Anda di halaman 1dari 25

BAB 3

METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Objek

penelitian

yang

terdapat

di

lapangan

adalah

berupa

singkapan-singkapan batuan biasanya ditemukan di tepi sungai, dasar


sungai, tebing, dan tepi jalan. Singkapan tersebut kemudian dideskripsi
sifat-sifat batuannya serta jurus dan kemiringan perlapisan batuan, selain
itu dilakukan pengambilan sampel untuk penelitian lebih lanjut.
Secara rinci objek dalam pemetaan geologi ini adalah sebagai
berikut:
1. Unsur-unsur geomorfologi, yaitu dengan menganalisis morfologi
yang meliputi pola kontur, bentuk bukit, elevasi, sudut lereng, pola
pengaliran, dan tahapan kedewasaan sungai.
2. Batuan, terutama meliputi seluruh jenis singkapan batuan segar
yang

ditemukan

di

daerah

pemetaan,

yang

kemudian

akan

dikelompokkan menjadi satuan-satuan batuan bernama berdasarkan


tata nama tidak resmi.
3. Unsur struktur sedimen, yang dapat digunakan untuk menentukan
lingkungan pengendapan masing-masing satuan batuan.
4. Unsur struktur geologi, yang dapat digunakan untuk menentukan
jenis serta pola struktur geologi yang berkembang di daerah
pemetaan.
5. Sumberdaya geologi berupa bahan galian dan kebencanaan geologi
di daerah penelitian.
3.1.1 Alat yang Digunakan
3.1.1.1 Peralatan Lapangan
Alat-alat

yang

digunakan

selama

melakukan

pemetaan

dan

penelitian di lapangan antara lain:


LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3-1

1. Peta topografi seri rupa muka bumi yang dikeluarkan Badan


Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional dengan interval kontur
12,5 meter.
2. Kompas geologi, untuk mengambil sampel batuan.
3. Palu geologi, meliputi palu batuan beku dan palu batuan sedimen,
yang digunakan untuk mengambil sampel.
4. GPS (Global Positioning System), untuk mengetahui posisi di
lapangan.
5. Loupe, dengan perbesaran 10x dan 20x, yang digunakan untuk
memperbesar objek agar lebih mudah diamati dan diteliti, seperti
mineral, butiran, fosil, dll.
6. Komparator batuan (batuan beku dan batuan sedimen), untuk
membantu pemberian nama batuan, dengan cara membandingkan
contoh batuan dan mineral dengan yang terdapat pada komparator.
7. HCl (asam klorida) 0,1 N, digunakan untuk menguji kandungan
karbonat dari contoh batuan yang diamati (terutama batuan
sedimen).
8. Pita atau tali ukur (5 m dan 50 m), untuk mengukur jarak antar
lokasi pengamatan.
9. Clip Board, untuk mempermudah pencatatan data di lapangan atau
sebagai alas kompas geologi pada saat melakukan pengukuran
unsur struktur pada bidang lapisan batuan yang tidak rata.
10.

Kamera,

untuk

mengambil

gambar

singkapan

dan

kenampakan geomorfologi.
11.

Kantong sampel, sebagai tempat contoh batuan.

12.

Buku catatan lapangan, yang dilapisi sampul tahan air untuk

mencatat segala data dilapangan.


13.

Alat-alat tulis, diantaranya:


a. Pensil, untuk mensketsa atau mencatat.
b. Pensil warna, untuk memperjelas simbol litologi pada buku
catatan lapangan maupun pada peta.
c. Penghapus, untuk menghapus pensil atau pensil warna.

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3-2

d. Mistar panjang dan segitiga, untuk membantu pengeplotan


posisi di peta dan untuk mengukur jarak di peta.
e. Busur derajat, untuk mengukur besarnya arah (azimuth) pada
peta
f. Spidol tahan air (Water Proof), untuk menulis nomor contoh
batuan dan keterangan lainnya pada kantong sample batuan.
14.

Tas lapangan/ransel, untuk membawa peralatan geologi dan

perlengkapan lapangan.

Gambar 3.1 Peralatan Lapangan Geologi

3.1.1.2 Peralatan Pekerjaan Laboratorium


Beberapa peralatan yang digunakan dalam tahap pekerjaan laboratorium
adalah:
1. Mikroskop

binokuler

dan

kelengkapannya,

untuk

analisis

mikropalentologi.
2. Mikroskop polarisasi, untuk melakukan analisis sayatan batuan.
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3-3

3. Alat-alat penunjang lainnya, seperti tabel klasifikasi batuan, lembar


pendeskripsian untuk analisis petrografis, alat-alat tulis, alat-alat
gambar dan yang lainnya.
3.1.2 Langkah-langkah Penelitian
Pemetaan geologi lanjut ini secara garis besar terbagi kedalam lima
tahapan yaitu:
1. Tahap persiapan.
2. Tahap pekerjaan lapangan.
3. Tahap penelitian laboratorium.
4. Tahap analisis data.
5. Tahap penyusunan laporan.
3.1.2.1 Tahap Persiapan
Tahap ini merupakan tahap yang penting, mengingat segala sesuatu
yang sekiranya diperlukan harus dipersiapkan sebaik-baiknya sebelum
melakukan pekerjaan lapangan.
Pada tahapan ini pekerjaan yang dilakukan meliputi:
1) Pembuatan peta dasar
Peta dasar yang dibuat adalah peta topografi daerah penelitian
dengan skala 1 : 25.000. Yang kegunaannya untuk mengenali
lokasi dan tiap titik stasiun yang diambil di lapangan.
2) Studi literatur
Studi literatur ini dilakukan untuk memperoleh gambaran umum
keadaan geologi sehingga dari gambaran tersebut penulis dapat
dengan lebih spesifik lagi menyiapkan segala keperluan yang akan
dipergunakan. Studi literatur meliputi: geologi regional daerah
penelitian, morfologi regional daerah penelitian.
3)

Interpretasi peta topografi & foto udara


Interpretasi ini dimaksudkan untuk mengefisienkan pekerjaan di
lapangan. Dengan interpretasi peta topografi dapat diketahui
perkiraan lokasi singkapan, pola aliran, pola perlapisan batuan,
serta struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian.
4) Persiapan peralatan lapangan
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3-4

Merupakan persiapan yang bersifat teknis yang berhubungan


dengan segala sarana peralatan kebutuhan di lapangan.

Gambar 3.2 Diagram Alur Tahapan Penelitian

3.1.2.2 Tahap Pekerjaan Lapangan


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
orientasi lapangan dan didukung dengan penggunaan GPS (Global
Positioning System). Metode orientasi lapangan dilakukan dengan menarik
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3-5

garis-garis terarah dari titik pengamatan terhadap suatu objek yang jelas
dan dapat dikenali di peta atau dengan mengamati serta mencocokkan
bentang alam disekitar titik pengamatan, misalnya garis ketinggian,
sungai, jembatan, gunung dan lain-lain. GPS lebih ditekankan pada
plotting setiap stasiun yang ada di lapangan untuk di plot di peta dasar.
Pengamatan terhadap singkapan batuan meliputi jenis, karakteristik
fisik secara megaskopis, pengukuran arah dan kemiringan perlapisan,
ketebalan lapisan serta struktur sedimen, sehingga dapat dikelompokkan
menjadi satuan-satuan batuan.
Hal-hal yang dilakukan di lapangan untuk mendapatkan seluruh
data yang ditemukan ialah:
1) Pengamatan keadaan lapangan secara umum (berkaitan dengan
analisa morfologi lapangan).
2) Pengamatan, pengukuran seluruh parameter yang tersingkap pada
suatu singkapan (mulai dari strike-dip sampai pemerian batuan).
3) Pengamatan dan pengukuran unsur-unsur struktur geologi jika
ditemukan

(meliputi

struktur geologi di

pengukuran

data-data

yang

menyangkut

lapangan).

4) Pengambilan contoh batuan secara sistematis.


5) Penggambaran sketsa dan pengambilan foto lapangan.
3.1.2.3 Tahap Penelitian Laboratorium
3.1.2.3.1 Analisis Mikropaleontolologi
Dalam analisis ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi fosil-fosil
yang ditemukan di dalam suatu sampel batuan. Dari data tersebut dapat
digunakan untuk mendukung stratigrafi daerah pemetaan baik untuk
menentukan umur maupun lingkungan pengendapan dari satuan batuan.
Analisis fosil ini dilakukan setelah pekerjaan lapangan selesai.
Langkah-langkah analisis fosil sebagai berikut:
Percontoh dihaluskan dengan penumbuk,
1) Percontoh batuan direndam dalam H2O2 15% selama 10 menit,
2) Dicuci dengan air dalam ayakan Tyler no. 120, 80, dan 60 mesh,
3) Dikeringkan dalam oven,
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3-6

4)

Identifikasi fosil dengan menggunakan mikroskop binokuler dan


hasilnya dianalisis dengan membandingkan dengan acuan yang
telah ada.

3.1.2.3.2 Analisis Petrografi


Dalam analisis ini dimaksudkan untuk memperoleh nama atau jenis
batuan berdasarkan klasifikasi yang dipakai dalam penentuannya. Pada
analisis ini dapat diketahui suatu kandungan mineral dan unsur-unsur lain
yang terdapat pada batuan tersebut. Penentuan jenis mineral yang
diamati dilakukan dengan mengamati sifat-sifat optiknya, melalui media
sayatan tipis batuan di laboratorium dengan mengunakan alat bantu
mikroskop.

Untuk

pemerian

nama

batupasir

diambil

berdasarkan

klasifikasi dari Pettijohn (1975), batuan beku berdasarkan pada klasifikasi


dari Russell Travis (1955) dan tuf berdasarkan klasifikasi dari Schmid
(1981).

Gambar 3.3 Klasifikasi Batupasir (Pettijohn, 1975)


3.1.3 Analisis Data
3.1.3.1 Analisis Geomorfologi
Analisis ini bertujuan untuk mengelompokkan suatu pola pengaliran
sungai dan satuan geomorfologi yang berkembang di daerah pemetaan.
Tiga

aspek

utama

geomorfologi

untuk

pendekatan

pemetaan

geomorfologi yaitu, aspek morfografi, morfogenetik, dan morfometri.


Ketiga aspek tersebut ditunjang pula dengan batuan penyusun.
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3-7

3.1.3.1.1 Morfografi
Secara garis besar morfografi permukaan bumi dapat dibedakan
menjadi bentuk lahan dataran, bentuk lahan perbukitan, bentuk lahan
gunungapi dan lembah. Selain bentuk yang disebutkan diatas, ada
bentuk-bentuk lain yang dapat dijadikan aspek pendekatan di dalam
pemetaan geologi seperti bentuk lereng, pola punggungan, dan pola
pengaliran. Aspek morfografi dilakukan dengan cara menganalisis peta
topografi maupun foto udara berupa pengenalan bentuk lahan, yang
terkihat dari tampilan kerapatan kontur, ketinggian dari muka air laut dan
lainnya,

sehingga

dapat

menentukan

pedataran,

perbukitan

serta

pegunungan. Adapun penentunya adalah sebagai berikut:


1. Bentuk Lahan Dataran
Dataran adalah bentuk lahan dengan kemiringan lereng 0% - 2%
biasanya digunakan sebutan bentuk lahan asal marine, fluvial, campuran
marine dan fluvial, serta plato. Bentuk lahan asal fluvial pada umumnya
disusun oleh material kerikil, kerakal, pasir halus sampai kasar, lanau, dan
lempung.
2.

Bentuk Lahan Perbukitan dan Pegunungan


Bentuk lahan perbukitan memiliki ketinggian antara 50 meter

sampai 500 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lereng antara
7% - 20%. Sedangkan bentuk lahan pegunungan memiliki ketinggiaan
lebih dari 500 meter dengan kemiringan lebih dari 20%. Sebutan
berbukitan

ditujukan

untuk

perbukitan

kubah

(intrusi,

rempah

gunungapi/gumuk tefra, serta koral) dan perbukitan struktural yang


dipengaruhi oleh pengangkatan. Sebutan pegunungan ditujukan terhadap
rangkaian bentuk lahan bergelombang tinggi dan relatif curam, biasanya
menjadi satu rangkaian dengan gunungapi atau akibat kegiatan tektonik
yang cukup kuat, seperti pegunungan Himalaya, pegunungan Alpen, dan
pegunungan Selatan Jawa Barat.
Bentuk lahan perbukitan memanjang merupakan perbukitan terlipat
dengan

material

penyusun

berupa

batuan

sedimen

(batupasir,

batulempung, atau batulanau). Bentuk lahan perbukitan terbelokan


LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3-8

merupakan perbukitan, dipengaruhi oleh sesar geser yang mengakibatkan


perbukitan tersebut terbelokan.
3. Bentuk Lahan Gunungapi
Bentuk lahan gunungapi memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter
di atas permukaan laut dan memiliki kemiringan lereng yang curam (56%
- 140%, dengan ciri khas memiliki kawah, lubang kepundan, dan kerucut
kepundan. Material yang dapat ditemukan pada bentuk lahan vulkanik
bagian

puncak

merupakan

material

halus

sampai

sedang

(abu

vulkanik/tuf), pada lereng bagian tengah berupa lelehan lava dan lahar
serta pada bagian bawah lereng berupa endapan rempah gunungapi
(tefra).
4. Bentuk Lembah
Permukaan bumi yang tertoreh oleh limpasan air permukaan akan
membentuk lembah. Secara garis besar jenis lembah dapat dibedakan,
yaitu bentuk lembah U dan bentuk lembah V. Bentuk lembah U relatif
pengerosian berlangsung secara lateral sehingga mengerosi dindingdinding sungai sedangkan bentuk lembah V pengerosian berlangsung
secara vertikal karena belum mencapai batuan.
5. Bentuk Lereng
Bentuk lereng merupakan cerminan proses geomorfologi eksogen
atau endogen yang berkembang pada suatu daerah dan secara garis
besar dapat dibedakan menjadi bentuk lereng cembung, bentuk lereng
lurus, dan bentuk lereng cekung.
6. Pola Punggungan
Pada peta topografi, foto udara atau citra satelit akan tampak pola
punggungan yang berbentuk paralel, berbelok, atau melingkar.
7. Pola Pengaliran
Pola pengaliran sungai merupakan kumpulan dari suatu jaringan
pengaliran yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi curah hujan (Howard,
1967). Howard (1967) telah membagi pola pengaliran menjadi pola
pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi. Pola pengaliran dasar
merupakan suatu pola pengaliran yang mempunyai ciri khas tertentu
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3-9

yang dapat dibedakan dengan pola pengaliran lainnya, sedangkan pola


pengaliran modifikasi merupakan pola pengaliran yang agak berbeda dan
berubah dari pola dasarnya, namun pola umumnya tetap tergantung pada
pola dasarnya.

Gambar 3.4
Pola Dasar Pengaliran Sungai Menurut Zenith (1932) (A)
dan Pola Modifikasi Pengaliran Sungai Menurut A. D. Howard
(1967) (B Dan C).
Tabel 3.1 Pola Pengaliran Dasar dan Karakteristiknya (van Zuidam, 1985)

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 10

Pola
Pengaliran
Dasar

Karakteristik
Bentuk umum seperti daun, berkembang
pada batuan dengan kekerasan relatif sama,

Dendritik

perlapisan batuan sedimen relatif datar serta


tahan akan pelapukan, kemiringan landai,
kurang dipengaruhi struktur geologi.
Bentuk umum cenderung sejajar, berlereng
sedang-agak curam, dipengaruhi struktur

Paralel

geologi,

terdapat

memanjang

pada

dipengaruhi

Tabel

perbukitan

3.2

perlipatan,

Pola

merupakan transisi pola dendritik dan trelis.


Bentuk memanjang sepanjang arah jurus
perlapisan batuan sedimen, induk sungainya
seringkali

membentuk

lengkungan

menganan memotong kepanjangan dari alur

Trelis

jalur

punggungannya.

oleh

struktur

Biasanya

dikontrol

Batuan

sedimen

lipatan.

dengan kemiringan atau terlipat, batuan


vulkanik

serta

batuan

berderajat

rendah

pelapukan

yang

pengalirannya

metasedimen

dengan
jelas.

berhadapan

perbedaan
Jenis
pada

pola
sisi

sepanjang aliran subsekuen.


Induk

sungai

memperlihatkan

dengan
arah

anak

sungai

lengkungan

menganan, pengontrol struktur atau sesar


Rektangular

yang

memiliki

sudut

kemiringan,

tidak

memiliki perulangan perlapisan batuan dan


sering memperlihatkan pola pengaliran yang
tidak menerus.
Bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya
terjadi pada kubah intrusi, kerucut vulkanik
dan bukit yang berbentuk kerucut serta sisaRadial

sisa erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal


dengan arah penyebaran keluar dari pusat
(berbentuk kubah) dan sentripetal dengan

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan arah
Bawah Permukaan
di Kawasan
Gunung pusat
Geurutee,(cekungan).
Aceh
penyebaran
menuju

Bentuk seperti cincin yang disusun oleh

3 - 11

Pengaliran Modifikasi dan Karakteristiknya (van Zuidam, 1988)


Pola Pengaliran
Modifikasi Karakteristik
Subdendritik
Umumnya struktural.
Pinnate
Tekstur batuan halus dan mudah tererosi.
Anastomatik
Dataran banjir, delta atau rawa.
Kipas aluvial dan delta seperti
Dikhotomik
penganyaman.
Lereng memanjang atau dikontrol oleh
Subparalel
bentuk lahan memanjang.
Kelurusan bentuk lahan bermaterial halus
Kolinier
dan beting pasir.
Direksional Trellis
Trellis Berbelok
Trellis Sesar
Trellis Kekar
Angulate
Karst

Homoklin landai seperti beting gisik.


Perlipatan memanjang.
Percabangan menyatu atau berpencar,
sesar paralel.
Sesar paralel dan atau kekar
Kekar dan sesar pada daerah
berkemiringan.
Batugamping.

3.1.3.1.2 Morfogenetik
Morfogenetik adalah proses terbentuknya bumi akibat proses
endogen dan eksogen. Kenampakan bentuk lahan pada muka bumi
disebabkan dua proses yakni proses endogen dan proses eksogen. Proses
endogen yaitu proses yang dipengaruhi oleh tenaga yang berasal dari
dalam kerak bumi

sedangkan proses

eksogen yaitu proses

yang

dipengaruhi oleh tenaga dari luar bumi seperti iklim (angin, hujan dan
perubahan
membentuk

temperatur),
dataran,

vegetasi,

perbukitan,

dan

buatan

lembah,

manusia

gunungapi,

sehingga

plato,

pola

pengaliran dan bentuk lereng.


Proses endogen yang menjadi genetik antara lain yaitu intrusi,
tektonik dan vulkanisme. Proses intrusi akan menghasilkan perbukitan
intrusi, proses tektonik menghasilkan perbukitan terlipat, tersesarkan atau

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 12

terkekarkan, sedangkan proses vulkanisme akan menghasilkan gunungapi


gumuk tefra.
Sedangkan proses eksogen diantaranya akibat pengaruh iklim
disebut proses fisika karena adanya perubahan temperatur, proses kimia
menimbulkan perubahan mineral batuan akibat hujan dan temperatur
serta proses biologi yang berakibat pada vegetasi dan buatan manusia.
Proses eksogen cenderung merubah permukaan bumi secara bertahap,
yaitu pelapukan batuan menjadi tanah akibat proses fisika, kimia dan
biologi, erosi tanah oleh air dan angin serta proses sedimentasi di
cekungan-cekungan pengendapan berupa lembah sungai atau daerahdaerah yang relatif datar seperti pantai.
Tabel 3.3 Warna yang Direkomendasikan untuk Dijadikan Simbol Satuan
Geomorfologi Berdasarkan Aspek Genetik (van Zuidam, 1985)
Kelas Genetik
Simbol Warna
Bentuk lahan asal struktural
Ungu / Violet
Bentuk lahan asal gunungapi
Merah
Bentuk lahan asal denudasional
Coklat
Bentuk lahan asal laut (marine)
Hijau
Bentuk lahan asal sungai (fluvial)
Biru tua
Bentuk lahan asal es (glasial)
Biru muda
Bentuk lahan asal angin (aeolian)
Kuning
Bentuk lahan asal gamping (karst)
Orange
3.1.3.1.3 Morfometri
Morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan
sebagai

aspek

pendukung

morfografi

dan

morfogeneti,

sehingga

klasifikasi kuantitatif akan semakin tegas dengan angka-angka yang jelas.


unsur-unsur morfometri antara lain berupa klasifikasi kemiringan lereng
(ukuran kemiringan lereng serta panjang lereng), klasifikasi panjang
lereng, klasifikasi bentuk lahan absolut berdasarkan pebedaan ketinggian
serta klasifikasi hubungan kelas relief dan perbedaan ketinggian serta
klasifikasi kerapatan pola pengaliran.
Pada morfometri dilakukan klasifikasi kemiringan lereng menurut
klasifikasi van Zuidam (1983). Klasifikasi kemiringan lereng didapatkan
dengan cara membuat kisi-kisi persegi ukuran 2 cm pada peta skala 1 :
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 13

25.000, kemudian ditarik garis yang cukup tegak lurus dan memotong
kontur yang berbeda sebanyak mungkin terhadap kontur yang ada di
dalam setiap kotaknya. Setelah itu dihitung kemiringan lerengnya (Emry
1963, dalam van Zuidam 1983) :
S = ( h / D ) X 100 %
Dimana;

S = Kemiringan lereng (%)


h = Perbedaan ketinggian (m)
D

= Jarak mendatar antara titik tertinggi dengan titik

terendah (m)
Atau bisa juga dengan menggunakan rumus:

s
Dimana ;

(n 1).Ic 100%
dx .sp

s = Kemiringan lereng
n = Jumlah kontur yang terpotong garis
Ic = Interval kontur
dx = Jarak datar
sp = Skala peta

Setelah didapatkan nilai kemiringan (S) disesuaikan dengan


klasifikasi lereng Van Zuidam (1983).
Tabel 3.4 Klasifikasi Kemiringan Lereng Berdasarkan USSM dan USLE (van
Zuidam, 1985)
Kemiringan
Klasifikasi
Lereng
()

(%)

<1

02

13
36
69

27
7 15
15 30

Keterangan

USSSM

USLE (%)

Datar Hampir

(%)
02

02

Datar
Sangat landai
Landai
Agak curam

26
6 13
13 25

27
7 12
12 18

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 14

9 25
25 26

30 70
70

Curam

25 55
> 65

*USSM

Sangat curam
140
= United State Soil System Management

**USLE

= United Soil Loss Equation

18 24
> 24

Tabel 3.5 Klasifikasi Panjang Lereng (van Zuidam, 1985)


Panjang Lereng (meter)
< 15
15 50
50 250
250 500
> 500

Keterangan
Sangat pendek
Pendek
Sedang
Panjang
Sangat panjang

Tabel 3.6 Klasifikasi Bentuk Lahan Absolut Berdasarkan Perbedaan


Ketinggian (van Zuidam, 1985)
Ketinggian (meter)
Keterangan
< 50
Dataran rendah
50 100
Dataran rendah pedalaman
100
200
Perbukitan rendah
200 500
Perbukitan
500 1500
Perbukitan tinggi
1500 3000
Pegunungan
> 3000
Pegunungan tinggi
Tabel 3.7 Klasifikasi Kelas Relief Kemiringan Lereng dan Perbedaan
Ketinggian (Van Zuidam, 1985)
Kemiringan Lereng

Pebedaan Ketinggian

Kelas Relief

(%)

(meter)

Datar - hampir datar


Berombak
Berombak - bergelombang
Bergelombang - berbukit
Berbukit - pegunungan
Pegunungan curam
Pegunungan sangat curam

02
37
8 13
14 20
21 55
56 140
> 140

<5
5 25
25 75
75 200
200 500
500 1000
> 1000

Tabel 3.8 Klasifikasi Kerapatan Pola Pengaliran (Rata-Rata Jarak Antara


Percabangan Dengan Ordo Pertama) (Van Zuidam, 1985)
Jenis kerapatan
Kerapatan pada
skala 1 : 25.000 (cm)
Karakteristik
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 15

Halus

< 0,5

Sedang

0,5 5

Kasar

>5

Tingkat limpasan air permukaan


tinggi, batuan memiliki porositas
buruk.
Tingkat limpasan air permukaan
sedang, batuan memiliki porositas
sedang.
Tingkat limpasan air permukaan
rendah, batuan tahan terhadap
erosi.

3.1.3.1.4 Material Penyusun


Material penyusun dalam mengklasifikasikan satuan geomorfologi
menjadi salah satu dasar utama. Aspek litologi menjadi ciri yang penting
dalam proses interpretasi. Batuan yang resisten akan meninggalkan relief
yang lebih menonjol dibandingkan dengan batuan yang kurang resisten.
3.1.3.2 Analisis Stratigraf
Analisis stratigrafi dilakukan secara megaskopis di lapangan.
Pembagian satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi tidak
resmi, yaitu penamaan satuan batuan yang berdasarkan pada ciri fisik
batuan yang dapat diamati di lapangan, yang meliputi jenis batuan,
keseragaman gejala litologi, dan posisi stratigrafinya (Sandi Stratigrafi
Indonesia, pasal 15).
Sedangkan penentuan batas penyebarannya harus memenuhi
persyaratan Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 pasal 17, yaitu:
1. Batas satuan litostratigrafi adalah bidang sentuh antara dua satuan
yang berlainan ciri fisik litologinya yang dijadikan dasar pembeda
kedua satuan tersebut.
2) Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan
litologinya atau bila perubahan tersebut tidak nyata, maka batasnya
merupakan bidang yang diperkirakan kedudukannya.
3) Satuan-satuan

yang

berangsur

berubah

atau

menjemari

peralihannya dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila


memenuhi persyaratan sandi.

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 16

4) Penyebaran satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh


kelanjutan gejala-gejala litologi yang menjadi ciri penentunya.
5) Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi
oleh batasan cekungan pengendapan atau aspek gologi lainnya.
6) Batas-batas daerah hukum tidak boleh digunakan sebagai alasan
berakhirnya penyebaran lateral suatu satuan.
Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan atas jenis litologi yang
paling dominan dalam satuan tersebut. Pengamatan terhadap litologi di
lapangan dilakukan secara megaskopis meliputi warna batuan baik warna
segar maupun warna lapuknya, ukuran butir, bentuk butir, kemas,
pemilahan, kekerasan, mineral tambahan, struktur sedimen, kandungan
fosil, dan lain-lain.
3.1.3.3 Analisis Struktur Geologi
Tahap pertama adalah inventarisasi data lapangan yang meliputi
pengukuran arah jurus dan kemiringan lapisan batuan, pengamatan
terhadap unsur-unsur struktur geologi yang ditemukan seperti cermin
sesar, batuan sesar dan indikasi struktur lainnya. Data yang diperoleh
diplot dalam peta dasar.
Tahap berikutnya adalah interpretasi peta dasar berskala 1 :
25.000, analisis ini diharapkan dapat memberikan petunjuk mengenai
struktur yang berkembang pada daerah pemetaan. Hal-hal yang diamati
antara lain adalah kelurusan sungai, kelurusan punggungan, belokan
sungai yang tiba-tiba, gawir dan lain sebagainya.
Adapun hal-hal yang perlu dicatat dalam mengamati singkapan
untuk analisis deskriptif dan kinematik struktur geologi adalah:
1) Lokasi singkapan.
2) Jenis singkapan, apakah berupa pergeseran batuan (offset litologi),
cermin sesar (slicken side), lipatan seret (drag fold), struktur kekar,
antiklin, sinklin, zona hancuran, bukit segitiga (triangular facet), air
terjun, kelurusan mata air panas.
3) Litologi setempat dengan pola indikasi strukur geologi yang variatif.
4) Luas dan geometri singkapan.
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 17

5) Pengukuran arah jurus dan kemiringan batuan.


6) Pengukuran arah jurus dan kemiringan bidang sesar.
7) Besarnya pitch, pengukuran pitch yaitu sudut lancip antara arah
jurus dan gores garis sesar.
Pada

tahap

akhir

dilakukan

rekonstruksi

struktur

geologi

berdasarkan hasil inventarisasi data lapangan yang telah dilengkapi


dengan data analisis peta topografi. Hasilnya ditampilkan dalam bentuk
peta pola jurus perlapisan batuan.
Data slicken side yang didapatkan di lapangan, kemudian diolah
dengan menggunakan stereogram untuk mengetahui arah tegasan
relatifnya. Data lapangan yang berupa data struktur geologi digunakan
guna mengetahui tentang mekanisme tektonik daerah pemetaan.
Umur lipatan dan sesar di daerah pemetaan ditentukan berdasarkan
umur satuan batuan penyusun daerah pemetaan yang terpengaruh oleh
stuktur yang berkembang dan didukung oleh data stratigrafi serta
dikontrol oleh periode tektonik regional yang berpengaruh terhadap
daerah pemetaan.
3.1.3.3.1 Perlipatan
Perlipatan merupakan hasil dari deformasi atau perubahan bentuk
dan atau volume dari suatu batuan yang ditunjukan sebagai suatu
lengkungan atau himpunan lengkungan pada unsur garis atau bidangbidang dalam batuan. Unsur garis atau bidang yang dimaksud adalah
bidang perlapisan. Berdasarkan bentuknya, maka lipatan dibagi atas:
1. Antiklin, yaitu lipatan dimana bagian cembungnya mengarah ke
atas. Dalam hal ini semakin tua batuannya semakin dalam
letaknya. Jika batuannya telah mengalami pembalikan maka
lipatan itu dinamakan Synantiklin.
2. Sinklin, yaitu lipatan dimana bagian cekungannya mengarah
keatas.

Dimana

semakin

muda

batuannya

semakin

dalam

letaknya. Jika batuannya telah mengalami pembalikan maka


lipatan itu dinamakan Antisinklin.
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 18

Untuk mengamati adanya struktur perlipatan di lapangan yaitu


dengan melihat perubahan berangsur pada kemiringan (dip) lapisan
batuan,

perulangan

menentukan

top

urutan

dan

variasi

bottomnya

litologi,

yang

pembalikan

tidak

sesuai

dengan

dengan

arah

kemiringan lapisan.
3.1.3.3.2 Kekar
Kekar didefinisikan sebagai suatu rekahan pada kerak bumi yang
belum atau sedikit sekali mengalami pergeseran sepanjang bidangnya,
akibat tekanan yang lebih lanjut. Kekar memecahkan batuan dengan
rekahan yang relatif halus dengan panjang yang bervariasi mulai dari
beberapa sentimeter sampai ratusan meter.
Kekar merupakan salah satu struktur yang sulit untuk diamati,
sebab kekar dapat terbentuk pada setiap waktu kejadian geologi,
misalnya sebelum terjadinya suatu lipatan. Kesulitan lainnya adalah tidak
adanya atau relatif kecil pergeseran dari kekar, sehingga tidak dapat
ditentukan kelompok mana yang terbentuk sebelum atau sesudahnya.
Walaupun demikian, di dalam analisis, kekar dapat dipakai untuk
membantu menentukan pola tegasan.
Secara genetik, kekar dapat dibedakan menjadi dua jenis (Hobs,
1976, dalam Mc Clay, 1987), yaitu:
1.

Kekar gerus (shear joint), adalah rekahan yang bidang-bidangnya


terbentuk

karena

adanya

kecenderungan

untuk

saling

bergeser

(shearing) searah bidang rekahan.


2.

Kekar tarik (extensional joint), adalah rekahan yang bidangbidangnya terbentuk karena adanya kecenderungan untuk saling
menarik

(meregang)

atau bergeser tegak lurus terhadap bidang

rekahannya.
Kekar tarikan dapat dibedakan sebagai:
1.

Tension Fracture, yaitu kekar tarik yang bidang rekahnya


searah dengan tegasan. Kekar jenis inilah yang biasanya terisi oleh
cairan hidrotermal yang kemudian berubah menjadi vein.

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 19

2.

Release Fracture, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat


hilangnya

atau

pengurangan

tekanan,

orientasinya

tegak

lurus

terhadap gaya utama. Struktur ini biasa disebut dengan stylolite.


Seperti dikemukakan oleh beberapa penulis, dan secara tegas oleh
Bott, 1959 (dalam Hermawan, 2009) bahwa pergerakan sesar akan
mengikuti arah rekahan gunting (Conjugate Shear). Analisa kekar
digunakan dalam penentuan jenis sesar, hal ini dapat diterapkan dengan
menggunakan pemodelan Anderson (gambar 1.6) dengan patokan
sebagai berikut:
1. 1 berada pada titik tengah perpotongan 2 bidang Conjugate Shear
yang mempunyai sudut sempit.
2 berada pada titik perpotongan antara 2 bidang Conjugate Shear.

2.

3. 3 berada pada titik tengah perpotongan 2 bidang Conjugate Shear yang


mempunyai sudut tumpul.
1 2 3.

4.

5. Orientasi tensional joint searah dengan orientasi 1.


6. Orientasi stylolites dengan orientasi 1 atau searah dengan orientasi
3.
7. Bidang shear dan tensional akan membentuk sudut sempit.
8. Bidang shear dengan release joint akan membentuk sudut tumpul.
Vein adalah kekar tensional yang terisi mineral. Kebanyakan vein
yang berhubungan dengan jalur penggerusan biasanya terisi kuarsa dan
kalsit. Vein dapat pula terisi oleh feldspar, mika, oksida besi dan gipsum
pada jenis batuan tetentu. Mineralmineral tersebut diendapkan dari
cairan hidrothermal yang menerobos rekahan.

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 20

Gambar 3.5 Klasifikasi Sesar Berdasarkan Analisis Kekar Bentuk


Stereografi dan
Sistem Tegasannya (Anderson, 1951)
Vein

dapat

menjadi

indikator

yang

dapat

dipercaya

untuk

mengetahui karakteristik jalur penggerusan. Kebanyakan arah vein tegak


lurus dengan perpanjangan sumbu regang maksimum (3) karena vein ini
merupakan arah kekar tensional.
3.1.3.3.3 Sesar
Untuk mengamati keberadaan arah dan jenis patahan di lapangan
dapat diperkirakan dengan melihat indikasi yang ada seperti adanya
dragfold (lipatan seret), offset litologi, kekar-kekar, cermin patahan,
slicken side, breksiasi, zona-zona hancuran, kelurusan mata air panas, dan
air terjun.
Klasifikasi patahan telah banyak dikemukakan oleh para ahli
terdahulu, mengingat struktur patahan adalah rekahan kekar di dalam
bumi yang ditimbulkan karena pergeseran sehingga untuk membuat
analisis strukturnya diusahakan untuk dapat mengetahui arah dan
besarnya pergeseran tersebut.
Dalam

merekonstruksi

struktur

geologi

dapat

menggunakan

pemodelan struktur. Pemodelan struktur yang dipakai penulis adalah


berdasarkan Moody dan Hill (1959).
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 21

Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Moody dan Hill (1959)


yang meneliti hubungan tegasan utama terhadap unsur-unsur struktur
yang terbentuk, maka muncul teori pemodelan sistem patahan mendatar
Moody dan Hill sebagai berikut:
1. Jika suatu materi isotrofik yang homogen dikenai suatu gaya
kompresi yang menggerus akan membentuk lipatan, kemudian
seiring bertambahnya kompresi akan membentuk patahan naik.
Selanjutnya pada sudut 30 terhadap arah tegasan maksimum
yang mengenainya, bidang shear maksimum sejajar terhadap
sumbu tegasan menengah dan berada 45 terhadap tegasan
kompresi maksimum. Rentang sudut 15 antara 45 bidang shear
maksimum dan 30 bidang shear yang terbentuk dipercaya akibat
adanya sudut geser dalam (internal friction).
2.

Suatu kompresi stress yang mengenai materi isotropik yang


seragam, pada umumnya dapat dipecahkan ke dalam tiga arah
tegasan (maksimum, menengah, dan minimum). Kenampakan
bumi dari udara adalah suatu permukaan yang tegasan gerusnya
nol dan sering kali berada tegak lurus atau normal terhadap salah
satu arah tegasan. Akibatnya salah satu dari arah tegasan akan
berarah vertikal.

3.

Orde kedua dalam sistem tegasan ini muncul dari tegasan


yang berarah 300 - 450 dari tegasan orde pertama atau tegak lurus
terhadap bidang gerus maksimum orde pertama. Bidang gerus
orde kedua ini akan berpola sama dengan pola bidang gerus yang
terbentuk pada orde pertama.

4.

Orde ketiga dalam sistem ini arahnya akan mulai menyerupai


arah orde pertama, sehingga tidak mungkin untuk membedakan
orde keempat dan seterusnya dari orde pertama, kedua dan orde
ketiga. Akibatnya tak akan muncul jumlah tak terhingga dari arah
tegasan. Sistem ini dipecahkan ke dalam delapan arah shear
utama empat antiklinal utama, dan arah patahan naik untuk segala
province tektonik. Dalam kenyataan di lapangan kenampakan orde

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 22

pertama dan orde kedua dapat kita bedakan dengan mudah,


namun kenampakan orde ketiga dan orde-orde selanjutnya pada
umumnya sulit sekali untuk ditemukan.

Gambar 3.6 Pemodelan Patahan (Moody & Hill, 1959)


Dari data cermin sesar yang ditemukan, dapat dikelompokkan sesar yang
termasuk strike slip dan dip slip. Pengelompokkan sesar tersebut,
yaitu:
1.

Pitch 00 100 : mendatar murni.

2.

Pitch 100 450 : mendatar dominan.

3.

Pitch 450 800 : dip slip dominan.

4.

Pitch 800 900 : dip slip murni.

Indikasi sesar di lapangan tidak mudah untuk ditemukan, untuk itu


dapat dilakukan pengolahan data kekar untuk mengetahui tegasan
utamanya (Anderson, 1951 dalam The Mapping Geological Structures, Mc
LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 23

Clay, (1987). Anderson mengklasifikasikan sesar menjadi tiga jenis


berdasarkan orientasi tegasan utama dan dinyatakan dalam
terbesar),

2 (tegasan menengah), dan

1 (tegasan

3 (tegasan terkecil) yang saling

tegak lurus satu sama lain secara triaksial.

Gambar 3.7 Hubungan Antara Pola Tegasan dengan Jenis Sesar yang
Terbentuk (Anderson, 1951)
Sesar tersebut secara dinamik diklasifikasikan menjadi:

1. Sesar normal, dimana


1 vertikal dan
2 serta
3 horizontal.
Besarnya sudut kemiringan (dip) bidang sesar mendekati 60.

2. Sesar mendatar, dimana 2 vertikal dan 1 serta 3 horizontal.

3. Sesar naik, dimana


3 vertikal dan
1 dan
2 horizontal.
Kemiringan bidang sesar mendekati 30. Dalam hal ini, bidang
sesar vertikal dan bergerak secara horizontal.
Tabel 3.9 Pengelompokkan Pitch yang Berkisar dari 00 900 (Rickard,
1972)

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 24

No.
Jenis sesar
1. Sesar naik (thrust slip fault)
2. Sesar naik (reverse slip fault)
3. Sesar naik dekstral (right thrust slip fault)
4. Sesar dekstal naik (thrust right slip fault)
5. Sesar naik dekstral (right reservese slip fault)
6. Sesar dekstral naik (reverse right slip fault)
7. Sesar dekstral (right slip fault)
8. Sesar dekstral normal (lag right slip fault)
9. Sesar normal dekstral (right lag slip fault)
10. Sesar normal dekstral (right normal slip fault)
11. Sesar dekstral normal (normal right slip fault)
12. Sesar normal (lag slip fault)
13. Sesar normal (normal slip fault)
14. Sesar normal sinistral (left lag slip fault)
15. Sesar sinistral normal (lag left slip fault)
16. Sesar sinistral normal (normal left slip fault)
17. Sesar normal sinistral (left normal slip fault)
18. Sesar sinistral (left slip fault)
19. Sesar sinistral naik (thrust left slip fault)
20. Sesar naik sinistral (left thrust slip fault)
21. Sesar naik sinistral (left reverse slip fault)
22. Sesar sinistral naik (reverse left slip fault)
3.1.3.4 Analisis Geologi Sejarah

<
>
<
<
>
>
>
<
<
<
>
<
>
<
<
>
<
<
<
<
>
>

Dip
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450
450

Analisis geologi sejarah merupakan penerapan penafsiran dari


aspek geologi berupa geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Hasil
dari pembahasan dari aspek tersebut disusun berdasarkan urutan
kejadian dan waktu, sehingga dapat diperkirakan proses sedimentasi,
tektonik, dan erosi dalam kurun waktu tertentu.

LAPORAN GEOLOGI
Jasa Konsultan Penyelidikan Bawah Permukaan di Kawasan Gunung Geurutee, Aceh

3 - 25

Anda mungkin juga menyukai