Anda di halaman 1dari 10

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Bandung, 30 Agustus 2007

OPTIMASI SINTESIS KITOSAN DARI LIMBAH CANGKANG


RAJUNGAN DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI ADSORBEN
LOGAM Cd (II) PADA AIR LIMBAH
Yuliusman dan Wulan Erna Komariah
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Kampus Baru UI Depok, Jawa Barat 16424 Tel.(021) 7863516, Fax.(021) 7863516
Email : usman@che.ui.edu dan wulan_ek@yahoo.com
Abstrak
Limbah cangkang rajungan dapat menimbulkan polusi udara serta menyebabkan pencemaran tanah
yaitu meningkatnya BOD dan COD. Padahal limbah yang berasal dari rumah makan seafood ini
merupakan sumber potensial pembuatan kitosan yang diperoleh dengan mendeasetilasi kitin dari
cangkang rajungan menggunakan NaOH. Kitin diperoleh melalui demineralisasi dengan asam kuat
(HCl) dan deproteinasi dengan basa kuat (NaOH). Pada proses demineralisasi dan deproteinasi
dilakukan variasi pengaruh konsentrasi larutan 0,5; 0,75; 1,0; 1,25; 1,5 M dan waktu reaksi selama
30; 60; 90; 120; 150 menit, dengan agitasi 500 rpm. Untuk mengetahui kandungan mineral dan
protein yang masih tersisa pada kitin dilakukan uji kadar abu dan protein menggunakan metoda
Kjehdahl. Kondisi optimum demineralisasi diperoleh dengan menggunakan larutan HCl 1 M selama
60 menit pada suhu 60oC, dan deproteinasi diperoleh dengan menggunakan larutan NaOH 1 M
selama 120 menit pada suhu 70oC. Setelah itu dilakukan deasetilasi dengan pengaruh konsentrasi
NaOH 30; 40; 50; 60; 70 % berat dan waktu kontak selama 15; 45; 75; 105; 135 menit. Untuk
mengetahui derajat deasetilasi optimum dilakukan analisis FTIR. Optimasi proses deasetilasi
diperoleh dengan menggunakan larutan NaOH 50 % selama 45 menit pada suhu 100oC dan agitasi
500 rpm, hasil derajat deasetilasi sebesar 52,95. Kitosan memiliki reaktifitas yang tinggi, dan
bersifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi serta polielektrolit kation sehingga mampu berperan
sebagai adsorben terhadap logam berat. Oleh karena itu, kitosan dari limbah cangkang rajungan ini
dapat digunakan sebagai adsorben logam Cd (II) pada air limbah. Kadmium sering digunakan pada
pigmen keramik, penyepuhan listrik, pembuatan alloy dan baterai alkali (Marganof, 2003). Efek
keracunan yang dapat ditimbulkan kadmium berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi,
gangguan pada sistem ginjal dan kelenjar pencernaan. Kitosan dengan hasil derajat deasetilasi
tertinggi sebesar 52,95 digunakan untuk mengadsorpsi ion logam kadmium dengan pengaruh pH
dan waktu kontak. Dari hasil penelitian terbukti bahwa kitosan dari limbah cangkang rajungan
mampu mengadsorp ion logam kadmium. Kondisi terbaik penyerapan kadmium oleh kitosan
diperoleh pada pH 5 selama 5 jam.
Kata kunci: kitin, kitosan, adsorpsi, kadmium, rajungan.

Pendahuluan
Kitin merupakan polimer linier dari anhidro Nasetil-D-glukosamin (N-asetil-2-amino-2-deoksi-Dglukosa) yaitu polisakarida terbesar kedua di alam setelah selulosa. Kitin mempunyai rumus molekul
(C8H13NO5)n yang mengandung jumlah atom C = 47,29%, H = 6,45%, N = 6,89% dan O = 39,37%
(Susilaningsih, 1998). Senyawa ini tidak beracun, polimer yang mudah teruraikan dari Nasetil-Dglukosamin dan residu glukosamin. Kitin tidak larut dalam air, larutan basa yang encer dan pekat, larutan
asam yang encer dan pelarut-pelarut organik. Akan tetapi kitin larut dalam asam-asam mineral yang pekat
seperti HCl, H2SO4, HNO3, H3PO4 dan HCOOH anhidrid.
Kitin banyak dijumpai dalam kulit (cangkang) hewan perairan seperti udang, rajungan, rajungan, cumicumi dan kelompok shellfish (ikan bercangkang). Kitin merupakan konstituen organik yang yang sangat
penting pada hewan golongan ortopoda, annelida, molusca, corlengterfa dan nematoda. Selain itu kitin
bisa ditemukan pada dinding sel mikroorganisme seperti jamur dan serangga. Meskipun sumber kitin di
alam bermacam-macam, namun sampai saat ini sumber utama yang mudah dieksplorasi adalah cangkang

B6-1

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Bandung, 30 Agustus 2007

binatang-binatang laut berkulit keras yang secara ekonomis berpotensial tinggi, seperti cangkang
rajungan.
Kitosan yang memiliki rumus kimia -1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan N-deasetilasi dari
kitin melalui proses deasetilasi. Pada proses ini, gugus asetamida pada kitin tersubstitusi oleh gugus
amino menjadi kitosan. Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit
larut dalam HCl, HNO3 dan 0,5% H3PO4, serta tidak larut dalam H2SO4. Kitosan juga tidak larut dalam
beberapa pelarut organik seperti alkohol, aseton, dimetil formamida dan dimetil sulfoksida, tetapi kitosan
larut baik dalam asam format berkonsentrasi 0,2-100% dalam air.
Isolasi Kitin
Demineralisasi merupakan proses penghilangan mineral-mineral dari limbah cangkang rajungan dengan
menggunakan larutan asam kuat yaitu asam klorida (HCl). Proses ini ditandai dengan terbentuknya
gelembung - gelembung yang menunjukkan adanya gas yang terlepas yaitu gas H2O dan CO2 dengan
reaksi berikut:
CaCO3(s) + 2 HCl(l) CaCl2(l) + H2O(g) + CO2(g)

(1)

Ca3(PO4)2(s) + 4 HCl(l) 2 CaCl2(l) + Ca(H2PO4)(l)

(2)

Pada proses ini, HCl (asam klorida) akan bereaksi dengan CaCO3 dan Ca3(PO4)2 membentuk CaCl2 dan
Ca(H2PO4). Sedangkan pada proses deproteinasi dilakukan pemisahan protein dari cangkang rajungan
dengan larutan alkali, yaitu larutan NaOH. Larutan yang biasa digunakan adalah larutan alkali dengan
konsentrasi yang tidak terlalu tinggi pada suhu antara 65-100oC. Pada proses deproteinasi terjadi
penghilangan protein dimana protein berikatan dengan ion natrium membentuk Na-proteinat yang dapat
larut. Menurut Srijanto dkk. (2003), semakin tinggi kadar larutan NaOH dan suhu operasi yang digunakan
maka kadar protein dalam dalam crude kitin akan semakin berkurang. Angka (2000), menyatakan bahwa
ekstraksi protein dapat dilakukan dengan penambahan satu atau dua persen NaOH dan membiarkan
campuran pada 60-70oC selama beberapa hari. Konsentrasi NaOH dapat ditingkatkan sampai 6%. Ekstrak
protein yang dihasilkan, dibersihkan dari padatan kontaminasi dengan penyaringan.
Deasetilasi Kitin Menjadi Kitosan
Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisa suatu gugus amida oleh suatu basa.
Disini kitin berlaku sebagai amida dan natrium hidroksida berlaku sebagai basa. Mula-mula terjadi reaksi
adisi dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3. Kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COOsehingga dihasilkan suatu amina yaitu kitosan. Mekanisme reaksi lengkap deasetilasi kitin sebagai
berikut:

(3)
Kitin dan kitosan mepunyai potensi yang dapat digunakan pada berbagai jenis industri, sehingga
kualitasnya bergantung pada keperluannya. Pada umumnya kualitas kitin dan kitosan bergantung pada
beberapa parameter seperti berat molekul, kadar abu dan derajat deasetilasi.
Adsorpsi Kadmium
Kadmium merupakan logam berat yang bila terlalu banyak terkandung dalam air akan bertindak sebagai
bahan pencemar. Menurut badan dunia FAO dan WHO, konsumsi perminggu yang ditoleransikan bagi
manusia adalah 400-500 g per orang atau sekitar 7 g per kilogram berat badan (www.geocities.com).
Konsentrasi limbah cair kadmium yang diperbolehkan oleh pemerintah pada Peraturan Persyaratan
Teknis Pengolahan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya yang dikeluarkan tahun 1995 sebesar 1 ppm.
Keracunan kadmium yang akut adalah rusaknya sistem pernafasan, menyebabkan penyakit kanker,
anemia dan penyakit tulang serta menyebabkan gagal ginjal. Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
shock dan biasanya diakhiri dengan kematian. Limbah logam kadmium paling tinggi berasal dari industri
baterai, pabrik seng, pengkilat logam, dan industri tekstil.

B6-2

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Bandung, 30 Agustus 2007

Kitosan memiliki reaktifitas yang tinggi dan bersifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai
amino pengganti (amino exchanger) dan berfungsi sebagai adsorben terhadap logam berat (Hirano, 1986).
Adsorpsi menggambarkan keberadaan suatu bahan tertentu (cairan atau padatan) dengan konsentrasi yang
lebih tinggi pada permukaannya dari pada di dalam medium fasa ruahnya. Bahan-bahan yang teradsorpsi
pada permukaan padatan atau cairan disebut fasa teradsorb. Dalam penelitian ini, ion logam kadmium
akan teradsorb pada permukaan kitosan.
Di dalam larutan asam encer pada kekuatan ion rendah, molekul kitosan bersifat lebih kompak
dibandingkan dengan larutan polisakarida lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh densitas muatan
yang tinggi. Akan tetapi, di dalam larutan berkekuatan ionik tinggi atau bila ke dalam larutan
ditambahkan urea, ikatan hidrogen dan gaya elektrostatik pada molekul kitosan terganggu sehingga
konfirmasinya menjadi bentuk acak (random coil) (Angka, 2000). Sifat fleksibilitas inilah yang membuat
kitosan menjadi berdaya guna tinggi di dalam berbagai produk, salah satunya sebagai adsorben logam
berat. Sifat ini juga menjadikannya sensitif terhadap pH dan kekuatan ion.
Penelitian
Sebelum penelitian, dilakukan penyikatan dan pencucian cangkang rajungan menggunakan air. Setelah
itu, cangkang dikeringkan di oven pada suhu 110oC selama satu jam. Hal ini dilakukan karena cangkang
yang diperoleh dari rumah makan seafood masih mengandung sedikit sisa daging, minyak dan bumbubumbu. Kemudian cangkang rajungan di-grinding selama dua menit, lalu dikeringkan kembali di oven
pada suhu 110oC selama satu jam. Setelah itu dilakukan karakterisasi cangkang dengan menguji kadar
abu dan protein.
Demineralisasi
Pada demineralisasi dilakukan variasi pengaruh konsentrasi HCl (0,5; 0,75; 1,0; 1,25; 1,5M) serta waktu
reaksi (30; 60; 90; 120; 150 menit). Perbandingan solid-liquid 1:15, suhu 60oC dan kecepatan pengadukan
500 rpm. Dilakukan analisis rendemen dan kadar abu crude kitin menggunakan metode abu. Crude kitin
diharapkan mempunyai kadar abu <1%.
%R =

Berat crude kitin


100%
Berat sampel awal sebelum reaksi

%Kadar Abu =

Abu yang terbentuk


100%
Berat sampel awal

(4)

(5)

Deproteinasi
Pada deproteinasi dilakukan variasi pengaruh konsentrasi NaOH (0,5; 0,75; 1,0; 1,25; 1,5M) serta waktu
reaksi (30; 60; 90; 120; 150 menit). Perbandingan solid-liquid 1:15, suhu 70oC dan kecepatan pengadukan
500 rpm. Dilakukan analisis rendemen dan kadar protein menggunakan metode Kjeldahl. Kitin
diharapkan mempunyai kadar protein 5-8%.
Deasetilasi
Pada deasetilasi dilakukan variasi pengaruh konsentrasi NaOH (30; 40; 50; 60; 70% b/v) dan waktu reaksi
(15; 45; 75; 105; 135 menit). Perbandingan solid-liquid 1:15, suhu 100oC dan kecepatan pengadukan 500
rpm. Dilakukan analisis rendemen dan derajat deasetilasi (DD) kitosan dengan FTIR menggunakan rumus
Domszy dan Robert (1985), yaitu:

A 1655
DD = 100
100
A

1,33
3450

(6)

Kitosan diharapkan mempunyai derajat deasetilasi >50%.


Adsorpsi Cd (II) oleh Kitosan
Pada adsorpsi dilakukan pengamatan pada variasi pH larutan limbah Cd (2; 3; 4; 5; 6) serta waktu kontak
(1; 2; 3; 4; 5jam). Konsentrasi Cd (II) 100 ppm, berat kitosan 0,5 gr dengan perbandingan solid liquid
1:200, suhu ruang dan kecepatan pengadukan 300 rpm. Penyesuaian pH dilakukan dengan menambahkan

B6-3

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Bandung, 30 Agustus 2007

HCl 0,1M dan NaOH 0,1M pada larutan limbah hingga dicapai pH yang diinginkan. pH larutan limbah
diukur dengan menggunakan kertas pH. Larutan limbah sisa proses adsorpsi dianalisis menggunakan
AAS.
(7)

Konsentras i Cd(II) sisa


100 %
Konsentras i Cd(II) awal

Cd(II) teradsorp =

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Dari hasil karakterisasi cangkang rajungan diketahui bahwa cangkang mengandung komponen-komponen
berikut:
mineral 49,883 %,
protein 33,214 %, dan
sedikit -karoten dan sisanya kitin.
Demineralisasi
Pengaruh Konsentrasi HCl
Terlihat pada Gambar 1. bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi HCl maka berat rendemen
crude kitin semakin berkurang. Peningkatan konsentrasi menyebabkan semakin banyak mineral yang
terikat dengan ion klorida melepaskan karbon dioksida dan uap air. Kejadian ini ditandai dengan semakin
tingginya konsentrasi HCl maka gelembung-gelembung udara yang terbentuk (CO2 (g) dan H2O (g))
semakin banyak. Penurunan berat rendemen pada konsentrasi 1, 5 M hampir mencapai 76 % dari
cangkang rajungan terlarut. Padahal berdasarkan karakterisasi cangkang, kandungan mineral hanya
sebesar 49,883 %. Hal ini terjadi, dimungkinkan karena sebagian protein sudah terlepas dari crude kitin.
Menurut Fessenden (2001), protein dapat bereaksi dengan asam maupun basa.

% Berat Rendemen

60.00

59.70

40.00
29.08
23.92

20.00

23.49

23.02

0.00
0.00

0.25

0.50

0.75

1.00

1.25

1.50

1.75

Konsentrasi HCl (M)

Gambar 1. Pengaruh Konsentrasi HCl Terhadap


% Berat Rendemen
Untuk memastikan rendemen crude kitin tidak lagi mengandung banyak mineral, maka dilakukanlah
analisa kadar abu. Dari Gambar 2. terlihat bahwa seiring dengan peningkatan konsentrasi maka
kandungan abu yang terbentuk juga semakin sedikit. Hal ini menandakan bahwa mineral yang tersisa
dalam rendemen juga semakin berkurang akibat banyaknya mineral yang bereaksi dengan larutan HCl
seiring kenaikan konsentrasi larutan. Pada proses ini, konsentrasi optimum larutan HCl ditentukan sebesar
1 M.
14.00
12.63

% Kadar abu

12.00
10.00
8.00

6.04

6.00
4.00
2.00
0.00
0.00

0.07
0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0.03
1.40

0.02
1.60

Konsentrasi HCl (M)

Gambar 2. Pengaruh Konsentrasi HCl Terhadap


% Kadar Abu

Pengaruh Waktu Reaksi Demineralisasi

B6-4

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Bandung, 30 Agustus 2007

Proses demineralisasi ini merupakan proses yang penting dan berhubungan dengan mutu kitin dan kitosan
yakni viskositas dan proses deasetilasi (Muzarelli, 1977). Maksudnya, jika kandungan mineral masih
cukup banyak terkandung dalam kitin maka hal ini dapat mengganggu proses deasetilasi, dimungkinkan
ion OH- akan berikatan dengan mineral. Padahal OH- dibutuhkan untuk melepas gugus asetil saat
deasetilasi. Dilakukan penelitian pada variasi waktu demineralisasi dengan konsentrasi HCl 1 M.

% Berat Rendemen

30.00
22.54

22.51

22.37

22.29

22.04

20.00

10.00

0.00
0

30

60

90

120

150

180

Waktu reaksi (menit)

Gambar 3. Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap


% Berat Rendemen
Terlihat bahwa seiring dengan lamanya waktu reaksi maka jumlah rendemen yang tersisa juga semakin
sedikit. Hal ini sesuai dengan mekanisme reaksi (1) dan (2), dimana seiring lamanya waktu reaksi maka
semakin banyak ion kalsium yang terikat dengan ion klorida membentuk CaCl2 (l) dan Ca(H2PO4) (l), serta
gelembung-gelembung gas yang berisi H2O (g) dan CO2 (g) yang keluar dari crude kitin.
3.00

% Kadar abu

2.50

2.46

2.00
1.50
1.00
0.67

0.50

0.07

0.00
0

30

60

90

0.03
120

0.02
150

180

Waktu Reaksi (menit)

Gambar 4. Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap


% Kadar Abu
Terlihat bahwa saat lama reaksi 30 dan 60 menit terjadi penurunan kadar abu yang cukup banyak, namun
saat lama reaksi 90, 120 dan 150 menit tidak terjadi penurunan kandungan mineral yang cukup signifikan.
Waktu optimum proses demineralisasi diperoleh selama 60 menit dengan menggunakan larutan HCl 1 M.
Pada proses ini, HCl bereaksi dengan CaCO3 dan Ca3(PO4)2 membentuk CaCl2 dan Ca(H2PO4) yang
liquid. Maka untuk pemisahan rendemen crude kitin dari larutan cukup dengan menyaringnya
menggunakan buchner, sambil dilakukan pencucian. Proses pencucian disempurnakan dengan
penambahan sejumlah kecil basa (setetes larutan NaOH 0,1 M) untuk menjamin pH di atas 7 pada crude
kitin. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjebaknya asam (ion hidrogen) dalam struktur kisi kitin yang
dapat menyebabkan hidrogenasi sehingga mengubah rantai kitin. Selain itu, penambahan NaOH ini
dilakukan karena setelah proses demineralisasi menggunakan asam kuat akan dilanjutkan dengan proses
deproteinasi menggunakan basa kuat. Sehingga perubahan pH yang terlalu cepat perlu dihindari agar kitin
tidak rusak dengan menambahkan sedikit basa. Menurut Angka (2000), dengan cara ini kerusakan selama
pengeringan dapat ditekan. Setelah penyaringan, dilakukan pengeringan menggunakan oven bersuhu
110oC selama 120 menit. Hal ini dilakukan karena untuk melanjutkan ke proses deproteinasi crude kitin
harus benar-benar berada dalam kondisi keasaman normal sehingga diperlukan pengeringan yang
sempurna. Filtrat dari proses penyaringan ini yang berupa CaCl2 dapat diatasi secara komersial dengan
menjualnya ke industri semen.
Deproteinasi
Proses deproteinasi merupakan proses penghilangan protein dari kitin. Crude kitin yang dipakai dalam
proses deproteinasi adalah crude kitin hasil optimum proses demineralisasi dengan menggunakan larutan
HCl 1 M selama 60 menit.

Pengaruh Konsentrasi NaOH

B6-5

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Bandung, 30 Agustus 2007

Pada proses ini, terjadi pengurangan berat kitin yang menunjukkan bahwa kandungan protein pada crude
kitin terikat oleh ion natrium membentuk Natrium-proteinat. Hal ini juga ditunjukkan dengan
terbentuknya larutan yang seperti koloid namun dapat larut, yang merupakan protein.

% Berat Rendem en

100.00
87.10

83.90

80.00

78.91
72.15

69.88

60.00

40.00
0.00

0.25

0.50

0.75

1.00

1.25

1.50

1.75

Konsentrasi NaOH (M)

Gambar 5. Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap


% Berat Rendemen
Terjadi pengurangan rendemen kitin dengan naiknya konsentrasi NaOH. Peningkatan konsentrasi akan
menyebabkan semakin banyak protein yang terikat dengan ion natrium. Pada gambar terlihat bahwa
penurunan berat rendemen kitin tidak sebesar pada proses demineralisasi walaupun konsentrasi NaOH
telah ditingkatkan. Penurunan berat kitin hanya sekitar 13-30 %, padahal berdasarkan karakterisasi
cangkang rajungan, protein yang terkandung sebanyak 33,214 %. Hal ini dimungkinkan karena sebagian
protein sudah terlepas saat proses demineralisasi. Proses deproteinasi akan menentukan kualitas kitin
selama proses penyimpanan. Kitin yang masih banyak mengandung protein akan cenderung mengalami
kerusakan selama selama masa penyimpanan terlebih saat kondisi penyimpanan tidak bagus (Srijanto,
2003). Untuk itu perlu pemeriksaan lebih agar mengetahui kandungan protein yang masih terkandung di
dalam kitin, kemudian dilakukanlah analisa kandungan protein.
16.00

% Kadar protein

15.19
13.19
12.00
10.68
9.85

9.35

8.00

4.00
0.00

0.25

0.50

0.75

1.00

1.25

1.50

1.75

Konsentrasi NaOH (M)

Gambar 6. Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap


% Kadar Protein
Terlihat bahwa seiring peningkatan konsentrasi, kandungan protein yang ada pada kitin semakin sedikit.
Pada konsentrasi NaOH 0,5 M; 0,75 M dan 1 M penurunan kandungan protein sangat besar dibandingkan
saat konsentrasi NaOH 1,25 M dan 1,5 M. Hal ini dimungkinkan karena ion natrium sudah cukup jenuh
mengikat protein. Pada percobaan ini, kondisi optimum yang diperoleh adalah pada konsentrasi NaOH 1
M.

Pengaruh Waktu Reaksi Deproteinasi


90.00

% Berat Rendem en

83.59

80.53

78.86

77.90

75.09

60.00

30.00
0

30

60

90

120

150

180

Waktu Reaksi (menit)

Gambar 7. Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap % Berat Rendemen


Dari Gambar 7. terlihat bahwa peningkatan waktu reaksi menyebabkan semakin berkurangnya berat
rendemen kitin. Hal ini membuktikan bahwa dengan semakin lamanya reaksi berarti semakin banyak ion
natrium yang berikatan dengan protein membentuk Natrium-proteinat. Penurunan berat rendemen kitin
terlihat tidak terlalu besar. Walaupun reaksi berlangsung selama 150 menit, berat rendemen kitin masih
B6-6

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Bandung, 30 Agustus 2007

75 % dari berat rendemen awal. Hal ini dimungkinkan karena sebagian protein telah terlepas dari kitin
saat proses demineralisasi. Untuk mengetahui kandungan protein yang masih tersisa dalam rendemen
dilakukanlah analisa kadar abu.

% Kadar protein

18.0000

17.0846

15.0000
13.2164

12.0000

10.6376
9.0000
6.7694

6.0000
3.0000

2.2565

0.0000
0

30

60

90

120

150

180

Waktu Reaksi (menit)

Gambar 8. Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap % Kadar Protein


Dari Gambar 8. terlihat bahwa semakin lamanya reaksi, pengurangan kadar protein juga semakin besar.
Hal ini karena semakin lamanya reaksi maka semakin banyak ion natrium yang berikatan dengan protein
membentuk Natrium-proteinat. Bahkan pada lamanya reaksi 150 menit, kandungan protein yang
terkandung di dalam kitin hanya 2,2565 %. Menurut Srijanto (2003), kitin yang beredar di pasaran
mempunyai kadar protein yang bervariasi dan berkisar 5 8 %. Oleh karena itu, kondisi proses
deproteinasi terbaik dicapai dengan menggunakan larutan NaOH 1 M selama 120 menit, dimana
kandungan protein sudah sesuai dengan kualitas kitin yang beredar di pasaran.
Setelah proses deproteinasi, kitin disaring dengan menggunakan buchner. Selama proses penyaringan
kitin cukup dicuci berulang kali dengan menggunakan aquades sampai pH normal. Hal ini dilakukan
karena setelah proses deproteinasi, kitin akan mengalami proses deasetilasi menggunakan basa kuat
(larutan NaOH) sehingga tidak terjadi perubahan pH yang cukup besar. Setelah itu dilakukan pengeringan
menggunakan oven bersuhu 110oC selama 90 menit. Lama pengeringan selama 90 menit sudah dianggap
cukup, karena reaksi akan dilanjutkan untuk mengubah kitin menjadi kitosan. Apabila kitin akan diubah
menjadi kitosan, pengeringan kitin tidak perlu dilakukan sempurna, hanya sebagian air saja yang perlu
dikeluarkan (Angka, 2000). Filtrat dari proses penyaringan ini yang berupa Natrium-proteinat dapat
dimanfaatkan secara komersial sebagai pakan ternak.
Deasetilasi
Kitin yang dipakai pada proses deasetilasi adalah kitin hasil optimum proses demineralisasi dengan
menggunakan larutan HCl 1 M selama 60 menit, dan proses deproteinasi menggunakan larutan NaOH 1
M selama 120 menit.
Pengaruh Konsentrasi NaOH
Proses deasetilasi diperlukan untuk mengubah kitin menjadi kitosan.
80.00

% Berat Rendemen

77.22

76.57
74.26

74.39
70.87

60.00

40.00
0.00

15.00

30.00

45.00

60.00

75.00

Konsentrasi NaOH (% berat)

Gambar 9. Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap


% Berat Rendemen
Pada gambar terlihat bahwa setelah proses deasetilasi, rendemen mengalami penurunan berat pada
konsentarsi 30, 40 dan 50 % berat NaOH. Pengurangan massa ini disebabkan karena transformasi dari
gugus asetil yang berikatan dengan atom nitrogen menjadi gugus amina dimana berat molekul gugus
asetil yang berikatan dengan atom nitrogen lebih besar daripada gugus amina. Sedangkan pada
konsentrasi 60 dan 70 % berat NaOH, massa rendemen yang tersisa lebih besar dari konsentrasi NaOH 50
%. Peningkatan konsentrasi akan meningkatkan laju reaksi sehingga semakin banyak amida yang
terhidrolisis dari kitin. Namun pada konsentrasi 60 dan 70 % tidak banyak kitin yang terdeasetilasi
B6-7

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Bandung, 30 Agustus 2007

dibandingkan konsentrasi 50 % berat NaOH. Untuk memastikan banyaknya asetil yang terlepas dari
kitosan dilakukanlah analisa DD menggunakan FTIR.
60.00
Derajat deasetilasi

52.95
49.85

47.91

45.95

47.80

40.00

20.00
0

15

30

45

60

75

Konsentrasi NaOH (% berat)

Gambar 10. Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap


Derajat Deasetilasi
Pada gambar terlihat bahwa kondisi optimum derajat deasetilasi diperoleh saat konsentrasi NaOH 50 %
sebesar 52,95 %. Pada konsentrasi NaOH di atas 50 % yaitu konsentrasi 60 dan 70 % derajat deasetilasi
kembali menurun. Pada dasarnya semakin tinggi konsentrasi NaOH, derajat deasetilasi juga akan semakin
tinggi. Hal ini disebabkan karena dengan semakin tinggi konsentrasi NaOH pemutusan ikatan antara
gugus asetil dengan atom nitrogen akan semakin efektif. Sedangkan penurunan derajat deasetilasi
dimungkinkan pada kondisi tersebut OH- akan menyerang sisi yang lain sehingga terjadi perubahan
struktur kimia (Srijanto, 2003). Pada percobaan ini diperoleh konsentrasi NaOH optimum sebesar 50 %
berat. Pada konsentrasi ini, dianggap kitosan telah memenuhi baku mutu kitosan.
Pengaruh Waktu Reaksi Deasetilasi
Setelah mendapatkan konsentrasi optimum NaOH pada 50 %, dilakukanlah percobaan deasetilasi variasi
lamanya reaksi deasetilasi. Muzarelli (1976) melaporkan bahwa deasetilasi tidak memerlukan waktu
berjam-jam atau berhari-hari seperti yang dilaporkan oleh para peneliti terlebih dahulu, tetapi 0,5 jam
cukup untuk membuat kitosan larut dalam asam asetat. Sedangkan Djaeni (2003) melaporkan bahwa 1
jam deasetilasi dalam dua tingkat, masing-masing 0,5 jam dan tiap tingkat mendapatkan perlakuan
pencucian dan pengeringan adalah masa yang efektif untuk derajat deasetilasi.
75.00
71.18

% Berat Rendemen

71.05

71.84

71.95

60.87

50.00

25.00
0.00

30.00

60.00

90.00

120.00

150.00

Waktu Reaksi (menit)

Gambar 11. Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap


% Berat Rendemen
Terlihat bahwa pada lama reaksi 45 menit terjadi penurunan berat rendemen yang signifikan
dibandingkan saat reaksi berlangsung 15 menit. Namun saat reaksi 75, 105 dan 135 menit penurunan
konsentrasi tidak mengalami perubahan yang berarti, bahkan hampir sama dengan waktu reaksi 15 menit.
Untuk memastikan apakah amina sudah terbentuk dan menggantikan asetil, dilakukan analisa derajat
deasetilasi.
60.00

Derajat deasetilasi

52.95
45.00

44.73
38.48
33.63

33.55

30.00

15.00
0

30

60

90

120

150

Waktu Reaksi (menit)

Gambar 12. Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap % Derajat Deasetilasi

B6-8

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Bandung, 30 Agustus 2007

Dari Gambar 12. terlihat kondisi optimum derajat deasetilasi sebesar 52,95 % yang berada pada lama
reaksi 45 menit. Sedangkan jika reaksi berlangsung lebih lama maka derajat deasetilasinya menurun,
dimungkinkan terjadinya dekomposisi atau perubahan struktur kimia, dimana kitosan mengalami
depolimerisasi. Pada proses deasetilasi ini diperoleh kondisi optimum dengan menggunakan larutan
NaOH 50 % berat selama 45 menit.
Adsorpsi Logam Cd (II) Oleh Kitosan
Adsorpsi dilakukan untuk mengetahui kemampuan kitosan untuk mengikat logam berat kadmium dari air
limbah. Kitosan yang digunakan pada proses penyerapan logam Cd (II) adalah kitosan dengan kandungan
abu dan protein terendah serta derajat deasetilasi tertinggi.
Pengaruh pH Larutan Limbah
Percobaan ini dilakukan pada variasi pH 2, 3, 4, 5 dan 6. Variasi pH dilakukan karena adsorpsi terhadap
ion logam berat dapat dipengaruhi oleh nilai pH, akibat protonasi dan deprotonasi dari gugus asam dan
basa ligan kompleks. Dimana pada pH rendah, banyak terbentuk ion hidrogen yang menyebabkan
adsoben dapat terprotonasi, sedangkan pada pH tinggi semakin banyak ion OH- yang dapat menyebabkan
adsorbat terpresipitasi sehingga terjadi penggumpalan.
K o n s en trasi kad m iu m (p p m )

75.00
66.86

66.86

60.00
55.89
52.24
46.75

45.00

30.00
0

pH larutan limbah kadmium

Gambar 13. Pengaruh pH Larutan Limbah Terhadap Konsentrasi Cd (II) Teradsorp


Terlihat bahwa kitosan hasil optimum proses mampu menyerap logam Cd (II) pada air limbah. Kitosan
yang memiliki gugus amina yaitu adanya unsur nitrogen yang bersifat sangat reaktif dan basa. Prinsip
adsorpsi terjadi penukaran ion dimana garam amina yang terbentuk karena reaksi amina dengan asam
akan mempertukarkan proton yang dimiliki oleh ion logam kadmium dengan elektron yang dimiliki oleh
nitrogen, sehingga membentuk flok-flok. Pada Gambar 13. terlihat bahwa seiring tingkat keasaman pada
pH 2, 3 dan 4 kemampuan kitosan untuk mengikat ion logam kadmium semakin besar. Di bawah pH 3,
kestabilan kelarutan kitosan akan kurang baik, karena pada pH tersebut kitosan terprotonasi dan dapat
berasosiasi dengan poli anion untuk membentuk kompleks. Pada pH tersebut, amina dapat terhidrogenasi
sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap logam Cd (II), seperti reaksi berikut ini.
H2O H+ + OH -

(8)

NH2 + H+ NH3+

(9)

Pada kondisi pH 4 dan 5, kitosan mampu membentuk kompleks dengan ion kadmium dalam keadaan
stabil. Namun pada pH 6 daya ikat kitosan menurun, yang dimungkinkan karena pada pH tersebut ion
kadmium terpresipitasi dengan OH membentuk Cd(OH)2. Proses adsorpsi dipengaruhi oleh sifat-sifat
alami dari adsorben dan adsorbatnya. Kitosan yang polielektrolit bermuatan negatif mampu mengikat ion
kadium yang bermuatan positif. Selain itu, pada pH 4 dan 5 kitosan akan mencapai optimum dalam
menyerap ion kadmium di permukaan membentuk ligan dan proton hidrogen.
Pengaruh Waktu Kontak Adsorpsi
Setelah mengetahui pengaruh pH pada proses adsorpsi, maka dilakukan percobaan adsorpsi variasi waktu
kontak.

B6-9

Seminar Tjipto Utomo 2007

ISSN : 1693 - 1750

Konsentrasi kadmium (ppm)

Bandung, 30 Agustus 2007

100.00
85.15
75.00
57.72

52.24

50.00

39.44

37.61
25.00
0.00
0

Waktu Kontak

Gambar 14. Pengaruh Waktu Kontak Adsorpsi Terhadap Konsentrasi Cd (II) Teradsorp
Terlihat bahwa semakin lama waktu kontak maka ion kadmium yang teradsorp semakin banyak hingga
85.15 ppm dari konsentrasi awal limbah kadmium 100 ppm. Proses penyerapan ini dilakukan pada
kondisi keasaman dengan pH 4. Peristiwa adsorpsi dapat terjadi pada bahan berpori yang memiliki luas
permukaan relatif besar per satuan berat tertentu. Kitosan yang berongga memiliki pori-pori yang besar,
sehingga semakin lama waktu kontak maka pori-pori pada kitosan makin banyak yang terisi oleh ion
kadmium membentuk ligan kompleks.
Kesimpulan
1. Konsentrasi larutan dan waktu reaksi mempengaruhi proses demineralisasi, deproteinasi dan
deasetilasi.
2. Kitosan diperoleh dengan mendeasetilasi kitin, menggunakan larutan NaOH 50 % selama 45 menit
pada suhu 100oC dengan pengadukan 500 rpm.
3. Kitin diperoleh dengan mengekstrasi limbah cangkang rajungan melalui proses demineralisasi yang
menggunakan larutan HCl 1 M selama 60 menit pada suhu 60oC dengan pengadukan 500 rpm, dan
proses deproteinasi menggunakan larutan NaOH 1 M selama 120 menit pada suhu 70oC dengan
pengadukan 500 rpm.
4. Kitosan dapat digunakan sebagai penyerap logam kadmium yang baik.
5. Proses adsorpsi ion logam kadmium dipengaruhi oleh pH dan waktu kontak.
Daftar Pustaka
1. Abdurachman, Drs. H. Maman. Isolasi dan Karakterisasi Kitin dari Kulit Rajungan,
Transformasi Isolat Kitin dan Upaya Penggunaannnya dalam Kromatografi Afinitas Zat Warna.
Laporan Penelitian Lembaga Penelitian UNPAD, FMIPA UNPAD, 1997.
2. Angka, Sri Lestari dan Maggy T. Suhartono. Bioteknologi Hasil Laut. Cetakan Pertama. Bogor,
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, 2000.
3. Blamire, Prof. John. Kjeldahl Method. Science @ a Distance, 2003.
4. Fessenden, Fessenden. Kimia Organik. Jilid 1, Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga, 2001.
5. Hirano, S. Chitin and Chitosan, Ulmanns Encyclopedia of Industrial Chemistry Republica of
Germany. Fifth Edition.ed. A 6:231-232, 1986.
6. Marganof. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan
Tembaga) di Perairan, Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains Program Pasca Sarjana
IPB, Bogor, 2003.
7. Muzarelli, R.A.A. Chitin, Journal of Pergamon Press 81-87. Faculty of Medicine University of
Ancona. Italy, 1986.
8. Schmul, R., dkk. Adsorption Of Cu (II) and Cr (VI) Ions By Chitosam: Kinetics & Equlibrium
Studies, Potchefstroum University For Christian Higher Education, South Africa, 2001.
9. Susilaningsih,Endang,Jumaeri dan Sudarmin. Preparasi Kitosan Secara Deasetilasi Kitin Untuk
Adsorben Zat Warna Pada Proses Flokasi, Jurusan FMIPA IKIP Semarang, Semarang, 1998.
10. Srijanto, Bambang dkk. Optimasi Proses Deproteinasi pada Pembuatan Kitin dengan Bahan
Baku Kulit Udang dan Rajungan., Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V.
Depok, 2003.
11. Widodo, Agus., dkk. Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan Logam Berat limbah
Cair Industri Tekstil, Jurusan Teknik Kimia ITS, Surabaya, 2004.

B6-10

Anda mungkin juga menyukai