Oleh :
Kelompok III
Ardita
15.01.234
Lisa Fitriani
15.01.237
Anggun Ekaputri
15.01.279
Dwina Ramadhani
15.01.278
Nurmaningsi Yunus
15.01.250
Indah Kadullah
15.01.251
Nurhidayat Mustamin
15.01.367
Devi Sandi
15.01.265
15.01.291
M. Eko Pranoto
15.01.264
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaan sumber daya
alam yang melimpah. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki tersebut
kemudian banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan hidup
sehari-hari diantaranya sebagai tanaman obat, salah satunya adalah tanaman
pepaya.
Pepaya merupakan salah satu komoditas hortikultura Indonesia yang
memiliki berbagai fungsi dan manfaat. Sebagai buah segar, pepaya banyak
dipilih konsumen karena selain harganya yang relatif terjangkau, juga
memiliki kandungan nutrisi yang baik. Untuk buah segar, buah pepaya siap
dipanen 163 hari setelah bunga mekar atau setelah kulit buahnya berwarna
merah 25-30%.
Produksi pepaya dari tahun ke tahun meningkat. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik tercatat pada tahun 2010 produksi pepaya di Indonesia
sebanyak 675.801 ton dan mengalami peningkatan pada tahun 2011 sebanyak
955.078 ton. Angka ini kemungkinan akan terus bertambah dari tahun ke
tahun karena budidaya pepaya yang mudah dan sangat cocok dengan iklim di
Indonesia. Penambahan jumlah produksi ini sejalan dengan jumlah limbah
biji pepaya yang dihasilkan. Sampai saat ini, limbah biji pepaya belum
banyak dimanfaatkan di masyarakat.
Menurut Harborne (1984) guna memperoleh informasi lebih awal
mengenai kelompok senyawa metabolit sekunder dapat diidentifikasi dengan
metode fitokimia. Sejalan dengan hal tersebut Robinson (1991) menyatakan
bahwa, metode ini diawali dengan mengisolasi kandungan senyawa metabolit
sekunder tersebut menggunakan metode ekstraksi pelarut seperti maserasi dan
partisi. Untuk mengetahui golongan senyawa dilakukan penapisan fitokimia.
Penapisan fitokimia dimaksudkan sebagai pemeriksaan pendahuluan tentang
kandungan kimia tumbuhan (Carica papaya L.) yang berkhasiat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1
: Plantae
: Spermatophyta
: Dicotyledoneae
: Cistales
: Caricaceae
: Carica
: Carica pepaya L.
Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan
sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi
manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol
yang digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harbone, 1987).
II.2.2
Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali
dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Di samping
itu, sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda
kelas. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mulamula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Kemudian
diikuti dengan pemeriksaan ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis
secara kromatografi (Harbone, 1987).
II.2.3
Saponin
Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi. Keberadaan saponin
sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air
apabila dikocok minumbulkan buih yang stabil. Saponin adalah senyawa
berasa
pahit,
menusuk
dan
menyebabkan
bersin
dan
sering
II.2.4
Fenol
Istilah senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari
tumbuhan, yang mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang
mengandung satu atau dua penyulih hidroksil. Senyawa fenol cenderung
mudah larut dalam air karena umumnya mereka sering kali berikatan
dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel.
Cara klasik untuk mendeteksi senyawa fenol sederhana ialah dengan
menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol kepada
larutan cuplikan. Semua senyawa fenol berupa senyawa aromatik
sehingga semuanya menunjukkan serapan kuat di daerah spektrum UV
(Harborne, 1987).
Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati ataupun hewani menggunakan
pelarut yang sesuai (Depkes RI, 1995).
Menurut Voigt (1995) berdasarkan atas sifatnya, ekstrak dapat
dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu:
a. Ekstrak encer (Extractum tennue) sediaan ini memiliki konsentrasi
seperti madu dan dapat dituang.
b. Ekstrak kental (Extractum spissum) sediaan ini dilihat dalam
keadaan dingin dan tidak dapat diulang, kandungan airnya berjumlah
sampai 30%.
c. Ekstrak kering (Extractum siccum) sediaan ini memiliki konsentrasi
kering
dan
mudah
digosokkan,
melalui
penguapan
cairan
II.3.2 Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga
sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di
luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar
sel dengan larutan di dalam sel.
Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol,
atau pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah
timbulnya kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan
pada awal penyarian. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah
cara pengerjaan dan peralatan sederhana. Kerugian cara maserasi adalah
pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna.
II.3.3 Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstraksi adalah pelarut yang
baik untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan atau senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar
senyawa kandungan yang diinginkan (Depkes RI, 2000).
Pemilihan pelarut juga didasarkan pada senyawa yang akan
diekstraksi. Salah satu pelarut yang sering digunakan adalah etanol. Etanol
tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki
stabilitas
bahan
obat
terlarut.
Keuntungan
lain,
etanol
mampu
f. Sortasi kering
Tujuan sortasi kering untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoranpengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering.
g. Pengepakan dan penyimpanan
Tujuan sortasi kering untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoranpengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering.
II.5 Fraksinasi
Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari
campuran (padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa
jumlah kecil (fraksi) komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian
atau pemisahan ini didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih
berat akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada
diatas. Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti
eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut.
Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang
penting dan dapat diekstraksi dengan pelarut organik (Adijuwana dan Nur
1989).
Ekstraksi cair-cair adalah metode pemisahan dengan menggunakan dua
cairan pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga senyawa tertentu
terpisahkan menurut kesesuaian sifat dengan cairan pelarut (prinsip solve
dissolve like).
Ekstraksi Cair Padat merupakan metodepartisicairpadat dengan cara
ekstrak ditambahkan pelarut dan dihomogenkan dengan magnetic stirrer
kemudian disentrifus sehingga terpisah antara pelarut sebagai supernatant
dan bagian yang tidak larut sebagai endapan. Pengerjaan dilakukan berulang
sehingga proses partisi sempurna. Untuk mendapatkan hasil pemisahan yang
baik, ekstrak etil asetat dan endapan dimonitor profil komponen kimianya
posisi suatu zat, reagen dapat juga disemprotkan pada bagian tepi saja.
Bagian yang lainnya dapat diperoleh kembali tanpa pengotoran dari reagent
dalam pengerokan setelah pemisahan selesai (Khopkar, 1990).
Untuk analisis kuantitatif dapat digunakan plot fotodensitometer.
Analisisnya dapat dilakukan dengan spektrofotometer UV, sinar tampak, IR
atau fluorosens atau dengan reaksi dengan kolorimeter dengan reagent
kromogenik (Khopkar, 1990).
Aplikasi KLT sangatlah luas. Senyawa-senyawa yang tidak mudah
menguap serta terlalu labil untuk kromatografi cair dapat dianalisis dengan
KLT. KLT dapat pula untuk memeriksa adanya zat pengotor dalam pelarut.
Ahli kimia forensik menggunakan KLT untuk bermacam pemisahan.
Pemakaiannya juga meluas dalam pemisahan organik (Khopkar, 1990)
BAB III
METODE KERJA
III.1
III.2
III.2.1
III.2.2
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah etanol
96%, aquadest, n-heksan, metanol, simplisia biji pepaya, kertas saring,
label.
III.3
III.3.1
Penyiapan Sampel
Pengambilan sampel
Sampel yang digunakan pada praktikum ini adalah biji pepaya
bangkok yang berasal dari Kota Makassar pada bulan Oktober 2015.
III.3.2
Pembuatan simplisia
Biji pepaya dipisahkan dari kulit dan daging buahnya, dicuci bersih
di bawah air mengalir, ditiriskan kemudian dikeringkan hingga kadar
airnya mencapai 10%, selanjutnya dihaluskan dengan cara digerus kasar.
Hasil gerusan kemudian disimpan dalam wadah tertutup kedap untuk
dipakai pada pelakuan selanjutnya.
III.3.4
Pembuatan Ekstrak
Simplisia biji pepaya diekstraksi menggunakan metode maserasi
dengan pelarut etanol 96% selama 3 hari dengan sesekali dilakukan
Uji Tannin
Ekstrak diambil 1 g dan ditambahkan dengan 10 ml air panas,
kemudian ditetesi menggunakan besi (III) klorida, keberadaan tannin
dalam sampel ditandai dengan timbulnya warna hijau kehitaman.
III.4.3
Uji Alkaloid
Ekstrak diambil 1 g dan ditambahkan 1 ml kloroform dan 5 ml
ammonia 10%, lalu ditambahkan 10 tetes asam sulfat 2 N untuk
memperjelas pemisahan terbentuknya 2 fase yang berbeda. Fase bagian
atas diambil, kemudian ditambahkan reagen mayer. Keberadaan alkaloid
dalam sampel ditandai dengan terbentuknya endapan merah.
III.4.4
Uji Saponin
Ekstrak diambil 1 g dan ditambahkan dengan 10 ml aquadest
kemudian dikocok kuat selama kurang lebih 1 menit. Selanjutnya
didiamkan selama 10 menit dan diamati buih atau busa yang terbentuk.
Keberadaan
senyawa
saponin
dalam
sampel
ditandai
dengan
terbentuknya buih yang stabil selama 10 menit dengan tinggi 3 cm, dan
tidak hilang hilang setelah penambahan HCl.
III.4.5
Uji Steroid
Ekstrak diambil 1 g dan ditambahkan dengan 1 ml kloroform.
Setelah itu campuran dikocok. Masing-masing asetat anhidrat dan asam
sulfat pekat sebanyak 2 tetes ditambahkan pada filtrat, perubahan warna
merah pada larutan pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan
hijau menunjukkan reaksi positif.
III.5
III.6
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1
terpekat didesak keluar. Alasan menggunakan pelarut etanol 96% yaitu untuk
menghasilkan ekstrak kental (murni) sehingga mempermudah untuk proses
identifikasi. Setelah diekstraksi, maserat dipisahkan dengan serbuk simplisia
dengan cara disaring. Maserat yang diperoleh setelah penyaringan terdapat
banyak pati yang terikut (mengendap), hal ini disebabkan karena terlalu
kecilnya ukuran partikel dari simplisia. Maserat yang diperoleh kemudian
diuapkan untuk menghilangkan pelarutnya dan agar diperoleh ekstrak kental
biji pepaya. Ekstrak kental yang diperoleh adalah sebanyak 6,047 g.
IV.2
Fenol
Saponin
Steroid
IV.3
Pereaksi
Hasil
Ket
Mayer
Dragendrof
Wagner
1 g sampel,
serbuk Mg
dan 10 tetes
HCl 5 N dan
2 ml amil
alkohol
pereaksi besi
(III) klorida
10 ml air
suling panas,
larutan asam
klorida 2N
1 g ekstrak, 1
ml kloroform.
As asetat
anhidrat dan
H2SO4 pekat
2 tetes.
Endapan putih/kuning
Endapan merah bata
Endapan coklat
Warna merah, kuning,
jingga pada lapisan
amil alkohol
+
+
+
+
96%, metanol, n-heksan dan air. Oleh karena itu dipilih etanol 96% dan nheksan untuk selanjutnya dipakai dalam proses ekstraksi cair-cair.
Ekstrak kental dilarutkan dalam pelarut etanol 96% sebanyak 50 ml lalu
ditambah n-heksan sebanyak 50 ml, dimasukkan ke dalam corong pisah.
Ketika dimasukkan ke dalam corong pisah, kedua fasa tersebut tidak saling
campur. Selanjutnya dilakukan pengocokan. Fungsi pengocokan ini untuk
memperbesar luas permukaan untuk membantu proses distribusi ekstrak
kental etanol pada kedua fasa. Pengocokan dilakukan secukupnya, karena
pengocokan lama dan kuat dapat menyebabkan tercampurnya kedua pelarut
yang digunakan sehingga membentuk emulsi, khususnya pada sampel yang
berlemak.
Setelah tercapai kesetimbangan pada corong pisah campuran kemudian
didiamkan dan terbentuk dua lapisan yang tidak saling campur. Kemudian
diambil fase n-heksan yaitu fase yang berada di atas. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan bobot jenis antara pelarut yang digunakan. N-heksan yang
dipisahkan kemudian diuapkan. Fase ekstrak kemudian ditambahkan kembali
n-heksan sampai n-heksan berwarna bening yang menunjukkan bahwa
metabolit yang larut dalam n-heksan telah tertarik seluruhnya (jenuh).
Fase ekstrak kemudian ditambahkan etanol 96% lalu dikocok dan
dipisahkan antara ekstrak dan etanol 96%. Kemudian larutan etanol 96% yang
diperoleh dari pemisahan diuapkan.
Kemudian hasil fraksinasi yang telah diuapkan tersebut dilarutkan
dengan menggunakan etanol 96% secukupnya dan dimasukkan ke dalam
botol vial masing-masing yang telah disediakan dan diberi label untuk
selanjutnya digunakan dalam identifikasi kromatografi lapis tipis (KLT).
IV.4
diingat
bahwa
penyerap
yang
berpengaruh
nyata
terhadap
dayapemisahnya.
Fase gerak (mobile) meliputi beberapa variasi eluen. Eluen yang
digunakan untuk elusi terdapat dua jenis yaitu eluen yang lebih polar
daneluen yang kurang polar. Pada praktikum digunakan campuran eluen
yaitu n-heksan : etil asetat (7:3) yang bersifat kurang polar, penggunaan eluen
ini dimaksudkan untuk mengelusi fraksi n-heksan dan fraksi etanol 96%.
Eluen yang dipakai merupakan kombinasi dari dua macam pelarut, hal ini
dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat kepolaran sehingga eluen ini
dapat mengangkat noda yang tingkat kepolarannya berbeda-beda.
Prinsip eluen tersebut dalam melewati fase diam (terelusi naik ke atas)
adalah bergerak berdasarkan prinsip partisi dimana fase gerak akan
teradsorpsi pada permukaan dan mengisi ruang-ruang diantara sel penyerap,
kemudian terpartisi.
Sebelum dilakukan penotolah terlebih dahulu dilakukan pengaktifan
lempeng silika gel, hal ini bertujuan untuk menghilangkan kadar air yang
mungkin saja terdapat pada plat silika dimana pada umumnya plat silika
memiliki sifat higroskopik. Selain itu juga dilakukan penjenuhan eluen yang
berada dalam chamber untuk mempermudah dalam proses elusi.
Setelah mengelusi, noda-noda yang tampak selanjutnya diamati
bercaknya pada lampu uv 254 dan 365, hal ini karena kedua uv ini telah
mampu mewakili kedua jenis uv dekat. Dimana uv panjang diwakili oleh uv
365 nm dan uv pendek diwakili oleh uv 254 nm.
Pada uv 254 nm lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan
Pengamatan
UV 254
UV 365
Noda a : 0,45
Fraksi n-
Noda b : 0,61
heksan
Noda c : 0,72
Fraksi etanol
Noda d : 0,95
Noda a : 0,36
96%
Noda b : 0,72
warna
Noda c : 0,72
Noda b : 0,72
BAB V
PENUTUP
V.1
Kesimpulan
1.
2.
V.2
Saran
Sebaiknya untuk simplisia yang berasal dari biji, buah dan rimpang jangan
dilakukan pengecilan ukuran partikel yang terlalu halus.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
SKEMA KERJA
Penyiapan sampel
Pembuatan simplisia
Etanol 96%
Ekstraksi
Ekstrak kental
Skrining fitokimia
Ekstraksi cair-cair
LAMPIRAN 2
Lampu UV 254
Lampu UV 365