Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH PANCASILA

KASUS PARLEMEN TERSANDERA DAN BELUM


MEMBUKA TOTAL PEMBARUAN

Disusun oleh :
Ilham Muharam

41116010012

Fakultas teknik
Teknik sipil
UNIVERSITAS MERCU BUANA

KATA PENGANTAR

Segala puji beserta iringan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt.
yang telah memberikan rahmat, hidayah, taufiq serta inayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw. yang telah memberikan cahaya Islam dan
senantiasa memberikan teladan dan akhlaknya yang mulia.
Makalah dengan judul Kasus Parlemen Tersandera dan Belum Membuka
Total Pembaruan, makalah ini disusun dan di ajukan untuk memenuhi tugas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca umumnya.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


DPR menyadari kinerjanya semakin merosot dan tingkat kepercayaan
masyarakat terus menurun. Fakta miris memperlihatkan tingkat kedisiplinan yang
rendah hingga anggota DPR yang tersandung kasus korupsi. Oleh karena itu, DPR
berusaha merespon kritik masyarakat dengan cara merevisi UU MD 3. Pada 24
Oktober 2013, DPR secara resmi mengusulkan Rancangan Undang-Undang
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (RUU MD3).
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 (UU MD3 Lama) didesain untuk
memposisikan parlemen (MPR, DPR, DPD dan DPRD) sebagai lembaga legislatif
yang kokoh dan berwibawa. Namun pada taraf implementasinya, dipandang
banyak mengandung kelemahan. Parlemen (khususnya DPR), selama 2009-2014
ini menjadi salah satu lembaga yang paling disorot dan diberi cap buruk. Baik
dalam kinerjanya maupun dalam tingkah lakunya (banyak yang terjerat korupsi,
ada pula yang melakukan perbuatan tercela). Tak sedikit pula yang mengujinya di
Mahkamah Konstitusi. Karena itu tak mengherankan, dari tahun 2010 (padahal
usianya baru 2 tahun), telah dimasukkan RUU Revisi tentang UU 28 Tahun 2009
dalam Prolegnas 2011 (Prolegnas Nomor 26), tahun 2012 (Prolegnas Nomor 40 ) ,
tahun 2013 (Prolegnas Nomor 48), dan tahun 2014 (Prolegnas Nomor 37) untuk
dilakukan perubahan.
Secara umum, kita bisa melihat nuansa kebatinan Anggota DPR yang
merasa prihatin terhadap kondisi DPR yang terinjak-injak menjadi bahan

pergunjingan dimedia massa dan masyarakat. Disebut sarang koruptor, tak


aspiratif, dan sebagainya. Karena sebagai pemilik kewenangan membentuk
undang-undang, mereka pun bersepakat merubah UU MD3 agar mampu keluar
dari gunjingan masyarakat tersebut.
Dalam pengantar pembahasan Revisi UU MD3 ini, Ketua Pansus, Beni K.
Harman, misalnya menyebut Ada keinginan dari Dewan untuk mereformasi
parlemen,

agar

bisa

kuat,

akuntabel,

dan

kedap

korupsi.

Inilah desain besar dari parlemen ke depan, Kemudian Wakil Ketua Pansus,
Ahmad Yani menyebut latar belakang perubahan UU MD3 di antaranya belum
tertatanya alat kelengkapan dewan di DPR. Selain itu relasi antarlembaga
parlemen terutama DPR dan DPD belum tertata dengan baik. Kesekjenan DPR
juga perlu diperkuat lewat perubahan UU MD3 ini. Argumentasi lainnya dari
perubahan ini adalah MPR dan DPD selama ini dalam menjalankan
kewenangannya masih terjebak pada seremonial kenegaraan saja. Lalu,
kedudukan DPD juga masih lemah, karena menjadi bagian dari birokrasi Pemda.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami menyusun rumusan masalah
yaitu:
1.
2.
3.
4.

Apakah yang dimaksud dengan UU MD3 ?


Apa tujuan dengan adanya UU MD3 ?
Mengapa UU MD 3 direvisi ?
Kenapa terjadi kemerosotan kinerja ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Undang-Undang MD3
UU MD3 ialah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Secara
keseluruhan, UU MD3 ini mengatur perihal fungsi, tujuan, hinga mekanismemekanisme teknis atas institusi-institusi legislatif di Indonesia. UU MD3 ini
sendiri terdiri atas 179 halaman yang mencakup 408 Pasal. Segala penjelasan dan
pejabaran perihal Susunan dan Kedudukan, Tugas dan Wewenang, Keanggotaan,
Fraksi, Pengambilan Keputusan, dan poin-poin lain tertera dengan jelas di bawah
platform UU tersebut.
Isu ini sendiri sesungguhnya telah lama muncul dipermukaan. Pada Januari
2011, melalui putusan nomor 23-26/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Pasal 184 ayat (4) UU MD3 bertentangan dengan UUD
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal yang berisikan perihal syarat
pengambilan keputusan DPR untuk usul menggunakan hak menyatakan pendapat
mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum, dianggap tidak boleh melebihi batas persyaratan yang ditentukan oleh
Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. Ataupun ketika Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR
RI pada tahun 2012, Ignatius Mulyono, menganggap bahwa kajian yang lebih
mendalam diperlukan sebelum dilakukannya revisi terhadap UU MD3 Dan pada
tahun lalu, dimana rapat Konsinyering Panja revisi UU MD3 yang dilaksanakan di
Wisma Kopo pada tanggal 18 Februari 2013 membahas seputar isu-isu pokok
dalam pembahasan revisi UU MD3. Selama proses inipun, revisi UU MD3 terus
menemui kontroversi.
Puncaknya terjadi sehari sebelum Pemilihan Umum Presiden (Pilpres)
dilaksanakan pada 9 Juli 2014 yang lalu. Enam fraksi di DPR RI mendeklarasikan
Koalisi

Permanen

untuk

masa

kerja

2014-2019.

Fraksi-fraksi

yang

mendeklarasikan koalisi permanen itu berasal dari partai pengusung Prabowo

Subianto-Hatta Rajasa di pemilu presiden, yaitu Golkar, Gerindra, Partai


Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai
Persatuan Pembangunan. Deklarasi itu dihadiri oleh para pimpinan fraksi. Antara
lain Setya Novanto (Golkar), Ahmad Muzani (Gerindra), Nurhayati Assegaf
(Partai Demokrat), Tjatur Sapto Edi (PAN), Hidayat Nurwahid (PKS) dan Hasrul
Azwar (PPP). Tjatur Sapto Edi mengatakan bahwa pembentukan Koalisi
Permanen tersebut bertujuan untuk membangun kehidupan politik nasional yang
lebih baik ke depan. Selanjutnya, Koalisi Permanen mendukung lembaga
perwakilan yang kuat, yang dimanifestasikan ke dalam sebuah undang-undang
yang akan mereformasi parlemen dan membuat wajah MPR, DPR, DPD dan
DPRD kelak menjadi lebih profesional, bertanggung jawab, dan bebas korupsi.
Hal ini kemudian menimbulkan reaksi yang berbeda-beda di level akar
rumput, salah satunya adalah penolakan yang diusung oleh Melany Tedja beserta
14.000 pendukung yang menandatangani petisinya. Dalam petisi tersebut,
dijelaskan perihal alasan mengapa perlu diadakannya judicial review RUU MD3.
Namun perlu diketahui terlebih dahulu perubahan-perubahan apa saja yang
terdapat dalam RUU MD3 tersebut.
Sesungguhnya terdapat sebanyak 128 pasal yang mengalami perubahan.
Namun saya hanya akan membahas beberapa perubahan yang menurut saya
sangat esensial. Pertama adalah perubahan standar kuorum untuk Hak
Menyatakan Pendapat dari 3/4 menjadi 2/3. Versi UU MD3 sebelum revisi, Hak
Menyatakan Pendapat tertera pada Paragraf 3, Pasal 184 ayat (4) yang berbunyi :
Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan
pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan
keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota DPR yang hadir.

Dalam versi UU MD3 yang telah direvisi, Pasal tersebut berubah ke dalam
Paragraf 3, Pasal 210 ayat (3), sehingga berbunyi :
Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan
pendapat DPR apabila mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan
diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota
DPR yang hadir.
Perubahan kedua yang menurut saya penting adalah perihal bagaimana
Partai Politik yang memperoleh suara terbanyak pada periode Pemilihan Umum
(Pemilu) tidak akan secara otomatis menjabat sebagai ketua DPR seperti apa yang
telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Pada RUU MD3 pasca revisi, kursi
ketua DPR akan dipilih melalui mekanisme pemungutan suara. Paragraf 1, Pasal
82 ayat (2) dan ayat (3) menyatakan :
(2) Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR
(3) Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik
yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima
Kemudian setelah melalui revisi, Pasal tersebut berpindah menjadi Pasal
84, dimana pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dinyatakan :
"(3) Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam
rapat paripurna DPR
(4) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1
(satu) orang bakal calon pimpinan DPR
(5) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara
musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR"

Kemudian untuk perubahan yang ketiga dan yang terakhir yang menurut
saya penting adalah perihal bagaimana DPR membentuk suatu dewan yang
bernama Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai badan yang memiliki kewajiban
untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi kepada anggota yang tidak
melaksanakan

tugasnya

atau

melanggar

undang-undang.

Hal

ini

juga

menyebabkan perubahan mekanisme penyidikan yang selama ini dianut oleh


lembaga legislatif Negara Republik Indonesia, dimana pada UU MD3 tahun 2009,
Pasal 220 menyebutkan :
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
tertulis dari Presiden
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila
anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus
Pada revisi yang dilakukan oleh DPR, Pasal 220 tersebut berubah menjadi
Pasal 245, dimana pada ayat (1) Pasal 245 pemanggilan dan permintaan

keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR tidak lagi berdasarkan pada
persetujuan Presiden melainkan persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan.
Ketiga perubahan itulah yang menurut saya sangat esensial. Saya tidak
sepenuhnya mendukung revisi UU MD3 ini, namun tidak juga menolak
perubahan-perubahan yang ada. Mengapa demikian?
Untuk perubahan pada poin pertama yang telah saya jelaskan di atas, saya
tidak sepakat. Saya menolak dikuranginya standar kuorum dalam pengambilan
keputusan di tingkat legislatif. Kemudian, yang perlu saya tekankan bahwa
argumen saya ini tidak semata-mata karena dukungan saya terhadap pasangan
Joko Widodo-Jusuf Kalla, sehingga saya menginginkan badan legislatif tetap
dikuasai oleh koalisi mereka. Bukan pula argumen saya diatas saya tunjukkan
agar segala kepentingan PDIP dan koalisinya tidak mendapatkan kontestasi dari
kubu yang berseberangan. Argumen saya ini berkaitan dengan monopoli
kekuasaan yang dapat ditimbulkan dari revisi ini. Dari 12 parpol peserta Pemilu
Legislatif 2014, hanya 10 partai di tingkat nasional yang lolos ambang batas untuk
mendapatkan kursi DPR RI periode 2014-2019. Sepuluh parpol yang lolos adalah,
NasDem dengan 8.402.812 suara, PKB 11.298.957 suara, PKS 8.480.204 suara,
PDIP 23.681.471 suara, Golkar 18.432.312 suara, Gerindra 14.760.371 suara,
Demokrat 12.728.913 suara, PAN 9.481.621 suara, PPP 8.157.488 suara, dan
Hanura 6.579.498 suara. Alhasil, dari 560 kursi yang tersedia di DPR RI, maka
109 diantaranya akan menjadi hak PDI P, 91 kursi untuk Golkar, 73 kursi untuk
Gerindra, 61 kursi untuk Demokrat, 49 kursi untuk PAN, 47 kursi untuk PKB, 40
kursi untuk PKS, 39 kursi untuk PPP, 35 kursi untuk NasDem, dan 16 kursi untuk
Hanura. Apabila dikategorikan berdasarkan koalisi yang ada saat Pencapresan,
maka total sebanyak 207 kursi akan menjadi milik koalisi PDIP-PKB-NasDemHanura, sementara 353 sisanya akan menjadi milik koalisi Merah-Putih milik
Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, atau sebesar 63% dari total anggota DPR RI.
Hal ini menunjukkan bahwa apabila kuorum yang dibutuhkan untuk menolak
ataupun menyetujui suatu isu adalah 2/3 atau 67%, maka hanya diperlukan 4%
lagi bagi pemilik koalisi Gemuk tersebut untuk menggiring isu sesuai dengan

kepentingan mereka. Atau dengan kata lain, koalisi antara Golkar-GerindraDemokrat-PAN-PKS-PPP hanya membutuhkan 21 kursi lagi untuk memonopoli
berlangsungnya diskusi. Paling tidak, apabila UU MD3 Pasal 184 ini
dipertahankan pada angka kuorum 3/4, maka koalisi tersebut masih
membutuhkan 67 suara lagi.
Tiap-tiap partai politik yang berhasil memperoleh hak kursi di dalam DPR
memperoleh akses melalui pemungutan suara. Pemungutan suara pada Pemilu
Legislatif yang berasa dari masyarakat. Artinya, anggota parlemen merupakan
perwakilan dari tiap-tiap warga negara Indonesia yang menggunakan hak
pilihnya. Sebanyak 122.003.647 individu yang direpresentasikan ke dalam 560
perwakilan rakyat di DPR RI. Apabila proses keputusan di dalam tubuh DPR RI
hanya dimonopoli oleh sebesar 63% kelompok yang berasal dari koalisi yang
sama, maka kemana hak 37% masyarakat yang lain?
Kemudian untuk revisi kedua, sikap saya disini adalah pro terhadap revisi.
Saya mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan sayapun memilih PDIP
pada saat Pemilu Legislatif. Namun pernyataan yang menyebutkan bahwa kursi
ketua DPR merupakan hak dari pemenang Pemilu, menurut saya menyesatkan.
Karena argumen demikian menyebabkan bahwa posisi tersebut tidak dapat
diganggu gugat dan disucikan dari kritik. Saya setuju bahwa landasan revisi
Pasal 82 UU MD3 adalah agar semua pihak di DPR memiliki hak yang sama
untuk dipilih dan memilih. Dengan ini, maka sistematika pemilihan ketua DPR
akan lebih adil dalam konteks fairness. Bayangkan apabila sistem pemilihan ketua
DPR terus-menerus bersifat tertutup. Seperti yang saya kemukakan di atas, bahwa
anggota parlemen merupakan perwakilan dari tiap-tiap warga negara Indonesia
yang menggunakan hak pilihnya, sehingga warga Indonesia yang diwakili oleh
560 orang di dalam DPR RI pun memiliki wewenang dan hak untuk memilih
siapa yang akan memimpin mereka.
Kemudian yang terakhir adalah perihal Mahkamah Kehormatan Dewan.
Saya sangat tidak setuju dengan pembentukan dewan ini. Hal ini dikarenakan

kentalnya prinsip-prinsip kerahasiaan yang menghalangi transparansi. Misalnya


saja dengan apa yang tertera pada Pasal 129 yang mengatakan bahwa
Mahkamah Kehormatan Dewan wajib merahasiakan materi aduan dan proses
verifikasi sampai dengan perkara diputus. Kemudian ada lagi pada Pasal 132
ayat (2) dimana Mahkamah Kehormatan Dewan wajib menjaga kerahasiaan
informasi yang diperoleh dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan. Nilainilai kerahasiaan seperti ini menurut saya memiliki potensi penyalahgunaan oleh
anggota dari Mahkamah Kehormatan Dewan maupun anggota-anggota DPR yang
sedang diperiksa oleh badan tersebut.
Lebih jauh lagi, dengan kekuasaan yang begitu banyak serta fungsi yang
begitu luas, badan ini memiliki potensi untuk menjadi korup. Seperti apa yang
dikatakan oleh Lord Acton, dimana Power tends to corrupt, but absolute power
corrupts absolutely. Mahkamah Kehormatan Dewan memiliki keleluasaan untuk
menyusun rencana kerja dan anggaran per tahun (Pasal 123), dapat pula memilih
untuk melibatkan atau tidak melibatkan ahli atau pakar untuk pengumpulan alat
bukti (Pasal 128), lalu memutuskan apakah alat bukti yang telah dikumpulkan sah
atau tidak (Pasal 138), kemudian yang menurut saya menunjukkan absolutisme
adalah Pasal 145 ayat (3) yang menyatakan :
Upaya intervensi terhadap putusan Mahkamah Kehormatan Dewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelanggaran Kode Etik dan akan
diproses oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
Apabila kewenangan-kewenangan tersebut tidak diawasi dengan dalil
Melanggar Kode Etik maka mekanisme check and balances di dalam tubuh
legislatif Republik Indonesia akan tercederai. Belum lagi apabila kehadiran
Mahkamah Kehormatan Dewan didukung oleh permainan dengan ketua DPR,
maka monopoli isu akan semakin mungkin terjadi. Pasalnya tidak ada ketentuan
yang secara spesifik melarang ketua Mahkamah Kehormatan Dewan untuk berasal
dari fraksi yang berbeda dengan ketua DPR RI.
2.2 Tujuan diadakan nya UU MD 3

Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan termasuk
lembaga permusyawaratan/perwakilan, yaitu MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Perubahan

dimaksud

bertujuan

mewujudkan

lembaga

permusyawaratan/perwakilan yang lebih demokratis, efektif, dan akuntabel.


Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang mengatur keempat lembaga tersebut, pada
dasarnya

sudah

membuat

pengaturan

menuju

terwujudnya

lembaga

permusyawaratan/perwakilan yang demokratis, efektif, dan akuntabel. Akan


tetapi, sejak Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diundangkan, masih terdapat beberapa hal
yang dipandang perlu untuk ditata kembali melalui penggantian Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009. Penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009 didasarkan pada materi muatan baru yang telah melebihi 50% (lima puluh
persen) dari substansi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tersebut.
Penggantian

Undang-Undang

Nomor

27

Tahun

2009

terutama

dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan ketatatanegaraan,


seperti dalam pembentukan Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang pengujian UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, yang membatalkan beberapa ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD
dalam proses pembentukan undang-undang. Perkembangan lainnya adalah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 /PUU-XI/2013 tentang Pengujian
terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengurangi kewenangan
DPR dalam pembahasan APBN.
Di samping perkembangan sistem ketatanegaraan, pembentukan UndangUndang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksudkan


pula sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja masing-masing lembaga
perwakilan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip saling
mengimbangi checks and balances, yang dilandasi prinsip penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta sekaligus meningkatkan
kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap fungsi representasi lembaga
perwakilan yang memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran di atas serta untuk mewujudkan lembaga
perwakilan rakyat yang demokratis, efektif, dan akuntabel, Undang-Undang ini
memperkuat dan memperjelas mekanisme pelaksanaan fungsi, wewenang, dan
tugas MPR, DPR, DPD, dan DPRD seperti mekanisme pembentukan undangundang dan penguatan fungsi aspirasi, penguatan peran komisi sebagai ujung
tombak pelaksanaan tiga fungsi dewan yang bermitra dengan Pemerintah, serta
pentingnya penguatan sistem pendukung, baik sekretariat jenderal maupun Badan
Keahlian DPR.
2.3 Alasan pengubahan UU MD 3
Revisi UU MD3 menjadi perbincangan hangat di berbagai
media

cetak,

elektronik,

maupun internet belakangan

ini.

Kemunculannya makin menambah panas isu politik dalam


negeri, setelah beberapa pekan sebelumnya kita terus terpapar
pada sengitnya persaingan pemilihan presiden.
Revisi UU ini seakan-akan baru muncul dan membuat
banyak
pendapat

orang
yang

kebakaran

jenggot.

mengatakan

bahwa

Bahkan
revisi

ada
ini

beberapa

mengancam

kebebasan demokrasi.
UU MD3 adalah kependekan dari Undang-Undang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Revisi
UU ini disusun untuk membenahi pasal dan klausa UU No 27
tahun 2009 yang dianggap sudah tidak lagi relevan.

Dalam

penjelasan

umum

mengenai

revisi

UU

MD3

disebutkan bahwa tujuan disusunnya revisi UU ini adalah untuk


mewujudkan

lembaga

permusyawaratan/perwakilan

yang

demokratis, efektif dan akuntabel. Revisi terhadap UU MD3


dianggap

penting

untuk

mengembangkan ketatanegaraan

Indonesia. Ada beberapa point perubahan yang terjadi karena


revisi UU MD3 ini, yaitu :
1. Badan

Kehormatan

Dewan

akan

diperkuat

menjadi

Mahkamah Kehormatan.
2. Badan

Akuntabilitas

Keuangan

Negara

(BAKN)

akan

ditiadakan dan digabung ke Badan Keahlian Dewan.


3. Badan Anggaran (Banggar) akhirnya disetujui menjadi alat
kelengkapan tetap DPR.
4. Pemilihan

pimpinan

dewan

akan

diubah,

tidak

lagi

berdasarkan partai pemenang kursi terbanyak di pemilu


legislatif.
5. Pemanggilan dan permintaan keterangan anggota dewan
yang terlibat tindak pidana harus mendapat persetujuan
presiden. Kecuali yang bersangkutan tertangkap tangan
atau diancam dengan pidana mati atau seumur hidup.
6. Perubahan

tata

cara

pemanggilan

paksa

dan

penyanderaan terhadap anggota dewan.


Kronologi pengesahan UU MD3 ini bahwa revisi UU MD3
telah disahkan secara aklamasi. Tepat satu hari sebelum
pemilihan presiden 2014 RUU MD3 telah disahkan sebagai

Undang-Undang MD3 oleh DPR. Pengesahan berlangsung dengan


cukup dramatis karena diwarnai aksi walk-out.
Dari 467 anggota dewan yang hadir, 12 anggota DPR dari
Partai Hanura, 19 anggota DPR dari PKB, dan 78 anggota DPR
dari PDI-P memilih walk-out untuk menunjukkan penolakannya.
Anggota DPR lain dari Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai
Golkar, PKS, PAN dan PPP memilih mengesahkan UU ini secara
aklamasi.
Saat ini PDI-P sedang mengajukan judicial review untuk
meninjau ulang UU ini ke MK. Tidak hanya partai politik,
masyarakat juga mendorong agar UU MD 3 ditinjau ulang.
Tekanan

masyarakat

agar

dilaksanakan

peninjauan

ulang

disuarakan lewat petisi ini. Hingga saat ini sudah ada lebih dari
23.000 orang yang menyatakan dukungan terhadap peninjauan
kembali UU MD3.
Revisi UU MD3 mengancam kebebasan demokrasi kita.
Demokrasi menekankan pada pentingnya check and balance
di seluruh institusi negara. Di Indonesia berjalannya check and
balance bisa dilihat dari tidak adanya monopoli wewenang dari
sebuah

institusi. Namun

revisi

UU

MD3

justru

kembali

meletakkan seluruh kuasa pada tangan eksekutif dan legislatif.


Pemanggilan anggota dewan harus seijin presiden dan
revisi pada pasal 72 ayat (3) dan (4) mengenai pemanggilan
paksa dan penyanderaan yang harus dilakukan atas permintaan
DPR

tidak

mencerminkan

komitmen

untuk

mewujudkan

pemerintahan yang adil dan bersih. Pejabat seakan mendapatkan


imunitas dari upaya penegakan hukum.
Revisi UU MD3 akan berpengaruh pada peran KPK. Terlepas
dari saratnya kepentingan partai politik untuk menguasai DPR,
revisi UU MD3 memang sudah selayaknya ditinjau ulang.

Menurut Hipwee, ada sekurangnya 4 alasan kenapa peninjauan


ulang penting untuk dilakukan:
1. Revisi UU MD3 justru melenceng dari tujuan awalnya.
Ketika anggota DPR telah mendapatkan imunitas hukum
maka

pemerintahan

yang

demokratis,

efektif

dan

akuntabel tidak akan tercapai.


2. Penjelasan

mengenai

tidak terang. Dalam

revisi

beberapa

UU

MD3

pasal

terkesan

yang

direvisi

(pemanggilan harus atas ijin presiden, pergantian cara


pemilihan

ketua

pemanggilan

DPR,

perubahan

aturan

paksa/penyanderaan)

mengenai

hanya

ada

keterangan Cukup Jelas tanpa pejelasan lebih lanjut.


3. Dokumen ini adalah satu-satunya acuan bagi masyarakat
awam untuk mengawasi implikasi revisi UU MD3. Jika
penjelasannya tidak terbuka, bagaimana masyarakat bisa
memiliki

kesempatan

untuk

menjalankan

peran

sebagai watchdog?
Waktu pengesahan UU ini yang hanya berjarak sehari
sebelum pemilihan umum justru bisa menimbulkan spekulasi di
masyarakat.

Peninjauan

ulang

pasca

pemilu

layak

untuk

dilakukan.
Kronologi di malam sebelum PEMILU, saat semua sedang
menanti-nanti hari dimana sebagai rakyat punya hak untuk berSUARA dan menentukan nasib bangsa, sebagian besar anggota
DPR RI telah bersepakat untuk mengubah Undang-Undang yang
menjadi dasar berdemokrasi dan prinsip keterwakilan rakyat di
DPR RI.

Berdasarkan

analisa

dari

beberapa

dokumen

dan

pemberitaan media yang tersedia secara publik (sampai dengan


10 Juli 2014), revisi atas Undang-Undang MD3 No. 27 Tahun
2009, memiliki 4 poin penting:
1)

Mengubah ketentuan kuorum dalam hak untuk menyatakan


pendapat dari 3/4 menjadi 2/3. (Menurut pernyataan Naskah
Dengar Pendapat Revisi UU MD3 Mei 2014, tetapi tidak
ditemukan dalam Naskah terbaru Revisi Undang-Undang MD3

2)

versi 10 Juli 2014.)


Anggota DPR tidak bisa dipanggil untuk diperiksa untuk
penyidikan tindak pidana (termasuk kasus korupsi) tanpa izin
Presiden. (Menurut pernyataan dalam Naskah Dengar Pendapat
Revisi UU MD3 Mei 2014; Tanggapan Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Revisi UU MD3 di Kompas 6 Juli 2014 dan Berita Satu 8 Juli
2014, tetapi tidak ditemukan dalam Naskah terbaru Revisi

Undang-Undang MD3 versi 10 Juli 2014.)


3) Wakil partai yang menjadi pemenang suara terbanyak tidak lagi
otomatis menjadi Ketua DPR, melainkan akan dipilih dengan
suara terbanyak berdasarkan paket yang bersifat tetap. (Menurut
pemberitaan di perbagai media nasional, dan menurut Naskah
terbaru Revisi Undang-Undang MD3 versi 10 Juli 2014.)
4)
Dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya
keterwakilan

perempuan,

khususnya

terkait

dengan

Alat

Kelengkapan DPR (AKD). (Menurut pernyataan Naskah Dengar


Pendapat Revisi UU MD3 Mei 2014, dan betul tidak ditemukan
dalam Naskah terbaru Revisi Undang-Undang MD3 versi 10 Juli
2014.)
Berdasarkan Naskah terbaru dari Revisi Undang-Undang
MD3

yang

di-upload

pagi

ini

(11

Juli

2014)

di

situs

http://parlemen.net, tampaknya poin 1 dan 2 tidak lagi


tercantum dalam naskah yang disahkan oleh Sidang

Paripurna DPR. Pun begitu, poin ke 3 dan 4 tetap menjadi


masalah karena melanggar prinsip keterwakilan rakyat di
DPR RI.
Akibatnya DPR mengganti Ketentuan yang mengatur
Keterwakilan rakyat di posisi Pimpinan DPR RI setelah
kita memilih dalam Pileg 2014. Kenapa? Karena rakyat
memilih partai di pemilihan legislatif, dengan dasar UU MD3 versi
sebelum direvisi - dimana rakyat mengasumsikan bahwa wakil
dari partai pemenanglah yang akan menjabat Ketua DPR dan
posisi pimpinan DPR lainnya. Prinsip keterwakilan ini sudah
pernah dimenangkan di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011
karena sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang
mempersamakan kedudukan semua warga negara sehingga
penentuan

komposisi

kepemimpinan

DPR/DPRD

secara

proporsional berdasarkan urutan perolehan kursi masing-masing


Parpol peserta Pemilu di seluruh Indonesia maupun daerah yang
bersangkutan. Prinsip keterwakilan ini adalah ketentuan yang
adil,

karena

perolehan

peringkat

kursi

juga

menunjukkan

konfigurasi peringkat pilihan rakyat Indonesia.


Revisi

UU

keterwakilan

MD3

rakyat

justru
ini

mengubah

dengan

prinsip

menggunakan

musyawarah mufakat yang bila tidak terpenuhi, dilakukan


dengan sistem voting berdasarkan paket yang bersifat
tetap.

Hal

ini,

transaksional

malah

yang

memperbesar

selama

ini

kita

peluang

politik

lawan.

Karena

hilangnya prinsip keterwakilan di atas, akibat berikutnya


adalah semakin sempitnya peran perempuan di posisi
strategis di DPR. Sebagai catatan, dengan adanya ketentuan
mengenai kewajiban keterwakilan perempuan, maka perempuan
dapat

melawan

stigma

dan

diskriminasi

di

kehidupan

bermasyarakat dan mendapatkan tempat yang strategis di Alat


Kelengkapan DPR (AKD). Revisi UU MD3 justru menghapus
ketentuan ini sebagai akibat dari hilangnya prinsip keterwakilan,
dan ini berarti mengurangi keterwakilan dan peranan perempuan
dalam proses politik di parlemen.
Dengan sistem yang diatur dalam Revisi UU MD3 ini, suara
rakyat menjadi tidak berpengaruh dalam keterwakilan dalam
komposisi kepemimpinan DPR hingga ke level AKD yang sangat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR RI. Suara
kita rakyat biasa yang sudah memilih pada Pileg 2014 tidak lagi
ada harganya.
Betapa cerdiknya mereka yang mengajukan Revisi UU MD3
secara diam-diam tanpa pengawasan dari rakyat, karena di saat
yang bersamaan media sedang disibukkan dengan pembahasan
PEMILU. Revisi UU MD3 ini terkesan dipaksakan untuk disahkan
oleh DPR RI lewat Sidang Paripurna pada malam menjelang
Pilpres 2014 (8 Juli 2014). Fraksi PDIP, PKB dan Hanura telah
bersuara dan meminta penundaan pengesahan UU ini sampai
setelah Pilpres 2014 berlangsung agar dapat mempelajari lebih
dalam - namun permintaan ini ditolak. Sebagian besar kelompok
elit di DPR RI tetap memaksakan diri untuk mengesahkan Revisi
UU MD3, walaupun Fraksi PDIP, PKB dan Hanura memutuskan
untuk melakukan walk-out.
Oleh karenanya pemerintah yang pertama tidak bisa
menerima jika ada kelompok elit di DPR RI yang memaksakan
dan secara tidak transparan mengganti Undang-Undang yang
begitu krusial bagi prinsip keterwakilan dan demokrasi di
Indonesia seakan hanya untuk mempermudah jalan mereka
dalam mengontrol kekuasaan di DPR RI rakyat dalam hal ini,
seolah tidak lagi punya suara.

Kedua, tidak bisa menerima jika sebagian besar rakyat


Indonesia tidak diberitahu adanya masalah sebesar ini - padahal
ini terjadi di masa-masa di mana kampanye berlangsung dan
wakil rakyat seharusnya aktif bicara pada rakyat soal masalah
ini.
Ketiga, menolak jika hanya dilibatkan saat wakil rakyat
mau dipilih lewat Pileg 2014, tapi tidak dilibatkan saat ada
perubahan dalam prinsip keterwakilan dan demokrasi yang
mendasar dan strategis seperti Revisi UU MD3 ini.
Keempat, Kami menginginkan wakil-wakil rakyat yang
menghargai suara rakyat yang memilihnya, bukan wakil rakyat
yang tidak menghargai suara rakyat yang memilihnya.
Kelima,

Sebagai

perwakilan

masyarakat

sipil,

kami

meminta kepada Fraksi dan Pimpinan Partai Demokrasi Indonesia


Perjuangan, Fraksi dan Pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa,
Fraksi dan Pimpinan Partai Hanura, dan Pimpinan Partai Nasdem
untuk berkonsolidasi dan memperjuangkan penolakan atas Revisi
UU MD3 melalui judicial review di Mahkamah Konsititusi.
Masyarakat tidak bisa berhenti bersuara hanya karena
Pemilu Legislatif dan Presiden 2014 sudah kita lewati, tidak bisa
lagi bersikap acuh tak acuh pada politik dan sudah saatnya kita
membuka mata dan turun tangan dalam mengawal Indonesia.
Demokrasi bukan hanya pesta yang dilakukan 5 tahun
sekali. Demokrasi harus dijaga setiap saat. Kembali ke Orde Baru
bukan pilihan buat kita semua. Menatap ke depan dengan prinsip
keterwakilan dan demokrasi yang sehat lah yang seharusnya
menjadi masa depan kita.
Sesuai dengan capaian regulasi bidang politik terkini, DPR
dan Pemerintah telah lebih dulu menyelesaikan undang-undang
partai politik melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008


tentang Partai Politik dan undang-undang kepemiluan anggota
legislatif melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pada 24 Oktober 2013, DPR secara resmi mengusulkan
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (RUU Perubahan UU MD3). Selama 2
tahun dibahas, keberadaan UU MD3 sendiri menggantikan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (UU Susduk).
Perkembangan selanjutnya adalah pada 28 Januari 2014,
dibentuk panitia khusus (pansus) sebagai alat kelengkapan yang
akan membahas RUU Perubahan UU MD3, yang terdiri dari 30
orang anggota DPR dari berbagai fraksi. Kemudian pada 11
Februari 2014, pimpinan Pansus RUU Perubahan UU MD3
ditetapkan, yang diketuai Benny K Harman dari Fraksi Partai
Demokrat.
Meskipun Pasal 79 huruf i, j, dan k UU MD3 mengatur
kewajiban sebagai representasi rakyat (seperti menyerap dan
menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara
berkala;

menampung

dan

menindaklanjuti

aspirasi

dan

pengaduan masyarakat; serta memberikan pertanggungjawaban


secara

moral

dan

politis

kepada

konstituen

di

daerah

pemilihanya), DPR pada saat ini tidaklah sepenuhnya mewakili


kepentingan rakyat. Hal ini terlihat dari kinerja anggota DPR yang

semakin merosot dan tingkat kepercayaan masyarakat yang


terus menurun. Fakta miris memperlihatkan mulai dari tingkat
kedisiplinan yang rendah pada rapat-rapat alat kelengkapan
maupun rapat paripurna hingga anggota DPR yang tersandung
kasus korupsi.
Inisiatif penyempurnaan UU MD3 harus diposisikan menjadi
entry point secara lebih signifikan dan prioritas dalam rangka
membenahi kinerja DPR. Bahkan lebih dari itu sebagai upaya
mewujudkan

lembaga

parlemen

yang

akuntabel

dan

representatif. Namun materi RUU Perubahan UU MD3 ternyata


tidak

mengkonfirmasi

terdapat

temuan

kehendak
yang

tersebut.

teridentifikasi.

Secara

umum,

Pertama,

adanya

langkah memperluas dan memperkuat wewenang atau otoritas


secara

kelembagaan

maupun

individu,

dengan

dalih

mendongkrak kinerja kelembagaan, dan kedua, di saat yang


bersamaan

skala

dan

porsi

tentang

transparansi

dan

akuntabilitas mengecil, bahkan minus.


Beberapa perluaran wewenang secara kelembagaan dan
individu seperti pada Pasal 71 huruf (k): DPR mempunyai tugas
dan wewenang membahas dan memberikan persetujuan atas
perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang (sebelumnya tanpa ada kata
membahas)
Pasal 72 ayat (4): periode waktu para pihak yang tidak
memenuhi panggilan paksa (tanpa alasan yang sah) dapat
disandera paling lama 30 hari (sebelumnya hanya 15 hari).
Kemudian, Pasal 72 ayat 6 s/d ayat 9: DPR mengeluarkan produk
kebijakan

berupa

rekomendasi

dan

konsekuensi

apabila

diabaikan akan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan


sanksi pidana paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 96 ayat (6): keputusan dan/atau kesimpulan hasil
rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat
mengikat antara DPR dan Pemerintah serta wajib dilaksanakan
oleh Pemerintah. Sedangkan beberapa contoh pengecilan skala
transparansi dan akuntabilitas antara lain tercermin pada Pasal
73 ayat (5) UU MD3: DPR melaporkan pengelolaan anggaran
kepada publik dalam laporan kinerja tahunan.
Bandingkan dengan Pasal 73 ayat (5) RUU MD3 yang
berbunyi: DPR membuat laporan pengelolaan anggaran setiap
akhir tahun anggaran dan ayat (6): laporan dapat diakses oleh
publik (kalimat perundang-undangan mengalami penyusutan
makna). Sedangkan Pasal 80 RUU MD3 menghilangkan kewajiban
evaluasi fraksi terhadap kinerja anggotanya dan pelaporan
kepada publik (padahal Pasal 80 UU MD3 sudah lebih maju
karena mewajibkan ketentuan dimaksud). RUU MD3 belum
mengatur implementasi prinsip transparansi secara total. Tidak
ada ketentuan yang memaksa DPR untuk menyampaikan kepada
publik

tentang

kriteria

dan

alasan

rapat

tersebut

diselenggarakan secara tertutup. Laporan atas kinerja komisi


hanya dilakukan pada akhir masa jabatan/keanggotaan DPR.
Akibatnya tidak membuka ruang kontrol atas kinerja DPR di
tengah masa periode.
Berdasarkan temuan atas RUU Perubahan UU MD3 dan
juga bercermin pada proses pembahasan terdahulu, Koalisi
merekomendasikan agar Pansus RUU Perubahan UU MD3 dan
Pemerintah mempertimbangkan dan memprioritaskan hal-hal
berikut:

a. Melakukan pembahasan dengan menggunakan sistem


klasterisasi bidang atau pengelompokkan isu, agar anggota
Pansus tidak terjebak pada hal-hal teknis yang cenderung
mengkonsumsi

waktu

yang

lebih

lama

dan

aspek

perdebatan yang tidak substansial. Anggota Pansus cukup


berkonsentrasi pada aspek kebijakan.
b. Seluruh rapat-rapat berlangsung terbuka, mulai dari rapat
kerja hingga teknis seperti tim perumus (timus) dan tim
sinkronisasi

(timsin).

Pembahasan

RUU

Susduk

memperlihatkan praktek yang baik karena Pansus saat itu


menyepakati seluruh rapat dilakukan secara terbuka.
c. Pimpinan Pansus meminta kesediaan 1 (satu) orang
perwakilan dari tiap fraksi agar lebih intensif dan permanen
mengikuti rapat-rapat. Langkah ini bertujuan untuk lebih
mendorong

kedisiplinan

pembahasan

hingga

dan

menjamin

pengambilan

akselerasi

keputusan.

Seperti

halnya pelaksanaan rapat-rapat terbuka, pimpinan Pansus


RUU Susduk juga telah mempraktekkan upaya yang sama.
d. Pansus dan Pemerintah melakukan pembahasan RUU
Perubahan UU MD3 secara terbatas dan fokus. Terbatas
dalam artian, hal-hal positif yang telah diatur oleh UU MD3
tetap harus dipertahankan, sedangkan yang prospektif
harus mendapatkan tempat untuk dibahas dan dijadikan
prioritas perubahan. Sedangkan yang dimaksud fokus
adalah menuju ruang lingkup dan sasaran yang lebih
strategis.
e. Perlu dibuat suatu standar kinerja anggota parlemen yang
dapat diukur sehingga mekanisme evaluasi atau bahkan
sanksi dapat diterapkan. Misalkan (salah satu contoh)
kewajiban menyusun laporan hasil studi banding dan
pembiayaannya.

f. Syarat pembentukan fraksi harus lebih diperketat untuk


mendorong adanya koalisi dan pada akhirnya efektitas
mekanisme pengambilan keputusan di DPR.
g. Ketentuan mengenai penyelenggaraan jenis rapat-rapat
tertentu

yang

berlangsung

tertutup

dihilangkan.

Pengaturannya ditarik masuk dari sekadar ketentuan Tata


Tertib menjadi pasal dalam UU MD3.
h. Keberadaan Badan Kehormatan (BK) perlu diperkuat. Salah
satunya
dengan

adalah

melalui

melibatkan

pihak

restrukturisasi

keanggotaan

eksternal

mengangkat

dan

terobosan hukum acara BK ke materi UU MD3.


i. Posisi DPD dipandang lebih sebagai mitra ketimbang
saingan kekuasaan. Penguatan peran DPD adalah mutlak
untuk membuat perubahan dalam proses legislasi di
Indonesia.
j. Recall memang menjadi mekanisme yang perlu ada
sebagai kontrol atas kinerja anggota DPR/DPRD. Namun,
recall akan menjadi bola liar dan dapat disalahgunakan
oleh partai jika tidak diberi batasan dan koridor yang jelas.
Koalisi mendukung mekanisme recall oleh partai yang
harus disandingkan dengan ketentuan bahwa recall itu
sendiri dapat dilakukan oleh partai hanya jika diminta oleh
konstituen. Ini untuk menyeimbangkan antara kontrol dari
partai dan pertanggungjawaban politik anggota DPR/DPRD
kepada pemilihnya.
2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Kemorosotan Kinerja Para anggota
Parlemen
Komplikasi sistem perwakilan (representative democracy),
dengan demikian sesungguhnya telah terjadi krisis kepercayaan
representasi politik rakyat

yang gawat. Cerita tentang Dewan

Perwakilan Rakyat di negeri ini dihiasi serangkaian ironi dan

paradoks. Di era Orde Baru, institusi DPR tak lebih dari sekadar
tukang stempel tiap kebijakan Soeharto. Di era reformasi ini,
lembaga tersebut justru sarat kontroversi.
Potret buram DPR periode sebelumnya terjerat korupsi,
tersandung skandal seks, rendahnya tingkat kehadiran dan
demam studi banding, ternyata masih mendominasi wajah DPR
periode 2009-2014. Alih-alih memperbaiki citra, wajah DPR yang
70 persen diisi pendatang baru itu justru semakin memperburuk
wajah DPR. Jika integritas (perilaku koruptif), disiplin (tingkat
kehadiran), dan empati para wakil rakyat masih dinilai rendah
dan belum layak diapresiasi, lalu bagaimana dengan kinerja DPR
dalam menjalankan fungsi esensialnya legislasi, pengawasan,
dan penganggaran sebagai anggota parlemen? Siapa paling
bertanggung jawab atas wajah buram DPR hari-hari ini?
2.4.1 Penyebab DPR Kinerja Jelek
Menurunnya

kinerja

anggota

DPR

2009-2014,

ada

beberapa pendapat yang mendasari mengapa kinerja anggota


DPR jelek. Pertama kegagalan partai, merosotnya citra DPR
merupakan potret kegagalan parpol. Rendahnya kualitas dan
produktivitas DPR merupakan tanggung jawab partai sebab
semua anggota DPR diseleksi melalui mekanisme partai. Karena
itu, penyimpangan (malafungsi) partai berpengaruh terhadap
kualitas dan produktivitas para wakil rakyat.
Kedua, adalah persoalan dalam rekruitment kader parpol
yang membuat kinerja DPR saat ini menjadi lemah. Contohnya
saat ini, sekitar 70 persen anggota DPR itu muda dan baru. Ini
tentunya membanggakan, namun disisi lain juga menyebabkan
masalah. Kesalahan bukan pada anggota DPR tersebut tapi pada
parpol yang tidak memiliki ukuran dalam menentukan calon

anggota legislatifnya dalam pemilu yang tentunya berimbas


pada kinerja DPR sendiri.akibat rapuhnya sistem perekrutan dan
penjaringan
ketidakjelasan

calon

anggota

sumber

legislatif

pemasukan

(caleg),

keuangan

dampak

partai,

efek

disfungsi aspirasi dan artikulasi partai, implikasi dari macetnya


fungsi pendidikan politik, serta kekeliruan sistem komunikasi
politik partai dalam kampanye.
Ketiga sedikitnya jumlah aktivis partai dalam komposisi
anggota dewan, karena selebihnya di isi oleh kalangan pemilik
modal dan pengusaha juga Artis, ditengarai sebagai penyebab
menurunnya

kinerja

DPR

RI.

Kesalahan

sistem

politik

pengumpulan massa lewat populeritas artis dan kekuatan modal


pengusaha, merupakan kesalahan sistem pemilu yang berimbas
pada kelemahan potensi politisi.
Keempat, berubahnya sistem pemilu dari nomor

urut

menjadi suara terbanyak yang diputuskan oleh MK, mengubah


komposisi anggota DPR yang duduk di Senayan, padahal kalau
masih tetap dipertahankan nomor urut tentu akan terpilih
anggota DPR yang telah teruji rekam jejak dan kridibilitas selama
mengabdi di Partai, yang jelas nomor urut 1,2 tentu kader partai
yang teruji, namun semuanya berubah dengan suara terbanyak,
justru yang terpilih bukan dari kader

terbaik partai

tapi dari

pemilik modal karena sistem memungkinkan untuk itu, malasnya


mereka rapat membuat kondisi atau citra DPR semakin longsor.
Kelima, banyaknya anggota DPR yang tersandera kasus
korupsi, akibat main proyek, profesionalitas DPR meski diperbaiki
dengan cara, meski ada Undang-Undang yang mengatur anggota
DPR tidak boleh main proyek tapi lebih fokus untuk mengurus
rakyat.

2.4.2 Krisis Kepercayaan DPR Longsor


Legitimasi dan kridibilitas anggota DPR 2009-2014 semakin
merosot, dan kalau ini dipertahankan dan tidak ada keinginan
dari anggota DPR untuk berbenah ini, sangat mengerikan pada
pemilu legislatif 2014, tingkat partisipasi rakyat memilih wakilnya
akan jauh berkurang, ditambah lagi makin hari kredibilitas
anggota DPR semakin dipertanyakan mengingat masyarakat
sering disuguhi berbagai berita miring seputar kinerja DPR yang
kurang baik.
Kinerja DPR 2009-2014 dalam menjalankan fungsi-fungsi
kedewanan masih penuh rapor merah. Paling tidak, ada tiga
potret masih merahnya rapor dilihat dari aspek fungsi utama
parlemen. Pertama, rendahnya produktivitas dalam menjalankan
fungsi legislasi, seperti RUU Jaminan Sosial BPJS yang masuk
Program Legislasi Nasional sampai sekarang belum selesai,
padahal ini berhubungan dengan kesejahteraan rakyat
Kedua, dalam menjalankan fungsi penganggaran, DPR
seolah hanya memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan
kurang berempati terhadap kondisi masyarakat yang sedang
mengalami

tekanan

ekonomi.

Hal

ini

terlihat

dari

ide

kontroversial pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,6


triliun, dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota (Rp 8,4 triliun),
serta rumah aspirasi Rp 200 juta per anggota (Rp 112 miliar dan
Rp 3,3 triliun untuk infrastruktur). Ironisnya, semua anggaran itu
ditanggung rakyat melalui APBN. Ketiga, fungsi pengawasan
seolah hanya jadi alat bagi partai dan DPR bernegosiasi dengan
pemerintah. Ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kasus Bank
Century jadi potret paling terang dari ketidakseriusan DPR.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sesuai dengan ulasan di atas, telah dipaparkan mengenai
ketidak berdayaan masyarakat dalam memperjuangkan hak
bersuaranya dan ini tentu telah melanggar ketentuan Pasal 28
UUD 1945, dimana setiap warga negara berhak mengeluarkan
pendapatnya baik lisan maupun tulisan dan dilindungi dengan
undang undang.
Saya kurang setuju dengan disahkannya UUD MD3 ini
terutama

yang

berkaitan

dengan

keterwakilan

DPR

dan

penghapusan suara rakyat di dalam pemilu. Hal ini jelas


bersimpangan dengan asas demokrasi yang meletakkan suara
tertinggi adalah di tangan rakyat. Oleh karenanya perlu dikaji
ulang mengenai pasal pasal yang berkaitan dengan suara
rakyat sebagai tolok ukur di dalam asas pemilu. Selanjutnya
terdapat ketidakketerbukaan mengenai kebijakan yang diatur
tersebut, sehingga akan terjadi polemik diantara politikus dan
iklim politik di Indonesia. Kembalikan saja asas pemilu yang
JURDIL dan LUBER, sebagaimana telah berjalan beberapa periode
ini. Rakyat bukanlah boneka yang bisa diatur sesuai kehendak
penguasa, namun rakyat adalah tonggak pembangunan yang
menjadi Subjek sekaligus objek pembangunan. Maka bilamana
suara rakyat itu tidak disalurkan dengan baik atau bahkan
ditiadakan,

sudah

permasalahan
berpendapat

barang

yang
agar

memperhatikan

UU

tentu

akan

berkepanjangan.
MD3

itu

kepentingan

bisa

menimbulkan

Untuk
dikaji

rakyat,

itu,

saya

ulang

dengan

namun

tidak

mengesampingkan kepentingan pemerintah yang berdaulat.

DAFTAR PUSTAKA

https://meisusanto.com/2014/09/24/warisan-wakil-rakyat-kontroversi-uumd3-dan-ruu-pilkada/
http://sett.com/suigeneris/ruu-md3-monopoli-isu-hak-memilih-danmahkamah-kehormatan-dewan
http://www.administrasipublik.com/2014/09/apa-tujuan-undang-undangmd3.html
http://www.pangisyarwi.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=107:komplikasi-krisiskepercayaan-dpr-ri&catid=7&Itemid=102
http://iglesiasfortuna.blogspot.co.id/

Anda mungkin juga menyukai