ABSTRAK
Di satu sisi mata pelajaran matematika dipercaya untuk mengasah kompetensi berpikir
siswa. Namun dalam pelaksanaannya, pelajaran matematika yang diberikan kurang
bergerak ke arah pengembangan kompetensi berpikir siswa. Penyebab utamanya antara
lain karena bahan ajar yang menjadi andalan guru adalah buku teks khususnya dalam
materi mengenal ekspresi aljabar, rerata memuat daya matematis 35,00% dan
kecakapan matematis 45,33%. Kedua kandungan ini di dalam strukturnya teridentifikasi
beberapa kelemahan, antara lain mengenai tugas problem solving awal dan lanjut yang
kurang mempertimbangkan aspek psikologisapa yang diketahui dan diperlukan siswa
untuk memulai belajar dan tindak lanjut belajar melalui pemberian tantangan beserta
scaffolding-nya. Kelemahan-kelemahan ini setelah dianalisis menggunakan penelitian
formatif, dapat dikembangkan menjadi tugas pengajuan soal open ended (TPSOE).
Melalui rangkaian proses pengembangan diperoleh desain TPSOE dengan karakteristik
berdaya dan berkecakapan matematis, mempertimbangkan aspek apa yang siswa
ketahui dan perlukan untuk belajar, serta berstruktur memberikan tantangan dan
scaffolding. Rerata kandungan daya dan kecakapan matematis yang ada dalam desain
TPSOE masing-masing 82,50% dan 95,33%. Dengan desain seperti itu setelah diujicoba
selama dua kali, masing-masing diperoleh hasil belajar dalam mengenal ekspresi aljabar
dengan rerata 80,25 dan 83,78.
Katakunci: daya matematis, desain TPSOE
PENDAHULUAN
Hingga saat ini matematika dipercaya sebagai mata pelajaran yang dapat
mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Kemampuan berpikir yang dikembangkan
antara lain, yaitu berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan lateral. Semua
kemampuan berpikir ini menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) termasuk
ke dalam kompetensi matematis yang esensial dan diperlukan oleh siswa di kemudian
hari sehingga mereka dapat bertahan hidup dalam keadaan yang cenderung berubah,
sumber daya alam yang berkurang, tidak pasti, dan kompetitif (Depdiknas, 2006). Oleh
karena itu, matematika sebagai pelajaran di sekolah mendapat amanah dan
kepercayaan yang cukup besar untuk mengasah kompetensi berpikir siswa.
Dalam pelaksanaannya di kelas, pelajaran matematika yang diberikan kurang
bergerak ke arah pengembangan kompetensi berpikir kreatif dan lateral. Padahal kedua
berpikir ini dapat dikembangkan melalui tugas pengajuan soal open ended (TPSOE).
Tugas seperti ini menurut Depdiknas (2006) termasuk ke dalam soal yang bersifat
divergen (Depdiknas, 2006). Bahkan beberapa organisasi profesi, misalnya National
Council of Teacher of Mathematics (NCTM) menyarankan agar pengajuan soal (problem
posing) selalu dimasukkan ke dalam proses pembelajaran matematika di kelas (NCTM,
1991; 2000). Hasil penelitian Silberman et al (dalam Akay dan Boz, 2010) menunjukkan
bahwa ketika siswa mengajukan soal, ternyata mereka cenderung lebih termotivasi dan
tertarik untuk mencari jawaban atas masalah mereka.
Namun demikian terindikasi bahwa tugas pengajuan soal bagi siswa jarang
diberikan oleh guru matematika di dalam kelas. Penyebabnya antara lain, karena buku
teks matematika yang menjadi pegangan guru kurang memuat tugas pengajuan soal
(Sugiatno, 2015). Hasil penelitian Wijayanti (2012) menunjukkan bahwa dari 20 buku teks
yang cenderung digunakan guru sebagai pegangan dalam mengajar hanya ada 3 buku
teks matematika Sekolah Dasar (SD) yang memuat lebih dari 20% soal pemecahan
masalah (open ended) yang jawaban benarnya lebih dari 1. Tetapi penelitian ini belum
melaporkan ada buku yang memberikan tugas pengajuan soal terbuka.
Kecenderungan lainnya, yaitu mind set guru yang meyakini bahwa buku teks
sebagai kitab suci yang ndak pernah salah. Akibatnya, guru cenderung tidak mengolah
kembali buku teks yang dipakainya untuk mengajar. Hasil penelitian Parwati (2008) di
Provinsi Bali menunjukkan bahwa 78% guru matematika di Sekolah Dasar (SD)
menggunakan contoh-contoh soal yang ada dalam buku teks sebagai tugas belajar
matematika. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil pengamatan Yusuf, Zulkardi, dan
Saleh (2009) dan Lowrie (2002) di Sekolah Menengah Pertama (SMP) bahwa
pembelajaran guru matematika cenderung lebih menekankan pada tugas belajar yang
bersifat hafalan dan mencari satu jawaban yang benar untuk soal-soal yang diberikan.
Hal ini sejalan dengan studi Giani, Zulkardi, dan Hiltrimartin (2014) yang menunjukkan
bahwa buku sekolah elektronik matematika kelas VII SMP/MTs berkecenderungan
kurang mendukung ketercapaian kompetensi dasar matematika siswa.
Hasil penelitian dan pengamatan tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian
Lestari, Sugiatno, dan Mirza (2010) dan penelitian Lusiana, Sugiatno, dan Bistari (2013)
menunjukkan bahwa buku teks maupun Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dipakai guru
sebagai bahan ajar untuk menugasi siswa, sajiannya cenderung hanya memuat soal-soal
rutin dan kurang memuat daya matematis. Hasil studi pendahuluan peneliti saat ini
menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di SMP
cenderung belum beranjak dari pemberian tugas pengerjaan soal-soal matematika rutin,
tertutup, dan kurang memuat daya matematis (Sugiatno, 2013).
Penilaian melalui pemberian tugas cenderung kurang dijadikan sebagai sarana
untuk berinteraksi antara guru dan siswa. Padahal, menurut Webb, Norman dan Briars
(1990), penilaian harus menjadi interaksi antara guru dan siswa; dengan guru terus
berusaha memahami apa yang dapat dilakukan siswa dan bagaimana siswa mampu
melakukannya dan kemudian menggunakan ini sebagai informasi untuk memperbaiki
pembelajaran.
Kecenderungan seperti itu terjadi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, guru
yang mengajar matematika hingga saat ini sangat tergantung pada buku teks yang ada
(Baptist, Miller, dan Rabb, 2011). Kedua, kemampuan mengembangkan tugas melalui
buku ajar dan LKS berbasis daya matematis dan kecakapan-kecakapan matematis
terutama yang terfokus pada kemampuan divergen melalui pengajuan soal terbuka yang
jawabannya tersedia memerlukan keahlian khusus. Ketiga, guru kurang cukup waktu
untuk mengkreasi soal-soal rutin sehingga menjadi soal terbuka, karena rata-rata jam
wajib mengajar adalah 24 jam/minggu. Jika faktor-faktor ini tidak dicarikan jalan keluar,
akan sukar bagi siswa memiliki kompetensi berpikir divergen matematis.
Di dalam mengembangkan kemampuan berpikir divergen matematis, ada
beberapa standar yang telah digariskan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) dan secara teoritis juga ditegaskan oleh NCTM, melalui the teaching principle
yang intinya bahwa pengajaran matematika harus dapat memberikan tantangan bagi
siswa (NCTM, 2000). Digariskan juga bahwa pemberian tantangan tersebut dianjurkan
kepada guru melalui kemampuan-kemampuan: pemecahan masalah, penalaran dan
pembuktian, komunikasi, representasi, dan koneksi matematis. Kemampuan ini termasuk
ke dalam komponen proses bermatematika yang lazimnya dinamakan daya matematis
kesenjangan (gap) untuk menemukan kesenjangan antara kandungan materi buku teks
matematika kurikulum 2013 kelas VIII SMP dalam bahasan pengenalan ekspresi aljabar,
tujuan materi tujuan materi tersebut berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL),
dan prinsip (teori) mengajar; (b) Hasil analisis gap tersebut selanjutnya dijadikan sebagai
bahan untuk menyusun desain TPSOE; (c) Desain yang tersusun selanjutnya di-review
konstruksi kandungannya melalui proses validasi (FGD) kepada para expert yang terdiri
dari: mahasiswa program S-2 Pendidikan Matematika semester akhir, guru matematika
SMP, mahasiswa program S-1 Pendidikan semester akhir; (d) Hasil review para expert
tersebut dievaluasi, selanjutnya dipertajam melalui penelaahan peneliti bersama tiga
expert melalui diskusi terfokus sehingga dihasilkan suatu revisi; (e) Hasil revisi
selanjutnya diujicobakan kepada mahasiswa program S-1 Pendidikan matematika
semester 1; (f) Hasil ujicoba ini dijadikan sebagai pijak untuk revisi, selanjutnya
diujicobakan kembali kepada siswa kelas VIII SMP; (g) Hasil ujicoba di lapangan
selanjutnya juga direvisi sehingga diperoleh produk akhir dari desain TPSOE yang
diinginkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Melalui pengamatan terhadap silabus dan buku teks matematika yang dikeluarkan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), terungkap: (1) ada gap antara
istilah yang dipergunakan dalam silabus dan buku teks, di dalam silabus menggunakan
operasi ekspresi aljabar, tetapi di dalam buku digunakan istilah operasi bentuk aljabar
(Depdikbud, 2013: 36); (2) sajian kegiatan 2.1 belum sesuai dengan rata-rata taraf
perkembangan kognitif siswa SMP; (3) latihan soal yang diberikan dalam materi ekspresi
aljabar sebanyak 7 butir dan semuanya dalam aspek problem solving; (4) hanya ada satu
soal latihan yang sajiannya tergolong multi representasi; (4) koherensi antar sajian
kurang, karena belum tersedia scaffolding.
Melalui pengamatan terhadap buku teks tersebut, terpetakan juga gap antara
setiap materi operasi bentuk aljabar yang ada di halaman 36 sampai dengan halaman 42
buku teks matematika kelas VIII SMP/MTs dan daya serta kecakapan matematis. Hasil
peng-amatan ini secara garis besar diperoleh rerata untuk daya matematis sebesar
25,00% dan kecakapan matematis sebesar 33,33%.
Selanjutnya, melalui FGD yang pesertanya adalah peneliti, guru matematika,
mahasiswa program studi pendidikan matematika S2, dan mahasiswa pendidikan
matematika S1, terungkap respons mereka terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti.
Sebelum mereka memberikan respons, terlebih dahulu telah disamakan persepsinya
mengenai prinsip mengajar dari NCTM (2000). Karena itu, respons mereka difokuskan
terhadap kesenjangan isi materi buku teks melalui pertanyaan utama apakah Anda
setuju, tidak setuju, atau netral bahwa representasi materi operasi aljabar yang ada
dalam buku matematika kelas 8 SMP/MTs halaman 36 sampai dengan halaman 42 (ada
15 representasi materi yang tersaji disingkat R1-R8) sesuai dengan: (a) apa yang
diketahui dan diperlukan siswa; (b) pemberian tantangan; (c) pemberian scaffolding agar
siswa dapat menjawab tantangan yang diberikan. Respons mereka terhadap ketiga butir
anteseden teori pengajaran NCTM jika dibandingkan isi materi R 1-R8 masing-masing
63,33% yang setuju, tidak ada yang netral, dan yang tidak setuju 36,67%.
Berdasarkan pada hasil analisis gap dan isi materi operasi ekspresi aljabar yang
telah dilakukan, maka dapat dikembangkan desain TPSOE. Proses pengembangannya,
Hasil pengembangannya, secara rinci terbahas melalui pembahasan berikut.
PEMBAHASAN
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Oleh karena silabus termasuk di dalam kurikulum, maka buku teks matematika sebagai
bahan belajar siswa dan mengajar guru, wajib ditulis berdasarkan silabus yang berlaku.
Idealnya, buku pelajaran telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu (Muslich, 2010).
Namun demikian, ditemukan bahwa penggunaan istilah dalam buku teks
matematika siswa kelas VIII SMP/MTs, yaitu bentuk aljabar (Depdikbud, 2014) belum
sesuai dengan istilah yang ada dalam silabus, yaitu ekspresi aljabar. Perbedaan istilah
ini menyiratkan bahwa penyusun buku teks matematika kurang memperhatikan silabus.
Selain itu, menyiratkan pula bahwa penggunaan istilah bentuk aljabar terkesan kurang
berpihak kepada matematika sebagai pengetahuan yang harus dikonstruksi oleh siswa
sebagaimana yang diamanahkan oleh kurikulum tingkat satuan pendidikan maupun
kurikulum 2013. Perbedaannya, diberikan melalui penggalan berikut ini.
Selain itu ditemukan juga bahwa sajian R 1 mengenai kegiatan 2.1 seperti
penggalan materi berikut ini.
Sebanyak 20 peserta FGD tidak setuju dengan sajian tersebut dengan alasan
kurang sesuai dengan apa yang siswa ketahui dan perlukan mengenai materi ekspresi
aljabarmeskipun tidak menutup kemungkinan bahwa sajian R 1 dapat memberikan
tantangan bagi siswa yang berkemampuan tinggi. Persoalannya, di dalam suatu kelas
tidak semua siswa berkemampuan tinggi. Hal ini sejalan dengan pandangan NCTM
(2000) bahwa tantangan yang diberikan dalam awal pelajaran harusnya berbentuk
problem solving awal, di mana tingkat kesukarannya seminimal mungkin sehingga
terjangkau oleh semua siswa yang kemampuannya beragam (lihat the equity principle
dalam NCTM tahun 2000, halaman 12).
Jika sajian R1 dikaitkan dengan sajian R2 terkesan kurang koheren. Karena itu
sebanyak 30 peserta FGD, menyetujui jika problem solving awal dimulai dari sajian R 2
dengan beberapa revisi. Tampilan revisinya seperti di bawah ini.
Perhatikan contoh berikut!
Suatu ketika terjadi percakapan antara Pak Agus dan Pak Budi.
Mereka berdua baru saja membeli buku di suatu toko grosir.
Pak Agus : Pak Budi, kelihatannya beli buku tulis banyak sekali.
Pak Budi : Iya Pak, ini pesanan dari sekolah saya.
Saya beli dua kardus dan 3 buku. Pak Agus beli apa saja?
Pak Agus : Saya hanya beli 5 buku saja Pak, untuk anak saya
yang kelas VIII SMP.
Bagaimanakah cara mengekspresikan isi cerita tersebut ke dalam suatu tabel?
Cara mengekspresikan isi cerita mengenai Pak Budi dan Pak Agus merupakan
keperluan belajar Anda saat ini! Karena itu bahan belajar berikut akan menopang
Anda.
Oleh karena revisi sajian R2 seperti itu, maka sajian R3 mengenai tabel yang
ada di halaman 37 juga disarankan oleh 23 peserta FGD untuk direvisi. Dengan alasan,
tabel yang disajikan dapat membingungkan siswa karena kurang koheren dengan R 2.
Sebagai bahan perbandingan berikut dipaparkan tabel sebelum revisi dan setelah revisi.
tentu terkait dengan sajian Tabel 1 yang diusulkan di dalam penelitian ini. Namun
demikian, sekalipun sederhana menurut 23 expert, tetapi menurut 7 expert lainnya
menyatakan bahwa sajian tersebut perlu tidak disajikan terlebih dahulu, sebelum
sajian di bawah ini diberikan.
maka
pertanyaan
yang
bersesuaian
dengan
ekspresi
tersebut
adalah ..................................................................
Sajian Tabel 2.3 mengenai bentuk aljabar (menggunakan istilah pengarang
buku teks) yang ada pada halaman 38 dan halaman 39 (dikode sebagai R 5) buku teks,
direspons untuk digunakan oleh 24 saat FGD, karena secara simultan memenuhi prinsip
multi representasi (enaktif, ikonik, dan simbolik). Namun demikian, 6 expert lainnya pada
R5 tidak menyetujui sajian tersebut walaupun tanpa alasan. Menyikapi perbedaan ini,
peneliti mengambil jalan tengah dengan sedikit memodifikasi tabel dengan memasukkan
butir TPSOE nomor 3 dan TPSOE nomor 4, masing-masing untuk menopang daya
matematis, komunikasi dan representasi matematis dalam materi pengenalan ekspresi
aljabar.
Terkait dengan sajian R6 yang penggalannya diberikan berikut ini.
Sebagian besar expert, yaitu 27 orang menyetujui jika sajian tersebut dapat memberikan
tantangan bagi siswa dalam mendalami materi mengenal ekspresi aljabar. Alasan
mereka, materi tersebut akan memperkaya penggunaan variabel. Karena itu, peneliti
menggunakannya untuk membuat TPSOE nomor 5 dan nomor 6.
Ketika FGD, 30 expert menyatakan bahwa sajian R7 kurang cocok untuk menggali informasi, karena sajiannya berbentuk pengetahuan yang bersifat fakta mengenai
istilah-istilah yang sudah baku digunakan dalam pengertian ekspresi aljabar. Peneliti
berpandangan bahwa pengetahuan matematis yang berbentuk fakta, lebih ideal jika
sajiannya
diberikan pada
siswa
setahap
demi setahap
Ketika sajian ini didiskusikan melalui FGD 30 expert menyetujui jika sajian
tersebut dimasukkan ke dalam kategori sajian yang dapat memberikan tantangan bagi
siswa dalam mengenal ekspresi aljabar. Karena itu, peneliti mengadaptasi R 8 menjadi
TPSOE nomor 7 dan nomor 8.
Pertimbangan
lainnya, mengapa
Daya dan
kecakapan matematis yang semula untuk masing-masing komponen: (1) problem solving
awal 12,50%; (2) penalaran dan bukti 25%; (3) komunikasi 12,50%; (4) representasi 50%;
(5) koneksi 25%, (6) pemahaman konseptual 37,50%; (7) kelancaran prosedural 12,50%;
(8) problem solving lanjut 50%. Setelah dikembangkan menjadi TPSOE nomor 1 hingga
nomor 8, diprediksi bahwa semula rerata daya matematis hanya 25,00% dan 33,33%
menjadi paling kurang masing-masing dapat mencapai rerata 60,00%. Oleh karena itu,
secara keseluruhan melalui pengembangan yang telah dilakukan, mulai dari analisis gap,
menyusun desain TPSOE, proses validasi melalui FGD diperoleh desain TPSOE yang
dianggap telah memenuhi prosedur penelitian formatif. Setelah diperoleh desain tersebut
dilakukan dua kali ujicoba, masing-masing kepada mahasiswa pendidikan matematika S1 semester 1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura Pontianak
tahun akademik 2015/2016 yang berjumlah 34 orang, dan siswa kelas VIII SMP Negeri 3
Pontianak tahun pelajaran 2015/2016. Rerata hasil kedua ujicoba tersebut, masingmasing 80,28 dan 83,78 (skala 0 100). Kedua hasil ujicoba ini menguatkan prediksi
bahwa daya dan kecakapan matematis berkontribusi terhadap 2 (dua) rerata hasil
tersebut.
Dengan
demikian,
dapat
dihipotesiskan
bahwa
TPSOE
yang
telah
kebenaran
dugaan
bahwa
TPSOE
yang
telah
dikembangkan
dapat
DAFTAR PUSTAKA
Akay, H. and N. Boz, (2010). The effect of problem posing oriented analyses-II course on
the attitudes towards mathematics and mathematics self-efficacy of elementary
prospective mathematics teachers. Aust. J. Teacher Edu., 35(1): 57-75.
Baptist, P., Miller, C., dan Rabb, D. (2011). Towards New Teaching in Mathematics.
Tersedia pada https://www.sinus-international.net. Diakses tanggal 1 Desember
2015.
BNSP (2006). Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMP/MTs. Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Lian, L.H dan Yew, W.T. (2012). Assessing Algebraic Solving Ability: A
Theoretical Framework, International Education Studies/Vol.5 No.
6 , 177-188.
Lestari, N., Sugiatno, dan Mirza (2011). Kandungan Daya Matematis dalam Buku Teks
Matematika SMP. Skripsi. Tidak dipublikasikan, FKIP Untan. Pontianak.