Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Batuk merupakan salah satu gejala utama yang membawa pasien pada sarana
kesehatan selain demam, diare, dan sesak. Batuk juga merupakan salah satu penyakit yang
lazim pada anak. Selain itu batuk dapat terjadi akibat mekanisme pertahanan tubuh untuk
menjaga pernapasan dari benda atau zat asing. batuk dapat disebabkan oleh berbagai faktor
seperti virus, bakteri, dan benda asing yang terhirup (alergi).1
Batuk memiliki ciri khas sehingga dapat dikenali. Satu hal yang perlu diingat bahwa
batuk hanyalah sebuah gejala, bukan suatu penyakit. Batuk baru bisa ditentukan sebagai
tanda suatu penyakit jika ada gejala lain yang menyertainya. Salah satu penyakit yang disertai
dengan batuk adalah pertusis. Pertusis atau dikenal juga dengan sebutan batuk rejan atau
whooping cough, tussis quinta, violent cough dan batuk seratus hari. Pertusis yang berarti
batuk yang sangat berat atau batuk intensif.2
Pemberian jenis nama pertusis lebih diminati daripada whooping cough karena tidak
semua pasien pertusis disertai dengan bunyi batuk yang khas. Uraian pertama epidemi
penyakit ini ditulis pada tahun 1578 di Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun
1908 oleh Bordet dan Gengou. Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan
kematian pada anak terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang
600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.
Data yang telah dikumpulkan oleh profil kesehatan Jawa Barat pada tahun 1993
ditemukan jumlah kasus pertusis pada tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case
fatality rate) 0.20% menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%,
kemudian menurun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992.1,2

Pertusis

Page 1

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi Pertusis
Pertusis atau batuk rejan yang disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough dan batuk seratus hari. Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk
intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang
rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan sistem kekebalan yang
menurun. Disebut juga whooping cough oleh karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom
yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi
karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering disertai
bunyi yang khas.2
II.2 Etiologi
Genus Bordetela mempunyai empat spesies yaitu B. Pertusis, B.parapertusis,
B.bronkiseptika dan B.avium.3 Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis dan perlu
dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella parapertussis dan
adenovirus tipe 1,2,3 dan 5. Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil,
ovoid, ukuran panjang 0.5-1 m dan diameter 0.2-0.3 m, tidak bergerak, tidak berspora.1-3
Dengan perwarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipoler metakromatik dan
mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan Bordetella pertussis, diperlukan suatu media
pembenihan yang disebut bordet gengou (potato blood glycerol agar)
penisilin G 0.5 g/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain.

Gambar 1. Bordetella pertussis1-3


II.3 Epidemiologi
Pertusis

Page 2

yang ditambah

Pertusis merupakan jenis salah satu penyakit yang paling menular dan dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia
merupakan satu-satunya tuan rumah. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak
langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk. Pertusis adalah penyakit endemik.
Penyebaran penyakit ini terdapat diseluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur,
yang terbanyak adalah anak dibawah umur 1 tahun. Makin muda usianya makin berbahaya
penyakitnya, lebih sering menyerang pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Kurang
lebih 45% penyakit terjadi pada usia < 1 tahun dan 66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah
kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan. Antibodi dari ibu
secara transplansental selama kehamilan, tidaklah cukup untuk mencegah bayi baru lahir
terhadap pertusis. Pertusi berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala
pertusis yang ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan
eritromisin dapat menurunkan tingkat penularan pertusis karena biakan nasofaring akan
negatif setelah 5 hari pengobatan.1,2
II.4 Mekanisme Terjadinya Batuk
Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang terdiri dari reseptor batuk, saraf
aferen, pusat batuk, saraf eferen, dan efektor. Refleks batuk tidak akan sempurna apabila
salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Adanya rangsangan pada reseptor batuk akan dibawa
oleh saraf aferen ke pusat batuk yaitu medula untuk diteruskan ke efektor melalui saraf
eferen. Reseptor batuk terdapat pada farings, larings, trakea, bronkus, hidung (sinus
paranasal), telinga, lambung, dan perikardium sedangkan efektor batuk dapat berupa otot
farings, larings, diafragma, interkostal, dan lain-lain.1,4 Proses batuk terjadi didahului inspirasi
maksimal, penutupan glotis, peningkatan tekanan intra toraks lalu glotis terbuka dan
dibatukkan secara eksplosif untuk mengeluarkan benda asing yang ada pada saluran
respiratorik. Inspirasi diperlukan untuk mendapatkan volume udara sebanyak-banyaknya
sehingga terjadi peningkatan tekanan intratorakal. Selanjutnya terjadi penutupan glotis yang
bertujuan mempertahankan volume paru pada saat tekanan intratorakal besar. Pada fase ini
terjadi kontraksi otot ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain tekanan
intratorakal tinggi tekanan intraabdomen pun tinggi. 5 Setelah tekanan intratorakal dan
intraabdomen meningkat maka glotis akan terbuka yang menyebabkan terjadinya ekspirasi
yang cepat, singkat, dan kuat sehingga terjadi pembersihan bahan-bahan yang tidak

Pertusis

Page 3

diperlukan seperti mukus dan lain-lain. Setelah fase tersebut maka otot respiratorik akan
relaksasi yang dapat berlangsung singkat atau lama tergantung dari jenis batuknya. Apabila
diperlukan batuk kembali maka fase relaksasi berlangsung singkat untuk persiapan batuk.1,4,5

Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Batuk1,4,5

Gambar 3. Fase Batuk1,4,5

Pertusis

Page 4

II.5 Patogenesis
Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara penafasan kemudian
melekat pada silia epitel pernafasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertussis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan penjamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Filamentous
hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF) atau pertusis toxin (PT) dan
protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella pertussis pada silia. Setelah terjadi
perlekatan Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar keseluruh
permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak invasif oleh karena itu pada pertusis
tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertussis maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin
terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertussis toxin. Toksin
pertusis ini mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan
dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi
enzim membran sel. Efek LPF ini menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah
infeksi.2,4,5
Toxin mediated disphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein
didalam membran sitoplasma, berakibat terjadinya perubahan fungsi fisiologis dari sel target
termasuk limfosit menjadi lemah dan mati meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin,
efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah. Toksin menyebakan peradangan ringan dengan
hiperplasia jaringan limfoid peri bronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan
silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh streptococcus pneumonia, H.influenza dan staphylococcus aureus).
Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps
paru. Hipoksemia dan sianosis yang terjadi disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea pada saat terserang batuk. Terdapat perbedaan
mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah pengaruh langsung toksin ataukah sekedar
sebagai akibat anoksia.2,4,5 Terjadi perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak
bila sel mengalami regenerasi. Hal ini dapat menerangkan bahwa mengapa kurangnya efek
antibiotik terhadap proses penyakit.

Pertusis

Page 5

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot
polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea.
Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis dan diakhiri dengan
kematian sel. Pertusis lipopolisacaride atau endotoksin tidak terlalu penting dalam hal
patogenesis penyakit ini. Kadang-kadang Bordetella pertussis hanya menyebabkan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.2,4,5
II.6 Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung
dalam 3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksismal), stadium akut
paroksismal (paroksismal, spasmodik) dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis
tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Gejala pada anak yang berumur
kurang dari 2 tahun yaitu batuk paroksismal (100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%),
dispnea (70-80%) dan kejang (20-25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis
tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak lebih dari 2 tahun,
suhu jarang melebihi 38.40C pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan
Bordetella parapertussis atau Bordetella bronkiseptika lebih ringan daripada Bordetella
pertussis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan sebagai
berikut.2,4
II.6.1 Stadium Kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya
rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi,
batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis
pertusis belum dapat ditegakan karena sukar dibedakan dengan common cold.
Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan
penderita sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada tahap ini kuman paling
mudah di isolasi. Batuk yang timbul mula mula malam hari, kemudian pada siang
hari dan menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan
melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel.2,4,5

Pertusis

Page 6

II.6.2 Stadium Paroksismal / stadium spasmodik (2-4 minggu)


Terjadinya batuk pada stadium ini akan semakin meningkat intensitasnya.
Setiap kali mulai batuk akan terjadi pengulangan 5 hingga 10 kali yang menyebabkan
ketika ekspirasi akan diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan
menimbulkan bunyi melengking (whoop) karena udara yang masuk dihisap oleh glotis
akan menyempit sehingga terbentuknya suara ini. Batuk hebat dengan bunyi whoop
biasanya tidak terlalu terdengar pada anak yang lebih tua atau pada bayi yang lebih
muda.2,4
Ketika terjadinya serangan batuk, muka akan memerah dan terjadi sianosis,
mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan adanya distensi vena leher
bahkan sampai terjadi petekia diwajah. Pada batuk paroksismal dapat terjadi secara
terus menerus hingga mucous plug pada saluran nafas menjadi hilang. Pada stadium
ini, sesudah terjadinya batuk dapat menyebabkan muntah yang menjadi salah satu ciri
khasnya, sehingga menyebabkan kecurigaan apakah anak memang benar adanya
menderita pertusis walaupun tidak disertai dengan bunyi whoop. Keadaan klinis anak
dapat menyebabkan penurunan berat badan dan anak menjadi acuh tak acuh pada
lingkungan sekitarnya disertai dengan stress emosional dan perubahan aktivitas
fisik.2,4,5
II.6.3 Stadium Konvalesen (1-2 minggu)
Pada stadium penyembuhan ini dinilai dari mulai berhentinya whoop dan
muntah pada puncak serangan paroksismal yang perlahan menjadi menurun.
Walaupun batuk masih menetap namun seriring berjalannya waktu, intensitas
terjadinya batuk akan mulai menurun dan menghilang pada 2 hingga 3 minggu
kemudian. Pada sebagian pasien serangan batuk ini akan timbul serangan batuk
episode paroksismal kembali. Episode ini dapat terjadi berulang dan beberapa bulan
dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang.
II.7 Diagnosis
Diagnosis dapat ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat kontak
dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas.
Pertusis

Page 7

Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada
pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemerikssan
laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 50.000/ UI dengan limfositosis absolut khas
pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak
menolong untuk diagnosis, oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.
Isolasi Bordetella pertusis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis.
Biakan positif pada stadium kataral 95 100%, stadium parosismal 94% pada minggu ketiga
dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. Serologi untuk antobiodi toksin pertusis.
Tes serologi berguna untuk stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi
pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG
dan IgA terhadap FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan oleh
penyakit atau vaksinasi.1-3,5
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setealah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lain
yaitu toraks dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis atau empisema.1-3,5
II.8 Diagnosis Banding
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda
asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal tetapi biasanya gejala terjadi secara
mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan endoskopi. Pada
Bordetella parapertusis, penyakitnya lebih ringan, kira- kira 5% dari penderita pertusis.
Dapat diidentifikasi secara khusus dengan tes aglutinasi. Pada jenis Bordetella
bronchoseptica, gejala penyakitnya sama dengan parapertusis, namun lebih sering didapatkan
pada binatang, dan mungkin ditemukan dalam saluran pernapasan pada orang yang kontak
dengan binatang tersebut.1-3,5
II.9 Faktor Penyulit
Penyulit terutama terjadi pada sistem nafas dan saraf pusat. Pneumonia merupakan
penyulit yang paling sering dijumpai, menyebabkan 90% kematian pada anak kurang dari 3
tahun. pneumonia yang diakibatkan oleh Bordetella pertusis tetapi lebih sering disebabkan
infeksi bakteri sekunder seperti H.influenza, S.pneumonia, S.aureus dan S.pyogenesa.
Tuberkulosis laten dapat juga menjadi aktif. Atelektasis yang terjadi secara sekunder terhadap

Pertusis

Page 8

sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan pneumonia.
Panas tinggi merupakan tanda infeksi sekunder oleh bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi
dapat meninmbulkan ruptur alveoli, empisema subkutan dan pneumothoraks termasuk
perdarahan subkonjungtiva. Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis,
hiponatremia sekunder dapat juga terjadi. Kejang tetanik mungkin dihubungkan dengan
alkalosis yang disebabkan muntah persisten.2,4
II.10 Penatalaksanaan
Pada jenis batuk pertusis ini dapat diberikan antibiotik. Walaupun antibiotik tidak
memperpendek stadium paroksismal. Antibiotik yang dapat diberikan ialah eritromisin (50
mg/kgBB/hari) atau ampisilin (100mg/kgBB/hari) yang dapat mengeliminasi organisme dari
daerah nasofaring dalam kurun waktu 3 hingga 4 hari. Terapi suportif pun dapat dilakukan
terutama untuk menghindari faktor yang dapat menimbulkan serangan batuk, mengatur
hidrasi dan nutrisi. Pada distres pernafasan baik akut maupun kronis, oksigen perlu diberikan.
Pada bayi dengan adanya pneumonia dan distres pernafasan sebaiknya dilakukan
penghisapan lendir. Obat-obatan yang dapat diberikan seperti betametasol dan salbutamol
diduga bekerja untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksismal dan
mengurangi lamanya whoop. Berdasarkan penelitian Krantz setelah diberikan salbutamol,
efeknya tidak bermakna dibandingkan dengan placebo. Eritromisin dapat mengeliminasi
pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga memperpendek periode
penularan. Imunoglobulin pertusis telah diberikan kepada anak dibawah umur 2 tahun (1.25
ml/24 jam) dalam 3 hingga 5 dosis.2,4
II.11 Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan melakukan imunisasi.
Banyak laporan yang mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis
dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pada tahun 1926-1930 pada era sebelum
imunisai di Amerika Serikat dan Inggris terdapat sebanyak 36.013 kematian yang disebabkan
oleh pertusis. Batuk rejan adalah sebuah penyakit mudah menular yang menyerang saluran
udara dan pernafasan. Penyakit ini menyebabkan serangan batuk yang parah. Disela-sela
batuk, penderita bernafas dengan terengah-engah. Serangan batuk ini biasanya disertai
muntah dan serangan batuk ini bisa sampai berbulan-bulan. Batuk rejan paling parah terjadi
pada bayi berusia dibawah 12 bulan dan kebanyakan bayi tersebut harus dirawat di rumah
sakit. Batuk rejan dapat mengakibatkan komplikasi seperti pendarahan, kejang, pneumonia,
Pertusis

Page 9

koma, radang otak, kerusakan otak permanen, dan kerusakan paru-paru jangka panjang.
Sekitar satu dari 200 bayi usia enam bulan yang menderita batuk rejan akan meninggal dunia.
Batuk rejan dapat ditularkan melalui batuk dan bersin penderita. Orangtua dan anggota
keluarga adalah sumber utama infeksi ini.1,2,4 Perlindungan atas batuk rejan baik dari penyakit
ini sendiri maupun dari vaksin akan menurun seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu
perlu diberikan satu dosis ulang bagi anak berusia antara 11-17 tahun untuk mengurangi
timbulnya penyakit batuk rejan dalam masyarakat. Oleh sebab itu melalui Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) Indonesia telah melaksanakan imunisasi pertusis dengan
vaksin DPT. Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi pasif dan imunisasi aktif.
Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan
istilah vaksinasi merupakan tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada suatu
antigen berasal dari suatu pathogen.6 Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa
sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel
memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup
memberikan kekebalan.7 Sementara itu vaksin adalah suatu produk biologis yang terbuat dari
kuman, kuman (bakteri, virus) atau racun kuman (toxoid) yang telah dilemahkan atau
dimatikan dan akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.8
Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam
upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Tujuan akhir dari imunisasi adalah
eliminasi total dari penyakit menular yang bersangkutan dan tidak perlu lagi vaksinasi
terhadapnya.
II.11.1 Imunisasi Pasif
Pada keadaan jenis imunisasi ini dapat diberikan human hyperimmune
globulin yang dimana berdasarkan penelitian, jenis imunisasi human hyperimmune
globulin kurang efektif sehingga tidak lagi diberikan untuk pencegahan.6,7
II.11.2 Imunisasi Aktif
Jenis kuman Bordetella pertusis dapat diberikan vaksin pertusis yang dimana
didapatkan dari kuman itu sendiri namun telah dimatikan yang bertujuan untuk
mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis ini diberikan bersama-sama dengan
vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan
Pertusis

Page 10

sebanyak 3 kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika pravalensi pertusis
di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan
jarak 4 minggu. Anak yang berumur lebih dari 7 tahun tidak lagi memerlukan
imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi
menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih besar
biasanya ringan hanya merupakan sumber infeksi Bordetella pertusis pada bayi non
imun. Vaksis pertusis monovalen (0.25 ml. IM) telah dipakai untuk mengontrol
epidemi diantara orang dewasa yang sudah terpapar. Salah satu efek samping setelah
pertusis adalah demam.2,6,8
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan antikonvulsan
setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam. Anak dengan kelainan neurologik yang
mempunyai riwayat kejang, 7.5 kali lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DTP
dan mempunyai kesempatan 4.5 kali lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat
kejang dalam keluarga. Maka untuk kali ini, keadaan anak yang demikian hendaknya
tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya diberikan imunisasi DT.2,6,8
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam
dalam 3 hari sebelum imunisasi menangis lebih dari 3 jam, high pitchy cry dalam 2
hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat
diterangkan >40.50C dalam 2 hari. Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada
bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis. Kontak erat dengan anak usia dibawah 7
tahun yang sebelumnya telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster
tidak perlu diberikan bila telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga
dapat diberikan eritromisin 50 mg/kgBB/24jam dalam 2-4 dosis selama 14 hari.
Kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai
profilaksis. 2,6,8
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi
dan mengurangi gejala penyakit. Seorang yang kontak dengan pasien pertusis tetapi
belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama 14 hari setelah kontak
diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya eritromisin diberikan

Pertusis

Page 11

sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari.
Vaksin pertusis monovolen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadinya epidemi.
Setelah dilakukan imunisasi terdapat kemungkinan terjadinya efek samping.
Walaupun sebagian besar efek sampingnya bersifat ringan dan mudah hilang. Bila
reaksi berikut ini muncul, reaksi tersebut muncul segera setelah divaksinasi. Efek
samping yang umum, demam rendah, rasa sakit, kemerahan dan bengkak pada bekas
suntikan, bentolan kecil sementara di tempat suntikan, merasa kurang sehat, sampai
30 setelah disuntik, mungkin ada yang pingsan. Bila reaksi ringan terjadi, efek
samping dapat dikurangi dengan cara minum yang banyak dan tidak memakai baju
berlapis-lapis bila menderita demam, minum parasetamol dan mengkompres bekas
suntikan dengan kain basah yang dingin.5,7,8

Gambar 4. Tabel Imunisasi6,8


II.12 Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik. Pada
bayi risiko kematian (0.5-1%) disebabkan ensefalopathy. Pada observasi jangka panjang,
apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari.2

Pertusis

Page 12

BAB III
KESIMPULAN
Pertusis atau batuk rejan yang disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough dan batuk seratus hari. Pertusis merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang
dapat menyerang setiap orang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa
dengan sistem kekebalan yang menurun.
Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak langsung yang berasal dari
droplet penderita selama batuk. Pertusis adalah penyakit endemik. Penyebaran penyakit ini
terdapat diseluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur, yang terbanyak adalah
anak dibawah umur 1 tahun. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis dan perlu
dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella parapertussis dan
adenovirus tipe 1,2,3 dan 5. Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil,
ovoid, ukuran panjang 0.5-1 m dan diameter 0.2-0.3 m, tidak bergerak, tidak berspora.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung
dalam 3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksismal), stadium akut
paroksismal (paroksismal, spasmodik) dan stadium konvalesens.
Diagnosis dapat ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada jenis batuk pertusis ini dapat diberikan antibiotik. Walaupun
antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal. Antibiotik yang dapat diberikan ialah
eritromisin (50 mg/kgBB/hari) atau ampisilin (100mg/kgBB/hari) yang dapat mengeliminasi
organisme dari daerah nasofaring dalam kurun waktu 3 hingga 4 hari.
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan melakukan imunisasi.
Imunisasi pertusis ini diberikan bersama-sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis
imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan sebanyak 3 kali sejak umur 2 bulan, dengan
jarak 8 minggu. Jika pravalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai
pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak yang berumur lebih dari 7 tahun tidak lagi
memerlukan imunisasi rutin.

Pertusis

Page 13

Pertusis

Page 14

Anda mungkin juga menyukai