ada
intervensi
amerika
serikat
dalam
menjatuhkan
kediktatoran
dan
demokrasi sosial pada awalnya muncul sebagai gerakan-gerakan sosial pada akhir abad
kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Pada saat ini, selain mengalami krisis
ideologis, mereka juga dikepung oleh gerakan-gerakan sosial baru, dan sebagaimana
partai-partai lainnya terperangkap dalam situasi dimana politik mengalami devaluasi dan
pemerintah
tampakya
kehilangan
kekuatan.
Neoliberalisme
melancarkan
ritik
berkepanjangan mengenai peran pemerintah dalam kehidupan sosial dan ekonomi, kritik
yang tampaknya menggemakan kecenderungan-kecenderungan dalam dunia nyata. Sudah
saatnya para demokrat sosial meluncurkan serangan balik atas pandangan-pandangan seperti
itu, yang tidak bertahan lama jika dikaji dengan seksama.
Keberadaan pemerintah dalam perspektif dunia kontemporer dimana tema-tema
tentang berakhirnya politik, dan negara yang dilanda oleh pasar global, menjadi begitu
sangat menonjol, menurut Giddens, adalah untuk:
Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas
mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;
Jika tidak didera oleh krisis ekonomi dan moneter, John Naisbitt telah
memprediksikan adanya 8 (delapan) kecenderungan besar yang akan membawa asia ke arah
commonwealth of nations, yang bentuknya sebagai berikut :
1. From nations-states to network.
2. From traditions to options.
Rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan antara satu sama lain. Tidak ada
rezim otoritarian yang bisa dianggap monolitik, dan juga tidak ada kekuatan-kekuatan
lainnya yang memperjuangkan demokrasi yang dpat dianggap seperti itu.
Hakekat totaliterisme dilukiskan oleh george Orwell dalam bukunya Animal Farm.
Penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah; ia tidak hanya
mau memiliki mmonopoli kekuasaan. Ia justru mau secara aktif menentukan bagaimana
masyarakat hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan
bekerja. Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan; dan siapa yang tidak ikut, akan
dihancurkan.
Faktor-faktor internasional, secara langsung atau tidak langsung, mungkin
mengkondisi dan mempengaruhi jalannya transisi, namun para partisipan utama dan
pengaruh-pengaruh dominan tetap berasal dari dalam negeri. Pentingnya peran individuindovidu dalam proses historis yang kompleks. Pentingnya ketetapan waktu, kerumitan dari
proses-proses
interaktif
yang
dilaksanakan
dalam
periode-periode
yang
panjang
dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; (2)
subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan
pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; (3) pengakuan dan persetujuan dari pihak
pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesonal dan otonomi bagi militer; dan
akibatnya (4) minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi
politik dalam militer.
Menurut Aribowo, penarikan militer dari gelanggang politik memang terus
berlangsung di sejumlah negara Dunia Ketiga. Namun, apakah perkembangan itu akan
mengarah pada militer yang profesional sebagaimana terjadi di Barat, tidak mudah dijawab.
Dalam konteks transisi menuju demokrasi di Indonesia, diperlukan reposisi
hubungan sipil-militer dalam arti yang menyeluruh, dan tidak hanya terbatas pada bidang
politik saja.
3. Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan dengan Rezim
Sebelumnya
Tuntutan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan akan hilang secara sederhana;
jika luka-luka di masyarakat bersifat segar dan kejahatan-kejahatan bersifat luar biasa,
perlupaan bukanlah merupakan suatu pilihan.
Dalam kasus Chile, pemerintah telah memilih sarana yang berbeda untuk
berhubungan dengan masa lalunya, misalnya, dengan membuka kebenaran dari pelanggaranpelanggaran HAM dan dorongan terhadap suatu pengakuan publik akan kejahatan-kejahatan
dan bahkan suatu permintaan maaf terhadap para korban. Komisi-komisi kebenaran
digunakan sebagai salah satu mekanisme simbolis untuk memutuskan hubbungan dengan
masa lalu. Kadangkala timbul suatu penyederhanaan konsepsi bahwa kebenaran lebih baik
untuk keadilan dan bahwa laporan dari komisi-komisi kebenaran merupakan alternatif yang
lebih baik bagi tuntutan-tuntutan pidana sejenis terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM.
Yang pasti, tidak ada jaminan bahwa pengadilan-pengadilan merupakan sarana yang
terbaik untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM, ataupun bahwa mereka
merupakan suatu sarana yang tepat untuk seluruh keadaan. Karenanya, seseorang harus
mengasumsikan untuk kepentingan suatu pendapat bahwa segala tuntutan untuk kejahatankejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para diktator sebelumnya harus
dilakukan di bawah kondisi-kondisi legitimasi yang ketat, dan didasarkan pada
penghormatan terhadap aturan-aturan hukum. Perlu adanya suatu argumen dari perspektif
politik, hukum, dan moral yang kuat yang dibuat bagi peran pengadilan-pengadilan pidana
dalam menetapkan landasan bagi suatu tatanan demokrasi yang sungguh-sungguh
direnovasi.
4. Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan dengan Militer
Harold Crouch, seorang pengamat militer dari Australia, menyatakan bahwa kondisi
baru yang mengarah ke arah demokratisasi di Indonesia telah memaksa TNI untuk
mengubah doktrin fundamentalnya, termasuk Dwifungsi , selama ini dijadikan landasan
untuk melegitimasikan kekuasaan politiknya. Kelompok reformis TNI berpendapat bahwa
TNI tidak memliki pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut.
Berdasarkan hal itu, mereka kemudian memformulasikan apa yang mereka sebut sebagai
Paradigma Baru sebagai pedoman bagi aktivitas-aktivitas politik TNI.
Dalam formatnya yang orisinil, Paradigma Baru menyarankan agar militer tetap
berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik, tetapi tidak lagi memiliki aspirasi
untuk mendominasi pemerintahan. Militer tetap akan melanjutkan upaya-upaya untuk
memberikan pengaruh politik, namun pengaruhnya harus secara tidak langsung, tidak
bersifat langsung. Dan militer harus berbagi kekuasaan dengan kelompok sipil.
Menurut Crouch, langkah-langkah yang dimaksud meliputi:
1) Reduction in military representation in the legislatures;
2)
3) Political neutrality;
4) Separation of police from the military;
5) Defence orientation.
C.
Dua pulu tahun kemudian, lima orang dari kelompok polisi yang membunuh Biko
mengajukan permohonan pengampunan (amnesty) kepada Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Afrika Selatan.
2. Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi
Menurut Bronkhorst, jika masyarakat ditanya apakah para pelaku kejahatan serius
atau pelanggaran HAM berat seharusnya dihukum, maka 99 persen akan menjawab
ya. Itulah sebabnya mengapa banyak negara memiliki peraturan-peraturan hukum
pidana. Dan tentu saja yang lebih nyata adalah bahwa sebenarnya hukum
internasional sudah mengandung beberapa peraturan khusus yang berkaitan dengan
upaya penuntutan dan pemberian hukuman. Ada persetujuan yang meluas di
kalangan para ahli dan organisasi-organisasi Ham bahwa kewajiban untuk
melakukan penuntutan secara alamiah didasarkan pada putusan-putusan yang ada
dalam hukum internasional.
3. Perspektif Hukum Internasional
Dalam praktek perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan HAM secara samar-samar
terus berlangsung. Ada yang bersikap outward looking dan ada yang bersikap
inward looking. Di Indonesia ada sebagaian masyarakat yang bersikap outward
looking berpendapat bahwa semua ketentuan dari badan-badan internasional
bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
Kelompok yang bersikap inward looking berpendirian bahwa keputusan-keputusan
internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan, sebab konsep kedaulatan
negara yang selama ini dianut oleh masyarakat luas, telah sedikit banyak digerogoti
oleh berkembangnya peran PBB dan fenomena globalisasi, terutama globalisasi
ekonomi. Akan tetapi diyakini pula bahwa di negeri-negeri yang lemah ekonominya,
disamping memenuhi hak-hak politik, fokus utama perlu ditujukan pada pelaksanaan
hak asasi pembangunan. Hal itu krusial untuk terselenggaranya suatu pemerintahan
yang berfungsi dan efektif. Sebab itulah uyang merupakan prasyarat untuk berdirinya
suatu negara demokrasi yang terkonsolidasi.
D.
bentuk tradisional kediktatoran militer. Di sisi lain, rezim militer yang populis di
Peru berlawanan dalam beberapa aspek penting dengan rezim birokratik otoriter.
d. Perbedaan dengan Rezim Birokratik Otoriter
Perbedaan rezim populis Peru dengan Rezim birokratik otoriter adalah :
-
orientasi anti oligarkis dalam kebijakan rezim Peru; niatnya untuk secara
memperluas industri dan peran ekonomi negara di sebuah negeri yang tak
seberapa maju dalam segi-segi tersebut; dan ketiadaan hasrat untuk
menyingkirkan secara paksa sektor rakyat, melainkan untuk menggiatkan
dan merangkum secara politis berbagai golongan di sektor ini.
Peranan para hakim dalam proses kembar transisi menuju demokrasi dan
konsolidasi di Yunani sangat menarik untuk dieksplorasi secara sistematis.
Keterlibatan kalangan Yudisial dalam rezim baru untuk menyelesaikan soal
keabsahan dari pendahulunya yang otoriter harus dipahami dalam konteks
politik umum yang telah dijelaskan di muka. Tradisi yudisial Yunani terletak
di dalam tradisi dominan hukum sipil di masyarakat Kontinental,
sebagaimana diperlawankan dengan tradisi masyarakat Anglo-Saxon.
Kenyataan ini telah memberikan pendalaman implikasi tentang peranan
tempat, status sosial, dan pendidikan dari para hakim yang ditunjuk. Para
hakim di Yunani ditetapkan untuk melakukan langkah sebagai sesuatu yang
hanya berkedudukan sebagai oprator dari suatu mesin yang didesain oleh
para ilmuwan dan dibangun oleh para pembuat undang-undang.
b. Konsepsi Jalan tengah di Jerman dan Cekoslovakia
Baik jerman maupun Cekoslovakia telah mengalami tingkat kebebasan dan
akses kepada arsip rezim masa lalunya. Dengan demikian resolusi-resolusi
yang dialkukan di kedua negara tersebut bersifat kompromistis, yang bersifat
jalan tengah, yakni tidak terjadi perusakan terhadap arsip masa lalunya,
namun juga tidak tidak dapat dilakukan akses sepenuhnya terhadap arsip
tersebut.
c. Perspektif Beberapa Negara Lain
Menurut Dan Bronkhorst, dalam konteks keadilan dalam masa transisi terdapat
beberapa kata yang merupakan bagian dari parameter-parameter untuk
menganalisis masalah-masalahyang berkaitan dengan keadilan transisional :
Pertama, adalah kata kebenaran.
Kedua, adalah kata rekonsilisasi, dengan alasan bahwa setiap masyarakat yang
menjadi korban tindakan represif harus dipulihkan dari pengalaman masa
lampaunya, dan mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat penyelesaian
substansial dari konflik dan kekacauan tersebut.
Ketiga, adalah kata keadilan, meskipun peran keadilan dalam proses transisi,
dan prioritas yang diberikannya, berbeda-beda anatara satu bangsa dengan
bangsa yang lain.
2.
ini
partai-partai
politik,
perkumpulan-perkumpulan
d. Skenario Keempat
Skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan; ia tidak
dapat diprediksi, sejak ia tidak dapat disesuaikan dengan kategorikategori yang eksis sebelumnya.
C. Keadilan dalam Masa Transisi Politik
1.
2.
3.
kemasyarakatan
lainnya.
Poltik
seringkali
melakukan
transisional.
Pilihan
terhadap
prinsip-prinsip
ajudikasi
TANGGAPAN
Peralihan rezim atau pergantian rezim dalam suatu masa transisi
yang dalam hal ini sebagai contoh adalah ketika runtuhnya rezim otoriter
berganti ke rezim demokrasi tidak selalu dapat berjalan dengan baik.
Situasi politik dalam suatu negara pada pada masa transisi umumnya
sulit untuk distabilkan, dalam hal ini sebagai contoh dapat dilihat
Presiden
dalam
waktu
yang
singkat,
namun
dalam
penyalahgunaan
harus
mengambil
sikap
terhadap
permasalahan-
problematika
diatas
sebenarnya
permasalahan
yang
adalah
melingkupi
berbagai
soal
yang,
yang
secara general pada pokoknya dibagi menjadi (1) struktur; (2) substansi;
dan (3) kultur (Lawrience M. Friedman. Dalam prakteknya di era
reformasi, ketiga-tiganya sulit untuk dilaksanakan secara seimbang
sektor
perikanan,
sektor
olahraga
dimana
pada
itu buruk, dan tidak selalu rezim demokrasi itu baik, karena semuanya
bagai dua sisi mata uang, ada baiknya dan ada buruknya. Di masa
otoritarian pemerintahan begitu kuat dengan melemahkan rakyat, di
masa demokrasi pemerintah bergitu terbelenggu oleh kekuatan mafia
yang menggurita.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Hal ini lah yang masih menjadi
pekerjaan rumah yang sulit baik bagi pemerintah maupun bagi setiap
warganegara.
yang
menyimpang
di
era
demokrasi,
kemudian
lakukan
keagamaan,
tumbuhkan
toleransi
sebagaimana
amanat
Pancasila sila ke-3, dan last but not least upayakan agar politik tidak