, diberikan selama tiga
hari.
10
11. Komplikasi
Komplikasi Sindrom Churg-Strauss tergantung organ yang
terkena.
2,5
12. Prognosis
Angka harapan hidup pasien menderita SCS 1 tahun sebesar
90% dan 5 tahun sebesar 62%. Bila tidak diobati,
prognosisnya adalah buruk, yaitu harapan hidup 5 tahun
sebesar 25%. Kematian biasanya akibat gagal jantung,
penyebab yang lain adalah karena status asmatikus, dan
infeksi.
Gambar 5. Granuloma with a central core of eosinophilic debris

10

KESIMPULAN
2-7,10,11,14

8. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut The American of College of
Rheumatology 1990 adalah terdapat 4 dari 6 gejala yang
terdapat dalam tabel 3.
Tabel 3. Kriteria diagnosis menurut ACR 1990







The American of College of Rheumatology (ACR 1990)


Asma
Eosinofil > 10%
Neuropati
Infiltrat paru yang tidak menetap
Sinus paranasal
Eosinofil ekstravaskular
9

9. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding seperti Wageners
granulomatosis, poliangiitis mikroskopik, cryoglobulinemia,
dan Purpura Henoch Schnlein seperti yang terlihat dalam
tabel 4.

1. Penyakit Sindrom Churg-Strauss adalah penyakit yang


jarang.
2. SCS bersama dengan Wageners granulomatosis dan
poliangiitis adalah penyakit vaskulitis yang mengenai
pembuluh darah kecil.
3. Mekanisme penyakit ini masih belum jelas, tetapi diduga
melalui proses autoimun dimana didapatkan peningkatan
IgE dan ANCA.
4. Proses penyakit ini melibatkan mekanisme imun, maka
terapi utama adalah steroid.
5. Umumnya prognosis penyakit ini buruk, dengan penyebab
kematian biasanya adalah gagal jantung.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

Tabel 4. Diagnosis banding SCS


Gejala dan tanda vaskulitis
Pembuluh darah kecil
IgA dominan cryoglobulin dalam
darah
Pembuluh darah kecil
ANCA
Granulama nekrosis
Asma dan eosinofilia

PHS

CV

PM

WG

SCS

+
-

+
-

+
-

+
+
-

+
+
+

4.

Keterangan: PHS: Purpura Henoch Schnlein, CV: cryoglobulinemia


vaskulitis, PM: poliangiitis mikroskopik, WG: Wageners granulomatosis,
SCS: Sindrom Churg-Strauss
1-5

10. Pengobatan
Prinsip pengobatan vaskulitis adalah steroid. Pertama,
dosis induksi diberikan selama kurang lebih 3-4 minggu,
setelah itu diturunkan perlahan. Dosis steroid dimulai 1
mg/BB/hari dibagi 3-4 dosis. Dosis permulaan 7-10 hari,
setelah itu dapat diberikan pagi hari sampai 2 minggu
berikutnya, selanjutnya tergantung keadaan klinis. Bila
tidak ada respon, dapat dikombinasi dengan siklofosfamid
2
0,6 gr/m tiap bulan selama 18-24 bulan.

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

5.

6.
7.
8.

9.
10.
11.
12.

13.
14.

Sukmana N. Vaskulitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Kolopaking MS, Setiati S, editor. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. IV.
Jakarta: PIP, 2006.p.1237-43
Gutierrez E. Vasculitis. Dalam: Latinis KM, Dao K, Gutierrez E,
Shepherd R, Velazquez CR, editor. Rheumatology Subspecialthy
Consult. Washington: Lippincott Willams & Wilkins, 2003.p.129-68
Cuppe TR. Cardiac & vascular disease. Dalam: Sties DP, Terr AT,
Parslow TTG, editor. Basic & Clinical Immunology. Ed. VIII. USA.
1994.p.442-56
Sceller MC, Langford CA, Fauci AS. The vasculitis syndrome. Dalam:
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL et al, editor. Harrisons Principles
of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill companies, 2005.p.2002-13
Kalim H, Wahono CS. Sindrom vaskulitis. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Kolopaking MS, Setiati S, editor. Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Ed. IV. Jakarta: PIP, 2006.p.1237-43
Baratawidjaja KG. Imunologi dasar: Imunologi vaskulitis. Edisi ke7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006.p.388
DeRemee RA. Churg-strauss syndrome. Dalam: Ball GV, Bridge SL,
editor. Vasculitis. USA: Oxford University Press, 2002.p.376-83
Hellmann DB, Stone JH. Vasculitis syndrome. Dalam: Tierney LM,
McPhee SJ, Papadakis MA, editor. Current Medical Diagnosis &
Treatment. San Fransisco: The McGraw-Hill Companies, 2002.p.870
Jennette JC, Falk RJ. Small vasculitis syndrome. NEJM 1997; 151222
Moayer MF. Churg-strauss syndrome. e-Medicine 2006:1-11
Mansi IA, Opran A. ANCA-associated small-vessel vasculitis.
American Family Physician 2002:1615-20
DAgati V. Antineutrophil cytoplasmic antibody and vasculitis:
much more than a disease marker. The Journal of Clinical
Investigation 2002:919-21
Vogel P, Schissel D. Churg-strauss syndrome. e-Medicine 2005:110
G r o s s W L , K e l l e r E R .Churg-strauss syndrome.O r p h a n e t
Encyclopedia 2002:1-7

177

TINJAUAN PUSTAKA

Profil Hipertensi Saat Masuk Rumah


Sakit Pada Penderita Stroke Akut
Rizaldy Pinzon
SMF Saraf RS Bethesda
Yogyakarta

Abstarct. Introduction. Stroke remains a major health care problem. Stroke is the leading cause of death and
functional impairment. Hypertension is the major risk factor for cerebral infarction and haemorrhagic. The
understanding of the clinical course of hypertension in acute stage of stroke is important. This study aimed to
describe the profile of hypertension in acute phase of stroke.
Method. The desk analysis was performed to secondary data from stroke unit. Further review was performed
in 117 stroke patients. The data were analyzed descriptively. The data was presented in table and graphic.
The statistical package was used for analyzing the data.
Result. The data was obtained from stroke unit, the sample of 117 patients, consist of 58.5% male and 41.5%
female. The stroke pathology is ischemic in 66.7% cases and haemorrhagic in 33.3% cases. The mean age of
the patients was 60.8312.59 years old. Hypertensive state was found in 70.8% cases. The mean systolic
blood pressure was 168.218.4 mmHg and the mean diastolic blood pressure was 102.412.8 mmHg.
Conclusion. Hypertensive state is very common condition in acute stroke. The understanding of the clinical
course will be very important. The comorbidities with other cardiovascular risk factors is also very common.
Key words: hypertension, risk factor, stroke, comorbidities

Pendahuluan
Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama. Penelitian
di Amerika Serikat menunjukkan bahwa ada >700.000 insidens
stroke setiap tahunnya, dengan lebih dari 160.000 kematian
akibat stroke setiap tahunnya. Jumlah penderita stroke di
Amerika Serikat adalah 4,8 juta. Stroke adalah penyebab
kematian nomor tiga, dan penyebab kecacatan nomor satu.1
Pemahaman terhadap faktor risiko stroke akan sangat
membantu dalam tindakan pencegahan yang efektif. Faktor
risiko stroke diklasifikasikan sebagai berikut: tidak dapat
dimodifikasi, secara potensial dapat dimodifikasi, dan dapat
2
dimodifikasi. Hipertensi merupakan faktor risiko stroke (baik
hemoragik maupun non hemoragik) yang telah dibuktikan dari
3,4
berbagai penelitian epidemiologi. Hubungan antara kenaikan
tekanan darah dan risiko penyakit serebrovaskular adalah
5
bersifat konsisten sesuai dengan bertambahnya usia.
Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pasien
hipertensi seringkali kurang dikenali dan tidak mendapat
terapi yang adekuat. Penelitian epidemiologi memperlihatkan
bahwa hanya 70% populasi hipertensi di Amerika Serikat yang
mengetahui kondisi penyakitnya, 60% mendapat terapi, dan
178

34% hipertensinya terkendali (TD <140/90 mmHg).


Kurangnya diagnosis dan terapi yang adekuat terutama
7
diamati pada pasien usia tua.
Hipertensi pada stroke fase akut sangat menarik untuk
dipelajari. Penelitian yang mengamati kurva tekanan darah
secara prospektif pada stroke fase akut menyimpulkan bahwa
tekanan darah pada saat masuk RS dan sub tipe stroke adalah
faktor yang berperan terhadap variasi tekanan darah hari
8
berikutnya. Hipertensi kronis sebelum terkena serangan
stroke, komorbiditas penyakit jantung kongestif, dan penyakit
jantung koroner merupakan faktor lain yang ikut berperan
9
terhadap perubahan tekanan darah pada stroke fase akut.
Pertanyaan kritis yang seringkali muncul adalah:
seberapa sering hipertensi dijumpai pada stroke fase
akut?, faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan
kejadian hipertensi pada fase akut stroke?, apakah terapi
hipertensi harus segera diberikan pada stroke fase akut?.
Data epidemiologi yang bersifat lokal seringkali diperlukan
untuk memahami berbagai fenomena tersebut. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui profil hipertensi saat masuk
RS pada penderita stroke akut.

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

Tabel 1. Profil pasien stroke di RS Bethesda

Faktor risiko stroke


diklasifikasikan sebagai
berikut: tidak dapat

dimodifikasi, secara
potensial dapat
dimodifikasi, dan dapat
dimodifikasi. 2 Hipertensi
merupakan faktor risiko stroke
(baik hemoragik maupun non
hemoragik) yang telah
dibuktikan dari berbagai
3,4
penelitian epidemiologi.
Metode
Penelitian dilakukan dengan menganalisis data sekunder unit
stroke RS Bethesda. Profil faktor risiko stroke merupakan hal
yang rutin dicatat pada pasien stroke akut. Pencatatan
dilakukan untuk data pencapaian sasaran mutu unit stroke.
Stroke didefinisikan sesuai dengan definisi WHO sebagai
defisit neurologis fokal/global yang terjadi mendadak akibat
gangguan peredaran darah otak. Diagnosis patologi stroke
didasarkan pada gambar pencitraan CT Scan kepala. Hipertensi
saat masuk, berdasarkan kriteria JNC 7 yaitu di atas 140 mmHg
pada tekanan darah sistolik atau diatas 90 mmHg pada tekanan
darah diastolik. Kelainan jantung diefinisikan sebagai bukti
kelainan irama jantung dengan EKG atau kenaikan enzim
jantung, atau kelainan lain dari hasil konsultasi dokter spesialis
jantung. Dislipidemia didefinisikan sebagai abnormalitas nilai
salah satu dari kolesterol total dan trigliserida. Sampel
sebanyak 117 untuk stroke pertama kali (bukan stroke rekuren)
yang ditetapkan telah memenuhi besar sampel minimal untuk
penelitian prevalensi.
Data akan diolah secara deskriptif dan analitik dengan
menggunakan paket program bantu statistik. Hasil yang
didapat akan ditunjukkan dalam bentuk tabulasi. Berbagai
hubungan antara faktor risiko, dan luaran klinik akan diolah
secara statistik dengan paket program bantu SPSS versi 10.

Hasil Penelitian
Data penelitian diperoleh dari data sekunder profil stroke
tahun 2005 dan 2006. Pada tahun 2005, unit stroke RS Bethesda
melayani 987 pasien, sementara tahun 2006 melayani 979
pasien stroke (lihat tabel 1).

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

2005
2006
Jumlah total pasien stroke
987
979
Jenis patologi
- non hemoragik
726 (73,6%) 684 (69,9%)
- hemoragik
261 (26,4%) 295 (30,1%)

Sampel sebanyak 117 pasien, terdiri dari 58,5% laki-laki


dan 41,5% perempuan. Jenis patologi stroke yaitu 78 kasus
(66,7%) stroke non hemoragik dan 39 kasus (33,3%) stroke
hemoragik. Rata-rata usia penderita adalah 60,8312,59 tahun.
Hipertensi saat masuk RS dijumpai pada 70,8% kasus. Sisi
parese kiri pada 45,2% kasus dan parese kanan pada 54,8%
kasus. Diabetes melitus dijumpai pada 28% kasus, dislipidemia
pada 36,8% kasus, dan penyakit jantung 14,6% kasus.
Komorbiditas faktor risiko dapat dilihat pada tabel 2.

Tidak hipertensi
Hipertensi

Gambar 1. Profil hipertensi saat masuk RS pada penderita


stroke akut
Di antara kasus stroke dengan hipertensi, tekanan darah
sistolik rata-rata saat masuk RS adalah 168,2 18,4 mmHg, dengan
tekanan darah diastolik rata-rata adalah 102,4 12,8 mmHg.

Penelitian dilakukan dengan


menganalisis data

sekunder unit stroke RS


Bethesda. Profil faktor
risiko stroke merupakan hal
yang rutin dicatat pada
pasien stroke akut.

Pencatatan dilakukan
untuk data pencapaian
sasaran mutu unit
stroke.
179

Tabel 2. Komorbiditas faktor risiko stroke


Komorbiditas faktor risiko
Hipertensi dan diabetes melitus
Hipertensi dan penyakit jantung
Hipertensi dan dislipidemia

Persentase
12,4%
8,4%
9,4%

Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi
pada stroke fase akut adalah tinggi (71%). Hipertensi
merupakan faktor risiko stroke yang utama dan dapat
dimodifikasi. Penelitian telah membuktikan bahwa
pengendalian tekanan darah akan menurunkan kejadian stroke
secara signifikan kejadian stroke. Meta analisis terhadap uji
klinik menyimpulkan bahwa terapi penghambat saluran beta
10
dan diuretik cukup efektif dalam menurunkan risiko stroke.
Terapi anti hipertensi yang adekuat dihubungkan dengan
11,12
penurunan risiko stroke sebesar 35%-44%.
Beberapa penelitian mengamati perubahan tekanan darah
8
pada stroke fase akut. Penelitian Toyoda, dkk memperlihatkan
bahwa pada 6 hari pertama stroke fase akut, tekanan darah
akan mengalami perubahan yang bervariasi berdasarkan pada
sub tipe stroke. Stroke lakunar dan stroke aterotrombotik
memiliki rata-rata tekanan darah yang lebih tinggi. Penelitian
juga menunjukkan bahwa adanya hipertensi sebelumnya dan
komorbiditas diabetes melitus berhubungan dengan tekanan
darah sistolik dan tekanan darah diastolik yang relatif lebih

tinggi pada stroke fase akut.


Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah hipertensi
pada stroke fase akut harus segera diturunkan?. Bukti
penelitian yang ada tidak mendukung penurunan tekanan
darah pada stroke fase akut. Tekanan darah tidak perlu
diturunkan segera kecuali didapatkan tekanan sistolik >220
mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg (pada 2 kali
pengukuran dengan selang 30 menit) pada stroke iskemik akut.
Tekanan darah akan diturunkan bila ada ancaman komplikasi
hipertensi berat, yaitu ensefalopati hipertensi, aneurisma aorta,
gagal jantung, dan gagal ginjal. Penurunan tekanan darah
13,14
maksimal 20%.

Kesimpulan
Penelitian menunjukkan bahwa proporsi hipertensi pada
stroke fase akut adalah cukup tinggi yaitu sebesar 71%.
Komorbiditas hipertensi dan faktor risiko lain umum dijumpai
pada pasien stroke. Sub tipe stroke ikut berperan terhadap
perubahan tekanan darah pada stroke fase akut.

Daftar Pustaka
1.
2.

3.

Penelitian telah membuktikan


bahwa pengendalian

tekanan darah akan


menurunkan kejadian
stroke secara signifikan.
Meta analisis terhadap uji
klinik menyimpulkan bahwa

terapi penghambat saluran


beta dan diuretik cukup
efektif dalam menurunkan
10
risiko stroke. Terapi anti
hipertensi yang adekuat
dihubungkan dengan
penurunan risiko stroke
sebesar 35%-44%. 11,12

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

180

American Heart Association, Heart Disease and Stroke Statistics,


2004 update. Available from http://www.strokeaha.org
Sacco RL, Benjamin EJ, Broderick JP, et.al. American Heart Association Prevention Conference IV. Prevention and rehabilitation of stroke
risk factors. Stroke 1997; 28:1507-17
Fields LE, Burt VL, Cutler JA, et.al. The burden of adult hypertension
in The United States 1999 to 2000: a rising tide. Hypertension 2004;
44: 398-404
Wolf PA. Cerebrovascular risk. In: Izzo JLJ, Black HR, eds. Hypertension Primer: The Essentials of high Blood Pressure. Baltimore, Lippincott,
Williams and Wikins; 1999
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et.al. National Heart, Lung, and
Blood Institute Joint National Commitee on prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure, JNC 7 report. JAMA
2003; 3289:2560-72
Psaty BM, Smith NL, Siscovick DS, et al. Health outcomes associated
with antihypertensive therapies used as first-line agents. A systematic review and meta-analysis. JAMA 1997; 277:739-45
Douglas JG, Bakris GL, Epstein M, et.al. Management of high blood
pressure in African Americans. Working Group of The Internatioanal
Society of Hypertension. Arch Intern Med, 2003; 163:525-641
Toyoda K, Okada Y, Fujimoto S, et.al. Blood pressure changes during
the initial week after different subtype of ischemic stroke. Stroke
2006; 37:2637-9
Vemmos KN, Tsivgoulis G, Spengos K, et.al. Blood pressure course
in acute ischemic stroke in relation to stroke subtype. Blood Press
Monit 2004; 9:107-14
The ALLHAT Officers and Coordinators for the ALLHAT Collaborative
Research Group. Major outcomes in high-risk hypertensive patients
randomized to angiotensin-converting enzyme inhibitor or calcium
channel blocker vs diuretic: The Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT). JAMA. 2002;
288:2981-97
The Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. Effects
of an angiotensin-converting-enzyme inhibitor, ramipril, on cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med. 2000; 342:14553
PROGRESS Collaborative Group. Randomised trial of a perindoprilbased blood-pressure-lowering regimen among 6,105 individuals with
previous stroke or transient ischaemic attack. Lancet. 2001; 358:103341
Adams H, Adams R, Del Zoppp G, et al. Guidelines for the early management of patients with ischemic stroke: 2005. Guidelines update
a scientific statement from the stroke council of the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke 2005; 36:916-23
Royal College of Physicians, National Clinical Guideline for Stroke, 2nd
ed. Intercollegiate Stroke Working Party, London; 2004

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

TINJAUAN PUSTAKA

Merokok dan Masalahnya


Tantur Syahdrajat
Klinik Rumah Sakit Zakat Indonesia

Abstrak. Tembakau diidentifikasi sebagai penyebab berbagai penyakit seperti penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK), penyakit kardiovaskular, dan kanker paru. Tembakau merupakan penyebab kematian nomor dua
di dunia, sekitar 5 juta kematian setiap tahun. Saat ini, ada sekitar 1,3 milyar perokok di dunia, 84% berada
di negara berkembang. Kebanyakan perokok melaporkan awal menggunakan tembakau pada masa kanakkanak atau masa remaja.
Zat toksin yang terdapat dalam asap rokok di antaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif, tar yang bersifat
karsinogenik, serta CO yang berperan pada timbulnya aterosklerosis pembuluh darah. Kebiasaan merokok
merupakan faktor penting terjadinya kanker paru dan PPOK. Penyakit kardiovaskular yang dihubungkan
dengan merokok adalah penyakit jantung koroner, penyakit vaskular perifer, dan stroke. Sementara itu,
Environmental Tobacco Smoke (ETS) dikenal sebagai penyebab langsung penyakit paru pada dewasa dan
anak-anak. Perokok pasif memiliki risiko timbulnya kanker, penyakit paru, dan penyakit jantung iskemik.
Penatalaksanaan masalah merokok difokuskan pada terapi ketergantungan nikotin, terapi kebiasaan dan
terapi farmakologis. Untuk mengatasi adiksi nikotin direkomendasikan nicotine replacement therapy (NRT)
yang dapat dikombinasikan dengan obat antidepresan. Luasnya penggunaan tembakau yang dimulai sejak
usia remaja dan meningkatnya frekuensi penyakit yang berkaitan dengan merokok pasif menuntut upaya
pencegahan merokok sejak dini.
Kata kunci: tembakau, merokok, environmental tobacco smoke

Pendahuluan
Dalam 20 tahun terakhir, ketika angka merokok menurun di
negara maju, industri tembakau telah menemukan pasar yang
baru dan lebih besar di negara berkembang. 1 Tembakau
diidentifikasi sebagai penyebab berbagai macam penyakit
seperti PPOK, penyakit kardiovaskular, kanker paru dan
sejumlah kanker tertentu. Tembakau merupakan penyebab
kematian nomor dua di dunia, sekitar 5 juta kematian setiap
tahun atau 1 di antara 10 kematian dewasa. Jika kecenderungan
ini terus berlanjut, diproyeksikan pada tahun 2020 akan
membunuh 10 juta orang/tahun, dengan 70% kematian terjadi
di negara berkembang.2 Pengguna tembakau jangka panjang
akan menyebabkan 50% kemungkinan kematian prematur
akibat penyakit yang berhubungan dengan tembakau.3 Studi
lain menunjukkan sepertiga orang dewasa yang merokok
secara teratur akan meninggal karena penyakit yang
berhubungan dengan merokok. Penyebab kematian penting
adalah penyakit vaskular aterosklerotik, kanker, dan PPOK.1
Menurut WHO, pada awal tahun 1990-an, 1,1 milyar orang
menggunakan tembakau yang merepresentasikan sepertiga
populasi penduduk dewasa di dunia.3 Saat ini, ada sekitar 1,3
milyar perokok di dunia, 84% berada di negara berkembang.1
Penggunaan tembakau di negara berkembang meningkat,
sebanyak 48% pria dan 7% wanita menggunakan tembakau
secara rutin.3 Di negara maju, penggunaan tembakau oleh
perempuan mengalami peningkatan bermakna, 42% laki-laki
dan 24% wanita menggunakan tembakau secara rutin. Anak184

anak merokok 1.1 milyar paket rokok per tahunnya. 1


Kebanyakan perokok melaporkan awal menggunakan
tembakau pada masa kanak-kanak atau masa remaja, dengan
75% pengguna tembakau dewasa dilaporkan awal merokok
ketika usia 11-17 tahun. 3 Studi menyatakan rata-rata usia
pertama kali merokok 14.5 tahun dan rata-rata usia perokok
harian 17.7 tahun.1 Sekitar 20% pelajar sekolah lanjutan atas
merokok. Lebih dari 90%, pertama kali merokok sebelum tamat
sekolah lanjutan atas.
Tembakau menelan biaya perawatan kesehatan yang besar,
kehilangan produktivitas dan tentunya biaya tidak terukur
untuk mengatasi sakit dan penderitaan yang timbul pada
perokok, perokok pasif dan keluarga mereka. 2 Efek biaya
kesehatan dan kehilangan produktivitas pada pemerintah
diperkirakan $200 milyar per tahun. 1 Sepertiga biaya ini
ditanggung negara-negara berkembang. Banyak faktor yang
mempengaruhi peningkatan pengguna rokok secara global.
Hal ini termasuk liberalisasi perdagangan, investasi asing
secara langsung, perdagangan global, iklan, promosi dan
sponsor transnasional, dan penyelundupan tembakau
internasional.
Pada tahun 2001, prevalensi merokok di Indonesia sebesar
31.5%.4 Sebagian besar pria, yakni 62.2%, terutama di pedesaan
(67%). Proporsi perokok pria tertinggi terdapat di Gorontalo
(69%) dan terendah di Bali (45.7%). Sekitar 70% perokok mulai
merokok pada usia 19 tahun. Sebagian besar (91.8%) perokok
yang berumur 10 tahun ke atas menyatakan bahwa mereka
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

merokok di rumah ketika sedang bersama dengan anggota


keluarga. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004
menunjukkan lebih dari 43 juta anak Indonesia berusia 0-14
tahun tinggal dengan perokok di lingkungannya.5 Pada tahun
2001, merokok menyebabkan 9.8% kematian karena penyakit
paru kronik dan emfisema. Seorang bukan perokok yang
menikah dengan perokok mempunyai risiko kanker paru
sebesar 20-30% lebih tinggi daripada mereka yang
pasangannya bukan perokok dan juga risiko mendapatkan
penyakit jantung. Pada tahun 2001, penduduk Indonesia yang
tergolong miskin menggunakan 9,1% dari pengeluaran
bulanan untuk tembakau, sedangkan pada kelompok kaya
7,5%.4 Pengeluaran rumah tangga untuk kebiasaan merokok
yang lebih banyak dibandingkan pengeluaran untuk
kebutuhan primer berdampak sangat besar pada status
kesehatan dan gizi keluarga, khususnya keluarga miskin.
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)-WHO
telah membuat perjanjian internasional tentang pengendalian
rokok.5 Hingga kini, 145 negara, yang mewakili lebih dari 80%
populasi dunia, telah meratifikasi perjanjian ini.6 Indonesia
belum meratifikasi perjanjian tersebut. Perjanjian ditujukan
untuk mengatur kegiatan perusahaan tembakau, penggunaan
strategi meningkatkan pajak produk tembakau, membatasi
merokok di lingkungan publik, penerapan peringatan
kesehatan pada kemasan rokok dan mengatur produksi
perusahaan dan usaha pemasaran.
Komponen Rokok
Menurut FCTC/WHO produk tembakau adalah produk yang
dibuat dengan menggunakan seluruh atau sebagian dari daun
tembakau sebagai bahan dasar yang diproduksi untuk
digunakan sebagai rokok yang dikonsumsi dengan cara
dihisap, dikunyah, atau disedot.5 Produk tembakau khususnya
rokok dapat berbentuk sigaret, kretek, cerutu, lintingan,
menggunakan pipa, tembakau yang disedot, dan tembakau
tanpa asap. Asap rokok terbagi atas asap utama (main stream
smoke) dan asap samping (side stream smoke).7 Asap utama
merupakan asap yang dihirup langsung perokok, sedangkan
asap samping merupakan asap yang disebarkan ke udara
bebas, yang akan dihirup oleh orang lain atau perokok pasif.
Komposisi kimia dan asap rokok tergantung pada jenis
tembakau, desain rokok (seperti ada tidaknya filter atau bahan
tambahan), dan pola merokok individu.8
Dalam asap rokok terdapat 4.000 zat kimia berbahaya untuk
kesehatan, 40 jenis di antaranya bersifat karsinogenik.5 Asap
rokok yang dihirup mengandung komponen gas dan partikel.7
Komponen gas yakni CO, CO2, O2, hidrogen sianida, amoniak,
nitrogen, senyawa hidrokarbon. Sebagian besar fase gas adalah
CO2, O2 dan nitrogen.8 Komponen partikel antara lain tar,
nikotin, benzopiren, fenol, dan kadmium.7 Dari satu batang rokok
yang dibakar dihasilkan sekitar 500 mg gas (92%) dan 8%
bahan-bahan partikel padat.8 Dari setiap kepulan asap rokok,
perokok menghirup sekitar 50 mg bahan, 18 mg di antaranya
berupa bahan partikel padat yang berupa droplet aerosol cair
dan partikel tar padat submikroskopik dengan diameter
mikron atau lebih kecil. Sisanya terdiri dari CO2 dan sampai
5% CO, tercampur dengan O2, nitrogen dan udara.
CO dalam asap rokok dapat mengurangi daya angkut O2
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

Merokok dapat
menyebabkan perubahan
struktur dan fungsi
saluran napas dan
jaringan paru.7 Pada
saluran napas besar, terjadi
hipertrofi sel mukosa dan
hiperplasia kelenjar mukus.
Pada saluran napas kecil,
terjadi radang ringan hingga
penyempitan akibat
bertambahnya sel dan
penumpukan lendir. Pada
jaringan paru, terjadi
peningkatan jumlah sel
radang dan kerusakan alveoli.
darah sebesar 15%. Meskipun persentase CO rendah, tetapi
menaikkan tekanan darah secara bermakna yang akan
berpengaruh pada sistem pertukaran Hb.8 CO menimbulkan
desaturasi Hb, menurunkan langsung persediaan O2 untuk
jaringan seluruh tubuh termasuk otot jantung. 7 CO
menggantikan tempat O 2 di Hb, mengganggu pelepasan
oksigen, dan mempercepat aterosklerosis. CO menurunkan
kapasitas latihan fisik, meningkatkan viskositas darah,
sehingga mempermudah penggumpalan darah.
Kandungan tar pada rokok berkisar antara <1-35 mg. 8
Kandungan tar pada rokok di negara berkembang cukup
tinggi. Di Cina, Indonesia dan India misalnya, kandungan tar
berkisar antara 19-33 mg, sedang di negara-negara industri,
kandungan tar berkisar antara 0.5-20 mg. Tar bersifat
karsinogenik. Partikel asap rokok yang juga bersifat
karsinogenik adalah benzopiren, dibenzopiren, benza antracene,
dan uretan.7
Rokok sigaret menghasilkan 1.2-2.9 mg nikotin, dan
merokok sebungkus rokok tertentu per hari berarti menyerap
20-40 mg nikotin setiap hari, meningkatkan konsentrasi plasma
23-35 ng/ml. 1 Absorpsi nikotin dari inhalasi asap rokok
berlangsung cepat, sebuah bolus nikotin mencapai otak dalam
waktu 10-16 detik.2 Nikotin mengaktivasi reseptor asetilkolin
nikotinik yang memicu pelepasan dopamin. Perokok akan
185

merasa nikmat. 5 Nikotin menimbulkan habituasi atau


ketergantungan psikis sehingga sulit untuk berhenti merokok.8
Nikotin mempengaruhi sistem saraf simpatis. 7 Nikotin
merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi
denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung,
dan menginduksi vasokonstriksi perifer.8 Nikotin mendorong
terjadinya adhesi trombosit pada dinding pembuluh darah
yang dihubungkan dengan penyakit kardiovaskular. Nikotin
dimetabolisme di hati, paru-paru dan ginjal. Nikotin juga
diekskresi melalui air susu. Pada perokok berat, kadar nikotin
dalam air susu dapat mencapai 0,5 mg/l.
Nikotin, CO, dan bahan-bahan lain dalam asap rokok
terbukti merusak endotel pembuluh darah, dan
mempermudah timbulnya penggumpalan darah.7 Di samping
itu, asap rokok mempengaruhi profil lemak. Dibandingkan
dengan bukan perokok, kadar kolesterol total, kolesterol LDL,
dan trigliserida darah perokok lebih tinggi, sedangkan
kolesterol HDL lebih rendah.
Merokok dan Kesehatan
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi
saluran napas dan jaringan paru.7 Pada saluran napas besar,
terjadi hipertrofi sel mukosa dan hiperplasia kelenjar mukus.

Penelitian molekuler sekarang


menduga merokok dini

memicu perubahan pada


sel paru, terutama selama
periode kritis perkembangan
paru pada masa remaja,
meningkatkan risiko kanker
paru yang tidak tergantung
pada intensitas atau lamanya
2
merokok. Risiko ini

terutama pada wanita


karena pertumbuhan paru
maksimum lebih awal
dibandingkan laki-laki
(usia 18 tahun pada wanita vs
24 tahun pada laki-laki).
186

Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga


penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan
lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel
radang dan kerusakan alveoli.
Kebiasaan merokok merupakan faktor penting terjadinya
kanker paru dan PPOK.9 Relative risk perokok untuk mendapat
kanker paru berkisar antara 2,5 sampai >20. Perkiraan relative
risk untuk perokok mendapat bronkitis kronik berkisar antara
1,5-7,1. Kemungkinan timbul kanker paru-paru pada perokok
mencapai 10-30 kali lebih sering dibandingkan dengan bukan
perokok.7 Satu dari 10 perokok berat akan menderita penyakit
kanker paru.8 Rasio mortalitas perokok akibat kanker paru
berkisar antara 2,3-25,1. 9 Lebih dari 85% kematian akibat
kanker paru dihubungkan dengan penggunaan tembakau.1
Penelitian molekuler sekarang menduga merokok dini
memicu perubahan pada sel paru, terutama selama periode
kritis perkembangan paru pada masa remaja, meningkatkan
risiko kanker paru yang tidak tergantung pada intensitas atau
lamanya merokok.2 Risiko ini terutama pada wanita karena
pertumbuhan paru maksimum lebih awal dibandingkan lakilaki (usia 18 tahun pada wanita vs 24 tahun pada laki-laki).
Risiko terjadinya penyakit jantung koroner (PJK) meningkat
2-4 kali pada perokok. 7 Risiko ini meningkat dengan
bertambahnya usia dan jumlah rokok yang diisap. Penelitian
menunjukkan bahwa faktor risiko merokok bekerja sinergis
dengan faktor-faktor lain, seperti hipertensi, kadar lemak atau
gula darah yang tinggi dalam mencetuskan PJK. Merokok
mengakibatkan trombosis dan aterosklerosis dinding
pembuluh darah. Penyakit pembuluh darah perifer yang
melibatkan arteri dan vena di tungkai bawah atau tangan sering
ditemukan pada perokok berat dewasa muda. Stroke juga
banyak dikaitkan dengan merokok. Rokok merupakan
penyebab sekitar 5% stroke di Indonesia.5
Kebiasaan merokok dihubungkan dengan penyakit rongga
mulut seperti kanker mulut dan penyakit periodontal seperti
periodontitis dan acute ulcerative gingivitis.8 Merokok dan
mengunyah tembakau merupakan penyebab utama kanker
mulut. 1 Pada tahun 1988, merokok dihubungkan dengan
sekitar 50% kematian pada kanker esofagus dan sekitar
sepertiga kematian pada kanker kandung kemih. Pada tahun
1990, merokok dihubungkan dengan sepertiga kematian pada
kanker pankreas. Merokok juga menjadi faktor resiko
independen kanker serviks uteri. Kanker anal pada pria dan
wanita heteroseksual juga berhubungan dengan merokok.
Interaksi antara virus dan pajanan tembakau meningkatkan
risiko kanker.
Merokok juga berperan pada penyakit yang lain seperti
histiositosis X, bronkiolitis respiratorik, obstructive sleep apnea,
pneumotoraks idiopatik, berat badan lahir rendah (BBLR), dan
kematian perinatal. 1 Wanita yang merokok mengalami
kemungkinan penurunan atau penundaan kehamilan. 5
Merokok selama kehamilan menyebabkan pertumbuhan janin
lambat dan dapat meningkatkan risiko BBLR. Risiko abortus
pada wanita perokok 2-3 kali lebih sering. Merokok dapat
meningkatkan risiko impotensi pada pria sebesar 50%.
Penyakit lain yang juga dikaitkan dengan merokok antara lain
osteoporosis, katarak, psoriasis, dan lupus eritematous.

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

Environmental Tobacco Smoke


Zat toksin lebih banyak didapatkan pada asap samping,
misalnya CO 5 kali lipat, benzopiren 3 kali, dan amoniak 50
kali.7 Bahan-bahan ini dapat bertahan sampai beberapa jam
lamanya dalam ruangan setelah rokok berhenti. Environmental
Tobacco Smoke (ETS) dikenali sebagai penyebab langsung
penyakit paru pada dewasa dan anak-anak.10 Perokok pasif
memiliki risiko untuk berkembangnya kanker, penyakit paru,
dan penyakit jantung iskemik.11 Paparan yang lama terhadap
lingkungan asap rokok akan meningkatkan resiko kematian
20-30% pada perokok pasif. ETS menyebabkan sekitar 3000
kematian/tahun akibat kanker paru.10
Paparan langsung pada ETS mempengaruhi fisiologi jalan
napas dengan gejala penyakit tergantung pada mekanisme
spesifik yang mendominasi dan daerah anatomi yang terkena.
Respon fisiologis pada ETS secara umum sama seperti perokok,
tetapi dengan efek yang berkurang. Perubahan yang terjadi
meliputi meningkatnya produksi mukus, berkurangnya
gerakan, beat frequency dan transpor silier, meningkatnya
produksi dan pergerakan leukosit ke lumen jalan napas;
meningkatnya permeabilitas mukosa terhadap alergen, yang
dihubungkan dengan meningkatnya IgE spesifik dan total,
serta meningkatnya eosinofil darah.10
Hasil studi menunjukkan bahwa bayi dan anak yang
terpapar asap rokok berisiko terkena infeksi saluran napas
bawah, penyakit telinga tengah, penyakit pernapasan kronik,
asma, menurunnya fungsi paru yang berkaitan dengan
menurunnya tingkat pertumbuhan paru, dan Sudden Infant
Death Syndrome (SIDS).4 Sekitar 150.000-300.000 kasus infeksi
saluran napas bawah pada anak <18 bulan dikaitkan dengan
ETS.10 Data kini menunjukkan hubungan berlanjutnya infeksi
saluran napas bawah dengan ETS hingga usia 2 tahun. Bayi
dengan ibu perokok mengalami 2 kali risiko kematian akibat
SIDS dan risiko berkembangnya asma, batuk dan wheezing
meningkat hingga 60% pada anak usia sekolah jika kedua
orang tua merokok.11 Sekitar 8.000-26.000 kasus baru asma
dilaporkan pada anak yang ibunya merokok lebih dari 10
batang per hari.10 Jika tingkat yang lebih rendah dari paparan
dipertimbangkan, jumlah kasus baru akibat ETS adalah 13.00060.000 per tahun. Paparan pada ETS merupakan faktor mayor
pada 10% atau 20.000 kasus asma pada anak.
Studi pada anak sekolah di Montreal menyatakan bahwa
anak-anak dengan paparan lingkungan asap tembakau, yang
memiliki volume paru lebih besar, lebih mungkin menjadi
perokok.2 Ukuran paru yang lebih besar diduga meningkatkan
uptake asap tembakau, memaksimalkan pengaruh merokok
pasif dan mempengaruhi masa depan anak yang merokok.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan masalah merokok memfokuskan pada terapi
ketergantungan nikotin, terapi kebiasaan dan terapi
2
farmakologis. Panduan praktek klinik merekomendasikan
Nicotine Replacement Therapy (NRT) untuk adiksi nikotin.
Substitusi nikotin, dalam bentuk nicotine patch, nasal spray, gum,
lozenge, sublingual tablet, dan inhaler, digunakan secara bertahap
untuk mengurangi paparan nikotin, menghindari gejala

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

withdrawal sambil mengeliminasi paparan pada substansi


toksis lain pada asap rokok. Hasil studi menunjukkan bahwa
17% pasien NRT berhenti merokok selama 6 bulan atau lebih
12
dibandingkan 10% pada pasien tanpa terapi. Antidepresan
seperti bupropion, klonidin, dan nortriptilin menunjukkan hasil
2
baik ketika digunakan untuk menghentikan merokok. Hasil
percobaan menunjukkan antidepresan menghasilkan berhenti
merokok 6-12 bulan meskipun tidak membantu mencegah
12
relaps dalam 1 tahun. Kombinasi NRT dengan bupropion atau
antidepresan meningkatkan angka 1-year abstinence pada
dewasa, dan penelitian awal menyatakan bahwa terapi tersebut
2
dapat juga aman dan efektif pada remaja. Pada dewasa dengan
adiksi nikotin, kombinasi NRT dengan bupropion atau
antidepresan lain menunjukkan angka abstinens dua kali lipat.

Kesimpulan
Meskipun telah ada panduan terapi tersebut, bagi banyak
perokok, menghentikan kebiasaan merokok bukan sebuah
2
pilihan mengingat tingginya adiksi nikotin. Luasnya
penggunaan tembakau yang dimulai sejak usia remaja dan
meningkatnya frekuensi penyakit yang berkaitan dengan ETS
menuntut upaya pencegahan merokok sejak dini. Untuk itu,
diperlukan sikap sosial dan kebijakan yang ditujukan untuk
1
menurunkan angka penggunaan tembakau. Seiring dengan
kebijakan WHO, pemerintah hendaknya melaksanakan
2
monitoring dan pengaturan masalah tembakau. Asosiasi
dokter, organisasi kesehatan masyarakat, dan kelompok
konsumen perlu melobi dalam hal pembatasan merokok di
lingkungan publik, pembatasan iklan, peningkatan harga
melalui pajak, peningkatan kesadaran akan bahaya merokok
1
bagi kesehatan. Pendidikan tentang efek merokok bagi
kesehatan harus diberikan pada semua pasien yang merokok.
Pasien harus dilengkapi dengan berbagai pilihan dan nasihat
yang akan menjauhkan mereka dari bahaya merokok dan
adiksi nikotin.

Daftar Pustaka
1.

Sharma S. Nicotine addiction. 2006. Available from: http://


www.emedicine.com/
2. Framework Convention Alliance for Tobacco Control. The WHO framework convention on tobacco control: a public health movement. Available from: http://www.fctc.org/
3. Grigsby DG. Substance abuse: nicotine. 2006. Available from: http://
www.emedicine.com/
4. BAPPENAS. Laporan perkembangan pencapaian tujuan
pembangunan milenium Indonesia. Available from: http://
www.bappenas.go.id/
5. Prihatiningsih P. Dampak merokok bagi kesehatan dan lingkungan.
Jurnal Lingkungan Keluarga 2007. Edisi II. Available from: http://
www.bkkbn.go.id/
6. Wright AA, Katz IT. Tobacco tightrope-balancing disease prevention
and economic development in China. NEJM 2007; 356:1493-6
7. Tandra H. Merokok dan kesehatan. Available from: http://
www.kompas.co.id/
8. Ruslan G. Efek merokok terhadap rongga mulut. Cermin Dunia
Kedokteran 1996; 113:41-3
9. Aditama TY. Situasi beberapa penyakit paru di masyarakat. Cermin
Dunia Kedokteran 1993; 84: 28-30
10. Murphy TD. Passive smoking and lung disease. 2006. Available from:
http://www.emedicine.com/
11. White C. Smoking in public should be restricted. BMJ 1998; 316:881
12. Jain A. Treating nicotine addiction. BMJ 2003; 327:1394

187

BERITA SEPUTAR DXG

Dexa Medica Raih Dua Penghargaan MARKETING AWARD 2007

ebagai perusahaan nasional bidang


farmasi, Dexa Medica yang didirikan di
Palembang pada 1969, kini telah
memasuki babak baru sebagai regional player.
Upaya Dexa Medica menembus pasar ekspor
dimulai pada 1993 dengan melakukan ekspor
perdana ke Myanmar. Sejak itulah, produk Dexa
Medica selain didistribusikan ke seluruh
Indonesia, juga ke lebih dari 10 negara kawasan
Asean dan Afrika.
Konsistensi dan komitmen Dexa Medica ini,
membuahkan penghargaan dari pemerintah
Republik Indonesia, dengan diberikannnya
penghargaan PRIMANIYARTA AWARD, yang
diserahkan oleh Presiden RI. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2005 lalu, untuk kategori Pembangun
Merek Global.
Belum lama ini, Dexa Medica juga meraih penghargaan The Best IT in Marketing dan The Best in International
Marketing, dari Majalah Marketing yang diserahkan pada 29 Agustus 2007, di Jakarta.
Penghargaan ini diberikan atas prestasi dalam strategi pemasaran, kepada 19 perusahaan pemasar terbaik di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan ini dinilai berhasil mempertahankan competitive advantage (keunggulan bersaing) dan memberikan
warna lain di dalam dunia pemasaran, untuk
kurun dua tahun terakhir. Sejumlah merek
unggulan Dexa Medica di mancanegara
antara lain: Medixon, Rhinos SR, Vometa,
Stimuno, Gluvas, Remopain, Ceftum, dan
Boska.
Kami memakai pendekatan value chain yang
ada. Dengan ini, kami membangun kekuatan
di empat area, yaitu: research and development,
regulatory system, manufacturing, dan
marketing-sales. Untuk mendukung itu semua,
IT menjadi andalan dalam proses executive
decision dengan menggunakan Business
Intelligence Software, yang dikenal oleh
internal IT kami sebagai iFocus. Piranti lunak
ini, dibangun sendiri dan berfungsi sebagai
pengolah CRM dari Marketing Dexa
Medica, jelas Erwin Tenggono, Director
Overseas Business Unit Dexa Medica.DM

188

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

Dharma Dexa Buka Bersama dengan Warga Dumpit

asih dalam satu rangkaian perayaan Ulang


Tahun Dexa Medica ke-38 dan AAM ke-27
(pada 27 September 2007), Dharma Dexa
mengadakan buka puasa dengan warga Pemulung di
Dumpit, Karawaci, Tangerang, pada Sabtu, 29 September
2007 yang diikuti sekitar 700 warga.
Sekitar pukul 16.00 WIB, panitia yang terdiri
dari relawan Dharma Dexa, warga sekitar dan GK Ancop
berkumpul untuk breafing. Selanjutnya, acara dibuka
dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Remaja
setempat tampil membawakan shalawat, dilanjutkan
sambutan dari Leader Dharma Dexa, Ibu Gloria S. Haslim,
Pimpinan Project GK Ancop di Dumpit, Bapak Alex, dan

Ketua RT Bapak Saidi.


Acara dilanjutkan ceramah oleh Bapak Ustad Samsuni
yang bertema Kita bisa hidup sehat, mulailah dari diri
sendiri. Pada awal sambutannya, Pak Ustad mengucapkan
selamat ulang tahun untuk PT Dexa Medica yang ke-38.
Kemudian mengajak semua anak-anak untuk menerapkan
resep sehat seperti cuci tangan dan berdoa dulu sebelum
makan, belajar yang rajin supaya bisa terus pintar sehingga
semua anak-anak bisa menjadi orang sukses seperti menjadi
menteri, gubernur, pilot.
Setelah ceramah, Pak Ustad membagikan 5 bingkisan
hadiah kepada warga yang bisa menjawab pertanyaan kuis.

Puncak acara dimulai pada pukul 17.15 WIB. Tiap tim


yang dibagi dalam 5 kelompok bersiap dengan makanan
box untuk dibagikan secara bergiliran kepada tiap warga.
Karena berdekatan dengan waktu berbuka puasa, maka
seluruh warga segera berhamburan untuk mengantri
makanan buka puasa yang disiapkan tiap meja dengan
menyerahkan kupon.
Setiap warga juga mendapatkan bingkisan
berupa 1 tas OGBdexa yang berisikan sajadah serta
kalender Dharma Dexa dan OGBdexa. Acara selesai saat
adzan magrib berkumandang. Setiap warga telah
mendapatkan bingkisan dan makanan. Tampak senyum
puas dalam setiap wajah warga Dumpit.DM

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

189

KALENDER PERISTIWA
1. KONKER and Annual Meeting of Nephrology 2007
Tanggal: 01 - 04 November 2007
Tempat: Hotel Quality, Solo
Sekretariat:
SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/RSDM
Telp.: 0271-654513, 7008823
Faks: 0271-654513
E-mail: pernefri2007@yahoo.com
Contact Person: Tri Wahyuningsih (0812-2586744)
Kuswardari (0813-9511388)
2. Kongres Nasional VI dan Pertemuan Ilmiah
Tahunan VI Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi
Klinik (PDS PATKLIN)
Tema: Good Laboratory Practice for Better Health Care
Tanggal: 01 - 04 November 2007
Tempat: Clarion Convention Hall, Makassar
Sekretariat:
PDS KATLIN Cabang Makassar, Bagian Patologi Klinik
FK UNHAS RS DR Wahidin Sudirohusodo
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11 Makassar
Telp.: 0411-582678
Faks: 0411-581226
E-mail: pdspatklin_mks@yahoo.com
3. Simposium & Workshop Adolescent Health I
Tanggal: 01 - 03 November 2007
Tempat: Hotel Grand Hyatt, Bandung
Sekretariat:
Bagian IKA FKUP-RSHS, Jl. Pasteur No. 38 Bandung
Telp.: 022-2031420, 2034426
Faks: 022-2031051, 2035957
4. Symposium on Current Diagnosis and Treatment
in Internal Medicine 2007: Practical Guideline in
Daily Practice
Tanggal: 03 - 04 November 2007
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta
Sekretariat:
CME Penyakit Dalam FKUI
Telp.: 021-3142108
Faks: 021-3914830
E-mail: ipdfkui@pacific.co.id
5. P2B2 ke-5 2007 (PABI)
Tanggal: 06 - 10 November 2007
Tempat: Hotel Lor In, Solo
Sekretariat:
Bagian Bedah RS Dr. Moewardi Surakarta, Jl. Kolonel
Sutarto No. 132 Solo
Telp.: 0271-664053
Faks: 0271-664053
E-mail: ikabiska@indo.net.id atau
pabi_solo@telkom.net.id
Contact Person: R Agus Tri Harmoko (0815-6700729)
Edhy Hendrartho (0271-5831295)
6. PIT Otologi II (PITO II) PERHATI-KL

190

Tanggal: 07 - 09 November 2007


Tempat: Tiara Convention Center, Medan
Sekretariat:
Dept. THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
Jl. Bunga Lau No. 17, Medan 20136
Telp.: 061-8365490
Fax: 061-8365490
E-mail: pito2medan@yahoo.com,
ainulmardhiah_dstht@hotmail.com.
linaasnir@yahoo.co.id
Contact Person: dr. Wulan (061-77886496)
dra. Nungky (0815-11296408)
7. 7th Asian Oceanic Society of Pediatric Radiology
Congress in Conjuction with 1st Congress of Indonesia Pediatric Society
Tanggal: 08 - 10 November 2007
Tempat: Papandayan hotel, Bandung
Sekretariat:
Dept. of Radiologi Hasan Sadikin, Jl. pasteur No. 38
Telp.: 022-2034915; 2034953-55
Faks: 022-2034915
E-mail: inapedraso@gmail.com;
doctors_76@yahoo.co.id
8. PKB II IDAI Cabang Sumatera Selatan
Tema: Diagnosis dan Tatalaksana Penurunana
Kesadaran pada Anak
Tanggal: 10 - 11 November 2007
Tempat: Hotel Aston, Palembang
Sekretariat:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. UNSRI/RSMH
Palembang
Telp.: 0711-372832, 376445
Faks: 0711-376445
E-mail: pkb2_ika07plg@yahoo.com
Contact Person: Dr. Fedriansyah (0811762802)
Dr. Rahmayani (081367060068)
9. Pertemuan Ilmiah Early Preganancy Medicine
Tanggal: 12 - 15 November 2007
Tempat: Gran Melia Hotel, Jakarta
Sekretariat:
ABA Production Jl. Kimia No. 5 Jakarta Pusat
Telp.: 021-3928721, 31924404
Faks: 021-3915041
10.Simposium Nasional Pertama Reumatologi di Indonesia Timur (KONKERNAS VII IRA)
Tanggal: 15 - 16 November 2007
Tempat: Hotel Klarion, Makassar
Sekretariat:
RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Jl. Perintis Kemerdekaan
km 12 Makassar poliklinik rematologi pintu A3
Telp.: 0411-6116373
Faks: 0411-586533
E-mail: rematologi_mks@yahoo.com,
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

fariedhp@yahoo.com
11.Quantum Nutrition 2007
Tanggal: 16 - 18 November 2007
Tempat: Hotel Crowne Plaza, Jakarta
Sekretariat:
Geoconvex Office & Mailing Address
Jl. Kebon Sirih Timur 4 Jakarta Pusat 10340
Telp.: 021-3149318, 3149319, 2305835
Faks: 021-3153392
E-mail: marketing@geoconvex.co.id
12.Stroke and Neuroimaging Update 2007, PIN II
PDSNI, PN II PERDOSSI
Tanggal: 21 - 24 November 2007
Tempat: Hotel Clarion, Makassar
Sekretariat:
Panitia PIN II PDSNI & PN II Stroke & PN II
Neuroimaging PERDOSSI SMF IPD FK - UNHAS/
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Jl. Perintis
Kemerdekaan km. 11 Makassar 90 & 45
Telp.: 0411-585560, 582837
Faks: 0411-582837
E-mail: pdsni2007@yahoo.co.id
13.Jakarta Diabetes Meeting (JDM) 2007 & the 9th Symposium Molecular Diabetology in Asia Mercure
Convention Center Ancol, Jakarta
Tanggal: 24 - 25 November 2007
Tempat: Mercure Convention Center Ancol, Jakarta
Sekretariat:
Division of Endocrinology and Metabolism Department
of Medicine FKUI-RSCM
Jl. Salemba 6, Jakarta 10430
Telp.: 021-3907703, 3100075
Faks: 021-3928658-59
E-mail: endo_id@indo.net.id,
endocrin@rad.net.id
14.18th Biennial Congress Association of Thoracic &
Cardiovascular Surgeons of Asia (ATCSA)
Tanggal: 25 - 28 November 2007
Tempat: Bali International Convention Center, Nusa
Dua Bali
Sekretariat:
National Cardiovascular Center Harapan Kita Main
Building, 4th floor
Jl. Letjend. S. Parman kav. 87 Slipi, Jakarta 11420
Indonesia Pacto Convex Ltd. Lagoon Tower, Level B1 the Sultan hotel, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270
Telp.: 021-56944608, 5681111 ext 1470
Faks: 021-5665993, 5705798
E-mail: farmasetika@fa.itb.ac.id
Contact Person:
Ms. Rahayu Sherly / Ms. Anna Farida
Website: http://www.atcsa2007.org

DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

15.19th WECOC - Empowering Referal System in Clinical Cardiology


Tanggal: 29 November - 01 Desember 2007
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta
Sekretariat:
c/o National Cardiovascular Center Harapan Kita
Pusdiklat Building, 5 floor, room 3505
Jl. Letjend. S. Parman kav. 87, Slipi Jakarta Barat 11420
Telp.: 021-5684093
Faks: 021-5608902
E-mail: wecockardiology@yahoo.com
16.New Trends in Management of HIV/AIDS - Caring
for HIV/AIDS with Love
Tanggal: 30 November - 01 Desember 2007
Tempat: Hotel Sahid Jaya, Jakarta
Sekretariat:
CPD FKUKI - RSU FKUKI, Jl. Mayjen Sutoyo No. 2
Cawang, Jakarta Timur 13630
Telp.: 021-98521071
Contact Person: Erick Sowong
Website: http://www.worldaidsdayindo.com
17.Jakarta Digestive Week V 2007: Gastric Cancer &
Hepatobiliary Surgery
Tanggal: 07 - 08 December 2007
Tempat: Mercure Convention Center Ancol, Jakarta
Sekretariat:
Sub Bagian Bedah Digestif FKUI/RSUPNCM
Jl. Diponegoro 7
Telp.: 021-3148705
Faks: 021-3148705
Contact Person: Risnawati (0813-83998827)
18.PIN PAPDI ke-5
Tanggal: 07 - 09 Desember 2007
Tempat: Hotel Quality, Solo
Sekretariat:
PB PAPDI Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/
RSCM
Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta 10430
Telp.: 021-319031384
Faks: 021-3148163
Contact Person: M. Muhtar, Siti Romlah, Husni Amri
17.4th Asian Congress of Pediatric Infectious Disease
Tanggal: 02 - 05 Juli 2008
Tempat: JW Marriott Hotel, Surabaya
Sekretariat:
4th ACPID & 14th KONIKA 2008 Congress Secretariat
Indonesia Pediatric Society (IPS) East Java Branch
Department of Pediatrics, Medical Faculty Airlangga
University Dr. Soetomo Hospital Jl. Prof. Dr. Moestopo
6-8 Surabaya 60286
Telp.: 031-5501748, 5015218
Faks: 031-5015218

191

PENELUSURAN JURNAL

Pembaca yang budiman,


Mulai edisi ini Dexa Media melayani permintaan penelusuran jurnal hanya
dengan melalui Tim Promosi Dexa Medica Group. Di bawah ini akan diberikan
daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya,
mohon halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda dan dikirimkan
ke atau melalui Tim Promosi. DM

 Docetaxel. In gastric cancer. Drugs 2007; 67(13):182949

 Drugs for the perioperative control of hypertension.


Current issues and future directions. Drugs 2007;
67(14):2023-44

 Fluoroquinolones for the treatment of pulmonary tu-

ary prevention of sudden cardiac death. JAMA 2007;


298(13):1517-24

 Accuracy of electrocardiography in diagnosis of left


ventricular hypertrophy in arterial hypertension: systemic review. BMJ 2007; 335:711

 Effect

of perindopril on physical function in elderly


people with functional impairment: a randomized
controlled trial. CMAJ 2007; 177(8):867-74

berculosis. Drugs 2007; 67(14)2077-95

 Fluticasone

Furoate. Intranasal Use in Allergic Rhini-

tis. Drugs 2007; 67(14):2077-99

 Ampicillin/Sulbactam.


Current status in severe bacterial infections. Drugs 2007; 67(13):1829-49


Bells palsy. American Academy of Family Physicians
2007; 76:997-1002,1004

 Peptic ulcer disease. American Academy of Family Physicians 2007; 76:1005-12,1013

 Radiologic evaluation of chronic foot pain. American


Academy of Family Physicians 2007; 76:975-83

 How I treat chronic myeloid leukemia in the imatinib


era. Blood 2007; 110:2828-37

 A critical appraisal of chronic lyme disease. NEJM




 Respiratory distress in the newborn. American Academy of Family Physicians 2007; 76:987-94

 Central nervous system infections in heart transplant


recipients. Arch Neurol 2007; 64(12):E1-E6

 Molecular

basis for passive immunotherapy of

Alzheimers disease. PNAS 2007; 104(40):15659-64

 Sex

differences in the use of implantable


cardioverter-defibrillators for primary and second-

192

2007; 357(14):1422-30
of the hip. NEJM 2007; 357(14):141321
Donepezil for the treatment of agitation in alzheimers
disease. NEJM 2007; 357(14):1382-92
Pioglitazone and rosiglitazone have different effects
on serum lipoprotein particle concentrations and
sizes in patients with type 2 diabetes and
dyslipidemia. Diabetes Care 2007; 30:2458-64
Prepregnancy diabetes and risk of placental cascular
disease. Diabetes Care 2007; 30(10):2496-8
Treatment of children persistently infected with hepatitis B virus: seroconversion or suppression. http://
jac.oxfordjournals.org/cgi/reprint/dkm362v1.pdf

 Osteoarthritis




DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007

Anda mungkin juga menyukai