Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMONIA
DI RUANG HCU RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

DISUSUN OLEH :
KAMAH OKTAVIA DEWI
201520461011078

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Lembar pengesahan ini dibuat dan telah disetujui dalam rangka Kepaniteraan Klinik
mahasiswa Program Pendidikan Profesi Ners Universitas Muhammadiyah Malang, dalam
stase Keperawatam Anak di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tanggal 12 Desember sampai
dengan selesai

Malang, 12 Desember 2016


Ners Muda,

KAMAH OKTAVIA DEWI


NIM. 201520461011078

Mengetahui,

Pembimbing Institusi,

Pembimbing Lahan,

A. DEFINISI
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis
batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA)
semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia disebut
pneumonia (Depkes RI, 2002).
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengenai jaringan paru
(alveoli). (DEPKES. 2006).
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. (Zuh
Dahlan. 2006).
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh
bakteri; merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling sering
menyebabkan kematian pada anak dan anak balita (Said 2007).
Dapat disimpulkan pneumonia adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim
paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan
benda asing yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya
napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
B. ETIOLOGI
Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri,
virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan protozoa.
1. Bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia
lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah
Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu
pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera
memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi pneumonia
akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut jantungnya
meningkat cepat (Misnadiarly, 2008).
2. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus
yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV).
Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas,
pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian
besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila
infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang
menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).

3. Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit
pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri,
meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya
berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi
paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah,
bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).
4. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia
pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia
(PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur.
Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika
ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau spesimen yang berasal dari paru
(Djojodibroto, 2009).
Cara Penularan
Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang
ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang
menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet.
Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab pneumonia kedalam
saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, di samping itu terdapat juga
cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh
penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita,
transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang dan menggunakan benda
yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Azwar, 2002).
Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Pneumonia
Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada
balita (Depkes, 2004), diantaranya :
a. Faktor risiko yang terjadi pada balita
Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan berat
ringannya penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan tubuh tersebut
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :
1) Status Gizi
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya
pneumonia.

Tingkat

pertumbuhan

fisik

dan

kemampuan

imunologik

seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan


kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi
suatu penyakit seperti pneumonia (Dailure, 2000).
2) Status Imunisasi

Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai


pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari
penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka
diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada
balita (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi
kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian
imunisasi. Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan
dan kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi.
3) Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan
makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi,
karena dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat
pemberian ASI yang buruk menjadi salah satu faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian pneumonia pada balita (Dailure, 2000).
4) Umur Anak
Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia. Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur
dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status
kerentanan anak di bawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran
napas yang masih sempit (Daulaire, 2000).
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan
resiko terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak
mempunyai sarana air bersih menyebabkan balita sering berhubungan dengan
berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang
berasal dari tempat yang kotor tersebut (Depkes RI, 2004), yang berpengaruh
diantaranya :
1) Ventilasi
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran
udara kotor dari ruangan yang tertutup. Termasuk ventilasi adalah jendela
dan penghawaan dengan persyaratan minimal 10% dari luas lantai.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan naiknya kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan media untuk berkembangnya bakteri
terutama bakteri patogen (Semedi, 2001).
2) Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan
oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor
risiko terhadap kejadian pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam rumah
juga dapat disebabkan oleh karena asap rokok, kompor gas, alat pemanas

ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan
bermotor (Lubis, 1989).
C. KLASIFIKASI
Menurut Zul Dahlan (2007), pneumonia dapat terjadi baik sebagai penyakit primer
maupun sebagai komplikasi dari beberapa penyakit lain. Secara morfologis pneumonia
dikenal sebagai berikut:
1. Pneumonia lobaris
Melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau lebih lobus paru. Bila
kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral atau ganda.
2. Bronkopneumonia
Terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen
untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya, disebut
juga pneumonia loburalis.
3. Pneumonia interstisial
Proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding alveolar (interstisium) dan
jaringan peribronkial serta interlobular.
Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, virus,
atipikal (mukoplasma), bakteri, atau aspirasi substansi asing. Pneumonia jarang terjadi
yang mingkin terjadi karena histomikosis, kokidiomikosis, dan jamur lain.
1. Pneumonia virus, lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bakterial. Terlihat
pada anak dari semua kelompok umur, sering dikaitkan dengan ISPA virus, dan
jumlah RSV untuk persentase terbesar. Dapat akut atau berat. Gejalanya bervariasi,
dari ringan seperti demam ringan, batuk sedikit, dan malaise. Berat dapat berupa
demam tinggi, batuk parah, prostasi. Batuk biasanya bersifat tidak produktif pada
awal penyakit. Sedikit mengi atau krekels terdengar auskultasi.
2. Pneumonia atipikal, agen etiologinya adalah mikoplasma, terjadi terutama di musim
gugur dan musim dingin, lebih menonjol di tempat dengan konsidi hidup yang padat
penduduk. Mungkin tiba-tiba atau berat. Gejala sistemik umum seperti demam,
mengigil (pada anak yang lebih besar), sakit kepala, malaise, anoreksia, mialgia.
Yang diikuti dengan rinitis, sakit tenggorokan, batuk kering, keras. Pada awalnya
batuk bersifat tidak produktif, kemudian bersputum seromukoid, sampai mukopurulen
atau bercak darah. Krekels krepitasi halus di berbagai area paru.
3. Pneumonia

bakterial,

meliputi

pneumokokus,

stafilokokus,

dan

pneumonia

streptokokus, manifestasi klinis berbeda dari tipe pneumonia lain, mikro-organisme


individual menghasilkan gambaran klinis yang berbeda. Awitannya tiba-tiba, biasanya
didahului dengan infeksi virus, toksik, tampilan menderita sakit yang akut , demam,
malaise, pernafasan cepat dan dangkal, batuk, nyeri dada sering diperberat dengan
nafas dalam, nyeri dapat menyebar ke abdomen, menggigil, meningismus.

Berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia melalui usia, pneumonia


dapat diklasifikasikan:
1. Usia 2 bulan 5 tahun
a.

Pneumonia berat, ditandai secara klinis oleh sesak nafas yang dilihat dengan
adanya tarikan dinding dada bagian bawah.

b.

Pneumonia, ditandai secar aklinis oleh adanya nafas cepat yaitu pada usia 2
bulan 1 tahun frekuensi nafas 50 x/menit atau lebih, dan pada usia 1-5 tahun
40 x/menit atau lebih.

c.

Bukan pneumonia, ditandai secara klinis oleh batuk pilek biasa dapat disertai
dengan demam, tetapi tanpa terikan dinding dada bagian bawah dan tanpa
adanya nafas cepat.

2. Usia 0 2 bulan
a.

Pneumonia berat, bila ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas
cepat yaitu frekuensi nafas 60 x/menit atau lebih.

b.

Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah dan
tidak ada nafas cepat.

D. PATOFISIOLOGI
Jalan nafas secara normal steril dari benda asing dari area sublaringeal sampai
unit paru paling ujung. Paru dilindungi dari infeksi bakteri dengan beberapa mekanisme:
1. filtrasi partikel dari hidung.
2. pencegahan aspirasi oleh reflek epiglottal.
3. Penyingkiran material yang teraspirasi dengan reflek bersin.
4. Penyergapan dan penyingkiran organisme oleh sekresi mukus dan sel siliaris.
5. Pencernaan dan pembunuhan bakteri oleh makrofag.
6. Netralisasi bakteri oleh substansi imunitas lokal.
7. Pengangkutan partikel dari paru oleh drainage limpatik.
Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu mekanisme
pertahanan dan organisme dapat mencapai traktus respiratorius terbawah melalui
aspirasi maupun rute hematologi. Ketika patogen mencapai akhir bronkiolus maka
terjadi penumpahan dari cairan edema ke alveoli, diikuti leukosit dalam jumlah besar.
Kemudian makrofag bergerak mematikan sel dan bakterial debris. Sisten limpatik
mampu mencapai bakteri sampai darah atau pleura visceral.
Jaringan paru menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan pemenuhan paru
menurun dan aliran darah menjadi terkonsolidasi, area yang tidak terventilasi menjadi
fisiologis right-to-left shunt dengan ventilasi perfusi yang tidak pas dan menghasilkan

hipoksia. Kerja jantung menjadi meningkat karena penurunan saturasi oksigen dan
hiperkapnia. (Bennete, 2013)
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1.

Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin.

Degranulasi

sel

mast

juga

mengaktifkan

jalur

komplemen.

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan


otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan
pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena
berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak
lagi mengalami kongesti.
4.

Stadium IV (7-11 hari berikutnya)


Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas
atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk
dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian
penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit
kepala (Misnadiarly, 2008).
2. Tanda
Menurut Misnadiarly (2008), tanda-tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain:
a. Batuk nonproduktif
b. Ingus (nasal discharge)
c. Suara napas lemah
d. Penggunaan otot bantu napas
e. Demam
f. Cyanosis (kebiru-biruan)
g. Thorax photo menujukkan infiltrasi melebar
h. Sakit kepala
i. Kekakuan dan nyeri otot
j. Sesak napas
k. Menggigil
l. Berkeringat
m. Lelah
n. Terkadang kulit menjadi lembab
o. Mual dan muntah
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus atau mikoplasma, umunya leukosit normal atau sedikit
meningkat, tidak lebih dari 20.000/mm3 dengan predominan limfosit (Sectish and
Prober, 2007). Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis antara 15.00040.000/mm3 dengan predominan sel polimorfonuklear khususnya granulosit.
Leukositosis hebat (30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan pneumonia bakteri.
Adanya leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Kadangkadang terdapat anemia ringan dan peningkatan LED. Namun, secara umum, hasil
pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan infeksi virus
dan bakteri secara pasti (Said, 2008)
2. Uji serologi
Uji serologis untuk deteksi antigen dan antibodi untuk bakteri tipik memiliki
sensitivitas dan spesifisitas rendah. Pada deteksi infeksi bakteri atipik, peningkatan
antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis (Said, 2008).
3. Pemeriksaan mikrobiologis
Pada pneumonia anak, pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan,
kecuali pada pneumonia berat yang rawat inap. Spesimen pemeriksaan ini berasal
dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau

aspirasi paru (Said, 2008). Spesimen dari saluran napas atas kurang bermanfaat
untuk kultur dan uji serologis karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri
(McIntosh, 2002).
4. Pemeriksaan rontgen toraks
Foto rontgen tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang rawat inap. Kelainan pada foto rotgen
toraks tidak selalu berhubungan dengan manifestasi klinis. Kadang bercak-bercak
sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis, namun
resolusi infiltrat seringkali memerlukan waktu yang lebih lama bahkan setelah gejala
klinis menghilang. Ulangan foto rontgen thoraks diperlukan bila gejala klinis menetap,
penyakit memburuk, atau untuk tindak lanjut. Umumnya pemeriksaan penunjang
pneumonia di instalasi gawat darurat hanyalah foto rontgen toraks posisi AP (Said,
2008).
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Radang paru-paru dapat diobati dengan antibiotik. Itulah yang biasanya ditentukan
di sebuah pusat kesehatan atau rumah sakit , tapi sebagian besar kasus pneumonia
masa kecil dapat diberikan secara efektif di dalam rumah. Rawat inap disarankan pada
bayi berusia dua bulan dan lebih muda, dan juga dalam kasus yang sangat parah
(WHO, 2011).
1. Terapi suportif umum:
a. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan
pemeriksaan AGD.
b. Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang kental.
c. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan clapping dan
vibrasi.
d. Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif terhadap
pembebanan cairan terutama pada pneumonia bilateral.
e. Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.
f. Ventilasi mekanis : indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan bila
terjadi hipoksemia persisten, gagal napas yang disertai peningkatan respiratoy
distress dan respiratory arrest.
2. Penatalaksanaan pada Bayi dan Balita
a. Untuk bayi dan anak berusia 2 bulan 5 tahun
1) Pneumonia berat : Bila ada sesak napas harus dirawat dan diberikan
antibiotic.
2) Pneumonia : Bila tidak ada sesak napas tetapi napas cepat tidak per;lu
dirawat namun diberikan antibiotic oral.
3) Bukan Pneumonia : bila tidak ada napas cepat dan sesak napas, tidak perlu
antibiotic, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.

b.

Untuk bayi berusia dibawah 2 bulan


1) Pneumonia : Bila ada napas cepat atau sesak napas harus dirawat dan
diberikan antibiotic.
2) Bukan Pneumonia : Tidak ada napas cepat atau sesak napas tidak perlu

c.

d.

dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.


Pneumonia rawat jalan
1) Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol.
2) Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/KgBB.
3) Dosis kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP 20 mg/kgBB sulfametoksazol).
Pneumonia rawat inap
1) Pilihan antibiotika lini pertama dapat menggunakan beta-laktam atau
kloramfenikol.
2) Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap obat diatas, dapat diberikan
antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin.
3) Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia
tanpa komplikasi.
4) Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya sepsis atau meningitis.
5) Antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi beta-laktam/klavunalat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin
generasi ketiga.
6) Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral

selama 10 hari,
3. Obat obatan
a. Antibiotik
Antibiotik yang sering digunakan adalah penicillin G. Mediaksi efektif lainnya
termasuk eritromisin, klindamisin dan sefalosporin generasi pertama. Bila
penderita alergi terhadap golongan penisilin dapat diberikan eritromisin 500mg 4 x
sehari. Demikian juga bila diduga penyebabnya mikoplasma (batuk kering).
Diberikan kotrimoksazol 2 x 2 tablet. Dosis anak : 2 12 bulan : 2 x tablet, 1 3
tahun : 2 x tablet, 3 5 tahun : 2 x 1 tablet.
Tergantung jenis batuk dapat diberikan kodein 8 mg 3 x sehari atau
brankodilator (teofilin atau salbutamol). Pada kasus dimana rujukan tidak
memungkinkan diberikan injeksi amoksisilin dan / atau gentamisin. Pada orang
dewasa terapi kausal secara empiris adalah penisilin prokain 600.000 1.200.000
IU sehari atau ampisilin 1 gram 4 x sehari terutama pada penderita dengan batuk
produktif.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada keadaan sepsis berat.
c. Inotropik

Pemberian obat inotropik seperti dobutamin atau dopamine kadang-kadang


diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal pre renal.
d. Terapi oksigen
Terapi oksigen diberikan dengan tujuan untuk mencapai PaO 2 80-100 mmHg
atau saturasi 95-96 % berdasarkan pemeriksaan analisa gas darah.
e. Nebulizer
Nebulizer digunakan untuk mengencerkan dahak yang kental. Dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronchodilator bila terdapat bronchospasme.
f. Ventilasi mekanis
g. Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia :
Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan oksigen 100 % dengan
menggunakan masker
Gagal nafas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau
didapat asidosis respiratorik.
Respiratory arrest
Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
I.

KOMPLIKASI
a. Abses paru
Abses paru di dalam paru-paru diding tebal, nanah mengisi rongga yang dibentuk
ketika infeksi atau peradangan merusak jaringan paru-paru.
b. Efusi pleural dan empiema
Daerah yang sempit di antara dua selaput pleural secara normal berisi sejumlah kecil
cairan yang membantu melumasi paru-paru. Sekitar 20% pasien yang diopname
untuk radang paru-paru, cairan ini membangun di sekeliling paru-paru. Dalam
banyak kasus terutama pada streptococcus pneumoniae, cairan tetap steril, tetapi
ada kalanya dapat terkena infeksi dan bahkan berisi nanah (suatu kondisi yang
disebut empiema). Radang paru-paru dapat juga disebabkan pleura sehingga terjadi
peradangan yang mana dapat mengakibatkan terganggunya jalan nafas dan sakit
yang akut.
c. Kegagalan paru-paru
Udara mungkin memenuhi area antara selaput-selaput pleural yang menyebabkan
pneumothorak atau kegagalan paru-paru. Kondisi bisa berupa suatu kesulitan dari
radang paru-paru (terutama sekali radang paru-paru pneumococcal) atau sebagian
dari prosedur pelanggaran yang digunakan untuk melakukan efusi pleural.
d. Komplikasi radang paru-paru yang lain

Di dalam kasus-kasus yang jarang, infeksi peradangan mungkin dapat menyebar dari
paru-paru ke hati dan dapat menyebar ke seluruh tubuh, kadang-kadang
menyebabkan bisul pada otak dan bagian tubuh atau organ-organ yang lain.
Hemoptisis yang parah (batuk darah) adalah komplikasi radang paru-paru serius
yang lain. Selain itu komplikasi yang lain yaitu perikarditis, meningitis dan atelektasis.
e. Gagal nafas
Kegagalan yang berhubungan dengan pernafasan adalah suatu hal yang
penting-penting yang dapat menyebabkan kematian pada diri pasien dengan radang
paru-paru pneumoccocal. Kegagalan dapat terjadi karena perubahan mekanik dalam
paru-paru yang disebabkan oleh radang paru-paru (kegagalan ventilatory) atau
hilangnya oksigen di dalam nadi ketika radang paru-paru mengakibatkan arus darah
menjadi tidak normal (kegagalan pernapasan hypoxemic).
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat.
c. Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus
d. Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan
kakeksia(malnutrisi).
e. Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perusakan mental (bingung)
f.

Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgia.
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi
gerakan)

g. Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.
Tanda :

h.

a.

sputum: merah muda, berkarat

b.

perpusi: pekak datar area yang konsolidasi

c.

premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi

d.

Bunyi nafas menurun

e.

Warna: pucat/sianosis bibir

Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid, demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar

i.

Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis
Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6 8 hari
Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas pemeliharaan
rumah.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Perlu diperhatikan adanya takipnea dispne, sianosis sirkumoral, pernapasan
cuping hidung, distensi abdomen, batuk semula nonproduktif menjadi produktif,
serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Batasan takipnea pada anak berusia
12 bulan 5 tahun adalah 40 kali / menit atau lebih. Perlu diperhatikan adanya
tarikan dinding dada ke dalam pada fase inspirasi. Pada pneumonia berat, tarikan
dinding dada kedalam akan tampak jelas.
b. Palpasi
Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba
mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami peningkatan
atau tachycardia.
c. Perkusi
Suara redup pada sisi yang sakit.
d. Auskultasi
Auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan telinga ke
hidung / mulut anak. Pada anak yang pneumonia akan terdengar stridor.
Sementara dengan stetoskop, akan terdengar suara napas berkurang, ronkhi halus

pada sisi yang sakit, dan ronkhi basah pada masa resolusi. Pernapasan bronchial,
egotomi, bronkofoni, kadang terdengar bising gesek pleura (Mansjoer,2000).
3. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a.

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d inflamasi

b.

Intoleransi aktivitas b.d proses inflamasi, ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen.

c.

Risiko tinggi infeksi b.d adanya organisme infektif.

d.

Nyeri akut b.d agen cidera biologis (proses inflamasi)

4. Rencana asuhan keperawatan


No
1

DIAGNOSA

NOC

KEPERAWATAN

NIC

Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan 1. Beri posisi yang nyaman
tidak

efektif

b.d keperawatan selama

inflamasi

x 24 2. Posisikan

untuk

ventilasi

jam diharapkan jalan nafas

yang

maksimum

paten dengan Kriteria hasil:

(pertahankan

peninggian

jalan nafas tetap bersih


anak bernafas dengan

kepala sedikitnya 30
3. Posisikan
kesejajaran

anak

pada

tubuh

yang

tepat.

mudah

4. Hisap sekresi jalan nafas


pernafasan dalam batas
normal.

sesuai kebutuhan.
5. Bantu

Anak dapat beristirahat


dan tidur dengan tenang

anak

dalam

mengeluarkan sputum.
6. Beri

ekspektoran

sesuai

ketentuan.
7. Lakukan fisioterapi dada.
8. Puasakan anak.
9. Berikan

penatalaksanaan

nyeri yang tepat.


10. Bantu

anak

dalam

menahan atau membebat


2

Intoleransi

area insisi atau cedera


aktivitas Setelah dilakukan tindakan NIC: Menejemen energi.

b.d proses inflamasi, keperawatan selama


ketidakseimbangan
antara

suplai

x 24

jam diharapkan klien dapat

dan mempertahankan

tingkat

1. Kaji tingkat toleransi anak.


2. Bantu anak dalam aktivitas
hidup

sehari-hari

yang

kebutuhan oksigen.

energi

yang

adekuat

dengan Kriteria hasil:

anak

mungkin melebihi toleransi.


3. Berikan

mentoleransi

peningkatan aktivitas.

aktivitas

pengalihan
dengan

yang
usia,

kemampuan,

sesuai
kondisi,

dan

minat

anak.
4. Beri periode istirahat dan
tidur yang sesuai dengan
usia dan kondisi.
5. Instruksikan
3

Risiko
adanya
infektif.

infeksi

anak

untuk

beristirahat jika lelah.


b.d Setelah dilakukan tindakan Management Risk contol dan

organisme keperawatan selama

x 24 status imun:

jam diharapkan Klien tidak


menunjukkan
infeksi

tanda-tanda

sekunder

dengan

Kriteria hasil:

lingkungan

aseptik,

dengan

menggunakan

kateter

penghisap steril dan teknik

anak menunjukkan bukti


penurunan

gejala

mencuci tangan yang baik.


2. Isolasi anak sesuai indikasi.
3. Beri

infeksi.

1. Pertahankan

antibiotik

sesuai

ketentuan.

Leukosit dbn

4. Berikan diit bergizi sesuai


kesukaan

anak

dan

kemauan

untuk

mengkonsumsi nutrisi.
4

Nyeri akut b.d proses Setelah dilakukan tindakan NIC: Conscious sedation
inflamasi

keperawatan selama

x 24

1. Lakukan

strategi

jam diharapkan klien tidak

nonfarmakologis

mengalami

membantu anak mengatasi

nyeri

ketidaknyamanan

atau
sampai

untuk

nyeri.

tingkat yang dapat diterima

2. Rencanakan

untuk

oleh anak dengan Kriteria

memberikan

analgesik

hasil:

yang ditentukan sebelum

anak tidak mengalami


nyeri atau tingkat nyeri

prosedur.
3. Berikan analgesik dengan
rute traumatik yang paling

dapat diterima dengan


baik.
Vital sign dbn

kecil jika mungkin.


4. Gunakan
dikenal

strategi

yang

anak

atau

gambarkan

beberapa

strategi dan biarkan anak

memilih salah satunya.


5. Libatkan rang tua dalam
pemilihan strategi.
6. Ajarkan

anak

untuk

menggunakan

strategi

nonfarmakologis

khusus

sebelum terjadi nyeri atau


sebelum nyeri menjadi lebih
berat.
7. Bantu atau minta orangtua
membantu

anak

menggunakan
selama nyeri aktual.

DAFTAR PUSTAKA

dengan
stratei

Anonim. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta:
Depkes RI
Bare Brenda G & Smeltzer Suzan C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1,
EGC, Jakarta.
Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall.2005.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis.Jakarta :
EGC.
Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Depkes RI 2002, Pedoman penanggulangan P2 ISPA, Depkes RI, Jakarta.
Mc Closkey, C.J., et all. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Moorhead, S., Marion, J., Meridean, L.M., & Elizabeth, S. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) : Measurement Of Health Outcomes, 5 th Edition. USA:
ELSEVIER
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa,
Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik Mycobacterium. Jakarta: Pustaka
Obor Populer.
Nanda Internasional Inc. diagnosa keperawatan: definisi & klasifikasi 2015-2017 editor, T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru; alih bahasa Budi Anna Keliat. Editor
penyelaras , Monica Ester. Ed 10. Jakarta : ECG
Price, Sylvia dan Wilson Lorraine. 2006. Infeksi Pada Parenkim Paru: Patofisiologi Konsep
Klinis dan Proses-proses Penyakit volume 2 edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai