NIM
: 11.2015.226
Tanda Tangan:
I. Identitas Pasien
Nama
: An. MFA
No Rekam Medis
: 6 tahun 5 bulan
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
Suku Bangsa
: Medan
Agama
: Islam
Pendidikan
Tanggal masuk RS
Ibu
Umur
Umur
Alamat
Alamat
: 31 tahun
: KP.Poncol,
Amandala, Sukaraja
: 28 tahun
: KP.Poncol,
Amandala, Sukaraja
Pendidikan
: SMA
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Karyawan
Pekerjaan
Kandung
Kandung
II. Anamnesis
Alloanamnesis dengan Ibu pasien pada 13 September 2016, pukul 19.20 WIB.
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama
Demam sejak 7 hari SMRS.
Keluhan tambahan
Batuk, pilek, mual, muntah nyeri perut dan diare.
Riwayat Perjalanan Penyakit
OS mengalami demam yang turun-naik sejak 7 hari SMRS. Terutama pada sore
menjelang malam hari demam mengalami peningkatan. Suhu OS tidak sempat diukur, OS
tidak kejang, tidak ada mimisan atau gusi berdarah. Demam disertai dengan menggigil dan
keringat dingin. OS juga mengalami mual dan nyeri di bagian ulu hati, BAB 2 kali,
konsistensi padat, lunak, warna kecoklatan. BAK lancar 4-5 kali sehari, warna kuning muda,
tidak ada nyeri saat berkemih.
5 hari SMRS, OS masih demam sama seperti hari-hari sebelumnya. OS juga mual,
muntah-muntah, nyeri ulu hati, batuk berdahak. OS muntah dengan frekuensi 3 kali sehari,
muntahan berisi sisa makanan dengan volume 1/4 gelas aqua. Batuk ada dahak, pilek ingus
cair berwarna bening.
2 hari SMRS, OS mencret dengan frekuensi 3-4 kali sehari, konsistensinya cair,
berampas sedikit, tidak ada darah, tidak ada lendir, kira-kira sebanyak 1/4 gelas aqua. OS
masih muntah, OS tampak lemas, OS tidak nafsu makan. Demam masih ada dan naik turun.
1 hari SMRS OS berobat ke IGD karena demam tinggi lagi pada malam hari dan OS
sampai menggigil dan keringat dingin, tapi tidak kejang. OS muntah 3 kali isi cairan, volume
muntahan 1/2 gelas aqua dan terdapat nyeri ulu hati, keluhan mencretnya masih ada, cair
lebih banyak ampas sedikit, frekuensi 3-4 kali, tidak ada lendir, tidak ada darah, volumenya
gelas aqua. OS tidak mau makan
Menurut ibu OS, tidak pernah terlihat adanya tanda-tanda perdarahan seperti mimisan,
gusi berdarah atapun muncul ruam merah pada tubuh OS. Ibunya mengaku pernah sakit
seperti ini juga 2 bulan yang lalu. Tidak ada riwayat berpergian keluar kota, tidak ada riwayat
alergi obat ataupun makanan. Ibu OS mengatakan bahwa anaknya sering jajan makanan di
pinggir jalan. Selama dirumah OS diberikan obat penurun panas tetapi demam masih ada.
(-)
Meningoencephalitis (-)
Kejang Demam
(-)
Tuberkulosis (-)
Pneumonia
(-)
ISK
(-)
Asma
(-)
Alergic Rhinitis
(-)
Amoebiasis
(-)
Polio
(-)
Difteri
(-)
Sindrom Nefrotik
(-)
Diare akut
(-)
Diare kronis
(-)
Disentri
(-)
Kolera
(-)
Tifus abdominalis
(-)
DHF
(-)
Cacar air
(-)
Campak
(-)
Batuk rejan
(-)
Tetanus
(-)
Glomerulonephritis
(-)
(-)
Batuk pilek
(+)
Operasi (-)
Lain-lain:
Kecelakaan(-)
Ya
Tidak
Hubungan
:
:
: Tidak ada.
Tempat Kelahiran
: Rumah Bersalin
Masa Gestasi
: 38 minggu
Keadaan Bayi
: 3100 gram
: Tidak ingat
Kelainan Bawaan
NILAI APGAR
langsung menangis saat lahir, suara nyaring, kulit kemerahan, dan bergerak aktif.
Riwayat Perkembangan
Sektor Personal Sosial :
Makan sendiri
: Usia 7 bulan
: Usia 2 tahun
: Usia 5 bulan
Duduk
: Usia 7 bulan
Berdiri sendiri
: Usia 12 bulan
Susu
Makanan padat
Makanan sekarang
Variasi
Jumlah
Frekuensi
Nafsu makan
: ASI eksklusif
: Mulai usia 6 bulan, diberi bubur saring
: 3 kali makanan utama, dan snack di sela-sela waktu makan.
: Cukup beragam (nasi, 3-4 lauk (ayam, ikan, telur, sayuran))
: 1 piring kecil
: 3-5 kali sehari
: Baik
Riwayat Imunisasi
VAKSIN
Hepatitis B
DPT/DT
Polio
DASAR
0 bulan 1 bulan
2 bulan 4 bulan
0 bulan 2 bulan
ULANGAN
(Umur)
6 bulan
6 bulan
4 bulan 6
(Umur)
2 tahun
2 tahun
bulan
Campak
BCG
9 bulan
2 bulan
sebelum menyiapkan makanan. Tidak ada genangan air ataupun tumpukan sampah di
lingkungan sekitar, dan juga tidak ada riwayat banjir.
Data Antropometri
Berat Badan
: 19 kg
Tinggi Badan
: 115 cm
IMT
: 14,26 kg/m2
Usia
: 4 tahun 7 bulan
Status Gizi
Kesadaran
: Compos mentis
Tinggi Badan
: 115 cm
Berat Badan
: 19 kg
IMT
: 14,26 kg/m2
Tekanan Darah
: 90/60 mmHg
Nadi
Suhu
: 38,9 oC
Pernafasaan
: 22 x/menit, reguler
Keadaan gizi
: Baik
Sianosis
: Tidak ada
Udema umum
: Tidak ada
Kulit
Warna
: Kuning langsat
Jaringan Parut
: Tidak ada
Pigmentasi
: Tidak ada
Lembab/Kering
: Lembab
Suhu Raba
: Hangat
Pembuluh darah
Keringat
Turgor
: Kembali cepat
Ikterus
: Tidak ada
Lapisan Lemak
: Merata
Oedem
: Tidak ada
Leher
Supraklavikula
Ketiak
Lipat paha
Kepala
Ekspresi wajah
: Tampak lemas
Simetri muka
Rambut
: Tidak ada
Enopthalamus
: Tidak ada
Kelopak
Lensa
: Jernih
Konjungtiva
: Tidak anemis
Visus
: Normal
Sklera
: Tidak ikterik
Gerakan mata
Lapangan penglihatan
: Normal
: N+
Telinga
Tuli
: Tidak ada
Selaput pendengaran
Liang
Penyumbatan
: Tidak ada
Perdarahan
: Tidak ada
Cairan
: Tidak ada
Hidung
Sekret ada, konka tidak membesar.
Mulut
Bibir
Tonsil
: T1-T1
Langit-langit
Bau pernapasan
: Fetor odor
Gigi geligi
Trismus
: Tidak ada
Faring
: Hiperemis
Lidah
Sariawan
: Tidak ada
Leher
Kelenjar Tiroid
Kelenjar Limfe
Dada
Bentuk
: Simetris kanan dan kiri, sela iga tidak mencekung atau mencembung
Paru Paru
Inspeksi
Palapasi
Perkusi
Kiri
Anterior
Simetris saat statis dan dinamis
Posterior
Simetris saat statis dan dinamis
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Auskultasi
Kanan
Kiri
Kanan
Sonor
Vesikular, Rhonki (-), Wheezing (-)
Vesikular, Rhonki (-), Wheezing (-)
Sonor
Vesikular, Rhonki (-), Wheezing (-)
Vesikular, Rhonki (-), Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di sela iga 5 garis mid-clavicularis kiri
Perkusi :
Batas atas
Batas kanan
Batas kiri
Auskultasi:
Katup Mitral
: BJ I > BJ II, murni reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Katup Trikuspid
: BJ I > BJ II, murni reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Katup Aorta
Katup Pulmonal
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis
: Teraba pulsasi
Arteri Karotis
: Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis
: Teraba pulsasi
Arteri Radialis
: Teraba pulsasi
Arteri Femoralis
: Teraba pulsasi
Arteri Poplitea
: Teraba pulsasi
: Teraba pulsasi
: Teraba pulsasi
Perut
Inspeksi: Bentuk perut datar, tidak terlihat lesi kulit.
Palpasi
Dinding perut : Supel, ada nyeri tekan di regio epigastrium, benjolan atau massa tidak
ada, defense muscular tidak ada.
Hati
Perkusi
Auskultasi
Kanan
Kiri
Otot
Tonus
Normotonus
Normotonus
Massa
Eutrofi
Eutrofi
Sendi
Gerakan
Aktif
Aktif
Kekuatan
Lain-lain
CRT < 2s
CRT < 2s
Kanan
Kiri
Tidak ada
Tidak ada
Varises
Tidak ada
Tidak ada
Tonus
Normotonus
Normotonus
Massa
Eutrofi
Eutrofi
Sendi
Gerakan
Aktif
Aktif
Kekuatan
Oedem
Tidak ada
Tidak ada
Lain-lain
Akral hangat
Akral hangat
Otot
Refleks
Kanan
Kiri
Refleks Tendon
Positif
Positif
Bisep
Positif
Positif
Trisep
Positif
Positif
Patela
Positif
Positif
Achiles
Positif
Positif
Refleks patologis
Negatif
Negatif
Pemeriksaan Neurologis
Tingkat Kesadaran
: GCS 15
Delirium
: Tidak ada
: Kaku kuduk (-), Kernig Sign (-), Brudzinsky Sign (-), Laseque
Sign (-)
Refleks Patologis
: Babinsky -/-
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal
: 13 September 2016
Darah Rutin
Hemoglobin
Jumlah Leukosit
Hematokrit
Jumlah Trombosit
Hasil
11,3
4230
32.5
213000
Satuan
g/dL
/mm3
%
ribu/uL
Nilai Rujukan
10.7 14.7
5000 145000
32.0 47.0
150000 450000
Imunoserologi
WIDAL
S. typhi O
S. typhi H
S. paratyphi A-O
S. paratyphi B-O
S. paratyphi C-O
S. paratyphi A-H
S. paratyphi B-H
S. paratyphi C-H
Hasil
(+) 1/160
(+) 1/160
(-) Negatif
(+) 1/80
(-) Negatif
(+) 1/80
(+) 1/80
(-) Negatif
Rujukan
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
Resume
Seorang anak berusia 6 tahun dengan keluhan demam sejak 7 hari SMRS. Sejak 7 hari
SMRS, pasien demam naik-turun. Demam lebih tinggi terutama pada sore sampai malam hari
dan disertai dengan menggigil dan keringat dingin. OS juga mengeluh batuk, pilek, mual,
muntah 3 kali isi cairan, volume muntahan 1 gelas aqua dan nyeri di bagian ulu hati. OS
sempat mengalami diare selama 2 hari, dengan frekuensi 3-4 kali sehari, konsistensinya cair,
berampas, tidak ada darah, tidak ada lendir, kira-kira sebanyak 1 gelas aqua. Nafsu makan
mulai berkurang dan OS mulai tampak lesuh, selama sakit BAK OS masih sering yaitu 4
kali sehari, warna kuning muda, tidak ada nyeri saat berkemih. Dari pemeriksaan fisik
ditemukan adanya coated tongue, dan nyeri tekan epigastrium. Dari hasil pemeriksaan
penunjang didapatkan hasil pemeriksaan lab hematologi ditemukan leukopeni dan hasil tes
imunoserologi Widal (+).
Diagnosis Kerja
Demam tifoid
Dasar Diagnosis :
Berdasarkan anamnesis OS mengalami demam yang naik turun sejak 7 hari SMRS,
demam terutama tinggi pada sore-malam hari disertai dengan menggigil, mual, dan muntah.
Selain itu, OS juga mengalami diare selama 4 hari dan merasakan nyeri di perut terutama di
ulu hati. Ibu OS juga diketahui memiliki personal higiene yang rendah yaitu tidak mencuci
tangan sebelum menyiapkan makanan untuk OS, dan sering membeli jajanan gerobak tepi
jalan untuk OS.Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya coated tongue, dan nyeri tekan
epigastrium. Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan lab hematologi
ditemukan leukopeni, dan serologi Widal S. typhi O (+) 1/160, S.typhi H 1/160 (+), S.
Paratyphi B O 1/80 (+), S. Paratyphi A H 1/80 (+), S. Paratyphi B H 1/80 (+) yang
mendukung diagnosis demam tifoid.
Diagnosa Banding
1. Infeksi saluran kemih
2. Disentri basiler
Anjuran Pemeriksaan Penunjang
-
Darah Rutin
Kultur feses
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
-
Tirah baring
Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
Diet makanan lunak
Medika Mentosa
-
Inj. Ranitidine 2 x 20 mg IV
Inj. Ondansentrone 3 x 2 mg
Paracetamol 3 x 1 tab 10 mg
Probiotik 3 x 1 sch
Ambroxol 1 x 1 tab 30 mg
Prognosis
Ad vitam
: bonam
Ad functionam
: bonam
Ad sanationam
: bonam
Edukasi
-
Tidak jajan di pinggir jalan, usahakan makan makanan dari rumah yang dicuci
dengan bersih dan dimasak sampai matang.
Follow up
Tanggal 14 September 2016
S
: Masih demam, sulit tidur, batuk masih ada, pilek masih ada, tidak mual, tidak
muntah, nyeri ulu hati masih ada, tidak mau makan, BAB masih cair dan BAK normal.
: HR 108/menit
Mata
Bibir
Hidung
: sekret (+)
Mulut
TSS
CM
hiperemis
-
Thoraks pulmo
Cor
Abdomen
:Supel,
bising
usus
normoperistaltik,
ada
nyeri
tekan
Ekstremitas
: Demam Tifoid
: - IVFD 20 tpm
: Demam masih ada, masih sulit tidur, batuk-pilek berkurang, tidak mual, tidak
muntah, nyeri ulu hati sudah tidak ada, tidak mau makan, BAB masih mencret cair sama
dengan ampas, frekuensi 3 kali, dan BAK normal.
: HR 109/menit
Mata
Bibir
: kering, pecah-pecah
Hidung
: sekret -
Mulut
Thoraks pulmo
Cor
Abdomen
tidak
ada, organomegali tidak ada.
-
Ekstremitas
: Demam Tifoid
: - IVFD 20 tpm
TSS
CM
: Bebas demam H 1, batuk-pilek tidak ada, mau makan sedikit saja, BAB masih
sedikit mencret, cair sama dengan ampas, frekuensi 3 kali, dan BAK normal.
: HR 108/menit
Mata
Bibir
: kering
Mulut
Thoraks pulmo
Cor
Abdomen
TSS
CM
Ekstremitas
: Demam Tifoid
: th/ lanjut
: Bebas demam H2, sudah tidak ada keluhan, sudah mau makan. BAB dan BAK
normal.
: HR 102/menit
Mata
Bibir
: tidak kering
Mulut
tenang
-
Thoraks pulmo
Cor
Abdomen
Ekstremitas
: Demam Tifoid
: pasien dipulangkan
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Insiden demam tifoid masih sangat tinggi di dunia. Penyakit tifoid yang seringkali tidak
diterapi dengan baik akan menyebabkan kematian pada penderita. 1 Penyakit ini disebabkan oleh
kuman salmonella enterica, subspesies enterica seroval typhi, atau biasa disebut Salmonella typhi.
Bakteri ini hanya ditemukan pada manusia. Umumnya penyakit ini sering terjadi pada anak, anak
dengan usia kurang dari 5 tahun sangat beresiko terjadinya komplikasi dan kematian jika terlambat
ditangani dan diterapi dengan baik. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus,
dan Peyers patch.2
Sejarah
Pada tahun 1829 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti
seperti typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi
ini dipakai pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru
pada tahun 1837 William Word Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari
typhus. Pada tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang
berasal dari kelenjar limfe mesentarial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil
membiakkan Salmonella typhi, dan memastikan bahwa penularannya melalui air bukan
udara.2
Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metode untuk diagnosis penyakit
demam tifoid. Pada tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfeifer dari Jerman mencoba
vaksinasi terhadap demam tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang
berisi kuman hidup yang dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida.
Pada tahun 1948 Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol adalah
efektif untuk pengobatan penyakit demam tifoid.2
Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara
sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat
luas.2 Sebagian besar kasus terjadi pada anak berusia >5 tahun tetapi gejala dan tanda
klinisnya masih sangat luas sehingga sukar didiagnosis. Sekitar 95% kasus demam tifoid di
Indonesia disebabkan oleh S. typhi, sementara sisanya disebabkan oleh S. parathypi.
Keduanya merupakan bakteri Gram-negatif. Masa inkubasi sekitar 10-14 hari.3
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar
17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25
kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara
merata di seluruh provinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun
dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus
per tahun.4 Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan
900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis)
dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga
dilaporkan dari Amerika Selatan.2
Cara penularan
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir).
Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui secret saluran
nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang
berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air,
es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.typhi hanya dapat
hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan
pasteurisasi (temp 63oC).2
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).2
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal
dari laboratorium penelitian.2
Masa inkubasi kuman dimulai dari kuman menginfeksi sampai menimbulkan gejala sakit
sekitar 1 atau 2 minggu, bisa juga mulai dari 3 hari sampai 60 hari.
Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai
flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen
somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan
envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multiple antibiotik.2
Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,
yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch, (2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi di makrofag Peyers patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ
ekstra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah,
dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.2
Bakteri awalnya masuk bersama makanan hingga mencapai epitel usus halus (ileum)
dan menyebabkan inflamasi lokal, fagositosis, serta pelepasan endotoksin di lamina propria.
Bakteri kemudian menembus dinding usus hingga mencapai jaringan limfoid ileum yang
disebut Peyers patch (plak Peyeri). Dari tempat tersebut, bakteri dapat masuk ke aliran limfe
mesenterika hingga ke aliran darah (bakteremia I) bertahan hidup dan mencapai jaringan
retikuloendotelial (hepar, limpa, sumsum tulang) untuk bermultiplikasi memproduksi
enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus yang menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke lumen interstinal. Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke
sirkulasi sistemik (bakteremia II) dan menginvasi organ lain, baik intra maupun
ekstraintestinal.3
Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui
mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak bakteri yang mati.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada selsel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di
ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyers patch merupakan
tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti
aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke
jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel
fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.2
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan
oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke
luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan
cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh
Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyers patch dari
ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau
penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi organism di empedu dapat menginvasi ulang
dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.2
Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati,
limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologik.2
Respons Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun seluler baik di tingkat local
(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam
menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan
pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T
ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan
reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella ser. typhii pada uji hambatan migrasi leukosit.
Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam
tinja, tanpa memasuki epitel pejamu.2
Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 1014 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini
disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit
dirumahnya.2
-
Fase invasi: demam ringan, naik secara bertahap, terkadang suhu malam lebih
tinggi dibandingkan pagi hari. Gejala lainnya adalah nyeri kepala, rasa tidak
nyaman pada saluran cerna, mual, muntah, sakit perut, batuk, lemas, konstipasi;3
Di akhir minggu pertama, demam telah mencapai suhu tertinggi dan akan konstan
tinggi selama minggu kedua. Tanda lainnya adalah bradikardia relatif, pulsasi
dikrotik, hepatomegali, splenomegali, lidah tifoid (di bagian tengah kotor, di tepi
hiperemis), serta diare dan konstipasi;3
Stadium evolusi: demam mulai turun perlahan, tetapi dalam waktu yang cukup
lama. Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. Pada sebagian kasus, bakteri masih
ada dalam jumlah minimal (menjadi karier kronis).3
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan
sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah
disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas
tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa
perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan
gambaran klinisnya saja.5
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus
daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita
yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.
Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita.
Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi
lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor,
psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap
lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.2,5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era
pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam
tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan
demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik
tertinggi pda akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu
ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien
demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi pada saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid
dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut dan delirium atau
obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.2
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang
berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan
dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai
akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid
sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul
episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi
dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan
Barat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.2
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang
kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada
hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bradikardia relatif jarang dijumpai pada anak.
Pada penderita tifoid peningkatan denyut nadi tidak sesuai dengan peningkatan suhu, dimana
seharusnya peningkatan 1C diikuti oleh peningkatan denyut nadi sebanyak 8 kali/menit.
Bradikardi relatif adalah keadaan dimana peningkatan suhu 1C tidak diikuti oleh
peningkatan nadi 8 kali/menit.2
Penyulit (Komplikasi)
-
Peritonitis dan perdarahan saluran cerna: suhu menurun, nyeri abdomen, muntah,
nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun atau menghilang, ditemukan defans
muskular, dan pekak hati menghilang;
Perforasi intestinal;
Hepatitis tifosa.3
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan perdarahan usus
pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit,
walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan
penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus
ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga
nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen,
defence muscular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis lain. Beberapa
kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.2
Dilaporkan
pula
kasus
dengan
komplikasi
neuropsikiatri.
Sebagian
besar
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T
pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa
asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar
transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang
terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu
empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).2
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan
penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis
yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai
prognosis yang buruk. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid.
Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat
infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia,
koagulasi intravascular diseminata, hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi di
beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa,
otot, kelenjar ludah dan persendian.2
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang
lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah
penghentian antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium
konvalesens, saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam
pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid
sebelumnya dan lebih singkat.2
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor
dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.6
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan
penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti.
Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak
ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit
lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya
pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.7
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang
cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang
juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai
secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya
komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit
melalui identifikasi karier.7
-
Serologi: serologi Widal terjadi kenaikan titer S.typhi titer O 1:200 atau kenaikan
4 kali titer fase akut ke fase konvalesens); kadar IgM dan IgG (Typhi-dot) /
antibody IgM 09 Salmonella typhi;3,6
Pemeriksaan biakan Salmonela: biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari
perjalanan penyakit; biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.6
spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara
penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif
menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.8
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan
hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%)
dan leukosit normal (65.9%).
Anemia normokromi normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi
pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/uL3. Apabila
terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/uL3.
Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.2
Identifikasi Kuman Melalui Isolasi/Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.4
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.4
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya
sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu
(gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena
hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.4,8
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90%
dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan
meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif
sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek seharihari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas
karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan
kultur sumsum tulang.3,4,6
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang
rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan
yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.7
Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat
digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX ; (3) metode
enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan
(5) pemeriksaan dipstik.7
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang
luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).8
-
Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.7,8
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang
lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.7,8
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai
prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. 14 Beberapa
penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya
didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.7
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.8
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya
melakukan
interpretasi
hasil
membatasi
penggunaannya
dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat
ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada
anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya
(1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.8
Tes Tubex
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.7
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat
menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.7,8
Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai
penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode
terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Diagnosis
gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini
maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi Salmonella typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit,
kemungkinan mengisolasi Salmonella typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada
minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan
lebih kecil. Biakan specimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai
sensitivitas tertinggi, hasil psoitif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat
invasive, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan biakan specimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang
cukup baik.2
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi
terhadap antigen somatik (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam
tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji Widal
slide agglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai
ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan
tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca
imunisasi atau infeksi masa lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa
kuman Salmonella typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal
kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya
dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukt biakan darah positif.2
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi
antibody Salmonella typhi dalam serum, antigen terhadap Salmonella typhi dalam darah,
serum dan urin bahkan DNA Salmonella typhi dalam darah dan faeces. Polymerase chain
reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. typhi secara spesifik pada
darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan
lebih sensitif dibandingkan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan
menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas.
Sampai sekarang belum disepakati adanya pemerksaan yang dapt menggantikan uji serologi
Widal.2
Tatalaksana
Antibiotik6
-
Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, dibagi dalam
4 dosis selama 10-14 hari.
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring,
isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik.
Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit
serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan
seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.2
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama
10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi
atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielitis
akut, dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya
angka relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut jarang dilaporkan. Kloramfenikol
tidak diberikan apabila leukosit <2000/uL.2
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian secara intravena. Amoksilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian per oral selama 10 hari memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol
walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMPSMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan
adalah TMP 10 mg/kg/hari atau SMZ 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Di beberapa
negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Di India
resistensi ganda terhadap kloramfenikol, Ampisilin dan TMP-SMZ terjadi sebanyak 49-83%.
Strain yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga.2
Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti Seftriakson 100 mg/kg/hari dibagi
dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan. Efikasi kuinolin baik tetapi
tidak dianjurkan untuk anak. Akhir-akhir ini cefixime oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10
hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama apabila jumlah leukost <2000/uL atau
dijumpai resistensi terhadap Salmonella typhi.2,3
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma dan shock,
pemberian deksametason intravena (3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai,
dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demam tifoid dengan
penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfusi darah. Sedangkan apabila
diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen
dapat membantu menegakkan diagnosis. Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi
usus disertai penambahan antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Reseksi 10
cm di setiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfusi
trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat sehingga
menyebabkan perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan
untuk dilakukan intervensi bedah.2
Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis per oral ditambah
dengan probenecid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis per oral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu
memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila
terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi
dianjurkan setelah pemberian antibiotik (ampisilin 200 mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV)
selama 7-10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis per oral selama 30 hari.2
Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam
tifoid serangan pertama.2
Indikasi Rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.6
a
Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan
kalori diberikan melalui sonde lambung.
Antipiretik, diberikan apabila demam >39oC, kecuali pada pasien dengan riwayat
kejang demam dapat diberikan lebih awal.
Diet
-
Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan
kalori cukup.
Pemantauan
Terapi6
-
Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis.
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,
nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi.
Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.
Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.2
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak
rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien
demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan
dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan
dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.2
Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 oC untuk beberapa menit
atau dengan proses iodinasi/klorinasi.2
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara merata juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah
serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu
menekan angka kejadian demam tifoid.2
Diagnosa Banding
Disentri basiler
Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron (usus).
yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air
besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar
dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus).1
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut
dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir
dan darah. Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang
menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang disebut
sebagai sindroma disentri, yakni:1
1) sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus,
2) diare terus menerus
3) tinja mengandung darah dan lender
Etiologi
Ada empat spesies Shigella, yaitu Shigella flexneri, Shigella dysentriae, Shigella
boydii dan Shigella sonnei. Pada umumnya S. flexneri, S.Boydii dan S. dysentriae
paling banyak ditemukan di negara berkembang seperti Indonesia. Sebaliknya S.
sonnei paling sering ditemukan dan S. dysentriae paling sedikit ditemukan di negara
maju.
Shigella, penyebab diare disentri yang paling sering pada anak usia 6 bulan
sampai 10 tahun di Amerika Serikat dan negara berkembang. Shigella tahan terhadap
keasaman lambung dan membutuhkan inokulum yang kecil untuk menyebabkan diare
sehingga mudah ditularkan ke orang lain. Penularan terjadi dalam kondisi banyak
orang berkumpul dalam satu tempat seperti di penitipan anak, panti asuhan atau
tempat penampungan. Rendahnya sanitasi, pasokan air yang buruk, dan fasilitas yang
pipa tidak dapat memberi sumbanagan terhadap peningkatan risiko infeksi. Shigella
menginvasi dan berproliferasi di dalam epitel kolon. Kemudian menghasilkan suatu
toksin dengan efek sekretori dan sitotoksik dan menyebabkan ulkus sehingga tinja
mengandung lendir dan darah, secara mikroskopis ditemukan leukosit dan sel-sel
darah merah.
Patogenesis
Basil ini membentuk enterotoksin dan eksotoksin, menyebabkan infeksi lokal
pada dinding usus, terutama daerah kolon dan sebagian ileum. Setelah mengadakan
kerusakan pada mukosa usus tersebut, terbentuklah tukak dengan tanda-tanda
peradangan disekitarnya. Berbeda dengan tukak akibat amubiasis yang tidak disertai
dengan tanda-tanda peradangan yang khas. Biasanya disertai dengan pembengkakan
kelenjar getah bening sekitarnya. Tukak tersebut kadang-kadang dapat mencapai
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang
ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai eksudat
inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah. Kuman
Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat melewati
barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang
tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini
menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis
dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada
ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus
hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada
keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir
lipatan transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan
infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus bergaung.
5
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi sangat bervariasi antara beberapa jam sampai 8 hari. Mula-mula
gejalanya seperti gejala infeksi umum yaitu kelemahan umum yang diikuti oleh
demam, kemudian diare yang mengandung lendir dan darah, tenesmus. Khas adalah
nyeri abdomen berat, mendadak ingin buang air besar, dan terjadi defekasi.
Pemeriksaan fisik pada saat ini menunjukkan kembung perut dan nyeri, suara usus
hiperaktif, dan nyeri rektum pada pemeriksaan digital.7,8
Bila penyakit menjadi berat dapat disertai dengan septikemia yaitu panas tinggi
disertai kesadaran yang menurun. Kadang-kadang dalam masa akut disertai gejala
perangsangan meningeal seperti kaku kuduk. Bila penyakit menjadi kronis, maka
suhu akan menurun menjadi subfebris dengan disertai tinja yang selalu bercampur
lendir dan darah.7
Diare mungkin berair dan banyak pada mulanya, berkembang menjadi sering
sedikit-sedikit, tinja berlendir darah, namun beberapa anak tidak pernah menjelek
sampai stadium diare berdarah sedang pada yang lain tinja pertama berdarah. Dapat
terjadi dehidrasi yang berat yang terkait dengan kehilangan cairan dan elektrolit pada
tinja maupun muntah. Diare yang tidak diobati dapat berkahir 1-2 minggu , hanya
sekitar 10% oenderita diare menetap selama lebh dari 10 hari. Diare kronis jarang
kecuali pada malnutrisi.8
Tanda-tanda neurologis adalah manifestasi ektraintestinal disentri basiler yang
paling sering, yang terjadi pada sebanyak 40% anak terinfeksi rawat inap. Kejang-
kejang , nyeri kepala, lesu, bingung, kaku kuduk, atau halusinasi mungkin ada
sebelum atau sesudah diare. Penyebab tand aneurologis ini belum dimengerti. Dahulu
dianggap berasal dari neurotoksisitas shigatoksin, tetapi sekarang jelas bahwa
penjelasan tersebut salah. Kejang kadang terjadi disertai demam, memberi kesan
bahwa kejang demam sedehana tidak menjelaskan kemunculannya.8
Hipokalsemia atau hiponatremia dapat disertai kejang pada sejumlah kecil
penderita. Walaupun gejala-gejala sering memberi kesan infeksi sistem saraf sentral,
dan pleositosis cairan serebrospinal dengan kenaikan kadar protein minimal dapat
terjadi, meningitis karena shigella jarang.8
6
Diagnosis
Walaupun tanda-tanda klinis memberi kesan shigellosis, tanda ini tidak cukup
spesifikuntuk memberikan diagnosis yang meyakinkan. Data dugaan mendukung
diagnosis disentri basiler termasuk tanda leukosit tinja ( memperkuat adanya kolitis )
dan adanya leukositosis darah perifer dengan pergeseran kekiri yang dramatis ( sering
dengan neutrofil bentuk pita lebih banyak daripada segmen ). Angka leukosit total
biasanya 5.000-15.000 sel/mm3 , walaupun leukopenia dan reaksi leukomoid terjadi.8
Biakan tinja maupun sedimen pulas mengoptimiskan peluang diagnosis infeksi
shigella. Biakan merupakan gold standart untuk diagnosis tetapi tidak absolut. Biakan
tinja relawan dewasa dengan disentri sesudah penelanan shigella gagal mendeteksi
organisme pada hampir 20% subjek. Penelitian ledakan serangan yang disebarkan
makanan memberi kesan satu biakan memungkinkan diagnosis sekitar setengah
penderita shigellosis bergejala.8
Walaupun alat tambahan yang memperbaiki diagnosis sedang dikembangkan,
ketidakcukupan diagnosis biakan membuatnya wajib pada klinisi menggunakan
pertimbangan pada manajemen sindrom klinis yang sesuai dengan shigellosis. Pada
anak yang tampak toksis, biakan darah harus diambil terutama penting pada bayi yang
amat muda karena resiko bakterimia bertambah.8
Gambar 34
Gambar 4
Gambar 55
Pencegahan3
Penyakit disentri basiler ini dapat dicegah dengan cara :
1. Selalu menjaga kebersihan dengan cara mencuci tangan dengan sabun secara
teratur dan teliti.
2. Mencuci sayur dan buah yang dimakan mentah.
3. Orang yang sakit disentri basiler sebaiknya tidak menyiapkan makanan.
4. Memasak makanan sampai matang.
5. Selalu menjaga sanitasi air, makanan, maupun udara.
6. Mengatur pembuangan sampah dengan baik.
7. Mengendalikan vector dan binatang pengerat.
Biasakan Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Gambar 56
Adapun pencegahannya dapat diberikan ASI yang lama pada kelompok dimana
shigellosis sering ada. ASI menurunkan resiko shigellosis bergejala dan mengurangi
keparahannya pada bayi yang mendapat infeksi walaupun dengan ASI.8
9
Pengobatan
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat, mencegah atau
memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika. Cairan dan
elektrolit, dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi
oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan berat
badan penderita turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui infus untuk
menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan
dapat diberikan melalui minuman atau pemberian air kaldu atau oralit. Bila penderita
berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat diberikan. Diet diberikan makanan
lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan
ringan biasa bila ada kemajuan. Pengobatan spesifik, menurut pedoman WHO, bila
telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari
pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada
perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin
hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun
apabila ternyata dalam uji resistensi kuman terhadap ampisilin masih peka, maka
masih dapat digunakan dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula
dengan trimetoprim-sulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-
5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena tidak
efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon seperti
siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik untuk pengobatan
disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500 mg/hari selama 3
hari sedangkan azithromisin diberikan 1 gram dosis tunggal dan sefiksim 400 mg/hari
selama 5 hari. Pemberian siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anakanak dan wanita hamil. Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman
S.dysentriae tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik
dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotika yang dianjurkan
dalam pengobatan stadium carrier disentri basiler. Antibiotika yang diberikan
Chlorampenicol dengan dosis 50-100 mg/kgbb/hari peroral dibagi 3 dosis. Tetrasiklin
dengan dosis 30-50 mg/kgbb/jari peroral dibagi 4 dosis. Neomycin dengan dosis 50100 mb/kgbb/hari peroral dibagi 4 dosis.7
Infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih (urinary tract infection=UTI) adalah bertumbuh dan
berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna yang
ditandai dengan bakteriuria. Bakteriuria ialah terdapatnya bakteri dalam urin. Disebut
bakteriuria bermakna bila ditemukannya kuman dalam jumlah bermakna. Pengertian jumlah
bermakna tergantung pada cara pengambilan sampel urin. Bila urin diambil dengan cara mid
stream, kateterisasi urin, dan urine collector, maka disebut bermakan bila ditemukan kuman
105 cfu (colony forming unit) atau lebih dalam setiap mililiter urin segar, sedangkan bila
diambil dengan cara aspirasi supra pubik, disebutkan bermakna jika ditemukan kuman dalam
jumlah berapa pun.9
ISK dapat diklasifikasikan berdasarkan onset, struktur anatomis, serta gejala
klinisnya, yaitu antara lain.9
Pielonefritis akut adalah infeksi yang menyebabkan invasi bakteri ke parenkim ginjal.
yang tumpul. Lebih dikenal dengan istilah nefropati refluks, meskipun tidak selalu
ditemukan refluks padasaat parut ginjal terdeteksi.
3
ISK kambuh (relaps) yaitu bakteriuria yang timbul kembali setelah pengobatandengan
jenis kuman yang sama dengan kuman saat biakan urin pertama kalinya. Kekambuhan
dapat timbul antara satu sampai 6 minggu setelah pengobatan awal.
Reinfeksi yaitu bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan dengan jenis
kuman yang berbeda dari kuman saat biakan pertama.
Infeksi persisten yaitu ISK yang timbul dalam periode pengobatan maupun setelah
selesai terapi.
ISK berulang berarti terdapat dua kali atau lebih episodepielonefritis akut atau ISK
atas, atau satu episode pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu atau lebih episode
sistitis atau ISK bawah, atau tiga atau lebih episodesistitis atau ISK bawah
ISK simpleks (simple UTI, uncomplicated UTI) adalah infeksi pada saluran kemih
yang normal tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran kemih yang
menyebabkan stasis urin.
ISK kompleks (complicated UTI) adalah ISK yang disertai dengan kelainan anatomik
dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik
(refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi,
anomali saluran kemih, kista ginjal, bulibuli neurogenik, benda asing, dan sebagainya.
ISK simtomatik adalah ISK yang disertai gejala dan tanda klinik. ISK simtomatik
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu infeksi yang menyerang parenkim ginjal, disebut
pielonefritis dengan gejala utama demam, dan infeksi yang terbatas pada saluran
kemih bawah (sistitis) dengan gejala utama berupa gangguan miksi seperti disuria,
polakisuria, kencing mengedan (urgency).
ISK non spesifik adalah ISK yang gejala klinisnya tidak jelas. Ada sebagian kecil (1020%) kasus yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis, baik
berdasarkan gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang yang tersedia.
Febrile UTI atau ISK febris atau ISK demam adalah ISK dengan biakan urin dengan
jumlah kuman bermakna yang disertai demam dengan suhu > 380C. ISK demam
sering ditemukan pada bayi atau anak kecil, dan sekitar 60-65% ISK demam
merupakan pielonefirits akut.
4
ISK atipik adalah ISK dengan keadaan pasien yang serius, diuresis sedikit, terdapat
massa abdomen atau kandung kemih, peningkatan kreatinin darah, septikemia, tidak
memberikan respon terhadap antibiotik dalam 48 jam, serta disebabkan oleh kuman
non E. coli.
Etiologi
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%) pada ISK
serangan pertama. Kuman lain penyebab ISK antara lain Proteus mirabilis, Klebsiella
pneumonia, Klebsiella oksitoka,Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter
aerogenes, dan Morganella morganii, Stafilokokus, dan Enterokokus.9
Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendahseperti
Pseudomonas,
golongan
Streptokokus
grup
B,
Stafilokokus
aureus
atau
sebagai
penyebab
ISK.39Bilapenyebabnya
Proteus,
perlu
dicurigai
Proteus
biakan urin adalah prosedur yang terpenting. Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan urin
memegang peran utama untuk menegakkan diagnosis.10
American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa pada bayi
umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan ISK dan perlu
dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun dengan demam yang tidak
diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK harus dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin,
dan anak ditata laksana sebagai pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2
tahun, AAP membuat patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik dan bila ditemukan 2
atau lebih faktor risiko tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan ISK mencapai 95%
dengan spesifisitas 31% yaitu:
1. Suhu tubuh 390C atau lebih
2. Demam berlangsung dua hari atau lebih
3. Ras kulit putih
4. Umur di bawah satu tahun
5. Tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya.
Gejala Klinis
ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas reaksi peradangan, letak
infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien. Sebagian ISK pada anak merupakan ISK
asimtomatik, umumnya ditemukan pada anak umur sekolah, terutama anak perempuan dan
biasanya ditemukan pada uji tapis (screening programs). ISK asimtomatik umumnya tidak
berlanjut menjadi pielonefritis dan prognosis jangka panjang baik.,11
Pada masa neonatus, gejala klinik tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus
atau kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau
distensi abdomen. Peningkatan suhu tidak begitu tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadangkadang gejala klinik hanya berupa apati dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour).11
Pada bayi sampai satu tahun, gejala klinik dapat berupa demam, penurunan berat
badan, gagal tumbuh, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan
distensi abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan. Demam yang tinggi dapat
disertai kejang.
Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga
menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar
gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan, mulai tampak gejala klinik lokal
saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, ngompol, sedangkan keluhan
sakit perut, sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang ditemukan.11
Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran
cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat
ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang. Nefritis
bakterial fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis, yang merupakan nefritis bakterial
interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia lobar.10
Pada sistitis, demam jarang melebihi 38 0C, biasanya ditandai dengan nyeri pada perut
bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frequensi, nyeri waktu berkemih, rasa
diskomfort suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensio urin, dan enuresis.10
Penatalaksanaan
ISK yang akut diberikan terapi anti-mikroba untuk mengeliminasi infeksi, mencegah
komplikasi, dan mengurangi kemungkinan kerusakan ginjal. Anti-mikroba diberikan selama
7-14 hari.
Antibiotik oral yang diberikan menurut AAP antara lain:
Antibiotik
Amoxicillin/clavulanate
Sulfonamide
Dosis
20-40 mg/kg/hari, dibagi dalam 3 dosis
6-12 mg/kg/hari trimethoprim dan
Trimethoprim-sulfamethoxazole
30-60
dosis
Sulfisoxazol
Cephalosporin
Cefixime
Cefpodoxime
Cefprozil
Cefuroxime axetil
50-100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis
Selain itu, antibiotik parenteral yang diberikan menurut AAP antara lain:
Antibiotik
Ceftriaxone
Cefotaxime
Ceftazidime
Dosis
75 mg/kg, tiap 24 jam
150 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 6-8 jam
100-150 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 8
Gentamicin
Tobramycin
Piperacillin
jam
7,5 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 8 jam
5 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 8 jam
300 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 6-8 jam
Panduan yang baru ini diharapkan bermanfaat dalam diagnosis dan penatalaksanaan ISK
pada bayi dan anak usia 2-24 bulan dengan demam. (HLI)
Analisa Kasus
OS anak berusia 6 tahun 5 bulan dengan berat badan 19 kg, didapatkan keluhan
demam sejak 7 hari SMRS sesuai dengan alloanamnesa dari ibu kandung OS. Sifat demam
pada anak ini naik secara perlahan-lahan dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari
disertai dengan menggigil. Puncak titik tertinggi demam adalah pada akhir minggu pertama
dimana anak tersebut segera dibawa ke IGD oleh ibunya. Hal ini sesuai dengan gambaran
klinis sifat demam dari demam tifoid. Sebelum masuk rumah sakit, OS sering dijajankan
makanan gerobak di tepi jalan oleh ibu OS, yang kemungkinan sudah terkontaminasi dengan
S. typhi sehingga risiko terjadinya penularan melalui makanan/minuman yang tercemar
meningkat.
Selain sifat demam, terdapat gejala lain yaitu gejala gastrointestinal berupa muntah
dan diare selama kurang lebih 4 hari berturut-turut. Hal ini juga mendukung diagnosa demam
tifoid dimana ada gangguan gastrointestinal seperti yang dijelaskan pada patofisiologi demam
tifoid. Jadi pada kasus ini diare yang terjadi merupakan kesatuan gejala klinis yang
digambarkan dari demam tifoid itu sendiri.
OS juga mengeluh batu, pilek, mual, nyeri ulu hati dan anoreksia. Hal ini sesuai
dengan gejala sistemik yang menyertai timbulnya demam tifoid. Oleh sebab itu dari
anamnesis, dapat dilihat bahwa apa yang dialami OS sesuai dengan gambaran gejala klinis
pada demam tifoid.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan hasil pemeriksaan serologi Widal
S.typhi - O (+) 1/160, S.typhi H 1/160 (+),S. Paratyphi B O 1/80 (+), S. Paratyphi A H
1/80 (+),S. Paratyphi B H 1/80 (+) sehingga demam tifoid dapat ditegakkan.
Daftar Pustaka
1
Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. Ed 16. Philadelphia: WB Saunders; 2000.h.842-8.
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015.h.338-45.
Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.h.47-9.
Kroser
A.
J.,
2007.
Shigellosis.
Diakses
dari
http://www.emedicine.com/
med/topic2112.htm.
9
Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.
10 Jones KV, Asscher AW. Urinary tract infection and vesico-ureteral reflux.
Dalam:Edelmann CM, Bernstein J, Meadow SR, Spitzer A, Travis LB, penyunting.
PediatricKidney Disease vol. II edisi ke-2. Boston: Little Brown, 1992; h.1943-91
11 Hannson S, Jodal U: Urinary tract infection. Dalam: Barrat TM, Avner
ED,penyunting, Pediatric Nephrology, edisi ke-4. Baltimore: Lippincott Williams
&Wilkins, 1999;h.835-50
12 Kher KK, Leichter HE. Urinary tract infection. Dalam: Kher KK, Makker
SP,penyunting. Clinical Pediatric Nephrology. New York; McGraw-Hill;1992:h.277321.