Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dermatitis kontak nikel
2.1.1 Pendahuluan
Dermatitis kontak terhadap nikel semakin lama semakin sulit untuk dihindari,
karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung nikel digunakan seharihari dan secara terus menerus. Yang paling sering ditimbulkan oleh nikel adalah dermatitis
kontak alergi nikel, yang sering bersifat kronik dan residif karena sekali seseorang
tersensitisasi oleh nikel, maka sepanjang hidupnya orang tersebut akan sensitif terhadap
nikel dan tidak ada satupun area dari tubuh yang tidak rentan terhadap nikel.12,13
2.1.2 Epidemiologi
Nikel merupakan penyebab dermatitis kontak alergi yang paling sering dijumpai
bila dibandingkan dengan logam-logam lainnya.12,13 Prevalensi dermatitis kontak nikel
bervariasi di berbagai negara, berkisar antara 4-13,1% dan terus meningkat. Dermatitis
kontak nikel lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan pada pria, dapat dijumpai
pada berbagai usia, tetapi lebih sering dijumpai pada beberapa kelompok pekerjaan, seperti
penata rambut atau pekerja-pekerja industri dimana prevalensi dapat meningkat hingga 2738%.12 Prevalensi pada wanita lebih tinggi disebabkan karena wanita lebih sering kontak
dengan alat-alat yang mengandung nikel, seperti perhiasan, kancing, retsleting dan pengait
pada baju, peralatan rumah tangga maupun dari telepon seluler.12 Sedangkan pada pria,

Universitas Sumatera Utara

sebagian besar tersensitisasi karena terpapar pada saat bekerja, seperti dengan koin atau
alat-alat pekerjaan lainnya.13,14
2.1.3 Nikel
Nikel pertama kali ditemukan oleh ahli kimia yang berasal dari Swiss, Axel
Fredrik Cronstedt pada tahun 1751, merupakan suatu komponen logam alami yang dapat
dijumpai

di tanah, air, udara maupun di makanan.13 Dr. Stephen Rothman, pendiri

American Investigative Dermatology, pada tahun 1930 pertama kali mempublikasikan


bahwa nikel adalah salah satu pencetus dermatitis kontak dan pada tahun 2008 Nikel
ditetapkan sebagai Contact Allergen of the Year oleh American Contact Dermatitis
Society karena dianggap sebagai penyebab masalah kesehatan yang signifikan.16
Nikel adalah suatu unsur kimia dengan simbol kimia Ni dan nomor atom 28.10,13
Nikel berwarna putih keperakan dan berkilau. Karena sifatnya yang tahan korosi dan
mudah bercampur dengan logam-logamnya, maka nikel banyak sekali digunakan pada
berbagai macam peralatan.10,13
Selama beberapa dekade terakhir ini, nikel merupakan penyebab alergi yang paling
sering terdeteksi melalui pemeriksaan uji tempel di seluruh dunia.16 Dermatitis kontak
nikel secara signifikan dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya, terutama
mempengaruhi gaya hidup dan pekerjaan penderita seperti mempengaruhi penampilan
penderita maupun menghambat pekerjaannya.16 Nikel dapat dengan mudah dijumpai
dimana saja, dalam air minum, makanan, perhiasan, koin, bingkai kacamata, tambalan gigi
dan prostesis, kancing, resleting, alat-alat rumah tangga maupun insektisida.12,16

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Patogenesis dermatitis kontak alergi


Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat)
yang terdiri dari 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan elisitasi.

Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi adalah fase dimana terjadinya kontak pertama kali antara alergen
dengan kulit yang selanjutnya alergen tersebut akan dikenal dan direspon oleh limfosit T
atau fase ketika sel T naive dirubah menjadi sel T efektor atau sel T memori spesifikantigen. Alergen pada umumnya merupakan bahan dengan berat molekul rendah (<500
dalton), larut dalam lemak dan memiliki reaktivitas yang tinggi. Pada fase sensitisasi ini,
alergen yang belum diproses atau yang biasa disebut sebagai hapten akan dipaparkan ke
stratum korneum dan selanjutnya akan berpenetrasi ke lapisan bawah epidermis dan
akhirnya ditangkap oleh sel langerhans kemudian akan terjadi beberapa proses, seperti
proses endositosis atau pinositosis, proses degradasi nonlisosomal dari alergen atau proses
terjadinya ikatan antara peptida antigen dengan HLA-DR.20 Paparan dari alergen ini dapat
menurunkan jumlah sel langerhans pada epidermis sebanyak kurang lebih 50%, yang
disebabkan karena sel langerhans tersebut beremigrasi dari epidermis.21 Di dalam sel,
hapten akan diberikatan dengan enzim sitosolik dan selanjutnya menjadi antigen lengkap
yang akan diekspresikan pada permukaan sel langerhans imatur yang juga dapat berfungsi
sebagai makrofag walaupun masih memiliki kemampuan terbatas untuk menstimulasi
limfosit T. Tahap berikutnya adalah presentasi HLA-DR pada limfosit T helper yang akan
mengekskresikan molekul CD4, dimana pada fase ini sel langerhans harus berinteraksi
dengan sel T CD4 dengan reseptor khusus untuk antigen klas II dan alergen.20 Pengenalan

Universitas Sumatera Utara

antigen yang telah diproses dalam sel langerhans oleh Limfosit T terjadi melalui kompleks
reseptor limfosit T CD3 dan dapat juga dipresentasikan oleh MHC klas I yang akan
dikenali oleh CD8. Selanjutnya, limfosit T yang telah tersensitisasi akan bermigrasi ke
daerah parakortikal kelenjar getah bening regional untuk berdiferensiasi dan berproliferasi
membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan membentuk sel memori.
Sebagian akan kembali ke kulit dan ke sistem limfoid, tersebar ke seluruh tubuh dan
menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh.18,19,20

Fase Elisitasi
Fase ini melibatkan beberapa substansi, seperti sitokin, histamin, serotonin dan
prostaglandin. Selain itu beberapa neuropeptida juga terlibat seperti calcitonin generelated peptide dan -melanocyte stimulating hormone yang dapat menurunkan regulasi
dari fase elisitasi ini yang kemungkinan disebabkan karena adanya pengaruh dari sel
penyaji antigen.19 Fase elisitasi terjadi pada saat terjadi kontak ulang antara kulit dengan
hapten yang sama atau serupa. Hapten akan ditangkap dan kemudian dipresentasikan pada
permukaan sel langerhans, satu-satunya sel epidermal yang mengekspresikan antigen
HLA-DR klas II pada permukaannya. Selanjutnya sel langerhans akan mengeluarkan
sitokin, yaitu interleukin-1 yang akan menstimulasi limfosit T untuk menghasilkan
interleukin-2 dan mengekspresikan reseptor interleukin-2 yang akan menyebabkan
proliferasi dan ekspansi populasi limfosit T pada kulit. Limfosit T teraktifasi akan
mensekresikan IFN- yang akan mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresikan
Intercellular adhesion molecule I (ICAM-I) dan Histocompatability Locus A (HLA)DR.19,20 Sitokin tidak hanya diproduksi oleh sel langerhans dan limfosit T, tetapi dapat

Universitas Sumatera Utara

juga diproduksi oleh sel keratinosit, sel mast dan makrofag yang terlibat pada patogenesis
dermatitis kontak alergi ini. Sitokin mempunyai peranan penting pada molekul-molekul
adhesi yang mengatur jalur sel langerhans, sel T dan sel-sel inflamasi lainnya di kulit.
Selain itu, ekspresi dari molekul-molekul adhesi lain pada sel langerhans dan sel T dapat
mempengaruhi respon sel T terhadap alergen yang masuk.20
HLA-DR pada keratinosit akan berinteraksi dengan limfosit T CD4 melalui
molekul ICAM-1. Selain itu, ekspresi HLA-DR dapat menyebabkan keratinosit menjadi
target limfosit T. Keratinosit aktif juga memproduksi berbagai sitokin lain, seperti IL-1,
IL-6 dan GMSCF yang selanjutnya akan mengaktifkan limfosit T. Selanjutnya IL-1 dapat
menstimulasi keratinosit untuk memproduksi eicosanoid yang akan menghasilkan sel mast
dan makrofag. Histamin yang berasal dari sel mast dan keratinosit serta infiltrasi lekosit
menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas terhadap berbagai sel dan faktor
inflamasi yang terlarut. Jalur tersebut merupakan respon kulit pada dermatitis kotak
alergik yang meliputi inflamasi, destruksi seluler dan proses perbaikan.18,22
Beberapa teori mengungkapkan kemungkinan beberapa faktor yang bertanggungjawab
dalam proses migrasi sel T helper ke kulit, antara lain sitokin-sitokin kemotaktik yang
secara lokal akan bertindak pada keadaan-keadaan kulit tertentu, adanya peningkatan
regulasi molekul-molekul adherens pada kulit (pada endotelium pembuluh darah, sel
stromal dan sel-sel di epidermis) serta sel langerhans pada epidermis yang berfungsi
sebagai bantalan untuk antigen yang transit di epidermis sebelum antigen tersebut
ditransmisikan ke kelenjar getah bening yang akan membantu sel T helper untuk berikatan
dengan antigen pada kulit.21

Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Patogenesis dermatitis kontak nikel


Seperti yang kita ketahui selama ini bahwa patogenesis dermatitis kontak alergi
nikel diperantarai oleh sel Th1 tetapi belakangan ini diketahui bahwa ternyata sel Th2 juga
berperan pada patogenesis dermatitis kontak nikel.
Nikel yang pada jalur ini berperan sebagai hapten, ketika kontak dengan kulit dan
masuk melalui stratum korneum kemudian akan berikatan dengan protein karier untuk
selanjutnya akan ditangkap oleh antigen precenting cell dan diproses sehingga menjadi
fragmen peptida dan kemudian dipresentasikan ke permukaan antigen precenting cell
bersama-sama dengan MHC sehingga dikenali oleh limfosit T yang diinduksi nikel atau
nickel-induced lymphocyte T

yang akan berproliferasi dan mensekresikan sitokin,

terutama sitokin IL-5 yang merupakan mediator spesifik pada dermatitis kontak nikel.18
Menurut Sanderson (1992), IL-2 yang diproduksi oleh limfosit Th1 yang berperan
pada patogenesis dermatitis kontak nikel ini ternyata dapat menginduksi produksi IL-5
oleh limfosit Th2 yang ternyata juga berperan pada patogenesis dermatitis kontak nikel
ini.23
Literatur lain berpendapat bahwa paparan nikel pada kulit dapat merangsang
terjadinya respon imun yaitu yang terjadi pada saat terjadi kontak langsung antara nikel
dan permukaan kulit dimana nikel-nikel tersebut akan berikatan dengan makromolekulmakromolekul endogen dan sel-sel sitotoksik yang mengakibatkan peningkatan regulasi
molekul-molekul adhesi. Paparan dalam dosis yang rendah saja sudah dapat menyebabkan
perubahan metabolisme limfosit, sehingga semakin lama dan seringnya paparan maka
semakin besarnya perubahan metabolisme limfosit.3,7

Universitas Sumatera Utara

Czarnobilska memaparkan bahwa patogenesis dermatitis kontak nikel dapat


terjadi melalui beberapa cara, yaitu (1) nikel berikatan dengan protein ekstraseluler dan
kemudian oleh antigen precenting cell (APC) akan disajikan sebagai molekul MHC klas II
yang akan mengaktifkan limfosit CD4+ untuk memproduksi semakin banyak IL-5, (2)
nikel akan berpenetrasi kedalam sel dan berikatan dengan protein intraseluler dan
selanjutnya disajikan sebagai molekul MHC klas I yang meningkatkan aktivitas limfosit
CD8+ sehingga produksi sitokin meningkat, atau (3) nikel dapat juga berperan sebagai
superantigen dengan cara berikatan dengan molekul MHC Klas II dan menyebabkan
peningkatan proliferasi limfosit melalui ikatannya dengan reseptor TCR.22
2.1.6 Diagnosis
A. Anamnesis penyakit
Diagnosis dermatitis kontak nikel dapat ditegakkan melalui anamnesis, seperti
riwayat penyakit, riwayat keluarga, observasi klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
uji tempel.
Riwayat keluarga perlu ditanyakan karena genetik, walaupun dalam persentasi
yang kecil, diduga mempunyai peranan terhadap kesensitivitasan seseorang terhadap nikel
yang akan mempermudah seseorang menderita dermatitis kontak nikel dan bila seseorang
tersensitisasi oleh nikel maka semakin besar resiko anggota keluarga derajat 1 dari pasien
tersebut untuk tersensitisasi.20 Tetapi, lingkungan merupakan faktor yang paling berperan
sebagai penyebab dermatitis kontak nikel, seperti melalui inhalasi, ingesti dan kontak
langsung.12 Paparan terhadap nikel pada manusia yang secara inhalasi adalah melalui
polusi udara, secara ingesti melalui konsumsi makanan dengan kandungan nikel yang

Universitas Sumatera Utara

tinggi seperti gandum, coklat, gelatin, kacangan-kacangan, dan beberapa jenis ikan dengan
kadar melebihi 0,6 mg/hari dan yang paling sering adalah melalui kontak langsung dengan
alat-alat yang mengandung nikel.10,11 Beberapa faktor predisposisi dapat meningkatkan
resiko dermatitis kontak nikel, antara lain semakin banyak dan seringnya partikel-partikel
nikel terpapar ke kulit yaitu bila lebih dari 0,5g/cm2/minggu melalui pemakaian peralatanperalatan yang mengandung nikel, adanya campuran bahan-bahan lain yang mempermudah
pelepasan nikel ke kulit, keadaan kulit pada saat kontak (durasi, temperatur dan pH kulit)
dan keadaan sawar epidermis (sedang mengalami inflamasi, adanya mikroorganisme),
dimana keadaankeadaan tersebut dapat meningkatkan bioavailabilitas ion-ion nikel.2,12,24
B. Gambaran klinis
Secara garis besar lesi dermatitis nikel dapat dibagi menjadi lesi lokal dan lesi
sistemik. Lesi lokal timbul melalui paparan kontak langsung, sedangkan lesi sistemik
biasanya timbul akibat paparan melalui inhalasi dan ingesti.12
Calnan mengklasifikasikan lesi lokal dari dermatitis nikel menjadi 2 kelompok :
(a) Lesi primer : lesi yang timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi
eksematosa dan terkadang papular). Lesi eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel
yang dijumpai pada lokasi kontak langsung dan (b) lesi sekunder : lesi yang timbul
simetris dengan lokasi kontak langsung dan berhubungan dengan aktivitas lesi primer.
Paparan dengan peralatan yang hanya mengandung sedikit nikel dan hanya sesaat hanya
akan menimbulkan gambaran klinis berupa eritema. Lokasi lesi sekunder paling sering
timbul adalah lipat siku, kelopak mata, leher dan wajah dan terkadang lesi dapat menjadi
generalisata.10 Beberapa penderita dermatitis kontak nikel melaporkan bahwa lesi

Universitas Sumatera Utara

semakin berat terutama pada musim kemarau karena penderita akan semakin banyak
mengeluarkan keringat. Pada saat berkeringat kandungan klorida pada keringat akan
meningkat sehingga menguraikan garam-garam nikel dan mengakibatkan peningkatan
absorbsi garam-garam nikel ke kulit.12
Lesi akibat alergi nikel secara sistemik dapat dijumpai disemua lokasi tubuh,
tetapi tangan merupakan lokasi tersering dijumpainya lesi ini, dengan gambaran klinis
berupa pomfoliks atau seperti gambaran dermatitis tangan pada umumnya. Beberapa
fakta yang membuktikan paparan nikel melalui ingesti juga dapat menyebabkan lesi
antara lain, (a) timbulnya eksema dan atau reaksi uji tempel positif bila dilakukan uji
nikel secara oral, (b) lesi mengalami perbaikan bila penderita melakukan diet nikel, (c)
lesi membaik dengan pemberian disulfiram secara oral yang mempunyai efek melarutkan
nikel dan meningkatkan ekskresi nikel. 12
2.2 Derajat kepositifan uji tempel
Czarnobilska dan Jenner (2009), melaporkan bahwa terdapat hubungan antara
derajat kepositifan uji tempel dengan kadar IL-5 pada penderita dermatitis kontak nikel.10
Terdapat 3 jenis standart uji tempel, yaitu European standart series yang
ditetapkan oleh The European environmental and Contact Dermatitis Research Group
(EEC-DRG) yang terdiri dari 22 alergen, The North American Standart Series yang
ditetapkan oleh The North American Contact Dermatitis Group yang terdiri dari 20
alergen dan yang ketiga adalah The Japanese Standart Series yang ditetapkan oleh The
Japanese Society for Contact Dermatitis yang terdiri dari 25 alergen.24

Universitas Sumatera Utara

Nikel sulfat 5% dalam vaseline tersebut akan diujikan dengan cara dibiarkan
berkontak dengan kulit selama 48-72 jam dan kemudian hasilnya, yaitu berupa reaksi
yang terjadi akan diamati, dibaca dan dicatat pada hari ke-2 (48 jam), hari ke-3 (72 jam)
dan hari ke-4 (96 jam) yang merupakan standart penilaian hasil uji tempel berdasarkan
The North American Standart Series yang ditetapkan oleh The North American Contact
Dermatitis Group.26
Dengan melakukan uji tempel yang benar, maka kita dapat mengetahui apakah
orang yang kita uji pernah mengalami kontak dan sudah tersensitisasi dengan alergen
yang diuji.
Pembacaan hasil uji tempel yang positif diberi skor sesuai dengan derajat
reaksi yang terjadi dengan penilaian sistem grading menurut NACDG sebagai berikut : 26
(-)

Negatif (tidak ada reaksi)

(+?)

Reaksi meragukan (hanya eritema)

(+)

Reaksi positif lemah (eritema, infiltrasi, papel +/-)

(++)

Reaksi positif kuat (eritema, infiltrasi, papel, vesikel)

(+++) Reaksi positif sangat kuat (reaksi ++ disertai bula)

2.3 Interleukin-5
2.3.1 Definisi

Universitas Sumatera Utara

Interleukin-5 adalah suatu interleukin yang berasal dari sel T helper 2 dan sel
mast yang teraktivasi. Interleukin-5 terdiri dari 115 asam amino, dan gen IL-5 ini terletak
pada kromosom 5. Tidak seperti sitokin sitokin lainnya, bentuk aktif dari IL-5 ini adalah
homodimer. 25,26
2.3.2 Fisiologi
Interleukin-5 mempunyai peranan sebagai perangsang pertumbuhan sel B,
stimulator pertumbuhan serta diferensiasi eosinofil dan mastositosis, mengaktivasi
pematangan eosinofil dan meningkatkan sekresi imunoglobulin-A, imunoglobulin-E dan
imunoglobulin-G dengan cara meningkatkan diferensiasi sel B. Interleukin-5 merupakan
mediator utama aktivasi eosinofil dan dapat mengatur peran dari eosinofil pada tiap tahap
pematangan eosinofil.26,30
Kadar IL-5 dalam serum yang meningkat dapat mengakibatkan peningkatan
jumlah eosinofil atau hipereosinofilia yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
diperantarai eosinofil dan mengakibatkan disfungsi organ.31
Peningkatan kadar IL-5 juga dijumpai pada penderita dermatitis atopi dan pada
infeksi yang disebabkan oleh parasit, yaitu Schistosoma mansoni. Telur Schistosoma
mansoni yang masuk kedalam tubuh akan berperan sebagai antigen yang kemudian akan
ditangkap oleh antigen precenting cell dan selanjutnya akan dipresentasikan ke sel Th2.
Selanjutnya sel Th2 tersebut akan berproliferasi dan akan mengekskresikan IL-4, IL-10 dan
terutama IL-5 yang akan menginduksi pembentukan dan pematangan eosinofil sehingga
terjadi hipereosinofilia.32

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai