Anda di halaman 1dari 6

MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO.

1, APRIL 2010: 69-74

TENGGELAMNYA JAKARTA DALAM HUBUNGANNYA


DENGAN KONSTRUKSI BANGUNAN BEBAN MEGACITY
Jack M. Manik1 dan M. Djen Marasabessy2*)
1. Balai Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Ambon, Kotak Pos 1108, Indonesia
2. Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta 14430, Indonesia
*)

E-mail: djenmars@gmail.com

Abstrak
Kota Jakarta dan sekitarnya sebagian besar berdiri di atas dataran pesisir yang berelevasi rendah telah mengalami
pertumbuhan penduduk dan juga pembangunan bangunan-bangunan tinggi dan berat secara dramatis. Beban bangunan
dan segala isinya di Jakarta dan sekitarnya menekan dataran pesisir yang berdaya dukung relatif rendah terhadap
bangunan sehingga menimbulkan aneka dampak negatif dalam bentuk amblesan tanah dan aneka dampak negatif
runutannya, semisal genangan air dan banjir. Tulisan ini secara eksplisit mencoba membuat hipotesis bahwa betapa total
gaya berat megacity dan populasi cenderung memberikan dampak negative berupa amblesan dataran pesisir dan
perubahan isostasi bumi, dan selanjutnya juga pada perubahan rotasi bumi.

Abstract
Sinking of Jakarta in Relation with Building Construction Namely Megacity Load. The Jakarta city which lies on
low coastal plain is home of over ten millions mof people. The number of population has been growing together with
the constructions of high rise buildings. The buildings with all of the materials and people who live and use them
together with continuous ground water extraction have resulted in undergone dramatic subsidence and other following
negative impacts such as permanent flooding. This paper explicitly propose a hypothesis that the total weight of the
megacity and the population tends to cause subsidence in coastal area and the charge in the earth isostasi, as well as in
earth rotation.
Keywords: building construction, coastal zone, ground water extraction, Jakarta, megacity load, negative impact,
subsidence

sangat dinamik dan dapat berubah cepat sewaktu-waktu.


Teori ini pada hakekatnya menjelaskan bahwa bagian
lempeng bumi yang berupa dasar laut umumnya
dibentuk oleh material batuan dengan massa jenis dan
berat jenis tinggi, sementara daratan terbentuk oleh
material bermassa dan berberat jenis lebih rendah. Agar
beban seimbang, maka material di daratan lebih tebal
dibanding dengan yang di dasar laut.

1. Pendahuluan
Kerak bumi atau litosfer (lithosphere) dibentuk oleh
material dengan sifat yang tidak homogen dan tidak
memiliki kepadatan atau kerapatan massa, massa jenis
dan berat jenis yang merata, yang secara umum nilainya
meninggi ke arah pusat bumi. Lapisan dengan ketebalan
sekitar 60 km ini penuh dengan perlipatan, patahan, dan
rekahan. Kerak bumi ini harus menahan desakan magma
dari lapisan astenosfer (astenosphere) melalui retakanretakan bumi dalam bentuk rekahan, pemekaran atau
perekahan dasar tengah samudera (mid oceanic sea floor
spreading) dan gunung-gunung berapi yang tersebar di
daratan dan di dasar lautan dalam lokasi dan jalur-jalur
tertentu sesuai dengan teori tektonik lempeng bumi
(plate tectonics) (Gambar 1). Desakan magma terjadi
akibat proses geologi di dalam bumi, yang dicakup pula
dalam teori keseimbangan (isostasi) lempeng bumi,
yang meskipun secara umum berlangsung pelan tetapi

Permukaan luar kulit bumi berada dalam bentuk batuan,


hasil pelapukan batuan, atau sedimen lepas. Sebagian
daratan merupakan dataran pesisir (coastal plain) yang
berelevasi rendah dan berdaya dukung rendah terhadap
beban bangunan. Sebagian daratan kota Jakarta dan
sekitarnya berada di atas dataran pesisir berelevasi
rendah rentan genangan air dan berdaya dukung rendah
yang rentan pemadatan dan amblesan. Oleh karena itu,
dapat dibayangkan betapa besar resiko membangun
gedung pencakar langit di atas kerak bumi yang lemah

69

70

MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74

seperti itu, di atas daratan yang hanya sekitar 32% dari


lapisan luar planet bumi berupa daratan, sedangkan
penduduk bumi selalu bertambah dan sekarang telah
mencapai lebih dari 6,8 milyar orang [1].
Agaknya bumi saat ini melewati proses-proses
evolusioner ketika kulitnya bergetar dan berbenturan
sebagai akibat proses tektonik dan dipengaruhi pula
oleh sangat besarnya efek gaya berat beban megacity
dan populasi penduduk dunia sehingga terjadi entropi
(entropy) semakin besar yang menimbulkan amblesan
dataran pesisir serta perubahan bentuk geoid, dan
mungkin juga perubahan rotasi bumi.
Bila diasumsikan bahwa pada mulanya gaya-gaya yang
bekerja pada permukaan tanah adalah seimbang atau
dikatakan jumlah gaya-gaya adalah nol. Adanya beban
megacity ini, memberikan gaya berat tambahan pada
suatu bagian bumi yang dapat merubah keseimbangan.
Gaya berat dari megacity dapat diibaratkan merupakan
suatu struktur dalam teknik sipil. Sedangkan struktur
adalah gabungan dari komponen-komponen yang
menahan gaya desak dan atau gaya tarik, dan mungkin
juga momen untuk meneruskan beban-beban ke tanah
dengan aman [2].
Tulisan ini secara eksplisit mencoba membuat hipotesis
bahwa betapa total gaya berat megacity dan populasi
cenderung memberikan dampak negatif berupa
amblesan dataran pesisir dan perubahan isostasi bumi,
dan selanjutnya juga pada perubahan rotasi bumi.

2,8

2,8

2,8

2,8

2,8

3,0

3,3

2,8

2,6

2,9

3,0

3,3

Gambar 2. Teori Isostasi (keseimbangan kulit bumi/


litosfera) masing-masing menurut Teori
Pratt = A, dan menurut Teori Airy atau Teori
Akar-akar Pegunungan-pegunungan/Roots of
Mountains = B [2]

2. Metode Penelitian
Kulit bumi yang direpresentasikan dengan lempeng
bumi dalam teori tektonik lempeng (plate tectonics)
bergerak dan berubah bentuk dan tempat, baik dalam
arah vertikal maupun lateral. Perubahan elevasi
permukaan tanah secara global ini sekarang dapat
dipantau dengan menggunakan jaring sipat datar dengan
bantuan data (citra) satelit geodesi. Perubahan
umumnya juga dilakukan dengan membandingkan
dengan perubahan elevasi muka laut. Pemantauan
permukaan air laut dapat dilakukan dengan
menggunakan data citra satelit, dan data pengamatan
pasang surut. Kedua data ini saling dihubungkan untuk
menentukan penurunan atau kenaikan lapisan batuan
dan permukaan tanah. Semua data dapat diperoleh
melalui jaringan internet [4,5]. Kompilasi data sekunder
dalam penelitian ini dilakukan dengan metode IDEA
(Imagination, Data, Evaluation, Action).
Kemungkinan
terjadinya
proses
terus-menerus
penyeimbangan permukaan bumi, baik yang terjadi
karena proses alam dalam bentuk pergerakan lempeng
bumi serta erosi dan sedimentasi, maupun oleh proses
kegiatan manusia khususnya melalui pembangunan
perkotaan berbangunan berat dan tinggi didasarkan pada
Teori Pratt dan Airy disajikan pada Gambar 2.

3. Hasil dan Pembahasan


Gambar 1. Lapisan Astenosfer yang Kenyal dan Selalu
Berubah-ubah dan Bergerak akan Semakin
Terpengaruh oleh Keseimbangan Baru oleh
adanya Beban Perkotaan Megapolitan
Khususnya yang Semakin Semarak dibangun
dan Berkembang di Wilayah Pesisir Menurut
Teori Isostasi dalam Ilmu Geofisika [3].

Pertumbuhan kota-kota besar yang berpenduduk lebih


dari 10 juta orang (megacity) [6], dan kota-kota besar
lainnya (metropolitan, berpenduduk 1-10 juta orang)
banyak terjadi di wilayah pesisir (coastal zone; Gambar
3). Bahkan, 60% kota-kota besar dunia berada pada
jarak 60 km dari garis pantai (Ongkosongo, komunikasi
pribadi). Sebagai pembanding, sekitar 53% penduduk
Amerika Serikat tinggal di wilayah pesisir [7-9].

MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74

71

Adanya beban megacity, akan memberikan gaya berat.


Gaya berat tersebut akan diteruskan ke tanah. Kalau
kekuatan tanah lebih kecil daripada kekuatan beban
bangunan, maka tanah memerlukan luas permukaan (A)
yang lebih besar untuk memikul beban (P) yang sama.
Luas permukaan tanah yang diperlukan berbanding
lurus dengan beban bangunan dan berbanding terbalik
dengan daya dukung tanah yang diizinkan, dengan
rumus:
A=P

(1)
Keterangan:
A = Luas permukaan tanah
P = Beban bangunan
= Daya dukung tanah yang diizinkan
Bangunan megacity yang berukuran besar selalu
didirikan di atas pondasi yang kuat. Pondasi berguna
untuk menyalurkan beban ke dalam tanah. Untuk itu
harus ditentukan besar beban yang bekerja pada setiap
pondasi. Pondasi adalah elemen untuk menyebarkan
beban bangunan dari elemen struktur ke titik
pendukung. Dengan kata lain, pondasi adalah elemen
bangunan untuk memindahkan beban struktur ke dalam
tanah. Bila tanah permukaan terlalu lemah, maka luas
pondasi akan sangat besar, berat, dan secara ekonomi
akan mahal. ltulah sebabnya dibutuhkan penanaman
tiang pancang sampai begitu dalam sehingga tanah
mampu mendukung beban.
Penanaman tiang pancang yang sangat dalam
menyebabkan tanah mendapat tekanan yang sangat
besar. Sebagai misal, konstruksi bangunan menara Pisa
di Italia dengan berat 14.500 ton akan disebarkan oleh
pondasi yang sangat dalam untuk selanjutnya diteruskan
ke dalam tanah. Apabila distribusi beban atau daya

Gambar 4. Contoh Bangunan Tinggi Pencakar Langit di


Jakarta beserta Segala Pemukiman, Sarana
dan Prasarana yang digunakan Manusianya
merupakan Beban Sangat Berat yang
menekan Bumi (Foto: Ongkosongo)

dukung tanah tidak merata atau salah satu bagiannya


mengalami anomali, maka akibat beban yang berat ini
menara Pisa menjadi miring. Hal ini dikarenakan daya
dukung tanah tidak sanggup lagi menahan beban
bangunan seberat itu. Kemiringan ini dianggap sebagai
keajaiban dunia, padahal sebenarnya adalah kesalahan
perhitungan insinyur pembuatnya dari Italia. Intinya
adalah perbedaan daya dukung tanah akan
menyebabkan perbedaan tingkat amblesan (differential
settlement) yang menghasilkan kemiringan dari menara
tersebut.
Kipas vulkanik di sebelah selatan Jakarta, serta bentang
alam daratan pesisir yang terbentuk karena prosesproses laut alami (marine origin), dijumpai di bagian
utara dekat dengan garis pantai termasuk pematang
pantai (beach ridge) ditambah mangrove yang terletak
di bagian utara, dan alur-alur sungai purba dan sungai
sekarang yang secara umum tegak lurus pantai dan
mengarah selatan-utara membentuk fondasi kota
megapolitan Bogor-Depok-Jakarta-Tangerang SelatanTangerang-Bekasi [11].

Gambar 3. Contoh Sebaran Megacity di Wilayah Pesisir


[10]

Amblesan terjadi di Jakarta menurut Ongkosongo dan


Supriyana karena tanah ini termasuk sedimen muda dan
tidak kompak [12]. Karena beban megacity, tanah
mengalami tekanan dan mudah terjadi penurunan (land
subsidence). Penyebab lain diperkirakan adalah
pengambilan air tanah yang berlebihan [13]. Secara
akumulatif, baik penurunan elevasi daratan kota Jakarta,
yang terus-menerus juga dipicu selain oleh beban
bangunan dan kegiatan perkotaan yang ada, juga oleh
pengambilan air tanah, dan kenaikan air laut, yang
secara keseluruhan akan menambah resiko kota Jakata

72

MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74

untuk semakin sering dan tinggi tergenang


banjir/genangan air, baik air dari daratan (hulu), curah
hujan, hilir, ataupun dari air pasang laut tinggi [14].
Kesemuanya disimpulkan sebagai beban dari megacity,
terutama di bagian utara Jakarta yang daratannya
merupakan marine origin yang masih lunak seperti di
kawasan Gunung Sahari.
Amblesan itu sendiri pada hakekatnya adalah ekspresi
dari gaya vertikal beban terpusat. Efek dari amblesan di
Jakarta tampak dalam bentuk:
1. Retakan konstruksi permanen di kawasan Jakarta
Pusat di sepanjang Jalan Thamrin [15].
2. Daerah genangan banjir yang semakin meluas setiap
tahun, seperti yang terjadi bulan Februari 2002 yang
lalu.
3. Intrusi air laut ke arah daratan.
4. Genangan karena air laut pasang makin meluas
seperti di sepanjang Jalan R.E. Martadinata dari
kawasan Gunung Sahari sampai Tanjung Priok.
5. Bangunan gedung yang lantai pertamanya seperti
tertanam sebagaimana terlihat pada gedung Pangkalan
Angkatan Laut di Gunung Sahari.
6. Amblesan daratan di banyak tempat (Gambar 5 dan 6).
Sementara itu laju kenaikan permukaan air laut rata-rata
naik 0,3 cm per tahun di kawasan Jakarta Utara
(Gambar 5). Sedangkan pada analisis global, kenaikan
air laut (sea level rise) menunjukkan kenaikan air laut
antara 0,1 cm0,3 cm. Sementara itu, gejala kenaikan
air laut nampak dari hasil pengolahan data pasang surut
yang ada dengan laju kenaikan rata-rata 4,38 mm per
tahun [14], yang mungkin dapat pula diperkirakan dari
kenaikan suhu udara secara global termasuk perairan di
Teluk Jakarta (Gambar 6).
Dari akumulasi dampak penurunan tanah dan kenaikan
air laut di dapat laju amblesan/penenggelaman (rate of
sinking) dari Jakarta Utara sebesar 0,8 cm per tahun.
Menurut penelitian Bakosurtanal didapat ketinggian
rata-rata Jakarta Utara di atas permukaan air laut sebesar
1,5 m dan pantai Jakarta Utara akan tenggelam dalam
tempo 182,5 tahun lagi sejak mulai tahun 1989. Dengan
perkataan lain pada tahun 2172. Bahkan menurut
perhitungan Tim ITB, Jakarta akan tenggelam pada
tahun 2035. Daerah yang tenggelam meliputi Tanjung
Priok, Bandara Soekarno Hatta, Pademangan, Koja,
Cilincing, Penjaringan, Bekasi Utara, Muara Gombong,
Babelan, dan Tarumajaya.
Dari hasil data survei GPS, Jakarta selama lima periode
ini rata-rata mencapai beberapa centimeter, belasan
centimeter, dan bahkan di daerah tertentu sampai
puluhan centimeter di bawah permukaan laut. Ini sesuai
menurut Inter Governmental Panel on Climate Change
melaporkan bahwa Indonesia telah terjadi kenaikan
suhu rata-rata tahunan antara 0,2-1 derajat Celsius
antara tahun 1990 hingga 2000. Penurunan yang drastis

(A)

(B)

Gambar 5. Sebaran Wilayah Amblesan di Jakarta pada


Tahun 1982-1991 (A) dan 1991-1997 (B)
menurut Abidin [14]

Gambar 6. Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut di Jakarta


[14]

inilah di mana pada tahun 2002 dan 2007 Jakarta


mengalami penenggelaman terutama pada bagian Barat.
Hasil pengukuran terakhir menunjukkan bahwa suhu
maksimum di Kutub Utara mencapai 22 derajat Celcius.
Padahal sebelumnya tidak pernah menyentuh 2 sampai
4 derajat diatas 0 derajat Celcius, dan peristiwa ini
sangat berpeluang menambah penenggelaman Jakarta.
The United State Snow dan Ice Data Center di Colorado
mencatat pencairan es tersebut mencapai 4,28 juta km2.
Ini adalah pencairan terekstrim dalam tiga tahun
terakhir.
Untuk itu, pembangunan berkelanjutan menjadi isu
penting yang mau tidak mau merupakan tumpuan solusi
saat ini dan masa depan. Konsep ini berkaitan dengan
daya dukung lingkungan yang berkelanjutan, daya
tampung lingkungan, tata ruang, pemanfaatan lahan,
kesehatan masyarakat, serta masalah-masalah ekonomi
dan sosial. Semuanya harus berkesinambungan tanpa
henti. Teknologi adalah alatnya untuk mengendalikan
lingkungan.

MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74

73

Dari segi daya dukung tanah, Jakarta tidak


berkelanjutan sebab berada di wilayah pesisir dengan
daya dukung tanah rendah serta parameter indikator
tertekan lainnya. Pada kenyataannya Jakarta terus
cenderung tenggelam dan pada waktu mendatang
semakin besar risikonya, baik dari segi frekuensi
genangan air maupun tinggi genangannya.

Sudut itu tidak tepat lagi sebesar 23,5 derajat sudut,


penyebabnya belum diketahui. Sudut inilah yang
membentuk empat musim di bumi. Boleh jadi ada juga
pengaruh beban megacity-megacity dunia terhadap
pergeseran ini. Dari perhitungan secara kasar dan
sementara dapat diusulkan daftar beban pada beberapa
kota besar di dunia (Tabel 1).

Mengenai beban megacity pada dasarnya adalah dapat


dipandang secara teknik sipil sebagai beban terpusat.
Beban ini diperkirakan akan mempengaruhi keseimbangan isostasi kulit bumi. Isostasi (keseimbangan)
kulit bumi disebabkan oleh perbedaan densitas dan
ketebalan lapisan batuan penyusunnya. Teori Pratt
menyebutkan isostasi disebabkan oleh perbedaan
densitas. Selanjutnya teori Airy menambahkan masalah
ketebalan yang mempengaruhi isostasi tersebut
(Gambar 2).

Apabila berat rata-rata 1 orang = 50 kg, dan setiap


megacity mempunyai 100 buah gedung setipe Wisma
Nusantara Jakarta dengan 30 lantai, luas 832 meter
persegi dan berat sekitar 52.000 ton [15], maka dapat
diperkirakan beban setiap megacity di dunia.
Perhitungan ini harus memasukkan pula aneka barang
yang ada atau digunakan, termasuk kendaraan dan
sebagainya. Beban kendaraan nampak misalnya dari

Keseimbangan ini akan terus berubah-ubah (dinamik)


oleh adanya proses tektonik khususnya pemekaran dasar
samudera (mid-oceanic spreading dan subduction),
denudasi, erosi, sedimentasi, perubahan beban megacity
yang juga merubah bentang alam (landscape) dan
bentuk alam (landform), perubahan pemanfaatan lahan,
dan sebagainya.

T (C)

Secara teori dan dalam skala kecil, pada sebuah bola


yang berotasi, apabila terjadi perubahan berat dari
material bola itu di suatu bagian tertentu, maka akan
mempengaruhi putaran tersebut. Hal ini dapat
dibuktikan secara matematika maupun percobaan
empiris di laboratorium. Jika kondisi itu dikembangkan
secara makro yang melibatkan bumi, pertanyaannya
adalah bagaimana pengaruh beban tersebut, dalam hal
ini diekspresikan oleh kehadiran megacity terhadap
isostasi bumi. Menurut para ilmuwan, sekali dalam 100
tahun telah berubah sudut antara poros bumi dengan garis
tegak lurus bidang orbit bumi mengelilingi matahari.
29

Jakarta
28

27

26

25

1953

Month 1 - 444

1990

Gambar 6. Kecenderungan Kenaikan Suhu Udara dan


Perairan di Berbagai Tempat di Dunia
Termasuk pada Megacity Seperti Jakarta [13],
dan Kenaikan Muka Air Laut Global yang
Disebabkan oleh Pencairan Lapisan Es di
Daerah Kutub dan Daerah Dingin lainnya
Akibat Kenaikan Suhu Global tersebut [10]

Tabel 1. Perhitungan Kasar Jumlah Penduduk dan


Beban pada beberapa Megacity di Dunia

No.

Kota

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.

Jakarta
Tokyo
Shanghai
Bangkok
Beijing
Dacca
Calcutta
Bombay
Lahore
New Delhi
Karachi
Baghdad
Nairobi
Moscow
Cairo
Istambul
Rhein-Ruhr
Kinshasha
Lagos
Paris
London
New York
Sao Paulo
Rio De Janeiro
Buenos Aires
Mexico City
Los Angeles
Santiago

Populasi Kasar
(Juta)
30
20
30
20
20
30
30
30
15
30
30
20
20
15
30
20
10
20
30
10
10
20
30
20
15
30
15
10

Beban Kasar
(Juta Ton)
17,10
11,40
17,10
11,40
11,40
17,10
17,10
17,10
8,55
17,10
17,10
11,40
11,40
8,55
17,10
11,40
5,70
11,40
17,10
5,70
5,70
11,40
17,10
11,40
8,55
17,10
8,55
5,70

Catatan:
Asumsi berat satu orang = 50 kg, tiap satu kota diperhitungkan 100
gedung setipe Wisma Nusantara Jakarta dengan 30 lantai dan luas
dasar lantai sekitar 832 m2, dan berat gedung sekitar 52.000 ton [15].
Sebagai misal, bila populasi penduduk megacity tersebut seperti pada
Tabe1 1, yakni lebih atau sama dengan 10 juta jiwa, maka dapat
diperhitungkan secara kasar beban dari adanya gedung dan seratus
bangunan setingkat 30 lantai tersebut, tanpa memperhitungkan bebanbeban lainnya seperti kendaraan dan berbagai macam barang
kebutuhan hidup lainnya.

74

MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74

amblesnya bagian jalan yang sering dilaluinya.


Selanjutnya beban megacity-megacity dunia ini akan
mempengaruhi pergerakan magma sehingga kutub utara
dan selatan bumi akan bertukar seperti zaman
primordial. Artinya, kutub utara sekarang bukan berada
pada posisi yang sebenarnya. Hal itu berarti juga, posisi
sudut antara poros bumi dengan garis tegak lurus bidang
orbit mengelilingi matahari tidak lagi 23,5 derajat sudut,
atau peralihan empat musim tidak konsisten lagi.
Akhirnya dapat diduga bahwa kutub utara sekarang
akan semakin dipenuhi oleh daratan dan kutub Selatan
oleh lautan.

4. Simpulan
Bangunan yang tinggi beserta segala fasilitas khususnya
yang ada di kota besar megapolitan (megacity) pada
wilayah pesisir yang berdaya dukung rendah
diperkirakan akan menyebabkan penurunan elevasi,
baik oleh proses amblesan (subsidence), perosokan
(settlement), maupun pemampatan tanah (compaction).
Penurunan elevasi tanah pada megacity di wilayah
pesisir yang berdaya dukung rendah, apalagi disertai
dengan proses kenaikan air laut global, akan memberi
resiko sangat besar secara perlahan-lahan genangan atau
banjir pada dataran pesisir tersebut. Pertumbuhan pesat
beban yang menekan dari megacity, meskipun relatif
kecil,
mungkin
juga
mempengaruhi
isostasi
(keseimbangan) litosfera atau kulit bumi, serta geoid
dan rotasi bumi. Menghadapi resiko atas kemungkinan
dampak negatif yang tidak diinginkan akibat beban
megacity yang besar, maka perlu disiapkan strategi
penanganan, antisipasi dan prediksi efek negatif tersebut
secara tersistem dan terencana.

Ucapan Terima Kasih


Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.
Dr. Ir. Otto S.R. Ongkosongo, APU dan Ir. Wahyu Budi
Setyawan, M.Si. atas segala bantuannya dalam
penelitian ini.

Daftar Acuan
[1] Anon.,
World
Population,
Wikipedia,
http://en.wikipedia.org/wiki/world_population,
March, 2006.
[2] J. Gilluly, A.C. Waters, A.O. Woodford, Principles
of Geology, W.H. Freeman & Co., San Francisco,
1968, p.687.

[3] Anon., Earth Observatory, NASA Official,


http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?i
d=43105, March 21, 2010.
[4] Anon., Ocean Surface Topography from Space, Jet
Propulsion Laboratory, NASA, http://topexwww.jpl.nasa.gov/science/jason1-quicklook/index.html, January 2006.
[5] A. Madrigal, NASA Satellite Maps 99% of Earths
Topography,
http://www.wired.com/wiredscience/2009/06/nasasatellite-maps-99-of-earths-topography/, June 2006
[6] K. Eschelbach, The Human Coast, Lecture note,
Univ. North Carolina, Chapel Hill, n.d, p.23.
[7] O.S.R. Ongkosongo, H. Supriyana, Existing and
future hydraulic engineering works on the coast of
Jakarta, Indonesia, Intern. Worksh. Sea Level
Changes and Their Consequences for Hydrology
and Water Management, UNESCO IHP-IV Project
H-22, Noordwijkerhout, 1993, p.59.
[8] P. Soekardi, A. Djaeni, H. Soefner, M. Hobler, G.
Schmidt, Geological Aspect of the Aquifer System
and the Groundwater Situation of Jakarta Artesian
Basin, Sem. Geol. Mapping in the Urban
Development, Econ. and Soc. Comm. for Asia and
the Pacific, Bangkok, 1986.
[9] O.S.R. Ongkosongo, Kondisi Geomorfologi dan
Kaitannya dengan Daerah Genangan Air di Jakarta,
Sem. Tinjauan Geologi terhadap Daerah Genangan
di Wilayah DKI Jakarta, Din. Pertambangan Prop.
DKI Jakarta, Jakarta, 2001, p.22.
[10] R.E. Waterman, Naar een integraal kustbeleid via
bouwen met de natuur, Meinema, Delft, 1991,
p.114.
[11] O.S.R. Ongkosongo dkk. 2009. Perubahan
lingkungan di pesisir kota Jakarta Utara. Pus.
Penel. Oseanog., LIPI, Jakarta, pp. 97.
[12] H.Z. Abidin, R. Djaja, D. Darmawan, S. Hadi, A.
Akbar, H. Rajiyowiryono, Y. Sudibyo, I. Meilano,
M.A. Kasuma, J. Kahar, C. Subarya, Natural
Hazard 23 (2001) 365.
[13] Hadikusumah, Mar. Res. Indon. 29 (1995) 31.
[14] H.Z. Abidin, Land Subsidence Characteristics of
the Jakarta Basin (Indonesia) Estimated from
Leveling GPS and InSAR and its Environmental
Impacts. Fac. Geoinformation Science and Engin,
UTM, Johor Bahru, 2008, p.49.
[15] H. Poerbo, Struktur dan Konstruksi Bangunan
Tinggi, Djambatan, Jakarta, 2000, p.163.

Anda mungkin juga menyukai