Anda di halaman 1dari 14

Management of ST-Elevation Myocardial Infarction

Ivan Yoseph Saputra


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510. Telephone: (021) 5694-2061, fax 563-1731
Alamat Korespondensi: ivanyoseph@gmail.com
Abstrak: ST-elevation myocaridal infarction (STEMI) adalah suatu penyakit acute coronary
syndrome (ACS) yang terjadi oleh karena terbentuknya trombus pada arteri koroner, sehingga
miokardium mengalami suatu iskemia dan lama-kelamaan suatu infark. Gejala yang khas
pada STEMI adalah suatu angina tipikal, diagnosis dapat ditegakan melalui pemeriksaan
EKG dan penanda jantung. Penatalaksanaan STEMI memerlukan penanganan gawat darurat
dapat dilakukan dengan melakukan terapi reperfusi, penanganan lanjutan STEMI hampir
sama dengan penanganan ACS yang lain pada umumnya. Berbagai komplikasi dapat terjadi
mulai dari gagal jantung sampai perikarditis.
Kata kunci: sindrom koroner akut, ST-elevasi
Abstract: ST-elevation infarction myocardial infarction (STEMI) is a disease of acute
coronary syndrome (ACS), which occurs due to the formation of thrombus in the coronary
arteries, thus experiencing an ischemic myocardium and eventually an infarction. Clinical
appeareance in STEMI is a typical angina, the diagnosis can be enforced through the ECG
and cardiac markers. Management of STEMI require emergency care can be done by
performing reperfusion therapy, advanced handling STEMI ACS is similar to the handling of
the other in general. Various complications can occur from heart failure
Keywords: acute coronary syndrome, ST-elevation
Pendahuluan
ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah salah satu acute coronary syndrome
(ACS) yang merupakan masalah kardiovaskuler, yang menyebabkan angka perawatan rumah
sakit dan angka kematian yang tinggi. Untuk itu, mahasiswa perlu mengetahui, bagaimana
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien dengan STEMI.
Latar Belakang Masalah
Seorang perempuan berusia 50 tahun datang diantar anaknya ke IGD RS dengan keluhan
nyeri dada kiri yang muncul tiba-tiba dan menjalar ke lengan kiri sejak 3 jam yang lalu. Nyeri
dirasakan sedikit berkurang saat beristirahat, namun terus menerus muncul kembali, dan
semakin memberat. Keluhan tidak disertai dengan demam ataupun batuk. Sebelumnya pasien
juga pernah merasakan nyeri dada kiri, namun tidak terlalu sakit dan hanya berlangsung
sekitar 5 menit saja.
Rumusan Masalah
1

Seorang perempuan berusia 50 tahun mengakami nyeri dada tiba-tiba sejak tiga jam yang
lalu.
Analisis Masalah

Hipotesis
Nyeri dada tiba-tiba yang dialami oleh pasien disebabkan oleh karena miokard infark.
Sasaran Pembelajaran
1. Mahasiswa mengetahui anamnesis pada pasien ST-elevation myocardiac infarction
2. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan fisik terkait STEMI
3. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang terkait STEMI
4. Mahasiswa mengetahui diagnosis kerja STEMI
5. Mahasiswa mengetahui diagnosis banding STEMI
6. Mahasiswa mengetahui faktor resiko STEMI
7. Mahasiswa mengetahui epidemiologi STEMI
8. Mahasiswa mengetahui patofisiologi STEMI
9. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan pasien STEMI
10. Mahasiswa mengetahui prognosis STEMI
11. Mahasiswa mengetahui komplikasi STEMI
2

Pembahasan
1. Anamnesis
Anamnesis adalah kegiatan wawancara antara dokter dengan pasien untuk mencari
keterangan tentang penyakitnya. Beberapa pertanyaan yang akan diajukan saat anamnesis
adalah nama, umur, alamat, agama, suku, dan riwayat kesehatan keluarga. Pada pasien ini
dilakukan autoanamnesis oleh karena pasien dewasa.
Keluhan pasien adalah nyeri dada, perlu ditanyakan onset dari nyeri dada, jenis nyeri
tumpul atau lancip, dan lokasi nyeri dada. Kemudian ditanyakan juga apakah terdapat
keluhan penyerta seperti demam, batuk, sesak napas, mual, muntah, dan nyeri di tempat lain
(kepala, rahang, dan gigi). Perlu ditanyakan apakah pasien pernah mengalami hal tersebut
sebelumnya, dan apakah pasien sudah minum obat-obatan untuk mengatasi penyakitnya.
Ditanyakan juga riwayat sosial seperti; apakah pasien merokok, minum alkohol, dan obesitas
(IMT).
Secara umum ditanyakan riwayat penyakit terdahulu khususnya seperti adanya
hipertensi, alergi, asma, gangguan ginjal, kelainan jantung bawaan, penyakit metabolikendokrin. Perlu ditanyakan juga riwayat penyakit keluarga seperti; hipertensi, penyakit
metabolik endokrin, dan kelainan jantung bawaan.
Pasien dengan STEMI biasanya tidak langsung mencari tenaga medis dalam waktu
1,5-2 jam setelah terjadinya serangan. Pasien yang biasanya tidak langsung mencari tenaga
medis adalah perepuan berusia lanjut.1-3
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit berat dengan kesadaran compos
mentis. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital; tekanan darah 110/90, denyut jantung 100,
frekuensi napas 20, dan suhu 36,3oC. Beberapa pasien dapat mengalami peningkatan atau
penurunan dari tekanan darah. Selain itu pada pasien lain juga mengalami sedikit peningkatan
suhu tubuh (38-39oC). Pada pasien lain dapat terjadi peningkatan denyut nadi atau denyut
nadi yang irreguler.

Pada inspeksi, palpasi, auskultasi thorak tidak ditemukan adanya kelainan. Pada beberapa
pasien dapat ditemukan adanya kulit yang pucat dan suhu afrebris dikarenakan vasokontriksi
dari pembuluh darah. Apabila sudah terjadi kegagalan jantung maka gejala yang nampak
lebih banyak, seperti; peningkatan tekanan vena jugular atau hepatojuguler refluks, atau suatu
edema perifer. Selain itu dapat ditemukan juga abnormalitas pada bunyi jantung, seperti
bunyi jantung tiga dan empat, murmur sistolik, dan bunyi splitting S2.2-3
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pertama-tama adalah elektrokardiogram
(EKG). Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah pada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin. Penambahan
sadapan V3R, V4R, V7-V9 sebaiknya juga dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami
iskemia dinding inferior. Sebaiknya rekaman EKG dibuat dalam 10 menit setelah kedatangan
pasien, dan diulang apabila terjadi serangan berulang.
Pada pasien ditemukan adanya gambaran ST-elevasi pada V1, V2, V3, V4, V5, dan
V6. Berdasarkan lokasi sadapan ST-elevasi, maka kemungkinan sudah terjadi extended
myocardial infartion (V1-V2 Septal, V1-V4 Anterior, V5-V6, I, AvL Lateral). Penilaian ST
elevasi ditentukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah lebih dari 0,1 mV.1-4
Kemungkinan terjadinya miokard infark tinggi pada pasien dengan ST-elevasi pada
sadapan dengan kompleks QRS positif dan ST-depresi pada sadapan V1-V3. Perubahan
segmen ST seperti ini memiliki spesifitas yang tinggi dan sensitivitas yang rendah untuk
diagnosis iskemik akut. ST-elevasi pada sadapan dengan kompleks QRS negatif memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.
Apabila tidak ditemukan suatu ST-elevasi persisten, maka pasien dapat didiagnosis
dengan Non-ST elevation myocardial infarction (Non-STEMI) atau suatu unstable angina
pectoris (UAP). Inversi gelombang T yang simetris >0,2 mV juga mempunyai spesifitas yang
tinggi untuk suatu keadaan iskemia akut. Rekaman EKG penting untuk membedakan STEMI
dengan Non-STEMI dan UAP. Pasien dengan diagnosis EKG STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan laboratorium tersedia. 1-4
Cardiac marker yang diujikan pada pemeriksaan laboratorium adalah kreatinin
kinase-MB (CK-CKMB) atau troponin I/T. Keduanya merupakan marker nekrosis pada
miosit jantung. Troponin I/T sebagai penanada nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifitas yang lebih tinggi dari CK-CKMB. Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
4

kelainan jantung non koroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi
ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. 1-4
Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka
bakar, gagal napas, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi dan insuffisiensi ginjal.
Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap
terjadinya nekrosis miosit kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I
mempunyai spesifitas yang lebih tinggi dari troponin T. 1-3
Pemeriksaan CK-CKMB atau troponin I/T menunjukan kadar yang normal dalam 4-6
jam setelah serangan acute coronary syndrome. permeriksaan hendaknya diulang dalam 8-12
jam setelah serangan. Jika pemeriksaan ingin diulang, sebaiknya 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-CKMB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal dengan waktu yang lebih singkat. CK-CKMB lebih
diindikasikan untuk mendiagnosis suatu keadaan infark berulang atau ekstensi infark.
Pemeriksaan foto polos dada dilakukan tanpa meninggakan ruang gawat darurat
dengan alat portabel, apabila tidak terdapat alat portabel maka dapat ditunda. foto polos dada
posterior-anterior berfungsi untuk melihat adanya kardiomegali, edema paru, effusi pleura,
dan Kerley B Lines, serta gambaran gagal jantung lainya. 1
Echocardiography dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kerusakan jantung
melalui evaluasi pergerakan dinding jantung dan performa ventrikel jantung. Angiografi
koroner dapat digunakan untuk melihat tingkat keparahan dan memberikan informasi
mengenai penyakit jantung koroner sekaligus pembuluh darah (oklusi pembuluh darah). 2-4
4. Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja dari pasien diatas adalah suatu ST-elevation myocardial infarction.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan apabila terdapat tiga gejala dan tanda, berupa angina
tipikal dengan gambaran EKG ST-elevasi pada sadapan kompleks QRS positif atau STdepressi pada sadapan dengan kompleks QRS negatif, dan peningkatan penanda jantung
(Troponin I/T dan CK-CKMB).
5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada STEMI adalah acute coronary syndrome lainya seperti Non-STEMI
dan unstable angina pectoris. Penyakit kardiovaskuler lain yang mungkin adalah diseksi
aorta, pericarditis, dan ruptur aneurisme aorta. Penyakit non-kardiovaskuler yang mungkin
adalah suatu emboli pulmonal.1

Non ST-elevation myocardial infarction (Non-STEMI) adalah suatu acute coronary


syndrome disertai kerusakan otot jantung, Non-STEMI ditegakan atas dasar keluhan angina
tipikal dengan atau tanpa perubahan EKG spesifik, dengan adanya peningkatan penanda
jantung. Pada pasien Non-STEMI tidak ditemukan adanya ST-elevasi pada gambaran EKG.
Secara umum pasien memiliki manifestasi klinis yang sama dengan STEMI ataupun unstable
angina pectoris.1,3
Unstable angina pectoris (UAP) adalah jenis acute coronary syndrome lainya, yang
ditegakan atas dasar keluhan angina tipikal dengan atau tanpa perubahan EKG, dan tanpa
adanya peningkatan penanda jantung. Pada pasien UAP juga memiliki manifestasi klinis yang
sama dengan pasien STEMI dan Non-STEMI.
Diseksi aorta/ aortic dissection adalah suatu keadaan dimana terdapat robekan pada
tunika intima aorta, di mana aliran darah mengalir diantara lapisan aorta menyebabkan
lepasnya lapisan aorta. Manifestasi klinis adalah nyeri mendadak, terasa teriris atau tertusuk
pisau pada pertengahan skapula posterior atau anterior. Diagnosis diseksi aorta dapat
ditegakan dengan pemeriksaan non-invasif menilai proses koagulasi atau pembekuan darah
dengan D-Dimer dalam serum (N<500 g/L). Diagnosis pasti ditegakan melalui foto polos
thoraks, CT-Scan, dan MRI (gold standard). Faktor resiko dari diseksi aorta adalah adanya
hipertensi.1
Pericarditis adalah peradangan dari pericardium. Pericarditis memiliki manifestasi
klinis berupa nyeri tajam ke arah bahu diperberat saat bernapas dan hilang pada saat duduk ke
arah ke depan. Pericarditis dapat terjadi dikarenakan adanya infeksi bakteri dan virus
(Mycobacterium tuberculosa), pericarditis uremia, post infarct pericarditis, dan Dressler's
syndrome (dengan demam, terjadi setelah kerusakan jantung atau pericarditis). Dalam
diagnosis, peningkatan dari ureum-kreatinin dapat dintepretasikan sebagai suatu pericarditis
uremia. Foto thoraks polos dan USG dapat digunakan untuk melakukan diagnosis pasti dari
pericarditis.
Ruptur aneurisme aorta adalah dilatasi aorta yang bersifat patologis, terlokalisasi, dan
permanen. Dinding aorta yang mengalami aneurisma lebih lemah daripada dinding aorta yang
normal. Berdasarkan lokasinya, aneurisme aorta dibagi menjadi tiga, yaitu; abdominal
thoracic aneurysme, thoracic aortic aneurysme, dan thoracoabdominalis aortic aneurysme.
Manifestasi klinis pada ruptur aneurisme aorta adalah adanya masa yang berdenyut mengikuti
irama jantung, berpulsasi pada aorta sampai bifucartio aorta pada saat posisi duduk.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan fisik, tetapi untuk
memastikan diagnosis dapat dilakukan foto polos thoraco-abdomen, CT-Scan, dan MRI untuk
6

melihat pergeseran dan pelebaran aorta. Faktor resiko pada aneurisme aorta adalah hipertensi,
arterosklerosis, dan merokok.
Emboli pulmonal adalah penyumbatan pada arteri pulmonalis, oleh suatu embolus
(lemak, udara, tumor, dan darah) yang terjadi secara tiba-tiba. Manifestasi klinis yang
nampak adalah dyspnea, tachypnea, nyeri dada, batuk, dan hemoptisis. Pada beberapa kasus
dapat menimbulkan gejala sianosis dan sinkop. Pada pemeriksaan fisik thoraks, biasanya
dalam batas normal. Diagnosis lebih lanjut dapat dilakukan dengan pemeriksaan D-dimer,
foto polos thoraks, pulmonary angiography (gold standard), dan CT-pulmonary angiography
(CTPA).
6. Faktor Resiko
Faktor risiko terhadap pasien dengan ACS berfungsi untuk menentukan risiko terjadinya
miokardiak infark dan penentuan antitrombolitik yang tepat. Beberapa stratifikasi faktor
risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction), GRACE
(Global Registry of Acute Cardiac Event), dan CRUSADE (Can Rapid risk of stratification
of unstable angina patient Supress ADverse outcomes with Early implementation of the
ACC/ACH guidelines)1-4
Stratifikasi TIMI berfungsi untuk melihat risiko pasien mengalami suatu myocardial
infartion, terdapat 7 variabel yang masing-masing setara dengan satu poin. Tujuh variabel
yaitu; usia >65 tahun, angiogram sebelumnya menunjukan stenosis >50%, penggunaan
aspirin pada 7 hari terakhir, setidaknta ada 2 episode nyeri saat isqtirafat dalam 24 jam
terakhir, deviasi ST>1mm saat tiba, peningkatan penanda jantung (CK dan troponin), dan
memiliki 3 faktor risiko (dislipidemia, hipertensi, dan diabetes).
Intepretasi skor 0-2 adalah risiko terjadinya suatu serangan adalah <8,3%, intepretasi
skor 3-4 adalah risiko terjadinya suatu serangan <19,9%, dan skor 5-7 adalah risiko
terjadinya suatu serangan <41%.
Klasifikasi GRACE berfungsi untuk melihat risiko kematian pasien. Terdapat 8
variabel dengan nilai total minimal 0 dan maksimal 383. Delapan variabel meliputi; usia, laju
denyut jantung, tekanan darah sistolik, kreatinin, adanya gagal jantung akut(Klasifikasi
Killip), henti jantung saat tiba di RS, peningkatan penanda jantung, dan deviasi segmen ST.
Intepretasi skor <108 adalah risiko terjadinya kematian rendah <1%, intepretasi skor
109-140 adalah risiko terjadinya kematian menengah antara 1-3%, dan intepretasi skor >140

adalah risiko terjadinya kematian tinggi >3%. Klasifikasi GRACE juga dapat digunakan
untuk menentukan kemungkinan kematian, 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit.
Stratifikasi CRUSADE berfungsi untuk melihat risiko terjadinya perdarahan yang
berperan dalam menentukan penatalaksanaan (angiografi dan pemberian thrombolitik).
Terdapat 8 variabel dengan nilai total minimal 1 dan nilai maksimal 96. Delapan variabel
terdiri atas; hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal
jantung saat datang, diabetes, riwayat penyakit kardiovaskuler sebelumnya, dan tekanan
sistolik.
Intepretasi skor 1-20 adalah risiko terjadinya perdarahan sangat rendah 3,1%,
intepretasi skor 21-30 adalah risiko terjadinya perdarahan rendah 5,5%, intepretasi skor 31-40
adalah risiko terjadinya perdarahan menengah 8,6%, intepretasi skor 41-50 adalah risiko
terjadinya perdarahan tinggi 11,9%, dan intepretasi skor >50 adalah risiko terjadinya
perdarahan sangat tinggi 19,5%.1,3
7. Epidemiologi
Pada tahun 2009 terdapat 683.000 pasien yang dipulangkan dengan diagnosis ACS. Insidens
untuk STEMI menurun dalam beberapa dekade ini, sementara untuk Non-STEMI dan UAP
justru meningkat. Persentase STEMI terhadap kejadian MI adalah 25-40%. Tingkat mortalitas
STEMI di rumah sakit antara 5-6% dan 1 tahun setelah pulang dari rumah sakit adalah 718%. Sekitar 30% pasien STEMI adalah perempuan, di mana perempuan memiliki tingkat
kegagalan yang tinggi pada terapi reperfusi (CRUSADE). Di Amerika sekitar 23% pasien
dengan STEMI juga disertai dengan diabetes mellitus, dengan 33% pasien diabetes
meninggal disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler.3
8. Patofisiologi
Sebagian besar acute coronary syndrome adalah manifestasi akut dari plak arteroma
pembuluh darah koroner yang pecah atau sobek. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan lapisan yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti
oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
Terbentuknya suatu trombus yang kaya akan trombosit (white trombus). Trombus ini
akan menyumbat pembuluh darah koroner baik secara total maupun parsial; atau menjadi
mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi
penglepasan zat vasoaktif (mediator peradangan) yang menyebabkan vasokontriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner.1,3-5
8

Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan terjadinya iskemia dari otot jantung.
Suplai oksigen yang kurang pada jantung dapat menyebabkan terjadinya keadaan iskemia
miokardium. Apabila terjadi iskemia selama 20 menit maka miokardium dapat mengalami
suatu kematian (nekrosis) yang kemudian akan digantikan oleh jaringan parut, proses ini
disebut sebagai myocardial infarction.
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung. Akibat lain dari iskemia selain nekrosis adalah
gangguan kontraktilitas karena proses hibernating, stunning, disritmia, dan remodeling
ventrikel. 1,3
Sebagian pasien dengan ACS juga dapat disebabkan oleh suatu obstruksi dinamis
akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Prinzmetal's Angina). Penyempitan arteri
koronaria, tanpa spasme maupun trombus dapat disebabkan oleh karena progresi plak atau
restenosis setelah Percutaneous Coronary Intervention. Adanya demam, anemia, hipotensi,
takikardia dapat meningkatkan kejadian ACS pada pasien.
9. Penatalaksanaan

Perawatan Gawat Darurat1,3,4

Diagnosis kerja infark miokard harus dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang
berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin.
Adanya riwayat penyakit jantung koroner dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah, atau
lengan kiri memperkuat dugaan ini. Pemantauan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien
dengan dugaan STEMI. Bila fasilitas memadahi dapat segera dilakukan PCI.
Terapi pre-reperfusi yang dapat dilakukan adalah pemerian MONA, yaitu; morfin
2,55-5 mg IV, oksigen, nitrat, dan aspirin 160-320 mg
Terapi reperfusi segera, baik dengan PCI atau farmakologis, diindikasikan untuk
semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan ST-elevasi yang menetap.
Terapi reperfusi (sebaikya PCI primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun
EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, apabila gejala telah lebih dari 12 jam yang
lalu atau terdapat perubahan EKG sebaiknya tetap dilakukan reperfusi.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya
rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada, langsung terapi fibrinolitik.
Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian ke rumah sakit tersebut kurang dari 2
9

jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam maka sebaiknya dilakukan fibrinolitik pada
rumah sakit yang lebih terjangkau. Setelah terapi dengan fibrinolitik selesai diberikan,
sebaiknya dikirim ke rumah sakit dengan fasilitas PCI.
PCI adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan daripada fibrinolitik. PCI primer
diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik,
kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian PCI akan tertunda lama. Stenting lebih disarankan
daripada angioplasti balon untuk PCI primer. Sebaiknya tidak dilakukan PCI pada arteri yang
telah tersumbat lebih dari 24 jam.
Pasien yang akan menjalani PCI primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet
ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sebelum melakukan angiografi.
Pilihan terhadap reseptor ADP yang dapat digunakan adalah Ticagrelol loading dose180 mg
diikuti oleh pemeliharaan 90 mg (direkomendasikan) dan clopidogrel 600 mg diikuti oleh
pemeliharaan 150 mg per hari.
Antikoagulan yang harus digunakan dalam PCI primer antara lain adalah; heparin
bolus 5000 IU, enoksaparin sodium injeksi 2x0,1kgBB, dan fondaparinux tanpa perhitungan
berat badan. Fibrinolitik tidak disarankan pada pasien yang direncanakan untuk menjalani
PCI primer.
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat
yang tidak dapat dilakukan PCI. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak timbulnya gejala. Pada pasien-pasien yang datang segera <2jam sejak timbulnya gejala
dengan infark yang besar dan risiko pendarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (alteplase bolus 15mg intravena 0,75mg/kgBB
selama 30 menit kemudian 0,5mg/kgBB, dosis maksimal 100 mg) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase 1.500.000 IU
dalam 100mL dekstrosa 5% dalam 30-60 menit). Aspirin oral atau intravena harus diberikan.
Clopidogrel

diindikasikan

sebagai

terapi

tambahan

untuk

aspirin.

Antikoagulan

direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrionolitik hingga


revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari.
Antikoagulan yang dapat digunakan antara lain adalah; enoksaparin dan heparin. Pada
pasien-pasien yang diberikan streptokinase, fondaparinuks bolus secara intravena dilanjutkan
dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.
Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap, hingga maksimum 8
hari. Pasien STEMI yang tidak mendapatkan terapi reperfusi sebaiknya diberikan terapi
10

antikoagulan (regimen non-heparin yang tidak terfraksi) selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari. Fondaparinux juga dapat diberikan dengan dosis yang sama seperti pada
saat pasien mendapat terapi fibrinolisis.
Strategi invasif diindikasikan pada risiko STEMI tinggi, shok kardiogenik, skor
Killip>3, pasien datang lebih dari 3 jam setelah gejala, dan diagnosis STEMI masih raguragu. Pada pasien dengan klirens kreatinin <60mL/menit, penyesuaian dosis aspirin,
clopidogrel, ticargrelor, fondaparinuks, dan heparin tidak diperlukan. Pada enoksaparin tidak
perlu dilakukan penyesuaian dosis.

Obat-obatan yang diperlukan untuk penanganan ACS1,3,4

Beta blocker digunakan sebagai anti iskemia pada penanangan ACS. Keuntungan utama
terapi -blocker adalah mengakibatkan turunya kebutuhan oksigen miokardium. Terapi
hendaknya tidak diberikan kepada pasien dengan gangguan konduksi sinus AV yang
signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri.
Beta blocker direkomendasikan kepada pasien dengan UAP dan Non-STEMI,
terutama jika terdapat hipertensi atau takikardia. -blocker sebaiknya diberikan pada pasien
24 jam pertama setelah munculnya gejala. Bisoprolol 10mg/ hari dan propanolol 2x20-80mg/
hari dapat diberikan dalam praktik klinis sehari-hari.
Nitrat memiliki keuntungan dilatasi vena dan menyebabkan penurunan preload dan
volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga mengurangi kebutuhan oksigen miokardium.
Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang
mengalami arterosklerosis. Nitrat baik oral maupun IV digunakan untuk menghilangkan
gejala fase akut angina. Nitrat diindikasikan pada iskemia persisten, gagal jantung, atau
hipertensi pada ACS. Nitrat tidak diindikasikan kepada pasien dengan tekanan sistolik <
90mmHg dan pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase (sidenafil) dalam 24
jam. Beberapa contoh nitrat adalah: Isosorbid dinitrat (ISDN); sublingual 2,5-15 mg, oral 1580 mg, dan IV 1,25-5 mg/ jam, isosorbid mononitrat (ISMN); oral 2x20 mg/ hari dan oral
slow release 120-140mg/ hari, nitroglicerin; sublingual tablet 0,3-0,6 mg-1,5mg dan IV 5-200
mcg/ menit.
Calcium channel blockers (CCBs) seperti nifedipin dan amlodipin mempunyai efek
vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya
verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA node dan AV node yang menonjol dan
sekaligus efek dilatasi arteri.

11

Semua CCB memiliki efek dilatasi koroner yang seimbang. CCB golongan
dihidropiridin merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Verapamil 180240 mg/ hari, diltiazem 120-360 mg/ hari, nifedipin GITS long acting 30-90mg/ hari, dan
amlodipin 5-10 mg/ hari merupakan golongan CCB yang biasa digunakan dalam praktik
sehari-hari.
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien dengan loading dose 150-300 mg dan
dosis pemeliharaan 75-100 mg/ hari tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.
Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada kontra indikasi seperti perdarahan. Pemberian
proton pump inhibitor (PPI) sebaiknya diberikan bersama DAPT.
Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemia
sedang hingga tinggi dengan loading dose 180 mg dilanjutkan 90 mg dua kali sehari.
Pemberian

ticagrelor

tanpa

memandang

strategi

pengobatan

awal.

Clopidogrel

direkomendasikan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan ticagrelor dengan loading
dose 600 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg. Dual anti platelet therapy terdiri
atas aspirin 150-300 mg (75 mg) dan penghambat reseptor ADP; ticagrelor 180 mg (2x90
mg) atau clopidogrel 300 mg (75 mg).
Antikoagulan disarankan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
Fondaparinux 2,5 mg/ hari secara subkutan. Enoksaparin 1mg/ kg BB 2 kali sehari
disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah. Dalam strategi yang benar-benar
konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari
rumah sakit.
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACEI) dan angiotensin receptor blocker
(ARB) berguna dalam mengurangi remodelling dan menurunkan angka kematian penderita
pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal
jantung klinis. Penggunaanya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut. Captopril 23 x 6,25-50 mg, lisinopril 2,5-20 mg/ hari, ramipril 2,5-10 mg/ hari, kandesartan 4-8 mg/ hari,
valsartan 40-80mg/ hari, dan irbesartan 75-300 mg/ hari adalah beberapa contoh dari ACEI
dan ARB yang digunakan dalam praktik sehari-hari.
Pemberian statin juga diindikasikan pada pasien post miokard infark, tanpa melihat
nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet. Inhibitor
hydromethyltglutary-CoA reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita ACS.
Terapi dosis tinggi hendaknya diberikan sebelum pasien keluar dari rumah sakit dengan
sasaran untuk mencapai target kolesterol LDL< 100mg/dL. Penurunan kadar kolesterol LDL
12

sampai <70mg/dL dapat dicapai dengan pemberian statin dosis tinggi seperti; rosuvastatin 20
mg dan atorvastatin 40 mg.
10. Prognosis
Prognosis miokardiak infark berdasarkan lokasi dan luasnya infark (inferior lebih baik
daripada anterior), penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi. Orang tua dan perempuan
memiliki prognosis yang lebih buruk. Keterlambatan dalam penanganan pasien dapat
memperburuk prognosis. 1,3
11. Komplikasi
Komplikasi pada STEMI adalah disfungsi miokardium sehingga terjadi gagal jantung. Gagal
jantung pada STEMI ditandai dengan gejala khas sperti dispnea, sinus takikardi, BJ3, dan
ronki pulmonal. Disfungsi ventrikel kiri merupakan salah satu prediktor terkuat untuk
mortalitas setelah terjadinya STEMI.1,3,4
Keadaan hipotensi dapat terjadi sebagai akibat dari gagal jantung ataupun
hipovolemia, gangguan irama, atau komplikasi mekanis. Kongesti paru ditandai dengan
dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial,
kongesti paru pada rontgent dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/ atau terapi
vasodilator.1
Shok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama dengan laju kematian yang
tinggi mendekati 50%. Gejala nampak adalah sesak napas, batuk, dan hipotensi. Aritmia dan
gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah miokard infark.
Adanya ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi merupakan indikator peningkatan
mortalitas. 1,3,4
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel
kiri, gangguan m. papilaris atau pecahnya chordae tendinae. Keadaan ini biasanya disertai
dengan perburukan hemodinamik dengan dispnea akut, kongesti paru, dan murmur sistolik.
Ruptur ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah infark transmural, dan muncul
sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskuler dengan disosiasi elektromekanis.1,3
Ruptur septum ventrikel ditandai dengan perburukan klinis yang terjadi dengan cepat
dengan gagal jantung akut dan murmur sistolik yang kencang yang terjadi pada fase subakut.
Insidens pericarditis post-STEMI berkurang setelah dilakukanya reperfusi. Aneurisma
ventrikel kiri dapat terjadi pada pasien dengan infark transmural besar terutama pada dinding
anterolateral, dapat mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan aneurisma
13

ventrikel kiri. Trombus ventrikel kiri juga telah berkurang terutama oleh karena kemajuan
reperfusi.1,4
Penutup
ST-elevation myocaridal infarction (STEMI) adalah suatu penyakit acute coronary syndrome
(ACS) yang terjadi oleh karena terbentuknya trombus pada arteri koroner, sehingga
miokardium mengalami suatu iskemia dan lama-kelamaan suatu infark. Gejala yang khas
pada STEMI adalah suatu angina tipikal, diagnosis dapat ditegakan melalui pemeriksaan
EKG dan penanda jantung. Penatalaksanaan STEMI memerlukan penanganan gawat darurat
dapat dilakukan dengan melakukan terapi reperfusi, penanganan lanjutan STEMI hampir
sama dengan penanganan ACS yang lain pada umumnya. Berbagai komplikasi dapat terjadi
mulai dari gagal jantung sampai perikarditis.
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman tatalaksana sindrom
koroner akut. Jakarta: Jurnal Kardiologi Indonesia 2015; 3-11, 39-47,58-71.
2. Clinical Practice Guidelines Secretariat. Management of acute ST segment elevation
myocardial infarction. Kuala Lumpur: Ministry of Health Malaysia 2014; 2-7, 15-17, 37-40.
3. O' Gara P, Kushner F G, Ascheim D, Casey D, Lemos J, et al. 2013 ACCF/AHA guideline
for the management of ST-elevation myocardial infarction. JACC 2012; 367, 375-8. 388-91.
4. Steg G, James S, Atar D, Badano, L, Borger M, et al. ESC Guidelines for the management
of acute myocardial infartion in patients presenting with ST-segment elevation. EurHeartJ
2012; 2574-5, 2595-8.
5. Steg G, James S, Harrington R, Ardissino D, Becker R, et al. Ticagrelor
Versus Clopidogrel in patients with ST-elevation acute coronary syndromes
intended for reperfusion with primary percutaneous coronary intervention.
Circulation 2010; 2131-41

14

Anda mungkin juga menyukai