Anda di halaman 1dari 20

BAB IV

BAB IV
KEHAMILAN POSTTERM

I.

DEFINISI
Kehamilan postterm, disebut juga kehamilan serotinus adalah
kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu atau lebih, dihitung
berdasarkan hari pertama haid terakhir menurut rumus Naegele dengan
siklus haid yang teratur, rata-rata 28 hari (WHO 1977, FIGO 1986) 1.
Sedangkan kehamilan late term merupakan kehamilan yang berlangsung
41 minggu namun 42 minggu.2
ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO

II.

Sampai saat ini etiologi terjadinya kehamilan postterm belum jelas.


Beberapa teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa
terjadinya kehamilan postterm merupakan akibat dari gangguan terhadap
timbulnya persalinan. Beberapa teori diajukan antara lain sebagai berikut3:

PENGARUH PROGESTERON
Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya dapat
meningkatan sensitivitas uterus terhadap oksitosin dan memicu proses
biomolekular dalam persalinan, sehingga beberapa penulis menduga
terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya

pengaruh progesteron.
TEORI OKSITOSIN

Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan memberikan kesan bahwa


oksitosin memegang peranan penting dalam menimbulkan proses
persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang
kurang pada usia kehamilan lanjut

merupakan salah satu penyebab

terjadinya.
TEORI KORTISOL/ACTH JANIN
Peningktan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin dipercaya merupakan
pemberi tanda dimulainya proses persalinan. Kortisol akan memberi
pengaruh terhadap plasenta sehingga produksi progesteron berkurang,
sekresi estrogen bertambah dan produksi prostaglandin meningkat. Pada
keadaan cacat bawaan janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin
dan tidak adanya hipofisis pada janin akan menyebabkan produksi kortisol

tidak berjalan dengan baik dan menyebabkan kehamilan postterm


SARAF UTERUS
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenheuser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan
pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian
bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab kehamilan

postterm
HEREDITER
Mogren dan Cunningham menyatakan bahwa apabila seorang ibu
melahirkan anak perempuan dalam keadaan postterm, maka besar
kemungkinan anak perempuan berikutnya akan mengalami kehanilan
postterm.
Faktor risiko terjadinya kehamilan postterm diantaranya adalah
primigravida dan riwayat kehamilan postterm sebelumnya. Selain itu,
anensefalus, jenis kelamin pria, dan riwayat genetik juga dapat menjadi

III.

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kehamilan postterm.4


DIAGNOSIS
Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm disamping dari riwayat
hadi, sebaiknya dilihat juga dari hasil pemeriksaan antenatal.

Riwayat Haid
Diagnosis kehamilan postterm tidak sulit ditegakkan apabila pasien
mengetahui dengan pasti HPHT-nya. Untuk HPHT dapat dipercaya
diperlukan beberapa kriteria diantaranya adalah: a) penderita yakin betul
HPHT-nya b) siklus haid teratur 28 hari c) tidak minum pil antihamil
setidaknya 3 bulan terkahir. Selanjutnya diagnosis ditentukan dengan
menghitung berdasarkan rumus Naegele. Berdasarkan riwayat haid,
penderita yang ditetapkan sebagai kehamilan postterm kemungkinan
adalah sebagai berikut :
o Terjadi kesalahan dalam menentukan haid terakhir atau akibat
menstruasi abnormal
o Tanggal haid terkahir diketahui jelas, tetapi terjadi kelambatan
ovulasi
o Tidak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan
memang berlangsung lewat bulan (keadaan ini sekitar 20-30% dari
seluruh penderita yang diduga kehamilan postterm).1,5

Riwayat Pemeriksaan Antenatal


o Tes kehamilan. Bila

pasien

melakukan

pemeriksaan

tes

imunologik sesudah terlambat 2 minggu, maka dapat diperkirakan


kehamilan telah berlangsung 6 minggu.
o Gerak janin. Gerak janin atau quickening pada umumnya
dirasakan ibu pada umur kehamilan 18-20 minggu. Pada
primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu,
sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Petunjuk umum
untuk menentukan persalinan adalah quickening ditambah 22
minggu pada primigravida dan 24 minggu pada multiparitas.
o Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop laennec DJJ
dapat didengar mulai umur kehamilan 18-20 minggu, sedangkan
dengan Doppler dapat didengar pada usia kehamilan 10-12
minggu.
Kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila
didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai
berikut:

Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan positif


Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan

Doppler
Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali
dengan stetoskop laennec3

Tinggi Fundus Uteri


Pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat

menentukan umur kehamilan secara kasar.6

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah

banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa


kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan
bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki
tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang
didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa
kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi
tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I
(crown-rump length) adalah 4 hari dari taksiran persalinan. Pada usia
kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal
diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan
7 hari dari taksiran persalinan.2
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut
hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih
rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II.
Pemeriksaan sesaat setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan
berat janin, keadaan air ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan

dengan kehamilan postterm, tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan.


Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat
variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan
pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III
bahkan bisa mencapai 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia
kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban.6

Pemeriksaan Laboratorium
o Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA)
Hastwell berhasil membuktikan bahwa cairan

amnion

mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat


dengan bertambahnya umur kehamilan. Pada umur kehamilan
41-42 minggu ATCA berkisar 45-65 detik, pada umur
kehamilan lebih dari 42 minggu didapatkan ATCA kurang daru
45 detik. Bila didapat ATCA antara 42-46 detik menunjukkan
bahwa kehaulan berlangsung lewat waktu.2
o Sitologi cairan amnion
Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam
cairan amnion. Bila jumlah sel yang mengandung lemak
melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan 36 minggu dan
apabila 50% atau lebih, maka umur kehamilan 39 minggu atau
lebih.2
o Sitologi vagina
Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20 %)
mempunyai sensitivitas 75%. Perlu diingat bahwa kematangan
IV.

serviks tidak dapat dipakai untuk menentukan usia gestasi.2


PERMASALAHAN KEHAMILAN POSTTERM
Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan
amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahanperubahan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan
postterm.

1. Perubahan pada Plasenta.


Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi
pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi
plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian
mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini
berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 2-4 kali
lebih tinggi. Penurunan fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan
kadar estriol dan plasenta laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta
sebagai berikut7:

Penimbunan kalsium. Pada kehamilan postterm terjadi peningkatan


penimbunan kalsium pada plasenta. Keadaan ini dapat menyebabkan
gawat janin dan peningkatan risiko kematian janin intrauterin 2 sampai
4 kali lipat. Peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta sesuai
dengan progresivitas degenerasi plasenta.7

Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya


berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan metabolisme transport
plasenta.7

Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan


fibrinoid, fibrosis, trombosis intervilli, spasme arteri spiralis dan infark
villi.7

Perubahan biokimia. Adanya insufisiensi plasenta menyebabkan


protein plasma dan kadar DNA dibawah normal, sedangkan
konsentrasi RNA meningkat. Transport kalsium tudak terganggu tetapi
aliran natrium, kalium, glukosa, asam amino, lemak dan gamma
globulin mengalami gangguan sehingga janin akan mengalami
hambatan pertumbuhan intrauterin.7

2. Pengaruh pada janin


Pengaruh kehamilan postterm terhadap janin masih menjadi perdebatan.
Seperti yang sudah disebutkan diatas tadi bahwa fungsi plasenta mencapai
puncaknya pada usia kehamilan 38 minggu dan mengalami penurunan
terutama setelah 42 minggu. Akibat dari proses penuaan plasenta,
pemasokan makanan dan oksigen akan menurun disamping adanya spasme
arteri spiralis. Sirkulasi uteroplasenter akan berkurang 50% menjadi hanya
250 ml/menit.3 Beberapa pengaruh kehamilan postterm terhadap janin antara
lain sebagai berikut:

Berat janin. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada plasenta,
maka terjadi penurunan berat janin. Namun, seringkali pula plasenta
masih dapat berfungsi dengan baik sehingga berat janin bertmbah terus
sesuai bertambahnya umur kehamilan. Zwardling menyatakan bahwa
rata-rata berat janin lebih dari 3600 gram sebesar 44,5% pada kehamilan
postterm, sedangkan pada kehamilan aterm sebesar 30,6%. Risiko
persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada kehamilan
postterm meningkat 2-4 kali lebih besar dari kehamilan aterm.1

sindrom

postmaturitas.

Dapat

dikenali

pada

neonatus

dengan

ditemukannya beberapa tanda antara lain penurunan jumlah lemak


subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa dan
lanugo. Keadaan ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung
dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku
panjang, serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar
mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus kehamilan postterm
menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya
didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada
kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium: 2
a. Stadium 1

Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa


kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.

b. Stadium 2

Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.

c. Stadium 3

Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

Gawat janin atau kematian perinatal menunjukkan peningkatan setelah


kehamilan 42 minggu atau lebih, sebagian besar terjadi intrapartum.
Umumnya disebabkan oleh:
o Makrosomia, yang dapat menyebabkan terjadinya distosia, fraktur
klavikula sampai kematian bayi
o Insufisiensi plasenta yang berakibat:
Pertumbuhan janin terhambat
Oligohidramnion: terjadi kompresi

tali

pusat,

keluar

mekonium yang kental, perubahan abnormal jantung janin


Hipoksia janin
Keluarnya mekonium yang berakibat dapat terjadi aspirasi
mekonium pada janin
o Cacat bawaan: terutama akibat hipolasia adrenal dan anensefalus.
3. Pengaruh pada ibu
Kehamilan postterm dapat meningkatkan morbiditas/mortalitas ibu sebagai
akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras yang
menyebabkan terjadinya distosia persalinan, incoordinate uterine action,
partus lama dan persalinan traumatis/perdarahan postpartum karena bayi
besar.8
V.

PENATALAKSANAAN KEHAMILAN POSTTERM


Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih
banyak perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada
pengelolaan kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita,
usia kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin
bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia
kehamilan mencapai 42 minggu, pada 70% penderita didapatkan serviks
belum matang/unfavourable dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat
keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis

kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus dipecahkan


selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan
induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan
pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun
biokimia sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul
indikasi untuk mengakhiri kehamilan.3 Hal-hal yang harus dipertimbangkan
dalam pengambilan keputusan tindakan adalah kepastian usia kehamilan,
pemeriksaan serviks, perkiraan berat janin, keinginan pasien dan riwayat
obstetrik dahulu.

1. Pemantanauan kesejahteraan janin


Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5
variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa
kombinasi ini memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian
salah satu variabel saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar
30-60 menit. Variabel yang digunakan dalam penilaian profil biofisik
adalah; (a) tes tanpa beban (non-stress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c)
gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion. Setiap
variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh sebab
itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan profil
biofisiknya.9
a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)
Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai
akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya
berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak
berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan
mengalami akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan janin.
Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil

penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin


akan meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan.9
Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban
kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara
sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST
digunakan untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah
tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai kesejahteraan janin.9
b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)
Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah
gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement).
Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks
mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan
dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa.
Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya gerakan janin untuk
mengeluarkan debris cairan amnion yang menyerupai gerakan pada saat
batuk.9
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya
keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan
proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi
secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan
gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan
penelitian observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time
untuk mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10
minggu terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin
normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122
menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat
mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu
observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin,

pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain,


misalnya pemeriksaan denyut jantung janin.9
c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)
Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak
minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada
akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin
tidak pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian,
ibu hamil baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia
kehamilan 18-20 minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan
terkadang tidak dapat dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti
gerakan usus.9
Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih
teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada
trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36
minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin.9
Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur
kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan
per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32
kehamilan, yaitu 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi
kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume
cairan

amnion

berkurang.

Hasil

penelitian

menunjukkan

bahwa

berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan


oleh pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin.
Keadaan ini merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester
ketiga.9
d. Pemeriksaan tonus janin
Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi
ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke
posisi fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari

tangan yang membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam


keadaan normal, gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit
pemeriksaan. Tonus janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan
terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan.
e. Pemeriksaan volume cairan amnion
Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari
pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian
janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi
uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan
produksi

urin

janin,

dan

pada

akhirnya

akan

menimbulkan

oligohidramnion.9
Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan
USG dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI).
Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran
kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus.
Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan
indikasi adanya oligohidramnion.9
Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan
amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan
ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran
kantong 2 cm.9

Gambar 1: Amniotic Fluid Index9


Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas,
maka didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai
kesejahteraanya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai
minimal 0 dan maksimal 10.
Tabel 1: Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa


penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil
melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan

asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi


kehamilan.

Tabel 2: Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik


(Cunningham, et al., 2010)

Pengelolaan secara ekpetatif dipertahankan selama 1 minggu dengan


pemantauan secara berkala. Apabila timbul suatu masalah seperti kegawatan
janin dapat dilakukan pengelolaan aktif.
2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi
indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan dengan pertimbangan kondisi

bayi yang cukup baik atau optimal. Induksi persalinan adalah suatu tindakan
terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal,
untuk merangsang timbulnya kontraksi uterus. Pematangan serviks adalah
tindakan

farmakologik

atau

cara

lain

untuk

memperlunak

atau

meningkatkan dilatasi serviks dengan tujuan untuk meningkatkan


keberhasilan induksi persalinan. Tindakan induksi persalinan ini adalah
untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan
terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap
ibu dan janin tetap ada.
Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa
keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks
(favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan
menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang
didapatkan

dari

pemeriksaan

dalam

dan

akan

digunakan

untuk

memperkirakan keberhasilan induksi persalinan. Lima faktor yang diperiksa


adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi
serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.

Tabel 3 : Pelviks skor menurut Bishop (Cunningham, et al., 2010)

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi


persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop 4 biasanya

menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga


membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis
(prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik (kateter transervikal, dilator
higroskopis, stripping).9
Pada kehamilan postterm, harus diperhatikan nilai kematangan serviks
(Skor Bishop) karena akan mempengaruhi tindakan induksi. Apabila skor
bishop > 5 maka di induksi dengan drip oksitosin dalam infus RL 500 cc 8
tetes per menit dapat ditingkatkan 4 tetes setiap 30 menit maksimal 20 tetes
per menit. Akan tetapi bila skor bishop 5 maka diberikan misoprostol 25
g per vaginam. Dievaluasi 6 jam kemudian, apabila skor bishop sudah >5
maka dilanjutkan infus oksitosin, namun apabila setelah 6 jam masih sama
atau 5 maka dilanjutkan misoprostol dengan cara pemberian yang sama.
Bila dalam 6 jam kemudian belum inpartu maka dilanjutkan infus oksitosin.
Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi
persalinan dalam bidang obstetri. Oksitosin mempunyai efek yang poten
terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap
oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan
oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan
banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 1020 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000 cc
larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar oksitosin 10-20
mU/mL.9 Terdapat berbagai macam metode induksi dengan menggunakan
drip oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.

Tabel 4 :Rejimen drip induksi dengan oksitosin (Cunningham, et al.,


2010)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20


mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit
masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi
dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan
ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan
kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek
antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi
dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his
sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih
(200 Montevidio).9
3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion
Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm
tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal,
harus

dilakukan

evaluasi

terhadap

anomali

janin

dan

gangguan

pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang diperberat dengan komplikasi


oligohidramnion harus dilakukan pengawasan ketat karena tingginya risiko
morbiditas janin.
Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut
beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk (1999)
yang dikutip dari Cunningham, et al., 2010, melakukan penelitian terhadap

lebih dari 10.500 ibu hamil yang memiliki nilai amniotic fluid index
intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol yang memiliki nilai
amniotic fluid index >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa
risiko

seksio

sesarea

atas

indikasi

gawat

janin

pada

kelompok

oligohidramnion lebih tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor
APGAR 5 menit dibawah 7 pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat.
Hasil penelitian Divon dkk (1995) yang dikutip dari Cunningham et al,
(2010) juga menyatakan bahwa hanya ibu paturien postterm yang memiliki
nilai amniotic fluid index 5 cm yang mengalami deselerasi denyut jantung
janin dan aspirasi mekonium.9
Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al.,
(2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI 5 cm
tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga dengan
Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi
intrapartum pada kondisi oligohidramnion.9
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi
janin postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan
pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan
pelayanan operatif dan neonatal yang memadai.
Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan
postterm mencakup:
a) Pemantauan

yang

baik

terhadap

kontraksi

uterus

dan

kesejahteraan janin. Pemakaian alat monitor janin secara kontinu


sangat bermanfaat.
b) Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama
persalinan.
c) Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktuwaktu terjadi kegawatan janin

d) Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap


wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala
lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan
cairan ketuban bercampur mekonium.
e) Pengawasan

ketat

terhadap

neonatus

dengan

tanda-tanda

postmaturitas

Gambar 2: Skema penatalaksanaan kehamilan postterm. (Cunningham,


et al., 2010

Anda mungkin juga menyukai