BAB I
PENDAHULUAN
dengan postur tubuh yang gagah dan proporsional. Karena berbagai keistimewaannya, kini
Anjing Kintamani Bali dijadikan maskot fauna Kabupaten Bangli dan telah diproklamirkan
oleh organisasi peranjingan di Indonesia yaitu Perkumpulan Kinologi Indonesia atau Perkin
sebagai anjing ras pertama Indonesia dan telah diakui dan ditetapkan oleh Asian Kennel
Union atau AKU sebagai ras anjing asli Indonesia pada forum AKU di Filipina pada tanggal
23 Pebruari 2012. Adanya pengakuan Anjing Kintamani Bali oleh Organisasi Anjing Asia
membuat anjing ini semakin diminati oleh masyarakat dan secara tidak langsung
meningkatkan nilai ekonomi dari Anjing Kintamani Bali.
Diketahui bahwa Anjing Kintamani Bali bersifat prolifik yang artinya melahirkan
anak dalam jumlah banyak dalam satu kelahiran. Sifat ini secara turun temurun diturunkan
dari tetuanya kepada turunannya. Jumlah rata-rata anak sekelahiran atau litter size pada
Anjing Kintamani Bali adalah 4,1 (Puja, 2007). Sampai saat ini belum ada penelitian
mengenai gangguan reproduksi spesifik breed Anjing Kintamani Bali seperti distokia.
Distokia diartikan sebagai perpanjangan waktu pada tahap pertama dan kedua dari
proses kelahiran sehingga tidak memungkinkan bagi hewan induk untuk melahirkan tanpa
bantuan dari manusia (Toelihere, 1985) Setiap ras anjing memiliki kemungkinan untuk
mengalami distokia pada proses kelahiran. Terdapat beberapa ras anjing yang berisiko tinggi
terhadap distokia. Menurut Evans dan Adams (2010) Dilaporkan bahwa 86% anakan anjing
jenis English Bulldog dilahirkan melalui section caesarean. Ras anjing lain yang juga
berpeluang besar untuk mengalami distokia adalah French Bulldog dan Boston Terrier
dengan presentase penanganan distokia melalui section caesarean adalah 81% dan 92%.
sementara itu, dalam penelitiannya, Forsberg dan Persson (2007) menemukan bahwa
distokia terjadi pada 32% indukan anjing ras jenis Boxer.
Kejadiaan distokia tidak menutup kemungkinan juga dialami oleh Anjing Kintamani
Bali. Untuk itu perlu dilakukan penelitian berkenaan kejadian distokia pada Anjing
Kintamani Bali untuk meningkatkan manajemen pemeliharaan dalam rangka melengkapi
data tentang status reproduksi dari anjing tersebut.
Usaha penetapan Anjing Kintamani Bali sebagai anjing ras sangat diperlukan mengingat
Anjing Kintamani Bali memang memiliki potensi dan peluang yang besar untuk diakui
sebagai anjing ras asli Indonesia. Tidak hanya berpengaruh terhadap perkembangan anjing
Indonesia sendiri, tetapi juga berpengaruh besar terhadap masyarakat baik ditinjau dari segi
ekonomi, sosial dan segi lain yang berpengaruh. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa
terdapat kesenjangan nilai antara anjing ras dan anjing bukan ras. Ini dapat dimaklumi karena
anjing ras merupakan kelompok anjing sebagai hasil intervensi manusia dengan berbagai
kepentingan dan proses seleksi yang panjang sehingga mempunyai suatu keunggulan dan ciri
yang dapat dibedakan dengan anjing lain (Puja, 1999)
Setiap ras anjing memiliki kekhasan dalam berbagai aspek, baik dari segi anatomi
performance dan genetik. Salah satunya adalah kemungkinan terjadinya distokia
kesulitan dalam
atau
dipengaruhi oleh banyak faktor penyebab. Faktor penyebab tersebut termasuk dalam faktor
maternal (inertia uteri dan sempitnya saluran peranakan) dan/atau faktor fetal (oversize fetus
dan maldisposition fetus). Kondisi ini terjadi lebih sering pada beberapa ras (Memon, 2013).
Distokia dapat saja bersifat genetik dipengaruhi oleh jenis ras anjing itu sendiri. Begitu pula
dengan Anjing Kintamani Bali. Sampai saat ini belum ada laporan mengenai tingkat kejadian
distokia pada Anjing Kintamani Bali. Hal tersebut mungkin saja dapat terjadi dengan peluang
kemungkinan yang sama dengan anjing ras medium lain. Namun tetap penting untuk melihat
dan mencari tahu seberapa besar peluang yang dimiliki oleh Anjing Kintamani Bali untuk
mengalami distokia dilihat dari tingkat kejadian yang telah dilaporkan. Hal ini tentunya akan
sangat berpengaruh terhadap menajemen pemeliharaan dan pengembangbiakkan ras asli
pertama Indonesia ini.