Anda di halaman 1dari 26

SKRINING FITOKIMIA DARI BIJI PEPAYA (Carica papaya L.

Oleh :
Kelompok III
Ardita

15.01.234

Lisa Fitriani

15.01.237

Anggun Ekaputri

15.01.279

Dwina Ramadhani

15.01.278

Nurmaningsi Yunus

15.01.250

Indah Kadullah

15.01.251

Nurhidayat Mustamin

15.01.367

Devi Sandi

15.01.265

Elia Dede Wonga

15.01.291

M. Eko Pranoto

15.01.264

ASISTEN : HAMDAYANI L. A, S.Si., Apt

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


MAKASSAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaan sumber daya
alam yang melimpah. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki tersebut
kemudian banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan hidup
sehari-hari diantaranya sebagai tanaman obat, salah satunya adalah tanaman
pepaya.
Pepaya merupakan salah satu komoditas hortikultura Indonesia yang
memiliki berbagai fungsi dan manfaat. Sebagai buah segar, pepaya banyak
dipilih konsumen karena selain harganya yang relatif terjangkau, juga
memiliki kandungan nutrisi yang baik. Untuk buah segar, buah pepaya siap
dipanen 163 hari setelah bunga mekar atau setelah kulit buahnya berwarna
merah 25-30%.
Produksi pepaya dari tahun ke tahun meningkat. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik tercatat pada tahun 2010 produksi pepaya di Indonesia
sebanyak 675.801 ton dan mengalami peningkatan pada tahun 2011 sebanyak
955.078 ton. Angka ini kemungkinan akan terus bertambah dari tahun ke
tahun karena budidaya pepaya yang mudah dan sangat cocok dengan iklim di
Indonesia. Penambahan jumlah produksi ini sejalan dengan jumlah limbah
biji pepaya yang dihasilkan. Sampai saat ini, limbah biji pepaya belum
banyak dimanfaatkan di masyarakat.
Menurut Harborne (1984) guna memperoleh informasi lebih awal
mengenai kelompok senyawa metabolit sekunder dapat diidentifikasi dengan
metode fitokimia. Sejalan dengan hal tersebut Robinson (1991) menyatakan
bahwa, metode ini diawali dengan mengisolasi kandungan senyawa metabolit
sekunder tersebut menggunakan metode ekstraksi pelarut seperti maserasi dan
partisi. Untuk mengetahui golongan senyawa dilakukan penapisan fitokimia.
Penapisan fitokimia dimaksudkan sebagai pemeriksaan pendahuluan tentang
kandungan kimia tumbuhan (Carica papaya L.) yang berkhasiat.

Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit


sekunder seperti alkaloid, saponin, flavonoid, steroid, triterpenoid, kumarin
dan lain-lain. Tumbuhan pepaya belum diketahui secara detail kandungan
metabolit sekundernya, maka perlu dilakukan uji fitokimia pada biji pepaya
(Carica papaya L.) untuk mengetahui senyawa metabolit sekundernya,
sehingga dapat diketahui potensi tumbuhan tersebut. Dengan demikian upaya
pelestariannya dapat dimanfaatkan lebih besar dan lebih baik.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apakah biji pepaya (Carica papaya L.) dapat diekstraksi menggunakan
metode maserasi dengan pelarut etanol 96% ?
2. Apakah kandungan metabolit sekunder dari ekstrak etanol biji pepaya
(Carica papaya L.) ?
I.3 Tujuan Percobaan
1. Untuk mengekstraksi simplisia biji pepaya (Carica papaya L.)
menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 96%.
2. Menentukan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak etanol biji
pepaya (Carica papaya L.).
I.4 Manfaat Percobaan
1. Meningkatkan nilai komersil dari biji pepaya di kalangan masyrakat
sebagai bahan yang kaya akan khasiat.
2. Menambah informasi kepada mahasiswa lain akan kandungan metabolit
sekunder biji pepaya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1

Tumbuhan Pepaya (Carica papaya (L.))

Gambar 1. Pohon Pepaya

Gambar 2. Buah Pepaya

Gambar 3. Biji Pepaya


II.1.1 Klasifikasi Tumbuhan
Regnum
Divisi
Class
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Plantae
: Spermatophyta
: Dicotyledoneae
: Cistales
: Caricaceae
: Carica
: Carica pepaya L.

II.1.2 Nama Daerah


Kabaelo, peute, pertek, pastelo, batiek, kepaya (Sumatera), majan,
bandas, manjan, badas (Kalimantan), gedang (Sunda), betik, kates, telo
gantung (Jawa), padu, gedang, kates, paja, hango, kaut, panja (Nusa
Tenggara), kaliki, kapalay (Sulawesi), tele, palaki, papae, papaino, kapaya
(Maluku), sampain, asawa, menam, siberani, tapaya (Inggris).
II.1.3 Kandungan Senyawa Kimia
Kandungan buah pepaya masak (100 g): kalori 46 kal, vitamin A
356 SI, vitamin B1 0,04 mg, vitamin C 78 mg, kalsium 23 mg, Fosfor 12
mg, hidrat arang 12,2 g, protein 0,5 mg, besi 1,7 mg, air 86,7 g.
Kandungan buah pepaya muda (100 g): kalori 26 kal, lemak 0,1 g,
protein 2,1 g, hidrat arang 4,9 g, kalsium 50 mg, fosfor 16 mg, besi 0,4
mg, vitamin A 50 SI, vitamin B1 0,02 mg, vitamin C 19 mg, air 92,4 g.
Daun pepaya (100 g): vitamin A 18,520 SI, vitamin B1 0,15 mg,
vitamin C 140 mg, kalsium 353, fosfor 63 mg, hidrat arang 11,9 g.
Biji pepaya mengandung glucoside cacirin, getah (laktes), papain,
chymopapain, lisosim, lipase, glutamin dan siklotransferase.
II.1.4 Ekologi dan Penyebaran
Papaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang cukup banyak
dibudidayakan di Indonesia. Di Indonesia, tamanan pepaya dapat tumbuh
dari dataran rendah sampai daerah pegunungan 1000 mdpl. Negara
penghasil pepaya antara lain Kosta Rika, Republik Dominika, Puerto
Riko, Brazil, India, dan Indonesia.
II.1.5 Morfologi Tumbuhan
Tanaman pepaya merupakan herba menahun dan tingginya mencapai
8 m. Batang tak berkayu, bulat, berongga, bergetah dan terdapat bekas
pangkal daun. Dapat hidup pada ketinggian tempat 1m- 1.000m dari
permukaan laut dan pada suhu udara 22C-26C. Pada umumnya semua
bagian dari tanaman baik akar, batang, daun, biji dan buah dapat
dimanfaatkan (Warisno, 2003).
II.1.6 Kegunaan (Plantamor, 2015)
Akar digunakan untuk pengobatan: cacingan (cacing kremi), tidak
datang haid, batu ginjal, radang ginjal, sakit kandung kemih, encok dan

digigit ular berbisa.


Biji digunakan untuk pengobatan: cacingan (cacing gelang), dispedia
(kembung, mual, nyeri lambung), pembesaran hati dan limfa, serta
penyakit kulit.
Buah matang digunakan untuk mengatasi: pencernaan terganggu,
sakit maag, tidak nafsu makan, sariawan dan sembelit.
Buah mengkal digunakan untuk: sembelit, urin sedikit dan ASI
sedikit.
II.2 Uraian Golongan Senyawa Kimia
II.2.1

Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan
sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi
manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol
yang digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harbone, 1987).

II.2.2

Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali
dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Di samping
itu, sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda
kelas. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mulamula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Kemudian
diikuti dengan pemeriksaan ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis
secara kromatografi (Harbone, 1987).

II.2.3

Saponin
Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi. Keberadaan saponin
sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air
apabila dikocok minumbulkan buih yang stabil. Saponin adalah senyawa
berasa

pahit,

menusuk

dan

menyebabkan

bersin

dan

mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir (Gunawan, 2004).

sering

II.2.4

Fenol
Istilah senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari
tumbuhan, yang mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang
mengandung satu atau dua penyulih hidroksil. Senyawa fenol cenderung
mudah larut dalam air karena umumnya mereka sering kali berikatan
dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel.
Cara klasik untuk mendeteksi senyawa fenol sederhana ialah dengan
menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol kepada
larutan cuplikan. Semua senyawa fenol berupa senyawa aromatik
sehingga semuanya menunjukkan serapan kuat di daerah spektrum UV
(Harborne, 1987).

II.3 Ekstrak, Maserasi dan Cairan Pelarut


II.3.1

Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati ataupun hewani menggunakan
pelarut yang sesuai (Depkes RI, 1995).
Menurut Voigt (1995) berdasarkan atas sifatnya, ekstrak dapat
dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu:
a. Ekstrak encer (Extractum tennue) sediaan ini memiliki konsentrasi
seperti madu dan dapat dituang.
b. Ekstrak kental (Extractum spissum) sediaan ini dilihat dalam
keadaan dingin dan tidak dapat diulang, kandungan airnya berjumlah
sampai 30%.
c. Ekstrak kering (Extractum siccum) sediaan ini memiliki konsentrasi
kering

dan

mudah

digosokkan,

melalui

penguapan

cairan

pengekstraksi dan pengeringan, sisanya akan terbentuk suatu produk


yang sebaliknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%.
d. Ekstrak cair (Extractum fluidum) adalah sediaan cair simplisia
nabati, yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai
pengawet.

II.3.2 Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga
sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di
luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar
sel dengan larutan di dalam sel.
Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol,
atau pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah
timbulnya kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan
pada awal penyarian. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah
cara pengerjaan dan peralatan sederhana. Kerugian cara maserasi adalah
pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna.
II.3.3 Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstraksi adalah pelarut yang
baik untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan atau senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar
senyawa kandungan yang diinginkan (Depkes RI, 2000).
Pemilihan pelarut juga didasarkan pada senyawa yang akan
diekstraksi. Salah satu pelarut yang sering digunakan adalah etanol. Etanol
tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki
stabilitas

bahan

obat

terlarut.

Keuntungan

lain,

etanol

mampu

mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Umumnya yang


digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran bahan pelarut
yang berlainan, khususnya campuran etanol-air. Etanol sangat efektif
dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal dimana bahan
pengganggu hanya skala kecil yang turut ke dalam cairan pengekstraksi.

Etanol dipertimbangkan sebagai cairan penyari karena lebih selektif,


kapang dan bakteri sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun,
netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala
perbandingan, panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih tinggi
(Depkes, 1986).
Air dipertimbangkan sebagai penyari karena murah dan mudah
diperoleh, stabil, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak
beracun, alamiah. Kerugian penggunaan air sebagai penyari yaitu tidak
selektif, sari dapat ditumbuhi kapang dan kuman serta cepat rusak, untuk
pengeringan diperlukan waktu lama (Depkes, 1986).
II.4 Pembuatan Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain
simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan atau mineral.
II.4.1 Tahapan pembuatan simplisia
a. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara
lain tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman
atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen, lingkungan
tempat tumbuh.
Panen dapat dilakukan dengan tangan, menggunakan alat atau
menggunakan mesin. Alat atau mesin yang digunakan untuk memetik
perlu dipilih yang sesuai. Alat yang terbuat dari logam sebaiknya tidak
digunakan bila diperkirakan akan merusak senyawa aktif simplisia
seperti fenol, glikosida dan sebagainya.
b. Sortasi basah
Dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang
dibuat dari akar suatu tanaman obat. Tanah mengandung bermacam-

macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu


pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi
jumlah mikroba awal.
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan
dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM.
Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air
mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu yang sesingkat
mungkin.
d. Perajangan
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah
proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang
baru diambil jangan langsung dirajang, tetapi dijemur dalam keadaan
utuh selama satu hari. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau,
dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau
potongan dengan ukuran yang dikehendaki.
e. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang
tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih
lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi
enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.
Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat
merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya.
Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar
matahari atau menggunakan suatu alat pengering. Cara pengeringan
yang salah dapat mengakibatkan terjadinya face hardening, yakni
bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih
basah. Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisia dan cara
pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30
sampai 90C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60C.

f. Sortasi kering
Tujuan sortasi kering untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoranpengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering.
g. Pengepakan dan penyimpanan
Tujuan sortasi kering untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoranpengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering.
II.5 Fraksinasi
Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari
campuran (padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa
jumlah kecil (fraksi) komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian
atau pemisahan ini didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih
berat akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada
diatas. Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti
eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut.
Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang
penting dan dapat diekstraksi dengan pelarut organik (Adijuwana dan Nur
1989).
Ekstraksi cair-cair adalah metode pemisahan dengan menggunakan dua
cairan pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga senyawa tertentu
terpisahkan menurut kesesuaian sifat dengan cairan pelarut (prinsip solve
dissolve like).
Ekstraksi Cair Padat merupakan metodepartisicairpadat dengan cara
ekstrak ditambahkan pelarut dan dihomogenkan dengan magnetic stirrer
kemudian disentrifus sehingga terpisah antara pelarut sebagai supernatant
dan bagian yang tidak larut sebagai endapan. Pengerjaan dilakukan berulang
sehingga proses partisi sempurna. Untuk mendapatkan hasil pemisahan yang
baik, ekstrak etil asetat dan endapan dimonitor profil komponen kimianya

dengan menggunakan kromatografi lapis tipis.


II.6 Kromatografi Lapis Tipis
Teknik ini dikembangkan tahun 1938 oleh Ismailoff dab Schraiber.
Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai fase diam.
Fase bergerak dan merayap seanjang fase diam dan terbentuklah
kromatogram. Metode ini sederhana, cepat dalam pemisahan dan sensitif.
Kecepatan pemisahan tinggi dan mudah untuk memperoleh senyawa
senyawa terpisahkan (Khopkar, 1990).
Biasanya yang digunakan sebagai materi pelepasnya adalah silika
gel, tetapi kadangkala bubuk selulosa dan tanah diatome, kieselguhr juga
dapat digunakan. Untuk fase diam hidrofilik dapat digunakan pengikat
seperti semen paris, kanji, dispersi koloid plastik, silika terhidrasi. Sekarang
ini telah banyak tersedia kromatografi lapis tipis siap pakai yang dapat
berupa gelas kaca,yang telah terlapisi, kromatotube, dan sebagainya. Kadar
air dalam lapisan ini harus terkendali agar didapat hasil analisis yang
reprodusibel (Khopkar, 1990).
Pemilihan sistem pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh
prinsip kromatografi yang akan digunakan. Untuk meneteskan sampel yang
akan digunakan menggunakan mikro-syringe (penyuntik ukuran mikro).
Sampel diteteskan pada salah satu bagian tepi pelat kromatografi (sebanyak
0,01-10 g zat). Pelarut harus non-polar dan mudah menguap. Kolom-kolom
dalam pelat dapat diciptakan dengan mengerok lapisan vertical searah
gerakan pelarut. Teknik ascending digunakan untuk melepaskan pemisahan
yang dilakukan pada suhu kamar sampai permukaan pelarut mencapai tinggi
15-18 cm. Waktu yang diperlukan antara 20-40 menit. Semua teknik yang
digunakan untuk kromatografi kertas dapat dipakai juga untuk kromatografi
lapis tipis. Resolusi KLT jauh lebih tinggi dari pada kromatografi kertas
karena laju difusi yang luar biasa kecilnya pada lapisan pengadsorpsi
(Khopkar,1990).
Zat-zat warna dapat terlihat langsung, tetapi dapat juga digunakan
reagent penyemprot untuk melihat bercak suatu zat. Untuk menempatkan

posisi suatu zat, reagen dapat juga disemprotkan pada bagian tepi saja.
Bagian yang lainnya dapat diperoleh kembali tanpa pengotoran dari reagent
dalam pengerokan setelah pemisahan selesai (Khopkar, 1990).
Untuk analisis kuantitatif dapat digunakan plot fotodensitometer.
Analisisnya dapat dilakukan dengan spektrofotometer UV, sinar tampak, IR
atau fluorosens atau dengan reaksi dengan kolorimeter dengan reagent
kromogenik (Khopkar, 1990).
Aplikasi KLT sangatlah luas. Senyawa-senyawa yang tidak mudah
menguap serta terlalu labil untuk kromatografi cair dapat dianalisis dengan
KLT. KLT dapat pula untuk memeriksa adanya zat pengotor dalam pelarut.
Ahli kimia forensik menggunakan KLT untuk bermacam pemisahan.
Pemakaiannya juga meluas dalam pemisahan organik (Khopkar, 1990)

BAB III
METODE KERJA
III.1

Waktu dan Tempat Praktikum


Praktikum ini dilakukan pada bulan Oktober - Januari 2015/2016 di
Laboratorium Biologi Farmasi STIFA-AKFAR Makassar.

III.2
III.2.1

Alat dan Bahan


Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah lumpang, stamper,
bejana maserasi, cawan porselen, gelas ukur, pipet tetes, raktabung,
tabung reaksi, timbangan analitik, corong pisah, chamber, plat klt (silica
gel).

III.2.2

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah etanol
96%, aquadest, n-heksan, metanol, simplisia biji pepaya, kertas saring,
label.

III.3
III.3.1

Penyiapan Sampel
Pengambilan sampel
Sampel yang digunakan pada praktikum ini adalah biji pepaya
bangkok yang berasal dari Kota Makassar pada bulan Oktober 2015.

III.3.2

Pembuatan simplisia
Biji pepaya dipisahkan dari kulit dan daging buahnya, dicuci bersih
di bawah air mengalir, ditiriskan kemudian dikeringkan hingga kadar
airnya mencapai 10%, selanjutnya dihaluskan dengan cara digerus kasar.
Hasil gerusan kemudian disimpan dalam wadah tertutup kedap untuk
dipakai pada pelakuan selanjutnya.

III.3.4

Pembuatan Ekstrak
Simplisia biji pepaya diekstraksi menggunakan metode maserasi
dengan pelarut etanol 96% selama 3 hari dengan sesekali dilakukan

pengadukan. Rendaman kemudian disaring lalu filtrat diuapkan hingga


diperoleh ekstrak.
III.4

Uji Fitokimia (Harborne, 1987)

III.4.1 Uji Flavonoid


Sampel diambil 1 g dan ditambahkan serbuk magnesium
secukupnya untuk mengoksidasi sampel. Ditambahkan 10 tetes asam
klorida 5 N. Keberadaan flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna
hitam kemerahan pada larutan.
III.4.2

Uji Tannin
Ekstrak diambil 1 g dan ditambahkan dengan 10 ml air panas,
kemudian ditetesi menggunakan besi (III) klorida, keberadaan tannin
dalam sampel ditandai dengan timbulnya warna hijau kehitaman.

III.4.3

Uji Alkaloid
Ekstrak diambil 1 g dan ditambahkan 1 ml kloroform dan 5 ml
ammonia 10%, lalu ditambahkan 10 tetes asam sulfat 2 N untuk
memperjelas pemisahan terbentuknya 2 fase yang berbeda. Fase bagian
atas diambil, kemudian ditambahkan reagen mayer. Keberadaan alkaloid
dalam sampel ditandai dengan terbentuknya endapan merah.

III.4.4

Uji Saponin
Ekstrak diambil 1 g dan ditambahkan dengan 10 ml aquadest
kemudian dikocok kuat selama kurang lebih 1 menit. Selanjutnya
didiamkan selama 10 menit dan diamati buih atau busa yang terbentuk.
Keberadaan

senyawa

saponin

dalam

sampel

ditandai

dengan

terbentuknya buih yang stabil selama 10 menit dengan tinggi 3 cm, dan
tidak hilang hilang setelah penambahan HCl.
III.4.5

Uji Steroid
Ekstrak diambil 1 g dan ditambahkan dengan 1 ml kloroform.
Setelah itu campuran dikocok. Masing-masing asetat anhidrat dan asam
sulfat pekat sebanyak 2 tetes ditambahkan pada filtrat, perubahan warna
merah pada larutan pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan
hijau menunjukkan reaksi positif.

III.5

Fraksinasi Biji Pepaya


Hasil ekstrak kental yang diperoleh saat ekstraksi, kemudian
dilakukan pengujian kelarutan sampel. Sampel yang diperoleh larut dalam
pelaut metanol, etanol 96% dan n-heksan. Sampel kemudian dilarutkan
pada pelarut etanol 96% lalu ditambahkan n-heksan. Lalu selanjutnya
dilakukan prosedur ekstraksi cair-cair. Kemudian diperoleh fraksi etanol
96% dan fraksi n-heksan, lalu kemudian diuapkan.

III.6

Kromatografi Lapis Tipis


Hasil fraksinasi yang diperoleh kemudian diuapkan sampai diperoleh
ekstrak kental atau ekstrak kering. Kemudian dicairkan kembali
menggunakan etanol 96%. Lalu dilakukan penotolan pada lempeng klt
yang sebelumnya sudah diaktifkan. Selanjutnya dielusi menggunakan
eluen n-heksan : etil asetat (7 : 3). Diamati di bawah lampu UV 254 dan
365 dan dihitung nilai Rf.

BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1

Ekstraksi Biji Pepaya


Buah pepaya yang diperoleh berasal dari tempat yang sama yaitu dari
daerah Sudiang, Makassar. Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya
ketidakseragaman bahan yang digunakan sehingga hasil yang akan diperoleh
tidak berbeda. Sampel yang digunakan adalah bagian biji dari buah pepaya.
Sampel yang telah dikumpulkan lalu dipisahkan dari kulit dan daging
buah yang melekat. Selanjutnya sampel dicuci dengan menggunakan air
bersih yang mengalir. Setelah dicuci sampel ditiriskan agar kadar air tidak
banyak yang tertinggal. Lalu sampel ditimbang berat basahnya. Kemudian
sampel diletakkan di atas kertas lalu dikeringkan di bawah sinar matahari
langsung dengan ditutupi kain penutup (kain hitam). Proses pengeringan
dilakukan selama kurang lebih 1 minggu. Setelah kering, simplisia dipisahkan
dengan kemungkinan adanya pengotor. Selanjutnya simplisia diperkecil
ukuran partikelnya untuk memperbesar luas permukaan simplisia sehingga
proses ekstraksi lebih efektif dan efisien (Depkes, 2000).
Ekstraksi biji dilakukan dengan metode maserasi. Dipilih maserasi
karena maserasi merupakan cara penarikan zat aktif yang tidak menggunakan
pemanasan sehingga kandungan senyawa yang terdapat dalam biji pepaya
dapat terhindar dari kerusakan akibat proses pemanasan selama proses
ekstraksi. Selain itu maserasi juga memiliki keuntungan cara dan
peralatannya mudah dilakukan dengan alat-alat yang sederhana dan
memungkinkan semua simplisia kontak dengan cairan penyari.
Dimasukkan sebanyak 100 gram serbuk simplisia biji pepaya ke dalam
bejana kaca kemudian ditambahkan dengan etanol 96%. Pelarut yang tak
berwarna (bening) akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga
sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut (warna larutan penyari
menjadi merah kehitaman) dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang

terpekat didesak keluar. Alasan menggunakan pelarut etanol 96% yaitu untuk
menghasilkan ekstrak kental (murni) sehingga mempermudah untuk proses
identifikasi. Setelah diekstraksi, maserat dipisahkan dengan serbuk simplisia
dengan cara disaring. Maserat yang diperoleh setelah penyaringan terdapat
banyak pati yang terikut (mengendap), hal ini disebabkan karena terlalu
kecilnya ukuran partikel dari simplisia. Maserat yang diperoleh kemudian
diuapkan untuk menghilangkan pelarutnya dan agar diperoleh ekstrak kental
biji pepaya. Ekstrak kental yang diperoleh adalah sebanyak 6,047 g.
IV.2

Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Rambai Laut


Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawasenyawa metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas
berbagai macam metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas
biologinya. Senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasi dengan pereaksipereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan dari
metabolit sekunder (Harborne, 1987).

Tabel 1. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Rambai Laut


Uji
Fitokimia
Alkaloid
Flavonoid

Fenol
Saponin

Steroid

IV.3

Pereaksi

Hasil

Ket

Mayer
Dragendrof
Wagner
1 g sampel,
serbuk Mg
dan 10 tetes
HCl 5 N dan
2 ml amil
alkohol
pereaksi besi
(III) klorida
10 ml air
suling panas,
larutan asam
klorida 2N
1 g ekstrak, 1
ml kloroform.
As asetat
anhidrat dan
H2SO4 pekat
2 tetes.

Endapan putih/kuning
Endapan merah bata
Endapan coklat
Warna merah, kuning,
jingga pada lapisan
amil alkohol

+
+
+
+

Warna biru kehitaman

Buih tidak hilang


setelah penambahan
HCl 2N

Warna merah pada


larutan pertama,
kemudian berubah
menjadi biru dan
hijau.

Fraksinasi (Ekstraksi Cair-Cair)


Pada praktikum ini dilakukan eksraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair
merupakan cara yang paling sederhana, murah dan sering digunakan untuk
pemisahan analitik. Alat pemisah yang biasa digunakan pada adalah corong
pisah. Caranya yaitu dengan menambahkan pelarut pengekstraksiyang tidak
bercampur dengan pelarut semula, kemudian dilakukan pengocokan sehingga
terjadi kesetimbangan konsentrasi zat yang akan diekstraksi pada kedua
lapisan. Setelah terbentuk dua lapisan, campuran dipisahkan untuk dianalisis
kandungan zat terlarut tersebut.
Sebelum di fraksinasi, sampel terlebih dahulu diuji kelarutannya pada
beberapa pelarut yang tersedia, hal ini untuk memudahkan dalam penentuan
pelarut yang digunakan selanjutnya dalam ekstraksi cair-cair. Setelah
dilakukan uji kelarutan, ekstrak kental biji pepaya larut dalam pelarut etanol

96%, metanol, n-heksan dan air. Oleh karena itu dipilih etanol 96% dan nheksan untuk selanjutnya dipakai dalam proses ekstraksi cair-cair.
Ekstrak kental dilarutkan dalam pelarut etanol 96% sebanyak 50 ml lalu
ditambah n-heksan sebanyak 50 ml, dimasukkan ke dalam corong pisah.
Ketika dimasukkan ke dalam corong pisah, kedua fasa tersebut tidak saling
campur. Selanjutnya dilakukan pengocokan. Fungsi pengocokan ini untuk
memperbesar luas permukaan untuk membantu proses distribusi ekstrak
kental etanol pada kedua fasa. Pengocokan dilakukan secukupnya, karena
pengocokan lama dan kuat dapat menyebabkan tercampurnya kedua pelarut
yang digunakan sehingga membentuk emulsi, khususnya pada sampel yang
berlemak.
Setelah tercapai kesetimbangan pada corong pisah campuran kemudian
didiamkan dan terbentuk dua lapisan yang tidak saling campur. Kemudian
diambil fase n-heksan yaitu fase yang berada di atas. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan bobot jenis antara pelarut yang digunakan. N-heksan yang
dipisahkan kemudian diuapkan. Fase ekstrak kemudian ditambahkan kembali
n-heksan sampai n-heksan berwarna bening yang menunjukkan bahwa
metabolit yang larut dalam n-heksan telah tertarik seluruhnya (jenuh).
Fase ekstrak kemudian ditambahkan etanol 96% lalu dikocok dan
dipisahkan antara ekstrak dan etanol 96%. Kemudian larutan etanol 96% yang
diperoleh dari pemisahan diuapkan.
Kemudian hasil fraksinasi yang telah diuapkan tersebut dilarutkan
dengan menggunakan etanol 96% secukupnya dan dimasukkan ke dalam
botol vial masing-masing yang telah disediakan dan diberi label untuk
selanjutnya digunakan dalam identifikasi kromatografi lapis tipis (KLT).
IV.4

Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari
suatu sampel yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen
sampel berdasarkan perbedaan kepolaran.
Prinsip kerjanya adalah adsorpsi dan partisi, dimana sampel akan

berpisah berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang


digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat
silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin
dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka
sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Fase diam (adsorben) misalnya silica gel menghasilkan perbedaan
dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya. Selainitu
harus

diingat

bahwa

penyerap

yang

berpengaruh

nyata

terhadap

dayapemisahnya.
Fase gerak (mobile) meliputi beberapa variasi eluen. Eluen yang
digunakan untuk elusi terdapat dua jenis yaitu eluen yang lebih polar
daneluen yang kurang polar. Pada praktikum digunakan campuran eluen
yaitu n-heksan : etil asetat (7:3) yang bersifat kurang polar, penggunaan eluen
ini dimaksudkan untuk mengelusi fraksi n-heksan dan fraksi etanol 96%.
Eluen yang dipakai merupakan kombinasi dari dua macam pelarut, hal ini
dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat kepolaran sehingga eluen ini
dapat mengangkat noda yang tingkat kepolarannya berbeda-beda.
Prinsip eluen tersebut dalam melewati fase diam (terelusi naik ke atas)
adalah bergerak berdasarkan prinsip partisi dimana fase gerak akan
teradsorpsi pada permukaan dan mengisi ruang-ruang diantara sel penyerap,
kemudian terpartisi.
Sebelum dilakukan penotolah terlebih dahulu dilakukan pengaktifan
lempeng silika gel, hal ini bertujuan untuk menghilangkan kadar air yang
mungkin saja terdapat pada plat silika dimana pada umumnya plat silika
memiliki sifat higroskopik. Selain itu juga dilakukan penjenuhan eluen yang
berada dalam chamber untuk mempermudah dalam proses elusi.
Setelah mengelusi, noda-noda yang tampak selanjutnya diamati
bercaknya pada lampu uv 254 dan 365, hal ini karena kedua uv ini telah
mampu mewakili kedua jenis uv dekat. Dimana uv panjang diwakili oleh uv
365 nm dan uv pendek diwakili oleh uv 254 nm.
Pada uv 254 nm lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan

tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu uv 254 nm adalah


karena adanya daya interaksi antara sinar uv dengan indikator flouresensi
yang terdapat pada lempeng.
Pada uv 365 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna
gela. Penampakan noda disebabkan karena adanya daya interaksi antara sinar
uv dengan gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom yang ada pada noda
tersebut. Setelah dilakukan pengamatan bercak noda pada lampu uv 254 nm
dan 365 nm, terdapat 6 noda yang dapat terlihat pada lampu uv 254 dan 4
noda pada lampu uv 365. Berdasarkan hal ini daat disimpulkan bahwa zat
yang banyak tertarik ke atas adalah zat yang memiliki kepolaran rendah. Hal
ini berbeda dengan hasil skrining fitokimia dimana hasil menunjukkan bahwa
sampel mengandung sebagian besar senyawa yang bersifat polar. Hal ini
dapat dikarenakan pada pengujian skring fitokimia pada sampel terdapat
banyak senyawa kita yang terkandung dalam sampel dan kemungkinan
senyawa ini bereaksi satu sama lain maupun bereaksi terhadap pereaksi yang
yang digunakan sehingga memberikan hasil positif dan negatif palsu.
Setelah diamati bercak noda, selanjutnya dilakukan penghitungan nilai
Rf dari masing-masing noda. Adapun hasil perhitungan Rf dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 2. hasil KLT
Ektrak

Pengamatan
UV 254
UV 365
Noda a : 0,45

Fraksi n-

Noda b : 0,61

heksan

Noda c : 0,72

Fraksi etanol

Noda d : 0,95
Noda a : 0,36

96%

Noda b : 0,72

warna

Noda c : 0,72

Hijau dan ungu

Noda b : 0,72

Hijau dan ungu

BAB V
PENUTUP
V.1

Kesimpulan
1.

Simplisia biji pepaya dapat ekstraksi menggunakan pelarut etanol


96%dengan hasil ekstrak kental sebanyak 6,047 g.

2.

Kandungan metabolit sekunder biji pepaya yang diperoleh adalah


alkaloid, flavonoid, fenol dan saponin.

V.2

Saran
Sebaiknya untuk simplisia yang berasal dari biji, buah dan rimpang jangan
dilakukan pengecilan ukuran partikel yang terlalu halus.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Warisno.2003. Budidaya Kelapa Genjah. Kanisius IKAPI. Yogyakarta


Khopkar, S.M.1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press. Jakarta
Harborne,J.B.,1987. Metode Fitokimia. Institut Teknologi Bandung. Bandung
Plantamor.2015. Plantamor Situs Dunia Tumbuhan, Informasi spesies-biji pepaya

SKEMA KERJA

Penyiapan sampel

Pembuatan simplisia
Etanol 96%
Ekstraksi
Ekstrak kental
Skrining fitokimia

Ekstraksi cair-cair

Kromatografi lapis tipis

LAMPIRAN 2

Lampu UV 254

Lampu UV 365

Anda mungkin juga menyukai