Humaniter Internasional
Oleh Jerry Indrawan Master Student in Indonesia Defense University (IDU) Jakarta
Mengenal PMSC
Di dunia umumnya dikenal dua terminologi terkait perusahaan militer dan
keamanan swasta: Private Security Company (PSC) dan Private Military
Company(PMC). Keduanya sering disebut PMSC. PSC didefinisikan sebagai
perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan dirinya pada menyediakan jasa
keamanan dan perlindungan personel dan harta benda, yang mencakup aset
kemanusiaan dan industri. Sedangkan, PMC didefinisikan sebagai perusahaanperusahaan swasta yang mengkhususkan dirinya pada keterampilan militer, yang
mencakup operasi tempur, perencanaan strategis, pengumpulan intelijen, dukungan
operasional, logistik, pelatihan, pengadaan dan perawatan senjata dan
peralatan. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Komite Bantuan
Pembangunan (OECD-DAC) juga memberikan definisi terhadap PMSC sebagai
perusahaan komersial yang secara langsung menyediakan jasa perlindungan militer
atau jasa yang berkaitan dengan keamanan untuk mendapat keuntungan, apakah
secara domestik atau secara internasional.
Kondisi ini berarti jasa layanan mereka tidak harus bersenjata, operasi mereka
bersifat defensif (bertahan) daripada ofensif, dan mereka mengakomodasi berbagai
pelanggan, termasuk para pemerintah, badan-badan internasional, organisasiorganisasi non-pemerintah (LSM), dan organisasi-organisasi komersial. Klien-klien
mereka biasanya para pemerintah, tetapi dapat terdiri dari para pemberontak,
kelompok-kelompok milisi dan fraksi-fraksi bersenjata lainnya. PMSC memberikan
pelayanan untuk menggantikan, membantu, atau meningkatkan efektifitas militer atau
kelompok bersenjata.
Dalam perkembangannya, PMSC terbagi menjadi dua kategori, yaitu PMSC
aktif dan pasif. PMSC aktif bersedia membawa senjata dalam pertempuran, dan
PMSC pasif hanya fokus pada pelatihan dan masalah-masalah organisasi. PSMC
tradisional umumnya bertujuan melindungi bisnis atau harta benda seseorang dari
tindakan kejahatan, sedangkan akhir-akhir ini PSMC mulai banyak terlibat di wilayahwilayah konflik.
PMSC bisa menyediakan jasa untuk pasar domestik atau beroperasi secara
global. PSC domestik biasanya menawarkan jasa penjagaan statis dan perlindungan
pribadi bersenjata maupun tidak bersenjata, dan juga peralatan teknis seperti CCTV,
dan sistem-sistem tombol panik. Jasa ini paling sering ditemukan di dunia
berkembang dan negara-negara transisional, tetapi semakin meningkat di dunia
berkembang. PMSC internasional dengan markas besar atau kantor di beberapa
negara menawarkan apa yang sering disebut jasa keamanan premium (premium
protective security services) di lingkungan-lingkungan yang berisiko tinggi dalam skala
global. Biasanya karyawan PMSC berlatar belakang militer atau penegakan hukum
serta memiliki pengalaman substansial di lingkungan-lingkungan yang umumnya
disebut lingkungan tidak bersahabat (unfriendly neighbourhood).
Bisnis privatisasi keamanan memang menyediakan peluang-peluang besar
dan juga menimbulkan risiko-risiko berat, terutama dari perspektif keamanan
manusia. PMSC berpotensi meningkatkan keadaan keamanan apabila layanannya
disampaikan secara profesional dan akuntabel dan khususnya apabila lembaga
negara yang demokratis terlibat dalam pengendalian dan pengawasan. Tetapi,
keamanan swasta bisa juga memperburuk ketegangan sosial yang ada apabila
keamanan menjadi komoditi yang dapat diakses oleh kaum kaya saja, hingga
sebagian besar penduduk tidak dapat mengakses manfaatnya. Terlebih, memang
statusnya di mata hukum internasional, berkenaan dengan keterlibatan mereka dalam
konflik bersenjata. Lagi pula, para PMSC yang mempunyai koneksi dengan lembagalembaga negara bisa memperburuk dan menguatkan praktek dan struktur yang
menindas dari sektor keamanan suatu negara, apalagi negara yang sedang
berkonflik.
Tantangan lebih lanjut berkenaan dengan kesulitan-kesulitan dalam
memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam industri militer dan keamanan
swasta, khususnya dalam hal jasa-jasa mereka di luar negeri. Secara praktis, sangat
susah mempertanggungjawabkan pihak perusahaan dan kontraktor perseorangan
melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Tentunya, dinamika, keuntungan,
dan risiko sangat tergantung pada konteks lokal dan regional. Jadi, harus dibedakan
secara jelas jasa keamanan swasta di negara maju, negara transisional, negara
berkembang, dan negara konflik atau pasca konflik.
Sebelum PMSC diatur dalam konvensi-konvensi internasional, penjelasan
tentang tentara bayaran terlebih dahulu dibahas dalam dua konvensi internasional
yang secara khusus bertujuan menghilangkan mereka melalui kriminalisasi kegiatan
tentara bayaran (diluar Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan yang sudah
dibahas sebelumnya). Dua konvensi itu adalah: Konvensi Internasional anti
Perekrutan, Penggunaan, Pembiayaan dan Pelatihan Tentara Bayaran (International
Convention against the Recruitment, Use, Financing and Training of
Mercenaries),kemudian Konvensi Organisasi Afrika Bersatu untuk Penghapusan
Segala Bentuk Tentara Bayaran di Afrika (Organization of African Unity Convention
for the Elimination of Mercenarism in Africa).
Memang sejak berakhirnya era perang dingin tentara bayaran perlahan juga
mulai kehilangan eranya. Era perusahaan militer dan keamanan swasta mulai muncul,
ditandai dengan permintaan terhadap PMSC yang meningkat cukup tajam. Industri
PMSC menawarkan jenis pelayanan keamanan yang lebih luas, dengan jumlah staf
sekitar 10.000, membuatnya menjadi fenomena baru di tengah meningkat pula jumlah
konflik bersenjata di dunia pasca perang dingin. Kemudian, dalam perkembangannya
pada September 2008 Pemerintah Swiss dan International Committee of the Red
Cross (ICRC) melahirkan Montreux Document yang banyak membahas status PMSC
menurut Konvensi Jenewa 1949. Terkait Dokumen Montreux, semua personel PMSC,
mengesampingkan status mereka, harus mematuhi hukum humaniter internasional
yang berlaku.
Apakah PMSC serupa dengan Tentara Bayaran?
Satu hal yang penting dicermati adalah istilah tentara bayaran, yang lebih
sering digunakan dan lebih populer sebenarnya di mata publik dan media. Dari
perspektif legal, penyebutan ini tidaklah benar, karena untuk disebut sebagai tentara
bayaran dalam perspektif hukum humaniter, seseorang harus memenuhi enam
kriteria menurut Pasal 47 Protokol Tambahan: harus direkrut secara khusus untuk
bertempur di dalam konflik bersenjata, terlibat secara langsung dalam pertempuran,
motivasinya hanya untuk keuntungan pribadi, bukan warga negara dari pihak yang
berkonflik atau penduduk dari wilayah yang dikuasai pihak yang berkonflik, bukan
anggota angkatan bersenjata dari pihak yang berkonflik, dan tidak dikirim oleh negara
yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata yang dimaksud.
Kriteria-kriteria ini mengecualikan staf PMSC dari kategori tentara bayaran,
sebagai didefiniskan dalam hukum humaniter. Hal ini karena umumnya karyawan
PMSC tidak dikontrak secara khusus untuk bertempur dan terlibat langsung dalam
sebuah konflik bersenjata. Mereka umumnya dikontrak untuk menyediakan layanan,
seperti pelatihan, keamanan individu atau kegiatan inteligen. Selain itu, dengan
menggabungkan PMSC ke dalam angkatan bersenjata sebuah negara, negara yang
ingin menggunakan PMSC tersebut dapat menghindari stafnya dikategorikan sebagai
tentara bayaran, walaupun semua kriteria di atas tadi terpenuhi.
Bagaimanapun, dari sudut pandang hukum humaniter internasional, seseorang
yang dapat dikategorikan tentara bayaran tidak dianggap kombatan dan tidak memiliki
status sebagai Tawanan Perang (PoW), Kecuali, jika mereka terlibat langsung dalam
pertempuran. Konsekuensinya, tentara bayaran dapat dituntut dengan hukum
domestik atas keterlibatan mereka dalam pertempuran. Meskipun begitu, menurut
bahwa setiap individu yang memenuhi definisi tentara bayaran tidak berhak atas
status kombatan.
Ketika mempertimbangkan konsekuensi status tentara bayaran, penting untuk
dicatat bahwa orang-orang yang diklasifikasikan sebagai tentara bayaran, seperti
yang disebutkan dalam Protokol Tambahan I, diberi perlindungan tertentu menurut
hukum humaniter internasional. Meskipun dicabut status kombatan dan tawanan
perang, tentara bayaran harus diperlakukan sebagai non-kombatan yang telah
mengambil bagian dalam permusuhan. Individu tersebut berhak atas perlindungan
dan jaminan-jaminan fundamental yang terkandung dalam Pasal 75 protokol yang
sama. Jaminan fundamental Pasal 75 memiliki ruang lingkup yang luas dan mencakup
hak untuk diperlakukan secara manusiawi dalam segala keadaan dan hak untuk
dilindungi dari pembunuhan, penyiksaan, hukuman fisik dan penghinaan atas
martabat seseorang.
Pasal 75 (4) menjamin hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil dan
proses yang sesuai dengan pelanggaran pidana. Para delegasi Konferensi Diplomatik
tahun 1977 bersikap tegas dalam desakan mereka agar tentara bayaran dilindungi
oleh jaminan-jaminan mendasar ini. Memang demikian, sejumlah negara secara
eksplisit mengindikasikan bahwa mereka akan memahami pasal tersebut sebagai
upaya untuk memberikan tentara bayaran hak untuk dilindungi oleh Pasal 75. Posisi
seperti itu konsisten dengan tujuan menyeluruh Konferensi Diplomatik 1977. Oleh
karena itu, pandangan popular yang menyatakan bahwa tentara bayaran tidak
mendapat perlindungan menurut hukum humaniter internasional adalah
menyesatkan.
Beberapa penulis memang berpendapat bahwa orang-orang yang direkrut oleh
perusahaan militer swasta dan bekerja di lapangan, berada dalam kondisi legal
vacuum. Pendapat ini dilandasi beberapa alasan seperti tidak dapat diberlakukannya
secara efektif prinsip yurisdiksi teritorial, kemudian dalam prinsip pembedaan hukum
humaniter internasional dikenal tiga pembagian status penduduk dalam konflik
bersenjata yaitu sipil, kombatan, sipil yang menyertai angkatan bersenjata, tetapi
praktiknya mayoritas aktivitas para personil perusahaan militer swasta
mengkondisikan mereka pada inkonsistensi status hukum yang dimilikinya.
Kondisi seperti ini mengakibatkan ketidakjelasan status hukum mereka.
Ketidakjelasan status hukum PMSC beserta karyawannya, khususnya ketika bertugas
dalam situasi konflik, menempatkan mereka dalam kondisi area abu-abu (grey area)
yang berpotensi menimbulkan perdebatan tentang keberadaan mereka dalam suatu
konflik bersenjata yang berdampak pula pada perlindungan hak-hak asasi mereka.
Selama ini berbagai pihak selalu mengidentikkan para personil perusahaan militer
swasta dengan tentara bayaran, sehingga muncul suatu stigma yang menyebut
mereka sebagai reinkarnasi tentara bayaran (mercenary/soldier of fortune/dogs of
war).
Akan tetapi, seperti yang dibahas sebelumnya, konsep tentara bayaran seperti
yang termuat dalam Pasal 47 Protokol Tambahan I 1977 dan United Nations General
Assembly International Convention Against The Recruitment, Use, Financing and
Training of Mercenaries, tidak dapat diterapkan secara optimal kepada PMSC,
terutama untuk menentukan status hukum mereka ketika bertugas dalam situasi
konflik bersenjata karena tidak semua personilnya dapat dikualifikasikan sebagai
tentara bayaran.
Aturan terkait tentara bayaran juga sedikit di bahas di Konvensi Den Haag V
tahun 1907. Walaupun tidak secara tegas merujuk ke tentara bayaran, Konvensi Den
Haag V berkaitan dengan implikasi aktivitas tentara bayaran dalam hal netralitas.
Pasal 4 menyatakan bahwa korps kombatan tidak dibentuk, juga tidak membuka
lembaga perekrutan, di wilayah suatu negara netral untuk membantu para pihak yang
berperang dalam konflik bersenjata. Pasal 5 menempatkan tanggung jawab langsung
pada negara netral untuk menjamin bahwa tindakan-tindakan yang dirujuk pada Pasal
4 tidak terjadi di wilayahnya. Efek dari Pasal 17 adalah bahwa seorang individu yang
beraksi untuk mendukung salah satu pihak yang berperang dengan mengangkat
senjata sebagai tentara bayaran atau kontraktor militer swasta tidak dapat
mempertahankan kenetralannya. Meskipun demikian, pasal yang sama menyatakan
bahwa individu tersebut masih berhak atas tingkat perlindungan yang diberikan
kepada warga negara dari negara-negara yang berperang.
Mengatur PMSC
Beberapa tahun terakhir kita disuguhkan sebuah fenomena di mana peran
negara dan militernya telah disubkontrakan kepada PMSC. Akibatnya, keterlibatan
mereka dalam situasi konflik menjadi semakin meningkat dan perlakuan terhadap
mereka tentunya harus diatur dalam kaitannya dengan hukum humaniter
internasional. Untuk itu, pada bagian ini akan dibahas sedikit teknis tentang
bagaimana mengatur PMSC.
Aktivitas PMSC termasuk melindungi personel dan aset militer, memberikan
pelatihan dan konsultasi, memelihara sistem persenjataan, menginterogasi tahanan,
dan terkadang juga bertempur. PMSC juga bisa menjadi anggota dari militer terkait
Pasal 4 (A) (1) and (3) dari Konvensi Jenewa Ketiga. Biasanya sebuah negara akan
menggunakan jasa PMSC dikarenakan pengurangan dari jumlah angkatan bersenjata
mereka. Dengan demikian, sangat jarang ditemukan kasus di mana PMSC adalah
bagian dari angkatan bersenjata sebuah negara.
Karyawan dari PMSC bisa terdiri dari milisi-milisi atau korps sukarelawan dari
negara yang sedang berkonflik, sesuai Pasal 4 (A) (2) Konvensi Jenewa Ketiga.Yang
menjadi masalah adalah ketika PMSC membentuk atau menjadi bagian dari sebuah
kelompok yang terlibat dalam situasi konflik bersenjata. Dengan demikian, mereka
memenuhi empat kriteria yang menandakan bahwa mereka bisa dikenakan hukum
humaniter internasional. Empat kriteria itu adalah: ada struktur komando, memiliki
tanda-tanda pembeda yang jelas, membawa senjata secara terbuka, dan mematuhi
hukum-hukum dan kebiasaan perang.
Menurut Protokol Tambahan I Pasal 43, PMSC bisa digolongkan kombatan
apabila mereka adalah anggota dari kelompok terorganisir yang berada di bawah
tanggung jawab komando dari pihak yang sedang berkonflik, dan mereka harus
mematuhi hukum internasional yang berlaku dalam konflik bersenjata. Kasus yang
menarik terkait hal ini adalah beberapa PMSC dalam komunikasi publiknya berjanji
bahwa mereka akan mematuhi hukum internasional, khususnya hak asasi manusia
dan hukum humaniter. Contohnya, The International Peace Operation Organization
(IPOA), sebuah organisasi yang mendorong peran dari PMSC, telah mengaplikasikan
kode etik yang berbunyi: Dalam setiap operasi mereka, pihak yang bertandatangan
akan mengikuti semua hukum internasional yang relevan dan protokol-protokol yang
terkait hak asasi manusia. Mereka akan mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk mengurangi kehilangan dan kehancuran harta benda. Pihak yang
bertandatangan akan mengikuti Konvensi Internasional PBB tentang Hak Sipil dan
Politik dan Konvensi Jenewa, serta akan mencari konklusi yang cepat, adil, dan
menguntungkan.
Karyawan PMSC bisa juga termasuk kategori warga sipil yang menyertai
angkatan bersenjata, sesuai Pasal 4 (A) (4) dari Konvensi Jenewa Ketiga. Salah satu
contohnya adalah warga sipil yang menjadi kru pesawat militer atau kontraktor
penyedia barang bagi militer. Jika karyawan PMSC dikategorikan warga sipil, mereka
dapat mengambil manfaat dari perlindungan yang disediakan bagi warga sipil oleh
hukum humaniter internasional. Dalam konflik bersenjata internasional mereka
dilindungi oleh Konvensi Jenewa Keempat, asal memenuhi unsur-unsur yang
disebutkan di Pasal 4 Protokol Tambahan I, dan hukum kebiasaan internasional.
PMSC. Sulit memang, tapi paling tidak dengan adanya aturan-aturan yang bersifat
mengikat, pelanggaran-pelanggaran ini bisa dikurangi. Negara di mana PMSC
beroperasi juga memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa hukum humaniter
dihormati di wilayahnya. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat aturan yang
menyediakan kerangka kerja legal untuk aktivitas PMSC. Contohnya, negara dapat
membuat sistem pendaftaran terkait beberapa kriteria untuk PMSC, serta mereka
dapat memberikan izin bagi PMSC.
Negara di mana PMSC didirikan atau memiliki markas besar juga memiliki
kewajiban untuk memastikan bahwa hukum humaniter dihormati. Mereka secara
khusus memiliki peran yang optimal dan efektif karena dapat mengatur dan memberi
izin operasi bagi PMSC. Mereka dapat membuat aturan yang mengharuskan PMSC
memenuhi beberapa persyaratan untuk beroperasi sesuai hukum, contohnya
memastikan bahwa karyawan PMSC menerima pelatihan yang layak dan menjalani
pemeriksaan rekam jejak yang memadai.
Negara-negara di mana karyawan PMSC berasal tetap harus disebutkan.
Walaupun, negara-negara ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan PMSC
ataupun operasi yang mereka jalankan, mereka memiliki hubungan yuridiksi yang kuat
terhadap karyawan dari negara mereka. Negara-negara ini dapat menjadi tempat
terbaik untuk memberikan sanksi hukum (put on trial) kepada para karyawan PMSC
(dari negara itu tentunya) apabila mereka melanggar hukum humaniter, bahkan di bila
kejadiannya di luar negeri.
Secara sederhana, setiap negara memiliki kewajiban di bawah hukum
humaniter. Beberapa kewajibannya relatif luas, dan dibutuhkan panduan bagi negara
untuk mengimplementasikannya. Ada beberapa cara di mana langkah-langkah di atas
bisa diterapkan secara efektif. Pemerintah Swiss bersama dengan ICRC telah
meluncurkan inisiatif untuk mendorong penghormatan terhadap hukum humaniter
internasional dan juga mengusulkan cara-cara penanganan terkait meningkatnya
kehadiran PMSC dalam konflik bersenjata.
Tujuan dari inisiatif itu adalah untuk berkontribusi dalam debat yang terjadi di
dunia internasional terkait masalah-masalah penggunaan PMSC, dan untuk
mempelajari dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik untuk menjamin
negara melaksanakan kewajibannya dalam menghormati dan menjalankan hukum
humaniter dan hukum hak asasi manusia. ICRC bekerjasama dengan Pemerintah
Swiss terkait inisiatif ini dengan tujuan untuk mendapatkan penghormatan yang lebih
besar terhadap hukum humaniter internasional. Inisiatif ini menjadi awal munculnya
Montreux Document tahun 2008, yang sudah dibahas sebelumnya.
Status Khusus bagi Karyawan PMSC
Hukum humaniter internasional tidak memberi kemungkinan untuk kategori
semi kombatan. Namun, barangkali tetap menggoda untuk berpendapat bahwa
karyawan PMSC, entah bagaimana merupakan kombatan, karena banyak dari
mereka yang dapat diklasifikasikan sebagai orang-orang yang menyertai angkatan
bersenjata yang diberi status tawanan perang. Karyawan PMSC yang menyediakan
jasa catering dan membangun pangkalan-pangkalan untuk angkatan bersenjata
memang akan diberi hak atas status tawanan perang, jika mereka telah diberi
wewenang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan semacam itu oleh pasukan yang
mereka ikuti.
Perluasan status tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa Ketiga,
namun orang-orang ini bukan kombatan dan tidak berhak berpartisipasi dalam
permusuhan. Sedangkan penjelasan mengenai Pasal 43 Protokol Tambahan I tidak
berkaitan dengan kategori orang-orang yang berhak atas status tawanan perang,
tetapi bukan kombatan. Kesimpulan ini adalah jelas dari pemaknaan sederhana Pasal
50 Protokol Tambahan I dan Pasal 4 Konvensi Jenewa Ketiga. Pasal 50 Protokol
Tambahan I mendefinisikan warga sipil sebagai orang-orang tidak dijelaskan dalam
Pasal 4A (1), (2), (3), (6) dari Konvensi Ketiga.
Akibatnya, sebaliknya, orang-orang yang tercantum dalam Pasal 4A (4)
(personil dukungan logistik bagi angkatan bersenjata) dianggap warga sipil karena
Pasal 43 Protokol Tambahan I menetapkan bahwa kombatan hanya memiliki hak
untuk berpartisipasi dalam permusuhan, harus disimpulkan bahwa karyawan logistik
sipil tidak memiliki hak untuk berpartisipasi dalam permusuhan. Selain itu, penjelasan
Pasal 43 dengan jelas menyatakan, Semua anggota angkatan bersenjata adalah
kombatan, dan hanya anggota angkatan bersenjata adalah kombatan. Hal ini
seharusnya membuang konsep semi kombatan, yang kadang-kadang telah
digunakan pada dasar kegiatan-kegiatan yang kurang lebih berkaitan langsung
dengan upaya perang. Hukum humaniter internasional menyediakan kerangka kerja
yang koheren untuk mencakup semua orang yang berada dalam situasi konflik
bersenjata. Walaupun, kebanyakan dari mereka mungkin juga tidak memenuhi syarat
untuk mendapat manfaat dari status kombatan. Sebagian besar memiliki status sipil
menurut hukum humaniter.
Penutup
Marx pernah mengemukakan pendapatnya bahwa tidak menutup kemungkinan
di masa depan, perang digerakkan oleh jenis tentara yang tidak dapat dianalisa
karena terdiri dari beragam ras, suku bangsa atau kewarganegaraan dan mereka
berperang hanya demi kedaulatan perang itu sendiri dan bukan kedaulatan sebuah
negara. Marx menambahkan bahwa fungsi perang dalam kapitalisme bukan hanya
penaklukan atau perebutan wilayah dan pasar serta sumber-sumber alam dan tenaga
kerja. Lebih jauh lagi, perang merupakan suatu mekanisme untuk mengatasi krisis
kapitalisme yang diakibatkan oleh over production. Oleh sebab itu, berbagai fenomena
yang berkaitan dengan perang baru dapat diamati seperti pengingkaran terhadap
perbedaan antara militer dan sipil, penghancuran infrastruktur ekonomi, kerja sama
antara pihak pemerintah dengan non-pemerintah, kesenjangan yang mencolok antara
berbagai pihak yang terlibat dalam perang, kekacauan pemerintahan serta lenyapnya
batas hukum (yuridis) dan politis.
Aturan-aturan terkait PMSC dalam konvensi-konvensi internasional memang
cenderung menjadi subyek perdebatan yang terus meningkat, sebagai ekses dari
kebangkitan industri militer dan keamanan swasta. Jika ada reformasi hukum di
bidang ini, penting untuk diingat kesulitan-kesulitan terkait hukum konvensional yang
ada. Definisi tentang kombatan, sipil, dan PoW, serta pasal-pasal yang tumpang tindih
dalam Protokol Tambahan I, maupun Konvensi Jenewa juga dalam pengertian penulis
masih perlu dijadikan diskursus kritis ke depannya. Di saat yang sama, penting untuk
memastikan bahwa individu-individu dilindungi dan terikat oleh hukum humaniter
internasional dalam situasi konflik bersenjata. Sangat penting bahwa PMSC juga
berhak atas jaminan-jaminan dasar hukum humaniter internasional dan, ketika
melakukan pelanggaran hukum humaniter, harus dituntut secara semestinya.
Tulisan ini tidak dibuat untuk memberikan penilaian benar salah atau baik buruk
terhadap keberadaan Private Military and Security Companies. Tulisan ini pun tidak
juga dibuat untuk mengevaluasi atau menentukan keuntungan dan kerugian apabila
sebuah negara atau aktor-aktor non-negara lainnya untuk menggunakan jasa PMSC.
Terkait mata kuliah International Humanitarian Law yang diajarkan di Universitas
Pertahanan Indonesia, ada baiknya tulisan ini disampaikan agar setiap stake holder
yang mempelajarinya mendapat pencerahan terkait status PMSC di dalam hukum
humaniter international ketika terjadi konflik bersenjata. Begitu pula dengan implikasi
hukumnya apabila mereka terlibat dalam konflik bersenjata, dan juga melakukan
pelanggaran hukum humaniter serta hak asasi manusia.
Untuk itu, sebenarnya tulisan ini juga relevan dibahas dalam mata kuliah lain di
Unhan, yaitu Armed Conflict and Peace Mission, di mana aktor-aktor yang terlibat
dalam konflik bersenjata, ternyata salah satunya bisa juga PMSC. Lebih dari itu,
tulisan ini pastinya jauh dari sempurna. Kekurangan di sana-sini masih banyak
ditemukan. Akan tetapi, cakupan hukum humaniter yang dalam perkembangannya
menjadi semakin kompleks dan luas, diperkaya melalui tulisan-tulisan kontemporer
yang membahas isu-isu aktual seperti ini.