2. FESTI HALAWA
8. MARTON SIANTURI
5. DEBORAH MANALU
6. ROBINTANG PARDEDE
14.
15. PROGRAM STUDI NERS
16. SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTA ELISABETH
17. MEDAN
18. 2016
19. KATA PENGANTAR
20.
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem keperawatan kritis
1 dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular: Acute Coronary Syndrome
21.
karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari
pembaca.
23.
24.
25.
26.
27.
Medan,
September 2016
28.
29.
30.
Penulis
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38. DAFTAR ISI
39. COVER
40. KATA PENGANTAR
41. DAFTAR ISI
42. BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Vdknfv
43. BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
44. 2.1 Konsep Medis
45. 2.2 Konsep Keperawatan
digunakan untuk menggambarkan pasien yang memiliki gejala klinis yang sesuai
dengan iskemia miokardium akut. Sindrom koroner akut mencakup angina tidak
stabil dan IM akut. Angina tidak stabil mengacu pada nyeri dada yang tidak
diharapkan atau ketidaknyamanan yang biasa terjadi ketika istirahat. Pasien yang
mengalami IM lebih lanjut diklasifikasikan menjadi salah satu dari dua kelompok:
pasien yang mengalami IM dengan elevasi segmen ST dan pasien yang
mengalami IM dengan elevasi non segmen ST.
59.
kesehatan publik yang bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna
di negara-negara sedang berkembang. Di Amerika Serikat, 1,36 juta penyebab
rawat inap adalah kasus SKA, 0,81 juta di antaranya adalah kasus infark
miokardium, sisanya angina tidak stabil(Risalina, 2012)
61.
akut merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7,2 juta
(12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. Infark miokard akut
adalah penyebab kematian nomor dua pada negara berpenghasilan rendah, dengan
angka mortalitas 2,47 juta (9,4%). Di Indonesia pada tahun 2002, penyakit infark
miokard akut merupakan penyebab kematian pertama, dengan angka mortalitas
220.000 (14%). Pada penelitian yang telah dilakukan di RSUP Prof. dr. R. D.
Kandou Manado, ditemukan 55 kasus SKA pada tahun 2006; 104 kasus pada
tahun 2007; 166 kasus pada tahun 2008; 251 kasus pada tahun 2009; dan 354
kasus pada tahun 2010.
62.
Secara garis besar, faktor risiko SKA dapat dibagi dua. Pertama
adalah faktor risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah
(modifiable), yaitu: hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas, diabetes mellitus,
hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup (life style). Faktor
risiko seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit keluarga adalah faktorfaktor yang tidak dapat diperbaiki(Torry, 2012).
63.
proses terjadinya penyakit ini memerlukan waktu yang lama (kronik). Lebih dari
90% terjadinya sindrom koroner akut adalah faktor dari plak aterosklerotik
dengan berlanjut ke agregasi trombosit dan pembentukan plak dari trombus intra
koroner. Trombus ini mengubah daerah sempit berplak menjadi sebuah oklusi
parah atau lengkap, dan aliran darah terganggu menyebabkan ketidakseimbangan
penanda antara suplai dan permintaan oksigen otot jantung. Bentuk sindrom
koroner akut tergantung pada derajat obstruksi koroner dan berkaitan dengan
iskemia. Sebagian oklusi trombus adalah khas penyebab sindrom yang terkait
dengan angina tidak stabil dan infark miokard tanpa elevasi ST, dengan kemudian
menjadi berbeda dengan sebelumnya akibat adanya nekrosis miokard.
Selanjutnya, jika trombus menutup sempurna, hasilnya iskemia akan lebih parah
dan nekrosis akan lebih besar jumlahnya, gejala yang terjadi adalah infark
miokard dengan elevasi ST(Torry, 2012).
64.
Tujuan Umum
66.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mahasiswa/i
81.
2.1 KONSEP MEDIS
80.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
pembuluh darah koroner (Andra, 2006). Sindrom ini juga merupakan suatu fase
akut dari angina pectoris tidak stabil (APTS) yang disertai infark miokardium akut
(IMA) gelombang Q dengan peningkatan non ST atau tanpa gelombang Q dengan
peningkatan ST yang terjadi karena adanya thrombosis akibat ruptur plak
ateroskelorosis yang tidak stabil (Wasid, 2007).
85. 2.1.2 Etiologi
86. Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya
terletak pada penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan
ini diakibatkan oleh 4 hal, meliputi:
1. Adanya timbunan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat
konsumsi kolestrol tinggi.
2. Sumbatan (thrombosis) oleh sel beku darah (thrombus)
3. Vasokontriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus
menerus
4. Infeksi pada pembuluh darah
87.
88. Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya SKA dipengaruhi oleh
beberapa
keadaan,
yaitu
aktivitas/latihan
fisik
yang
berlebihan
(tidak
seperti rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher, lengan kiri dan kanan,
serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan
nyeri ini terdapat merambat kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu, serta
punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti
masuk angina atau maag (Rilantoro, 1996)
101.
2.1.5 Patofisiologi
103.
akibat disfungsi endotel ringan dekat lesi atau repons terhadap lesi itu. Pada
keadaan disfungsi endotel, factor konstriktorlebih dominan (yakni endotelin-1,
tromboksan A2, dan pospoglandin H2 ) daripada factor relaksator (yakni nitrit
oksid dan prostasiklin). Nitrit oksid secara langsung menghambat proliferasi sel
otot polos dan migrasi adesi leoksit ke endotel , serta agregasi platelet dan sebagai
pro ateroghenic. Melalui efek melawan , TXA2 juga menghambat agregasi
platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner , menekan
fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark. Sindrom koroner akut yang diteliti secara
angiografi 60-70% menunjukan obstruksi plat aterosklerosis yang ringan sampai
dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis
tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak , adanya inflamasi pada kapsul,
dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulainya terjadi sindrom koroner akut,
khusunya IMA , dipengaruhi oleh beberapa keadaan , yakni aktivitas/latihan fisik
yang berlebihan (tak terkondisikan) , stress emosi , terkejut , udara dingin, waktu
dari siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (senin). Keadaan
tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktifitas simpatik sehingga tekanan
darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung
meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. Dari mekanisme inilah penyekat
beta mendapat tempat sebagai pencegah dan terapi.
106.
107.
nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1-0,2 ng/dl, dan dianggap
positif bila >0,2 ng/dl.
108.
2.1.7 Penatalaksanaan
109.
1. Heparin. Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada sediaan baru yang
lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah
pemantauannya(tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek mengahambat
tidak langsung pada pembentukan thrombin, namun dapat merangsang
aktivasi platelet. Dosis 60g/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
g/kg/jam maksimum bolus, yaitu 4000 g/kg, dan infuse 1000 g/jam
untuk pasien dengan berat badan <70kg.
2. Low molecular weight heparin (LMWH). Diberikan pada APTS atau
NSTEMI dengan resiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding
dengan heparin, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama: bioavailabilitas
tinggi: dose-independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk
mengahambat aktivasi platelet: tidak mengaktivasi platelet; menurunkan
faktor von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak
perlu pemantauan aPTT; rasio antifaktor Xa/IIa lebih tinggi; lebih banyak
mengahambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam
pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini adalah
Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxiparin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCL adalah 86 iu antiXa/kg IV bersama aspirin (maksimum 325mg)
kemudian85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari dengan pemberian 2 kali
tiap 12 jam.
3. Warfarin. Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa
pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara
dini.
4. Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa (GPIIb/IIIa-I). Obat ini perlu diberikan pada
NSTEMI SKA dengan resiko tinggi, terutama hubungannya dengan
intervensi koroner perkutan. Pada STEMI, bila diberikan bersama
trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi. Ada 3 sediaan, yaitu
Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena.
Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan angka kejadian koroner
114.
2.2.1 Pengkajian
115.
Klien SKA umumnya berjenis kelamin pria dan berusia lebih dari
50 tahun. Klien mengeluh nyeri dada dibagian retrosternal yang menyebar
ke lengan kiri dan punggung kiri. Nyeri ini dirasakan meskipun saat
istirahat. Biasanya berlangsung sekitar 10 menit. Dispnea juga dialami
pasien SKA. Pemeriksaan EKG biasanya menunjukkan perubahan berupa
gambaran STEMI/NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q patologik.
Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal,
terutama CKMB dan troponin-T/I, dimana troponin lebih spesifik untuk
nekrosis miokard. Nilai normal troponin adalah 0,1-0,2 ng/dl, dan
dianggap positif bila >0,2ng/dl).
116.
117.
122.
Nyeri akut
berhubungan
dengan penurunan
aliran
darah
koroner, iskemia
jaringan jantung.
123.
Kontrol
Nyeri
124.
Setelah
dilakukannya
asuhan
keperawatan
selama .x 24
jam klien dapat :
125.
1. Mengenal
factor
penyebab
dan
tindakan
untuk
mencegah nyeri.
2. Menunjukkan
teknik
relaksasi
efektif
untuk
meningkatkan
kenyamanan.
3. Menggunakan
tindakan
mengurangi nyeri
dengan
analgesic
dan nonanalgesik
secara tepat.
4. Mengenal
tanda
pencetus
nyeri
untuk
mencari
pertolongan.
5. Melaporkan gejala
kepada
tenaga
kesehatan.
126.
127.
128.
Manajem
en Nyeri
129.
1.
Kaji nyeri
secara
komprehensif,
meliputi
lokasi,
karakeristik
awitan,
dan
durasi,
frekuensi,
kualitas,
intensitas/beratny
a nyeri, dan factor
presipitasi.
130.
2.
Observasi
isyarat nonverbal
dari
ketidaknyamanan,
khususnya dalam
ketidakmampuan
untuk komunikasi
secara efektif.
131.
3.
Gunakan
komunikasi
terapeutik
klien
agar
dapat
mengekspresikan
nyeri.
132.
4.
Kaji latar
belakang budaya
klien.
133.
5.
Tentukan
dampak
nyeri
terhadap kualitas
hidup,
seperti
aktivitas
kognisi,
mood,
hubungan,
pekerjaan,
tanggung
dan
jawab
peran.
134.
6.
Kaji
pengalaman
individu terhadap
nyeri.
135.
7.
Evaluasi
efektifitas
tindakan
mengontrol nyeri
yang
telah
digunakan.
136.
8.
Berikan
dukungan
terhadap klien dan
keluarga.
137.
9.
Kontrol
factor lingkungan
yang
dapat
memengaruhi
respons
pasien
terhadap
ketidaknyamanan.
138.
10.
Anjurkan
klien
untuk
memonitor
nyerinya sendiri.
139.
11.
Anjurkan
klien
untuk
meningkatkan
tidur/istirahatyang
cukup.
140.
12.
Ajarkan
penggunaan
teknik
non-
farmakologi,
seperti
teknik
relaksasi,
imajinasi
terbimbing, terapi
music,
terapi
distraksi,
panas-
dingin, masase.
141.
13.
Modifikasi
tindakan
mengontrol nyeri
berdasarkan
respons klien.
142.
14.
Anjurkan
klien
untuk
berdiskusi tentang
pengalaman nyeri
secara tepat.
143.
15.
Observasi
kenyamanan klien
terhadap
manajemen nyeri.
144.
16.
Berikan
pendidikan
kesehatan tentang
nyeri,
seperti
penyebab, durasi
nyeri,
dan
tindakan
pencegahan.
145.
17.
Beri tahu
dokter
tindakan
jika
tidak
berhasil
atau
terjadikeluhan.
146.
18.
Informasikan
kepada
tim
kesehatan
lainnya/anggota
keluarga
saat
tindakan
non-
farmakologi
dilakukan, untuk
pendekatan
preventif.
147.
148.
Pemberia
n Analgesik
149.
1.
Tentukan
lokasi
nyeri,
karakteristik,
kualitas
dan
keparahan
sebelum
pengobatan.
150.
2.
Berikan
obat
dengan
prinsip 5 benar.
151.
3.
Cek
riwayat
alergi
obat.
152.
4.
Libatkan
klien
dalam
pemilahan
analgetik
yang
akan digunakan.
153.
5.
Pilih
analgetik
secara
tepat/kombinasi
lebih
dari
analgetik
154.
Pola
Nafas
tidak
Efektif
satu
jika
telah diresepkan.
157.
Terapi
155.
Status
Pernafasan
Oksigen
156.
Setelah
1. Bersihkan
mulut,
dilakukannya
hidung dan secret
asuhan
keperawatan
trakea
selama .x 24 2. Pertahankan
jalan
jam klien dapat :
nafas yang paten
1. frekuensi
3. Atur
peralatan
pernafasan
oksigenasi
2. irama pernafasan
4. Monitor aliran oksigen
3. Sianosis
5. Pertahankan
posisi
4. 4.saturasi oksigen
pasien
5. penggunaan otot
6. Onservasi
adanya
bantu
tanda
tanda
6. diaforesis
7. dispnea
hipoventilasi
8. 8. suara nafas 7. Monitor
adanya
tambahan
kecemasan
pasien
terhadap oksigenasi
158.
Ganggua
n Keseimbangan
Elektrolit:
Hiperkalemia
159.
Keparaha
n Hiperkalemia
160.
Setelah
168.
Manajem
en Elektrolit
1.
ambil
dilakukannya
spesimen
yang
asuhan
diminta
untuk
keperawatan
analisa
kadar
selama .x 24
kalium
dan
elektrolit
161.
1.
laboratorium
serum potasium
170.
2. monitor
2.
penyebab
perubahan EKG
terjadinya
163.
yang
tidak seimbang di
peningkatan
162.
169.
3.
peningkatan
penigkatan denyut
kalium
nadi
serum(mis: gagal
164.
4.
ginjal,
penurunan
asidosis,
dll)
tekanan darah
171.
3. monitor
165.
5. aritmia
akibat
166.
6.
hiperkalemia
Sakit
kepala
167.
terhadap
7. Kejang
jantung(mis:
penurunan curah
jantung,
asistol,,
puncak
gelombang T dll)
172.
4. monitor
gejala oksigenasi
jaringan
tidak
yang
memadai(pucat,
sianosis,
CRT
lambat)
173.
5. berikan
elektolit
yang
mengikat
atau
yang
mengikat
renin
174.
6.
pertahankan nilai
kalium
yang
normal
175.
kadar
7. monitor
kalium
setelah pemberian
terapi
176.
8. monitor
3.1 Kesimpulan
194.
digunakan untuk menggambarkan pasien yang memiliki gejala klinis yang sesuai
dengan iskemia miokardium akut. Sindrom koroner akut ini merupakan
sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada arteri koronaria.
Sindrom koroner akut (SKA) masih tetap merupakan masalah kesehatan publik
yang bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-negara
sedang berkembang. Setelah mengikuti dan mebahas topik ini mahasiswa mampu
menerapkan asuhan keperawatan Acute Coronary Syndrome
195.
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.
205.
206.
207.
208.
209.
210.
211.
212.
213.
214.
216.
DAFTAR PUSTAKA
215.
Aspiani, Reny Yuli. 2010. Asuhan Keperawatan Klien gangguan
Syndrom.
Jurnal