Breakthrough in Management of
Acute Pain
KRT Lucas Meliala*, Rizaldy Pinzon**
*
**
Pendahuluan
Nyeri merupakan pengalaman sensorik multidimensi yang
tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Kelompok
studi nyeri Perdossi (2000) telah menterjemahkan definisi nyeri
yang dibuat IASP (International Association The Study of Pain)
yang berbunyi nyeri adalah pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.1
Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan
merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk
mencari pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua
orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status
sosial, dan pekerjaan (Crombie, dkk. 1999). Tipe nyeri yang
digunakan secara luas adalah nosiseptif, inflamasi, neuropatik,
dan fungsional. Saat ini mulai jelas mekanisme neurobiologi
yang mendasari berbagai tipe nyeri tersebut. Tipe nyeri yang
berbeda memiliki faktor etiologik yang berbeda pula. Saat ini
pendekatan terapi nyeri telah bergeser dari pendekatan terapi
yang bersifat empirik menjadi pendekatan terapi yang
didasarkan pada mekanisme.2
Pustaka ini membahas mekanisme terkini nyeri akut dan
pendekatan terapi yang rasional berdasar mekanisme tersebut.
Pembahasan terapi secara farmakologis akan difokuskan pada
peran dexketoprofen (Ketesse) pada berbagai kondisi nyeri.
Pembahasan
Mekanisme Nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya
bahaya kerusakan jaringan. Nyeri akan membantu individu
untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan secara fungsional.
Pada kasus-kasus gangguan sensasi nyeri (misalnya: neuropati
akibat diabetes) maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang
hebat (Brookoff, 2000).
Nyeri pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar,
yaitu: nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif
berperan serta dalam proses bertahan hidup dengan
melindungi organisme dari cedera berkepanjangan dan
membantu proses pemulihan. Sebaliknya, nyeri maladaptif
merupakan bentuk patologis dari sistem saraf.2
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh
stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
151
Sensitisasi sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi
nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi.
Sensitisasi sentral dan perifer bertanggungjawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cedera. Sensitisasi
sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari
nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medula spinalis (activity
dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron
(transcription dependent).2
Secara umum proses sensitisasi sentral serupa dengan
sensitisasi perifer. Diawali dengan aktivasi kinase intraseluler,
memacu fosforilasi saluran ion dan reseptor, dan terjadi
perubahan fenotip neuron. Sensitisasi sentral dan perifer
merupakan bentuk plastisitas sistem saraf, dimana terjadi
perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan
jaringan). Pada keadaan aliran sensoris yang masif akibat
kerusakan hebat jaringan, dalam beberapa detik neuron di
medula spinalis akan menjadi hiperresponsif. Reaksi ini
menyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus non noksious
(misalnya: nyeri akibat sentuhan ringan), dan terjadinya
hiperalgesia sekunder (nyeri pada daerah sekitar jaringan yang
rusak).2
Sensitisasi sentral hanya membutuhkan aktivitas nosiseptor
yang singkat dengan intensitas yang tinggi, misalnya: irisan
kulit dengan scalpel. Sensitisasi sentral dapat juga terjadi akibat
sensitisasi nosiseptor akibat inflamasi, dan aktivitas ektopik
spontan setelah cedera saraf. Sensitisasi sentral merupakan
urutan kejadian di kornu dorsalis yang diawali dengan
pelepasan transmiter dari nosiseptor, perubahan densitas
reseptor sinaptik, perubahan ambang, yang kesemuanya secara
dramatis meningkatkan transmisi nyeri.2 Salah satu reseptor
yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor
NMDA. Selama proses sensitisasi sentral, reseptor ini akan
mengalami fosforilasi, dan meningkatkan kepekaannya
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
Indomethacin
Piroxicam
Ibuprofen
Etodolac
Ketesse
Diclofenac
Meloxicam
Nimesulide
COXIB
COX-1
selective
inhibitor
Preferentially
COX-1
selective
inhibitor
Dual
COX
inhibitor
Preferentially
COX-2
selective
inhibitor
COX-2
selective
inhibitor
anti-inflammatory
analgesic
Gambar 4. Spektrum NSAID berdasar pada sifat hambatannya
pada COX6
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa
deketoprofen memiliki efek analgesik sentral dengan menekan
aktivitas wind-up (lihat gambar 5.)
154
Grafik di atas memperlihatkan bahwa kedua terapi samasama efektif dalam mengurangi nyeri. Kejadian efek
samping lebih sedikit pada kelompok dexketoprofentrometamol.
Tabel 1. Profil efek samping pada kelompok terapi tramadol
dan dexketoprofen pada pasien NPB akut
Sistem organ
Susunan saraf
Gejala psikiatrik
Gastrointestinal
General
Tramadol (n=97)
7,4%
4,2%
15,8%
6,3%
Dexketoprofen (n=95)
1%
8,2%
4,1%
Kesimpulan
Gambar 6. Efektivitas dexketoprofen pada nyeri pasca operasi12
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
VAS
7.
Dexketoprofen
Tramadol
8.
9.
10.
11.
VAS
12.
13.
Dexketoprofen
Tramadol
Hari
14.
15.
155
SEKILAS PRODUK
Waktu (menit)
156
Gambar 1.
Pada gambar berikut (2) dapat dilihat perbandingan
jumlah lesi pada gaster antara pasien yang menggunakan
garam trometamol dengan pasien yang menggunakan yang
Indikasi:4
Tablet:
nyeri akut dengan intensitas ringan hingga sedang (nyeri
muskuloskeletal, nyeri pasca operasi
dismenore dan sakit gigi paska pencabutan gigi).3
Ampul:
Pengobatan gejala nyeri akut sedang hingga berat, pada
keadaan dimana pemberian peroral tidak memungkinkan,
seperti nyeri setelah operasi
Dosis:4
Tablet:
Gambar 2.
Ketoprofen 50 mg 3 x sehari
Ketesse 25 mg 3 x sehari
Ampul:
Kemasan:4
Kotak, 5 strip @ 10 tablet
Kotak, 5 ampul @ 2 ml
Kesimpulan:
Ketesse merupakan NSAID yang memenuhi semua kriteria
NSAID yang ideal dengan potensi meningkat dan lebih
murni, selain itu dengan adanya tambahan garam
trometamol, menyebabkan solubilitas meningkat dan mula
kerja lebih cepat
Daftar Pustaka
1. Barbanoj MJ et al. Clin Pharmacokinet 2001;40(4):24562
2. Beltran et al. J. Clin Pharmacol. 1998 ;38;74s-80s
3. Cabre F, et al. Br. J. Rheumatol. 1998;37(Suppl.):115
4. Ketesse. PT Dexa Medica. Package Insert.
157
SEKILAS PRODUK
INDIKASI
Menghilangkan rasa terbakar, iritasi dan ketidaknyamanan
yang disebabkan karena kekeringan pada mata dan untuk
mempercepat perbaikan permukaan okular yang rusak
seperti pada Sjogrens syndrome dan Sicca syndrome (dry
eye).
MEKANISME KERJA
EFEK SAMPING
Efek samping yang utama adalah gatal, iritasi dan
hiperemia. Jika tampak adanya efek samping tersebut,
pengobatan harus dihentikan.
Hipersensitivitas
Ophthalmic
0,1% n < 5%
Blefaritis, eyelid dermatitis
Gatal, iritasi, konjungtivitis,
injeksi konjungtiva, lesi
kornea
N < 0,1%
Eye discharge
PERINGATAN
1. Hanya digunakan sebagai tetes mata
2. Pada saat pemakaian, hati-hati agar ujung dari botol
tetes mata tidak meyentuh langsung ke mata untuk
160
KARAKTERISTIK FARMAKOLOGI
Di Jepang, cornea society mendefinisikan dry eye (mata
kering) adalah suatu kondisi pada segmen anterior mata,
dimana terjadi kerusakan pada epitel kornea yang
disebabkan karena perubahan kualitatif dan kuantitatif
air mata.
Oleh sebab itu, dalam pengobatan dry eye, sangat
direkomendasikan untuk menggunakan obat yang efektif
mengatasi kedua masalah tersebut, yaitu kerusakan
pada epitel kornea dan gangguan pada air mata
(kualitatif dan kuantitatif).
Hasil research Santen - Jepang pada 985.511 pasien,
ditemukan bahwa pada semua kasus dry eye (ringan sampai
berat) terjadi kerusakan pada epitel kornea.
Hialid memiliki karakterisitik farmakologi yang dapat
mengatasi kedua masalah tersebut, melalui kelebihannya:
1. WET
Hialid memiliki kemampuan menahan air yang sangat
baik dengan menyimpan banyak molekul air di dalam
struktur molekul sodium hyaluronate, sehingga
menjaga mata lebih lembab/basah dalam jangka
waktu yang lebih lama.1
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
2. HEALING
Pada proses penyembuhan secara alami, sel epitel
bermigrasi lambat pada fibronektin melalui regenerasi.
Pada proses penyembuhan oleh Hialid, sodium
hyaluronate berikatan dengan fibronektin dan bekerja
langsung pada proses penyembuhan dengan
meningkatkan adhesi dan migrasi dari sel epitel3
Hialid meningkatkan migrasi dari sel epitel kornea4
Sampel kornea kelinci 20 jam setelah inkubasi:
perbandingan dengan kontrol in vitro
DAFTAR PUSTAKA
1. Hialid. Data on file
2. Hamano T, Horimoto K, Lee M, et al. Evaluation of the
effect of the sodium hyaluronate ophthalmic solution
on tear film stability. Acta Soc Ophthalmol 1993; 97:92832
3. Nakamura M, Hikida M, Nakano T. Concentration and
molecular weight dependency of rabbit corneal
epithelial wound healing on hyaluronan. Current Eye
Research 1992; 11(10):981-5
161
ARTIKEL UTAMA
Abstrak. Dry eye syndrome merupakan suatu kelompok gejala dimana mata terasa tidak nyaman (seperti
iritasi, perih, berair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, merasa mengantuk, mudah lelah) dan
dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan perforasi.
Dry eye sangat sering dijumpai, mengenai hampair 1030% penduduk, tidak pandang ras, gender maupun
umur. Meskipun demikian, dry eye lebih banyak pada wanita usia di atas 40 tahun. Pada era komputer dan
pemakaian AC yang terus menerus, hampir semua orang pernah mengalami gejala ini sebagian besar
menganggap hal tersebut sesuatu yang biasa dan tidak perlu diobati. Ternyata, satu dari 4 pasien yang datang
ke dokter mata adalah penderita dry eye dan kebanyakan dari mereka tidak menyadarinya, bahkan sampai
bertahun-tahun.
Agar mata terasa nyaman dan penglihatan baik, sel-sel epitel permukaan mata (kornea, konjungtiva) harus
dalam keadaan jernih dan lembab, mata lembab disebabkan karena adanya lapisan airmata yang membasahi
permukaan mata setiap saat. Banyak faktor yang berperan pada terjadinya dry eye, diantaranya fungsi air
mata, baik kuantitas maupun kualitasnya. Mekanisme ini sangat tergantung pada neuroanatomic control serta
integritas sel induk pada limbus (stem cell ).
Pendahuluan
Dry eye syndrome merupakan suatu kelompok gejala dimana
mata terasa tidak nyaman, seperti iritasi, perih, berair, seperti
ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, cepat merasa mengantuk,
cepat lelah, dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila
sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan pada kasus yang
sudah lanjut dapat terjadi perforasi kornea dan kebutaan.
Kelembaban permukaan mata merupakan keseimbangan
antara produksi dan ekskresi air mata melalui sistem drainase
melalui duktus nasolakrimalis serta penguapan. Apabila
keseimbangan ini terganggu, mata terasa kering, timbul suatu
dry spot pada permukaan kornea sehingga menimbulkan rasa
iritasi, perih diikuti refleks berkedip, lakrimasi dan mata berair.
Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut dalam waktu yang
lama akan terjadi kerusakan sel epitel kornea dan konjungtiva,
bahkan dapat terjadi infeksi, ulkus, dan kebutaan.
Sangat banyak faktor yang berperan pada terjadinya dry
eye baik pada wanita maupun pria, beberapa diantaranya tidak
dapat dihindari:
1. Usia lanjut. Dry eye dialami oleh hampir semua penderita
usia lanjut, 75% di atas 65 tahun baik laki maupun
perempuan.
2. Faktor hormonal yang lebih sering dialami oleh wanita
seperti kehamilan, menyusui, pemakaian obat kontrasepsi,
dan menopause.
3. Beberapa penyakit seringkali dihubungkan dengan dry eye
seperti: artritis rematik, diabetes, kelainan tiroid, asma,
162
4.
5.
6.
7.
8.
Patofisiologi
Lapisan air mata (tear film) yang terdapat pada permukaan
mata berfungsi untuk membasahi serta melumasi mata agar
terasa nyaman. Pada setiap berkedip lapisan airmata ini
terbentuk yang terdiri atas 3 lapis/komponen.1
1. Lapisan lemak dengan ketebalan 0,1 m, merupakan
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
Gambar 4
Gambar 3 dan 4. Mekanisme terbentuknya lapisan airmata
pada saat mengedip dan saat mata terbuka di antara kedipan.
Pada saat mata terbuka, lapisan air mata (aquous) akan
berkurang akibat evaporasi serta aliran keluar melalui
pungtum dan duktus nasolakrimal. Apabila mata mulai terasa
kering dan terjadi dry spot pada kornea, mata akan terasa
perih, menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris dan terjadi
refleks mengedip sehingga lapisan airmata terbentuk lagi dan
seterusnya.
Gambar 1. Anatomi mata dan saluran ekskretoir airmata
Gambar 3
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
Pemeriksaan
Pada anamnesis penderita akan mengeluh matanya tidak
nyaman (discomfort). Dry eye syndrome merupakan suatu
kelompok gejala dimana mata terasa tidak nyaman, seperti
iritasi, perih, berair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal,
merah, cepat merasa mengantuk, cepat lelah, dan dapat terjadi
penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel
kornea, bahkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terjadi
perforasi kornea dan kebutaan.
Pemeriksaan mata
- Tajam penglihatan biasanya tidak terganggu kecuali pada
kasus berat
- Vasodilatasi/hiperemia konjungtiva
- Tampak banyak sekret dan debris, mukus pada air mata
- tear meniscus (air mata yang berada pada sudut antara
konjungtiva bulbi inferior dengan tepi kelopak bawah)
berkurang
- Kelainan kornea: permukaan kornea ireguler, epiteliopati,
keratitis pungtata, filamen, defek epitel, ulkus.
Diagnosis
Diagnosis biasanya cukup ditegakkan atas dasar gejala klinis,
anamnesis yang lengkap keluhan pasien, usia, pekerjaan,
penyakit serta pemakaian obat-obatan yang mungkin dapat
menjadi penyebab.
164
Test Schirmer
Pemeriksaan ini menilai kuantitas produksi air mata yang
dihasilkan oleh kelenjar lakrimal. Kertas filter Schirmer 30 x 5
mm diletakkan pada sakus inferior 1/3 temporal (agar tidak
menyentuh kornea) tanpa anestesi topikal selama 5 menit.
Bagian kertas yang dibasahi menunjukkan kuantitas airmata.
Nilai di bawah 6-7 mm dianggap kurang. Tes ini dapat juga
dilakukan dengan anestesi topikal (pantokain 0.5%) untuk
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
Tes ferning
Tes untuk menilai kualitas serta stabilitas air mata. Bila air
mata dibiarkan kering di atas suatu gelas objek, dengan
menggunakan mikroskop cahaya akan tampak suatu
gambaran kristal berbentuk daun pakis (ferns). Tes ini sangat
sederhana, tidak invasif, cepat dan dapat memberikan
gambaran kualitas serta stabilitas lapisan airmata.
Pengobatan
Grade 1: gambaran daun pakis baik serta banyak
Kesimpulan
Pada umumnya prognosis tajam penglihatan baik, hanya terapi
harus terus menerus selama masih ada keluhan. Pemakaian
obat tetes air mata secara terus menerus terutama yang
mengandung preservative dapat menimbulkan efek toksik
kornea. Sebaiknya konsultasi ke dokter mata jika terjadi reaksi
alergi/nyeri, merah, atau ketajaman penglihatan menurun.
Deteksi dini dan pengobatan intensif bila terjadi komplikasi
akan sangat membantu mencegah kerusakan yang lebih berat.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
LAPORAN KASUS
Abstrak. Meskipun sebagian besar penyakit tuberkulosis (TB) mengenai paru, tetapi TB di luar paru (TB
ekstra pulmonal) juga merupakan manifestasi yang penting, dan paling banyak mengenai kelenjar getah
bening perifer. Diagnosis TB kelenjar secara tradisional membutuhkan biopsi. Diagnosis pasti dapat
ditegakkan, dengan menemukan Mycobacterium tuberculosis. Gambaran histopatologi adanya granuloma
caseous menandakan kemungkinan besar adanya infeksi mycobacterial. Berkembangnya dot-enzyme
immunoassay (DOT-EIA) merupakan uji serologis yang amat praktis pada akhir-akhir ini. Sensitivitas uji
DOT-EIA-TB tergolong tinggi, yaitu 88,9% dengan spesifisitas 87,5%.
Kami melaporkan suatu kasus penderita sirosis hati dan limfadenitis TB dengan pemeriksaan DOT-EIA-TB
ekstra dan intra pulmonar negatif. Pada pemeriksaan kompleks imun, terdapat peningkatan dari nilai cut off
dan setelah dilakukan re-suspensi, hasil serologis DOT-EIA-TB positif. Pemeriksaan histopatologis penderita
ini menyimpulkan suatu proses tuberkulosis. Fenomena ini dapat disebabkan karena keadaan imun penderita
yang buruk.
Kata kunci: TB kelenjar, DOT-EIA-TB, kompleks imun
Pendahuluan
WHO memperkirakan kurang lebih 10 juta kasus tuberkulosis (TB)
baru setiap tahun di seluruh dunia, sebagian besar terdapat di negara
berkembang.1 TB merupakan penyebab kematian terbesar di dunia
dan diperkirakan terjadi kematian sekitar 1,5 juta orang setiap tahun
di negara berkembang. Khusus untuk Indonesia, data WHO barubaru ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan
kasus TB terbesar ke-3 di dunia, setelah India dan Cina, dengan jumlah
penderita baru 583.000 orang per tahun dan penderita TB menular
262.000 orang per tahun.2
TB dapat mengenai berbagai organ dalam tubuh. Meskipun
sebagian besar TB mengenai paru, tetapi TB di luar paru (TB
ekstrapulmonal) juga merupakan manifestasi yang penting.
TB ekstrapulmonal dapat tidak bergejala, atau dengan gejala
tidak khas, dan mungkin tidak terdiagnosis pada saat awal
penyakit. Diagnosis yang terlambat dapat berbahaya, bahkan
dapat mengancam kehidupan, terutama jika mengenai spinal,
meningeal, perikardial, atau abdominal. TB ekstrapulmonal
meliputi 10-15% dari semua kasus TB secara keseluruhan.3,4
Limfadenitis Tuberkulosis
TB kelenjar getah bening perifer (limfadenitis TB) merupakan
bentuk TB ekstrapulmonal yang paling sering terjadi. Tempat
yang paling sering adalah kelenjar getah bening cervikal.
Limfadenitis TB paling sering terjadi pada penderita usia
dekade ke-2 dan ke-3, meskipun dapat pula mengenai segala
usia. Limfadenitis TB menjadi kasus yang paling sering
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
Kasus
Seorang laki-laki, berusia 56 tahun, dengan pekerjaan buruh tani,
datang ke rumah sakit dengan keluhan utama terdapat benjolan
pada beberapa bagian tubuh. Dari anamnesis diketahui bahwa,
benjolan terdapat di pangkal paha, ketiak, dan leher kanan.
Benjolan tersebut sudah dialami sejak beberapa bulan yang lalu.
Penderita merasa lemah, nafsu makan berkurang, dan semakin
kurus. Kaki sakit bila digunakan untuk berjalan. Penderita belum
pernah berobat sebelumnya.
Dari pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran kompos mentis,
0
tampak lemah, kurus, demam dengan suhu aksilar 38 C, tekanan
darah normal 120/90 mmHg, dan denyut nadi normal 88 kali per
menit. Pemeriksaan toraks dan abdomen dalam batas normal. Status
lokalis leher kanan didapatkan pembesaran kelenjar. Pembesaran
kelenjar didapatkan juga pada regio aksila kanan dan kiri serta pada
regio inguinal kanan dan kiri.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia ringan
dengan Hb 10,1 g/dl, peningkatan laju endap darah yaitu 120
3
mm/jam, dan leukositosis sebesar 17.000/mm . Sedangkan
jumlah trombosit, hematokrit, dan retikulosit dalam batas normal
3
(trombosit 320.000/mm , PCV 20%, dan retikulosit 8%). MCV
sedikit turun yaitu 76 fl dan MCH normal 27,4 pg. Dari hitung
jenis didapatkan relatif netrofilia dimana eosinofil 3%, basofil dan
stab 0%, segmen 92%, limfosit 5%, dan monosit 0%. Dari hasil
evaluasi hapusan darah didapatkan eritrosit yang normokrom
anisositosis, kesan jumlah leukosit yang meningkat, dan kesan
jumlah trombosit normal. Dari hasil urinalysis tidak didapatkan
kelainan (albuminuria negatif, reduksi negatif, bilirubinuria dan
urobilin negatif, sedimen lekosit 02/lpb, dengan epitel gepeng
positif). Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan peningkatan
SGOT 3 kali upper limit (113 mU/ml dengan nilai normal <31
mU/ml) dan peningkatan SGPT 3 kali upper limit (96 mU/ml
dengan nilai normal <31 mU/ml), peningkatan alkali fosfatase
(438 mU/ml, nilai normal 98279 mU/ml), peningkatan gamma
GT (110 mU/ml, nilai normal 1150 mU/ml), penurunan total
protein yaitu 6,3 g/dl (nilai normal 6,68,3 g/dl), dengan kadar
albumin hanya 1,6 g/dl (nilai normal 3,55,5 g/dl), penurunan
kolesterol total yaitu 60 mg/dl (nilai normal <200 mg/dl).
Sedangkan kadar gula darah puasa dan 2 jam setelah makan
dalam batas normal (96 mg/dl dan 128 mg/dl), kadar kreatinin,
ureum, dan asam urat dalam batas normal (berturut-turut 0,9
mg/dl, 33 mg/dl, dan 5,8 mg/dl). Kadar bilirubin baik total
maupun bilirubin direk dan indirek dalam batas normal
(bilirubin direk 0,1 mg/dl dengan nilai normal <0,25 mg/dl dan
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
Pembahasan
Penderita seorang laki-laki tua, tampak kurus, dengan keadaan
lemah, demam, pembesaran kelenjar leher, aksila, dan inguinal
menunjukkan gambaran penderita limfadenitis. Anemia
ringan normokrom anisositosis yang terjadi, disebabkan karena
adanya penyakit kronis. Sedangkan hasil kimia darah
menunjukkan, adanya gangguan fungsi hati yang kronis,
ditandai dengan peningkatan SGOT dan SGPT 3 kali upper
limit, dengan ratio de ritis (SGOT/SGPT) lebih dari 1. Adanya
hipoalbuminemia dengan penurunan kadar kolesterol total,
juga mendukung adanya kelainan hati kronis, di mana hasil
pembacaan USG abdomen menunjukkan gambaran hati.
Peningkatan kadar ALP dan GGT menunjukkan adanya kolestasis
intra hepatik yang disebabkan karena sirosis hati tersebut. Asites
minimal yang didapatkan pada penderita, berasal dari keadaan
hipoalbuminemia, tetapi keadaan ini dapat juga disebabkan
karena terjadinya hipertensi portal.
Hasil histopatologis berupa jaringan nekrosis kaseosa dengan
sel-sel radang PMNMN serta sel plasma, sel-sel epiteloid, dan
jaringan ikat fibrosis, merupakan gambaran histopatologis suatu
tuberkel yang mengalami pengejuan dari proses spesifik TB.
Meskipun hasil serologis DOT-EIA-TB negatif, tetapi hasil
pemeriksaan imun kompleks menunjukkan peningkatan dari cut
off dan setelah dilakukan re-suspensi hasil serologis DOT-EIATB positif. Hal ini dapat terjadi karena status imun penderita yang
buruk, mengingat keadaannya yang lemah, disertai penurunan
berat badan, anemia, dan adanya gangguan fungsi hati yang berat
dan kronis. Selain itu penderita belum pernah didiagnosis
limfadenitis TB dan belum pernah mendapatkan terapi TB
sebelumnya. Keadaan ini dapat dijelaskan dengan teori bahwa
pada penderita TB yang belum diterapi, kadar antibodi terhadap
Mycobacterium tuberculosis sering tidak terlalu tinggi karena
lapisan lipoid dinding sel kuman merupakan selubung yang
menutupi antigen spesifik Mycobacterium tuberculosis, sehingga
tidak dapat merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap
kuman tersebut. Selain itu kadar antibodi yang tidak tinggi ini
dapat disebabkan karena bahan-bahan arabinomannan dan
arabinogalactan pada dinding sel kuman Mycobacterium tuberculosis
hidup akan menekan pembentukan antibodi pada penderita yang
belum diterapi. Kemungkinan lain mengapa hasil tes serologis
menunjukkan hasil negatif palsu adalah terdapat antigen yang
berlebihan. Kadar antibodi menjadi semakin rendah karena
sebagian antibodi tersebut diikat oleh antigen kuman TB dalam
bentuk kompleks imun, sehingga tidak terdeteksi oleh uji-uji
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Djatisoesanto W. Penatalaksanaan tuberculosis urogenital. In: TB-UpdateII. Proceedings of Simposium Nasional TB-Update-II; Surabaya; 2003.p.73-8
Achmadi UF. Penanggulangan tuberkulosis di Indonesia. In: TB-Update 2002.
Proceedings of Simposium Nasional TB-Update; Surabaya; 2002.p.164-76
Humphries MJ, Lam WK, Teoh R. Non respiratory tuberculosis. In:
Davies PDO. Clinical Tuberculosis. 1st ed. London: Chapman & Hall
Medical; 1994.p.93-125
Moestidjab. Tuberkulosa ukuler. In: TB-Update-II. Proceedings of
Simposium Nasional TB-Update-II; Surabaya; 2003.p.65-72
Sloane MF. Mycobacterial lymphadenitis
lymphadenitis. In: Rom WN, Garay SM.
Tuberculosis. 2nd ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.489-95
Aditama TY, Priyanti. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya.
3rd ed. Jakarta: Laboratorium Mikobakteriologi RSUP Persahabatan/
WHO Collaborating Center for Tuberculosis; 2000.p.48
Hariohoedojo O. Peranan pemeriksaan kompleks imun pada penyakit
tuberkulosis paru [karya akhir]. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga; 1991
Handojo I. Nilai diagnostik DOT-EIA-TB pada penyakit tuberkulosis
paru. Surabaya: Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
UNAIR/RSUD Dr. Sutomo;1996
169
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Ginjal
Hati
Darah
Vascular
Unit
fetoplacental
RINGAN-SEDANG
Hiperrefleksi dan sakit
kepala
BERAT
Pandangan kabur,
skotoma, sakit kepala,
klonus, iritabel dan
kejang (eklampsia)
Proteinuria
Produksi urin
SGOT, SGPT, LDH
0,35 gr/hari
>20 ml/menit
Normal
Trombosit
Hemoglobin
Tekanan darah
Retina
Gangguan pertumbuhan
>100.000/ul
<160/110 mmHg
Spasme arteriol
Tidak ada
>160/110 mmHg
Perdarahan retina
Ada
Oligohidramnion
Fetal distress
Tidak ada
Bisa ada/tidak
Ada
Ada
Ilustrasi Kasus
Seorang wanita G5P4A0H aterm berusia 35 tahun masuk rumah
sakit pemerintah (RSP) bagian kebidanan pukul 10.00 pagi dengan
keluhan utama berupa mulas 6 jam sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Pasien hamil cukup bulan. Kontrol kehamilan selama
hamil dilakukan di bidan dan pasien tidak ingat hari pertama
haid terakhirnya (HPHT). Sampai dengan kontrol terakhir, dua
bulan sebelumnya di bidan, pasien tidak mengalami hipertensi.
Pasien mengalami pembengkakan pada kaki sejak hamil tujuh
bulan dan sesak napas yang semakin terasa sejak satu bulan
terakhir. Ketika tidur terlentang, pasien juga merasa sesak,
sehingga sulit untuk tidur. Sesak pada pasien tidak berbunyi.
Demam pada waktu itu tidak ada. Penyakit jantung, diabetes
mellitus (DM), hipertensi (HT), dan asma sebelumnya tidak ada.
Sejak 6 jam SMRS, pasien sudah merasa mulas dan 2 jam
kemudian keluar air ketuban yang tidak berbau dan berwarna
putih. Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah (TD) 160/120
mmHg, frekuensi nadi 112x/menit, frekuensi napas 26x/menit,
suhu 36,8oC, dan keadaan gizi sedang. Tidak terdapat data jug
venous pressure (JVP) pada saat itu. Pemeriksaan pada mata:
konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik. Jantung: bunyi jantung
(BJ) I-II murni, murmur (-), gallop (+). Paru: vesikuler, ronki basah
halus di paru kanan bawah, wheezing -/-. Ekstremitas: edema +/
+. Pada pemeriksaan status obstetrik vulva/uretra (V/U) tenang.
I: porsio livide, ostium tertutup, tampak air ketuban mengalir, fluor
albus (+). Vaginal touche (VT): porsio kenyal, arah belakang,
panjang 1 cm, 3 cm, selaput ketuban (+), kepala Hodge-I. Pada
saat itu ditegakkan diagnosis kerja: G5P4H aterm persalinan kala
I (PK I) laten, suspek congestive heart failure (CHF), dan PEB.
Pada pukul 12.45 lahir spontan bayi laki-laki, BB 2.000 g, dan
apgar skor (AS) 7/9. Pukul 13.00 dilahirkan secara spontan
plasenta lengkap dengan 500 g. Pukul 16.30 pasien mengalami
mual dan muntah, namun tidak sering. TD 100/60 mmHg,
frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi napas 26x/menit, suhu
afebris. Pemeriksaan jantung didapatkan BJ I-II murni, murmur
(-), gallop (+). Pemeriksaan paru didapatkan suara napas vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/-, dan akral dingin. Pemeriksaan status
obstetrik dalam batas normal dan perdarahan (-). Pukul 19.00
pasien dikonsulkan ke bagian kardiologi, dan hasil pemeriksaan
kardiologi ditegakkan masalah syok kardiogenik, dekompensasi
kordis ec. PPHD (post partum heart disease) dengan riwayat PEB,
gangguan fungsi hati, dan ARF (acute renal failure) ec. prerenal.
Syok kardiogenik ditegakkan atas dasar TD menjadi 100/60
mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, dan akral yang dingin.
Dekompensasi kordis ec. PPHD ditegakkan atas dasar pasien
postpartum, sesak napas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
frekuensi napas meningkat, tekanan darah menurun (100/60
mmHg), bunyi jantung ditemukan suara gallop, dan adanya
edema tungkai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan enzim hati. Gangguan fungsi hati ditegakkan atas
dasar peningkatan enzim hati. ARF ec. prerenal ditegakkan atas
dasar peningkatan ureum dan adanya dekompensasi kordis.
Penatalaksanaannya adalah pasien dalam posisi duduk,
restriksi cairan 600 cc/24 jam, O2 4 liter/menit, drip dobutamin
mulai 4 tetes/menit maksimum 20 tetes/menit, jika tekanan darah
sistolik 100 mmHg lasix 2 ampul. ISDN dan captopril ditunda
selama TD masih <100 mmHg. Pukul 22.10, TD 120/80 mmHg,
frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi napas 28x/menit, dan suhu
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
Lab/tgl
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
Hitung jenis
LED
9/5
12,7
39
10.900
199.000
10/5
13,2
42,1
19.000
115.000
-/-/-/80/20/9
13/5
11,6
33,4
10.700
166.000
16/5
11,9
34,4
13.900
266.000
9/5
182
104
10/5
373
179
5,4
2,8
2,6
1,56
0,74
0,82
102
2,0
16/5
62
131
3,8
2,5
1,3
19/5
36
45
6
2,9
3,1
0,52
0,18
0,34
42
0,7
83
Kimia Darah
Lab/tgl
SGOT
SGPT
Protein total
Albumin
Globulin
Bil.tot
Bil.direk
Bil.indirek
Ureum
Kreatinin
GDS
Nuchter
PP 2 jam
Retikulosit
59
1,3
76
34
0,8
149
98
106
1,2%
Urinalisa
Lab/tgl
Warna
Kejernihan
BJ
PH
Protein
Reduksi
Benda Keton
Bilirubin
Urobilinogen
Urobilin
Nitrit
Darah samar
Sedimen
* Lekosit
* Eritrosit
* Epitel
* Bakteri
* Silinder
* Hyaline
* Granuler
* Kristal
AGD
* pH
* pCO2
* pO2
9/5
Kuning
Keruh
1030
6,0
++
0,2
+
+
10/5
Kuning
Jernih
1010
5,0
+
0,2
-
2-3
0-2
+
0-1
-
2-4
2-5
+
-
* BE
* Std HCO3
* Sat.O2
172
140,9
3,9
104,2
18/5
0,2
1-2
-
* HCO 3
* Tot.CO 2
Na+
K+
Cl-
16/5
7,370
7,48
34,1
28,2
87
67,8
19,9
21,3
21,0
-4,2
22,2
-0.5
20,8
23,9
96,2
95,1
143,1
3,6
102
19/5
11/08/07
34,6
16.500
144.000
-/-/1/76/23/60
Pembahasan
Pada saat masuk rumah sakit masalah yang ditegakkan di
bagian kebidanan adalah G5P4A0 hamil aterm dengan CHF
dan PEB. Masalah utama adalah PEB yang merupakan
komplikasi dalam kehamilan. Masalah tersebut ditandai
dengan adanya peningkatan tekanan darah proteinuria, dan
edema tungkai. Walaupun proteinuria 2+ (berdasarkan trias
4+) namun dua dari trias tersebut sudah terpenuhi. Hal
tersebut yang sebelumnya diperkuat dengan keadaan pasien
tidak mempunyai riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit
jantung. Faktor pendukung lainnya penegakkan masalah
tersebut adalah multipara, usia 35 tahun dan keadaan sosial
ekonomi yang rendah. Pada pasien ini ditegakkan pula
masalah CHF. Masalah ini ditegakkan atas dasar klinis adanya
dipsneu d`effort waktu hamil, ortopnea, dan edema tungkai.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan gallop, ronki basah halus
di kedua lapangan paru, dan edema tungkai. Pada
pemeriksaan penunjang rontgen toraks ditemukan gambaran
edema paru dan CTR (cardio thoracic ration) >50%. EKG: VES
jarang, T inverted di lead I, AVL, V3-V6. Gejala CHF pada pasien
ini bisa saja merupakan bagian dari proses fisiologis kehamilan
seperti dipsneu deffort dan sesak napas pada saat tidur terlentang
dapat terjadi karena kapasitas paru yang berkurang karena
dorongan dari uterus yang membesar dan gallop dapat didengar
pada orang hamil. Namun adanya edema paru dan gambaran
kardiomegali memperjelas masalah komplikasi CHF sudah
terjadi. Masalah pneumonia sebaiknya juga perlu dipikirkan saat
itu berdasarkan gejala klinis dan radiologis yang ada dan
kerentanan pasien terhadap infeksi. Walaupun pemeriksaan
laboratorium leukosit menunjukkan peningkatan sedikit, namun
dapat juga merupakan bagian dari fisiologis kehamilan. Untuk
itu pemeriksaan sputum pada pasien perlu direncanakan.
Empat jam setelah kelahiran spontan, tekanan darah pasien
menurun dan tidak adanya perdarahan patologis. Pasien
kemudian dikonsulkan ke bagian kardiologi. Hasil
pemeriksaan kardiologi ditegakkan masalah syok kardiogenik,
dekompensasi kordis susp. PPHD, post partum dengan riwayat
PEB, gangguan fungsi hati, dan ARF ec. prerenal. Masalah syok
kardiogenik ditegakkan berdasarkan tekanan darah 100/60
mmHg dan akral dingin. Tetapi masalah ini dapat juga saja
terjadi karena pasien sudah mempunyai komplikasi jantung
yang berupa kardiomiopati, dekompensasi kordis dan adanya
hipertensi. Pada keadaan fisiologis, perubahan sirkulasi yang
membebani jantung dapat terjadi, sehingga kemungkinan pada
pasien dengan adanya tanda-tanda komplikasi ke jantung juga
dapat terjadi. Syok hipovolemik dalam kasus ini dapat
disingkirkan karena tidak ditemukan perdarahan yang banyak
postpartum. Penatalaksanaan pasien ini dengan drip
dobutamin sudah tepat dan secara klinis adanya perbaikan
hemodinamik. PPHD pada pasien ini adalah berupa
kardiomiopati (juga didukung hasil ekokardiografi).
Kardiomiopati dapat terjadi pada saat akhir kehamilan dan
biasanya akan kembali normal pada bulan keenam setelah
melahirkan. Masalah gangguan fungsi hati dan ARF, dapat
disatukan dengan PEB, karena PEB dapat meningkatkan
kenaikan enzim hati dan gangguan fungsi ginjal. Keadaan ini
bersifat reversibel karena biasanya setelah melahirkan PEB
akan hilang dan kenaikan enzim hati dan gangguan fungsi
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
Daftar Pustaka
Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan: Perubahan anatomi dan fisiologi
pada wanita hamil. Edisi ketiga. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1994.p.89
2. Crombleholme WR. Preeclampsia-eclampsia. In: Tierney LM, McPhee
SJ, Papadakis MA, eds. Current Medical Diagnosis & Treatment. USA:
McGraw-Hill Companies, 2002.p.788-90
3. Jota S. Kardiomiopati
Kardiomiopati. In: Soeparman, Waspadji S, editors. Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1996.p.1072-3
4. Felker GM, Thompson RE, Hake JM, et al. Underlying causes and longterm survival in patiens with initially unexplained cardiomyopathy.
Baltimore: John Hopkins School of Medicine, 2000.p.1077-84
5. Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan: Preeklampsia dan eklampsia. Edisi
ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
1994.p.281-300
6. Massie BM, Amidon TM. The cardiomyopathies. In: Tierney LM,
McPhee SJ, Papadakis MA, eds. Current Medical Diagnosis & Treatment
2002. USA: McGraw-Hill companies, 2002.p.441-3
7. Cardiovascular health and disease in women. Available from: http://
www.nejm.org. Diakses tanggal 3 Juni 2005
8. Wynne J, Braunwald E. The cardiomyopathies and myocarditides. In:
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL et al, eds. Harrisons Principles of
Internal Medicine. USA: McGraw-Hill companies, 2001.p.1359-61
9. Elkayam U, Tummala PP, Rau K, et al. Maternal and fetal outcomes of
subsequent pregnancies in women with peripartum cardiomyopathy.
Los Angeles: University of Southern California School of Medicine,
2001.p.1567-71
10. Peripartum cardiomyopathy. Available from: http://www.nejm.org.
Diakses tanggal 3 Juni 2005
11. Progress in defining the causes of idiopathic dilated cardiomyopathy. Available from: http://www.nejm.org. Diakses tanggal 3 Juni 2005
12. Underlying causes and survival in patients with heart failure. Available from: http://www.nejm.org. Accesed tanggal June 2005
1.
173
TINJAUAN PUSTAKA
Sindroma Churg-Strauss
Ismail Yusuf
PPDS IPD FKUI/RSCM
Jakarta
Pendahuluan
1-5
Vaskulitis
Vaskulitis adalah sekelompok penyakit dengan sekumpulan
klinis dan patologis yang ditandai dengan adanya inflamasi
pada dinding pembuluh darah arteri atau vena dengan
berbagai ukuran. Penyakit ini belum banyak dilaporkan, tetapi
dengan kemajuan pemeriksaan histopatologi dan imunologi,
penyakit ini mulai dijumpai.
Vaskulitis dapat diklasifikasikan menurut penyebabnya
yaitu primer dan sekunder (tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi sindrom vaskulitis
Primer
Wagener's Granulomatosis
Sindroma Churg-Strauss
Poliarteritis Nodosa
Poliangitis Mikroskopik
Giant Cell Artritis
Arteritis Takayasu
Purpura Henoc shnlein
Cutaneus Vaskulitis Idiopatik
Cryoglobulinemia
Sindrom Behet
Vaskulitis Sistem Saraf Pusat
Sindrom Cogan's
Penyakit Kawasaki
Sekunder
Sindrom Churg-Strauss2-5,7
Sindroma Churg-Strauss (SCS) adalah penyakit inflamasi pada
pembuluh darah kecil sampai sedang. Nama lainnya adalah
granulomatosis alergi dan angiitis. SCS juga merupakan bagian
dari sekelompok penyakit vaskulitis.1
SCS merupakan penyakit yang jarang. Dari suatu studi
didapatkan 30 kasus dalam 25 tahun. Rasio pria dibanding
174
Penyakit
Temporalis arteritis
Arteritis Takayasu
Poliarteritis Nodosa
Penyakit Kawasaki
Wagener's granulomatosis
Sindrom Churg-Strauss
Poliangiitis mikroskopik
Purpura Henoch Schnlein
Vaskulitis cryoglobulinemia esensial
Cutaneus leukocytoclasic angiitis
Patogenesa
4,5,9
1. Sindrom Vaskulitis
Terdapat 3 mekanisme terjadinya vaskulitis, yaitu:
A. Imun kompleks
B. Antineutrophilik cytoplasmic antibody (ANCA)
C. Respon limfosit T
1.A. Imun Kompleks
Beberapa jenis vaskulitis adalah berdasarkan mekanisme
imun kompleks. Walaupun diduga mekanisme vaskulitis
berdasarkan kompleks imun, tetapi penyebab imun
kompleks masih belum jelas ditemukan. Adanya kompleks
imun ini adalah berdasarkan bukti:
a. Terdapat lesi vaskuler seperti pada kondisi yang
disebabkan kompleks imun.
b. Pada pasien penderita vaskulitis, terdapat antigen atau
virus bersamaan dengan kompleks imun dan
komplemen pada sirkulasi.
c. Terdapat kompleks antiHBs dan HBsAg pada penderita,
begitu pula pada HCV.
Faktor lain yang diduga berperan pada terjadinya vaskulitis
adalah:
a. Menurunnya kemampuan sistem retikuloendotelial
untuk membersihkan kompleks imun.
b. Kelainan reseptor komplemen seperti CR1, CR3, dan CR4.
c. Faktor genetik yang berperan seperti HLA-DR2 pada
Wageners granulomatosis.
Contoh penyakit melalui mekanisme imun kompleks
adalah Purpura Henoch Schnlein, penyakit vaskular
kolagen, serum sickness, penyakit vaskulitis kutaneus,
poliarteritis nodosa, dan cryoglobulinemia.
1.B. Antineutrophilik cytoplasmic antibody (ANCA)
ANCA pertama sekali diperkenalkan oleh Davies pada
tahun 1982. Beliau mendeteksi ANCA pada 8 pasien
penderita necrotizing glomerulonephritis.
DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 20, Oktober - Desember 2007
2. Patogenesa SCS
Sindrom Churg-Strauss (SCS) atau angiitis alergi mengenai
otot pembuluh darah kecil sampai sedang yaitu dari arteri,
kapiler sampai venula dengan gambaran nekrosis
vaskulitis. Gambaran histopatologi angiitis adalah reaksi
granulomatous pada jaringan atau pada dinding pembuluh
darah di jaringan tersebut. Pada jaringan tersebut terdapat
infiltrasi eosinofil. Proses ini terjadi pada berbagai organ
seperti paru-paru, dimana terdapat infiltrat dan
perdarahan alveolar (gambar 2), kulit, sistem
kardiovaskular, ginjal, sistem saraf tepi, dan saluran cerna.
Walaupun patogenesis penyakit ini belum diketahui secara
pasti, namun terdapat hubungan yang erat dengan
penderita asma dan eosinofilia. Peningkatan eosinofil dan
2,4
IgE menunjukkan proses ini merupakan alergi tipe I.
Tetapi dengan ditemukannya ANCA, maka penyakit ini
juga merupakan penyakit autoimun, dimana ditemukan
autoantibodi terhadap neutrofil dan monosit, sehingga sel
tersebut mengeluarkan sitokin proinflamasi dan oksigen
reaktif yang menyebabkan kerusakan jaringan.
175
2-6
3. Peranan ANCA
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ANCA pertama
diperkenalkan pada tahun 1982. ANCA adalah antibodi spesifik
terhadap granula yang ada di dalam sitoplama neutrofil dan
monosit. Antibodi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan
mikroskop imunofluoresensi. Ada dua jenis ANCA yaitu
cytoplasmic-ANCA (c-ANCA) dan perinuclear-ANCA (p-ANCA).
Dengan pemeriksaan yang lebih spesifik lagi c-ANCA ditujukan
terhadap proteinase 3 (PR3-ANCA) sedangkan p-ANCA
ditujukan terhadap mieloperoksidase (MPO-ANCA). ANCA
berhubungan dengan vaskulitis pembuluh darah kecil, sehingga
dengan mengetahui pembuluh darah yang terkena ditambah
pemeriksaan ANCA dapat membantu menegakkan diagnosa
(gambar 3). Hubungan dengan vaskulitis pembuluh darah kecil
adalah c-ANCA banyak terdapat pada penyakit Wageners
granulomatosis. Sedangkan p-ANCA banyak terdapat pada
penyakit Sindrom Churg-Strauss dan poliangiitis mikroskopik.
Bagaimana ANCA dapat mencapai sitoplasma neutrofil atau
monosit masih belum jelas, tetapi diduga akibat TNF atau
IL- 1.
Small-vessel vasculitis
ANCA-associated
small-vessel vasculitis
Wegener's granulomatosis
Microscopic polyangitis
Churg-Strauss Syndrome
Granuloma present?
Yes
No
Asthma and
eosiophilia present?
Microscopic
polyangiitis
Yes
No
Churg-Strauss
Syndrome
Wegener's
granulomatosis
Non-ANCA-associated
small-vessel vasculitis
Henoch-Schnlein
serum cryoglobulin?
No
Henoch-Schnlein
purpura
Serum cryoglobulin?
Yes
Cryoglobulinemia
No
Other Non-ANCA
vasculitis (e.g.
inflammatory bowel
disease vasculitis)
Yes
4. Manifestasi Klinik
Gejala klinik biasanya tidak spesifik seperti demam,
lelah, tidak nafsu makan, dan penurunan berat badan.
Perjalanan penyakit ini melalui 3 tahap. Tahap I adalah
masa prodromal yang berlangsung lebih dari 10 tahun.
Gejala tahap ini adalah rinitis, asma, dan poliposis.
Tahap II berupa eosinofilia pada darah perifer dan
jaringan, sindroma Loeffler, pneumonia eosinofilik, atau
gastroenteritis eosinofilik. Tahap III adalah vaskulitis
sistemik. Gejala pernapasan adalah yang dominan,
berupa asma dan infiltrat pada paru. Gejala kedua
tersering adalah mononeuritis sebesar 72%. Gejala rinitis
mencapai 61%.
Lesi kulit berupa purpura, ptekie, nodul subkutan
mencapai 51% (gambar 4). Granulomatosis vaskulitis pada
pembuluh darah lambung dan usus dapat menyebabkan
infark dan akhirnya ulserasi atau perforasi. Komplikasi
jantung berupa arteritis pembuluh darah koroner mencapai
14% dan merupakan 50% menyebabkan kematian.
Komplikasi ginjal jarang terjadi. Berbeda dari penyakit
Wageners granulomatosis, pada SCS komplikasi ginjal lebih
jarang, lebih sering terjadi komplikasi neuropati dan
penyakit jantung.
5. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan eosinofil > 1000
sel/l pada 80% pasien. IgE > 200 U/ml. ANCA dapat
meningkat pada 70-90% pasien, terutama p-ANCA
(MPO-ANCA). LED biasanya meningkat. Pemeriksaan
lainnya adalah yang berhubungan dengan organ yang
terkena.
13
6. Pemeriksaan Lain
Rontgen thorax, rontgen sinus, dan EKG
7. Biopsi
Biopsi organ yang terkena dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Perubahan patologi khususnya
pada paru adalah vaskulitis nekrosis, dan granuloma
dengan eosinofil berada di tengah yang dikelilingi
10
makrofag dan sel raksasa epiteloid (gambar 5).
10
KESIMPULAN
2-7,10,11,14
8. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut The American of College of
Rheumatology 1990 adalah terdapat 4 dari 6 gejala yang
terdapat dalam tabel 3.
Tabel 3. Kriteria diagnosis menurut ACR 1990
9. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding seperti Wageners
granulomatosis, poliangiitis mikroskopik, cryoglobulinemia,
dan Purpura Henoch Schnlein seperti yang terlihat dalam
tabel 4.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
PHS
CV
PM
WG
SCS
+
-
+
-
+
-
+
+
-
+
+
+
4.
10. Pengobatan
Prinsip pengobatan vaskulitis adalah steroid. Pertama,
dosis induksi diberikan selama kurang lebih 3-4 minggu,
setelah itu diturunkan perlahan. Dosis steroid dimulai 1
mg/BB/hari dibagi 3-4 dosis. Dosis permulaan 7-10 hari,
setelah itu dapat diberikan pagi hari sampai 2 minggu
berikutnya, selanjutnya tergantung keadaan klinis. Bila
tidak ada respon, dapat dikombinasi dengan siklofosfamid
2
0,6 gr/m tiap bulan selama 18-24 bulan.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
177
TINJAUAN PUSTAKA
Abstarct. Introduction. Stroke remains a major health care problem. Stroke is the leading cause of death and
functional impairment. Hypertension is the major risk factor for cerebral infarction and haemorrhagic. The
understanding of the clinical course of hypertension in acute stage of stroke is important. This study aimed to
describe the profile of hypertension in acute phase of stroke.
Method. The desk analysis was performed to secondary data from stroke unit. Further review was performed
in 117 stroke patients. The data were analyzed descriptively. The data was presented in table and graphic.
The statistical package was used for analyzing the data.
Result. The data was obtained from stroke unit, the sample of 117 patients, consist of 58.5% male and 41.5%
female. The stroke pathology is ischemic in 66.7% cases and haemorrhagic in 33.3% cases. The mean age of
the patients was 60.8312.59 years old. Hypertensive state was found in 70.8% cases. The mean systolic
blood pressure was 168.218.4 mmHg and the mean diastolic blood pressure was 102.412.8 mmHg.
Conclusion. Hypertensive state is very common condition in acute stroke. The understanding of the clinical
course will be very important. The comorbidities with other cardiovascular risk factors is also very common.
Key words: hypertension, risk factor, stroke, comorbidities
Pendahuluan
Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama. Penelitian
di Amerika Serikat menunjukkan bahwa ada >700.000 insidens
stroke setiap tahunnya, dengan lebih dari 160.000 kematian
akibat stroke setiap tahunnya. Jumlah penderita stroke di
Amerika Serikat adalah 4,8 juta. Stroke adalah penyebab
kematian nomor tiga, dan penyebab kecacatan nomor satu.1
Pemahaman terhadap faktor risiko stroke akan sangat
membantu dalam tindakan pencegahan yang efektif. Faktor
risiko stroke diklasifikasikan sebagai berikut: tidak dapat
dimodifikasi, secara potensial dapat dimodifikasi, dan dapat
2
dimodifikasi. Hipertensi merupakan faktor risiko stroke (baik
hemoragik maupun non hemoragik) yang telah dibuktikan dari
3,4
berbagai penelitian epidemiologi. Hubungan antara kenaikan
tekanan darah dan risiko penyakit serebrovaskular adalah
5
bersifat konsisten sesuai dengan bertambahnya usia.
Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pasien
hipertensi seringkali kurang dikenali dan tidak mendapat
terapi yang adekuat. Penelitian epidemiologi memperlihatkan
bahwa hanya 70% populasi hipertensi di Amerika Serikat yang
mengetahui kondisi penyakitnya, 60% mendapat terapi, dan
178
dimodifikasi, secara
potensial dapat
dimodifikasi, dan dapat
dimodifikasi. 2 Hipertensi
merupakan faktor risiko stroke
(baik hemoragik maupun non
hemoragik) yang telah
dibuktikan dari berbagai
3,4
penelitian epidemiologi.
Metode
Penelitian dilakukan dengan menganalisis data sekunder unit
stroke RS Bethesda. Profil faktor risiko stroke merupakan hal
yang rutin dicatat pada pasien stroke akut. Pencatatan
dilakukan untuk data pencapaian sasaran mutu unit stroke.
Stroke didefinisikan sesuai dengan definisi WHO sebagai
defisit neurologis fokal/global yang terjadi mendadak akibat
gangguan peredaran darah otak. Diagnosis patologi stroke
didasarkan pada gambar pencitraan CT Scan kepala. Hipertensi
saat masuk, berdasarkan kriteria JNC 7 yaitu di atas 140 mmHg
pada tekanan darah sistolik atau diatas 90 mmHg pada tekanan
darah diastolik. Kelainan jantung diefinisikan sebagai bukti
kelainan irama jantung dengan EKG atau kenaikan enzim
jantung, atau kelainan lain dari hasil konsultasi dokter spesialis
jantung. Dislipidemia didefinisikan sebagai abnormalitas nilai
salah satu dari kolesterol total dan trigliserida. Sampel
sebanyak 117 untuk stroke pertama kali (bukan stroke rekuren)
yang ditetapkan telah memenuhi besar sampel minimal untuk
penelitian prevalensi.
Data akan diolah secara deskriptif dan analitik dengan
menggunakan paket program bantu statistik. Hasil yang
didapat akan ditunjukkan dalam bentuk tabulasi. Berbagai
hubungan antara faktor risiko, dan luaran klinik akan diolah
secara statistik dengan paket program bantu SPSS versi 10.
Hasil Penelitian
Data penelitian diperoleh dari data sekunder profil stroke
tahun 2005 dan 2006. Pada tahun 2005, unit stroke RS Bethesda
melayani 987 pasien, sementara tahun 2006 melayani 979
pasien stroke (lihat tabel 1).
2005
2006
Jumlah total pasien stroke
987
979
Jenis patologi
- non hemoragik
726 (73,6%) 684 (69,9%)
- hemoragik
261 (26,4%) 295 (30,1%)
Tidak hipertensi
Hipertensi
Pencatatan dilakukan
untuk data pencapaian
sasaran mutu unit
stroke.
179
Persentase
12,4%
8,4%
9,4%
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi
pada stroke fase akut adalah tinggi (71%). Hipertensi
merupakan faktor risiko stroke yang utama dan dapat
dimodifikasi. Penelitian telah membuktikan bahwa
pengendalian tekanan darah akan menurunkan kejadian stroke
secara signifikan kejadian stroke. Meta analisis terhadap uji
klinik menyimpulkan bahwa terapi penghambat saluran beta
10
dan diuretik cukup efektif dalam menurunkan risiko stroke.
Terapi anti hipertensi yang adekuat dihubungkan dengan
11,12
penurunan risiko stroke sebesar 35%-44%.
Beberapa penelitian mengamati perubahan tekanan darah
8
pada stroke fase akut. Penelitian Toyoda, dkk memperlihatkan
bahwa pada 6 hari pertama stroke fase akut, tekanan darah
akan mengalami perubahan yang bervariasi berdasarkan pada
sub tipe stroke. Stroke lakunar dan stroke aterotrombotik
memiliki rata-rata tekanan darah yang lebih tinggi. Penelitian
juga menunjukkan bahwa adanya hipertensi sebelumnya dan
komorbiditas diabetes melitus berhubungan dengan tekanan
darah sistolik dan tekanan darah diastolik yang relatif lebih
Kesimpulan
Penelitian menunjukkan bahwa proporsi hipertensi pada
stroke fase akut adalah cukup tinggi yaitu sebesar 71%.
Komorbiditas hipertensi dan faktor risiko lain umum dijumpai
pada pasien stroke. Sub tipe stroke ikut berperan terhadap
perubahan tekanan darah pada stroke fase akut.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
180
TINJAUAN PUSTAKA
Abstrak. Tembakau diidentifikasi sebagai penyebab berbagai penyakit seperti penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK), penyakit kardiovaskular, dan kanker paru. Tembakau merupakan penyebab kematian nomor dua
di dunia, sekitar 5 juta kematian setiap tahun. Saat ini, ada sekitar 1,3 milyar perokok di dunia, 84% berada
di negara berkembang. Kebanyakan perokok melaporkan awal menggunakan tembakau pada masa kanakkanak atau masa remaja.
Zat toksin yang terdapat dalam asap rokok di antaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif, tar yang bersifat
karsinogenik, serta CO yang berperan pada timbulnya aterosklerosis pembuluh darah. Kebiasaan merokok
merupakan faktor penting terjadinya kanker paru dan PPOK. Penyakit kardiovaskular yang dihubungkan
dengan merokok adalah penyakit jantung koroner, penyakit vaskular perifer, dan stroke. Sementara itu,
Environmental Tobacco Smoke (ETS) dikenal sebagai penyebab langsung penyakit paru pada dewasa dan
anak-anak. Perokok pasif memiliki risiko timbulnya kanker, penyakit paru, dan penyakit jantung iskemik.
Penatalaksanaan masalah merokok difokuskan pada terapi ketergantungan nikotin, terapi kebiasaan dan
terapi farmakologis. Untuk mengatasi adiksi nikotin direkomendasikan nicotine replacement therapy (NRT)
yang dapat dikombinasikan dengan obat antidepresan. Luasnya penggunaan tembakau yang dimulai sejak
usia remaja dan meningkatnya frekuensi penyakit yang berkaitan dengan merokok pasif menuntut upaya
pencegahan merokok sejak dini.
Kata kunci: tembakau, merokok, environmental tobacco smoke
Pendahuluan
Dalam 20 tahun terakhir, ketika angka merokok menurun di
negara maju, industri tembakau telah menemukan pasar yang
baru dan lebih besar di negara berkembang. 1 Tembakau
diidentifikasi sebagai penyebab berbagai macam penyakit
seperti PPOK, penyakit kardiovaskular, kanker paru dan
sejumlah kanker tertentu. Tembakau merupakan penyebab
kematian nomor dua di dunia, sekitar 5 juta kematian setiap
tahun atau 1 di antara 10 kematian dewasa. Jika kecenderungan
ini terus berlanjut, diproyeksikan pada tahun 2020 akan
membunuh 10 juta orang/tahun, dengan 70% kematian terjadi
di negara berkembang.2 Pengguna tembakau jangka panjang
akan menyebabkan 50% kemungkinan kematian prematur
akibat penyakit yang berhubungan dengan tembakau.3 Studi
lain menunjukkan sepertiga orang dewasa yang merokok
secara teratur akan meninggal karena penyakit yang
berhubungan dengan merokok. Penyebab kematian penting
adalah penyakit vaskular aterosklerotik, kanker, dan PPOK.1
Menurut WHO, pada awal tahun 1990-an, 1,1 milyar orang
menggunakan tembakau yang merepresentasikan sepertiga
populasi penduduk dewasa di dunia.3 Saat ini, ada sekitar 1,3
milyar perokok di dunia, 84% berada di negara berkembang.1
Penggunaan tembakau di negara berkembang meningkat,
sebanyak 48% pria dan 7% wanita menggunakan tembakau
secara rutin.3 Di negara maju, penggunaan tembakau oleh
perempuan mengalami peningkatan bermakna, 42% laki-laki
dan 24% wanita menggunakan tembakau secara rutin. Anak184
Merokok dapat
menyebabkan perubahan
struktur dan fungsi
saluran napas dan
jaringan paru.7 Pada
saluran napas besar, terjadi
hipertrofi sel mukosa dan
hiperplasia kelenjar mukus.
Pada saluran napas kecil,
terjadi radang ringan hingga
penyempitan akibat
bertambahnya sel dan
penumpukan lendir. Pada
jaringan paru, terjadi
peningkatan jumlah sel
radang dan kerusakan alveoli.
darah sebesar 15%. Meskipun persentase CO rendah, tetapi
menaikkan tekanan darah secara bermakna yang akan
berpengaruh pada sistem pertukaran Hb.8 CO menimbulkan
desaturasi Hb, menurunkan langsung persediaan O2 untuk
jaringan seluruh tubuh termasuk otot jantung. 7 CO
menggantikan tempat O 2 di Hb, mengganggu pelepasan
oksigen, dan mempercepat aterosklerosis. CO menurunkan
kapasitas latihan fisik, meningkatkan viskositas darah,
sehingga mempermudah penggumpalan darah.
Kandungan tar pada rokok berkisar antara <1-35 mg. 8
Kandungan tar pada rokok di negara berkembang cukup
tinggi. Di Cina, Indonesia dan India misalnya, kandungan tar
berkisar antara 19-33 mg, sedang di negara-negara industri,
kandungan tar berkisar antara 0.5-20 mg. Tar bersifat
karsinogenik. Partikel asap rokok yang juga bersifat
karsinogenik adalah benzopiren, dibenzopiren, benza antracene,
dan uretan.7
Rokok sigaret menghasilkan 1.2-2.9 mg nikotin, dan
merokok sebungkus rokok tertentu per hari berarti menyerap
20-40 mg nikotin setiap hari, meningkatkan konsentrasi plasma
23-35 ng/ml. 1 Absorpsi nikotin dari inhalasi asap rokok
berlangsung cepat, sebuah bolus nikotin mencapai otak dalam
waktu 10-16 detik.2 Nikotin mengaktivasi reseptor asetilkolin
nikotinik yang memicu pelepasan dopamin. Perokok akan
185
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan masalah merokok memfokuskan pada terapi
ketergantungan nikotin, terapi kebiasaan dan terapi
2
farmakologis. Panduan praktek klinik merekomendasikan
Nicotine Replacement Therapy (NRT) untuk adiksi nikotin.
Substitusi nikotin, dalam bentuk nicotine patch, nasal spray, gum,
lozenge, sublingual tablet, dan inhaler, digunakan secara bertahap
untuk mengurangi paparan nikotin, menghindari gejala
Kesimpulan
Meskipun telah ada panduan terapi tersebut, bagi banyak
perokok, menghentikan kebiasaan merokok bukan sebuah
2
pilihan mengingat tingginya adiksi nikotin. Luasnya
penggunaan tembakau yang dimulai sejak usia remaja dan
meningkatnya frekuensi penyakit yang berkaitan dengan ETS
menuntut upaya pencegahan merokok sejak dini. Untuk itu,
diperlukan sikap sosial dan kebijakan yang ditujukan untuk
1
menurunkan angka penggunaan tembakau. Seiring dengan
kebijakan WHO, pemerintah hendaknya melaksanakan
2
monitoring dan pengaturan masalah tembakau. Asosiasi
dokter, organisasi kesehatan masyarakat, dan kelompok
konsumen perlu melobi dalam hal pembatasan merokok di
lingkungan publik, pembatasan iklan, peningkatan harga
melalui pajak, peningkatan kesadaran akan bahaya merokok
1
bagi kesehatan. Pendidikan tentang efek merokok bagi
kesehatan harus diberikan pada semua pasien yang merokok.
Pasien harus dilengkapi dengan berbagai pilihan dan nasihat
yang akan menjauhkan mereka dari bahaya merokok dan
adiksi nikotin.
Daftar Pustaka
1.
187
188
189
KALENDER PERISTIWA
1. KONKER and Annual Meeting of Nephrology 2007
Tanggal: 01 - 04 November 2007
Tempat: Hotel Quality, Solo
Sekretariat:
SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/RSDM
Telp.: 0271-654513, 7008823
Faks: 0271-654513
E-mail: pernefri2007@yahoo.com
Contact Person: Tri Wahyuningsih (0812-2586744)
Kuswardari (0813-9511388)
2. Kongres Nasional VI dan Pertemuan Ilmiah
Tahunan VI Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi
Klinik (PDS PATKLIN)
Tema: Good Laboratory Practice for Better Health Care
Tanggal: 01 - 04 November 2007
Tempat: Clarion Convention Hall, Makassar
Sekretariat:
PDS KATLIN Cabang Makassar, Bagian Patologi Klinik
FK UNHAS RS DR Wahidin Sudirohusodo
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11 Makassar
Telp.: 0411-582678
Faks: 0411-581226
E-mail: pdspatklin_mks@yahoo.com
3. Simposium & Workshop Adolescent Health I
Tanggal: 01 - 03 November 2007
Tempat: Hotel Grand Hyatt, Bandung
Sekretariat:
Bagian IKA FKUP-RSHS, Jl. Pasteur No. 38 Bandung
Telp.: 022-2031420, 2034426
Faks: 022-2031051, 2035957
4. Symposium on Current Diagnosis and Treatment
in Internal Medicine 2007: Practical Guideline in
Daily Practice
Tanggal: 03 - 04 November 2007
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta
Sekretariat:
CME Penyakit Dalam FKUI
Telp.: 021-3142108
Faks: 021-3914830
E-mail: ipdfkui@pacific.co.id
5. P2B2 ke-5 2007 (PABI)
Tanggal: 06 - 10 November 2007
Tempat: Hotel Lor In, Solo
Sekretariat:
Bagian Bedah RS Dr. Moewardi Surakarta, Jl. Kolonel
Sutarto No. 132 Solo
Telp.: 0271-664053
Faks: 0271-664053
E-mail: ikabiska@indo.net.id atau
pabi_solo@telkom.net.id
Contact Person: R Agus Tri Harmoko (0815-6700729)
Edhy Hendrartho (0271-5831295)
6. PIT Otologi II (PITO II) PERHATI-KL
190
fariedhp@yahoo.com
11.Quantum Nutrition 2007
Tanggal: 16 - 18 November 2007
Tempat: Hotel Crowne Plaza, Jakarta
Sekretariat:
Geoconvex Office & Mailing Address
Jl. Kebon Sirih Timur 4 Jakarta Pusat 10340
Telp.: 021-3149318, 3149319, 2305835
Faks: 021-3153392
E-mail: marketing@geoconvex.co.id
12.Stroke and Neuroimaging Update 2007, PIN II
PDSNI, PN II PERDOSSI
Tanggal: 21 - 24 November 2007
Tempat: Hotel Clarion, Makassar
Sekretariat:
Panitia PIN II PDSNI & PN II Stroke & PN II
Neuroimaging PERDOSSI SMF IPD FK - UNHAS/
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Jl. Perintis
Kemerdekaan km. 11 Makassar 90 & 45
Telp.: 0411-585560, 582837
Faks: 0411-582837
E-mail: pdsni2007@yahoo.co.id
13.Jakarta Diabetes Meeting (JDM) 2007 & the 9th Symposium Molecular Diabetology in Asia Mercure
Convention Center Ancol, Jakarta
Tanggal: 24 - 25 November 2007
Tempat: Mercure Convention Center Ancol, Jakarta
Sekretariat:
Division of Endocrinology and Metabolism Department
of Medicine FKUI-RSCM
Jl. Salemba 6, Jakarta 10430
Telp.: 021-3907703, 3100075
Faks: 021-3928658-59
E-mail: endo_id@indo.net.id,
endocrin@rad.net.id
14.18th Biennial Congress Association of Thoracic &
Cardiovascular Surgeons of Asia (ATCSA)
Tanggal: 25 - 28 November 2007
Tempat: Bali International Convention Center, Nusa
Dua Bali
Sekretariat:
National Cardiovascular Center Harapan Kita Main
Building, 4th floor
Jl. Letjend. S. Parman kav. 87 Slipi, Jakarta 11420
Indonesia Pacto Convex Ltd. Lagoon Tower, Level B1 the Sultan hotel, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270
Telp.: 021-56944608, 5681111 ext 1470
Faks: 021-5665993, 5705798
E-mail: farmasetika@fa.itb.ac.id
Contact Person:
Ms. Rahayu Sherly / Ms. Anna Farida
Website: http://www.atcsa2007.org
191
PENELUSURAN JURNAL
Effect
Fluticasone
Ampicillin/Sulbactam.
Respiratory distress in the newborn. American Academy of Family Physicians 2007; 76:987-94
Molecular
Sex
192
2007; 357(14):1422-30
of the hip. NEJM 2007; 357(14):141321
Donepezil for the treatment of agitation in alzheimers
disease. NEJM 2007; 357(14):1382-92
Pioglitazone and rosiglitazone have different effects
on serum lipoprotein particle concentrations and
sizes in patients with type 2 diabetes and
dyslipidemia. Diabetes Care 2007; 30:2458-64
Prepregnancy diabetes and risk of placental cascular
disease. Diabetes Care 2007; 30(10):2496-8
Treatment of children persistently infected with hepatitis B virus: seroconversion or suppression. http://
jac.oxfordjournals.org/cgi/reprint/dkm362v1.pdf
Osteoarthritis