Anda di halaman 1dari 24

PAPER

DEMENSIA ALZHEIMER

Oleh :

Putu Nandika Wintari (1202006084)


Putu Utamia Suma Masyuni (1202006195)
Ni Luh Putu Wulan Budyawati (1202006198)

Pembimbing :

Dr. Ketut Widyastuti, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KKM DI BAGIAN / SMF


ILMU PENYAKIT SARAF

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR


2016
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
tinjauan pustaka yang berjudul Demensia Alzheimer ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Adapun tinjauan pustaka ini disusun sebagai salah satu tugas yang harus
diselesaikan dalam rangka mengikuti KKM di Bagian / SMF Ilmu Penyakit Saraf FK
UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. AABN Nuartha, Sp.S (K), selaku Kepala Bagian Lab/SMF Neurologi FK
UNUD/RSUP Sanglah,
2. dr. Ketut Widyastuti, Sp.S, selaku supervisor pembimbing dalam penyusunan
tugas ini,
3. dr. Mestri Agustini dan dr. Ariswanda selaku residen pembimbing dalam
menjalani KKM di bagian / SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/ RSUP
Sanglah.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih belum sempurna sehingga memerlukan
bimbingan, kritik dan saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.
Om Santhi, Santhi, Santhi, Om

Penulis

DAFTAR ISI

COVER

.............................................................................................. i

KATA PENGANTAR ....................................................................... ii


DAFTAR ISI

................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ............. 3
2.2 Epidemiologi......... 3
2.3 Faktor resiko....... 4
2.4 Etiologi................ 6
2.5 Patofisiologi........ 6
2.6 Gejala klinik........ 10
2.7 Diagnosis..................................... 11
2.8 Pemeriksaan penunjang............. 13
2.9 Diagnosis banding.......... 14
2.10 Penatalaksanaan........ 17
2.11 Prognosis........... 19
BAB III SIMPULAN................... 20
DAFTAR PUSTAKA ......... 21

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit gangguan kognitif dapat mengenai semua tingkat usia, dengan


kecenderungan lebih banyak pada usia lanjut. Gangguan kognitif tersebut terjadi karena
3

terganggunya berbagai fungsi otak. Terganggunya fungsi otak tersebut dapat berdampak
pada ketidakseimbangan kontrol emosi, tingkah laku sosial ataupun motivasi.1
Demensia adalah suatu sindrom penurunan fungsi intelektual yang cukup berat
sehingga mengganggu aktivitas sosial dan profesional yang tercermin dalan aktivitas
hidup keseharian disertai adanya perubahan perilaku yang tidak disebabkan oleh
delirium maupun gangguan psikiatri mayor. Adanya peningkatan usia harapan hidup di
negara maju dan negara berkembang disertai dengan meningkatnya jumlah penduduk
yang mengalami demensia.2
Diperkirakan terdapat 35,6 juta orang dengan demensia pada tahun 2010 dengan
peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta di tahun 2030 dan 115,4
juta di tahun 2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan demensia diperkirakan
meningkat dari 2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta pada tahun 2030.2
Terdapat beberapa tipe demensia yaitu demensia alzheimer, demensia vaskular,
demensia lewy body dan demensia penyakit parkinson, demensia frontotemporal, dan
demensia tipe campuran. Penyakit Alzheimer merupakan bentuk demensia yang paling
sering terjadi dan mencakup hampir 60-70% kasus. Penyakit ini dicirikan dengan
terjadinya penurunan fungsi kognitif secara progresif.3
Menurut WHO, pengobatan dan perawatan pasien dengan demensia di dunia
menghabiskan sekitar 604 juta dolar Amerika. Semakin meningkat seiring dengan
waktu. Di negara maju, biaya tersebut lebih banyak digunakan untuk perawatan non
medis dan sosial, sedangkan di negara berkembang lebih banyak digunakan untuk biaya
perawatan medis.1
Penyakit Alzheimer yang ditandai dengan kemunduran memori secara progresif
dan terjadi perubahan histopatologi adanya endapan peptida di ekstrasel yang
menyebabkan munculnya plak dan perubahan neurofibril intrasel di otak. Meskipun
demikian, hingga saat ini mekanisme yang akurat mengenai patogenesis Alzheimer
masih belum jelas.4
Hingga saat ini tidak terdapat terapi yang dapat diberikan untuk menghentikan
ataupun mengembalikan kondisi gangguan pada Alzheimer. Gangguan kognitif tersebut
akan semakin progresif dan memburuk, sering kali hingga pasien meninggal. Selain itu,

tidak terdapat tanda dan gejala yang dapat menentukan diagnosis penyakit Alzheimer
secara tepat.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demensia menurut WHO adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena
adanya kelainan yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi

luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan.
Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai
dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan motivasi. Salah satu jenis demensia
yang sering dijumpai adalah demensia alzheimer.5
Istilah penyakit Alzheimer diperkenalkan tahun 1906 saat dr. Alois Alzheimer
memaparkan kasus mengenai wanita 51 tahun yang mengalami gangguan otak yang
jarang ditemukan. Berdasarkan hasil otopsi didapatkan adanya plak dan kekusutan pada
otaknya yang merupakan karakteristik penyakit Alzheimer yang dikenal saat ini.1
Demensia alzheimer adalah salah satu bentuk demensia yang terjadi di atas umur
65 tahun. Sebanyak 5 juta orang Amerika yang berumur 65 tahun atau lebih tua
menderita Alzheimer dan jumlah tersebut dapat berlipat ganda setiap interval 5 tahun.5
2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit

alzheimer

merupakan

penyakit

neurodegeneratif

yang

secara

epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58
tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih
dari 58 tahun disebut sebagai late onset.6
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah
berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi
berdasarkan umur: 4,4/1.000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80
tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok
usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun.
Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer.
Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjut berkisar 18,5 juta orang dengan
angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti.1
Demensia alzheimer meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi
tertinggi adalah pada usia di atas 60 tahun. Beberapa bentuk familial dari alzheimer
bahkan didapatkan pada usia 30 tahun. Lebih dari 90% kasus alzheimer didapatkan
sporadik dan terjadi di individual yang berusia di atas 60 tahun.1

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali


dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih
lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian lain, tidak ada perbedaan terhadap
jenis kelamin.5
Menurut data tahun 2015, Alzheimer menyerang sekitar 5,3 juta orang di
Amerika Serikat dan rata-rata 200.000 orang lebih muda dari 65 tahun. Di Amerika
Serikat, alzheimer disease adalah penyakit utama yang menyebabkan kematian. Ketika
kematian akibat penyakit lain menurun, kematian akibat alzheimer semakin meningkat.2
2.3 FAKTOR RESIKO
Ada beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang
untuk terkena demensia. Beberapa dari faktor tesebut ada yang dapat diubah
(modifiable) dan ada yang tidak bisa (unmodifible).2
1. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia
Resiko untuk terjadinya demensia alzheimer akan meningkat seiring dengan
meningkatnya usia.
b. Genetik
Kemungkinan untuk menderita alzheimer pada orang yang memiliki prediposisi
genetik akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak.

c. Jenis kelamin
Orang dengan jenis kelamin perempuan dikatakan lebih sering mengalami
demensia. Hal ini mungkin disebabkan oleh angka harapan hidup pada perempuan lebih
tinggi setelah usia diatas 65 tahun.
2. Faktor yang dapat dimodifikasi

a. Aterosklerosis
Akumulasi lemak dan kolesterol di dinding arteri akan menyebabkan proses
inflamasi dan berujung kepada penebalan dinding pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan darah yang menuju ke otak akan semakin menurun. Tingkat Low Density
Lipoprotein (LDL) sangat terkait dengan terjadinya demensia alzheimer.
b. Diabetes
Orang dengan diabetes memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami demensia,
walaupun bukti untuk pernyataan ini belum secara nyata didapatkan. Diabetes yang
tidak terkontrol sudah terbukti meningkatkan resiko terjadinya demensia yang terkait
vaskular.
c. Hipertensi
Tingginya tekanan darah berkorelasi positif untuk terjadinya penyakit seperti
stroke, dan jenis demensia yang menyerang substansia alba.
d. Penyakit mental
Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa depresi dapat mengarah kepada Mild
Mental Impairment dan hilangnya fungsi kognitif.
e. Down syndrome
Banyak orang dengan Down Syndrome memiliki early-onset demensia
alzheimer.
f. Merokok
Banyak penelitian yang telah mengatakan bahwa merokok dapat meningkatkan
resiko terjadinya demensia karena merokok dikatakan dapat mengurangi jumlah aliran
darah yang menuju ke otak.
g. Alkohol
Konsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak dikatakan meningkatkan resiko
untuk terjadinya demensia.
2.4 ETIOLOGI

Penyebab yang pasti dari demensia alzheimer belum diketahui. Beberapa


alternatif penyebab yang telah dihipotesis adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi
imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi
sel-sel filament, predisposisi herediter. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer
terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang
mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.1
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam
kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolisme
energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang
non spesifik. Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat,
dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.4
2.5 PATOGENESIS
Sejumlah patogenesis penyakit alzheimer yaitu2,4:
1. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini
diturunkan melalui gen autosomal dominan. Individu keturunan garis pertama pada
keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita
alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 di
regio proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus
pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan
gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT),
senile plaque dan penurunan marker kolinergik pada jaringan otaknya yang
menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50%
adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor
genetik berperan dalam penyakit alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%),

beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan


bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesis yang menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita
alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya
antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat
yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti CreutzfeldtJacob disease, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesis tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. Manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform
3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan
dalam patogenesis penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain: aluminium,
silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf
pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque.. Hal tersebut
diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah
penyebab degenerasi neuronal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada
penderita alzheimer, juga ditemukan keadaan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen,
fosfor, sodium, dengan patogenesis yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi
melalui reseptor N-methyl D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler
(Cairan-influks) dan menyebabkan kerusakan metabolisme energi seluler dengan akibat
kerusakan dan kematian neuron.

10

4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer
didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha
protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari
penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit
inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor
immunitas.
5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan
trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik,
dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai
peranan yang sangat penting seperti:
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik
neurotransmiter dengan cara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita
alzheimer didapatkan penurunan aktivitas asetilkolintransferase, asetikolinesterase dan
transport kolin serta penurunan biosintesis asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan
postsinaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior,
nukleus basalis, hipokampus.
Kelainan neurotansmiter asetilkolin merupakan kelainan yang selalu ada
dibandingkan jenis neurotansmiter lainnya pada penyakit alzheimer, dimana pada
jaringan otak atau biopsinya selalu didapatkan kehilangan marker kolinergik. Pada
penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan

11

berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesis kolinergik
sebagai patogenesis penyakit alzheimer.
b. Noradrenalin
Kadar metabolisme norepinefrin dan dopamin didapatkan menurun pada jaringan
otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang
merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan
defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita
alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer
et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada
post dan ante-mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotansmiter
regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada
penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena
potongan histopatologi regio hipothalamus setiap penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5-hidroxiindolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga
didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio
hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus
sedangkan pada posterior periventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.
Perubahan kortikal serotoninergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan
diisi oleh formasi NFT pada nukleus raphe dorsalis.

e. MAO (Monoamine Oksidase)


Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas
normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin
dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin.

12

Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan


frontalis sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal dan menurun pada nukleus
basalis dari meynert.
2.6 GEJALA KLINIK
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahan-lahan,
sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai
muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit alzheimer yaitu:
Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
o Memory : kemampuan belajar sesuatu yang baru terganggu, kemampuan mengingat
kembali terganggu
o Visuospatial skills : disorientasi topografi, pemikiran yang kompleks terganggu
o Language : anomia
o Personality : pekerjaan mulai sedikit terganggu
o Psychiatry feature : merasa sedih, terkadang delusi
o Motor system : normal
o EEG : normal
o CT/MRI : normal
o PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion
Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
o Memory : memori terbaru dan mengingat kembali sangat terganggu
o Visuospatial skills : disorientasi spasial
o Language : afasia sensorik
o Calculation : akalkulasi
o Personality : gelisah
o Psychiatry feature : terkadang delusi
o Motor system : restlessness
o EEG : slow background rhythm

13

o CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent


o PET/SPECT : bilateral parietal and frontal, hypometabolism/hyperfusion
Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)
o Intelectual function : penurunan sangat serius
o Motor system : limb rigidity and flexion posture
o Sphincter control : kontrol untuk buang air terganggu
o EEG : diffusely slow
o CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent
o PET/SPECT : bilateral parietal and frontal, hypometabolism/hyperfusion
2.4 DIAGNOSIS
Diagnosis dari demensia alzheimer didapatkan dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang kemudian memenuhi kriteria
diagnosis dari demensia alzheimer. Diagnosis klinis dapat dibuat dengan akurat pada
sebagian besar kasus (90%) walaupun biopsi otak dengan ditemukannya plak neuritk
serta neurofibrilary tangle diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.7
Diagnosis penyakit Alzheimer menggunakan kriteria National Institute of
Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) and the Alzheimers
Disease and Related Disorders Association (ADRDA), dibagi atas diagnosis definite,
probable dan possible.1
1. Diagnosis definite
Diagnosis pasti dapat ditegakkan bila seseorang memenuhi kriteria probable
demensia Alzheimer ketika masih hidup dan konfirmasi pemeriksaan
histopatologi pada biopsi atau otopsi post mortem.
2. Diagnosis probable
Diagnosis probable ditegakkan berdasarkan:
a. Onset yang tidak jelas. Gejala terjadi secara perlahan dalam bulan atau
tahun.
b. Perburukan kognitif yang jelas terlihat.

14

c. Defisit meliputi dua atau lebih domain kognitif. Adapun kategorinya


meliputi:
i. Gambaran amnestik: gangguan belajar dan pengulangan informasi
yang baru diterima (learning and recall recently learned
information).
ii. Gambaran nonamnestik: gangguan bahasa (sulit menemukan katakata), gangguan visuospasial, disfungsi eksekutif (reasoning,
pengambilan keputusan, pemecahan masalah)
d. Pemeriksaan klinik, terdokumentasi dengan pemeriksaan status Mini
Mental, Blessed Test, atau pemeriksaan lain yang setara dan dikonfirmasi
dengan tes neuropsikologi.
e. Tidak terdapat gangguan kesadaran.
f. Awitan (onset) antara usia 40-90 tahun, sering setelah usia 65 tahun.
3. Tidak ditemukan gangguan sistemik atau penyakit otak sebagai penyebab
gangguan memori dan fungsi kognitif yang progresif tersebut
4. Diagnosis possible
Ditegakkan pada penyandang dengan sindroma demensia tanpa gangguan
neurologis, psikiatri dan gangguan sistemik lain yang dapat menyebabkan
demensia dan awitan (onset), presentasi atau perjalanan penyakit yang bervariasi
dibanding demensia Alzheimer klasik. Ditemukan adanya penurunan fungsi
kognitif namun dapat juga onset gangguan kognitif yang terjadi mendadak atau
riwayat yang jelas mengenai penurunan fungsi kongisi tidak jelas.

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG2,8


1. Laboratorium darah
Pemeriksaan labotarorium darah tidak spesifik untuk penyakit demensia
alzheimer. Pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan penyebab penyakit
15

demensia lainnya. Pemeriksaan yang sering dilakukan yaitu pemeriksaan darah


lengkap, elektrolit, kimia darah, serologi sifilis dan skrining antibodi selektif.
2. Neuropatologi
Pemeriksaan neuropatologi diperlukan untuk menegakkan diagnosis definitif dari
demensia alzheimer. Secara umum didapatkan adanya atrofi yang bilateral,
simetris, dengan berat otak yang berkisar antara 850gram-1250gram. Pada
beberapa penelitian didapatkan atrofi yang lebih menonjol pada lobus
temporoparietal dan anterior frontal. Kelainan-kelainan neuropatologi yang
ditemukan pada penyakit demensia alzheimer yaitu neurofibrillary tangle, senile
plaque, degenerasi neuron, perubahan vaskuoler, dan lewy body.
3. Pemeriksaan neuropsikologik
Pemeriksaan neuropsikologik berfungsi untuk menilaiada atau tidaknya
gangguan fungsi kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang
terjadi. The Consortium to Establish a Registry for Alzheimer Disease
(CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis yang terdiri
dari verbal fluency animal category, modified boston naming test, mini mental
state examination, word list memory, constructional praxis, word list recall, dan
word list recognition.
4. CT Scan dan MRI
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan diagnosis
demensia lainnya seperti multi infark dan tumor cerebri. Penipisan substansia
alba cerebri dan pembesaran ventrikel berhubungan dengan beratnya gejala
klinik dan hasil pemeriksaan status minimental. Pada MRI ditemukan adanya
peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler yang merupakan
predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal,
gambaran atrofi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atrofi
hipocampus, amigdala serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
5. EEG
Pada penyakit alzheimer didapatkan adanya perubahan gelombang lambat pada
lobus frontalis yang non spesifik. Pemeriksaan ini digunakan untuk
mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang subklinis.
6. PET (Positron Emission Tomography) dan SPECT (Single Aphoton Emission
Computed Tomography)

16

Pemeriksaan PET pada pasien alzheimer akan ditemukan adanya penurunan


aliran darah, metabolisme O2 dan glukosa darah cerebral. Pemeriksaan PET dan
SPECT tidak dilakukan secara rutin.
2.6 DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang dapat menjadi diagnosis banding dari penyakit demensia
Alzheimer adalah sebagai berikut:1,2
1. Delirium
Delirium merupakan keadaan akut dan serius, dapat mengancam jiwa, dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit, gangguan metabolik dan reaksi obat.
Delirium perlu dicermati karena penyandang demensia Alzheimer beresiko
menjadi delirium. Berikut adalah perbedaan klinis delirium dengan demensia
Tabel 1. Perbedaan klinis delirium dengan demensia1
Delirium
Awitan akut dengan waktu awitan
diketahui dengan tepat
Perjalanan klinis akut, berlangsung
berhari-hari hingga minggu.
Biasanya reversible
Disorientasi terjadi pada fase awal
penyakit.
Fluktuasi dari jam ke jam.
Perubahan fisiologis yang nyata.

Demensia
Awitan tidak jelas dengan waktu
awitan tidak diketahui.
Perjalanan klinis perlahan, bertahap
dan progrsif memburuk.
Biasanya irreversible
Disorientasi terjadi pada fase
lanjut.
Fluktuasi ringan dari hari ke hari.
Perubahan fisiologis yang tidak
begitu nyata.
Tingkat kesadaran yang berfluktuasi
Kesadaran berkabut tahap akhir.
Rentang waktu atensi pendek
Rentang waktu atensi normal
Gangguan siklus tidur-bangun, bervariasi Gangguan siklus bangun-tidur,
dari jam ke jam.
bervariasi dari siang ke malam.
Gangguan psikomotor jelas terjadi pada Gangguan psikomotor terjadi pada
fase awal
fase lanjut.
2. Pseudodemensia
Depresi dapat mempengaruhi status kognitif penyandang, oleh sebab itu sebelum
mencari etiologi demensia, perlu dipastikan apakah penyandang mengalami
demensia atau pseudodemensia karena depresi. Berikut adalah perbedaan klinis
antara demensia dan pseudodemensia

17

Tabel 2. Perbedaan klinis pseudodemensia dengan demensia1


Gambaran Klinis
Awitan (onset)

Pseudodemensia
Demensia
Akut
dengan
perubahan Perlahan, berbulan-bulan
perilaku
Mood/tingkah laku Banyak keluhan, tetapi hasil Tes neuropsikologi jelek, namun
tes objektif baik
penderita
berusaha
meminimalkan/merasionalisasi
kekurangannya
Pandangan tentang Jelek
Normal
diri sendiri
Keluhan terkait
Ansietas, insomnia, anoreksia
Jarang, kadang-kadang insomnia
Durasi
Alasan konsultasi
Riwayat
sebelumnya

Bervariasi, dapat berhenti


spontan atau setelah terapi
Rujukan sendiri, cemas adanya
demensia Alzheimer
Riwayat psikiatri,
keluarga/pribadi

Keluhan progresif perlahan dalam


berbulan-bulan/tahun
Dibawa oleh keluarga yang
merasakan perubahan memori,
kepribadian dan tingkah laku.
masalah Tidak jarang ditemukan riwayat
keluarga dengan demensia

3. Demensia vaskuler
Dalam penegakan diagnosis demensia Alzheimer, apabila terdapat keraguan
untuk membedakannya dengan demensia vaskular, dapat digunakan skor iskemik
Hachinski berikut dengan kriteria apabila jumlah 6 maka termasuk demensia
Alzheimer, sedangkan bila jumlah 7 maka termasuk demensia Vaskular:

Tabel 3. Skor Iskemik Hachinski1


1
2
3
4
5
6
7
8
9

Riwayat dan gejala


Awitan (onset) mendadak
Deteriorasi bertahap
Perjalanan klinis fluktuatif
Kebingungan malam hari
Kepribadian relatif tidak terganggu
Depresi
Keluhan somatik
Emosi tidak stabil
Riwayat hipertensi
18

Ya
2
1
2
1
1
1
1
1
1

Tidak
0
0
0
0
0
0
0
0
0

10
11
12
13

Riwayat penyakit serebrovaskular


Arteriosklerosis penyerta
Keluhan neurologi fokal
Gejala neurologi fokal

2
1
2
2

0
0
0
0

4. Demensia Lewy Body


Demensia Lewy Body ditandai dengan ditemukannya Lewy body di dalam otak.
Gambaran klinik demensia ini khas ditandai dengan:
a. Penurunan fungsi kognitif progresif yang fluktuatif dan gangguan atensi
dari hari ke hari.
b. Sering ditemukan episode delirium.
c. Gejala Parkinsonism.
d. Halusinasi visual dan delusi paranoid.
e. Kesadaran berkabut.
f. Gejala ekstrapiramidal ringan (gangguan gaya jalan, postur tubuh fleksi)
g. Durasi simptom klinik yang lama.
h. Intoleran terhadap neuroleptik.
5. Demensia lobus frontal (Picks disease)
Penyakit ini ditandai dengan penurunan fungsi mental dan perubahan perilaku
yang disebabkan oleh disfungsi lobus frontal dan temporal. Terdapat penurunan
fungsi memori dan bahasa yang jelas. Penyakit ini bersifat herediter dan
sporadik. Didapatkan gamabran patologi berupa atrofi lobus frontal dan temporal
yang jelas. Penyakit ini progresif lambat dan dapat berlangsung bertahun-tahun.
2.7 PENATALAKSANAAN
Manajemen penyakit Alzheimer meliputi berbagai aspek, mencakup terapi,
edukasi dan dukungan bagi pasien serta pengasuh. Tujuan utama dari terapi adalah untuk
memaksimalkan fungsi sehari-hari, mempertahankan kualitas hidup, memperlambat
progresifitas dari gejala serta menangani depresi atau prilaku disruptif.2
1. Terapi farmakologi
Terapi farmakologis dianjurkan hanya pada demensia Alzheimer stadium ringan
dan sedang dengan tujuan terapi untuk menurunkan kecepatan perburukan tahunan.

19

Terdapat beberapa golongan obat yang telah terbukti memperlihatkan perbaikan


fungsi kognitif dan dapat memperlambat perburukan fungsional pada pasien
alzheimer ringan dan sedang.1,5
a. Golongan kolinesterase inhibitor
Pada pasien Alzheimer terdapat penurunan enzim sintesa asetilkolin antara
58-90% di beberapa area otak. Tingkat penurunan sintesa asetilkolin ini
berkolerasi dengan stadium klinis. Asetilkolinesterase inhibitor berpotensi
memperbaiki memori dan kognitif dengan meningkatkan jumlah asetilkolin di
sinaps. Kolinesterase inhibitor ini terbukti memperlambat perburukan kognitif
dan status fungsional pada sebagian pasien.
Efek samping kolinergik dari kolinesterase inhibitor adalah bradikardi dan
gangguan konduksi supraventrikuler. Selain itu, dapat terjadi ulkus peptikum,
obstruksi leher buli-buli, bronkospasme dan kejang. Saat ini, sediaan yang
direkomendasikan adalah donepezil, rivastigmin dan galantamin.
Donepezil hidroklorida merupakan kolinesterase inhibitor generasi kedua
yang diserap dengan cepat di saluran cerna dan dimetabolisme oleh sitokrom
P450 di hati. memiliki bioavailabilitas yang tinggi, waktu paruh yang panjang
dan tidak bersifat hepatotoksik. Sejak tahun 1993, FDA menyetujui 4 agen
kolinesterase inhibitor yang dapat digunakan pada pasien Alzheimer ringan
hingga sedang, yaitu tacrine (1993), donepezil (1996), rivastigmine (2000) and
galantamine (2001). Tacrine kemudian dilarang karena bersifat hepatotoksik dan
efek samping yang berbahaya pada saluran cerna.5
Terapi Donepezil hidroklorida 5mg/hari untuk demensia Alzheimer,
sebaiknya diberikan selama 6 minggu. Apabila diperlukan dapat dinaikkan
sampai dosis 10mg/hari. Obat ini sebaiknya diminum saat makan malam. Efek
samping yang sering ditimbulkan adalah mual, muntah dan diare (5-9% pasien).
Rivastigmin yang digunakan pada pasien Alzheimer memperlihatkan stabilisasi
fungsi ADL pada dosis 6-12 mg/hari. Terdapat korelasi yang nyata antara dosis
obat dengan perbaikan kognitif, ADL dan fungsional global. Penggunaan
rivastigmin dengan dosis titrasi, dimulai dengan dua kali 1,5 mg sehari selama 4

20

minggu (sekurang-kurangnya 2 minggu). Jika toleransi baik, maka dosis


dianikkan menjadi dua kali lipat yaitu 3 mg sehari selama 4 minggu, dan jika
masih ditoleransi dengan baik dosis dinaikkan lagi menjadi 4,5 mg, kemudian
dinaikkan lagi menjadi dua kali 6 mg dalam 4 minggu (minimal 2 mingg). Dosis
rumatan rivastigmin adalah 3-6mg dua kali sehari (6-12 mg/hari). Jika dalam
tahap titrasi terdaapt mual muntah, dosis dapat dikurangi atau kembali pada dosis
sebelumnya yang ditoleransi dengan baik. Secara klinis obat ini cukup efektif
terutama pada demensia Alzheimer ringan dan sedang. Efek samping yang harus
diperhatikan adalah mual, muntah, diare, nyeri lambung, dispepsia, hilangnya
nafsu makan dan pusing.1
b. Disease modifying agents
Obat yang termasuk golongan ini adalah obat anti inflamasi non steroid,
preparat estrogen, vitamin E dan selegiline, namun masih terdapat beberapa
kontroversi terhadap penggunaan agen ini.
Obat anti inflamasi non steroid dikatakan dapat menunda keluhan dan
mengubah tampilan demensia Alzheimer. Proses inflamasi berperan dalam
etiologi demensia Alzheimer. Protein akibat radang fase akut ditemukan pada
plak amiloid, sitokin inflamasi ditemukan dalam jumlah banyak pada plak
senilis. Penggunaan indometasin memperlihatkan sedikit perbaikan kognitif
namun signifikan dibanding plasebo.
Estrogen terbukti memperbaiki aliran darah ke otak melalui efek langsung
pada endotel dan merangsang faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik.
Uji klinik dalam jumlah terbatas memperlihatkan keuntungan estrogen dalam
terapi demensia Alzheimer. Namun, belum ada bukti yang menyokong
pemakaian estrogen untuk memperbaiki gejala kognitif.
Vitamin E dapat dipertimbangakan sebagai terapi demensia Alzheimer,
walaupun

masih

diperlukan

penelitian

lebih

lanjut.

Dikatakan

dapat

meningkatkan ADL dan tingkat survival pasien demensia Alzheimer sedang.1


2. Terapi non farmakologis

21

Fungsi kognitif pada pasien Alzheimer dapat dipertahankan tidak hanya dengan
farmakologis, namun juga non farmakologis. Program yang dibuat secara individual dan
mencakup intervensi terhadap pasien sendiri, pengasuh dan lingkungan. Tatalaksana
disesuaikan dengan kondisi dan tahapan demensia (ringan, sedang, berat) dan sumber
dukungan yang ada.2,8
2.8 PROGNOSIS
Prognosis penderita demensia

alzheimer tergantung dari derajat beratnya penyakit,

variabilitas gambaran klinis dan perbedaan individual seperti usia, riwayat keluarga dan
jenis kelamin. Pasien dengan penyakit demensia alzheimer memiliki angka harapan
hidup rata-rata 4-10 tahun setelah diagnosis dan meninggal akibat dari infeksi
sekunder.2,9

22

BAB III
SIMPULAN
Penyakit Alzheimer merupakan gangguan degeneratif progresif yang menyerang
pada sel saraf otak yang mengakibatkan terjadinya kehilangan memori, kemampuan
berpikir dan bahasa serta perubahan tingkah laku. Penyakit Alzheimer merupakan
penyebab tersering dari demensi atau hilangnya fungsi kognitif pada orang usia 65 tahun
ke atas. Penyakit ini tidak merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Usia
merupakan salah satu faktor resiko utama dari penyakit Alzheimer. Mekanisme pasti
terjadinya Alzheimer masih belum jelas hingga saat ini. Beberapa hipotesis
menyebutkan adanya lesi patologis dan sitopatologis neuron yang berkaitan dengan
genotip apolipoprotein E, hiperfosforilasi sitoskeleton, stres oksidatif, siklus sel yang
abnormal, inflamasi dan metabolisme A. Diagnosis ditegakkan menurut kelengkapan
informasi klinis, patologi dan kemiripan sindrom demensia. Diagnosis penyakit
Alzheimer dibagi atas diagnosis pasti, probable dan possible (NINCDS-ADRDA).
Terapi farmakologis dianjurkan hanya pada demensia Alzheimer stadium ringan dan
sedang dengan tujuan terapi untuk menurunkan kecepatan perburukan. Obat yang
digunakan mencakup kolinesterase inhibitor dan disease modifying agent.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Asosiasi Alzheimer Indonesia. 2003. Konsensus Nasional Pengenalan dan
Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Edisi 1 Demensia
Alzheimer
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.2015. Panduan Praktik Klinik
Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. http://www.perdossi.or.id. Diakses 1
November 2016.
3. Anonim.
2014.
Definition
of
Alzheimer's.
Available
at:
http://www.alzfdn.org/AboutAlzheimers/definition.html. Diakses: 1 November
2016
4. Dong S, Duan Y, Hu Y, Zhao Z. 2012. Advances in the pathogenesis of
Alzheimers disease: a re-evaluation of amyloid cascade hypothesis. Available at:
http://www.translationalneurodegeneration.com/content/1/1/18.
Diakses
1
November 2016.
5. Hong-Qi Y, Zhi-Kun S and Sheng-Di C. 2012. Current advances in the treatment
of Alzheimers disease: focused on consideration stargeting A and tau.
Available at: http://www.translationalneurodegeneration.com/content/1/1/21.
Diakses 1 November 2016.
6. Jalbert J, Daiello L and Lapane K. 2008. Dementia of the Alzheimer Type.
Epidemiol Rev 2008; 30: 1534.
7. McKhan G, Knopman D, Chertkow H, Hyman B, Jack C, Kawas C, Klunk W,
Koroshetz W, manly J, Mayeux R, Mohs R. 2011. The diagnosis of dementia
dueto Alzheimers disease: Recommendations from the National Institute on
Aging and the alzheimers Association workgroup. J Jalz 2011.03.005 (pg 1-7).
8. Beatrice Duthey. 2013. Alzheimer Disease and Other Dementias. Available at:
http://www.who.int/areas/BP6_11Alzheimer. Diakses: 1 November 2016.
9. UCSF Memory and Aging Centre. 2014. Alzheimer Disease. Available at:
http://memory.ucsf.edu/education/diseases/alzheimer. Diakses: 1 November
2016.

24

Anda mungkin juga menyukai