Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan
kedokteran, dan dengan bertambahnya obat-obatan lebih poten daftar obat-obatan
ototoksik makin bertambah.1
Pada abad ke 19 Kina, Salisilat, dan Oleum chenopodium telah diketahui
dapat menimbulkan tinitus, kurang pendengaran dan gangguan vestibuler
(Schwabach 1889, North 1880). Pada tahun 1990 werner melakukan tinjauan
pustaka terdahulu dan menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat
termasuk arsen, etil, metil alkohol, nikotin, toksik bakteri dan senyawa-senyawa
logam berta. Degan ditemukannya antibiotik Stertomisin, kemoterapi pertama
yang efektif terhadap kuman tuberkulosis, menjadi kenyataan juga penyebab
terjadinya gangguan pendengaran dan vestibuler (Hinshaw dan Feldman 1945).1
Antibiotik golongan Aminoglikosida lain yang kemudian digunakan di
klinik memperkuat efek ototoksik seperti yang diakibatkan streptomisin (Lamer
dkk,1981). Kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam terhadap cedera oleh
golongan- golongan tertentu kemudian setelah pemberian loop diuretics dapat
diperhatikan, yang ternyata pengaruhnya terhadap otoksisitas dengan mekanisme
yang berbeda dibandingkan dengan antibiotik Aminoglikosida.1
Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksitas sangat
sering ditemukan. Tuli akibat ototoksik yang menetap malahan dapat terjadi
berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan.
Kurang pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli sensorineural.1
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Serta
ringanya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan. Berhubungtidak ada pengobatan untuk tuli akibat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga
Telinga adalah bagian panca indera untuk pendengaran dan keseimbangan,
terletak di sisi kepala kurang lebih setinggi mata. Secara anatomi dan fungsional,
telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu teling luar (auris eksterna, telinga tengah
(auris media), dan telinga dalam (auris interna).1,2

Gambar 1. Anatomi Telinga1,2


2.1.1. Telinga Luar
Telinga luar dari auricula, meatus acusticus externus sampai membran
timpani. Auricula atau daun telinga mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi
mengumpulkan getaran udara. Auricula terdiri atas lempeng tulang rawan elastis
tipis yang ditutupi kulit. Auricula memiliki otot instriksi dan ektrinsik, keduanya
sisarafi oleh N. Fascialis.1,2

Meatus acusticus externus adalah berkelok berbentuk huruf S yang


menghubungkan auricula dengan membran timpani. Panjangnya kira-kira 2,53cm. Tabung ini berfungsi menghantaran gelombang suara dari auricula ke
membran timpani. Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis,
dan dua pertiga bagian dalam adalah tulang, yang dibentuk oleh lempeng timpani.
Meatus dilapisi oleh kulit, dan sepertiga bagian luarnya mempunyai rambut,
kelenjar sebasea dan glandula seruminosa.1,2
2.1.2. Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan:
- Batas Luar

: Membran timpani

- Batas depan

: Tuba eustachius

- Batas Bawah

: Vena jugular (Bulbus jugulare)

- Batas belakang

: Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

- Batas atas

: Tegmen Timpani

- Batas dalam

:Berturut-turut

dari

atas

ke

bawah

kanalis

semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap


bundar (round window) dan promontorium.1
Membran timpani atau gendang telinga adalah membran fibrosa yang
berwarna kelabu mutiara. Membran timpani berbentuk bulat dengan diameter
lebih kurang 1 cm. Pinggir tebal melekat di dalam alur pada tulang. Alur itu yaitu
sulcus tympanicus, dibagian atasnya berbentuk incisura. Dari sisi-sisi incisura ini
berjalan dua plica, yaitu plica malearis anterior dan posterior, yang menuju ke
processus lateralis mallei. Daerah segitiga segitiga kecil pada membran timpani
yang dibatasi oleh plica-plica tersebut lemas dan disebut pars flaccid (membran
Shrapnell). Bagian lainnya yang tegang disebut pars tensa (membran propria).
Manubrium mallei dilekatkan dibawah pada permukan dalam membran timpani
oleh membran mukosa. Membran timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis
3

dibagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah dimana tangkai maleus dilekatkan
dan lapisan mukosa di bagian dalam.1,2

Gambar2. Membran Timpani1


Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada timpani di sebut sebagai
umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) kearah bawah yaitu
pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan.
Refleks cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh
membran timpani. Di membran timpani terdapat

dua macam serabut

yaitu

sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya
yang berupa kerucut itu. Secara klinis refleks chaya ini dinilai, misalnya bila letak
refleks cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.1
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis serah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawahbelakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.1
Kavum timpani adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis
temporalis yang dilapisi oleh membran mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang
pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani ke perilympha
telinga dalam. Kavum timpani berbentuk celah sempit yang miring, dengan

sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran timpani. Di
depan ruang ini berhubungan dengan nasofaring melalui tuba eustachius dan di
belakang dengan antrum mastoideum.2
Tulang-tulang pendengaran (ossicula auditus) terdiri dari malleus, incus
dan stapes. Malleus adalah tulang pendengaran terbesar , dan terdiri atas caput,
collum, processus longum atau manubrium, sebuah processus anterior dan
prosessus lateralis. Incus mempunyai corpus yang besar dan dua crus. Stapes
mempunyai caput, collum,dua lengan dan sebuah basis. Caput stapedis kecil dan
bersendi dengan crus longum incudis. Tulang pendengaran di dalam telinga
tengah saling berhubungan. Proses longus maleus melekat pada membran timpani,
maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada
tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang
pendengaran merupakan persendian.1,2
Tuba

eustachius

menghubungkan

rongga

telinga

tengah

dengan

nasofaring. Sepertiga bagian posteriornya adalah tulang dan dua pertiga bagian
anteriornya adalah kartilago. Tuba berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di
dalam cavum timpani dengan nasofaring. Antrum mastoideum terletak di
belakang kavum timpani di dalam pars petrosa ossis temporalis dan berhubungan
dengan telinga tengah melalui aditus.1,2

Gambar 3. Anatomi Telinga Tengah1,2


2.1.3. Telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semi sirkularis. Koklea melingkar
seperti rumah
menghubungkan

siput. Ujung atau


perilimfe

skala

puncak koklea disebut

timpani

dan

skala

helikotrema,

vestibuli.

Kanalis

semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran


yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah
atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe berbeda dengan
endolimfe. Dasar skala vestibuli disebut sebagian membran vestibuli (Reissners
membran) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran
ini terletak organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah
yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk
organ Corti.1,2
2.1.4. Vaskularisasi Telinga
Sebagian besar pembuluh darah yang menuju kavum timpani berasal dari
cabang a. Carotis interna. Pada daerah anteroir mendapat vaskularisasi dari
a.Timpanika anterior yang merupakan cabang dari a.Maksilaris interna yang
masuk ke telinga tengah melalui fissure petrotimpania. Pada daerah posterior
mendapat vaskularisasi dari a.Timpanika posterior yang merupakan cabang dari a.
Mastoidea yaitu stilomastoidea. Pada daerah superior mendapat vaskularisasi dari
cabang a.Meningea media juga a. Petrosa, a.Timpanika superior. Pembuluh vena
cavum timpani berjalan bersama dengan pembuluh arteri menuju pleksus venosus
pterigoid atau sinus petrosus superior.2
2.1.5. Persarafan Pada Telinga

N.vestibulokohlearis (N. Akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear


dan vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar
N.fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medulla. Sel-sel sensoris
vestibularis di persarafi n.koklearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak
di dasar meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran di persarafi n.
Koklearis dengan ganglion spiralis corti terletak di modiolus, pada dasar meatus
akustikus internus terletak di ganglion vestibulare.2
2.2. Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran diawali dengan ditangapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialiran melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melaui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasikan ini
akan diteruskan ke stapes yang akan mennggerakan tingkap lonjong sehingga
perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruslan melalui membran
Reissner yang akan mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak
relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsangan mekanikyang menyebabkan terjadinya

defleksi stereosilia sel-sel

rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pengelepasan ion bermuatan listrik
dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neutransmitter ke dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu akan dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.1

Gambar 4. Fisiologi Telinga1


2.3. Gangguan Fisiologi Telinga
Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat meyebabkan tuli kondiktif,
sedangkan gangguan pada telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang
terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea.1
Sumbatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan
terdapat tuli konduktif. Gangguan pada vena jugulare berupa aneurisma akan
menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung.1
Antara inkus dan maleus berjalan cabang N. Fascialis yang disebut korda
timpani. Bila terdapar radang di telinga tengah atau trauma mungkin korda
timpani terjepit, sehingga timbul gangguan pengecap.1
Didalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat pendengaran.
Obat-obatan dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran rusak,
dan terjadi tuli senserineural. Setelah pemakaian obat ototoksik seperti
streptomisin, akan terdapat gejala gangguan pendengaran berupa tuli sensirineural
dan gangguan keseimbangan.1
Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness)
serta tuli campuran (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan
hantaran suara, disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di
telinga tengah. Pada tuli sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea

(teinga dalam), nervus VIII atau pusat pendengaran, sedangkan tuli campuran
disebaban oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural. Tuli campuran
dapat merupakan suatu penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan
komplikasi ke telinga dalam atau

merupakan dua penyakit yang berlainan,

misalnya tumor nervus VIII dengan radang telinga tengah (tuli konduktif). Jadi
jenis ketulian sesuai dengan letak kelainan.1

2.4. OTOTOKSIK
2.4.1. Definisi Ototoksik
Ototoksik dapat didefinisikan sebagai kecenderungan agen terapi tertentu
dan zat kimia lainnya menyebaban gangguan fingsional dan degenerasi sel dari
jaringan telinga bagian dalam dan terutama dari end-organs dan neuron dari
koklea dan vestibular yaitu saraf kranial ke delapan.3
Ototoksoik merupakan ganguan fungsi kokleavestibular baik sebagian
ataupun total yang disebaban oleh interaksi senyawa kimia, yang banyak terdapat
dalam beberapa jenis

obat, yang mengenai koklea, vestibular atau nervus

vestibulokoklearis.4
Ototoksik juga didefinisikan sebagai kerusakan pada koklea dan atau
bagian vestibular dari telinga bagian dalam yang disebabkan oleh obat-obatan.5
2.4.2 Etiologi
Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan pada telinga dikenal sebagai
obat-obat ototosik. Obat-obat ini bisa menyebabkan gangguan pendengaran dan
keseimbangan, tetapi sebagian besar obat lebih banyak menyebabkan gangguan
pendengaran. Obat-obat ini antara lain:
1. Aminoglikosida

Tuli yang diakibatkannya bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai


dengan kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi
tuli unilateral dan dapat disertai gangguan vestibular.1
Obat-obatan tersebut adalah Streptomisin,

Neomisin,

Kanamisin,

Gentamisin, Tobramisin, Amikasin dan yang baru adalah Netilmisin dan


Sisomisin.

Netilmisin

mempunyai

efek

seperti

gentamisin

tetapi

sifat

ototoksisitasnya jauh lebih kecil. Sinomisin juga mempunyai efek ototoksisitasnya


yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan amiglikosida lainnya.1
Khusus untuk pemakaian Streptomisin memerlukan perhatian yang lebih.
Hal ini harus dilakukan oleh karena Streptomisin merupakan salah satu obat
golongan aminoglikosida yang sampai saat ini masih digunakan sebagai terapi
anti tuberkulosis kategori II. Pengguanaan obat ini masih dilema, karena efek
samping streptomisin dapat meyebabkan tuli sensorinueral dengan gejala tersering
tinitus atau rasa penuh pada telinga dan gangguan keseimbangan sedangkan obat
perlu diberiakan pada jangka waktu tertentu yang tidak boleh putus.1
Patofisiologi
Terget utama efek ototoksisitas aminoglikosida adalah sistem renal dan
kokleovestibular. Namun tidak ada hubungan yang jelas antara derajat
nefrotoksisitas dengan ototoksisitas. Toksisitas koklea menyebabkan gangguan
pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan efek sekunder dari
kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti, terutama dibasal koklea.
Dalam aparatus vestibular, sel-sel rambut tipe I lebih sensitif dibandingkan sel-sel
rambut tipe II.6
Kadar aminoglikosida di cairan telinga dalam bertahan lebih lama dari
adar serum sehingga ada efek ototoksik aminogliosa yang bersifat laten. Sehingga
gangguan pendengaran dapat dimulai atau bertambah parah setelah pemberian
aminoglikosida dihentikan. Peting untuk terus memantau pasien dengan efek
kokleotoksik hingga 6 bulan setelah penghentia pengobatan aminogliosida.6
2. Eritromisin
Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga tengah adalah
kurang pendengaran subjektif, tinitus yang meniup kadang-kadang vertigo.
Tuli sensorineural pernah dilaporakan terjadi pada anak-anak maupun
dewasa, terjadi tuli sensorinueral nada tinggi dan tinitus setelah pemberian

10

intravena dosis tinggi atau secara oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat
pulih setelah obat dihentikan.1
Antibiotika lain seperti Vanomisin, Viomisin, Capreomisin, Minosiklin
dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu
fungsi ginjalnya.1
3. Diuretik
Ethycrynic acid, furosemid dan bumetanide adalah diuretik yang kuat yang
disebut loop diuretik karena dapat menghambat reabsorpsi elektrolit-eletrolit
dan air pada cabang naik dari lengkungan henle. Walaupun diuretik tersebut
hanya memberikan sedikit efek samping tetapi menunjukkan derajat potensi
ototoksisitas, tetapi pada kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan tuli
permanen.1
Patofisiologi
Efek ototoksik diuretik nampaknya berhubungan dengan stria vaskularis
yang dipengaruhi oleh perubahan gradien ion antara perilimfe dan endolimfe.
Perubahan ini menyebabkan edema pada epitel stria vaskularis sehingga terjadi
perubahan potensial pada endolimfe. Bukti juga menunjukkan bahwa potensial
endolimfe menurun. Namun, ini biasnya tergantung dosis dan bersifat
reversible.6
4. Obat Anti inflamasi
Salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensorineural
berfrekuensi tinggi dan tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran
akan pulih dan tinitus akan hilang.1
Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan aspirin digunakan
secara luas sebagai anti inflamasi, antipiretik, dan analgetik. Aspirin adalah
suatu penghambat agregasi platelet dan digunakan pada pasien dengan riwayat
stroke, angina atau infrak jantung.7
Salisilat termasuk aspirin dapat

menyebabkan

tuli

sensorinueral

berfrekuensi tinggi dan tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran


akan pulih dan tinitus akan hilang.7
Patofisiologi
Asam salisilat cepat memasuki koklea, dan kadar di perilymph sama
dengan kadar di serum. Peningkatan kadar ini menyebabkan tinitus dan secara
umum, menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural yang reversibel.

11

Mekanisme ini multifaktor tetapi tampaknya menyebabkan perubahan


metabolisme dari pada perubahan morfologis dalam koklea.6
5. Obat Anti Malaria
Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan. Efek
ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran dan tinitus. Tetapi bila
pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih dan tinitus akan hilang. Perlu di
catat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada laporan kasus
tentang tuli kongenital dan hipoplasia koklea karena pengobatan malaria pada
ibu yang sedang hamil.1
6. Obat Anti Tumor
Gejala yang ditimbulkan CIS platinum, sebagai otoksisitas adalah tuli
subjektif, tinitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan
keseimbangan. Tuli biasanya bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz
dan 8 KHz, kemudian terkena frekuensi yang lebih rendah. Kurang pendengaran
biasanya mengakibatkan menurunnya hasil speech discrimination score.tinitus
biasanya samar-samar. Bila tuli ringan pada penghentian pengobatan
pendengaran aan pulih, tetapi bila tuli berat biasanya bersifat menetap.1
Patofisiologi
Mekanisme ototoksik obat kemoterapi diperantarai oleh terbentuknya
radikal bebas dari proses kematian sel. Kerusaan terjadi pada stria vaskularis di
skala media dan menyebabkan kematian sel rambut luar koklea yang berawal
dari bagian basal koklea. Jenis radikal bebas yang diproduksi oleh NADPH
oksidase pada sel rambut dalam mengikuti paparan cisplatin. NADPH oksidase
adalah enzime yang mengkatalisis pembentukan radikal superoksida. Sebuah
bentuk tertentu dari NADPH osidase, NOX 3, sangat selektif diproduksi di
telinga bagian dalam merupakan sumber penting dari radikal bebas dalam
koklea, yang mungkin berkontribusi terhadap gangguan pendengaran. Radikal
bebas ini nantinya akan memicu proses kematian sel secara apoptosis yang
diperantarai oleh mitokondria dan caspase yang pada akhirnya mengakibatkan
gangguan pendengaran yang permanen.6
7. Obat Tetes Telinga
Banyak obat tetes telinga mengandung

antibiotika

golongan

aminoglikosida seperti: neomisin dan polimiksin B.Terjadinya ketulian oleh

12

karena obat tersebut dapat menembus membran tingkap bundar (round window
membrane). Walaupum membran tersebut pada manusia lebih tebal tiga kali
dibangdingkan pada baboon (semacam monyet besar)(> 65 mikron), tetapi
dari hasil penelitian, masih dapat ditembus obat-obatan tersebut. Sebetulnya
obat tetes telinga yang mengandung antibiotika aminoglikosida diperuntukkan
untuk infeksi telingan luar.1
Obat Anti Inflamasi
Aspirin
Salisilat

Agent Kemoterapi
Bleomycin (Blenoxane)
Bromocriptine (Parlodel)
Cisplatin (Platinol)
Methotrexate (Rheumatrex)
Nitrogen Mustard (Mustargen)
Vincristine (Oncovin)
Vinblastin (Velban)
Tabel 1. Obat Golongan Salsilat dan agen kemoterapi yang menyebabkan
ototoksik1,6,7

1. Aminoglikosida
Diuretik
Amikasin
Bendroflumethazide (Corzide)
Gentamisin
Bumetadine (Burnex)
Kanamisin
Chlor-Thalidone (Tenoretic)
Neomisin
Ethacrynic acide (edecrin)
Netilmisin
Furosemide (lasix)
Streptomisin
Tobramisin
2. Eritromisin
3. Vancomisin
4. Minosiklin
5. Polimisxin B & Ampoterisin B
6. Capreomisin
Tabel 2. Antibiotik dan Diuretik yang menyebabkan ototoksik1,6

Anti Malaria
NSAID
Klorouin (Aralen)
Diclofenac (Voltaren)
Quinacrine
hydrochloride Etocolac (Lodine)
(Atabrine)
Quinine Sulfate (quinam)

Fenprofen (Nalvon)
Ibuprofen (Motrin,advil,Nuprin)

13

Indomethacin (Indocin)
Naproxen (Naprosyn,Anaprox,Aleve)
Piroxican (feldene)
Sulindac (Cinoril)
Tabel 3. Obat golongan Antimalaria dan NSAID yang menyebabkan
ototoksik1,7
2.4.3. Mekanisme Ototoksik
Akibat penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik akan dapat
menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ teliga dalam.
Kerusakan yang timbul oleh preparat ototoksik tersebut antara lain adalah:
a. Degenerasi stria vaskularis
Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua jenis obat ototoksik
b. Degenerasi sel epitel sensori
Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti dan labirin vestibular, akibat
penggunaan antibiotik aminoglikosid sel rambut luar lebih terpengaruh
dari pada sel rambut dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi dimulai
dari basal koklea dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian
apeks.
c. Degenerasi sel ganglion
Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi dari sel epitel
sensori. 1
2.4.4. Gejala Ototoksik
Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas, gejala lainnya
juga terdapat ganguan keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan,
terutama setelah perubahan posisi, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan
oscillopsia (pandangan kabur dengan pergerakan kepala) tanpa adanay riwayat
vertigo sebelumnya, menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika
mengendarai kendaraan atau mengenali wajah orang ketika berjalan.1,7,8
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat
dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar
atau sediit menurun.1,9

14

Tinitus dan kurang pendengaran yang reversible dapat terjadi pada


penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan diuretik kuat dapat
pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera. Gejala dini ganguan
pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit dikenali oleh pasien karena
hanya bermanifestasi pada frekuensi tinggi. Pada keadaan lanjut akan
mempengaruhi frekuensi percakapan dan ketuliannya akan semakin berat jika
penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan ciri penurunan yang
tajam untuk frekuensi tinggi.1,9
a. Efek pada Koklea
1. Tinitus
Tinitus biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh
sebab apapun dan seringkali keluhan pertama yangmuncul serta
menggau jika dibandingkan dengan tulinya sendiri dimana pada
ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi,berkisar anatara
4 KHz samapi 6 KHz serta biasanya bilateral. Pada kerusakan
yang menetap, tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi
juga tidak pernah hilang.
2. Gangguan Pendengaran
Lebih dari 230 obat diketahui dapat meyebabkan gangguan
pendengaran. Hilangnya pendegaran bervariasi mulai dari yang
sedang sampai berat dan dapat bersifat temporer atau permanen.
3. Hiperakusis
Hiperakusis adalah kondisi dimana suara normal diterima dan
diartikan menjadi suara yang sangat tinggi.
4. Perasaan penuh pada telinga
Adalah kondisi dimana telinga terhalang karena infeksi telinga
tengah atau oleh serumen. Dapat juga disebabkan oleh hilangnya
pendengaran secara tiba-tiba dan paparan terhadap nada tinggi
juga dapat menyebabkan perasaan penuh pada telinga.
5. Halusinasi pendengaran
Merupakan keadaan mendengar bermacam-macam suara, dimana
keadaan

ini

disebabkan

karena

kerusakan

pada

sistem

pendengaran.9
b. Efek pada Vestibular
1. Pusing
15

Pusing merupakan gejala tersering yang muncul pada ototoksik.


2. Vertigo
Vertigo adalah perasaan berputar atau bergerak ketika tubuh tidak
bergerak. Lebih dari 432 obat diketahui dapat menyebabkan vertigo.
3. Ataksia
Ataksia adalah kehilangan kemmapuan untuk menhkoordinasi otot
yang disebabkan oleh kerusakan sistem vestibular. Lebih dari 288
obat dapat menyebabkan efek samping ini.
4. Nistagmus
Nistagmus adalah gerak bola mata kian kemari yang terdiri dari dua
fase, yaitu fase lambat dan fase cepat. Lebih dari 102 obat yang
diketahui dapat menyebabkan efek samping ini.
5. Labyrinithis
Pada labyrinthis terdapat kelainan pada telinga bagian dalam (koklea
dan sistem vestibular).
6. Kehilangan keseimbangan
Beberapa obat dapat menyebabkan

seseorang

kehilangan

keseimbangan.
7. Oscillopsia
Oscillopsia atau bouncing vision merupakan kerusakan vestibular
yang berat dan menyebabkan refleks vestibule-okular tidak dapat
bekerja secara bersama-sama.
8. Gangguan emosional
Aibat dari gangguan keseimbangan, akan timbul gangguan
emosional seperti rasa cemas, depresi dan mudah marah.
9. Kelelahan
Kerusakan pada sistem vestibular dapat menyebabkan kelelahan
karena terus mempertahankan keseimbangan tubuh.
10. Nyeri otot
Hal ini terjadi akibat gangguan pada vestibule-spinal refleks. Jika
refleks ini gagal, dalam kesadaran penuh mengontrol otot, namun
dalam

keadaan

bersamaan

juga

untuk

mempertahankan

keseimbangan, otot juga bekerja rigid.


11. Mual dan muntah

16

Mual dan muntah sering menjadi efek samping dari kerusakan


vestibular yang meyebaban otak menjadi bingung dengan input dari
sensori vestibular.
12. Gangguan penglihatan
Gangguan terjadi akibat kerusakan pada vestibule-okular refleks
sehingga kesulitan dalam memfouskan pandangan mata.
13. Vague feeling of unease
Keadaan dimana tidak dapat meletakkan jari pada tempat yang
seharusnya namun penderita merasa itu sudah tepat.9
c. Efek pada Sistem Saraf Pusat
Efek pada sistem saraf pusat berupa gangguan pada proses pendengaran,
dimana suara yang masuk dari telinga diproses secara tepat namun
sinyal suara ini mungkin bisa terlambat atau diacak setelah sinyal suara
ini meniggalkan telinga bagian dalam.9
2.4.5. Diagnosis
Tidak ada cara untuk memeriksa apakah sebuah obat telah menyebabkan
ototoksisitas, tetapi bisa dilihat obat-obat apa saja yang dikonsumsi selama ini dan
apakah beresiko untuk meyebabkna kerusakan pada telinga. Keparahan gangguan
bisa ditentukan dengan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan pendengaran dan
keseimbangan.10
a. Anamnesis
- Tinitus, gangguan pendengaran, vertigo.
- Riwayat pemakaian obat ototoksik dalam jangka waktu lama 11
b. Pemeriksaan Fisik
- Otoskopi
- Pemeriksaan pendengaran dan keseimbangan6,10
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemerisaan awal, jika memungkinkan, harus konprehensif. Pada
ambang minimun bilateral konduksi udara nada murni pada frekuensi
audiometri standar 0,25-8 KHz harus diperoleh. Jika peralatan
memungkinkan frekuensi ambang sekitar 8 KHz juga harus terukur.
Pengujian tambahan akan mencakup riwayat pasien termasuk riwayat
keluarga, pemeriksaan otoscopi, immittance atau pengujian konduksi
tulang, ambang penerimaan tutur, dan skor pengenalan kata.6
Untuk pasien tidak kooperatif penguji standar dengan emisi
Otoacoustic Emission/OAE (emisi otoakustik), EcochG, dan/ atau

17

Auditory Brainstem Respone (ARB) pengujian harus diperoleh untuk


dokumentasi dan monitoring. Pengujian OAE secara khusus sensitif
terhadap sel-sel rambut luar koklea dan merupakan tes objektif yang relatif
efesien untuk menilai otoksisitas koklea. EcochG adaah tes transtympanic
lebih invasif dan memakan waktu yang mengevaluasi respon koklea dan
saraf. ABR juga tes yang memakan waktu dan terbatas pada rangsangan
tanggapan frekuensi antara 1 dan 4 KHz. Tinitus karena ototoksik cirinya
kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz.6
Grade Ototoksik menurut CTCAE (The National Cancer Institute
Common Terminology Criteria Adverse Event)
Grade 1 : Perubahan / kehilangan ambang batas dengar 15-25 dB
Grade 2 : Perubahan / kehilangan ambang batas dengar > 25-90 dB
Grade 3: Indikasi hearing aid (>20 dB bilateral HL pada speech
frequencies,>30 dB unilateral HL)
Grade 4: Indikasi implant koklea dan perlu latihan melihat bahasa bibir.6,11
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk ototoksik, hal ini
yang membuat riwayat pasien terpapar obat ototoksik menjadi hal yang
penting,. Pemeriksaan audiometri nada tinggi memperlihatkan kehilangan
nada tinggi.10
2.4.6. Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
oada waktu penberian obat-obatan ototoksik terjadi gnagguan pada telinga dalam
dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada
junis obat jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang
menderita insufiensi ginjal dan sifat obat itu sendiri.1,10
Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara
lain dengan alat bantu dengar (ABD), Psikoterapi, auditory training,termasuk cara
menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi
total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat
mempertimbangkan pemasangan implan koklea (cochlear implant).1.10

18

2.4.7. Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,
monitoring ketat level obat dala serum dan fungsi ginjal harus baik sebelum
terapi, memonitoring efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan
gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinitus, kurang
pendengaran dan vertigo.1,10
Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas
harus dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan
sebainya dilakukan pemantauan terhadap kadar obat dalam darah jika
memungkinkan baik sebelum dan selama pengobatan berlangsung.1,10
2.4.8. Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumalah dan lamanya
pengobatn, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut
ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan
tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah memburuk.1

19

BAB III
KESIMPULAN
Ototoksik didefinisikan sebagai kerusakan pada koklea dan / atau bagian
vestibular dari telinga bagian dalam yang disebabkan oleh obat-oabtan. Obatobatan

yang

sering

menyebabkan

Ototoksik

diantaranya

golongan

Aminoglikosida, diureti, salisilat, anti malaria, anti kanker dan obat topikal
telinga. Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah degenerasi
stria vaskularis, sel epitel sensori dan sel ganglion. Tinitus dan vertigo merupakan
gejala utama ototoksisitas. Tinitus cirinya kuat bernada tinggi, berkisar 4 KHz
sampai 6KHz serta biasanya bilateral, grjala lainya juga terdapat gangguan
keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan, terutama stelah perubahan
posisi, ataksia dan oscillopsia tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya.
Tuli yang diakibat kan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati, makas
pencegahan menjadi lebih penting. Pencegahan dengan mempertimbangan
pengunaaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, monitoring ketat level
obat dalam serum dan fungsi ginjal harus bai selama dan setelah terapi, menukur
fungsi audiometri sebelum terapi dapat dicoba mealkukan rehabilitasi antara lain
dengan alat bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory training,termasuk cara
menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi
total dengan belajar membaca isyarat. Pada tuli total bilateral dapat
dipertimbangkan pemasangan implan koklea. Pada umumnya prognois tidak
begitu baik dan malah memburuk.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J & Restuti RD. 2010. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 53-56
2. Snell RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta :EGC. 782-792
3. Maqbool M. 1993. Textbook of ear, Nose and Throat Disease. Sixth
Edition. India: Jaypee Brother Medical Published. 160-162.
4. Roland JN, McRae RDR, McCombe WA. 1995. Key Topics in
Otolaryngology And Head and Neck Surgery. Uk: Bios Scientific
Publishers. 231-233.
5. Groves J, Gray FR. A Synopsis of Otolaryngology. Fourth Edition. 1985.
Britol: Wright. 138-139.
6. Mudd PA. Ototoxicity. Updated 23 October 2014. Available from:
http://emedicine.medcape.com/article/857679-overview#showall
7. Broek DVP, Debruyne F, Feenstra L, Marres MAH. Buku Saku Ilmu
Kesehatan Tenggorok, Hidung dan Telinga. Edisi 12.2009. Jakarta: EGC.
79-81
8. Adams LG, Boies RL, Higler AP. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
1997. Jakarta: EGC 129
9. Bauman GN. Ototoxicity- the Hiddem Menace, Accessed 1 March 2016.
Available From: http://www.hearinglosshelp.com/
10. Haybach PJ. Ototoxicity. Acessed 1 March 2016 Available from:
http://vestibular.org/
11. Fenyan S. Ototosisitas 2011. Medan:FK USU. Acessed 1 March 2015.
Avaible from: http://repository.usu.ac.id/

21

Anda mungkin juga menyukai