Anda di halaman 1dari 42

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR ERA OTONOMI

DAERAH (ANALISIS STUDI KASUS KEMATIAN


IKAN MASSAL DI DAS BRANTAS)

MAKALAH

Oleh

Diya Megawati

NIM 132110101056

Yuni Ribti Fitriyani

NIM 142110101016

Nurul Khotimah

NIM 142110101037

Mega Wrida Silvia

NIM 142110101064

Kholifah Asti

NIM 142110101091

Dinda Masitha Aulia

NIM 142110101117

Restu Prastiwi

NIM 142110101149

PSDA Kelas D Kelompok 5

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER
2016

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR ERA OTONOMI


DAERAH (ANALISIS STUDI KASUS KEMATIAN
IKAN MASSAL DI DAS BRANTAS)
MAKALAH

disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas mata kuliah


Pengelolaan Sumber Daya Air pada semester ganjil
Fakultas Kesehatan Masyarakat
oleh

Diya Megawati

NIM 132110101056

Yuni Ribti Fitriyani

NIM 142110101016

Nurul Khotimah

NIM 142110101037

Mega Wrida Silvia

NIM 142110101064

Kholifah Asti

NIM 142110101091

Dinda Masitha Aulia

NIM 142110101117

Restu Prastiwi

NIM 142110101149

PSDA Kelas D Kelompok 5

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER
2016

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas taufik dan hidayahNya yang telah
dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Pengelolaan Sumber Daya Air Era Otonomi Daerah (Analisis Studi Kasus
Kematian Ikan Massal di Das Brantas). Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas dari mata kuliah Pengelolaan Sumber Daya Air Kelas D pada Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh
sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
a. Ibu Rahayu Sri Pujiati S.KM., M.Kes sebagai pembimbing dan dosen mata
kuliah Pengelolaan Sumber Daya Air.
b. Semua pihak yang telah mendukung penyelesaian penelitian dan laporan
ini.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Jember, November 2016


Penulis

ii

DAFTAR ISI

PRAKATA .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1

Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3


1.3

Tujuan ....................................................................................................... 3

1.4 Manfaat ......................................................................................................... 4


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
2.1 Kewenangan Bidang Sumber Daya Air ........................................................ 5
2.1.1 Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air .................................................. 5
2.1.2 Bidang Pemanfaatan Sumber Daya Air ................................................. 8
2.1.3 Bidang Bina Pengelolaan Sumber Daya Air .......................................... 8
2.2 Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat ....................................................... 9
2.2.1. Hak ........................................................................................................ 9
2.2.2. Kewajiban Dan Peran Pemegang Hak Guna ....................................... 10
2.2.3. Peran Masyarakat ................................................................................ 10
2.3 Pembiayaan ................................................................................................. 10
2.3.1 Uraian Biaya dan Penganggaran .......................................................... 10
2.3.2 Yang Membiayai .................................................................................. 11
2.3.3 Pembiayaan Pengusahaan Oleh Stakeholder, Pembiayaan Sosial Oleh
Pemerintah..................................................................................................... 12
2.3.4 Pengguna dan Biaya Jasa ..................................................................... 13
2.4 Koordinasi ................................................................................................... 14
2.4.1

Wadah Koordinasi ........................................................................... 15

2.4.2

Kegiatan Koordinasi........................................................................ 15

2.5

Pembagian Kewenangan dan Pembagian Peran ..................................... 16

2.5.1 Desentralisasi ....................................................................................... 16


2.5.1.1 Institusi Pusat dan Daerah ............................................................. 16

iii

BAB 3. STUDI KASUS ........................................................................................ 19


3.1

Studi Kasus ............................................................................................. 19

3.2

Deskripsi Kasus ...................................................................................... 20

3.2 Analisis Kasus ............................................................................................. 21


3.2.1 Faktor Penyebab terjadinya kematian ikan massal .............................. 21
3.2.2 Akibat Peristiwa Kematian Ikan Secara Massal .................................. 25
3.2.3 Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Provinsi Jawa Timur ... 25
3.2.4 Strategi Pencegahan dan Penyelesaian................................................. 28
3.2.5 Saran Usaha Penyelesaian Alternatif ................................................... 28
3.3

Kewenangan Tiap Wilayah dalam Penyelesaian Masalah ..................... 30

3.4

Kewenangan lintas Wilayah dalam Penyelesaian Masalah .................... 31

3.5 Peran PJT 1 Malang .................................................................................... 32


BAB 4. KESIMPULAN ........................................................................................ 34
4.1

Kesimpulan ............................................................................................. 34

4.2

Saran ....................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pembagian tugas antara BBWS Brantas, PJT 1, dan PemProv Jatim ...... 27

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dan semua makhluk hidup membutuhkan air sebagai salah satu
sumber kehidupan. Dengan kata lain air merupakan material yang sangat
dibutuhkan bagi kehidupan di bumi. Semua organisme yang hidup tersusun dari
sel-sel yang berisi air sedikitnya 60% dan aktifitas metaboliknya mengambil
tempat di larutan air. Di sisi lain, akibatnya pengelolaan yang salah air bisa
menjadi bencana bagi kehidupan. Air yang berkelebihan di suatu tempat akibat
hujan yang besar dapat menimbulkan kerugian yang besar. Menurut Dyah (2000),
kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok besar, yaitu: satu, kebutuhan domestik; dua, irigasi pertanian; dan tiga,
industri. Sejalan dengan pertambahan penduduk di Indonesia, maka kebutuhan air
akan meningkat pula baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Kebutuhan air
terbesar di Indonesia terjadi di pulau jawa dan Sumatra karena kedua pulau ini
mempunyai jumlah penduduk dan industri yang cukup besar.
Konsep pengelolaan air dan sumber air pada dasarnya mencakup upaya
serta kegiatan pengembangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya air berupa
menyalurkan (redistributing) air yang tersedia dalam konteks ruang dan waktu,
dan komponen mutu dan komponen volume (jumlah). Dengan demikian
pengelolaan air dan sumber air merupakan suatu system agar alam atau suatu
sistem dalam rangka upaya membentuk lingkungan hidup yang akrab serta
menyenangkan. Plate (1993) mengemukakan bahwa sistem pengelolaan air dan
sumber air dalam rangka pemenuhan kehidupan masyarakat modern bersifat
berkelanjutan (sustainable), harus mampu mengantisipasi perubahan : Sistem itu
sendiri karena usia, kebutuhan masyarakat dan kemampuan memasok (supply) air
Pengelolaan air dan pemberian air yang berkelanjutan dengan menggunakan pola
pendekatan atisipasi (anticipation approach) melalui atisipasi dampak terhadap
kondisi alam dan masyarakat serta prediksi yang mungkin terjadi.

Namun pengelolaan air dan sumber air di Indonesia selama ini belum
terpadu, masih dikelola oleh beberapa institusi yang mendasarkan pada undangundang sesuai dengan lingkup kewenangannya. Saat ini

kita menghadapi

tantangan yang berat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air. Seperti
hal-nya pembangunan yang berkelanjutan. Otonomi daerah sangat diharapkan
untuk mempercepat pembangunan dan hasil-hasilnya bagi masyarakat setempat.
Kekayaan sumber daya air tersebut menjadi modal dasar dalam mengelola
dan membangun daerahnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
mengelola sumber daya air tersebut terdapat berbagai persoalan yang menjadi
dinamika dalam pelaksanaan pemerintahan. Persoalan sumberdaya air menjadi
sangat penting ketika dikaitkan dengan otonomi daerah pada hakekatnya
merupakan pembagian peran (role sharing) dan pembagian kewenangan dari
Pemerintah baik pusat maupun Pemerintah Daerah. Pengelolaan Sumber Daya Air
dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawabnya berdasarkan penetapan wilayah sungai.
Peran pemerintah propinsi yang selama ini diharapkan menjadi sentral
dalam pengelolaan sumberdaya air di daerah belum mampu diwujudkan sesuai
dengan harapan. Kerjasama antara pemerintah dengan pemangku kepentingan di
daerah belum terwujud sebagaimana mestinya. Upaya pelibatan stakeholders
sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang undang otonomi daerah.
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya
air tersebut akan memberikan dampak bagi pengelolaan keuangan daerah. Potensi
sumber daya air yang dimiliki setiap propinsi menjadi hal strategis ketika mampu
dikelola dan dikembangkan secara maksimal dalam menunjang roda pemerintahan
dan pembangunan wilayah tersebut.
Besarnya dampak negatif akibat daya rusak air terhadap pertumbuhan
ekonomi yaitu tingkat kerugian ekonomi yang diakibatkan paling kurang 1% dari
produk domestik regional bruto (PRDB) tingkat provinsi. Karena itulah segala
peristiwa yang sekiranya merugikan dan menunjukkan adanya penurunan kualitas
air pada suatu wilayah perairan harus segera diatasi sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab dari lintas daerah tersebut. Studi kasus yang dibahas dalam

makalah ini adalah studi kasus mengenai kejadian kematian ikan secara massal di
beberapa sungai sepanjang DAS Brantas.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apakah pengertian dari Pengelolaan Sumber Daya Air era Otonomi Daerah?
b. Apa faktor penyebab terjadinya kematian ikan secara massal di beberapa
sungai DAS Brantas?
c. Apa saja akibat dari kematian ikan secara massal di beberapa sungai DAS
Brantas?
d. Bagaimanakah Kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap
kejadian kematian ikan secara massal?
e. Bagaimanakah Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat terhadap Pengelolaan
Sumber Daya Air di DAS Brantas?
f. Bagaimana strategi pencegahan untuk menghindari terulangnya kematian ikan
secara massal di beberapa sungai DAS Brantas?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui pengertian dari Pengelolaan Sumber Daya Air era Otonomi
Daerah .
b. Mengetahui faktor penyebab terjadinya kematian ikan secara massal di
beberapa sungai DAS Brantas
c. Mengetahui akibat dari kematian ikan secara massal di beberapa sungai DAS
Brantas
d. Mengetahui Kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap kejadian
kematian ikan secara massal
e. Mengetahui bagaimana Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat terhadap
Pengelolaan Sumber Daya Air di DAS Brantas
f. Mengetahui strategi pencegahan untuk menghindari terulangnya kematian
ikan secara massal di beberapa sungai DAS Brantas

1.4 Manfaat
a. Memberikan suatu informasi baru tentang Pengelolaan Sumber Daya Air era
Otonomi Daerah.
b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penulisan karya ilmiah
selanjutnya.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kewenangan Bidang Sumber Daya Air


2.1.1 Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air
Bidang

Pengelolaan

Sumber

Daya

Air,

mempunyai

tugas

melaksanakan sebagian tugas Dinas Pekerjaan Umum meliputi pembangunan


prasarana sumber daya air, operasi dan pemeliharaan SDA, pembinaan dan
perizinan SDA. Fungsi dari Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air, meliputi
(Kodoatie, 2002):
a.

Menyusun rencana kegiatan dibidang tugasnya berdasarkan rencana


dan kebutuhan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas Dinas
sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang- perundagan yang
berlaku;

b.

Menyusun program perencanaan, pengawasan, pengoprasian dan


pemeliharaan teknis serta pembinaan dan perizinan SDA dibidang
tugasnya untuk bahan koordinasi intern bidang untuk kelancaran
pelaksanaan tugas;

c.

Melaksanakan pembangunan prasarana sumber daya air, operasi dan


sumber pemeliharaan SDA, pembinaan dan perizinan SDA;

d.

Mengkoordinir para Kepala Seksi dalam merumuskan program dan


system kerja operasional bidang tugasnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undagan yang berlaku;

e.

Melakukan koordinasi yang diperlukan dengan Bidang lainnya dalam


hal kenyamanan dan keterpaduan tugas untuk kelancaran pelaksanaan
tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undagan yang
berlaku;

f.

Menyusun langkah teknis pelaksanaan program dan mengestimasi


biaya pelaksanaan kegiatan sesuai kebutuhan dan ketentuan peraturan

perundang-undagan yang berlaku untu menunjang kelancaran


pelaksaan tugas;
g.

Membagi tugas dan kepada bawahan sesuai dengan bidang tugasnya


untuk dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundagan yang berlaku;

h.

Memberi bimbingan dan petunjuk kepada bawahan dibidang


tugasnya agar tercapai keserasian dan kebenaran tugas sesuai dengan
ketentuan uperaturan perundang-undagan yang berlaku;

i.

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas bawahan agar


sesuai dengan rencana kerja dan ketentuan peraturan perundangundagan yang berlaku;

j.

Melakukan penilaian terhadap pelaksanaan tugas bawahan agar


sesuai dengan hasil yang dicapai dengan mencocokkan terhadap
petunjuk dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

k.

Melaksanakan evaluasi dan menyusun laporan;

l.

Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas.

Seksi Pembangunan Prasarana Sumber Daya Air, mempunyai tugas


(Kodoatie, 2002) :
a.

Menyusun rencana kegiatan dibidang tugasnya berdasarkan rencana


dan kebutuhan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas dinas
sesuai dengan ketentuan uperaturan perundang-undagan yang
berlaku;

b.

Mengumpulkan, menghimpun dan mengolah data untuk bahan


program perencanaan, pengawasan pembangunan Prasarana SDA
untuk bahan koordinasi intern Bidang untuk kelancaran pelaksanaan
tugas;

c.

Membagi tugas dan kepada bawahan sesuai dengan bidang tugasnya


untuk dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundagan yang berlaku;

d.

Memberi bimbingan dan petunjuk kepada bawahan dibidang

tugasnya agar tercapai keserasian dan kebenaran tugas sesuai dengan


ketentuan uperaturan perundang-undagan yang berlaku;
e.

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas bawahan agar


sesuai dengan rencana kerja dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;

f.

Melaksanakan Pembangunan Prasarana Sumber Daya Air;

g.

Melaksanakan evaluasi dan menyusun laporan;

h.

Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang


Pengelolaan Sumber Daya Air.

Seksi Operasi dan Pemeliharaan SDA, mempunyai tugas (Kodoatie,


2002) :
a.

Menyusun rencana kegiatan dibidang tugasnya berdasarkan rencana


dan kebutuhan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas Dinas
sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan yang
berlaku;

b.

Mengumpulkan,

menghimpun,

dan

mengolah

data

untuk

melaksanakan program perencanan, pengoperasian dan pemeliharaan


teknis dibidang tugasnya untuk bahan koordinasi intern bidang untuk
kelancaran pelaksanaan tugas;
c.

Membagi tugas dan kepada bawahan sesuai dengan bidang tugasnya


untuk dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundagan yang berlaku;

d.

Memberi bimbingan dan petunjuk kepada bawahan dibidang


tugasnya agar tercapai keserasian dan kebenaran tugas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undagan yang berlaku;

e.

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas bawahan agar


sesuai dengan rencana kerja dan ketentuan peraturan perundangundagan yang berlaku;

f.

Melaksanakan Operasi dan Pemeliharaan SDA;

g.

Melaksanakan evaluasi dan menyusun laporan;

h.

Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang


Pengelolaan Sumber Daya Air.

2.1.2 Bidang Pemanfaatan Sumber Daya Air


Bidang
melaksanakan

Pemanfaatan
perumusan

Sumber

kebijakan,

Daya

Air mempunyai

bimbingan

teknis,

tugas

melakukan

rehabilitasi dan peningkatan irigasi dan rawa, sungai dan pantai, serta danau,
embung dan air baku. Untuk menyelenggarakan tugas pokoknya, Bidang
Pemanfaatan Sumber Daya Air mempunyai fungsi (Kodoatie, 2002) :
1. Menyiapkan data kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya air.
2. Pelaksanaan pembangunan, peningkatan, rehabilitasi sarana dan
prasarana sumber daya air.
3. Pemantauan dan Evaluasi kelayakan Pemanfaatan Sumber Daya air.
4. Perumusan

kebijakan,

program

dan

pembinaan

pelaksanaan

Pemanfaatan Sumber Daya Air.

2.1.3 Bidang Bina Pengelolaan Sumber Daya Air


Bidang

Bina

Pengelolaan

SDA mempunyai

tugas

melaksanakan perumusan kebijakan, bimbingan teknis, kelembagaan dan


pemberdayaan masyarakat serta evaluasi di bidang pengelolaan sumber daya
air. Dalam menyelenggarakan tugas pokoknya, Bidang Bina Pengelolaan
SDA mempunyai fungsi (Kodoatie, 2002):
1. perumusan kebijakan, program dan pembinaan pelaksanaan pengelolaan
sarana dan prasarana sungai, danau, waduk, embung, irigasi, air baku,
rawa, pantai dan sistem hidrologi;
2. pembinaan dan bantuan teknik kepada kabupaten/kota dalam pelaksanaan
pengelolaan sarana dan prasarana sungai, danau, waduk, embung, irigasi,
air baku, rawa, pantai dan sistem hidrologi;

3. pembinaan dalam rangka pemantauan dan evaluasi kelayakan operasi dan


pemeliharaan sarana dan prasarana sungai, danau, waduk, embung,
irigasi, air baku, rawa, pantai dan sistem hidrologi;
4. penyusunan regulasi/peraturan daerah, dan manual di bidang pengelolaan
sumber daya air;
5. penyiapan rekomendasi teknis perijinan dalam penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air;
6. pemberdayaan dan sosialisasi kepada masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya air.

2.2 Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat


Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air BAB XI tentang Hak, Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat
yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk
berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap
pengelolaan sumber daya air. UU ini juga menetapkan hak masyarakat yang harus
dipenuhi yaitu hak informasi, mendapat manfaat, ganti rugi, keberatan, laporan
dan pengaduan dan hak menggugat ke pengadilan atas pengelolaan sumber daya
air. Dengan demikian jelaslah bahwa masyarakat juga memiliki andil dalam
kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan sumber daya air mulai dari
proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan maupun pelibatan oleh
pemerintah dalam pengambilan kebijakan tersebut (Kodoatie, 2008).
2.2.1. Hak
Dalam pelaksanaan PSDA, masyarakat berhak untuk:
a. Memperoleh informasi yang berkaitan dengan PSDA
b. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya
sebagai akibat pelaksanaan PSDA
c. Memperoleh manfaat atas PSDA

10

d. Menyatakan keberatan terhadap rencana PSDA yang sudah


diumumkan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi
setempat
e. Mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak berwenang atas
kerugia

yang

menimpa

dirinya

yang

berkaitan

dengan

penyelenggaraan PSDA
f. Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah
sumber daya air yang merugiakan kehidupannya.

2.2.2. Kewajiban Dan Peran Pemegang Hak Guna


Dalam menggunakan hak guna air, masyarakat pemegang hak guna
air berkewajiban memperhatikan kepentingan umum yang diwujudkan
melalui perannya dalam konservasi sumber daya air serta perlindungan dan
pengamanan prasarana sumber daya air (Kodoatie, 2008).

2.2.3. Peran Masyarakat


Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan
dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap PSDA
(Kodoatie, 2008).

2.3 Pembiayaan
2.3.1 Uraian Biaya dan Penganggaran
Pembiayaan PSDA ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata PSDA.
Yang dimaksud dengan kebutuhan nyata adalah dana yang dibutuhkan
semata-mata untuk membiayai PSDA agar pelaksanaannya dapat dilakukan
secara wajar untuk menjamin keberlanjutan fungsi sumber daya air. Jenis
pembiayaan PSDA meliputi (Kodoatie, 2008):
a.

Biaya sistem informasi

b.

Biaya perencanaan

11

c.

Biaya pelaksanaan konstruksi. Yang dimaksud dengan biaya


pelaksanaan konstruksi, termasuk didalamnya biaya konservasi
sumber daya air

d.

Biaya operasi, pemeliharaan

e.

Biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat

f.

Setiap jenis pembiayaan dimaksud mencakup tiga aspek PSDA,


yaitu konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air,
dan pengendalian daya rusak air.

Sumber dana untuk setiap jenis pembiayaan dapat berupa :


a. Anggaran pemerintah
b. Anggaran swasta
c. Hasil penerimaan biaya jasa PSDA. Hasil penerimaan biaya jasa
PSDA diperoleh dari para penerima manfaat PSDA, baik untuk
tujuan penggunaan sumber daya air yang wajib membayar.

2.3.2 Yang Membiayai


a. Pembiayaan PSDA dibebankan kepada pemerintah, Pemerintah
Daerah, BUMN/BUMD pengelola sumber daya air, koperasi, badan
usaha lain, dan perseorangan, baik secara sendiri-sendiri maupun
dalam bentuk kerja sama. Badan usaha lain misalnya perseroan
terbatas dan usaha dagang
b. Pembiayaan PSDA yang menjadi tanggungjawab Pemerintah dan
Pemerintah Daerah didasarkan pada kewenangan masing-masing
dalam PSDA
c. Pembiayaan pelaksanaan konstruksi dan operasi dan pemeliharaan
sistem irigasi diatur sebagai berikut :
1. Pembiayaan pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan
sistem irigasi primer dan sekunder menjadi tanggungjawab
Pemerintah

dan

Pemerintah

Daerah

sesuai

dengan

12

kewenangannya dan dapat melibatkan peran serta masyarakat


petani
2. Pembiayaan pelaksanaan konstruksi sistem irigasi tersier
menjadi tanggungjawab petani, dan dapat dibantu Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah, kecuali bangunan sadap, saluran
sepanjang 50 m dari bangunan sadap, dan boks tersier serta
bangunan pelengkap tersier lainnya menjadi tanggungjawab
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
3. Pembiayaan

dan

sistem

irigasi

tersier

menjadi

tanggungjawab petani, dan dapat dibanu Pemerintah dan/atau


Pemerintah Daerah
d. Dalam hal terdapat kepentingan mendesak untuk pendayagunaan
sumber daya air pada WS lintas provinsi, lintas kabupaten/kota, dan
strategis nasional, Pemerintah Daerah yang bersangkutan melalui
pola kerjasama. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan yang dianggap sangat mendesak oleh daerah tetapi
belum menjadi prioritas pada tingkat nasional untuk WS lintas
provinsi dan strategis nasional, atau belum menjadi prioritas pada
tingkat regional untuk WS lintas kabupaten/kota.

2.3.3 Pembiayaan Pengusahaan Oleh Stakeholder, Pembiayaan Sosial Oleh


Pemerintah
a. Pembiayaan PSDA yang ditujukan untuk pengusahaan sumber daya
air yang diselenggarakan oleh koperasi, badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air, badan
usaha lain dan perseorangan ditanggung oleh masing-masing yang
bersangkutan
b. Untuk pelayanan sosial, kesejahteraan, dan keselamatan umum,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam batas-batas tertentu dapat
memberikan bantuan biaya pengelolaan kepada badan usaha milik

13

negara/ badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air. Yang
dimaksud dengan batas-batas tertentu adalah batasan terhadap
lingkup pekerjaan untuk pelayanan sosial , kesejahteraan dan
keselamatan umum yang dapat dibiayai oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah misalnya rehabilitasi tanggul dan sistem
peringatan dini banjir. Sedangkan biaya pemeliharaan rutinnya tetap
menjadi tanggungjawab badan usaha milik negara/ badan usaha
milik daerah pengelola sumber daya air yang bersangkutan.

2.3.4 Pengguna dan Biaya Jasa


a. Penggunaan sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa
PSDA. Biaya jasa PSDA adalah biaya yang ditarik dari para
penerima manfaat untuk melakukan pengelolaan agar sumber daya
air dapat didayagunakan secara berkelanjutan
b. Pengguna sumber daya air selain menanggung biaya jasa PSDA
c. Penentuan besarnya biaya jasa PSDA didasarkan pada perhitungan
ekonomi rasional yang dapat dipertanggungjawabkan. Perhitungan
ekonomi rasional yang dapat dipertanggungjawabkan adalah
perhitungan yang memperhatikan unsur-unsur :
1) Biaya depresiasi investasi
2) Bmortisasi dan bunga investasi
3) Operasi dan pemeliharaan
4) Untuk pengembangan sumber daya air
d. Penentuan nilai satuan biaya jasa PSDA untuk setiap jenis
penggunaan sumber daya air didasarkan pada pertimbangan
kemampuan ekonomi kelompok pengguna dan volume penggunaan
sumber daya air. Yang dimaksud dengan nilai satuan biaya jasa
pengelolaan adalah besarnya biaya jasa pengelolaan untuk setiap
unit pemanfaatan misalnya Rp per kWh dan Rp per m3. Kelompok

14

pengguna misalnya : kelompok pengusaha industri rumah tangga ,


kelompok pengusaha industri pabrikan, dan kelompok pengusaha
air dalam kemasan. Yang dimaksud dengan volume dalam volume
penggunaan sumber daya air adalah jumlah penggunaan sumber
daya air yang dihitung dengan satuan m3, atau satuan luas sumber
air yang digunakan, atau satuan daya yang dihasilkan (kWh).
Tingkat

kemampuan

ekonomi

kelompok

pengguna

perlu

diertimbangkan dalam penentuan satuan biaya jasa pengelolaan


mengingat adanya perbedaan jumlah penghasilan
e. Penentuan nilai satuan biaya jasa PSDA untuk jenis penggunaan
nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional. Yang
dimaksud nonusaha (nonkomersial) adalah kegiatan yang dilakukan
dengan tujuan tidak mencari keuntungan misalnya pertanian rakyat,
rumah tangga, dan tempat ibadah
f. Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang
dipungut dari para pengguna jasa PSDA. Yang dimaksud dana
dalam ayat ini adalah pungutan biaya jasa PSDA
g. Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air
dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan
PSDA pada WS yang bersangkutan.

2.4 Koordinasi
PSDA mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang
memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat
air dan sumber air. PSDA dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan
kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang
sumber daya air (Kodoatie, 2008).

15

2.4.1 Wadah Koordinasi


Koordinasi dilakukan oleh suatu wadah koordinasi yang bernama
dewan sumber daya air atau dengan nama lain. Yang dimaksud dengan nama
lain misalnya panitia tata pengaturan air kabupaten/kota. Wadah koordinasi
mempunyai tugas pokok menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi
PSDA. Wadah koordinasi beranggotakan unsur pemerintah dan unsur non
pemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan.
Yang dimaksud dengan prinsip keterwakilan adalah terwakilinya kepentingan
unsur-unsur yang terkait, misalnya sektor, wilayah, serta kelompok pengguna
dan pengusaha sumber daya air. Kelompok pakar, asosiasi profesi , organisasi
masyarakat dapat dilibatkan sebagai nara sumber. Yang dimaksud dengan
seimbang adalah jumlah anggota yang proporsional antar unsur pemerintah
dan unsur non pemerintah Susunan organisasi dan tata kerja wadah
koordinasi diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden (Kodoatie, 2008).

2.4.2

Kegiatan Koordinasi
Koordinasi pada tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Sumber

Daya Air Nasional yang dibentuk oleh Pemerintah dan pada tingkat provinsi
dilakukan oleh wadah koordinasi dengan nama dewan sumber daya air
provinsi atau dengan nama lain oleh pemerintah kabupaten kota. Untuk
pelaksanaan koordinasi pada tingkat kabupaten/ kota dapat dibentuk wadah
koordinasi dengan nama dewan sumber daya air kabupaten/kota atau dengan
nama lain oleh pemerintah kabupaten kota. Wadah koordinasi pada WS dapat
dibentuk sesuai dengankebutuhan PSDA pada WS yang bersangkutan.
Hubungan kerja antara wadah koordinasi tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota dan WS bersifat konsultatif dan koordinatif. Pedoman
mengenai

pembentukan

wadah

koordinasi

pada

tingkat

provinsi,kabupaten/kota, dan WS diatur lebih lanjut dengan keputusan


menteri yang membidangi sumber daya air (Kodoatie, 2008).

16

2.5 Pembagian Kewenangan dan Pembagian Peran


Pemerintah sebagai enabler dalam PSDA pada prinsipnya mempunyai
tugas-tugas meliputi, pengaturan, pembinaan, pelayanan, pengawasan dan
pengendalian serta pembiayaan. Untuk PSDA dalam ekonomi daerah perlu
adanya pembagian kewenangan antara Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah
(Provinsi dan Kabupaten/Kota). Pembagian kewenangan ini pada hakikatnya
agar masing-masing pemerintah dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara
jelas dan benar (Kodoatie, 2008)..
2.5.1 Desentralisasi
Desentralisasi

pengelolaan

sumberdaya

alam

termasuk

air

dimaksudkan agar sumberdaya tersebuyt dapat lebih berdaya guna. Dengan


keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah beserta PP tahun 25
tahun 2000, maka diharapkan bahwa pelayanan kepada masyarakat lebih dekat
dan lebih prima. Selain itu, otonomi memberi kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk mengatur diri sendi secara mandiri. Namun demikian pengelolaan
sungai sesuai dengan PP No. 35 Tahun 1991, menunjukkan bahwa sebagian
merupakan tugas Pemerintah Pusat dan sebagian tugas pembantuan kepada
Pemerintah Provinsi. Hal tersebut dilakukan agar tidak memberatkan Pemerintah
Daerah terutama dari aspek pengendalian daya rusak aliran air sungai (Kodoatie,
2002).

2.5.1.1 Institusi Pusat dan Daerah


a. Tingkat Nasional
1. Institusi koordinasi
Karena pentingnya sumberdaya air bagia semua
sektor, maka di tingkat Nasional dibentuk Dewan
Sumberdaya Air Nasional (DSDAN), suatu institusi
koordinasi yang anggotanya terdiri dari perwakilan semua
stakeholder dan bertugas menyiapkan kebijakan dan
strategi. Kebijakan yang ada harus bersifat mengikat bagi
semua pelaku sumberdaya air (Kodoatie, 2002).

17

2. Institusi Operasional
Walaupun

desentralisasi

sudah

berjalan,

tetapi

institusi operasional tingkat pusat perlu untuk menangani


pengembangan dan pengelolaan jaringan pengairan lintas
Provinsi derta yang bersifat strategis nasional dan
internasional. Institusi tingkat nasional juga memiliki
kewajiban melakukan pembinaan teknis terhadap institusi
Provinsi dan Kabupaten (Kodoatie, 2002).
b. Tingkat Provinsi
1. Institusi Koordinasi
Institusi tingkat Provinsi perlu untuk menjalankan
kegiatan dengan azas dekonsentrasi di tingkat Provinsi.
Koordinasi harus melibatkan semua stakeholders sejak
perencanaan sampai dengan pemanfaatan (Kodoatie, 2002).
2. Institusi Operasional
Dinas pengairan Provinsi menjadi institusi utama
pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air tingkat
Provinsi dengan tugas dan kewajiban:
a) Menyiapkan produk pengaturan dan perijinan
daerah serta pembinaan teknis terhadap institusi
tingkat Kabupaten.
b) Bertanggung

jawab

pengembangan

dan

pengelolaan jaringan sumberdaya air Provinsi.


c) Melaksanakan tugas dekonsentrasi dari pusat.
d) Membantu

menyelesaikan

masalah

antar

Kabupaten.
c. Tingkat Kabupaten
1. Institusi koordinasi
Mengingat desentralisasi dititikberatkan di tingkat
Kabupaten maka koordinasi disini sangat penting terutama

18

koordinasi dalam pelaksanaan. Koordinasi dilakukan secara


periodik tetapi dengan frekuensi yang lebih sering.
2. Institusi Operasional
Dinas

Pengairan

Kabupaten

baik

yang

sudah

terbentuk maupun yang akan terbentuk, merupakan institusi


operasional

ditingkat

Kabupaten

dengan

tugas

dan

kewajiban:
a) Membuat perencanaan dan pembangunan serta
pengelolaan jaringan pengairan yang berada dalam
satu kabupaten yang bersangkutan.
b) Produk pengaturan daerah dan perijinan serta
pembinaan langsung kepada masyarakat.

19

BAB 3. STUDI KASUS

3.1 Studi Kasus


25 Agustus 2015, 14:57:38| Laporan J. Totok Sumarno

Ikan Mati Massal di Sungai, Gubernur Jatim


Harus Bertanggungjawab
suarasurabaya.net| Setelah Ecoton melakukan investigasi pada
beberapa peristiwa kematian ikan secara massal di berbagai
sungai termasuk di sepanjang DAS Brantas, kemudian
melakukan pelaporan pada berbagai pihak ternyata tidak
di follow

up secara

signifikan.

"Laporan kepada Perum Jasa Tirta I Malang dan Kementerian


Pekerjaan Umum

dan

Perumahan Rakyat

serta Badan

Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur, sudah kami lakukan.


Sayangnya tidak ada perkembangan yang menggembirakan atas
kecelakaan lingkungan yang telah terjadi tersebut," tegas Prigi
Arisandi

Direktur

Excutive

Ecoton.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur serta para pemangku


kepentingan pengelolaan sungai Brantas, tegas Prigi tidak
memiliki kejelasan terkait standar operasional prosedur (SOP)
penanganan

gawat

darurat

ikan

mati

massal.

Meskipun peristiwa ikan mati massal di sungai-sungai adalah


peristiwa jamak di musim kemarau, hingga hari ini pemerintah
masih tidak memiliki program antisipasi dan mitigasi ikan mati

20

massal.

"Akibatnya, tidak bisa ditemukan siapa pelaku utama peristiwa


ikan mati massal tersebut. Dengan kata lain tidak ada yang harus
bertanggungjawab atas peristiwa kematian ikan massal itu,"
tambah Prigi pada suarasurabaya.net, Selasa (25/8/2015).

Untuk itu, Gubernur Jawa timur, sebagai pengelola sungai


sekaligus sebagai perwakilan dari Pemerintah Pusat seharusnya
mampu mengkoordinasikan serta bertanggungjawab terhadap
pengelolaan dan pencemaran yang terjadi di Sungai Brantas.

Terkait dengan kemarau panjang yang bisa saja terjadi, Ecoton


mendesak Gubernur Jawa Timur bersikap waspada dan
mengkoordinasikan seluruh pemangku kepentingan di sepanjang
DAS

Brantas.

"Kalau koordinasi itu tidak terjadi, dan tidak dilakukan dalam


menghadapi kemarau panjang yang bisa saja mulai terjadi maka
kalau ada ikan mati massal di sungai-sungai, itu tanggung jawab
Gubernur Jawa Timur," pungkas Prigi Arisandi.(tok/ipg)

3.2 Deskripsi Kasus


Setelah melakukan pelaporan kepada Perum Jasa Tirta I Malang dan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Badan Lingkungan
Hidup Provinsi Jawa Timur terkait penelitian yang dilakukan oleh Ecoton
mengenai peristiwa kematian ikan secara massal yang terjadi di beberapa sungai
sepanjang DAS Brantas, diketahui bahwa ternyata tidak ada follow up atau solusi
yang signifikan diberikan. Meskipun fenomena kematian ikan massal merupakan
peristiwa jamak yang terjadi di musim kemarau, akan tetapi akan lebih baik

21

apabila diantisipasi dan dilakukan mitigasi ikan mati massal tersebut. Program
dan mitigasi dapat dilakukan apabila dapat diketahui dengan pasti faktor yang
menyebabkan terjadinya masalah kematian ikan massal.

Kewajiban untuk

bertanggung jawab terhadap pengelolaan dan pencemaran yang terjadi di sungan


Brantas yang diduga menyebabkan kematian ikan massal harus segera
dikoordinasikan dengan baik oleh Gubernur Jawa Timur dengan seluruh
pemangku kepentingan di sepanjang DAS Brantas sehingga Provinsi Jawa Timur
dapat melewati musim kemarau yang panjang dengan baik.

3.2 Analisis Kasus


WS Brantas merupakan Wilayah Sungai terbesar kedua di Pulau Jawa. DAS
Brantas terletak di Provinsi Jawa Timur pada 11030 BT sampai 11255 BT dan
701 LS sampai 815 LS. Sungai Brantas mempunyai panjang kurang lebih
sekitar 320 km dengan luas wilayah sungai sebesar 11.988 km2 dan mencakup
kurang lebih sebesar 25% luas Provinsi Jawa Timur atau sekitar 9% luas Pulau
Jawa. Kondisi DAS Brantas banyak mengalami kerusakan dan penurunan fungsi
khususnya di sub DAS Brantas Hulu bahkan menjadi salah satu dari empat sub
DAS yang telah ditetapkan sebagai target area untuk pelaksanaan Rencana Induk
Konservasi DAS yang telah dihasilkan dari Studi Water Resource Existing
Facilities Rehabilitation and Capacity Improvement Project (WREFR & CIP) yang
disusun pada tahun 2005.

3.2.1 Faktor Penyebab terjadinya kematian ikan massal


Kejadian kematian ikan secara massal di berbagai sungai sepanjang
DAS Brantas merupakan kejadian jamak yang terjadi di musim kemarau.
Faktor yang menyebabkan peristiwa tersebut meliputi adanya fenomena alam
yang terjadi maupun faktor man made (ulah manusia).
a. Faktor fenomena alam

22

Peristiwa kematian ikan secara massal merupakan peristiwa


jamak yang sering terjadi di musim kemarau. Keadaan musim
kemarau inilah yang menyebabkan terajdinya fenomena alam pada
perairan sungai di sepanjang DAS Brantas. Fenomena alam yang
terjadi dan dapat menyebabkan kematian ikan secara massal
adalah peristiwa kenaikan massa air atau upwelling. Upwelling
adalah penaikan massa air dari dalam ke lapisan permukaan.
Gerakan naik ini akan membawa serta air yang mempunyai
densitas lebi rendah, salinitas tinggi, dan kaya akan zat-zat tertentu
ke permukaan (Nontji, 1993).
Peristiwa upwelling pada musim kemarau terjadi karena pada
malam hari di puncak musim kemarau, suhu udara sangat dingin
sehingga lapisan air di permukaan menjadi cepat dingin dibanding
lapisan bawah yang masih panas. Karena suhu permukaan air
rendah, densitas airnya menjadi tinggi sedangkan air lapisan
bawah karena suhunya tinggi memiliki densitas yang rendah
sehingga bisa terjadi pembalikan. Dengan adanya fenomena
kenaikan air tersebut, diduga zat-zat tercemar yang berbahaya dan
beracun di dasar perairan das Brantas ikut naik ke permukaan
(Makmur, 2003).
Dari fenomena upwelling yang terjadi, diduga ada dua
kemungkinan yang menyebabkan kematian ikan secara massal.
Kemungkinan yang pertama adalah apabila zat-zat yang berbahaya
dan beracun terangkat ke permukaan, maka akan mematikan ikan
secara masal. Sedangkan kemungkinan kedua adalah dengan
adanya proses naiknya zat-zat yang ada di dasar perairan,
dimungkinkan bahwa apabila zat-zat yang turut naik merupakan
zat nutrien seperti pospat dan silikat akan menyebabkan
produktifitas fitoplankton meningkat hingga dalam jumlah yang
berlebihan atau terjadi booming fitoplankton. Fitoplankton
merupakan organisme hidup di perairan dan merupakan produsen

23

primer pada suatu rantai makanan dalam ekosistem perairan.


Keberadaan fitoplankton tidak berbahaya selama pertumbuhannya
normal. Akan tetapi peningkatan populasi fitoplankton yang
sangat tinggi dan berlebihan akan berakibat pada kematian massal
ikan diakibatkan adanya penurunan kandungan oksigen terlarut
dalam perairan sungai di DAS Brantas tersebut. Kandungan
oksigen terlarut akan berjumlah sangat sedikit ketika malam hari
karena fitoplankton tidak melakukan fotosintesis namun proses
respirasinya tetap berlangsung sehingga tetap membutuhkan
jumlah oksigen yang banyak. Pada saat fitoplankton mati dan
mengalami proses dekomposisi pun juga membutuhkan banyak
oksigen (Utomo, 2015).

b. Man Made (ulah manusia)


Secara tidak langsung ulah manusia menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya kematian ikan secara massal di berbagai
sungai sepanjang DAS Brantas. Aktivitas penduduk di sepanjang
aliran Sungai Brantas baik secara langsung atau tidak langsung
akan mempengaruhi kondisi kualitas air Sungai Brantas Aktivitas
manusia di daerah pengaliran sungai sangat mempengaruhi
ekosistem sungai, dan juga dapat mengakibatkan perubahan
keberadaan organisme akuatik di perairan termasuk komunitas
diatom perifiton. Berdasarkan pemantauan PJT I menunjukkan
sebagian besar wilayah kualitas air Brantas jauh di bawah standar
peruntukannya, menurut klasifikasi mutu air ditetapkan sebagai
kelas II. Sungai kelas II adalah sungai untuk prasarana atau sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk
mengairi pertanaman dan tidak direkomendasikan untuk bahan
baku air minum. ). Kondisi Daerah Aliran Sungai Brantas di
Wilayah Sungai Brantas yang telah mengalami kerusakan dan

24

penurunan fungsi telah banyak dijumpai. Aliran Sungai Brantas


mengalami penurunan kualitas yang cukup signifikan.
Berbagai aktivitas manusia di sepanjang sungai yang
menyebabkan terjadinya menurunnya kualitas air di DAS Brantas
antara lain adalah penambangan pasir yang berlebihan di Wilayah
Sungai Brantas mengakibatkan terjadinya degradasi dasar 2 sungai
(Perum Jasa Tirta 1, 2005). Selain penambangan pasir yang
berlebihan, pembuangan limbah akibat berbagai aktivitas turut
berkontribusi terhadap penurunan kualitas air di DAS Brantas.
Berbagai aktivitas manusia yang diduga kuat berkontribusi
terhadap terjadinya pencemaran di DAS Brantas adalah aktivitas
industri. Cemaran limbah industri diduga berasal dari pabrik
minyak, perusahaan kertas, perusahaan sabun deterjen dan
perusahaan industri lainnya yang berada di sekitar kawasan daerah
DAS Brantas (Rizki, 2013). Setidaknya tercatat ada 20 pabrik
yang berdiri di sepanjang sungai-sungai di kawasan DAS Brantas
Hulu. Selain kegiatan industri, aktivitas manusia yang turut andil
dalam pencemaran air DAS Brantas adalah aktivitas penggunaan
sungai sebagai tempat MCK dan pembuangan limbah rumah
tangga (Yetti et. al, 2011).
Kedua faktor penyebab yaitu fenomena alam dan ulah manusi saling
berkaitan satu sama lain sehingga menyebabkan terjadinya kematian ikan
secara massal di beberapa sungai sepanjang DAS Brantas. Ulah manusia yang
menyebabkan terjadinya pencemaran air di beberapa sungai DAS Brantas dan
terjadinya penurunan kualitas air diperburuk dengan keadaan musim kemarau
yang mendorong terjadinya upwelling yang mengakibatkan zat-zat polutan
yang mengendap didasar perairan naik ke permukaan perairan sungai.

25

3.2.2 Akibat Peristiwa Kematian Ikan Secara Massal


Beberapa akibat merugikan yang terjadi karena kematian ikan secara
massal, antara lain:
a. Kerugian ekonomi bagi masyarakat. Adanya penurunan hasil
tangkapan ikan dari sungai wilayah DAS Brantas yang akan
berpengaruh terhadap pendapatan dari warga yang bergantung
pada hasil tangkapan ikan.
b. Keanekaragaman hewani perairan yang berkurang. Kualitas air
sungai daerah DAS Brantas yang buruk akan membawa dampak
ekologis terhadap keberadaan spesies-spesies ikan lokal. Bahkan
penurunan spesies ikan di daerah DAS Brantas sudah terjadi mulai
tahun 2013, dimana hanya ditemukan 7 spesies ikan di hilir sungai
Brantas padahan di tahun sebelumnya terdapat 11 spesies
Wihardandi, 2013).
c. Berpotensi menurunkan status kesehatan masyarakat. Kualitas air
di sungai DAS Brantas yang buruk dapat berpotensi untuk
menyebabkan status kesehatan masyarakat menurun terutama pada
masyarakat sekitar sungai DAS Brantas yang memanfaatkan air
sungai DAS Brantas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
(Wihardandi, 2013).
Agar berbagai akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa kematian ikan
secara massal di DAS Brantas dapat teratasi dan tidak terulangm, maka harus
dilakukan pengelolaan air DAS Brantas yang berada di bawah wewenang
Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

3.2.3 Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Provinsi Jawa Timur


Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki wewenang dan tanggung
jawab akan pengelolaan DAS Brantas. Beradasrkan PP No. 42 Tahun 2008
diketahui bahwa dalam membuat rancangan pola pengelolaan sumber daya air

26

lintas Provinsi dibuat dengan melibatkan bupati/walikota yang terkait dengan


wilayah sungai yang bersangkutan. Dalam hal ini, pola pengelolaan DAS Brantas
dapat dilakukan dengan cara bekerja sama antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota dalam pemeliharaan prasarana sumber daya air. Kerja
sama yang dapat dilakukan dalam penyelenggaraan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
Mengacu pada PP No. 37 Tahun 2012 tentang pengelolaan DAS,
wajar adanya apabila Pengelolaan DAS Brantas dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Timur. Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur tidak boleh
membiarkan fungsi DAS berubah menjadi semakin buruk dari waktu ke waktu.
Apalagi perubahan itu ada kepentingan mencari keuntungan segelintir oknum,
pribadi dan golongan tertentu. Misalkan saja, membiarkan terjadinya pengrusakan
daerah hulu dan hilir sungai akibat pembiaran oleh pejabat di instansi terkait
terhadap praktek-praktek yang tidak bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
ekosistem perairan. Kepala Daerah harus menjamin keberlangsungan daya
dukung sungai untuk dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Mengenai studi kasus tersebut, seharusnya Pemerintah melakukan
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air untuk memperbaiki
kualitas air di sungai DAS Brantas dan menghindari terjadinya peristiwa kematian
ikan secara massal. Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001, Pemerintah Provinsi
memiliki tanggung jawab untuk mengelola kualitas air dan melakukan
pengendalian

pencemaran

air.

Pemerintah

Propinsi

bertugas

untuk

mengkoordinasikan pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air lintas


Kabupaten/Kota. Dimana dalam PP tersebut dituliskan bahwa pemantauan
kualitas air setidaknya dilakukan 6 bulan sekali. Untuk melakukan pemantauan
kualitas air, perlu ditetapkan mutu air sasaran dimana Gubernur menunjuk
laboratoriun lingkungan yang telah diakreditasi untuk melakukan analisis mutu air
dan mutu air limbah. Apabila hasilnya menunjukkan bahwa status mutu air dalam
daerah tersebut menunjukkan kondisi cemar maka maka upaya penanggulangan
pencemaran dan pemulihan kualitas air harus segera dilakukan. Dalam studi kasus
ini, selain penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air, Pemerintah

27

Provinsi juga diharuskan melakukan pembinaan untuk meningkatkan ketaatan


penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air. Tata aturan pembinaan dan pengawasan kualitas air
yang dibuat oleh Provinsi harus diterapkan oleh masing-masing Kabupaten/Kota
dalam bentuk program yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi namun tiap
kabupaten/ Kota dapat memiliki program yang berbeda karena adanya kebebasan
pengelolaan sumber daya air tersebut dalam wilayah kabupaten/Kota tertentu.
Namun apabila diambil wilayah DAS secara

provinsi, maka program yang

direncanakan oleh Kabupaten/Kota harus dibawah koordinasi oleh Pemprov dan


mengusung tema One River, One Plan, One Management. Sehingga pengelolaan
tersebu harus memiliki suatu keterpaduan antara daerah hulu-tengah-hilir dalam
penangannya (menjadi satu kesatuan fungsional). Meski pengelolaan SDA lintas
kabupaten/kota diserahkan kepada kabupaten/kota masing-masing, Gubernur tetap
harus

melakukan

pengawasan

terhadap

penataan

pesyaratan

perizinan

pembuangan air limbah yang diberikan Bupati/walikota, evaluasi laporan


pengelolaan air limbah oleh pennaggung jawab usaha dan evaluasi hasil
pemantauan mutu air pada sumber air dan mutu air limbah pada sumber
pencemar. Pengawasan tersebut dilakukan oleh Kepala BAPEDAL bekerja sama
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota yang kemudian menunjuk Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Timur.
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dilakukan
dengan melibatkan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas, DPU Pengairan,
Dinas/instansi terkait, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Perum Jasa Tirta I.
Pembagian tugas antara BBWS Brantas, Perum Jasa Tirta 1 dan Pemerintah
Provinsi antara lain:
Tabel 1 Pembagian tugas antara BBWS Brantas, PJT 1, dan PemProv Jatim

BBWS

PJT 1
SebagaiRegulator,Developerd
an Operator

Mengelola sungai diseluruh


WS Brantas (perencanaan,
pelaksanaan konstruksi dan
O& P)

Pemeliharaan
korektif

Sebagai operator
Mengoperasikan
insfrastruktur di wilayah
40 sungai di DAS
Brantas
Pemeliharaan preventive
(pemeliharaan darurat,

PemProv

Melaksanakan
perencanaan
pengembangan
institusi dan
evaluasi
pengelolaan
sungai untuk
sungai-sungai

28

(Perbaikan besar, rehabilitasi,


penambahan kapasitas dan
perbaikan khusus)
Menyiapkan
rekomendasi
teknis untuk diusulkan kepada
pihak berwenang

berkala, perawatan rutin


dan distribusi air baku)

Memberikan
pertimbangan atas
rekomtek yang disiapkan
oleh BBWS Brantas.

yang masuk
dalam
kewenangan
propinsi.
Monitoring dan
evaluasi
pengelolaan
sungai-sungai
dalam
kewenangan
propinsi.

3.2.4 Strategi Pencegahan dan Penyelesaian


Penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan beberapa langkah.
Salah satu langkah yang digunakan adalah melakukan konservasi SDA.
Konservasi SDA berkaitan dengan pengelolaan DAS Brantas dilakukan
dengan beberapa strategi, antara lain:
a. Pelarangan segala macam kegiatan budidaya disekitar lokasi
sumber air khususnya sub DAS Brantas Hulu.
b. Pengendalian dan penanganan limbah khusunya daerah sub DAS
Brantas hilir
Langkah penyelesaian selain konservasi SDA adalah dengan
melakukan pendayagunaan SDA dan Pengendalian daya rusak air.
Pengendalian daya rusak air dilakukan dengan cara perbaikan dan
pemeliharaan sungai secara berkesinambungan terutama sub DAS Brantas
Hilir, penegakan hukum dan penertiban penambangan pasir dan berbagai
kegiatan pembuangan limbah oleh industri-industri khususnya daerah sub
DAS Brantas Tengah dan Hilir.

3.2.5 Saran Usaha Penyelesaian Alternatif


Setiap orang atau seluruh masyarakat memiliki kewajiban untuk
berperan serta dalam menjaga pelestarian kualitas air pada sumber-sumber air

29

dan mengendalikan pencemaran air pada sumber air. Usaha penyelesaian


alternatif yang mudah, murah, dan cepat dilakukan adalah dengan melakukan
metode biolitik. Biotilik atau biomonitoring sendiri adalah metode
pemantauan kesehatan sungai dengan menggunakan indikator makro
invertebrata (hewan tidak bertulang belakang) seperti bentos, capung, udang,
siput, dan cacing. Hasil pemantauan Biotilik dapat memberikan petunjuk
adanya gangguan lingkungan pada ekosistem sungai, sehingga dapat
dirumuskan upaya penanggulangan yang dibutuhkan.
Menurut Prigi Arisandi dari Ecoton dan Ketua BT Telapak-Jabagtim,
Biotilik

merupakan metode

yang mudah

digunakan karena

hanya

memerlukan pengambilan sampel biota di dasar, tepian sungai atau yang


menempel di bebatuan atau substrat. Biota yang ditemukan tinggal
dicocokkan dengan biota yang tertera dalam gambar panduan yang terdapat di
dalam modul.
Untuk selanjutnya, biota yang didapat dikelompokkan menjadi biota
yang tidak toleran (sensitif) terhadap pencemaran dan biota yang toleran
(tidak sensitif) terhadap pencemaran.
Keberadaan biota yang sensitif dengan pencemaran mengindikasikan
bahwa kondisi suatu sungai masih tetap bagus kualitasnya (tidak tercemar),
seperti larva kunang-kunang atau larva capung. Sedangkan biota yang tidak
sensitif terhadap pencemaran mencirikan bahwa sungai telah sakit dan
tercemar, diantara biota ini adalah cacing tanah (cacing darah) dan cuncum.
Dibandingkan dengan metode konvensional yang ada, dengan
metode Biotilik untuk mengetahui kualitas air di suatu lokasi, hasilnya dapat
diketahui paling lama 1 jam, padahal dengan metode fisika kimia seperti
BOD dan COD, dibutuhkan waktu minimal lima hari untuk pengujian
laboratorium.
Keuntungan dari metode biolitik ini adalah masyarakat dapat turut
berperan membantu dalam pengelolaan SDA. Sehingga masyarakat tidak
hanya menunggu dan pasrah terhadap usaha yang dilakukan oleh Pemerintah
dan Instansi terkait lainnya. Setelah dilakukan metode biolotik air,

30

masyarakat juga diharapkan juga melakukan pemulihan kerusakan daerah


aliran sungai

sesuai dengan hasil dari metode biolitik yang dillakukan.

Masyarakat dapat melakukan pemulihan kerusakan DAS dengan cara


sederhana seperti menghentikan perilaku diri sendiri atau orang sekitar yang
menimbulkan kualitas air menurun seperti aktivitas MCK di sungai,
pembuangan limbah rumah tangga ke sungai dan lain-lain.

3.3 Kewenangan Tiap Wilayah dalam Penyelesaian Masalah


Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, dalam penyelesaian masalah
kematian ikan secara masal pun diberikan kebebasan pada masing-masing daerah
untuk mengambil tindakan dengan membuat program dan kegiatan sesuai dengan
kebijakan masing-masing daerah. Pemerintah Provinsi Jawa Timur hanya sebagai
pembina dan pengawas bagi program yang sudai dibuat oleh masing-masing
daerah. Sesuai dengan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/ 237
/KPTS/013/2012,

walaupun

ada

kebebasan

kewenangan

pada

daerah

kabupaten/kota, tetapi harus disertai dengan adanya keterpaduan pengelolaan


dalam upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan
pengendalian pengelolaan sumber daya Daerah Aliran Sungai (DAS) lintas para
pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik,
ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS) secara terpadu.
Tindakan yang dilakukan untuk penyelesaian atas permasalahan tersebut
salah satunya adalah dengan sistem pemantauan. Dalam rangka pengendalian
pencemaran, perlu dilakukan pemantauan kualitas air secara berkesinambungan,
sehingga dari hasil pemantauan tersebut akan menghasilkan informasi kualitas air
sungai Brantas dan sumber-sumber pencemar secara menyeluruh. Hasil
pemantauan kualitas air di WS Brantas dilaporkan secara rutin (triwulanan dan
tahunan) kepada Gubernur, BAPEDALDA Propinsi Jawa Timur, BAPEDALDA
Kabupaten dan Kota, dan Dinas/Instansi terkait. Sedangkan untuk PDAM
Surabaya dan PDAM Tawangsari dilaporkan periodik bulanan.

31

3.4 Kewenangan lintas Wilayah dalam Penyelesaian Masalah


Kewenangan lintas Wilayah dalam pengelolaan DAS Brantas terkait faktor
penyebab kematian ikan secara massal dilakukan agar upaya yang dilakukan
berjalan secara optimal dan dapat memperbaiki keadaan DAS Brantas. Salah satu
bentuknya adalah dengan diadakannya ESP (Environment Services Program)
Jatim. ESP jatim memiliki tekad untuk memperbaiki keadaan hulu dari DAS
Brantas. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, ESP Jawa Timur menawarkan
fasilitasi manajemen DAS dan konservasi keanekaragaman hayati kepada para
pemangku kepentingan melalui empat program utama yaitu: (1) Pengembangan
rencana manajemen DAS; (2) Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan; (3)
Pengembangan manajemen konservasi wilayah lindung dan hutan; dan (4)
Pengembangan dukungan kebijakan manajemen DAS. Pendekatan ESP ini dipilih
karena dalam proses pengelolaan DAS Brantas, kondisi hidrologi DAS
merupakan isu utama. Pelaksanaan kegiatan ESP diharapkan dapat memberikan
pemahaman dan cara pandang baru bagi para pihak terhadap kondisi dan
pengelolaan DAS Brantas. Strategi ESP Jatim adalah berkonsentrasi pada
penguatan hubungan kerja antara para pihak dengan ESP, analisis kebutuhan para
pihak dan pengembangan rencana aksi. ESP memfasilitasi pelaksanaan rencana
pengelolaan DAS terpadu oleh para pihak tersebut.
Contoh bukti nyata adanya kewenangan lintas sektor berupa telah dilakukan
Deklarasi Bersama 16 Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota se-wilayah
DAS Brantas. Deklarasi Bersama dilaksanakan dalam rangka pengelolaan
lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas dan menindaklanjuti Audit
Badan Pemeriksa Keuangan RI. Deklarasi Bersama sebagai pernyataan sikap
dalam

peningkatan

kinerjaguna

menyeimbangkan

fungsi

ekologis

dan

pembangunan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan hidup secara berkelanjutan.


Rencana aksi dalam peningkatan pengelolaan DAS Brantas secara garis besar
adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan DAS Brantas berdasarkan Rencana Pengelolaan DAS yang telah

32

ada berbasis ekologis dengan menetapkan daya tampung beban pencemar DAS
Brantas.
2. Pelaksanaan pengendalian pencemaran air melalui instrumen Izin Pengolahan
Air Limbah (IPAL).
3. Pelaksanaan pengendalian air limbah melalui pengawasan, dan pembinaan.
4. Pelaksanaan pengelolaan dan upaya pengendalian pencemaran air limbah
domestik.
5. Pengalokasian pendanaan.
6. Peningkatan kapasitas SDM.
7. Sinergi program lain dalam rangka pengelolaan DAS Brantas.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur dalam Sambutannya menyampaikan
bahwa Kali Brantas mempunyai peran yang cukup besar dalam menunjang Jawa
Timur sebagai lumbung pangan nasional yang member kontribusi lebih besar dari
30% stok pangan Nasional. Pengembangan Wilayah Sungai Kali Brantas
dilakukan

dengan

pendekatan

yang

terencana,

terpadu,

menyeluruh,

berkesinambungan dan berwawasan lingkungan serta dengan sistem pengelolaan


yang terpadu dengan berlandaskan pengertian bahwa basin itu merupakan satu
kesatuan wilayah (One River, One Plan, One Integrated Management).
Deputi

Pengendalian

Pencemaran

Lingkungan

dalam

paparannya

menyampaikan status mutu air Sungai Brantas dalam kondisi Cemar Berat
mulaidari Hulu, Tengah sampaiHilir sehingga di dalam Grand Desain
Pengendalian Pencemaran Air DAS Brantas ditetapkan target mutu air sasaran
Kelas 2 pada periode waktu 2015-2019, selanjutnya pada periode waktu 20202024 ditetapkan target mutu air sasaran Kelas 1.
3.5 Peran PJT 1 Malang
PJT I Malang telah melakukan Program Pembayaran Jasa Lingkungan
dalam upaya pengembangan hubungan hulu hilir bekerja sama dengan Yayasan
Pengembangan Pedesaan. Pemanfaatan air non komersial di kawasan hulu DAS
Brantas digunakan untuk pertanian yang berada di bawah pengelolaan Tahura
Suryo. Pengusaha pertanian yang menggunakan sumber mata air melalui pipa-

33

pipia paralon dan tendon-tandon antara lain : pengusaha bunga, pengusaha jamur
dan pengusaha peternakan ayam. Penghijauan dan reboisasi yang dilakukan oleh
para pengusaha disekitar kawasannya bekerjasama dengan instansi kehutanan dan
LSM Lingkungan ESP USAID dalam rangka melestarikan kawasan disekitar
sumber mata air. Sedangkan pemanfaatan air oleh masyarakat / petani dikawasan
hulu DAS Brantas dibawah pengelolaan TNBTS terutama untuk petani sayuran
dan kebutuhan untuk air minum dan MCK. Pemanfaatan lahan ini untuk pertanian
tidak lepas dari konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola kawasan,
karena topografi lokasi sangat rentan akan erosi. Sehingga diperlukan kesepakan
untuk kepentingan masing-masing dimana masyarakat membutuhkan sumber
mata air dan pengelola perlu kelestarian lahan. Kesepakatan dilakukan melalui
kegiatan penanaman jalur hijau ( green belt ) (Dinas Kehutanan Jatim, 2006)

34

BAB 4. KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
a. Faktor penyebab terjadinya kematian ikan secara massal di beberapa
sungai DAS Brantas disebabkan oleh ulah manusia dan fenomena alam
yang saling berkaitan satu sama lain.
b. Peristiwa kematian ikan secara masal menyebabkan perekonomian
masyarakat penangkap ikan menurun, terjadinya penurunan status
kesehatan masyarakat, dan spesies hewan perairan yang berkurang.
c. Wewenang Pemprov Jatim adalah untuk melakukan koordinasi lintas
Kabupaten/Kota

dan

pemantauan

kualitas

air

dan

pengendalian

pencemaran air di DAS Brantas dengan pembagian peran bersama Perum


Jasa Tirta 1 dan BBWS.
d. Strategi pencegahan dan penyelesaian dilakukan dengan Konservasi SDA
pada DAS Brantas yang meliputi beberapa kegiatan.
e. Saran usaha Penyelesaian alternatif yang dapat dilakukan masyarakat
adalah dengan melakukan metode biolitik dan pemulihan kualitas DAS
secara sederhana.
4.2 Saran
a. Bagi Pembaca diharapkan membaca lebih banyak sumber baik buku,
website, jurnal atau media informasi lainnya terkait PSDA era otonomi
daerah khususnya kawasan DAS Brantas untuk mengembangkan studi
literatur yang telah dilakukan.

35

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/ 237 /KPTS/013/2012.


Kodoatie, Robert J. Et., al. 2002. Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Otonomi
Daerah Ed. I. Yogyakarta: ANDI.
Kodoatie, Robert J & Roestam, Sjarief. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air
Terpadu. Yogyakarta: ANDI.
Makmur, Murdahayu. Tt. Pengaruh Upwelling terhadap Ledakan Alga (Blooming
Algae) di Lingkungan Perairan Laut. ISSN 1410-6086 dalam jurnal
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengolahan Limbah VI [Online].
Tersedia: http://www.iaea.org. [diakses pada 21 November 2016].
Nurkin, Baharuddin. 2005. Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Makasar: Universitas Hasanuddin.
Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2008.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2001.
Rizki, P. (2013, November 15). Mongabay.co.id. Dipetik November 21, 2016,
dari Mongabay.co.id: Mongabay.co.id.htm
Samidjo, Jacobus. 2014. Pengelolaan Sumber Daya Air. Semarang: FPIPS IKIP
Veteran [jurnal].
Sumarno, J. T. (2015, August 25). Suara Surabaya. Dipetik November 21, 2016,
dari
Suara
Surabaya:
Welcome%20to%20Mobile%20Suarasurabaya%20Dot%20Net.htm
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air.
Utomo, T. (2015, December 22). Kompasiana. Dipetik November 21, 2016, dari
KOmpasiana: http://www.kompasiana.com/lhapiye/kematian-ikan-secaramassal-inilah-penyebabnya_5678064acd92739609dc2df6
Wihardandi, A. (2013, September 9). Mongabay.co.id. Dipetik November 21,
2016, dari Mongabay.co.id: Mongabay.co.id.htm
Yetti, Elvi. Dedi Soedharma. Sigid Haryadi. 2011. Evaluasi Kualitas Air SungaiSungai di Kawasan DAS Brantas Hulu Malang dalam Kaitannya dengan
Tata Guna Lahan dan Aktivitas Masyarakat di Sekitarnya. Dalam jurnal
JPSL
Vol.
(1)
:
10-15,
Juli
2011
[Online].
tersedia:
http://download.portalgaruda.org. [diakses pada 21 Novemver 2016]

36

Anda mungkin juga menyukai