OPTIMASI SINTESIS KITOSAN DARI LIMBAH CANGKANG Rajungan Dan Pemanfaatannya Sebagai Adsorben Logam CD Pada Air Limbah
OPTIMASI SINTESIS KITOSAN DARI LIMBAH CANGKANG Rajungan Dan Pemanfaatannya Sebagai Adsorben Logam CD Pada Air Limbah
Pendahuluan
Kitin merupakan polimer linier dari anhidro Nasetil-D-glukosamin (N-asetil-2-amino-2-deoksi-Dglukosa) yaitu polisakarida terbesar kedua di alam setelah selulosa. Kitin mempunyai rumus molekul
(C8H13NO5)n yang mengandung jumlah atom C = 47,29%, H = 6,45%, N = 6,89% dan O = 39,37%
(Susilaningsih, 1998). Senyawa ini tidak beracun, polimer yang mudah teruraikan dari Nasetil-Dglukosamin dan residu glukosamin. Kitin tidak larut dalam air, larutan basa yang encer dan pekat, larutan
asam yang encer dan pelarut-pelarut organik. Akan tetapi kitin larut dalam asam-asam mineral yang pekat
seperti HCl, H2SO4, HNO3, H3PO4 dan HCOOH anhidrid.
Kitin banyak dijumpai dalam kulit (cangkang) hewan perairan seperti udang, rajungan, rajungan, cumicumi dan kelompok shellfish (ikan bercangkang). Kitin merupakan konstituen organik yang yang sangat
penting pada hewan golongan ortopoda, annelida, molusca, corlengterfa dan nematoda. Selain itu kitin
bisa ditemukan pada dinding sel mikroorganisme seperti jamur dan serangga. Meskipun sumber kitin di
alam bermacam-macam, namun sampai saat ini sumber utama yang mudah dieksplorasi adalah cangkang
B6-1
binatang-binatang laut berkulit keras yang secara ekonomis berpotensial tinggi, seperti cangkang
rajungan.
Kitosan yang memiliki rumus kimia -1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan N-deasetilasi dari
kitin melalui proses deasetilasi. Pada proses ini, gugus asetamida pada kitin tersubstitusi oleh gugus
amino menjadi kitosan. Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit
larut dalam HCl, HNO3 dan 0,5% H3PO4, serta tidak larut dalam H2SO4. Kitosan juga tidak larut dalam
beberapa pelarut organik seperti alkohol, aseton, dimetil formamida dan dimetil sulfoksida, tetapi kitosan
larut baik dalam asam format berkonsentrasi 0,2-100% dalam air.
Isolasi Kitin
Demineralisasi merupakan proses penghilangan mineral-mineral dari limbah cangkang rajungan dengan
menggunakan larutan asam kuat yaitu asam klorida (HCl). Proses ini ditandai dengan terbentuknya
gelembung - gelembung yang menunjukkan adanya gas yang terlepas yaitu gas H2O dan CO2 dengan
reaksi berikut:
CaCO3(s) + 2 HCl(l) CaCl2(l) + H2O(g) + CO2(g)
(1)
(2)
Pada proses ini, HCl (asam klorida) akan bereaksi dengan CaCO3 dan Ca3(PO4)2 membentuk CaCl2 dan
Ca(H2PO4). Sedangkan pada proses deproteinasi dilakukan pemisahan protein dari cangkang rajungan
dengan larutan alkali, yaitu larutan NaOH. Larutan yang biasa digunakan adalah larutan alkali dengan
konsentrasi yang tidak terlalu tinggi pada suhu antara 65-100oC. Pada proses deproteinasi terjadi
penghilangan protein dimana protein berikatan dengan ion natrium membentuk Na-proteinat yang dapat
larut. Menurut Srijanto dkk. (2003), semakin tinggi kadar larutan NaOH dan suhu operasi yang digunakan
maka kadar protein dalam dalam crude kitin akan semakin berkurang. Angka (2000), menyatakan bahwa
ekstraksi protein dapat dilakukan dengan penambahan satu atau dua persen NaOH dan membiarkan
campuran pada 60-70oC selama beberapa hari. Konsentrasi NaOH dapat ditingkatkan sampai 6%. Ekstrak
protein yang dihasilkan, dibersihkan dari padatan kontaminasi dengan penyaringan.
Deasetilasi Kitin Menjadi Kitosan
Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisa suatu gugus amida oleh suatu basa.
Disini kitin berlaku sebagai amida dan natrium hidroksida berlaku sebagai basa. Mula-mula terjadi reaksi
adisi dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3. Kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COOsehingga dihasilkan suatu amina yaitu kitosan. Mekanisme reaksi lengkap deasetilasi kitin sebagai
berikut:
(3)
Kitin dan kitosan mepunyai potensi yang dapat digunakan pada berbagai jenis industri, sehingga
kualitasnya bergantung pada keperluannya. Pada umumnya kualitas kitin dan kitosan bergantung pada
beberapa parameter seperti berat molekul, kadar abu dan derajat deasetilasi.
Adsorpsi Kadmium
Kadmium merupakan logam berat yang bila terlalu banyak terkandung dalam air akan bertindak sebagai
bahan pencemar. Menurut badan dunia FAO dan WHO, konsumsi perminggu yang ditoleransikan bagi
manusia adalah 400-500 g per orang atau sekitar 7 g per kilogram berat badan (www.geocities.com).
Konsentrasi limbah cair kadmium yang diperbolehkan oleh pemerintah pada Peraturan Persyaratan
Teknis Pengolahan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya yang dikeluarkan tahun 1995 sebesar 1 ppm.
Keracunan kadmium yang akut adalah rusaknya sistem pernafasan, menyebabkan penyakit kanker,
anemia dan penyakit tulang serta menyebabkan gagal ginjal. Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
shock dan biasanya diakhiri dengan kematian. Limbah logam kadmium paling tinggi berasal dari industri
baterai, pabrik seng, pengkilat logam, dan industri tekstil.
B6-2
Kitosan memiliki reaktifitas yang tinggi dan bersifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai
amino pengganti (amino exchanger) dan berfungsi sebagai adsorben terhadap logam berat (Hirano, 1986).
Adsorpsi menggambarkan keberadaan suatu bahan tertentu (cairan atau padatan) dengan konsentrasi yang
lebih tinggi pada permukaannya dari pada di dalam medium fasa ruahnya. Bahan-bahan yang teradsorpsi
pada permukaan padatan atau cairan disebut fasa teradsorb. Dalam penelitian ini, ion logam kadmium
akan teradsorb pada permukaan kitosan.
Di dalam larutan asam encer pada kekuatan ion rendah, molekul kitosan bersifat lebih kompak
dibandingkan dengan larutan polisakarida lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh densitas muatan
yang tinggi. Akan tetapi, di dalam larutan berkekuatan ionik tinggi atau bila ke dalam larutan
ditambahkan urea, ikatan hidrogen dan gaya elektrostatik pada molekul kitosan terganggu sehingga
konfirmasinya menjadi bentuk acak (random coil) (Angka, 2000). Sifat fleksibilitas inilah yang membuat
kitosan menjadi berdaya guna tinggi di dalam berbagai produk, salah satunya sebagai adsorben logam
berat. Sifat ini juga menjadikannya sensitif terhadap pH dan kekuatan ion.
Penelitian
Sebelum penelitian, dilakukan penyikatan dan pencucian cangkang rajungan menggunakan air. Setelah
itu, cangkang dikeringkan di oven pada suhu 110oC selama satu jam. Hal ini dilakukan karena cangkang
yang diperoleh dari rumah makan seafood masih mengandung sedikit sisa daging, minyak dan bumbubumbu. Kemudian cangkang rajungan di-grinding selama dua menit, lalu dikeringkan kembali di oven
pada suhu 110oC selama satu jam. Setelah itu dilakukan karakterisasi cangkang dengan menguji kadar
abu dan protein.
Demineralisasi
Pada demineralisasi dilakukan variasi pengaruh konsentrasi HCl (0,5; 0,75; 1,0; 1,25; 1,5M) serta waktu
reaksi (30; 60; 90; 120; 150 menit). Perbandingan solid-liquid 1:15, suhu 60oC dan kecepatan pengadukan
500 rpm. Dilakukan analisis rendemen dan kadar abu crude kitin menggunakan metode abu. Crude kitin
diharapkan mempunyai kadar abu <1%.
%R =
%Kadar Abu =
(4)
(5)
Deproteinasi
Pada deproteinasi dilakukan variasi pengaruh konsentrasi NaOH (0,5; 0,75; 1,0; 1,25; 1,5M) serta waktu
reaksi (30; 60; 90; 120; 150 menit). Perbandingan solid-liquid 1:15, suhu 70oC dan kecepatan pengadukan
500 rpm. Dilakukan analisis rendemen dan kadar protein menggunakan metode Kjeldahl. Kitin
diharapkan mempunyai kadar protein 5-8%.
Deasetilasi
Pada deasetilasi dilakukan variasi pengaruh konsentrasi NaOH (30; 40; 50; 60; 70% b/v) dan waktu reaksi
(15; 45; 75; 105; 135 menit). Perbandingan solid-liquid 1:15, suhu 100oC dan kecepatan pengadukan 500
rpm. Dilakukan analisis rendemen dan derajat deasetilasi (DD) kitosan dengan FTIR menggunakan rumus
Domszy dan Robert (1985), yaitu:
A 1655
DD = 100
100
A
1,33
3450
(6)
B6-3
HCl 0,1M dan NaOH 0,1M pada larutan limbah hingga dicapai pH yang diinginkan. pH larutan limbah
diukur dengan menggunakan kertas pH. Larutan limbah sisa proses adsorpsi dianalisis menggunakan
AAS.
(7)
Cd(II) teradsorp =
% Berat Rendemen
60.00
59.70
40.00
29.08
23.92
20.00
23.49
23.02
0.00
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
% Kadar abu
12.00
10.00
8.00
6.04
6.00
4.00
2.00
0.00
0.00
0.07
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
0.03
1.40
0.02
1.60
B6-4
Proses demineralisasi ini merupakan proses yang penting dan berhubungan dengan mutu kitin dan kitosan
yakni viskositas dan proses deasetilasi (Muzarelli, 1977). Maksudnya, jika kandungan mineral masih
cukup banyak terkandung dalam kitin maka hal ini dapat mengganggu proses deasetilasi, dimungkinkan
ion OH- akan berikatan dengan mineral. Padahal OH- dibutuhkan untuk melepas gugus asetil saat
deasetilasi. Dilakukan penelitian pada variasi waktu demineralisasi dengan konsentrasi HCl 1 M.
% Berat Rendemen
30.00
22.54
22.51
22.37
22.29
22.04
20.00
10.00
0.00
0
30
60
90
120
150
180
% Kadar abu
2.50
2.46
2.00
1.50
1.00
0.67
0.50
0.07
0.00
0
30
60
90
0.03
120
0.02
150
180
B6-5
Pada proses ini, terjadi pengurangan berat kitin yang menunjukkan bahwa kandungan protein pada crude
kitin terikat oleh ion natrium membentuk Natrium-proteinat. Hal ini juga ditunjukkan dengan
terbentuknya larutan yang seperti koloid namun dapat larut, yang merupakan protein.
% Berat Rendem en
100.00
87.10
83.90
80.00
78.91
72.15
69.88
60.00
40.00
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
% Kadar protein
15.19
13.19
12.00
10.68
9.85
9.35
8.00
4.00
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
% Berat Rendem en
83.59
80.53
78.86
77.90
75.09
60.00
30.00
0
30
60
90
120
150
180
75 % dari berat rendemen awal. Hal ini dimungkinkan karena sebagian protein telah terlepas dari kitin
saat proses demineralisasi. Untuk mengetahui kandungan protein yang masih tersisa dalam rendemen
dilakukanlah analisa kadar abu.
% Kadar protein
18.0000
17.0846
15.0000
13.2164
12.0000
10.6376
9.0000
6.7694
6.0000
3.0000
2.2565
0.0000
0
30
60
90
120
150
180
% Berat Rendemen
77.22
76.57
74.26
74.39
70.87
60.00
40.00
0.00
15.00
30.00
45.00
60.00
75.00
dibandingkan konsentrasi 50 % berat NaOH. Untuk memastikan banyaknya asetil yang terlepas dari
kitosan dilakukanlah analisa DD menggunakan FTIR.
60.00
Derajat deasetilasi
52.95
49.85
47.91
45.95
47.80
40.00
20.00
0
15
30
45
60
75
% Berat Rendemen
71.05
71.84
71.95
60.87
50.00
25.00
0.00
30.00
60.00
90.00
120.00
150.00
Derajat deasetilasi
52.95
45.00
44.73
38.48
33.63
33.55
30.00
15.00
0
30
60
90
120
150
B6-8
Dari Gambar 12. terlihat kondisi optimum derajat deasetilasi sebesar 52,95 % yang berada pada lama
reaksi 45 menit. Sedangkan jika reaksi berlangsung lebih lama maka derajat deasetilasinya menurun,
dimungkinkan terjadinya dekomposisi atau perubahan struktur kimia, dimana kitosan mengalami
depolimerisasi. Pada proses deasetilasi ini diperoleh kondisi optimum dengan menggunakan larutan
NaOH 50 % berat selama 45 menit.
Adsorpsi Logam Cd (II) Oleh Kitosan
Adsorpsi dilakukan untuk mengetahui kemampuan kitosan untuk mengikat logam berat kadmium dari air
limbah. Kitosan yang digunakan pada proses penyerapan logam Cd (II) adalah kitosan dengan kandungan
abu dan protein terendah serta derajat deasetilasi tertinggi.
Pengaruh pH Larutan Limbah
Percobaan ini dilakukan pada variasi pH 2, 3, 4, 5 dan 6. Variasi pH dilakukan karena adsorpsi terhadap
ion logam berat dapat dipengaruhi oleh nilai pH, akibat protonasi dan deprotonasi dari gugus asam dan
basa ligan kompleks. Dimana pada pH rendah, banyak terbentuk ion hidrogen yang menyebabkan
adsoben dapat terprotonasi, sedangkan pada pH tinggi semakin banyak ion OH- yang dapat menyebabkan
adsorbat terpresipitasi sehingga terjadi penggumpalan.
K o n s en trasi kad m iu m (p p m )
75.00
66.86
66.86
60.00
55.89
52.24
46.75
45.00
30.00
0
(8)
NH2 + H+ NH3+
(9)
Pada kondisi pH 4 dan 5, kitosan mampu membentuk kompleks dengan ion kadmium dalam keadaan
stabil. Namun pada pH 6 daya ikat kitosan menurun, yang dimungkinkan karena pada pH tersebut ion
kadmium terpresipitasi dengan OH membentuk Cd(OH)2. Proses adsorpsi dipengaruhi oleh sifat-sifat
alami dari adsorben dan adsorbatnya. Kitosan yang polielektrolit bermuatan negatif mampu mengikat ion
kadium yang bermuatan positif. Selain itu, pada pH 4 dan 5 kitosan akan mencapai optimum dalam
menyerap ion kadmium di permukaan membentuk ligan dan proton hidrogen.
Pengaruh Waktu Kontak Adsorpsi
Setelah mengetahui pengaruh pH pada proses adsorpsi, maka dilakukan percobaan adsorpsi variasi waktu
kontak.
B6-9
100.00
85.15
75.00
57.72
52.24
50.00
39.44
37.61
25.00
0.00
0
Waktu Kontak
Gambar 14. Pengaruh Waktu Kontak Adsorpsi Terhadap Konsentrasi Cd (II) Teradsorp
Terlihat bahwa semakin lama waktu kontak maka ion kadmium yang teradsorp semakin banyak hingga
85.15 ppm dari konsentrasi awal limbah kadmium 100 ppm. Proses penyerapan ini dilakukan pada
kondisi keasaman dengan pH 4. Peristiwa adsorpsi dapat terjadi pada bahan berpori yang memiliki luas
permukaan relatif besar per satuan berat tertentu. Kitosan yang berongga memiliki pori-pori yang besar,
sehingga semakin lama waktu kontak maka pori-pori pada kitosan makin banyak yang terisi oleh ion
kadmium membentuk ligan kompleks.
Kesimpulan
1. Konsentrasi larutan dan waktu reaksi mempengaruhi proses demineralisasi, deproteinasi dan
deasetilasi.
2. Kitosan diperoleh dengan mendeasetilasi kitin, menggunakan larutan NaOH 50 % selama 45 menit
pada suhu 100oC dengan pengadukan 500 rpm.
3. Kitin diperoleh dengan mengekstrasi limbah cangkang rajungan melalui proses demineralisasi yang
menggunakan larutan HCl 1 M selama 60 menit pada suhu 60oC dengan pengadukan 500 rpm, dan
proses deproteinasi menggunakan larutan NaOH 1 M selama 120 menit pada suhu 70oC dengan
pengadukan 500 rpm.
4. Kitosan dapat digunakan sebagai penyerap logam kadmium yang baik.
5. Proses adsorpsi ion logam kadmium dipengaruhi oleh pH dan waktu kontak.
Daftar Pustaka
1. Abdurachman, Drs. H. Maman. Isolasi dan Karakterisasi Kitin dari Kulit Rajungan,
Transformasi Isolat Kitin dan Upaya Penggunaannnya dalam Kromatografi Afinitas Zat Warna.
Laporan Penelitian Lembaga Penelitian UNPAD, FMIPA UNPAD, 1997.
2. Angka, Sri Lestari dan Maggy T. Suhartono. Bioteknologi Hasil Laut. Cetakan Pertama. Bogor,
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, 2000.
3. Blamire, Prof. John. Kjeldahl Method. Science @ a Distance, 2003.
4. Fessenden, Fessenden. Kimia Organik. Jilid 1, Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga, 2001.
5. Hirano, S. Chitin and Chitosan, Ulmanns Encyclopedia of Industrial Chemistry Republica of
Germany. Fifth Edition.ed. A 6:231-232, 1986.
6. Marganof. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan
Tembaga) di Perairan, Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains Program Pasca Sarjana
IPB, Bogor, 2003.
7. Muzarelli, R.A.A. Chitin, Journal of Pergamon Press 81-87. Faculty of Medicine University of
Ancona. Italy, 1986.
8. Schmul, R., dkk. Adsorption Of Cu (II) and Cr (VI) Ions By Chitosam: Kinetics & Equlibrium
Studies, Potchefstroum University For Christian Higher Education, South Africa, 2001.
9. Susilaningsih,Endang,Jumaeri dan Sudarmin. Preparasi Kitosan Secara Deasetilasi Kitin Untuk
Adsorben Zat Warna Pada Proses Flokasi, Jurusan FMIPA IKIP Semarang, Semarang, 1998.
10. Srijanto, Bambang dkk. Optimasi Proses Deproteinasi pada Pembuatan Kitin dengan Bahan
Baku Kulit Udang dan Rajungan., Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V.
Depok, 2003.
11. Widodo, Agus., dkk. Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan Logam Berat limbah
Cair Industri Tekstil, Jurusan Teknik Kimia ITS, Surabaya, 2004.
B6-10