Anda di halaman 1dari 9

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

PENGARUH PENGEMASAN VAKUM DAN SUHU


PENYIMPANAN TERHADAP SIFAT MUTU
DAGING DOMBA LOKAL
(Effect of Vacum Packaging and Storage Temperature on Quality
of Local Mutton)
RAHMAWATI NURDJANNAH dan R. SUMARLIN
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor

ABSTRACT
Meat as protein source with complete nutrition is easily deteriorated because of microorganism growth.
Presevation to delay meat deterioration is done by vacuum packaging. This research is done to study the
effect of vacuum packaging and non vacuum packaging stored in room temperature (26 28C) and chiling
room (10C) on mutton quality. Six male local sheep (aged 1.5 2 years) were divided into two period of
slaughtering. For each period, three sheep were slaughtered and sample was taken from thingh for 100 gram
cutting meat. Sample from every sheep was made for treatment of vacuum packing and non vacuum packing
then stored in room temperature and observed every 12 hour, there were 0, 12, 24 and 36 hours after cutting.
The same sampling was done to the second periode of slaughtering, but was stored in cool temperature of
10c and observed every day, on: 0,1,2,3,4,5,6 and 7 daysof storage. Statistical analysis applied was block
randomized design with factorial 2 x 4 for storage in room temperature and 2 x 8 for storage in cool
temperature (10C) were repeated three times for three sheeps. Result showed that there was no significant
different in value of pH, water holding capacity, tenderness and meat colour resulted from vacuum packing
and non vacuum packing. Storage in room temperature resulted in highly significant different on holding
capacity, weight loss, and tenderness. There was a significant increase of bacterial total from vacuum packing
and non vacuum packing during storage. The vacuum packing resulted in the highest bacterial total in 36
hours storage, but from non vacuum packing the highest bacterial total happened at 24 hour storage. Meat that
was stored seven days in 10C resulted in decreased in value of pH, water holding capacity, tenderness, meat
color: increased value of l, a and b, and bacterial total. Vacuum packing increased weight loss at seven day
storage, but the vacuum packing was not significantly affected weight loss.
Key Words: Vacuum, Non Vacuum Packing, Storage, Quality, Mutton
ABSTRAK
Daging sebagai sumber protein dengan nutrisi lengkap, peka terhadap kerusakan bahkan kebusukan
daging akibat berkembangbiakan mikroorganisme sehingga diupayakan untuk mencegah atau memperlambat
terjadinya kebusukan daging dengan cara pengemasan vakum (hampa udara). Tujuan dari penelitian ini
adalah mempelajari pengaruh pengemasan vakum dan non vakum pada penyimpanan suhu kamar (26 - 28
C) dan suhu dingin 10C. Domba lokal jantan berumur 1,5 2 tahun sebanyak enam ekor dibagi dua kali
pemotongan. Setiap kali pemotongan sebanyak tiga ekor diambil daging bagian paha di potong masingmasing seberat 100 gram. Setiap ekor dibuat perlakuan pengemasan vakum dan non vakum yang disimpan
pada suhu kamar pengamatan dilakukan setiap 12 jam yaitu 0, 12, 24 dan 36 jam setelah pemotongan.
Pemotongan berikutnya dengan perlakuan sama namun dilakukan penyimpanan pada suhu dingin 10C dan
dilakukan pengamatan setiap satu hari sekali yaitu 0,1,2,3,4,5,6 dan 7 hari. Analis statistik digunakan
Rancangan Acak Kelompok berpola faktorial 2 x 4 untuk penyimpanan suhu kamar dan 2 x 8 untuk
penyimpanan suhu dingin 10C, diulang 3 kali dari tiga ekor domba. Hasil yang diperoleh bahwa cara
pengemasan vakum maupun non vakum ternyata tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai pH, daya
mengikat air, keempukan dan warna daging (untuk nilai kecerahan (l), kekuningan (b) dan kemerahan (a).
Penyimpanan pada suhu kamar terjadi peningkatan secara sangat nyata terhadap daya mengikat air, susut
bobot daging, keempukan, warna daging meliputi nilai kecerahan (l), nilai kemerahan (a) dan nilai
kekuningan (b). Terjadinya peningkatan total bakteri pada pengemasan vakum maupun non vakum selama

645

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

penyimpanan. Namun pada pengemasan vakum kenaikan total bakteri secara sangat nyata baru terjadi pada
penyimpanan 36 jam, sedangkan pada penyimpanan non vakum sudah terjadi sejak 24 jam. Daging yang
disimpan 7 hari pada suhu 10C terjadi penurunan nilai pH, daya mengikat air , keempukan, warna daging,
terjadinya peningkatan nilai kecerahan (l), nilai kemerahan (a) dan nilai kekuningan (b) serta total bakteri.
Pada pengemasan non vakum terjadi peningkatan susut bobot daging selama 7 hari penyimpanan, sedangkan
pada pengemasan vakum tidak terdapat perbedaan susut bobot daging secara nyata.
Kata Kunci: Pengemasan Vakum, Pengemasan Nonvakum, Penyimpanan, Mutu, Daging Domba

PENDAHULUAN
Domba
merupakan
ternak
yang
populasinya tersebar luas, hampir disetiap
daerah Indonesia (MURTIDJO, 1993). Selain
harganya relatif murah, pemeliharaannyapun
mudah dan tidak memerlukan perawatan yang
intensif. Faktor umur dan penanganan setelah
pemotongan
berperan
banyak
untuk
mendapatkan daging bermutu tinggi.
Daging sebagai sumber protein hewani
dengan nutrisi tinggi sangat peka terhadap
kerusakan bahkan kebusukan daging akibat
berkembangbiaknya mikroba. Titik kritis
terhadap kerusakan oleh mikroba adalah saat
pemotongan dan penyimpanan. Penyimpanan
dingin dan pengemasan vakum merupakan
salah
satu
cara
untuk
mencegah
berkembangnya
mikroba.
Selain
itu
penyimpanan dapat digunakan sebagai proses
pelayuan yang dapat meningkatkan keempukan
daging (SOEPARNO, 1992).
Sampai saat ini informasi kualitatif juga
kuantitatif sifat fisik dan mutu dari daging
domba di Indonesia, khususnya yang disimpan
dalam kemasan vakum masih sangat terbatas.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian guna
meningkatkan mutu daging domba setelah
pemotongan.
Tujuan dari penelitian ini adalah
mempelajari pengaruh pengemasan vakum dan
non vakum pada penyimpanan suhu kamar dan
suhu dingin 10C terhadap mutu daging domba
lokal.
MATERI DAN METODE
Domba yang digunakan pada penelitian ini
adalah domba lokal jantan berumur 1,5 2
tahun, sebanyak 6 ekor. Setelah pemotongan
dan pengulitan, diambil daging paha dan
dipotong-potong dengan berat per potong 100
gram. Pemotongan dilakukan dua kali.
Pemotongan pertama dilakukan terhadap tiga
ekor domba yang sebagian daging domba

646

dilakukan pengemasan vakum dan non vakum


kemudian disimpan pada suhu kamar (26
28C) selama 36 jam (1,5 hari) dengan waktu
pengamatan pada 0, 12, 24 dan 36 jam setelah
pemotongan. Pemotongan kedua dilakukan
terhadap tiga ekor domba jantan dengan
perlakuan vakum dan non vakum dari setiap
domba disimpan pada suhu dingin ( 10C)
dengan pengamatan 0, 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 hari.
Parameter yang di amati adalah susut bobot
daging, nilai pH, daya mengikat air, susut
masak, keempukan dan mikrobiologi daging
(jumlah bakteri).
Analisis statisik yang dilakukan adalah
Rancangan Acak Kelompok berpola faktorial
yaitu 2 4 untuk penyimpanan suhu kamar,
dan 2 8 untuk penyimpanan suhu 10C,
diulang sebanyak 3 kali dari tiga ekor domba
lokal jantan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cara pengemasan vakum dan non vakum
yang disimpan pada suhu kamar (26 28C)
tertera pada Tabel 1 dan 4, sedangkan
penyimpanan pada suhu rendah 10C tertera
pada Tabel 2 dan 3.
Cara pengemasan dan penyimpanan pada
suhu kamar maupun penyimpanan suhu rendah
terdapat interaksi yang sangat nyata terhadap
kenaikan susut bobot daging. Kemasan non
vakum selama penyimpanan 24 jam dan 36
jam tidak terdapat perbedaan yang nyata,
namun nyata lebih tinggi untuk susut bobot
daging dibandingkan penyimpanan 12 jam.
Sedangkan kemasan vakum diperoleh susut
bobot daging yang rendah dan tidak berbeda
nyata diantara penyimpanan 12, 24 dan 36 jam.
Namun sangat nyata lebih tinggi susut bobot
daging dikemas non vakum dibandingkan
dengan kemasan vakum (Tabel 1).
Semakin lama penyimpanan terjadi
kerusakan struktur miofibril daging yang
diakibatkan evaporasi air sebesar 1 3% yang

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

Tabel 1. Susut bobot daging dan total bakteri dari


interaksi cara pengemasan dengan lama
penyimpanan pada suhu kamar

Parameter
Susut bobot
(%)

Lama
penyimpanan
(jam)

NV

12

0,397

0,353b

24

1,040a

0,353b

36

1,267

0,283

3,665

3,718C

12

5,874

5,420B

24

7,244A

5,897B

36

0
Total bakteri
(Log jumlah
koloni/ml)

Cara
pengemasan

7,356

7,356

NV: adalah singkatan dari Nonvakum


V: adalah singkatan dari Vakum
Subskrip huruf kecil pada setiap lajur adalah
berbeda nyata secara statistik
Subskrip huruf besar pada setiap lajur adalah
berbeda sangat nyata secara statistik

dapat menstimulan pertumbuhan mikroorganisme secara simultan, hal ini terjadi lebih
besar pada kemasan non vakum dibandingkan
kemasan vakum (OFFER dan TRINICH, 1983).
Seperti diketahui kemasan vakum dapat
menekan
pertumbuhan
mikroorganisme
sehingga dapat menekan susut bobot daging.
Susut bobot daging dengan pengemasan
non vakum pada penyimpanan suhu rendah
(10C) menunjukkan penyimpanan hari
ketujuh sangat nyata lebih tinggi susut bobot
daging dibandingkan dengan penyimpanan
selama 0 6 hari. sedangkan dengan
pengemasan vakum susut bobot daging tidak
berbeda nyata sampai hari ke tujuh (Tabel 2)
Menurut OFFER dan KNIGHT (1988),
penyimpanan suhu rendah akan menstimulasi
evaporasi dari permukaan daging, karena
tekanan uap air pada permukaan daging lebih
tinggi daripada aliran udara sekelilingnya.
Tebal tipisnya lemak eksternal yang melekat
pada daging juga dapat mempengaruhi
penghambatan laju evaporasi air (SOEPARNO,
1992). Penggunaan kemasan vakum ternyata
dapat menekan evaporasi sehingga selama
penyimpanan persen susut bobot daging
menjadi relatif rendah.
Pengemasan vakum pada penyimpanan
suhu kamar maupun suhu 10C tidak
terjadinya peningkatan susut bobot daging,

namun pada pengemasan non vakum terjadi


peningkatan susut bobot. Hal ini sesuai dengan
ROBERTSON
(1993)
yang
menyatakan
kauntungan dari pengemasan daging secara
vakum adalah meningkatkan keempukan
daging selama proses pelayuan dengan
penurunan bobot minimum.
Tabel 2. Susut bobot daging dari interaksi cara
pengemasan dengan lama penyimpanan
pada suhu dingin (10C)
Parameter
Susut bobot
(%)

Lama
penyimpanan
(jam)

Cara pengemasan
NV

0,150

0,207BC

0,280C

0,666BC

0,350

0,493BC

0,450B

0,553BC

0,837

0,407BC

0,677BC

0,353BC

2,093A

0,347BC

NV: adalah singkatan dari Nonvakum


V: adalah singkatan dari Vakum
Subskrip huruf besar pada setiap lajur atau baris
adalah berbeda sangat nyata secara statistik

Cara pengemasan tidak mempengaruhi


secara nyata terhadap nilai pH. Pada tabel
penyimpanan suhu kamar tidak terdapat
perbedaan nilai pH selama penyimpanan 36
jam (Tabel 4), sedangkan pada pnyimanan
suhu rendah terdapat perbedaan yang nyata
selama penyimpanan 7 hari dibandingkan
dengan hari ke-0 dan ke-3 (Tabel 3).
Setelah hewan disembelih menyebabkan
terhentinya respirasi sampai habisnya oksigen
akibatnya terjadi pemecahan glikogen secara
anaerob dimana ion hydrogen yang dibebaskan
pada proses glikolisis dan siklus TCA
meningkat sehingga akumulasi asam laktat
yang berasal dari asam piruvat lebih banyak
yang mengakibatkan menurunnya pH daging
(FORREST, et al., 1975).
Menurut LAWRIE (1985) perubahan nilai
pH juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik,
yaitu penanganan ternak sebelum di potong
dan suhu penyimpanan, oleh karena itu selama
penyimpanan pada suhu kamar tidak terjadi
penurunan nilai pH karena adanya perubahan
postmortem oleh enzim di dalam daging atau

647

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

648

Tabel 3. Nilai pH, daya mengikat air, keempukan , warna dan total bakteri dari cara pengemasan dan lama penyimpanan pada suhu dingin (10C)
perlakuan

lama penyimpanan (hari)

cara pengemasan

Non
Vakum

Vakum

Nilai pH

6,19A

5,96A

6,07A

5,61A

5,42B

5,75AB

5,42B

5,37B

5,74

5,66

Daya mengikat air (%)

2,33B

3,33C

38,00A

43,67A

49,68A

35,00AB

24,33B

40,67AB

28,00

31,00

8,40A

7,28AB

7,34AB

5,15ABC

3,72ABC

4,01ABC

2,34C

3,45C

5,79

4,92

Nilai kecerahan (l)

37,77B

43,55A

42,65A

42,30A

42,28A

43,22A

43,39A

42,11A

42,30

41,94

Nilai kemerahan (a)

9,94 C

12,16AB

11,90AB

11,60AB

11,99AB

11,81AB

11,27B

12,61A

11,09

11,82

Nilai kekuningan (b)

0,44B

3,77A

2,66A

3,12A

2,71A

3,31A

3,04A

3,13A

2,97

2,82

Total bakteri (Log jumlah


kolono/ml)

4,08C

4,52C

5,57B

7,06A

7,48A

5,88

5,59

Keempukkan ( Kg/cm )
Warna

Subskrip huruf besar pada setiap lajur adalah berbeda sangat nyata secara statistik

648

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

parameter

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

mikroba kontaminan menghasilkan residual


berupa senyawa-senyawa alkali seperti
amoniak dan nitrogen yang dapat menetralisir
asam laktat sehingga terjadi kenaikan nilai pH.
Hal ini terjadi pada kemasan non vakum
selama penyimpanan 36 jam. Selama
penyimpanan suhu kamar terjadi proses
glikolisis yang lebih cepat dan perubahan
protein oleh enzim lebih cepat terjadi, lain
halnya dengan penyimpanan suhu rendah,
proses glikolisis dan perubahan protein oleh
enzim relatif lambat sehingga penurunan nilai
pH terjadi secara optimal
Nilai daya mengikat air berperan penting
terhadap
keempukan
daging.
Menurut
OCKERMAN (1984) di dalam daging terdapat
air terikat dan air bebas. Daya mengikat air
merupakan kemampuan daging untuk menahan
air bebas yang dikandungnya.
Daya mengikat air akan meningkat secara
sangat nyata selama penyimpanan suhu kamar
3,33 49,67%, dibandingkan dengan sebelum
disimpan (0 jam) yaitu 2,33 % (Tabel 4). Hal
ini diduga pH awal belum mencapai titik
isoelektrik atau pH ultimate, sehingga ATP
masih tetap diproduksi menyebabkan tidak
terjadinya proses rigor mortis. Rigor mortis
menyebabkan kekakuan otot, karena filamentfilamen
saling
berikatan
membentuk
aktomiosin, sehingga ruangan menyempit dan
air tidak dapat masuk, hal ini menyebabkan
daya mengikat air menurun (hal ini yang
terjadi setelah penyimpanan 36 jam).

Seperti halnya pada penyimpanan suhu


kamar (Tabel 4), cara pengemasan dan
interaksinya dengan lama penyimpanan tidak
nyata perbedaannya, akan tetapi selama
penyimpanan suhu rendah terdapat perbedaan
sangat nyata terhadap daya mengikat air (Tabel
3). Penyimpanan hari ke-0 dan ke-1 tidak nyata
daya mengikat air namun berbeda sangat nyata
lebih rendah daya mengikat air dibandingkan
penyimpanan hari ke-3 sampai dengan hari ke7. Hal ini disebabkan adanya perubahanperubahan ion-ion yang diikat oleh protein
selama proses pendinginan, dimana ion-ion
divalent (Mg++ dan Ca++) secara terus menerus
dilepas kedalam sarkoplasma oleh protein otot
dan digantikan oleh ion H+ dan molekul air,
sehingga terjadi peningkatan daya mengikat air
(FORREST et.al., 1975). Peningkatan nilai daya
mengikat air pasca mortem dapat ditunjang
oleh aktifitas enzim kathepsin yang dapat
memperlemah ikatan molekul protein.
Warna daging berpengaruh terhadap
penerimaan daging oleh konsumen karena
indentik dengan kualitas dan citarasa. Faktorfaktor yang mempengaruhi warna daging
seperti pakan, spesies, umur, jenis kelamin,
stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH,
oksigen dan konsentrasi pigmen daging
mioglobin. Warna daging yang diukur terdiri
dari tiga parameter, yaitu: kecerahan (l),
kemerahan (a) dan kekuningan (b). Nilai
pengukuran warna daging pada suhu kamar
dan suhu 10C dapat dilihat pada table 4 dan
Tabel 3.

Tabel 4. Nilai pH, daya mengikat air, keempukan , dan warna dari cara pengemasan dan lama penyimpanan
pada suhu kamar
perlakuan

lama penyimpanan (jam)

cara pengemasan

parameter

12

24

36

Nonvakum

Vakum

Nilai pH

5,87

5,58

5,36

5,79

5,70

5,59

Daya mengikat air (%)

2,33B

35,00A

22,33AB

44,67A

26,50

27,50

Keempukkan ( Kg/cm2)

6,31AB

7,68A

4,76AB

3,25B

5,42

5,58

Nilai kecerahan (l)

38,17B

42,25A

42,07A

42,03A

40,90

41,37

Nilai kemerahan (a)

12,17A

11,55A

13,2B

11,31B

12,15

11,97

Nilai kekuningan (b)

3,01B

3,70B

3,41B

4,45A

3,85

3,44

Warna

Subskrip huruf besar pada setiap lajur dan baris adalah berbeda sangat nyata secara statistik

649

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

Nilai kecerahan (l)


Daging domba yang disimpan pada suhu
kamar dan suhu 10C, nilai kecerahan warna
dagingnya sangat dipengaruhi oleh lama
penyimpanan, sedangkan cara pengemasan dan
interaksi kedua faktor tidak mempengaruhi
secara nyata.
Daging yang disimpan pada suhu kamar
selama 12 36 jam memperlihatkan nilai
kecerahan warna yang sangat berbeda nyata
dibandingkan dengan penyimpanan 0 jam.
Begitu pula penyimpanan daging domba pada
suhu 10C selama 1 7 hari memperlihatkan
perbedaan nilai kecerahan warna daging yang
sangat nyata dibandingkan dengan lama
penyimpanan 0 hari. Tampak bahwa nilai
kecerahan warna daging pada penyimpanan
suhu kamar (selama penyimpanan 12 36 jam)
dan suhu 10C (1 7 hari) adalah konstan
(tidak terdapat perbedaan yang menyolok),
tetapi nilai kecerahan warnanya relatif lebih
baik dibandingkan pada penyimpanan awal.
Hal ini diduga terjadinya proses reaksi
oksigenasi
mioglobin
membentuk
oksimioglobin pada daging domba mulanya
berjalan cepat, selanjutnya proses tersebut
semakin melambat dengan semakin lamanya
masa simpan.
Daging yang dikemas non vakum pada
suhu 10C mempunyai nillai kecerahan warna
yang lebih tinggi dibandingkan daging yang
dikemas vakum, walaupun secara statistik tidak
berbeda nyata. Menurut WATT. et al., (1966),
pengemasan vakum yang dilakukan terhadap
daging yang ddinginkan akan menyebabkan
penurunan kecerahan warna daging. Hal ini
disebabkan sitokrom yang terkandung dalam
daging dapat mereduksi metmioglobin kembali
menjadi mioglobin. Warna daging yang merah
terang terjadi bila daging diekspose ke udara,
terjadi reaksi oksigenasi mioglobin membentuk
oksimioglobin yang merah cerah.
Lebih tingginya rataan nilai kecerahan
warna pada daging yang dikemas non vakum
diduga juga karena adanya evaporasi cairan
dari permukaan daging yang menyebabkan
dehidrasi sehingga pigmen pembentuk
kecerahan warna daging berkurang dan
terkonsentrasi tidak merata, selain itu
pengeluaran
air
dapat
menstimulasi
peningkatan pertumbuhan mikroba. Menurut
SUNARYO (1985), kecerahan daging dapat juga

650

dipengaruhi oleh adanya lemak marbling,


semakin tinggi lemak marbling akan semakin
rendah kecerahan warnanya. Nilai kecerahan
daging pada suhu 10C sedikit lebih baik
dibandingkan penyimpanan suhu kamar,
karene diduga penyimpanan dingin dapat
mempertahankan kadar air dalam daging
sehingga senyawa pigmen yang terlarut dapat
dipertahankan.
Nilai kemerahan (a)
Penyimpanan daging pada suhu kamar dan
suhu 10C, menujukkan bahwa perlakuan lama
penyimpanan berpengaruh sangat nyata
terhadap nilai kemerahan (a) warna daging,
tetapi tidak dipengaruh oleh perlakuan cara
pengemasan dan interaksi diantara kedua
perlakuan.
Daging domba yang disimpan pada suhu
kamar selama 24 jam memperlihatkan
perbedaan nilai kemerahan (a) warna daging
yang lebih baik dibandingkan lama simpan
12 36 jam dan tidak berbeda nyata dengan
lama simpan 0 jam. Sedangkan daging domba
yang disimpan pada suhu 10C selama 7 hari,
nilai kemerahan (a) warna dagingnya lebih
baik dan sangat berbeda nyata dengan lama
simpan 0 hari dan 6 hari, dan tidak
memperlihatkan perbedaan nilai kemerahan (a)
warna daging dengan lama simpan 1 5 hari.
Nilai kemerahan (a) warna daging pada suhu
kamar cukup fluktuatif dan variasi hal ini
diduga terdapat respon kondisi lingkungan
mikro pada daging domba (tekstur daging,
kandungan air dan pigmen - pigmen, serta
enzim - enzim aktivator yang berperan
terhadap pembentukan dan degradasi warna
daging) yang berbeda terhadap kelembaban
relatif dan temperatur ruangan serta intensitas
cahaya, seperti terjadinya oksidasi mioglobin
yang dapat menurunkan nilai kemerahan warna
daging.
Terjadinya peningkatan nilai kemerahan (a)
warna daging yang stabil pada penyimpanan
suhu 10C selama 1 7 hari. Kestabilan nilai a
ini kemungkinan struktur mioglobin yang
berupa protein lebih terlindung sehingga tidak
mudah terdegradasi, hal ini dapat mencegah
terjadinya perubahan warna daging. Menurut
SACHAROW dan GRIFFIN (1980) struktur
protein mioglobin dapat terdegradasi bila
kontak dengan udara dan akan membentuk

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

reaksi tambahan membentuk pigmen merah


kecoklatan (metmioglobin). Perbedaan nilai
kemerahan (a) juga dipengaruhi oleh tipe otot
dan tingkat aktifitasnya.
Nilai kekuningan (b)
Nilai kekuningan (b) yang positif
menunjukkan
bahwa
daging
berwarna
kekuningan, sedangkan nila b negatif daging
berwarna hijau. Penelitian ini mendapatkan
nilai b positif pada daging domba berarti
daging mengandung warna kuning.
Penyimpanan daging pada suhu kamar dan
suhu 10C, menunjukkan bahwa perlakuan
lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata
terhadap nilai kekuningan (b) warna daging,
tetapi tidak dipengaruhi oleh cara pengemasan
dan interaksi diantara kedua perlakuan.
Daging yang disimpan pada suhu kamar
selama 36 jam, nilai b warna dagingnya lebih
kuning dan berbeda sangat nyata dibandingkan
lama simpan antara 0 12 jam. Sedangkan
pada penyimpanan suhu 10C, penyimpanan
selama 1 sampai 7 hari memperlihatkan nilai
kekuningan yang lebih baik dan sangat berbeda
nyata dibandingkan dengan nilai kekuningan
warna daging yang disimpan 0 hari.
Menurut ENSMINGERS (1969), warna
daging kekuningan disebabkan rendahnya
kandungan pigmen mioglobin dan hemoglobin
dalam daging. Selain itu, kandungan lemak
marbling pada daging juga mempengaruhi
kekuningan daging yang disimpan. Nilai
kekuningan
warna
daging
cenderung
meningkat dengan bertambahnya waktu
penyimpanan. Hal ini disebabkan semakin
rendahnya kandungan pigmen mioglobin
sehingga berpengaruh terhadap menurunnya
nilai kemerahan (a) warna daging. Penurunan
kandungan mioglobin menjadi metmioglobin
dapat menyebabkan daging berwarna coklat
pucat.
Keempukan
dan
tekstur
daging
berpengaruh terhadap kualitas daging. Kisaran
hasil pengukuran Warner Bratzler Shear
terhadap
keempukan
daging,
menurut
PEARSON (1985) terbagi atas 3 katagori yaitu
empuk dengan skala 0 3, cukup empuk
dengan skala 3 6 dan alot dengan skala
6 11. Jika hasil pengukuran menunjukkan
angka lebih dari itu, maka daging tersebut sulit
di makan manusia.

Faktor lama penyimpanan berpengaruh


sangat nyata terhadap keempukan daging,
namun cara pengemasan dan interaksinya tidak
berbeda nyata. Selama penyimpanan suhu
kamar pada 36 jam adalah lebih empuk secara
nyata dibandingkan dengan penyimpanan
0 jam dan 12 jam, namun nilai keempukan
pada penyimpanan 24 dan 36 jam pada suhu
kamar tidak berbeda nyata (Tabel 4).
Terjadinya penurunan nilai keempukan
selama penyimpanan 12 jam diduga terjadinya
rigor mortis. Hal ini disebabkan terbentuknya
komplek aktomiosin yang irreversible sehingga
mengakibatkan hilangnya daya renggang otot
dan otot menjadi kaku, keras serta alot.
Peristiwa ini terjadi karena pengurangan
cadangan ATP yang cepat dan menyebabkan
daging menjadi mengkerut yang dikenal
dengan peristiwa rigor shortening (EDWARDS
et al. 1978).
Pada penyimpanan suhu dingin yang
berpengaruh nyata adalah faktor lama
penyimpanan akan tetapi cara pengemasan dan
interkaisnya tidak berbeda nyata. Penyimpanan
selama 4 7 hari terjadi peningkatan
keempukan yang sangat nyata dibandingkan
dengan penyimpanan 0 2 hari (Tabel 3).
Meskipun demikian penyimpanan hari ke 3 dan
4 tidak berbeda nyata keempukannya.
Peningkatan keempukan (penurunan nilai
shear force) pada penyimpanan daging suhu
dingin selama 4 7 hari, diduga adanya
aktivitas autolisis oleh enzim yang dihasilkan
otot. Sesuai hasil penelitian CONSIDINE dan
CONSIDINIE (1993), bahwa selama pemeraman,
perubahan terbesar terjadi pada protein
miofibril. Pada saat rigor mortis sempurna,
keempukan daging terjadi paling minimum,
kemudian meningkat selama proses pelayuan.
Adanya degradasi protein miofibril dapat
meningkatkan
keempukan
daging.
Pengempukan secara alami ini terjadi karena
efek pencernaan sendiri dengan enzim autolisis
seperti kathepsin, lipase dan nuclease yang
dihasilkan oleh jaringan. Enzim ini mampu
melonggarkan struktur jaringan otot yang
menyebabkan meningkatnya daya mengikat air
dan keempukan daging.
Hal ini menunjukkan bahwa pengemasan
vakum juga nonvakum dapat meningkatkan
keempukan daging pada penyimpanan suhu
kamar maupun suhu rendah. Hal ini tidak
sesuai pendapat ROBERTSON (1993) yang

651

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

menyatakan keempukan daging hanya terjadi


pada pengemasan vakum.
Evaluasi mikrobiologi pada produk pangan
sangat penting untuk menentukan mutu bahan
pangan yang berhubungan dengan keamanan
pangan. Kerusakan daging segar (deterioasi)
melibatkan tiga proses, yaitu mikroorganisme
yang menyebabkan kebusukan, kimiawi yang
menyebabkan perubahan warna dan fisik yang
berperan terhadap pembentukan eksudasi
cairan yang disebut drip (URBAIN, 1971).
Pada penyimpanan suhu kamar, pengaruh
cara pengemasan dan lama penyimpanan
terhadap total bakteri tidak berbeda nyata,
namun interaksi dari kedua perlakuan tersebut
berbeda sangat nyata (Tabel 1). Meskipun total
bakteri terendah pada penyimpanan 0 jam
sangat nyata secara statistik pada kemasan
vakum maupun non vakum. Peningkatan total
bakteri terjadi selama penyimpanan 36 jam,
adanya sedikit perbedaan yaitu pada kemasan
non vakum tidak berbeda nyata antara
penyimpanan 24 dan 36 jam, akan tetapi pada
kemasan vakum adalah berbeda sangat nyata.
Hasil uji H2S bernilai positif pada
penyimpanan 24 dan 36 jam berarti sudah
mengalami kebusukan begitu pula total
bakterinya mencapai di atas sepuluh juta koloni
kecuali kemasan vakum pada penyimpanan 24
jam belum terjadi kebusukan karena total
bakteri mendekati satu juta koloni. Hasil dari
uji kebusukan ini sesuai dengan hasil penelitian
dari SIRAIT (1981) yang menunjukkan nilai
negatif dari hasil uji kebusukan sampai
penyimpanan 24 jam pada daging sapi yang
dibungkus plastik.
Peningkatan pertumbuhan total koloni
bakteri dengan semakin lamanya masa
pemeraman. Pertumbuhan bakteri didukung
oleh ketersediaan unsure hara makro dan
mikro, selain itu didukung pula oleh kondisi
lingkungan tumbuh seperti pH, kandungan gas
oksigen, karbohidrat, nitrogen dan lain - lain,
kelembaban relatif dan intensitas cahaya serta
tekstur media. Pertumbuhan bakteri tersebut
akan terhenti seiring dengan semakin
menipisnya unsur-unsur hara dan adanya
persaingan antar bakteri yang sama maupun
bakteri jenis lainnya berupa metabolit yang
dihasilkan dapat menghambat pertumbuhan
jenis bakteri lainnya. Sehingga pola
pertumbuhan bakteri berupa kurva sigmoid.

652

Bakteri yang terkandung dalam daging


yang dikemas non vakum memperlihatkan
jumlah koloni bakteri yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dikemas secara
vakum. Hal ini dimungkinkan karena pada
kemasan
vakum
dapat
menghambat
pertumbuhan
bakteri
aerob
yang
pertumbuhannya sangat tergantung oksigen.
Bakteri yang mungkin hidup pada kemasan
vakum adalah bakteri anaerobik dan fakultatif
anaerobik.
Total bakteri pada penyimpanan suhu
rendah hanya terdeteksi sampai penyimpanan
hari ke 4, yang total bakteri sudah mencapai
log 7,48 (di atas 10 juta koloni). Dan uji H2S
ternyata pada penyimpanan hari ke 5 sudah
bernilai positif (table 3.) Lama penyimpanan
berpengaruh terhadap total bakteri namun tidak
berbeda nyata pada cara pengemasan dan
interaksinya. Pada penyimpanan 0 dan satu
hari ternyata total bakteri masih rendah (log
4,02 4,52) dan terjadi peningkatan total
bakteri secara sangat nyata menjadi log 5,57
(hari kedua), log 7 (hari ke 3), log 7,48 (hari ke
4), kecuali hari ke 0 dan ke satu, dan hari ke
tiga dan keempat tidak berbeda nyata.
Laju pertumbuhan bakteri pada daging
yang disimpan pada suhu kamar lebih tinggi
dibandingkan jumlah bakteri yang terkandung
dalam daging yang dikemas pada suhu rendah
10C. Penyimpanan pada suhu rendah dapat
menghambat aktivasi enzim-enzim fisiologi
yang berperan terhadap proses pertumbuhan
bakteri, sehingga bakteri dalam keadaan
dormasi. Hal ini berdampak pada semakin
lamanya masa simpan daging.
Menurut standard mutu mikrobiologi yang
dikeluarkan oleh DIREKTORAT JENDRAL
PERDAGANGAN
LUAR
NEGERI
(1982)
menyatakan batasan maksimum jumlah
mikroba daging adalah sekitar 5 x 105
koloni/gram, berarti dalam penelitian ini
daging yang baik menurut standar mutu adalah
daging yang disimpan samapi 12 jam untuk
suhu kamar dan pada suhu rendah sampai 1
hari (non vakum) dan sampai 2 hari (vakum).
Tetapi pada Standar Nasional Indonesia (SNI)
yang oleh DEPARTEMEN PERTANIAN (1997)
menyatakan jumlah bakteri tidak menjadi
standar mutu mikrobiologi, tetapi ditentukan
ada atau tidak adanya bakteri koliform dan
salmonella. Karena dalam penelitian ini tidak

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

dilakukannya identifikasi bakteri koliform dan


salmonella, maka untuk mengetahui daging
telah mengalami kebusukan dilakukan uji H2S.
KESIMPULAN
1.

2.

3.

Selama penyimpanan suhu kamar terjadi


peningkatan daya mengikat air juga
keempukan, namun cara pengemasan
vakum adalah lebih baik dari cara
pengemasan non vakum yang susut
bobotnya relatif lebih tinggi dan mulai
terjadi sejak penyimpanan 24 jam sampai
36 jam, begitu pula pertumbuhan
bakterinya lebih lambat pada pengemasan
vakum.
Penyimpanan pada suhu 10C juga terjadi
peningkatan
daya
mengikat
air,
keempukan selam 7 hari penyimpanan,
seperti pada penyimpanan suhu kamar
ternyata persentase susut bobot daging
lebih tinggi terjadi pada pengemasan non
vakum.
Meskipun cara pengemasan vakum belum
secara nyata lebih unggul dari cara
pengemasan non vakum, namun masih
dapat diandalkan karena susut bobot
daging relatif lebih rendah daripada cara
pengemasan
non
vakum
pada
penyimpanan suhu rendah 10C dan suhu
kamar.
Begitu
pula
untuk
cara
pengemasan vakum, ternyata total bakteri
masih dibawah 1 juta koloni/ml selama
penyimpanan 24 jam. Sedangkan pada
cara pengemasan non vakum ternyata total
bakteri sudah di atas 1 juta koloni/ml.
DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 1982. Standarisasi dan Pengawasan


Mutu Barang VII. No. 60/DSMPM/6.
Direktorat Standarisasi Normalisasi dan
Pengendalian Mutu. Direktorat Jendral
Perdagangan Luar Negeri. Jakarta.
ANONIMUS. 1997. Standarisasi Nasional Indonesia
(SNI) Buku ke 1. Departemen Pertanian.
Peternakan Indonesia. Jakarta

CONSIDINE, D.M. dan GLENN D. CONSIDINE. 1993.


Food and Food Production Encyclopedia. Van
Nostrand Reinhold. Company, New York.
EDWARDS, R.A. G.H. FLEET dan M. WOOTON. 1978.
Food comodity science. In: BUCKLE, K.A.
R.A. EDWARDS, G.H. FLEET dan M. WOOTON
(Eds.). A Course Manual in Food Science.
Australian Vice-Chancellors Committee.
Watson Perguson & Co, Brisbane.
ENSMINGERS, B.S. 1969. Animal Science. Interstate
Printers and Pub. Inc. Danville, Illionis.
FORREST, J.C., E.D. ABERLE, H.B. HENDRIK, M.D.
JUDGE. and R.A. MERKEL. 1975. Principle of
Meat Science. W.H. Freeman and Co, San
Francisco.
LAWRIE, R.A. 1985. Meat Science. Pergamon Press,
London.
MURTIDJO, B.A. 1993. Memelihara
Kanisius, Yogyakarta.

Domba.

OCKERMAN, H.W. 1984. Quality Control of Post


Mortem Muscle Tissue. Vol 2. Departement of
Animal Science the Ohio State University and
the Ohio Agricultural Research and
Development Center.
OFFER, G., D. RESTALL dan J. TRINICK. 1983. Water
Holding in Meat. In: (Ed) BAILLEY. A.J.
Recent Advances in the Chemistry of Meat.
The Royal Society of Chemistry, London.
ROBERTSON, G.L. 1993. Food Packaging: Principles
and Practice. Marcell Dekker. New Yorksher.
Westport, Connecticut.
SACHAROW,S. dan R.C. GRIFFIN. 1980. Principles of
Food Packaging. 2nd(Ed) AVI Publi.
SOEPARNO. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
SUNARYO, W.S. 1985. Cara Produksi yang baik
untuk makanan berasal dari daging. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. Fateta Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
URBAIN, K.W. 1971. The Science of Meat and Meat
Product. 2nd Ed. J.F. PRICE, and B.S.
SCHEWEIGERT. W.H. Freeman and Co., San
Fansisco. pp. 402 431.
WATTS, B.M., J. KENDRICK, M. ZIPSTER, B.
AUTCHINS and SALEH. 1966. Enzymatic
Reducing Pathway in Meat. J. Food Sci. 31:
855 864.

653

Anda mungkin juga menyukai