Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji atas kehadirat Allah swt, atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada kita semua, terutama kepada
Saya sehingga dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi
kita dalam proses belajar terutama pada mata kuliah AIK II terkhususnya yang
berhubungan dengan Akal dan wahyu dalam pemikiran islam
Adapun penulisan dalam makalah ini, disusun secara sistematis dan
berdasarkan metode-metode yang ada, agar mudah dipelajari dan dipahami
sehingga dapat menambah wawasan pemikiran para pembaca.
Dalam penulisan makalah ini, Saya menyadari sepenuhnya adanya
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun Saya harapkan
dari para pembaca agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Tangerang,

April 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

A.
B.
C.
D.

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal dan Wahyu
B. Fungsi dan Kedudukan Akal serta Wahyu
C. Akal dan Wahyu Dalam Pemikiran Islam
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan
kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada
manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal
secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan
beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka
hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang
tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer
yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana
kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan
terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama,
melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia,
dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh
panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan.
Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan
yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui akal diyakini
sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus
menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun Nasution, 1986: 1).
Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul pertanyaan,
pengetahuan mana yang lebih dipercaya, pengetahuan yang diperoleh melalui
akal, pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan yang diperoleh melalui
kedua-duanya.

Karena itu,

masalah hubungan

akal dan wahyu ini

merupakan masalah yang paling masyhur dan paling mendalam dibicarakan

dalam sejarah pemikiran manusia, telah lebih dua ribu tahun (Harun
Nasution, 1986: 1).
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap
memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah
SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak
tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan
wahyu maka ia akan tersesat.
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian akal dan wahyu?
2. Bagaimana fungsi dan kedudukan akal dan wahyu?
3. Bagaimanakah akal dan wahyu dalam pemikiran Islam?

C. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini untuk menjelaskan bahwa akal dan wahyu
dalam kehidupan islam sangat penting akal dan wahyu yang digunakan
maqasid

as-syariah

atau

maslahah

yang

menekankan

terjaminnya

kebutuhan hidup manusia, dua di antaranya adalah mewujudkan terjaganya


al-aql (intellect), dan keyakinan (ad-din) (Fahim Khan, 1992: 73-74). Dalam
hal ini wahyu merupakan sumber pengetahuan yang didasarkan kepada
keimanan kepada Allah SWT.
D. Manfaat
1. Agar kita dapat dapat mengetahui pengertian dari Akal dan wahyu, fungsi
dan kedudukan Akal dan wahyu, serta akal dan wahyu dalam pemikiran
islam.
2. Memperluas wawasan pemikiran kita mengenai akal dan wahyu dalam
pemikiran islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal dan Wahyu
1. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab aqala-yaqilu yang secara lughawi
memiliki banyak makna, sehingga kata al aql sering disebut sebagai
lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam
kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al alam, dijelaskan bahwa
aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima
(memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata
al-aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun
bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani

yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang


tidak dapat dicapai oleh indera. Al-aql juga diartikan al-qalb, hati nurani
atau hati sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata aql di zaman jahiliah digunakan
dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah
psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem
solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang
mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan
problem yang dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang
mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata aql mengalami perubahan
arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan
pengaruh filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, yang
mengartikan aql sama dengan nous yang mengandung arti daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi
melalui al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala (Harun
Nasution, 1986: 7-8).
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat
dalam pendapat mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu
daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia.
Seperti Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa
pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asysyahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah alghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berfikir (al-quwwah annatiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal
sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-

Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang


membuat seseorang dapat membedakan dirinya dengan benda-benda
lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca
indera. Di kalangan Mutazilah akal memiliki fungsi dan tugas moral,
yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki
daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal
merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia
menjadi pencipta perbuatannya sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Quran surat Al-Hajj (22) ayat
46,
yang artinya, Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi,
lalu bagi mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka
dapat memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka
telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya,
maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang
buta ialah hati yang di dalam dada.
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-aql itu ada di dalam al-qolb,
karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan
memikirkan (yaqilu) itu dengan al-qolb dan kerja memahami dan
memikirkan itu dilakukan oleh al-aql maka tentu al-aql ada di dalam alqolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu
adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak
berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan
katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.

Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak,


akan tetapi daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.
Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu
yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah
SWT.

2. Wahyu
Kata al-wahy yang berarti suara, kecepatan, api, bisikan, isyarat,
tulisan dan kitab adalah kata arab asli, bukan kata pinjaman dari bahasa
asing. Selanjutnya al-wahy mengandung arti pemberitahuan secara
tersebunyi dan dengan cepat. Namun arti yang paling terkenal adalah
apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi. Yakni sabda Tuhan
yang disampaikan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada
manusia untuk dijadikan pegangan hidup (Harun Nasution, 1992: 15)
Firman Allah itu mengandung petunjuk dan pedoman yang
memang diperlukan oleh umat manusia dalam menjani hidup di dunia
dan di akhirat kelak. Dalam Islam wahyu Allah itu disampaikan kepada
nabi Muhammad saw yang terkumpul semuanya dalam al-Quran.
Wahyu dalam arrti firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan
rasul-Nya, misalnya:
Artinya: sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi
yang kemudiannya, dan kami telah memberikan wahyu (pula) kepada
ibrahim, ismail, ishaq, yaqub, dan anak cucuny, isa, ayyub,Yunus,
Harun, dan sulaiman. Dan kami berikan zabur kepada Dawud

Adapun cara penyampaian wahyu, atau komunikasi Tuhan dengan


nabi-nabi melalui tiga cara: (1) Melalui jantung hati seseorang dalam
bentuk ilham; (2) Dari belakang tabir, seperti yang terjadi pada Nabi
Musa dan (3) Melalui utusan yang dikirimkan Tuhan dalam bentuk
malaikat.
B. Fungsi dan Kedudukan Akal serta Wahyu
Al-Quran juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan
mengadakan pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya
pikir manusia menjangkau wilayah fisik dari masalah-masalah yang relatif,
sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap makna-makna yang
bersifat metafisik dan mutlak. Oleh karenanya dalam hubungan dengan upaya
memahami islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi yang lain yaitu
sebagai berikut:
1. Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui
kebenaran yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah Rasul, dimana
keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
2. Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia
untuk mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian alQuran dan Sunnah Rasul.
3. Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan
semangat al-Quran dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi
dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihad.
4. Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan Al-Quran dan
Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah,
untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya.

Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah


relatif dan tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan
penyempurnaan teru-menerus.
Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi
terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat dari point-point berikut:
a. Allah SWT hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada
orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat
memahami agama dan syari'at-Nya.
Allah SWT berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali)
keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka
pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
b. Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk
mendapat taklif (beban kewajiban) dari Allah subhanahu wa'ta'ala.
Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak
mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu
adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
c. Allah SWT mencela orang yang tidak menggunakan akalnya.
Misalnya celaan Allah SWT

terhadap ahli neraka yang tidak

menggunakan akalnya:
Allah SWT berfirman:
Artinya:"Dan

mereka

berkata:

"Sekiranya

kami

mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah

kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".


(QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Allah SWT mencela orang-orang yang tidak mengikuti
syari'at dan petunjuk Nabi-Nya.
Allah SWT berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah
apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak),
tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS.
002. Al Baqarah [2]: 170).
d. Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam AlQur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti
kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir)
atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa
Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi
kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
e. Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya ayatayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?
kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya". (QS. An Nisaa'
[04]: 82)
Artinya:"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain
Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci

Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan".


(QS. Al Anbiyaa' [21]: 22 )
Artinya:"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah
mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?". (QS. Ath Thuur
[52]: 35 )
e. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fingsi akal.
Alah SWT berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang
Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami
Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek
moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam
memahami dan mengikuti kebenaran.
Allah SWT berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak
menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita
gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS.
Az Zumar [39]: 17-18)
f. Allah SWT menggunakan ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya
pencipta ayat kauniyah tersebut. Dan itu merupakan suatu proses
berfikir (menggunakan akal) yang dibutuhkan untuk mengetahui
adanya hubungan antara alam dan pencipta alam.
Allah SWT berfirman:

Artinya:"Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu


sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah
sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah
sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan
tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam
keadaan payah". (QS. Al Mulk [67]: 3-4)
Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu
langsunng (al-Quran) ataupun wahyu yang tidak langsung (alSunnah), kedua-duanya memiliki fungsi dan kedudukan yang sama
meski tingkat akurasinya berbeda karena disebabkan oleh proses
pembukuan dan pembakuannya. Kalau al-Quran langsung ditulis
semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan di masa awal islam,
hanya beberapa waktu setelah Rasul Allah wafat (masa Khalifah Abu
Bakar), sedangkan al-hadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada abat
kedua hijrah (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz), oleh karena itu
fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1) Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukan
kepada al-Quran dan Sunnah. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa pemahaman dan penngamalan ajaran Islam
tanpa merujuk pada Al-Quran dan al-sunnah adalah omong
kosong.
2) Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan
difungsikan biala akal difungsikan untuk memahami, maka
akal sebagai alat untuk memahami islam (wahyu) harus

dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya


benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidal boleh
menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu.

Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap


indera penglihatan manusia.. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyuNya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannyalah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan
menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat
dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi sebagai
alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan
pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk memahami dan
menjabarkan secara praktis. Manusian diciptakan oleh tuhan dengan tujuan ang
jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan untuk mencapai tujuan
tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.

C. Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Islam


Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai
agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya
hanya sebagai agama di Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah
menjadi negara, selanjutnya membesar di Damasyik, menjadi kekuatan
politik internasional yang daerahnya luas dan akhirnya berkembang di
baghdad menjadi kebudayaan bahlkan peradapan yang tidak kecil
pengaruhnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pada peradaban

barat modern. Dalam perkembangan islam dalam kedua aspek itu, akal
memainkan peranan penting, bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi
juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas masalah-masalah
keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu,
tetapi banayk pula bergantung pada pendapat akal. Peranan akal yang besar
dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula hanya
dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan juga dalam
fikih dan tafsir sendiri .(Nasution Harun, 1986: 71)
1. Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih
atau hukum Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham atau
mengerti. Untuk mengerti dan memahami sesuatu diperlukan pemikiran
dan pemakaian akal.
Dengan demikian

fikih

merupakan

ilmu

yang

menbahas

pemahaman dan tafsiran ayat-ayat al-Quran, yang berkenaan dengan


hukum. Untuk pemahaman dan penafsiran itu diperlukan ihtihad, ihtihad
pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan
berat dan dalam istilah hukum berarti uasaha keras dalam bentuk
pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentusn hukum agama dan sumbersumbernya.
2. Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang
dipermasalahkan, dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya
meningkat menjadi akal dan wahyu. Yang dipermasalahkan adalah
kesanggupan akal dan wahyu terhadap dua persoalan pokok dealam
agama, yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
3. Falsafat

Sesuai denagn pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalamdalamnya tentang wujud, akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap
lebih besar dayanya dari yang dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu
fikih. Sebagai akibatnya pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih
liberal dari pada pendapat-pendapat keagamaan ulamatauhid atau teolog,
sehingga timbul sikap salah menyalahkan bahkan kafir-mengkafirkan
diantara kedua golongan itu. Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa
antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada pertentangan.
Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi, filosof yang

datang

sesudah

Al-Kindi,

juga

berkeyakinan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan.


Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran
yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya berbeda. AlFarabilahfilosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara
agama dan falsafat.
4. Pemikir-Pemikir Pembaharuan Islam
Demikianlah kedudukan akal dan wahyu dalam pemikiran
keagamaan Islam zaman klasik, yang terdapat dalam bidang fikih, bidang
tauhid, dan bidang falsafat. Sesudah zaman klasik yang berakhir secara
resmi pada pertengahan abad ketiga belas, pemikiran dalam Islam tidak
berkembang. Tetapi pada zaman modern sekarang mulai pada permulaan
abad ke-sembilan belas, pemikiran atas dorongan nasionalisme yang
datang dari dunia barat mulai timbul kembali. Pemimpin-pemimpin
pembaharuan dalam Islam mulai menonjolkan kedudukan akal yang tinggi
dalam al-Quran, dalam Hadis dan dalam sejarah pemikiran Islam.

Kedudukan tinggi dari akal di zaman modern ini dapat dilihat


dalam pemikiran Ahmad Khan. Bagi pemimpin pembaharuan dalam Islam
di India ini hanya Al-Quran uang bersifat absolut dan harus dipercayai.
Lainnya bersifat relatif, boleh diterima, boleh ditolak. Tetapi disamping itu
ia punya kepercayaan yangkuat pada akal dan hukum alam. Islam dalam
pendapatnya adalah agama yang sesuai dengan akal dan hukum alam. Oleh
sebab itu pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan akal dan hukum
alam timbul karena salah pemahaman ataupeun salah interprestasi tentang
ayat-ayat al-Quran. Islam adalah agama yang sesuai denagan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Disamping itu akal dapat membuat
hukum mengenai hal-hal yang diatas untuk diamalkan oleh manusia.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Akal merupakan hidayah Allah yang diberikan kepada menusia berfungsi
sebagai alat untuk mencari kebenaran, akal mampu merumuskan yang
bersifat kognitif dan manajerial.
2. Wahyu merupakan firman Allah yang berfungsi sebagai pedoman hidup
manusia. Wahyu baik yang langsung (al-Quran) maupun tidak langsung
(al-Sunnah) sebagi sumber ajaran Islam
3. Akal dan wahyu dilihat secara fungsional bukan struktural, akal berfungsi
untuk memahami wahyu, dan wahyu berfungsi untuk meluruskan kerja
akal.
4. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak
dipakai, bukan hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan

kebudayaan

saja,

tetapi

juga

dalam

perkembangan

ajaran-ajaran

keagamaan Islam itu sendiri.


5. Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap
indera penglihatan manusia
B. Saran
Kami mengharapkan para pembaca bisa mengambil pelajaran dari
makalah kami ini, dan member kritikan dari setiap kesalahan yang ada karena
kami manusia biasa yang dhaif, dan jika ada benarnya itu semata-mata dari
Allah swt.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang


Nasution, Harun. 1986. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press
Absori, Sudarno Shobron, Yadi Purwanto dkk. 2009. Studi Islam 3. Surakarta:
LPID UMS
Asyarie, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran.
Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam.

Anda mungkin juga menyukai