Blake dan Mouton (1990) menjelaskan bahwa dimensi perilaku dari studi kepemimpinan awal, menjadi dasar pengembangan kisi-kisi dua dimensi untuk menilai gaya kepemimpinan. Kisi-kis manajerial itu menggunakan dimensi perilaku memperhatikan orang dan memperhatikan produksidan mengevaluasi pengguna perilaku tersebut oleh pemimpn yang bersangkutan, menilai dimensi tersebut berdasarkan skala dari 1 (rendah) sampai 9 (tinggi) walaupun kisi-kisi tersebut mengelompokan gaya perilaku kedalam gaya 81 potensi kategori, penekanan diberikan pada lima kategori: -manajemen pemiskinan (1,1) -manajemen tugas (91) - manajemen tengah jalan (5,5) -manajemen country club (1,9) -manajemen tim (9,9) Dari kelima gaya itu, para peneliti menyimpulkan bahwa para manajerial berkinerja sangat baik ketika menggunakan gaya 9,9. Sayangnya, kisi-kisi itu tidak menawarkn jawaban atas apa yang membuat manajerial bisa jmenjadi pemimpin yang efektif; kisi-kisi itu hanya memberikan kerangka kerja untuk mengonsepkan gaya kepemimpinan. Kenyataannya, hanya ada sedikit bukti substansif yang mendukung kesimpulan bahwa gaya 9,9 adalah yag paling efektif dalam semua situasi. (Blake and Mouton, 1990; dalam Daft, 1996; dalam Donnelly et. Al, 1998). Menjadi semakin jelas bahwa memperkirakan keberhasilan kepemimpinan memerlukan sesuatu yang lebih rumit dari sekedar mengisolasi beberapa ciri pemimpin atau perilaku yang lebih disukai. Kegagalan untuk memperoleh hasil yang konsisten menyebabkan fokus baru ke pengaruh situasi. Hubugan antara gaya kepemimpinan dan keeffektifan menganjfurkan bahwa dalam kondisi a, gaya kepemimpinan x akan sesuai, sedangkan gaya y akan lebih sesuai untuk kondisi b, dan gaya z untuk kondisi c. Tetapi apakah kondisi seperti itu? Satu hal yang dapatk dikatakan adalah keefektifan kepemimpinan tergantung pada situasi dan hal lain yang dapat dikatakan adalah mengisolasi kondisi atatu kontingensi situasi-situasi itu (Blake and Mouton,1990).