Anda di halaman 1dari 10

Perikanan adalah suatu kegiatan perekonomian yang memanfaatkan sumberdaya alam

perikanan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan manusia
dengan mengoptimalisasikan dan memelihara produktivitas sumberdaya perikanan dan
kelestarian lingkungan. Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang sampai sekarang masih
menjadi primadona adalah udang. Udang merupakan salah satu sumberdaya hayati laut yang
tersedia hampir di seluruh perairan Indonesia dan merupakan salah satu komoditas ekspor
andalandari sub sector perikanan. Setiap tahunnya, terjadi peningkatan pangsa pasar ekspor
udang ke Negara-negara tujuan ekspor seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa
(Departemen Pertanian, 1999).
Udang merupakan komoditi ekspor hasil perikan anter besar Indonesia diatas komoditasi
kan tuna yang menempati urutan kedua. Dilihat dari data volume ekspor udang Indonesia
kemancanegara dari bulan Januari sampai dengan November pada tahun 2008 mencapai 158.000
ton sedangkan volume ekspor ikan tuna hanya mencapai 111.000 ton. Volume ekspor udang ini
meningkat dibandingkan pada tahun 2007 yang hanya mencapai 154.747 ton (DJP2HP 2009).
Sebagai komoditi perdagangan ekspor maka udang senantiasa dituntut memiliki mutu yang
prima. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem jaminan, pengendalian dan pengawasan mutu
hasil perikanan.
Kendala yang sering muncul pada berbagai perusahaan pengolahan udang adalah
kekurangan bahan baku udang, kesalahan label produk, adanya embargo oleh importir karena
teridentifikasinya senyawa antibiotik, masalah sanitasi dan lain sebagainya. Maka untuk
mengantisipasi masalah tersebut perusahaan pengolahan udang diwajibkan melakukan kebijakan
dalam penerapan program manajemen mutu terpadu yang berkonsepsi pada prinsip Hazard
Analysis CriticalControl point (HACCP). HACCP merupakan manejemen khusus untuk bahanm
akan antermasuk hasilperikanan yang didasari pada pendekatan sistematika untuk megantisipasi
kemungkinan terjadi nyabahaya (Hazard) selama proses produksi serta menentukan titik kritis
yang harus dilaksanakan pengawasan secara ketat.
KARAKTERISTIK UDANG

Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma
spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Proses pembekuan udang merupakan
salah satu cara pengawetan makanan karena dengan menurunkan suhu maka
pertumbuhan mikroorganisme dapat terhambat, mencegah reaksi kimia dan aktivitas

enzim. Tujuan pembekuan udang adalah mempertahankan sifat-sifat mutu tinggi pada
udang dengan teknik penarikan panas secara efektif dari udang agar suhu udang turun
sampai suhu rendah yang stabil dan mengawetkan udang.
Udang diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum

: Arthropoda

Sub Phylum : Mandibulata


Class

: Crustaceae

Sub class

: Malacostraca

Ordo

: Decapoda

Sub ordo

: Natantia

Famili

: Penaidae

Genus

: Penaeus

Species

: Penaeussp

Secaramorfologi, udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang
menyatu dengan dada (cephalothorax) dan bagian badan (abdomen) yang terdapat
ekor di belakangnya. Udang memiliki tubuh yang beruas-ruas dan seluruh bagian
tubuhnya tertutup kulit khitin yang tebal dan keras. Bagian kepala beratnya lebih kurang
36-49% dari total keseluruhan berat badan, daging 24-41% dan kulit 17-23%
(Purwaningsih, 1995). Ordo Decapoda umumnya hidup di laut, beberapa di air tawar
dan sedikit didarat. udang yang banyak terdapat di Indonesia yang memiliki nilai
ekonomis tinggi antara lain udang windu (Penaeus monodon), udangputih (Penaeus
marguiensis) dan udang dogol (Metapenaeus monoceros). Sedangkan udang air tawar
yang memiliki nilai ekonomis tinggi antara lain udang galah (Macrobranchium
rosenbergii), udang kipas (Panulirus sp) dan udang karang (Lobster).
Prasasti, Desty. 2006. Sistem Penunjang Keputusan Pengendalian Mutu Produksi Udang Beku
. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Bahan / Bumbu :
500 gram Udang
3 siung bawang putih, haluskan
1 sendok teh perasan air jeruk nipis

250 gram tepung terigu


Sdt merica bubuk
Sdt baking powder
Sdt garam
Air matang secukupnya

Cara Memasak :
1. Bersihkan udang dari kotoran.
2. Siram dengan air perasan jeruk nipis dan biarkan kurang lebih 10 menit.
3. Masukkan tepung terigu ke dalam wadah yang sudah disediakan.
4. Tambahkan air secukupnya dan aduk hingga merata.
5. Tambahkan bawang putih yang sudah dihaluskan, merica, garam, baking powder, dan
baking powder.
6. Aduk semu bahan hingga merata.
7. Siapkan penggorengan dan masukkan minyak goreng secukupnya.
8. Ambil udang dan celupkan ke dalam adonan tepung dan masukkan ke dalam wajan
penggorengan.
9. Goreng udang hingga kecoklatan.
10. Angkat dan tiriskan.
11. Siapkan saus sambal atau mayones.
12. Udang goreng krispi siap untuk dihidangkan.

KRUPK CAKALANGDENGAN PENAMBAHAN KEPALA UDANG

Limbah kepala udang merupakan limbah potensial yang biasanya


diperoleh dari proses produksi udang beku terutama dalam bentuk headless
(udang tanpa kepala) dan peeled (udang tanpa kulit kepala). Volume produksi
udang windu pada tahun 2004 sebesar 410 kg/hektar tambak, kemudian
meningkat menjadi 633 kg/hektar tambak pada tahun 2005. Peningkatan volume
produksi ini otomatis meningkatkan limbah udang yang dihasilkan. Limbah
industri potensial berupa kepala udang belum dimanfaatkan secara optimal,
sehingga dicobakan untuk membuat flavor cair dalam bentuk kaldu dan
diaplikasikan dalam pembuatan kerupuk berkalsium.
Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan limbah potensial berupa
kepala udang sebagai flavor dalam bentuk filtrat cair (kaldu) dan
menambahkannya pada pembuatan kerupuk berkalsium.

Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan


penelitian utama. Tahap penelitian pendahuluan adalah pembuatan tepung
cangkang rajungan dan pembuatan kerupuk dengan penambahan tepung cangkang
rajungan dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Penelitian utama
adalah pembuatan kerupuk berkalsium terpilih dengan penambahan flavor dalam
bentuk cair dari kepala udang windu. Pada pembuatan kaldu kepala udang,
perbandingan udang dengan air yang digunakan adalah 1:1 (1 kg kepala udang :
1 liter air), 1:2 (1 kg kepala udang : 2 liter air), 1:3 (1 kg kepala udang : 3 liter
air), 1:4 (1 kg kepala udang : 4 liter air).
Komposisi terpilih pada penelitian pendahuluan adalah kerupuk dengan
penambahan tepung cangkang rajungan 10%. Penambahan flavor cair kepala
udang pada kerupuk berkalsium berpengaruh nyata terhadap parameter warna,
penampakan, aroma dan rasa, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap
kerenyahan.
Hasil pengujian organoleptik skala hedonik terhadap kerupuk berkalsium
menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai aroma, warna dan kerenyahan pada
kerupuk berkalsium dengan penambahan flavor cair dengan perbandingan kepala
udang dan air 1 : 2. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata organoleptik
tertinggi pada aroma yaitu 5,52 (suka), rasa 5,57 (suka) dan kerenyahan 5,28
(suka).
Kerupuk berkalsium mentah dengan penambahan flavor cair dengan
perbandingan kepala udang dan air 1 : 2 mempunyai kadar air 10,69%, abu
5,22%, protein 2,58%, lemak 1,32%, karbohidrat 80,19%, kalsium
2435,05 mg/100 g bk, fosfor 123,3 mg/100 g bk. Kerupuk berkalsium matang
dengan penambahan flavor cair dengan perbandingan kepala udang dan air 1 : 2
mempunyai kadar air 1,97%, abu 3,24%, protein 1,08%, lemak 47,40%,
karbohidrat 46,32%, kalsium 1803,65 mg/100 g bk dan fosfor 115,3 mg/100 g bk.
Berdasarkan perhitungan per 100 gram kerupuk maka dihasilkan kalsium sebesar
1803,65 mg Ca. Jika diketahui berat per kerupuk adalah 3 gram, maka jumlah
kalsium yang tersedia adalah 54,10 mg.

Latar Belakang
Potensi perikanan Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Secara
keseluruhan mencapai 65 juta ton yang terdiri dari 7,3 juta ton pada sektor
perikanan tangkap dan 57,7 juta ton pada sektor perikanan budidaya
(Dahuri 2004). Diantara potensi tersebut, udang merupakan sektor andalan bagi
ekspor non migas. Hingga pertengahan tahun 2007 total ekspor udang sebanyak
92,647 ton atau senilai dengan US$ 603 ribu atau Rp 5,6 miliar. Jumlah ini
cenderung menurun jika dibandingkan dengan jumlah ekspor tahun 2006 dimana
total ekspor udang sebesar 169,329 ton atau senilai dengan US$ 1,11 juta atau
Rp 10,2 miliar, sedangkan produk perikanan lainnya, seperti ikan tuna, cakalang
dan tongkol sampai Juli 2006 sebesar 62,571 ton senilai US$ 162,7 ribu atau

Rp 1,5 miliar (DKP 2007).


Budidaya udang tambak saat ini telah berkembang pesat, karena udang
merupakan salah satu komoditi ekspor yang memiliki potensi cerah. Produksi
udang tambak, khususnya udang windu meningkat seiring dengan meningkatnya
permintaan ekspor. Menurut data statistik, pada tahun 2003 volume produksi
udang windu yang dihasilkan sebesar 400 kg/hektar tambak. Pada tahun 2004,
volume produksi meningkat menjadi 410 kg/hektar tambak, kemudian pada tahun
2005 terjadi peningkatan yang cukup tinggi yakni dengan volume produksi
sebesar 633 kg/hektar tambak (DKP 2005).
Produk olahan yang dihasilkan pada industri pembekuan udang,
diantaranya dalam bentuk head on (udang utuh), head less (udang tanpa kepala)
dan peeled (udang tanpa kepala dan kulit). Khusus produk head less (udang tanpa
kepala) dan peeled (udang tanpa kepala dan kulit) dihasilkan limbah industri
potensial berupa kepala dan kulit udang yang cukup besar, yakni dapat mencapai
36-49% untuk bagian kepala, sedangkan kulit sebesar 17-23% dari keseluruhan
berat badan (Purwaningsih 2000). Selama ini limbah potensial tersebut belum
dimanfaatkan secara optimal. Oleh sebab itu, pemanfaatan kepala udang dalam
bentuk flavor cair diharapkan dapat dijadikan alternatif dalam pembuatan produk
karena mempunyai aroma yang kuat dan khas disamping itu filtrat cairnya (kaldu)
masih mengandung protein. Biasanya pemanfaatan limbah kepala udang
digunakan sebagai campuran beberapa produk tradisional seperti terasi, petis dan
kerupuk.
Komoditas perikanan yang juga menghasilkan limbah adalah rajungan.
Pemanfaatan rajungan biasanya hanya diambil bagian dagingnya. Berdasarkan
data Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), ekspor rajungan beku sebesar
2813,67 ton tanpa cangkang dan rajungan tidak beku (bentuk segar maupun dalam
kaleng) sebesar 4312,32 ton.
Cangkang rajungan merupakan limbah potensial dari industri pasteurisasi
daging rajungan, sedangkan pada industri pengalengan daging rajungan
menghasilkan limbah proses yang terdiri dari 57% cangkang, 3% body reject
(bagian yang tidak utuh) dan 20% whey (air rebusan). Golongan crustacea seperti
rajungan pada umumnya mengandung 25% bahan padat dapat dimakan dan
sekitar 50-60% hasil buangan (Angka dan Suhartono 2000). Bobot tubuh
rajungan yang berkisar antara 100-350 gram, mengandung cangkang sekitar
50-177 gram. Hal ini menunjukkan bahwa bobot cangkang rajungan mengisi
kurang lebih 50% atau setengah dari bobot tubuh rajungan (Multazam 2002).
Limbah potensial tersebut selama ini belum dimanfaatkan secara optimal,
padahal sebagian besar limbah potensial ini merupakan sumber mineral penting
seperti kalsium dan fosfor yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Kalsium
merupakan salah satu makromineral, yaitu mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
dalam jumlah lebih dari 100 mg per hari. Kebutuhan mineral ini untuk manusia di
segala kelompok umur sangat tinggi, untuk ukuran masyarakat Indonesia sekarang
ini asupan tiap hari yang direkomendasikan selama masa kanak-kanak di bawah
umur sepuluh tahun adalah 500 mg/hari, remaja 1000 mg/hari dan wanita hamil

sebesar 1150 mg/hari, sedangkan untuk orang dewasa memerlukan kalsium


sebanyak 800 mg/hari (Widyakarya Pangan dan Gizi 1998). Fungsi dari kalsium
dalam tubuh manusia adalah sebagai mineral pembentuk tulang dan gigi, pengatur
pembekuan darah, pengatur reaksi otot dan mineral yang mempengaruhi
pertumbuhan tubuh (Guthrie 1975).
Cangkang rajungan merupakan limbah yang mengandung kalsium tinggi.
Cangkang rajungan bisa dimanfaatkan sebagai fortifikasi ke dalam campuran
produk dalam bentuk tepung. Hilman (2008) telah memanfaatkan tepung
cangkang rajungan dalam pembuatan kerupuk sebagai alternatif produk
berkalsium.
Hasil penelitian Hilman (2008), kadar kalsium kerupuk dengan
penambahan tepung cangkang rajungan adalah sebesar 15% cukup tinggi, tetapi
pada pembuatan kerupuk tersebut kandungan protein yang terkandung dalam
kerupuk mentah masih sedikit yaitu sebesar 1,87%. Oleh karena itu, penambahan
flavor cair (kaldu) kepala udang diharapkan dapat meningkatkan kandungan
protein dalam kerupuk serta cita rasanya, disamping itu juga dapat meningkatkan
penerimaan terhadap produk.

2.1. Udang Windu (Panaeus monodon)


Secara garis besar dan sesuai dengan habitatnya, udang dapat dibedakan
dalam dua golongan, yaitu udang laut (tercakup di dalamnya udang tambak) dan
udang tawar (Suwignyo 1990).
Klasifikasi udang windu menurut Suwignyo (1990) adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Mandibula
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Natantia
Famili : Penaidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon
Udang windu memiliki kulit badan keras, berwarna hijau kebiru-biruan
dan berloreng-loreng besar. Namun anehnya udang yang mengalami dewasa usia
di laut memiliki kulit merah muda kekuning-kuningan dengan ujung kaki renang
berwarna merah. Adapun yang masih muda memiliki kulit dengan ciri khas totol
totol hijau. Kerucut bagian atas memiliki 7 buah gerigi dan bagian bawah 3 buah
gerigi (Murtidjo 1991).
Penaeus monodon yang hidup di laut, panjang tubuhnya bisa mencapai
35 cm dengan berat sekitar 260 gram, sedangkan yang dipelihara dalam tambak
panjang tubuhnya hanya bisa mencapai 20 cm, dengan berat sekitar 140 gram.
Meskipun demikian, udang ini cukup ekonomis dan potensial untuk dipelihara

dalam tambak, terutama karena udang jenis ini memiliki daya tahan yang tinggi
untuk hidup di dalam air payau yang memiliki salinitas 3-35 permil
(Murtidjo 1991).
Lokasi budidaya udang windu secara intensif adalah di sepanjang pantai,
dari 81.000 km panjang pantai yang dimiliki Indonesia, sebagian bisa
dimanfaatkan untuk budidaya udang, terutama di wilayah pesisir. Lokasi paling
potensial untuk budidaya udang windu adalah pesisir timur Pulau Sumatera
(Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, dan Lampung), pesisir utara
Pulau Jawa (pantura), pesisir Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi,
serta Papua (Dahuri 2001)
Limbah Udang
Secara umum limbah udang merupakan bagian-bagian dari tubuh udang
yang tidak dimanfaatkan dalam suatu pengolahan. Limbah ini dapat
dikategorikan dalam beberapa macam sesuai dengan pengolahan udangnya
(Suptidjah et al. 1992) :
a. Limbah berupa kepala udang, biasanya merupakan hasil samping dari
pembekuan udang segar tanpa kepala.
b. Limbah berupa kulit udang atau tanpa kepala, juga merupakan hasil samping
dari industri udang beku yang berkualitas kedua atau industri pengalengan
udang.
c. Limbah campuran yaitu campuran antara kepala dan kulit yang biasanya
merupakan hasil samping dari industri pengalengan udang.
Di Indonesia saat ini ada sekitar 170 pengolahan udang dengan kapasitas
produksi terpasang sekitar 500.000 ton per tahun. Proses pembekuan udang (cold
storage) dalam bentuk udang beku headless atau peeled untuk ekspor, 60-70%
dari berat udang jadi limbah (bagian kulit dan kepala). Diperkirakan, dari proses
pengolahan oleh seluruh unit pengolahan yang ada, akan dihasilkan limbah
sebesar 325.000 ton per tahun. Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara
tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sebab limbah tersebut
dapat meningkatkan biological oxygen demand dan chemical oxygen demand,
sedangkan selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk
campuran pakan ternak saja, seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk
(Prasetiyo 2006).
Ada peluang besar dalam inovasi pengolahan limbah cangkang udang
yang berbasis bioindustri perikanan dan kelautan. Sebab, limbah tersebut
merupakan sumber potensial pembuatan kitin dan khitosan, yakni biopolimer
yang secara komersial potensial dalam berbagai bidang dan industri
(Prasetiyo 2006).
Limbah kulit udang ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai
industri, seperti industri farmasi, kosmetik, pangan, dan tekstil. Salah satu
kandungan kulit udang yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku industri
adalah kitin dan kitosan (senyawa turunan dari kitin). Kulit udang mengandung
chitin 22-25% dari berat keringnya. Kulit udang mengandung chitin 22-25% dari

berat keringnya. Pasar utama chitin di dunia adalah Jepang, Amerika Serikat,
Inggris, dan Jerman (Dahuri 2001).
2.3. Flavor
Flavor adalah sensasi yang dihasilkan bahan makanan ketika diletakkan
dalam mulut terutama yang ditimbulkan oleh rasa dan bau. Komposisi makanan
dan senyawa-senyawa yang merupakan pemberi rasa dan bau berinteraksi dengan
reseptor organ perasa dan penciuman menghasilkan signal yang dibawa menuju
pusat susunan syaraf untuk memberi pengaruh dari flavor (Zuhra 2006). Menurut
Winarno (1997), flavor adalah gabungan dari tiga komponen yaitu bau, rasa dan
rangsangan mulut.
Faktor lain yang mempengaruhi kualitas yang dihasilkan secara
keseluruhan selain rasa dan bau yaitu tekstur (kehalusan, kekesatan, butir-butiran
dan viskositas). Perubahan viskositas dapat mengubah rasa atau bau yang timbul
karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel
reseptor olfaktori dan kelenjar air liur (Zuhra 2006).
Berdasarkan proses pembuatannya, flavor ini dibedakan atas flavor natural
atau alami, sintetis (buatan), dan natur identical (diolah dari bahan alami untuk
menghasilkan flavor sintetis). Perasa alami dibuat atau diambil dari bahan-bahan
alami, misalnya rasa bawang yang diambil dari ekstrak bawang, rasa ayam yang
diperoleh dari sari ayam, rasa udang yang berasal dari kaldu udang, dan
seterusnya. Perasa buatan dihasilkan dari bahan-bahan sintetis. Misalnya saja
dari sintesis bahan-bahan kimia yang berasal dari turunan minyak bumi.
Bahanbahan ini memiliki karakter seperti penyusun rasa tertentu. Misalnya butil
cinamaldehid yang memiliki rasa mirip dengan bunga (melati dan lili), butil
butirat yang memiliki rasa mirip buah-buahan pir dan nanas, dan seterusnya atau
berbagai asam amino yang bisa menyerupai rasa daging atau ayam. Asam amino
ini bisa disintesa dari bahan-bahan kimia. Bahan-bahan kimia tersebut merupakan
bahan-bahan yang menyusun komponen flavor (Wahid 2006).
Berdasarkan bentuk fisiknya flavor dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelas yaitu bentuk cair (liquid flavourings), bentuk emulsi ( emulsion flavourings)
dan bentuk pasta atau padat (paste or solid flavourings). Flavor ditimbulkan oleh
adanya senyawa cita rasa (flavouring agent) yang terdapat dalam jumlah yang
sangat kecil dalam bahan pangan. Komponen struktural pada sel makhluk hidup
yang meupakan sumber terbesar pembentuk flavor adalah protein, lemak, dan
karbohidrat. Komponen pembentuk flavor dari produk hasil perikanan, lebih
banyak ditemukan pada daging moluska dan krustase. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa daging remis, udang dan kepiting mempunyai aroma dan cita
rasa yang lebih tinggi daripada daging ikan (Supran 1978 diacu dalam
Damuningrum 2002).
Flavor dan aroma pada daging ikan berhubungan erat dengan
kesegarannya. Senyawa-senyawa yang bertanggung jawab atas terbentuknya
flavor dan aroma adalah : turunan aldehid, keton, alkohol, asam amino dan lemak
volatil yang terbentuk dengan adanya proses enzimatik dan aktivasitas
mikroorganisme (Suptidjah et al. 1984).

Trimetil amin (TMA) berperan dalam aroma ikan dan udang, begitu pula
dimetil amin (DMA) yang diproduksi karena terjadinya degradasi enzimatik dari
trimetil amin oksid (TMAO), yang biasanya hanya ditemukan pada spesies ikan
yang hidup di laut. Adapun sifat aroma ikan yang lainnya, dikarenakan adanya
gugus karbonil, dimana ikan-ikan berlemak terjadi proses autooksidasi asam
lemak tak jenuh menjadi senyawa-senyawa : 2,4 dekadienol, 2,4,7 dekatrienol dan
C4 heptanol (Suptidjah et al. 1984).
Penghancuran bahan diperkirakan dapat meningkatkan efektivitas
ekstraksi, karena kerusakan sel sehingga memudahkan keluarnya senyawa flavor.
Senyawa pembentuk flavor biasanya terdistribusi pada bahan yang sebagian
terikat dalam bentuk ikatan lemak, protein dan air. Penghancuran menyebabkan
permukaan bahan menjadi semakin luas sehingga rasio luas permukaan terhadap
volume bahan semakin besar. Dengan demikian, kemampuan untuk melepas
komponen flavornya semakin besar. Oleh sebab itu, filtrat yang dihasilkan dari
kepala udang yang dihancurkan mempunyai aroma yang tajam (Saleh et al. 1996).
Pemanasan pada suhu dan tekanan tinggi diperkirakan lebih baik daripada
perebusan biasa, karena senyawa flavor akan lebih terekstraksi. Namun demikian
suhu tinggi juga dapat berpengaruh buruk terhadap warna dan kualitas protein
filtrat (Saleh et al. 1996). Proses pemanasan mengakibatkan terjadinya reaksi
kimia sehingga terbentuk senyawa-senyawa volatil pembentuk flavor. Reaksi
kimia pembentuk flavor yaitu reaksi maillard (reaksi antara gugus amina dan
gugus karboksil), oksidasi lemak dan deproteinasi (Wong 1989). Berdasarkan
hasil penelitian Astuti (2005), komposisi kimia flavor udang dengan perbandingan
kepala udang dan air 1:3 mempunyai kadar air 5,71%, kadar abu 13,67%, kadar
protein 10,90%, kadar lemak 3,86% dan karbohidrat 65,85%.
2.4. Rajungan (Portunus sp.) dan Limbah Rajungan
Rajungan (Portunus sp.) merupakan salah satu komoditas perikanan yang
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Pada umumnya rajungan berbeda
dengan kepiting (Scylla sp.) tanda khusus yang dapat membedakan jenis kepiting
dan rajungan adalah dengan melihat karapas dan jumlah duri karapasnya.
Rajungan dicirikan dengan karapas yang relatif lebih panjang dan memiliki duri
cangkang yang lebih panjang dibandingkan dengan kepiting bakau
(BBPMHP 2000).
Klasifikasi rajungan menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Eucaridae
Sub Ordo : Decapoda
Famili : Potunidae
Genus : Portunus sp.
Rajungan (swimming crab) memiliki tempat hidup yang berbeda dengan
jenis kepiting pada umumnya seperti kepiting bakau (Scylla serrata), tetapi
memiliki tingkah laku yang hampir sama dengan kepiting. Coleman (1991)

melaporkan bahwa rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis kepiting


perenang yang juga mendiami dasar lumpur berpasir sebagai tempat berlindung.
Jenis rajungan ini banyak terdapat pada lautan Indo-Pasifik dan India. Sementara
itu informasi dari panti benih rajungan milik swasta menyebutkan bahwa tempat
penangkapan rajungan terdapat di daerah Gilimanuk (pantai utara Bali),
Pengambengan (pantai selatan Bali), Muncar (pantai selatan Jawa Timur),
Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah Lampung, daerah Medan, dan daerah
Kalimantan Barat.
Habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur, dan
di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai
kedalaman 56 meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke
perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah
mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria (Nybakken 1986). Rajungan
banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan
pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis
invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa.
Hewan ini mempunyai karapas yang sangat menonjol dibandingkan
dengan abdomennya. Lebar karapas pada hewan dewasa dapat mencapai ukuran
18,5 cm. Abdomennya berbentuk segitiga (meruncing pada jantan dan melebar

Anda mungkin juga menyukai