Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi adalah kondisi neurologis yang paling sering pada populasi obstetrik, 0,5%
wanita hamil menderita epilepsi. Risiko pada wanita epilepsi yang hamil lebih besar dari pada
wanita normal yang hamil. Angka kematian neonatus (bayi baru lahir) pada pasien epilepsi yang
hamil adalah tiga kali dibandingkan populasi normal.
Pada wanita hamil terjadi perubahan fisiologis dalam tubuhnya. Salah satunya adalah
fungsi ginjalnya meningkat yang ditandai dengan peningkatan creatinine clearance sekitar 50%
sehingga akan menurunkan kadar Obat Anti Epilepsi (OAE) dalam sirkulasi darah yang akhirnya
meningkatkan kebutuhan OAE. Selain itu, hormon esterogen bersifat epileptogenik. Hormon ini
terus meningkat selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Hal inilah
yang menyebabkan frekuensi bangkitan pada epilepsi menjadi meningkat terutama pada
trimester terakhir. Bangkitan selama kehamilan meningkatkan risiko outcome kehamilan yang
merugikan. Bangkitan pada trimester pertama diketahui meningkatkan risiko malformasi
kongenital pada keturunan dengan anak yang terpapar dengan bangkitan maternal pada waktu
yang lain serta risiko keterlambatan perkembangan. Meski jarang terjadi, status epileptikus dapat
menyebabkan tingkat mortalias yang tinggi bagi ibu dan anak.
Dampak pada wanita hamil dengan epilepsi adalah potensial teratogenesis pada OAE.
Dampak teratogenik diklasifikasikan sebagai malformasi mayor atau anomali minor dan
keduanya yang berhubungan dengan penggunaan OAE. Suatu malformasi mayor adalah suatu
abnormalitas yang ada pada saat lahir yang dapat memerlukan penanganan bedah. Malformasi
mayor yang mungkin adalah kelainan jantung kongenital, defek urogenital, neural tube defect,
dan sumbing. Anomali minor misalnya dismorfisme wajah dan anomali jari.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. EPILEPSI
1. DEFINISI
Epilepsi adalah gangguan neuorologis yang ditandai adanya kecenderungan bangkitan
berulang, dan merupakan dua atau lebih bangkitan yang tidak terprovokasi (unprovoked
seizure), yang terjadi akibat disfungsi sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena
cetusan listrik pada populasi neuron peka rangsangan yang berlebihan, yang dapat
menimbulkan kelainan motorok, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan
sesaat.
Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang
epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan
seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini
sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi.
Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan
40% masih dalam usia reproduksi.
2. ETIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70%
kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan
30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma
kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan
metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya
epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi
menjadi 20%-30%.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen,
hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan

epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat


menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi.
Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan
hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.
Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.
Menurut Kustiowati (2003), dan Sirven, Ozuna (2005), etiologi dari epilepsi meliputi:
1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi
normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui.
Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari
atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma
Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari,
contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan
kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol,
obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif.

3. KLASIFIKASI
KLASIFIKASI ILAE 1981
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005).
1. Serangan parsial
A. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).
-

Motorik

Sensorik

Otonom

Psikis

B. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)


-

Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.

Gangguan kesadaran saat awal serangan.


3

C. Serangan umum sekunder


-

Parsial sederhana menjadi tonik klonik.

Parsial kompleks menjadi tonik klonik


-

Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.

2. Serangan umum.
-

Absans (lena)

Mioklonik

Klonik

Tonik

Atonik.

3. Tak tergolongkan.

KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi


Berkaitan dengan letak fokus

Idiopatik (primer)
-

Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)

Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

Primary reading epilepsy

Simptomatik (sekunder)
-

Lobus temporalis

Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus oksipitalis

Kronik progesif parsialis kontinua

Kriptogenik

Umum

Idiopatik (primer)
4

Kejang neonatus familial benigna

Kejang neonatus benigna

Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

Epilepsi absans pada anak

Epilepsi absans pada remaja

Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.

Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.

Kriptogenik atau simptomatik.


-

Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).

Sindroma Lennox Gastaut.

Epilepsi mioklonik astatik

Epilepsi absans mioklonik

Simptomatik
-

Etiologi non spesifik


-

Ensefalopati mioklonik neonatal

Sindrom Ohtahara

Etiologi / sindrom spesifik.


-

Malformasi serebral.

Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.

Serangan umum dan fokal


-

Serangan neonatal

Epilepsi mioklonik berat pada bayi

Sindroma Taissinare

Sindroma Landau Kleffner

Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

Epilepsi berkaitan dengan situasi


-

Kejang demam

Berkaitan dengan alkohol


5

Berkaitan dengan obat-obatan

Eklampsi.

Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun
serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi
hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat
sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan
sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja
mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan
diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).

PATOFISIOLOGI
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan.
Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi
yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar.
Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking
system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal.
Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
-

Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter


GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai

brains inhibitory

neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin,
sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan
peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu
penelitian lebih lanjut
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari
6

impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron
yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang
berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara
klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis
faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
-

Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga
terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang
kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang
rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi

potensial post sinaptik.


Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls
epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus
impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya
konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat

pada berbagai tempat di otak.


Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan

pelepasan abnormal impuls epileptik.


Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian
yang saling terkait :
Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk menimbulkan

bangkitan.
Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik
berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan
kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya
untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,
kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya
(eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan

pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lainlain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis,
mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak
dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan
serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri,
thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada
gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang
makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai
akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat).
Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi
impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan
disebut status epileptikus.
4. PENGGUNAAN OBAT ANTIEPILEPSI (OAE)
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan
epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian
sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan
semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif
mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila
serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai pasien tersebut 2
tahun bebas kejang.
Nama obat

Aksi utama

Jenis serangan

Fenitoin

Blokade channel Na

Pasial, general sekunder, sind. Lennos gastaut, status

Blokade channel Na

epileptiks, sind. epilepsi anak


Status epileptikus, sama dengan fenitoin

Fosfenitoin

Karbamazepi

Blokade channel Na

Parsial, general tonik klonik

n
Okskarbazepi

Blokade channel Na

Parsial, general sekunder

n
Lamotrigin

Blokade channel Na

Parsial, general sekunder, general primer, serangan


absens atipikal, tonik/klonik, sind.Lennox-Gastaut
Parsial

Zonisamid
Ethosuximid

Blokade aksi glutamat

Absens, absens tipikal

Felbamat

Blokade aksi glutamat

Parsial, sind. Lennox-Gastaut

Topiramat

Blokade aksi glutamat

Parisal, general tonik-klonik primer dan sekunder, sind.

Clobazam

Agonis reseptor GABA

Lennox Gastaut
Parsial, general refrakter

Clonazepam

Agonis reseptor GABA

Mioklonii, subkortikal mioklonus, parsial, general,

Fenobarbital

Agonis reseptor GABA

epilepsi refrakter, status epileptikus


Status epileptikus, parisal, general sekunder

Pirimidon

Agonis reseptor GABA

Parisal, general sekunder

Tiagabin

Inhibitor transporter

Parsial, general sekunder

Vigabatrin

GABA-1
Inhibitor enzim

Spasme infantil

Gabapentin

transaminase GABA
Inhibitor sub unit alpha

Parsial, general tonik-klonik sekunder

Pregabalin

2-delta channel Ca
Inhibitor subunit alpha 2-

Parisal, dengan atau tanpa general sekunder, nyeri

Valproat

delta channel Ca
Mengahmbat Ca channel

neuropatik, anxietas general


General idiopatik, mioklonik juvenil, epilepsi fokal,

Levitiracetam

tipe T
Belum diketahui

spasme infantil
Serangan parisal yang resisten terhadapapengobatan
serangan general

Tabel 1. Jenis OAE berdasarkan lokasi kerjanya dan sesuai jenis kejang

Gambar 1. Lokasi kerja OAE

Tabel 2. Pengobatan lini pertama dan kedua sesuai tipe kejang


B. EPILEPSI DALAM KEHAMILAN
Kehamilan pada ibu hamil meningkatkan kekhawatiran, dimana dapat meningkatkan angka
kejadiaan kejang, komplikasi kehamilan dan merugikan janin. Sekitar 25% sampai 30% wanita
memiliki meningkat kejang selama kehamilan, peningkatan kejang dapat menyebabkan
penurunan konsentrasi obat antiepilepsi. Peningkatan nilai klirens dilaporkan pada fenitoin,
carbamazepine, fenobarbital, ethosuximide, lamotrigin, oxcarbazepine. Ikatan terhadap protein
juga dapat berubah pada 10 minggu pertama kehamilan dan kembali normal setelah 4 minggu
postpartum. Risiko terburuk pada wanita hamil yang epilepsi adalah janin memiliki risiko cacat
10

bawaan 4% sampai 6% (dua kali lebih tinggi pada wanita nonepileptic), lebih dari 90% dari
kehamilan pada ibu epilepsi memiliki hasil yang baik. Data lama, penggunaan antiepilepsi
polytherapy, menunjukkan bahwa barbiturat dan fenitoin dapat menyebabkan jantung bawaan,
malformasi, bibir sumbing, dan malformasi lain.
1. DAMPAK PADA KEHAMILAN
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko tinggi. Banyak
penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko komplikasi obstetrik pada wanita penyandang
epilepsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Hal ini disebabkan adanya pengaruh kehamilan
terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap janin dan pengaruh obat anti
epilepsi terhadap perkembangan janin.
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami
peningkatan serangan epilepsi, sepertiga wanita akan mengalami perubahan serangan dan
sepertiga wanita lagi akan mengalami penurunan frekwensi serangan.
Peningkatan frekwensi serangan epilepsi ini tidak ada hubungan dengan jenis serangan, usia
wanita penyandang epilepsi, lama menderita epilepsi, obat anti epilepsi atau frekwensi serangan
pada kehamilan yang lalu.
Wanita penyandang epilepsi yang makin sering mengalami serangan kejang setiap bulannya
sebelum hamil, frekwensi serangannya akan meningkat selama kehamilan, sedangkan wanita
penyandang epilepsi yang dalam waktu sembilan bulan tidak pernah kejang atau hanya satu kali,
tidak akan mengalami peningkatan serangan kejang selama hamil. Penderita lebih dari dua tahun
bebas serangan maka risiko timbulnya serangan epilepsi selama hamil menurun atau tidak
timbul.
Wanita penyandang epilepsi yang sering mengalami serangan kejang umum atau fokal
sebelum konsepsi akan lebih sering mengalami serangan selama kehamilan. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa frekwensi serangan epilepsi meningkat pada waktu mengandung bayi lakilaki (64%) sedangkan waktu mengandung bayi perempuan (30%) tetapi beberapa peneliti lain
tidak berpendapat demikian.

11

Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi pada kehamilan,
terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III. Meningkatnya frekwensi
serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh:
A. Perubahan hormonal
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara bertahap selama
kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Sedangkan kadar hormon khorionik
gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama yang kemudian menurun terus
sampai akhir kehamilan. Seperti diketahui bahwa serangan kejang pada epilepsi berkaitan erat
dengan rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita penyandang epilepsi dengan rasio estrogenprogesteron yang meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan dengan yang
rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat transmisi GABA (dengan
merusak enzim glutamat dekarboksilase). Sedangkan kita ketahui bahwa GABA merupakan
neurotransmiter inhibitorik, sehingga nilai ambang kejang makin rendah dengan akibat
peningkatan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi. Sebaliknya kerja hormon progesteron
adalah menekan pengaruh glutamat sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan
epilepsi.
B. Perubahan metabolik
Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan garam serta
perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di hepar yang dapat mengganggu
metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi), terjadinya alkalosis respiratorik dan
hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan kejang, meskipun masih selalu diperdebatkan.
C. Deprivasi tidur
Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan seperti rasa
mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan, nokturia akibat tekanan pada
kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan serangan kejang.
Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu pencernaan
dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone merupakan salah satu obat yang sering digunakan
untuk hiperasiditas, gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan abdominal distention dapat
12

menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin menurunkan absorbsi sebanyak 60% dan
magnesium trisilikat efeknya tidak nyata. Tonus lambung dan pergerakannya menurun pada
kehamilan sehingga menghambat pengosongan lambung.
D. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain
berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan protein binding
plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada trimester
terakhir.
Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi mempengaruhi kadar
plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi yang terikat dengan protein berkurang dan
menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini akan cepat
dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang disebabkan oleh induksi enzim
mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid (estrogen dan progesteron). Pada umumnya
dalam beberapa hari-minggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.
E. Suplementasi asam folat
Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita yang telah
lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan trimester ketiga menjelang partus dan pada
masa puerperium bagi ibu hamil yang sebelumnya tidak pernah mendapat suplemen asam folat.
Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin menjadi anemia 11% (anemia mikrositer), karena
sebagian besar obat anti epilepsi yang dikonsumsi berperan sebagai antagonis terhadap asam
folat dan juga didapatkan thrombositopenia.
Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (phenytoin dan
phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya dalam plasma. Namun dapat dikatakan tidak
sampai meningkatkan jumlah serangan kejang.
Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko terjadinya insiden abortus
spontan dan anomali neonatal, gangguan perkembangan pada bayi yang dilahirkan. Jadi
walaupun terdapat sedikit kekhawatiran terhadap pemberian asam folat namun dosis rendah
minimal 0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap aman dan dapat dilanjutkan selama
13

kehamilan pada wanita penyandang epilepsi. Dosis tinggi (4 mg/hari) diberikan pada wanita
hamil yang sebelumnya melahirkan anak dengan kelainan neural tube defect, terutama wanita
yang mendapat obat anti epilepsi asam valproat dan karbamazepin.
F. Psikologik (stres dan ansietas)
Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah terjadinya serangan
kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi dan
gangguan psikologik sekunder.
G. Penggunaan alkohol dan zat terlarang
Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan menurunkan kadar
plasma obat anti epilepsi (phenobarbital, phenytoin dan karbamazepin) sehingga timbul kejang.
Disamping itu intoksikasi alkohol mapun obat-obatan terlarang akan menyebabkan gangguan
siklus tidur normal sehingga meningkatkan frekwensi kejang.
Hal lain yang meningkatkan frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi
selama kehamilan adalah faktor kesengajaan menghentikan makan obat karena takut efek obat
terhadap janin yang dikandungnya. Dari penelitian terhadap 125 wanita hamil dengan epilepsi,
27% tidak meneruskan penggunaan obatnya dengan alasan ketakutan akan efek samping
(termasuk teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya pada bayi yang diberi ASI. Sebenarnya
obat anti epilepsi di ASI jumlahnya relatif sedikit. Jadi pada wanita penyandang epilepsi, obat
anti epilepsi bukanlah kontraindikasi untuk pemberian ASI.

Tabel 3. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu dan janin


14

2. DAMPAK PADA JANIN


Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu perdarahan
pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III, hiperemesis gravidarum sebagian besar
akibat dosis tinggi obat anti epilepsi, herpes maternal ditemukan 6 kali lebih sering dan resiko
timbulnya preeklampsia 50%-250%.
Risiko pada ibu dapat terjadi trauma fisik, menurunnya kemampuan neuropsikologik dan
kemungkinan untuk dilakukannnya seksio sesaria. Sedangkan kematian ibu hamil sewaktu
serangan kejang sangat jarang sekali (di Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan penyebab
kematian karena asfiksia pada saat serangan.
Pada wanita hamil penyandang epilepsi, insiden komplikasi eklampsia tidak meningkat,
yang lebih sering ditemukan adalah preeklampsia. Eklampsia atau Pregnancy Induced
Hypertension (PIH) adalah hipertensi ensefalopati yang mendadak timbul menyebabkan
fibrinoid arterio nekrosis disertai perdarahan dengan akibat disrupsi atau kerusakan tunika media
arteriola, merembesnya protein serum terjadilah edema vasogenik. Pada pemeriksaan CT Scan
dan MRI kepala ditemukan edema difus dan perdarahan otak. Hal ini harus segera diatasi dengan
menurunkan tekanan darah misalnya dengan Ca channel blocker, mengatasi edema dengan
hiperventilasi dan pemberian kortikosteroid.
Kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil penyandang epilepsi.
Serangan epilepsi pada wanita hamil dapat menyebabkan kelainan atau kematian pada janin.
Kematian pada janin lebih sering disebabkan saat serangan ibu hamil mengalami kecelakaan
seperti terjatuh, luka bakar dan tenggelam. Sedangkan trauma dapat menyebabkan pecahnya
selaput ketuban, persalinan prematur, infeksi.
Kejang umum tonik klonik sekali saja atau tunggal akan mempengaruhi denyut jantung
janin menjadi lambat (transient fetal bradycardia selama 20 menit), sedangkan bila kejang
berulang dan berlangsung lama komplikasi terhadap jantung menjadi lebih berat serta dapat
mengganggu sirkulasi sistemik janin sehingga bisa timbul hipoksia.
Pengaruh lainnya yang dapat dijumpai akibat kejang pada wanita hamil yaitu keguguran 3-4 kali
dari kehamilan normal, kemampuan untuk hidup janin menurun seperti Apgar skor yang rendah,
lahir mati dan kematian perinatal , gangguan perkembangan janin (berat badan lahir rendah dan
15

kelahiran prematur) menjadi 2 kali lipat serta terjadi perdarahan intra kranial, dimana setelah
dilakukan induksi persalinan ternyata bayi yang meninggal sudah mengalami maserasi.
Bila status epileptikus timbul saat kehamilan biasanya sepertiga dari ibu-ibu dan setengah dari
janin tidak dapat diselamatkan dan harus segera diatasi tanpa memandang kehamilannya.

PENGARUH TERHADAP NEONATUS


Bayi lahir mati, kematian neonatal serta kematian perinatal didapatkan dua kali lipat lebih
banyak daripada populasi umum. Perdarahan pada neonatus terjadi dalam 24 jam pertama dari
awal kehidupan. Keadaan ini disebabkan kekurangan atau defisiensi faktor pembekuan II, VII,
IX dan X yang tergantung pada vitamin K. Defisiensi vitamin K disebabkan oleh obat anti
epilepsi secara kompetitif menghambat transpostasi vitamin K melalui plasenta dan ditambah
dengan kadar vitamin K yang rendah pada kehamilan. Keadaan ini dapat dicegah dengan
memberikan vitamin K dosis tinggi pada minggu terakhir kehamilan. Namun karena lebih sering
terjadi persalinan prematur maka vitamin K (10-20 mg/hari) ini diberikan pada 2-4 minggu
terakhir. Perdarahan neonatus harus diberi fresh frozen plasma untuk mengatasi koagulopati.
Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko timbulnya drug withdrawal 7
hari setelah partus, dengan gejala sebagai berikut kegelisahan, gemetar (tremor), mudah
terangsang (hipereksetibilitas), high pitch cry, nafsu makan yang besar disusul dengan muntahmuntah. Gejala ini mulai timbul pada saat bayi telah meninggalkan rumah sakit sehingga
membuat kepanikan pada ibunya. Biasanya semua gejala ini akan berakhir dalam 1 atau 2
minggu, kecuali hipereksitibilitas dapat berakhir 2-4 bulan.
Pada ibu yang mendapat asam valproat dan phenytoin selama hamil, bayinya dapat
mengalami serangan kejang intrauterin dan perinatal, juga retardasi mental dan gangguan
perkembangan bahasa. Malformasi kongenital ditemukan 1,25%-11,5% (normal 2%-3%) pada
yang mendapat obat anti epilepsi politerapi, penggunaan dosis tinggi obat anti epilepsi dan kadar
asam folat yang rendah.
Beberapa studi atau penelitian mendapatkan hampir sebagian besar malformasi
kongenital terjadi akibat pengaruh obat anti epilepsi yang diberikan pada wanita hamil trimester
16

pertama (18,9%), tetapi ada yang berpendapat karena memang sudah ada faktor genetiknya.
Tidak ada malformasi yang khas diakibatkan oleh pemakaian obat anti epilepsi satu jenis
tertentu.
Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu malformasi mayor 2%-3%
(yang paling sering adalah celah orofacial, anomali jantung dan defek pada neural tube) dan
malformasi minor 15% (yang paling sering adalah hipertelorism, lipatan epikantal, shallow philt,
hipoplasia jari digital dan lipatan simian). Hanya saja dikatakan defek neural tube (terutama
spina bifida lumbosakral) yang diakibatkan asam valproat (1%-2%) lebih banyak daripada
karbamazepin (0,5%). Oleh karena itu ada yang menyarankan agar dosis yang digunakan
diturunkan pada wanita hamil penyandang epilepsi.
Proses metabolisme obat anti epilepsi merupakan faktor utama yang potensial terhadap
teratogenitas janin. Defek genetik akibat proses detoksifikasi dan inhibisi yang berinteraksi
dengan obat anti epilepsi tertentu diduga mempunyai pengaruh yang kuat pada risiko
teratogenitas.
Kelainan distal digital hipoplasia merupakan tanda spesifik untuk teratogenitas dari
phenytoin. Dibandingkan obat anti konvulsan lain, tampaknya phenytoin paling banyak
disalahkan untuk malformasi kongenital ini, namun kelainan kongenital yang lebih sering
dijumpai (4 kali) seperti bibir sumbing atau celah palatum serta kelainan jantung biasanya dapat
diperbaiki dengan tindakan operatif. Hal yang mencemaskan adalah neuroblastoma yang terjadi
pada anak yang terpapar phenytoin in utero.
Wanita hamil penyandang epilepsi yang mendapat obat anti epilepsi karbamazepin pada
35 bayi didapatkan 11% defek craniofacial, 26% finger nail hipoplasia dan 20% perkembangan
yang lambat. Berikut ini adalah beberapa sindroma obat anti epilepsi, yaitu:
-

Sindroma Trimethadione fetal berupa short stature (kerdil), mikrosefali, retardasi mental,
lipatan epikantal, hernia inguinalis dll. Trimethadione ini karena sangat teratogenik saat

ini tidak digunakan lagi.


Sindroma Hidantoin Fetal berupa dismorfi fascial, retardasi mental dan retardasi
perkembangan intrauterin. Keadaan dismorfi fascial ini dapat timbul akibat
phenobarbital, penggunaan alkohol yang menyebabkan defisiensi asam folat.
17

Sindroma Embriopati Primidone berupa dismorfi fascial, berat badan lahir rendah,

gangguan perkembangan dan defek jantung.


Sindroma Valproat berupa dismorfi fascial, finger nail hipoplasia, distress perinatal,

Apgar skor yang rendah, mikrosefali dan defisiensi perkembangan postnatal.


Sindroma Karbamazepine berupa dismorfi fascial, mikrosefali, kelainan jari kuku dan
gangguan perkembangan.

American college of obstetric and gynecology mengizinkan hanya phenobarbital sebagai obat
anti epilepsi yang boleh diberikan selama kehamilan atau sama sekali di berhentikan atau
tidak mendapat pengobatan. Keputusan yang ekstrim ini dianggap tidak mempertimbangkan
banyak aspek seperti toleransi obat terhadap penderita, efek penghancuran yang potensial
terhadap phenobarbital pada janin dan penggantian obat anti epilepsi lain ke phenobarbital.
Saat ini di Perancis para dokter kandungan lebih menyukai penggunaan phenobarbital
sedangkan di Inggris dan Amerika Serikat lebih menyukai phenytoin. Akhir-akhir ini ada
beberapa obat baru yang pada percobaan hewan tidak teratogenik misalnya felbamat dan
gabapentin. Wanita penyandang epilepsi yang menyusui bayinya dapat menyebabkan obat
anti epilepsi ditransfer melalui ASI. Kadar obat anti epilepsi dalam ASI adalah sebagai
berikut phenytoin 18%, phenobarbital 30%, primidone 70%, karbamazepine 40%, asam
valproat 4%-5%. Namun pada umumnya ASI tetap diberikan, karena penghentian ASI yang
mendadak dapat menyebabkan kejang pada neonatal.

Tabel 4. Risiko malformasi yang dapat terjadi pada penggunaan OAE

18

C. OBAT ANTIEPILEPSI DALAM KEHAMILAN


Seperti telah diketahui bahwa pemberian obat anti epilepsi mempunyai risiko, karena itu memilih
antara minum atau tidak minum obat haruslah berpedoman pada risiko timbulnya komplikasi
obat anti epilepsi pada ibu dan janin atau neonatus.
Dalam membandingkan efek samping (kematian dan anomali) ketiga obat anti epilepsi maka
yang paling kurang efek sampingnya berturut-turut adalah phenobarbital, phenytoin dan
karbamazepin.
Beberapa tindakan obastetik yang perlu dipertimbangkan akibat pengaruh obat anti
epilepsi pada kehamilan yaitu amniosintesis (trimester II dan III) dilakukan 2,5 4,5 kali dan
induksi partus dilakukan 2-4 kali. Keadaan ini disebabkan oleh partus lama, perdarahan dan
kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi, sehingga akhirnya dilakukan seksio sesaria
(dua kali lebih sering dari biasa).
a. Fenitoin
Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsy pada kehamilan dan mempunyai efek
teratogenik. Terdapat kejadian sedikit yang menyebabkan malformasi mayor pada manusia.
Sampai sekarang sebagian besar pasien pasien diobati dengan beberapa obat anti epilepsi,
sehingga sulit untuk mengevaluasi efek obat secara individual. Angka malformasi total pada 305
anak yang dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsy adalah 6,4 %.
Penggunaan fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin fetus. Sindrom ini
pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith (1975) untuk menggambarkan pola
abnormalitas yang diamati pada neonatus, dimana ibu epilepsy yang hamil diberikan obat
fenitoin, biasanya dikombinasi dengan fenobarbital. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas
kraniofasial, kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau
sedang. Studi prospektif dari 35 bayi pada prenatal diberi obat golongan hidantoin, Hansons dan
kawan kawan (1976) menemukan 11% mempunyai gambaran sebagai sindroma ini.
b. Sodium Valproat
Obat ini relatif baru dan sedikit data yang berefek pada uterus. Penggunaan obat ini dapat
mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproat fetus. Pernah dilaporkan terhadap 7
bayi yang dilahirkan dari ibu epilepsy yang menggunakan obat ini berupa kelainan pada wajah
19

dengan ciri-ciri: lipatan epikantus inferior, jembatan hidung yang datar, filtrum yang dangkal.
Obat ini pada manusia dapat menembus plasenta secara bebas dan memberikan dosis yang lebih
tinggi pada neonatus dari ibu.
Pada studi prospektif dari 12 bayi, pada antenatal diberikan sodium valproat menunjukkan
semuanya normal. Pada kasus sporadik pernah dilaporkan bahwa obat ini dapat menyebabkan
kelainan neural tube defect. Pada wanita epilepsy yang hamil bila diberikan obat ini dapat
menyebabkan kelainan tersebut kira-kira 1,2%.
c. Karbamazepin
Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan
kepala janin. Hiilesmaa dan kawan kawan (1981) didalam penelitiannya terhadap 133 wanita
menunjukkan bahwa penggunaan obat ini (tunggal) atau kombinasi dengan fenobarbital dapat
menyebabkan retardasi. Juga pernah dilaporkan dari 25 anak dari ibu yang menggunakan obat
karbamazepin tunggal ditemukan 20% dengan gangguan perkembangan. Belakangan ini
dilaporkan bahwa karbamazepin mengakibatkan meningkatnya kasus spina bifida sebanyak 0,5
1,0%.
d. Fenobarbital
Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi awal mengatakan bahwa
sebagian besar manita epilepsy mendapat kombinasi antara fenotoin dan fenobarbital. Efek
teratogenik obat ini kurang bila dibandingkan dengan obat anti epilepsy lain dan pada manusia,
Shapiro dan kawan kawan (1976) menemukan fenobarbital tidak menyebabkan meningkatnya
angka malformasi.
Pemakaian obat ini dapat mengakibatkan sindrom fenobarbital fetus, yang berupa
Dismorfim wajah, gangguan pertumbuhan pre dan postnatal, perkembangan lambat. Bagian
Obstetri dan Ginekologi Akademi Amerika menganjurkan pemakaian fenobarbital sebagai obat
pilihan untuk wanita epilepsy yang hamil. Sullivan (1975), pada penelitiannya terhadap tikus
yang hamil diberikan obat ini mengakibatkan bibir and palatum sumbing berkisar antara 0.6
3.9%.

20

e. Gabapentin
Sebuah penelitian menggabungkan data retrospektif dan prospektif pada 44 anak dari 39 ibu
dengan epilepsi yang mendapat gabapentin. Dua dari 44 (4,5%) anak menderita malformasi
mayor. Satu anak yang terpajan gabapentin dan asam valproat menderita hipospadia; anak lain
yang terpajan monoterapi gabapentin sampai minggu ke-16 kehamilan, dan kemudian terpajan
fenobarbital, hanya memiliki satu ginjal.
f. Lamotrigin
International Lamotrigine Pregnancy Registry telah mengidentifi kasi 334 kehamilan pada
wanita yang mendapat lamotrigin selama kehamilan trimester pertama, 168 monoterapi dan 166
politerapi. Terdapat perbedaan angka malformasi ketika lamotrigin digunakan sebagai
monoterapi (1,8%), sebagai politerapi dengan asam valproat (10%), dan sebagai politerapi tanpa
asam valproat (4,3%). Tiga jenis malformasi yang dilaporkan berhubungan dengan monoterapi
dalam prospective registry adalah malformasi esofagus, celah palatum, dan club foot. Lamotrigin
melintasi plasenta. Pada saat lahir, ibu dan bayi mempunyai konsentrasi plasma yang sama.
Eliminasi pada bayi lebih lambat. Pada 72 jam postpartum, kadar plasma bayi adalah 75% dari
kadar ibunya. Median rasio ASI terhadap plasma 0,61.
g. Okskarbazepin
Dua belas kasus kehamilan dengan okskarbazepin yang pertama dilaporkan menghasilkan 9 lahir
hidup dan 3 abortus spontan. Pada penelitian prospektif terhadap 11 kehamilan, satu anak lahir
dengan spina bifi dan setelah terpajan okskarbazepin sebagai bagian dari politerapi.
Satu-satunya laporan prospektif mengevaluasi 42 kehamilan yang terpajan okskarbazepin di
Buenos Aires. Tidak terdapat malformasi pada 25 anak yang terpajan monoterapi. Satu anak
yang terpajan okskarbazepin dan fenobarbital mengalami ventricular septal defect.
Okskarbazepin melintasi plasenta; kadar maternal dan fetal sama.
h. Topiramat
Hanya sedikit informasi tentang jumlah kehamilan yang terpajan topiramat. Tidak ada laporan
kasus bahwa anak yang terpajan monoterapi topiramat in utero mengalami defisiensi
21

pertumbuhan, hirsutisme, fontanela ketiga, an upturned nasal tip, hipoplasia distal digital. Selama
uji klinik pada 28 kehamilan, satu mengalami malformasi dan dua anomali. Produsen obat
mengumpulkan 139 kehamilan selama postmarketing surveillance: 87 lahir hidup, 29 hilang dari
follow-up dan berhenti dari pengobatan; terdapat 5 kasus hipospadia. Topiramat melintasi
plasenta; kadar plasma tali pusat ekuivalen saat persalinan. Rasio ASI terhadap plasma sekitar
0,86. Eliminasi pada bayi terlihat cukup substansial, obat terdeteksi dalam jumlah kecil dalam
plasma bayi yang diberi ASI 2 sampai 3 minggu pospartum.
i. Zonisamid
Dilaporkan 26 kehamilan yang terpajan zonisamid. Dua di antaranya (7,7%) mengalami
malformasi kongenital: satu anak juga terpajan fenitoin, dan yang lain terpajan fenitoin dan asam
valproat. Zonisamid dengan bebas melintasi plasenta, dengan transfer rate 92%. Data hanya dari
2 anak menunjukkan milk-to-plasma ratio sebesar 0,8 dan waktu paruh 61 - 102 jam.

Tabel 4. Jenis anomali yang dapat terjadi sesuai OAE


22

Tabel 5. Konsentrasi OAE berdasarkan total plasma dan ikatan protein


Pemilihan obat antiepilepsi untuk wanita hamil dengan epilepsi membutuhkan penilaian
keseimbangan antara risiko teratogenitas dengan pengontrolan kejang. Selama kehamilan, risiko
utama pada ibu dan anak adalah oleh tidak terkontrolnya kejang di satu sisi, dan peningkatan
risiko malformasi kongenital yang berhubungan dengan obat antiepilepsi di sisi lain.
Kebanyakan kehamilan pada wanita dengan epilepsi memiliki luaran yang baik, dan tidak
seharusnya tidak didukung untuk hamil.
Pedoman terbaru American Academy of Neurology dan American Epilepsy Society
menyebutkan bahwa wanita dengan epilepsi relatif aman untuk hamil, tetapi harus waspada dan
hati-hati, termasuk menghindari obat epilepsi tertentu yang dapat menyebabkan cacat kongenital.
Untuk kebanyakan wanita hamil dengan epilepsi, penghentian OAE tidak beralasan atau bukan
pilihan aman karena kejang/kejadian yang terkait dengan serangan dapat menyebabkan ibu dan
janin terpajan perlukaan fisik.
Asam valproat dan karbamazepin berhubungan dengan spina bifida (cacat pada tabung
saraf) dan hipospadia. Dari data ini resiko cacat neural tube (cacat tabung saraf) pada
penggunaan asam valproik dan carbamazepine sekitar 0,5% sampai 1%. Hal ini terkait pada
paparan saat kehamilan hari ke 0 sampai hari ke 28. Kehamilan pada penderita epilepsi yang
menggunakan obat antiepilepsi menyebabkan kelainan pada pertumbuhan, psikomotor, dan
keterbelakangan mental janin. Selain itu, wanita dengan epilepsi juga lebih cenderung memiliki
keguguran, dan 10% sampai 20% bayi lahir dengan berat lahir rendah.
23

Jika memungkinkan, obat antiepilepsi pada wanita usia subur diganti dengan yang kurang
teratogenik. Asam valproat, meskipun efektif, merupakan obat antiepilepsi yang tercatat paling
berhubungan dengan risiko malformasi pada pajanan in utero. Mengganti asam valproat dengan
obat antiepilepsi lain seharusnya dilakukan sebelum kehamilan untuk memastikan bahwa terapi
yang baru dapat mencegah serangan secara adekuat. Mengganti obat antiepilepsi selama
kehamilan menimbulkan risiko alergi, reaksi efek samping serius lain, dan pajanan terhadap
politerapi. Mengganti asam valproat dalam beberapa minggu umur kehamilan tidak akan
menghindari risiko malformasi karena malformasi berkembang sangat awal pada kehamilan.
Untuk kebanyakan OAE, khususnya OAE generasi yang lebih baru, masih terlalu sedikit pasien
yang diteliti, dan teratogenitas obatobat tersebut belum diketahui.
Terdapat bukti cukup kuat bahwa valproat berhubungan dengan peningkatan risiko malformasi
fetal dan mengurangi kemampuan berpikir anak-anak, baik digunakan sendiri maupun bersama
obat lain. Karena itu, jika masih dapat diganti dengan karbamazepin (Level A). Pajanan
karbamazepin mungkin kurang menyebabkan gangguan kognitif maupun malformasi pada
keturunan wanita dengan epilepsi. Alternatif untuk pasien dengan epilepsi umum lebih terbatas
karena valproat lebih efektif dibanding lamotrigin atau topiramat. Penelitian tentang lamotrigin
seharusnya

dipertimbangkan,

karena

angka

malformasi

yang

berhubungan

dengan

menggunaannya mirip dengan karbamazepin. Namun, lamotrigin sulit digunakan pada


kehamilan karena perubahan farmakokinetik dan risiko kambuh.

Gambar 2. Efek samping pemggunaan OAE pada obat lama


24

Gambar 3. Efek samping penggunaan OAE pada obat baru


Keamanan topiramat, levetirasetam, dan obat antiepilepsi generasi baru lain belum cukup
dinilai sehingga belum digunakan selama kehamilan. Valproat dosis rendah masih merupakan
pilihan jika kejang tidak dapat dikontrol dengan obat lain. Dosis di bawah 800 mg per hari
mungkin tidak berhubungan dengan risiko fetal yang lebih besar dibandingkan dengan risiko
yang berhubungan dengan penggunaan obat antiepilepsi lain. Jika terapi asam valproat
merupakan yang paling optimal, sejumlah cara dapat dilakukan untuk meinimalkan risiko pada
janin, di antaranya menggunakan dosis efektif sekecil mungkin dalam monoterapi (idealnya
<1000 mg/hari) selama trimester pertama, suplementasi asam folat, dan pemeriksaan antenatal
yang ketat.

25

Tabel 6. Hasil meta-analisis dari tipe OAE terhadap risiko malformasi pada obat lama

Tabel 7. Rata-rata tingkat risiko malformasi

26

Tabel 8. Risiko malformasi pada OAE baru

Tabel 9. Efektivitas OAE berdasarkan jenis kejang


Penggunaan OAE harus didasarkan atas prinsip pengobatan pada ibu hamil untuk
meminimalisir efek samping namun tetap menjaga agar ibu bebas kejang:
1. OAE dipilih untuk sindrom atau tipe bangkitan (jika mungkin, monoterapi)
2. Lakukan pemantauan kadar obat total dan bebas (jika tersedia) setiap bulan
3. Gunakan dosis paling rendah untuk mengendalikan bangkitan dengan optimal
4. Hindari kadar puncak yang tinggi dengan membagi dosis harian total ke dosis multipel.
27

5. Asam valproat paling sering berhubungan dengan malformasi kongenital. Jika asam valproat
merupakan terapi yang paling optimal dalam mengontrol kejang, sejumlah cara harus
dilakukan untuk meminimalkan risiko pada janin.

Gambar 4. Algoritma dari penanganan epilepsi pada ibu hamil selama perawatan ante natal
Pedoman telah dikembangkan untuk konseling dan mengelola wanita hamil dengan
epilepsi. Banyak dari efek-efek teratogenik dapat dicegah dengan memadai asupan folat, oleh
karena itu vitamin prenatal dengan asam folat (~ 0,4-5 mg / hari) harus diberikan kepada setiap
wanita melahirkan. Asam folat dosis tinggi harus digunakan pada wanita hamil yang memiliki
riwayat kehamilan sebelumnya dengan cacat tabung saraf pada janin. Tingginya dosis terapi obat
epilepsi dan konsentrasi serum, polyterapi, dan riwayat cacat pada keluarga dapat meningkatkan
risiko teratogenik. Beberapa obat antiepilesi baru memiliki efek teratogenik yang rendah, saat ini
uji teratogenik pada fase klinis masih memiliki data yang terbatas. Namun, beberapa pendaftar di
seluruh dunia saat ini mengumpulkan data prospektif pada hasil kehamilan penggunaan obat baru
maupun obat lama terapi epilepsi saat ini, hasil menunjukkan bahwa asam valproat monoterapi
28

maupun polytherapy menyebabkan secara signifikan malformasi janin lebih tinggi dibandingkan
dengan obat anti epilepsi lain, terutama pada dosis lebih besar dari 1.400 mg/day.Beberapa obat
antiepilepsi juga dapat menyebabkan gangguan neonatal hemoragik yang dapat dicegah oleh
administrasi vitamin K 10 mg secara oral, diberikan kepada ibu setiap hari selama bulan terakhir
kehamilan. Satu pertimbangan pada wanita epilepsi yang ingin hamil adalah mencoba untuk
bebas dari obat-obat antiseizure; cara lain adalah monoterapi dengan memperhatikan kadar obat
dengan seksama. Politerapi dengan kadar toksik harus dihindari. pemberian suplemen asam folat
(0,4mg/hari) dianjurkan oleh United States Public Health Service bagi wanita epileptik.
Obat- obat anti kejang yang menginduksi enzim sitokrom P450 telah dikaitkan dengan
defisiensi vitamin K pada bayi yang baru lahir, hal ini dapat menyebabkan koagulopati dan
hemorraghia intraserebral pada neonatus. Penanganan dengan vitamin K, 10 mg/hari selama
bulan terakhir kehamilan dianjurkan untuk profilaksis.

29

DAFTAR PUSTAKA

Angela LN, Giovanni B, et al (2015) : Prospective, casecontrol study on the effect of pregnancy
on seizure frequency in women with epilepsy. Neurol Sci (2015) 36:7983
Dina Battino, Torbjeorn Tomson, et al (2013) :

Seizure control and treatment changes in

pregnancy: Observations from the EURAP epilepsy pregnancy registry . Epilepsia,


54(9):16211627.
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang :
55-63.
Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kimford J, Meaford MD, et al (2009) : Cognitive Function at 3 Years of Age after Fetal Exposure
to Antiepileptic Drugs. The New England Journal of Medicine 360:16
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana Epilepsi,
Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
Lili Indrawati (2012) : Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Kehamilan, CDK-193/ vol. 39 no. 5.
Luz V, John A, et al (2015) : Epilepsy in pregnancy and reproductive outcomes: a systematic
review and meta-analysis. Lancet 2015; 386: 184552
Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam DasarDasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.
Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16
Page BP (2005) : Using Current Evidence in Selecting Antiepileptic Drugs for Use in Pregnancy.
Epilepy Currents Vol.5 No.2 2005, pp. 44-51
Samekto W, Abdul G (2006) : Obat Antiepilepsi. Pustaka Cindikia Press, Yogyakarta.
Sanjay K, Biswa BM, et al (2012) : Antiepileptics And Pregnancy: A Review. Int J Cur Res Rev,
Nov 2012 / Vol 04 (21)
Sanjeev V. Thomas (2011) : Managing epilepsy in pregnancy. Neurology Indiaan Feb.2011 Vol
59
30

Shuk-Li M, Irene P, Mary T, Irwin N (2012) : Antiepileptic Drugs during Pregnancy in Primary
Care: A UK Population Based Study. PLOS ONE Dec.2012 Volume 7, Issue 12, e52339
Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10: 30-35.

31

Anda mungkin juga menyukai