Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN

SISTEM KARDIOVASKULAR: ACUTE CORONARY SYNDROME


D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
KELOMPOK II
1. ANNICE CITRA HIA

7. INKA KRISTINA ZALUKHU

2. FESTI HALAWA

8. MARTON SIANTURI

3. SINDY DWY SIHALOHO

9. Sr. FEBIOLA FCJM

4. NANCY AGNES SILABAN

10. MARIS SIANTURI

5. DEBORAH MANALU

11. NOVI ANIATI

6. ROBINTANG PARDEDE

12. TRI SELAMAT

13. DOSEN PEMBIMBING: ERIKA EMNINA SEMBIRING, S.Kep., Ns.,


M.Kep

14.
15. PROGRAM STUDI NERS
16. SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTA ELISABETH
17. MEDAN
18. 2016
19. KATA PENGANTAR
20.

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem keperawatan kritis
1 dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular: Acute Coronary Syndrome
21.

Didalam makalah ini akan dibahas konsep medis dan konsep


keperawatan Acute Coronary Syndrome. Tidak lupa penulis mengucapkan
terimakasih kepada dosen pembimbing yang mengarahkan penulis serta
pengarang buku yang bukunya dijadikan sebagai referensi dalam
penyusunan makalah ini.
22.

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam makalah ini. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari
pembaca.
23.
24.
25.

Atas perhatian dan kerjasamanya penulis ucapkan terimakasih.

26.
27.

Medan,

September 2016
28.
29.
30.

Penulis
31.

32.
33.
34.
35.
36.
37.
38. DAFTAR ISI
39. COVER
40. KATA PENGANTAR
41. DAFTAR ISI
42. BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Vdknfv
43. BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
44. 2.1 Konsep Medis
45. 2.2 Konsep Keperawatan

46. BAB 3 PENUTUP


47. 3.1 Kesimpulan
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56. BAB 1
57. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
58.

Sindrom koroner akut adalah istilah yang relatif baru yang

digunakan untuk menggambarkan pasien yang memiliki gejala klinis yang sesuai
dengan iskemia miokardium akut. Sindrom koroner akut mencakup angina tidak
stabil dan IM akut. Angina tidak stabil mengacu pada nyeri dada yang tidak
diharapkan atau ketidaknyamanan yang biasa terjadi ketika istirahat. Pasien yang
mengalami IM lebih lanjut diklasifikasikan menjadi salah satu dari dua kelompok:
pasien yang mengalami IM dengan elevasi segmen ST dan pasien yang
mengalami IM dengan elevasi non segmen ST.
59.

Sindrom koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang

melibatkan ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh


kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindrom koroner akut ini

merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada arteri


koronaria. Sindrom koroner akut mencakup penyakit jantung koroner yang
bervariasi mulai dari angina pektoris tidak stabil dan infark miokard tanpa STelevasi sampai infark miokard dengan ST-elevasi. Ketiga gangguan ini disebut
sindrom koroner akut karena gejala awal serta manajemen awal sering
serupa(Torry, 2012)
60.

Sindrom koroner akut (SKA) masih tetap merupakan masalah

kesehatan publik yang bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna
di negara-negara sedang berkembang. Di Amerika Serikat, 1,36 juta penyebab
rawat inap adalah kasus SKA, 0,81 juta di antaranya adalah kasus infark
miokardium, sisanya angina tidak stabil(Risalina, 2012)
61.

Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard

akut merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7,2 juta
(12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. Infark miokard akut
adalah penyebab kematian nomor dua pada negara berpenghasilan rendah, dengan
angka mortalitas 2,47 juta (9,4%). Di Indonesia pada tahun 2002, penyakit infark
miokard akut merupakan penyebab kematian pertama, dengan angka mortalitas
220.000 (14%). Pada penelitian yang telah dilakukan di RSUP Prof. dr. R. D.
Kandou Manado, ditemukan 55 kasus SKA pada tahun 2006; 104 kasus pada
tahun 2007; 166 kasus pada tahun 2008; 251 kasus pada tahun 2009; dan 354
kasus pada tahun 2010.
62.

Secara garis besar, faktor risiko SKA dapat dibagi dua. Pertama

adalah faktor risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah
(modifiable), yaitu: hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas, diabetes mellitus,
hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup (life style). Faktor
risiko seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit keluarga adalah faktorfaktor yang tidak dapat diperbaiki(Torry, 2012).
63.

Sindrom koroner akut terlihat timbul secara mendadak, padahal

proses terjadinya penyakit ini memerlukan waktu yang lama (kronik). Lebih dari

90% terjadinya sindrom koroner akut adalah faktor dari plak aterosklerotik
dengan berlanjut ke agregasi trombosit dan pembentukan plak dari trombus intra
koroner. Trombus ini mengubah daerah sempit berplak menjadi sebuah oklusi
parah atau lengkap, dan aliran darah terganggu menyebabkan ketidakseimbangan
penanda antara suplai dan permintaan oksigen otot jantung. Bentuk sindrom
koroner akut tergantung pada derajat obstruksi koroner dan berkaitan dengan
iskemia. Sebagian oklusi trombus adalah khas penyebab sindrom yang terkait
dengan angina tidak stabil dan infark miokard tanpa elevasi ST, dengan kemudian
menjadi berbeda dengan sebelumnya akibat adanya nekrosis miokard.
Selanjutnya, jika trombus menutup sempurna, hasilnya iskemia akan lebih parah
dan nekrosis akan lebih besar jumlahnya, gejala yang terjadi adalah infark
miokard dengan elevasi ST(Torry, 2012).
64.

Dengan meningkatnya angka kejadian SKA di Indonesia, perlu

upaya pengendalian kejadian SKA dengan mengidentifikasi faktor risiko yang


berperan terhadap terjadinya SKA(Torry, 2012).
65.

Dalam satu dekade terakhir, telah banyak dilakukan pencegahan

penyakit jantung koroner melalui modifikasi faktor-faktor risiko yang terlibat.


Faktor risiko utama dari sindrom koroner akut adalah merokok, hipertensi,
dislipidemia, obesitas, diabetes melitus, dan pertambahan usia(Torry, 2012).
1.2 Tujuan
1.2.1

Tujuan Umum
66.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mahasiswa/i

dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan ini pada pasien dengan Acute


Coronary Syndrome
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui konsep dasar medis dari Acute Coronary Syndrome
2. Untuk mengetahui konsep dasar keperawatan dari Acute Coronary
Syndrome
3. Untuk menegetahui intervensi dan implementasi dari Acute Coronary
Syndrome

4. Agar mampu mengevaluasi intervensi dan implementasi dari Acute


Coronary Syndrome
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
82.

81.
2.1 KONSEP MEDIS

80.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

83. 2.1.1 Pengertian


84.

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kejadian kegawatan pada

pembuluh darah koroner (Andra, 2006). Sindrom ini juga merupakan suatu fase
akut dari angina pectoris tidak stabil (APTS) yang disertai infark miokardium akut
(IMA) gelombang Q dengan peningkatan non ST atau tanpa gelombang Q dengan
peningkatan ST yang terjadi karena adanya thrombosis akibat ruptur plak
ateroskelorosis yang tidak stabil (Wasid, 2007).
85. 2.1.2 Etiologi
86. Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya
terletak pada penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan
ini diakibatkan oleh 4 hal, meliputi:
1. Adanya timbunan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat
konsumsi kolestrol tinggi.
2. Sumbatan (thrombosis) oleh sel beku darah (thrombus)
3. Vasokontriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus
menerus
4. Infeksi pada pembuluh darah

87.
88. Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya SKA dipengaruhi oleh
beberapa

keadaan,

yaitu

aktivitas/latihan

fisik

yang

berlebihan

(tidak

terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin. Keadaan tersebut ada


hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah
meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung
meningkat.
89.
90.
91.
92.
Factor Risiko
93.
Factor penting yang mempercepat terjadinya penyakit jantung koroner dan
dikenal sebagai factor risiko adalah sebagai berikut.
1. Hipertensi, hiperlipidemia
2. Perokok berat
3. Diabetes mellitus, obesitas
4. Tipe kepribadian A, stress emosi
5. Kurang aktivitas fisik
6. Keturunan
7. Usia
8. Jenis kelamin
94. 2.1.3 Klasifikasi
95. Wasid (2007) mengatakan berat/ringannya SKA menurut Braunwald
(1993) adalah:
1. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan
nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas ringan, terjadi >2 kali per hari.
2. Kelas II: Sub akut, yakni sakit dada antara 48 jam hingga dengan 1 bulan
pada waktu istirahat
3. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
96. Secara Klinis:
1. Kelas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal diluar koroner, seperti anemia,
infeksi, demam, hipotensi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas
2. Kelas B: Primer

3. Kelas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati.


Dengan anti angina (penghambat beta adrenergic, nitrat, dan antagonis
kalsium). Antiangina dan nitrogliserin intavena.
97.
98.
99. 2.1.4 Manifestasi Klinis
100.

Gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah dada,

seperti rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher, lengan kiri dan kanan,
serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan
nyeri ini terdapat merambat kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu, serta
punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti
masuk angina atau maag (Rilantoro, 1996)
101.

Tapan (2002) menambhkan gejala klinis SKA meliputi:

1. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot


jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati
2. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada
(angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan
kerahang bawah, leher, bahu, dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat
timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula pada penderita yang
sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang
pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi
lebih berat atau lebih sering.
3. Selain gejala yang khas diatas, dapat juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang
terasa di ulu hati. Keluhan diatas dapat disertai dengan sesak, muntah atau
keringat dingin
102.

2.1.5 Patofisiologi

103.

SKA dimulai dengan adanya rupture plak arteri koroner, aktifasi

kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan thrombus, serta aliran darah


koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya
lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plague). Hal ini disebut fase
disrupsi plak. Setelah plak mengalami rupture maka factor jaringan dikeluarkan
dan bersama factor VIIa kompleks mengaktifkan factor x menjadi factor xa
sebagai penyebab terjadinya produksi thrombin yang banyak. Adanya adesi
platelet, aktivasi, dan agregasi , menyebabkan pembentukan thrombus arteri
koroner. Ini disebut fase thrombosis akut.
104.

Pada fase thrombosis akut terjadi proses inflamasi yang

mengakibatkan aktivasi makrofag dan limfosit sel T , proteinase dan sitokin ,


menyokong terjainya rupture plak serta thrombosis tersebut. Sel implamasi
tersebut berperan terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam anti adesif
dan antkoagulan menjadi prokoagulan sel endothelial, yang menghasilkan factor
jaringan dalam monosit sehinggga menyebabkan rupture plak. Oleh sebab itu,
adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan pertanda inflamasi
pada kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15%
pasien IMA didapatkan kenaikan CRP. Endothelium mempunyai perananan
hemostasis vascular yang memproduksi vasokontriktor maupun vasodilator local.
Jika mengalami arterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan
sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya
inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine
oxidase, NADH/NADPH ( nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase),
dan endothelial cell nitrit oxide synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap
dapat terjadi pada hiperkolestrolemia, diabetes , aterosklerosis, perokok ,
hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada beberapan enzim yang terlibat
dalam produk radikal pada dinding pembuluh darah, misalnya lipoogksigenase
dan P450-monooksigenase. Angio tensin II juga merupakan activator NADPH
oksidase yang paten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuludarah

melalui pengerahan makrofag yang menghasilkan monocyte chemooatractan


protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial.
105.

Fase selanjutnya adalah terjadinya vasokontriksi arteri koroner

akibat disfungsi endotel ringan dekat lesi atau repons terhadap lesi itu. Pada
keadaan disfungsi endotel, factor konstriktorlebih dominan (yakni endotelin-1,
tromboksan A2, dan pospoglandin H2 ) daripada factor relaksator (yakni nitrit
oksid dan prostasiklin). Nitrit oksid secara langsung menghambat proliferasi sel
otot polos dan migrasi adesi leoksit ke endotel , serta agregasi platelet dan sebagai
pro ateroghenic. Melalui efek melawan , TXA2 juga menghambat agregasi
platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner , menekan
fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark. Sindrom koroner akut yang diteliti secara
angiografi 60-70% menunjukan obstruksi plat aterosklerosis yang ringan sampai
dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis
tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak , adanya inflamasi pada kapsul,
dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulainya terjadi sindrom koroner akut,
khusunya IMA , dipengaruhi oleh beberapa keadaan , yakni aktivitas/latihan fisik
yang berlebihan (tak terkondisikan) , stress emosi , terkejut , udara dingin, waktu
dari siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (senin). Keadaan
tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktifitas simpatik sehingga tekanan
darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung
meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. Dari mekanisme inilah penyekat
beta mendapat tempat sebagai pencegah dan terapi.
106.

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

107.

Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3

komponen yang harus ditemukan:


1. Sakit dada
2. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/NSTEMI dengan atau tanpa
gelombang Q patologik
3. Peningkatan enzim jantung (paling sedikt 1,5 kali nilai batas atas normal),
terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk

nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1-0,2 ng/dl, dan dianggap
positif bila >0,2 ng/dl.
108.

2.1.7 Penatalaksanaan

109.

Tahap awal penatalaksanaan pasien SKA :

1. Oksigenasi. Dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang


mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-Elevas. Ini dilakukan
sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2-3 liter dengan nasal
kanul.
2. Nitrogliserin (NTG). Digunakan pada klien yang tidak hipotensi. Mulamula secara sublingual (0,3-0,6 mg), atau spray aerosol. Jika sakit dada
tetap ada setelah 3x NTG setiap lima menit dilanjutkan dengan drip IV 510 g/menit (jangan lebih 200/menit) dan tekanan darah sistolik jangan
kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman
oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard;
menurunkan beban awal (freeload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral;
serta menghambat agregasi platelet (masih jadi pertanyaan).
3. Morfin. Morfin diberikan untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan,
mengurangi nyeri akibat iskemia, meningkatkan kapasitas vena(venous
capacitance); menurunkan tahanan pembuluh sistemik, nadi dan tekanan
darah juga menurun, sehinga preload dan afterload menurun, beban
miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2-4 mg IV sambil
memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernafasan.
4. Aspirin. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner
akut jika tidak kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronchial). Efeknya
adalah menghambat siklooksigenase -1 dalam platelet dan mencegah
pembentukan tromboksan -A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi
platelet dan kontriksi arterial.
5. Antitrombolitik lain (Clopidogrel, Ticlopidine). Derivat tinopiridin ini
menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan fiskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP
(Adenosine Diphosphate) pada reseptor platelet sehingga menurunkan
kejadian iskemik ticlopidine bermakna dalam menurunkan 46% kematian
vascular dan non fatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan aspirin
untuk pencegahan trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah
mengalami implantasi stent coroner. Pada pemasangan stent coroner dapat
memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian
aspirin dosis rendah (100mg/hari) bersama ticlopidine 2x250mg/hari.

Akan tetapi, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia


(meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada
minggu 2-3. Clopidogrel sama efektifnya dengan ticlopidine bila
dikombinasikan dengan aspirin, namun tidak ada korelasi dengan
netropenia dan lebih rendah komplikasi gastointestinalnya dibanding
aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya resiko perdarahan.
110.
111.

Penanganan SKA Lain, meliputi :

1. Heparin. Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada sediaan baru yang
lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah
pemantauannya(tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek mengahambat
tidak langsung pada pembentukan thrombin, namun dapat merangsang
aktivasi platelet. Dosis 60g/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
g/kg/jam maksimum bolus, yaitu 4000 g/kg, dan infuse 1000 g/jam
untuk pasien dengan berat badan <70kg.
2. Low molecular weight heparin (LMWH). Diberikan pada APTS atau
NSTEMI dengan resiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding
dengan heparin, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama: bioavailabilitas
tinggi: dose-independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk
mengahambat aktivasi platelet: tidak mengaktivasi platelet; menurunkan
faktor von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak
perlu pemantauan aPTT; rasio antifaktor Xa/IIa lebih tinggi; lebih banyak
mengahambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam
pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini adalah
Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxiparin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCL adalah 86 iu antiXa/kg IV bersama aspirin (maksimum 325mg)
kemudian85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari dengan pemberian 2 kali
tiap 12 jam.
3. Warfarin. Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa
pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara
dini.
4. Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa (GPIIb/IIIa-I). Obat ini perlu diberikan pada
NSTEMI SKA dengan resiko tinggi, terutama hubungannya dengan
intervensi koroner perkutan. Pada STEMI, bila diberikan bersama
trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi. Ada 3 sediaan, yaitu
Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena.
Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan angka kejadian koroner

dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak


menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara invitro,
obat ini lebih kuat daripada aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi
akibat disrupsi plak.
5. Direct thrombin inhibitors. Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi
65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin.
6. Trombolitik. Trombolitik pada STEMI dan left bundle branch
block(LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek
sebesar 18%, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan
NSTEMI.
7. Katerisasi jantung. Tindakan memperdarahi daerah yang kekurangan atau
bahkan tidak memperoleh darah dapat dilaksanakan dengan membuka
sumbatan pembuluh darah koroner dengan balon dan lalu dipasang alat
yang disebut stent. Dengan demikian, aliran darah akan dengan segera
dapat kembali mengalir menjadi normal.
112.
113.

2.2 Konsep Keperawatan

114.

2.2.1 Pengkajian

115.
Klien SKA umumnya berjenis kelamin pria dan berusia lebih dari
50 tahun. Klien mengeluh nyeri dada dibagian retrosternal yang menyebar
ke lengan kiri dan punggung kiri. Nyeri ini dirasakan meskipun saat
istirahat. Biasanya berlangsung sekitar 10 menit. Dispnea juga dialami
pasien SKA. Pemeriksaan EKG biasanya menunjukkan perubahan berupa
gambaran STEMI/NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q patologik.
Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal,
terutama CKMB dan troponin-T/I, dimana troponin lebih spesifik untuk
nekrosis miokard. Nilai normal troponin adalah 0,1-0,2 ng/dl, dan
dianggap positif bila >0,2ng/dl).
116.
117.

2.2.2 Diagnosa keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miokard akibat sumbatan arteri


koroner.
2. Gangguan Keseimbangan Elektrolit: Hipokalemia
3. Pola Nafas tidak efektif
118.
2.2.3 Intervensi dan Implementasi Keperawatan
119.
Diagnosa
120.
NOC
121.
NIC
Keperawatan

122.

Nyeri akut
berhubungan
dengan penurunan
aliran
darah
koroner, iskemia
jaringan jantung.

123.
Kontrol
Nyeri
124.
Setelah
dilakukannya
asuhan
keperawatan
selama .x 24
jam klien dapat :
125.
1. Mengenal
factor
penyebab
dan
tindakan
untuk
mencegah nyeri.
2. Menunjukkan
teknik
relaksasi
efektif
untuk
meningkatkan
kenyamanan.
3. Menggunakan
tindakan
mengurangi nyeri
dengan
analgesic
dan nonanalgesik
secara tepat.
4. Mengenal
tanda
pencetus
nyeri
untuk
mencari
pertolongan.
5. Melaporkan gejala
kepada
tenaga
kesehatan.
126.
127.

128.
Manajem
en Nyeri
129.
1.
Kaji nyeri
secara
komprehensif,
meliputi

lokasi,

karakeristik
awitan,

dan
durasi,

frekuensi,
kualitas,
intensitas/beratny
a nyeri, dan factor
presipitasi.
130.

2.
Observasi

isyarat nonverbal
dari
ketidaknyamanan,
khususnya dalam
ketidakmampuan
untuk komunikasi
secara efektif.
131.

3.
Gunakan

komunikasi
terapeutik
klien

agar
dapat

mengekspresikan
nyeri.
132.

4.

Kaji latar
belakang budaya
klien.
133.

5.
Tentukan

dampak

nyeri

terhadap kualitas
hidup,

seperti

pola tidur, nafsu


makan,

aktivitas

kognisi,

mood,

hubungan,
pekerjaan,
tanggung

dan
jawab

peran.
134.

6.
Kaji

pengalaman
individu terhadap
nyeri.
135.

7.
Evaluasi

efektifitas
tindakan
mengontrol nyeri
yang

telah

digunakan.
136.

8.
Berikan

dukungan
terhadap klien dan

keluarga.
137.

9.
Kontrol

factor lingkungan
yang

dapat

memengaruhi
respons

pasien

terhadap
ketidaknyamanan.
138.

10.
Anjurkan

klien

untuk

memonitor
nyerinya sendiri.
139.

11.
Anjurkan

klien

untuk

meningkatkan
tidur/istirahatyang
cukup.
140.

12.
Ajarkan

penggunaan
teknik

non-

farmakologi,
seperti

teknik

relaksasi,
imajinasi
terbimbing, terapi
music,
terapi

distraksi,
panas-

dingin, masase.
141.

13.
Modifikasi

tindakan
mengontrol nyeri
berdasarkan
respons klien.
142.

14.
Anjurkan

klien

untuk

berdiskusi tentang
pengalaman nyeri
secara tepat.
143.

15.
Observasi

kenyamanan klien
terhadap
manajemen nyeri.
144.

16.
Berikan

pendidikan
kesehatan tentang
nyeri,

seperti

penyebab, durasi
nyeri,

dan

tindakan
pencegahan.
145.

17.
Beri tahu

dokter
tindakan

jika
tidak

berhasil

atau

terjadikeluhan.
146.

18.

Informasikan
kepada

tim

kesehatan
lainnya/anggota
keluarga

saat

tindakan

non-

farmakologi
dilakukan, untuk
pendekatan
preventif.
147.
148.

Pemberia

n Analgesik
149.

1.
Tentukan

lokasi

nyeri,

karakteristik,
kualitas

dan

keparahan
sebelum
pengobatan.
150.

2.
Berikan

obat

dengan

prinsip 5 benar.
151.

3.
Cek

riwayat

alergi

obat.
152.

4.
Libatkan

klien

dalam

pemilahan
analgetik

yang

akan digunakan.
153.

5.
Pilih

analgetik

secara

tepat/kombinasi
lebih

dari

analgetik
154.
Pola
Nafas
tidak
Efektif

satu
jika

telah diresepkan.
157.
Terapi

155.
Status
Pernafasan
Oksigen
156.
Setelah
1. Bersihkan
mulut,
dilakukannya
hidung dan secret
asuhan
keperawatan
trakea
selama .x 24 2. Pertahankan
jalan
jam klien dapat :
nafas yang paten
1. frekuensi
3. Atur
peralatan
pernafasan
oksigenasi
2. irama pernafasan
4. Monitor aliran oksigen
3. Sianosis
5. Pertahankan
posisi
4. 4.saturasi oksigen
pasien
5. penggunaan otot
6. Onservasi
adanya
bantu
tanda
tanda
6. diaforesis
7. dispnea
hipoventilasi
8. 8. suara nafas 7. Monitor
adanya
tambahan

kecemasan

pasien

terhadap oksigenasi

158.

Ganggua

n Keseimbangan
Elektrolit:
Hiperkalemia

159.

Keparaha

n Hiperkalemia

160.

Setelah

168.

Manajem

en Elektrolit
1.

ambil

dilakukannya

spesimen

yang

asuhan

diminta

untuk

keperawatan

analisa

kadar

selama .x 24

kalium

dan

jam klien dapat :

elektrolit

161.

1.

laboratorium

serum potasium

170.

2. monitor

2.

penyebab

perubahan EKG

terjadinya

163.

yang

tidak seimbang di

peningkatan
162.

169.

3.

peningkatan

penigkatan denyut

kalium

nadi

serum(mis: gagal

164.

4.

ginjal,

penurunan

asidosis,

dll)

tekanan darah

171.

3. monitor

165.

5. aritmia

akibat

166.

6.

hiperkalemia

Sakit

kepala
167.

terhadap
7. Kejang

jantung(mis:
penurunan curah
jantung,

asistol,,

puncak
gelombang T dll)
172.

4. monitor

gejala oksigenasi
jaringan
tidak

yang

memadai(pucat,
sianosis,

CRT

lambat)
173.

5. berikan

elektolit

yang

mengikat

atau

yang

mengikat

renin
174.

6.

pertahankan nilai
kalium

yang

normal
175.
kadar

7. monitor
kalium

setelah pemberian
terapi
176.

8. monitor

intake kalium atau


asupan kalium
177.
178.
179.
180.
181.
182.
183.
184.
185.
186.
187.
188.
189.
190.
191. BAB 3
192. PENUTUP
193.

3.1 Kesimpulan

194.

Sindrom koroner akut adalah istilah yang relatif baru yang

digunakan untuk menggambarkan pasien yang memiliki gejala klinis yang sesuai
dengan iskemia miokardium akut. Sindrom koroner akut ini merupakan
sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada arteri koronaria.
Sindrom koroner akut (SKA) masih tetap merupakan masalah kesehatan publik
yang bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-negara
sedang berkembang. Setelah mengikuti dan mebahas topik ini mahasiswa mampu
menerapkan asuhan keperawatan Acute Coronary Syndrome
195.

196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.
205.
206.
207.
208.
209.
210.
211.
212.
213.
214.

216.

DAFTAR PUSTAKA
215.
Aspiani, Reny Yuli. 2010. Asuhan Keperawatan Klien gangguan

Kardiovaskular dengan aplikasi NOC dan NIC. Jakarta; EGC


217. Stillwell, Susan. 2002. Pedoman Keperawatan Kritis. Jakarta; EGC
218. Torry. 2012. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner
Akut. Jurnal Kepeawatan, diunduh 24 September 2016
219. Risalina. 2012. Patofisiologi Acute Coronary
Keperawatan, diunduh 24 September 2016

Syndrom.

Jurnal

Anda mungkin juga menyukai