Anda di halaman 1dari 4

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anjing merupakan salah satu hewan yang digemari olah manusia. Dikatakan bahwa
anjing telah menemani manusia selama lebih dari 10.000 tahun. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa semua anjing, baik yang masih liar dan telah didomestikasi berasal dari
South Asian Wolf (NatGeo, 2014). Saat ini telah ada ratusan jenis ras anjing yang telah
didomestikasi yang meskipun sangat beragam baik dari bentuk dan ukuran tubuh, mereka
berasal satu satu spesies yang sama yaitu Canis familiaris.
Salah satu jenis anjing yang telah berhasil didomestikasi oleh manusia adalah Anjing
Kintamani Bali. Anjing Kintamani Bali merupakan anjing lokal pegunungan yang hidup di
Desa Sukawana dan sekitarnya, di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Dahulu, anjing ini dikenal dengan sebutan anjing gembrong. Anjing Kintamani Bali
merupakan anjing asli Indonesia yang mempunyai penampilan menarik (Puja, 2007).
Anjing

Kintamani Bali memiliki penampilan yang anggun, cantik dan menarik,

dengan postur tubuh yang gagah dan proporsional. Karena berbagai keistimewaannya, kini
Anjing Kintamani Bali dijadikan maskot fauna Kabupaten Bangli dan telah diproklamirkan
oleh organisasi peranjingan di Indonesia yaitu Perkumpulan Kinologi Indonesia atau Perkin
sebagai anjing ras pertama Indonesia dan telah diakui dan ditetapkan oleh Asian Kennel
Union atau AKU sebagai ras anjing asli Indonesia pada forum AKU di Filipina pada tanggal
23 Pebruari 2012. Adanya pengakuan Anjing Kintamani Bali oleh Organisasi Anjing Asia
membuat anjing ini semakin diminati oleh masyarakat dan secara tidak langsung
meningkatkan nilai ekonomi dari Anjing Kintamani Bali.

Diketahui bahwa Anjing Kintamani Bali bersifat prolifik yang artinya melahirkan
anak dalam jumlah banyak dalam satu kelahiran. Sifat ini secara turun temurun diturunkan
dari tetuanya kepada turunannya. Jumlah rata-rata anak sekelahiran atau litter size pada
Anjing Kintamani Bali adalah 4,1 (Puja, 2007). Sampai saat ini belum ada penelitian
mengenai gangguan reproduksi spesifik breed Anjing Kintamani Bali seperti distokia.
Distokia diartikan sebagai perpanjangan waktu pada tahap pertama dan kedua dari
proses kelahiran sehingga tidak memungkinkan bagi hewan induk untuk melahirkan tanpa
bantuan dari manusia (Toelihere, 1985) Setiap ras anjing memiliki kemungkinan untuk
mengalami distokia pada proses kelahiran. Terdapat beberapa ras anjing yang berisiko tinggi
terhadap distokia. Menurut Evans dan Adams (2010) Dilaporkan bahwa 86% anakan anjing
jenis English Bulldog dilahirkan melalui section caesarean. Ras anjing lain yang juga
berpeluang besar untuk mengalami distokia adalah French Bulldog dan Boston Terrier
dengan presentase penanganan distokia melalui section caesarean adalah 81% dan 92%.
sementara itu, dalam penelitiannya, Forsberg dan Persson (2007) menemukan bahwa
distokia terjadi pada 32% indukan anjing ras jenis Boxer.
Kejadiaan distokia tidak menutup kemungkinan juga dialami oleh Anjing Kintamani
Bali. Untuk itu perlu dilakukan penelitian berkenaan kejadian distokia pada Anjing
Kintamani Bali untuk meningkatkan manajemen pemeliharaan dalam rangka melengkapi
data tentang status reproduksi dari anjing tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut : Bagaimana tingkat kejadian distokia pada Anjing Kintamani Bali yang diperlihara
dan dibiakkan oleh pembiak Anjing Kintamani Bali di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kejadian distokia pada Anjing
Kintamani Bali yang dipelihara dan dibiakkan oleh para pembiak Anjing Kintamani Bali di
Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para pembiak Anjing Kintamani
Bali untuk meningkatkan kualitas pemeliharaan terhadap Anjing Kintamani Bali dan untuk
memperkaya data dan informasi terkait dengan Anjing Kintamani Bali.

1.5 Kerangka Konsep


Hingga saat ini, telah terdapat ratusan jenis ras anjing di seluruh dunia dengan bentuk dan
ukuran yang berbeda. Sementara itu, beberapa jenis ras anjing mungkin sedang berupaya
untuk menambah daftar panjang sebagai jenis anjing baru yang telah diakui oleh Federation
Cynologique Internationale (FCI) sebagai anjing ras dunia, sama halnya dengan Anjing
Kintamani Bali atau yang kerap kali dikenal dengan sebutan AKB. Anjing Kintamani Bali
adalah anjing lokal jenis pegunungan yang berasal dari Desa Sukawana dan sekitarnya, di
Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Nama Anjing Kintamani Bali
diambil dari nama daerah asal anjing ini melalui workshop yang diselenggarakan oleh Dinas
Peternakan Provinsi Bali pada tahun 2001.
Anjing ini memiliki penampilan yang menarik dan mulai banyak dikembang biakkan oleh
para pembiak dan pecinta Anjing Kintamani Bali di berbagai wilayah di Indonesia dan manca
negara. Anjing Kintamani Bali memiliki penampilan yang indah dan karakteristik khas yang
membedakannya dengan anjing geladak atau street dog yang juga hidup di wilayah yang
sama.

Usaha penetapan Anjing Kintamani Bali sebagai anjing ras sangat diperlukan mengingat
Anjing Kintamani Bali memang memiliki potensi dan peluang yang besar untuk diakui
sebagai anjing ras asli Indonesia. Tidak hanya berpengaruh terhadap perkembangan anjing
Indonesia sendiri, tetapi juga berpengaruh besar terhadap masyarakat baik ditinjau dari segi
ekonomi, sosial dan segi lain yang berpengaruh. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa
terdapat kesenjangan nilai antara anjing ras dan anjing bukan ras. Ini dapat dimaklumi karena
anjing ras merupakan kelompok anjing sebagai hasil intervensi manusia dengan berbagai
kepentingan dan proses seleksi yang panjang sehingga mempunyai suatu keunggulan dan ciri
yang dapat dibedakan dengan anjing lain (Puja, 1999)
Setiap ras anjing memiliki kekhasan dalam berbagai aspek, baik dari segi anatomi
performance dan genetik. Salah satunya adalah kemungkinan terjadinya distokia
kesulitan dalam

atau

melahirkan. Kasus distokia kerap terjadi pada beberapa ras anjing,

dipengaruhi oleh banyak faktor penyebab. Faktor penyebab tersebut termasuk dalam faktor
maternal (inertia uteri dan sempitnya saluran peranakan) dan/atau faktor fetal (oversize fetus
dan maldisposition fetus). Kondisi ini terjadi lebih sering pada beberapa ras (Memon, 2013).
Distokia dapat saja bersifat genetik dipengaruhi oleh jenis ras anjing itu sendiri. Begitu pula
dengan Anjing Kintamani Bali. Sampai saat ini belum ada laporan mengenai tingkat kejadian
distokia pada Anjing Kintamani Bali. Hal tersebut mungkin saja dapat terjadi dengan peluang
kemungkinan yang sama dengan anjing ras medium lain. Namun tetap penting untuk melihat
dan mencari tahu seberapa besar peluang yang dimiliki oleh Anjing Kintamani Bali untuk
mengalami distokia dilihat dari tingkat kejadian yang telah dilaporkan. Hal ini tentunya akan
sangat berpengaruh terhadap menajemen pemeliharaan dan pengembangbiakkan ras asli
pertama Indonesia ini.

Anda mungkin juga menyukai